Anda di halaman 1dari 8

Amos Rapoport (1983) juga menyatakan bahwa permukiman dapat dilihat sebagai suatu bentang lahan

budaya (cultural landscape feature) terutama permukiman tradisional yang wujud fisiknya sangat besar
kaitannya dengan budaya, dimana ciri-cirinya adalah:

1. Di dalamnya terdapat hubungan/kaitan antara berbagai elemen dan juga sifat dan elemen-elemen
tersebut, termasuk antara lingkungan binaan dengan lingkungan alami.

2. Mempunyai ciri dan karakteristik yang khas, umumnya mengandung budaya yang spesifik.

3. Tidak dirancang oleh seorang perancang. Perancangan merupakan suatu konsep yang lebih luas
yang merupakan perwujudan dan keputusan-keputusan dan pilihan-pilihan manusia, sebuah pilihan
diantara berbagai alternatif yang memungkinkan.

4. Terdapat sifat-sifat spesifik dan pilihan-pilihan tersebut yaitu didasarkan atas hukum yang berlaku,
merefleksikan budaya pada kelompoknya.

5. Merupakan sistem pilihan dan gaya hidup, meliputi pilihan-pilihan bagaimana menentukan
material, waktu dan sumber-sumber simbolik.

6. Bentang budaya misalnya permukiman adalah merupakan sebuah produk dan sistem pilihan
tersebut.

7. Konservasi-preservasi dan bentang budaya yang merupakan suatu tingkatan dan kualitas
lingkungan. Konservasi dan prisip-prinsip dalam bentang budaya tradisional dapat diterapkan dalam
rancangan yang baru.

8. Kualitas lingkungan, yang menyangkut persepsi (terkait dengan psikologikal, sosio kultur) dan
standar (terkait dengan studi fisik dan lingkungan).

Sosial dan Budaya


Faktor sosial budaya merupakan faktor internal yang mempengaruhi perkembangan
permukiman. Sikap dan pandangan seseorang terhadap rumahnya, adat istiadat suatu
daerah, kehidupan bertetangga, dan proses modernisasi merupakan faktor-faktor sosial
budaya. Rumah tidak hanya sebagai tempat berteduh dan berlindung terhadap bahaya dari
luar, tetapi berkembang menjadi sarana yang dapat menunjukkan citra dan jati diri
penghuninya.

Rabu, 04 Februari 2009

POLA PERMUKIMAN

Pengertian Pola Permukiman


Secara etimologis pola permukiman berasal dari dua kaca pola dan permukiman. Pola (pattern) dapat
diartikan sebagai susunan struktural, gambar, corak, kombinasi sifat kecenderungan membentuk
sesuatu yang taat asas dan bersifat khas (Depdikbud, 1988), dan dapat pula diartikan sebagai benda
yang tersusun menurut sistem tertentu mengikuti kecenderungan bentuk tertentu. Pengertian ini
tampaknya hampir mirip dengan pengertian model, atau susunan sesuatu benda. Pengertian pola,
permukiman (settlement patterns) Bering dirancukan dengan pengertian pola persebaran permukiman
(distribution patterns of settlement). Dua pengertian tersebut pada dasarnya sangat berbeda, terutama
jika ditinjau dari aspek bahasannya (Yunus, 1989).

1) Bahasan pola permukiman perlu diperhatikan dari tinjauan individual permukiman atau dari tinjauan
kelompok permukiman.
a. Tinjauan pola permukiman dari segi individual, lebih mengarah kepada bahasan bentuk-bentuk
permukiman secara individual, sehingga, dapat dibedakan dalam kategori pola permukiman bentuk
memanjang, pola permukiman bentuk melingkar, pola permukiman bentuk persegi panjang, pola
permukiman bentuk kubus. Setup kategori pola permukiman masih dapat diturunkan lagi ke sub
kategori lebih rinci misalnya pola permukiman memanjang sungai, memanjang jalan, memanjang garis
pantai, dan seterusnya
b. Tinjauan pola permukiman dari aspek kelompok lebih mengarah kepada bahasan sifat persebaran dari
individu-individu permukiman dalam satu kelompok. Oleh karenanya dari sifat persebaran tersebut
dapat dibedakan kedalam kategori pola persebaran permukiman secara umum yakni pola menyebar dan
pola mengelompok. Analog dengan pola bentuk permukiman, setup kategori pola persebaran
permukiman masih dapat diturunkan lagi ke sub kategori lebih rinci misalnya pola persebaran
permukiman menyebar teratur, menyebar tidak teratur, mengelompok teratur dan tidak teratur dan
seterusnya-
2) Pola persebaran permukiman membahas sifat persebaran kelompok permukiman sebagai satu satuan
(unit) permukiman, juga dapat dibedakan menjadi dua kategori.
Tinjauan pola persebaran permukiman dari aspek bentuk persebaran kelompok permukiman, sehingga
dapat dibedakan pola persebaran kelompok permukiman memanjang pola persebaran kelompok
permukiman melingkar, pola persebaran kelompok permukiman sejajar, pola persebaran kelompok
permukiman bujur sangkar, pola persebaran kelompok permukiman kubus. Setiap kategori pola,
persebaran kelompok permukiman masih dapat diturunkan lagi ke sub kategori Iebih rinci.

Tinjauan pola persebaran kelompok permukiman dari aspek sifat persebaran dari kelompok-kelompok
permukiman, sehingga dapat dibedakan pola persebaran kelompok permukiman menyebar, dan pola
persebaran kelompok permukiman memusat atau mengelompok. Setiap kategori pola persebaran
kelompok permukiman tersebut juga masih dapat diturunkan lagi ke sub kategori lebih rinci.
Pengertian pola permukiman dan persebaran (dispersion) permukiman mempunyai hubungan yang erat.
Persebaran permukiman membicarakan hal dimana terdapat permukiman dan dimana tidak terdapat
permukiman di suatu daerah.
permukiman
Dengan kata lain persebaran permukiman berbicara tentang lokasi permukiman. Disamping itu juga
membahas cara terjadinya persebaran permukiman, serta fakto-faktor yang berpengaruh terhadap
persebaran tersebut- Pola permukiman membicarakan sifat dari persebaran permukiman tersebut.
Dengan kata lain pola permukiman secara umum merupakan susunan sifat persebaran permukiman dan
sifat hubungan antara faktor-fektor yang menentukan terjadinya sifat persebaran permukiman tersebut,
Pengertian pola, permukiman di atas berbeda dengan pengertian pola pemukiman yang banyak
menyangkut tentang berbagai tipe atau corak cara memindahkan penduduk dari daerah satu ke daerah
lain. Sebagai contoh nyata adalah
program transmigrasi, yang kegiatannya mencakup proses pemindahan dari permukiman asal ke
permukiman baru. Dalam cara memindahkan penduduk tersebut menggunakan berbagai cara yang akan
membentuk pola-pola tertentu. Beberapa buku acuan hasil penulisan mengenai pokok-pokok
pemukiman membahas tentang pola-pola pemukiman di negara-negara Asia Tenggara, yang
membicarakan cara-cara pemindahan penduduk, tipe-tipe pelaksanaan, kebijakan pemerintah dalam
kaitannya dengan
ijakan
cara tersebut (McAndrews, 1984). Pembicaraan pola pemukiman mempunyai pokok pembahasan yang
berbeda dari pokok pembahasan pola permukiman. Namun demikian, terdapat kesamaan, yakni
obyeknya tempat tinggal dan penduduk. Sesuai dengan tujuan pembahasan uraian selanjutnya
ditekankan pada pola persebaran permukiman, dengan beberapa variasinya, serta beberapa faktor yang
menentukan.
Variasi Pola Permukiman
Persebaran permukiman bersifat menentukan terhadap keanekaan pola permukiman. Persebaran-dari -
aspek kepadatan bervariasi (jumlah luas permukiman dibagi jumlah luas wilayah dimana permukiman
itu berada) dari sangat jarang hingga
1 dilihat dari segi dispersi, padat. Bila dill segi I i, dapat dibedakan menjadi mengelompok dan menyebar.
Tinjauan lain dapat dilihat dari segi keteraturan persebaran, yakni teratur, dan tidak teratur. Beberapa
pendapat tentang variasi pola permukiman dari pelbagai penulis dapat ditunjukkan sebagai berikut.
Hudson (1970) membedakan secara garis besar antara 1) pola permukiman mengelompok, dengan 2)
pola permukiman menyebar. Pola persebaran permukiman mengelompok tersusun dari dusun-dusun
atau bangunan-bangunan rumah yang lebih kompak dengan jarak tertentu, sedangkan pola persebaran
permukiman menyebar terdiri dari dusun-dusun dan atau bangunan-bangunan rumah yang tersebar
dengan jarak tidaktertentu. Thorpe (1964) mengemukakan bahwa konsep dasar pola permukiman hanya
terdapat dua tipe yang berbeda yang mendasarkan pada kenampakan yang bervariasi dari sangat tegas,
yakni tipe pola memusat dengan tipe pola menyebar. Namun, dalam penjelasannya, bahwa perbedaan
pola permukiman tersebut hanya dapat dipergunakan untuk pengelompokkan bangunan rumah sebagai
permukiman atau tempat tinggal.
Pembagian pola permukiman menjadi due seperti itu juga dikemukakan oleh Van der Zee (1979) yang
membedakan antara pola permukiman tersebar, dengan pola permukiman mengelompok. Namun,
dibedakan pula antar pola permukiman tunggal, dengan pola permukiman ganda yang mengelompok
Dijelaskan bahwa pembahasan pola permukiman itu tidak dapat dilepaskan dari pembahasan
persebaran permukiman serta letak dan situasinya. Pembagian pola tersebut, ternyata sedikit berbeda
dari pembedaan pola permukiman yang dikemukakan Singh (1969)
saja Rambali Singh menggunakan istilah tipe permukiman. Atas dasar persebarannya permukiman
dibedakan menjadi tiga tipe atau pola, yaitu 1) pola permukiman mengelompok, 2) permukiman semi
mengelompok, dan pola permukiman menyebar.
Sebenarnya, variasi pola permukiman tersebut di etas, pada dasarnya sama dalam memberikan
klasifikasi, hanya saja mereka belum memberikan kelas-kelas pola permukiman secara konkrit batas-
batasnya Pembedaan pola tersebut oleh Bunce (1982) dianggap tidak kuat atau kurang meyakinkan,
karena pada jarak bangunan rumah seberapa untuk pola permukiman yang mengelompok, dan jarak
antar bangunan seberapa untuk pola menyebar. Hal ini sangat beralasan, mengingat hingga seat itu
belum ada kesepakatan tentang jarak minimum antar bangunan rumah untuk pola permukiman
menyebar ataupun mengelompok, sehingga tidak dapat digunakan untukanalisis.
Hal di etas menimbulkan ketidakpuasan bagi pakar-pakar yang akan mengapapli-
kasikan. Haggett (1970) mengemukakan:
"ketidakpuasan orang membincangkan pola permukiman secara deskriptip, menimbulkan gagasan untuk
membincangkannya secara. kualitatif".
Dengan pertimbangan untuk tujuan pembahasan pola permukiman secara kuantitatip tersebut Haggett
membedakan pola permukiman menjadi tiga: a) uniform (seragam), b) random (acak), dan c) clustered
(mengelompok). Dengan cara demikian pembandingan antara pola permukiman dapat dilakukan dengan
lebih baik, bukan saja dari segi waktu, tetapi juga dalam segi ruang. Demikianlah beberapa variasi pola
permukiman menurut beberapa penulis, tentu saja masih banyak lagi penulis lain yang membahas
variasi pola tersebut, tampaknya secara tegas variasi dalam pembicaraan terakhir itulah yang dapat
diukur kriterianya Masalahnya, bagaimana cara menentukan pola-pola tersebut secara kuantitatif, akan
dibahas pada. sub bab berikut.
Beberapa Ukuran Pola Permukiman
Zee (1979) mengemukakan bahwa permukiman adalah suatu sumber informasi tentang manusia dan
aktivitasnya di dalam habitatnya Dengan demikian pola permukiman memberikan kesan tentang
persebaran fisik permukimannya beserta kepadatan penghuninya (penduduknya). Beberapa model
teoritikal telah disusun berkenaan dengan struktur ideal pola permukiman. Namun demikian seringkali
cara analisis secara nyata menunjukkan fakta berbeda, dimana dari teori lebih banyak memberikan
informasi cara lingkungan alami mempengaruhi aktivitas manusia, pada hal kenyataan seringkali
berbeda, justru aktivitas manusia dari aspek permukiman mempengaruhi lingkungan fisiknya
alami kaitannya dengan kuantifikasi pola permukiman ternyata beberapa penulis mengacu kepada
pertimbangan jumlah penduduk di suatu daerah dalam kaitannya dengan tempat tinggal. Salah satu
pengukuran pola permukiman dengan menggunakan perhitungan indeks aglomerasi, adalah pengukuran
pengelompokan penduduk dan persebarannya yang dikemukakan Houston (1953) menggunakan indeks
Demangoens (Hudson, 1970; Pacione, 1984; dan Zee, 1979):
E. N
K=
T
dimana:
K = the index ofagglomeration
E = the population of the comune excluding that of chief nucleated settlement N = the number of
settlements excluding the chief centre
T = the total population of the commune.
Pengukuran dengan cara tersebut banyak kelemahannya, karena hanya mendasarkan pada jumlah
penduduk yang setup saat selalu berubah, dan tidak diketahui seberapa besar batas kriteria. angka K
untuk permukiman disebut mengelompok, dan berapa K permukiman disebut menyebar.
Derajad pengelompokan pola permukiman dapat pula ditunJukkan dengan menggunakan nilai per
gridsquare. Secara ekstrim ukuran tersebut dapat dibedakan sebagai berikut (Zee, 1979):
Sangat mengelompok: bila seluruh penduduk dalam satu gridsquare berada dalam sepersepuluh luas
daerah tersebut.
Sangat tersebar: bila hanya sepersepuluh penduduk pada gridsquare tersebut berada dalam
sepersepuluh luas daerah.
Salah satu cara untuk mengukur pola permukiman dapat pula dilakukan dengan menggunakan "model
dan analisis tetangga terdekat" atau nearest neighbour analysis, yaitu dengan menghitung besarnya
parameter tetangga terdekat atau T dengan menggunakan rumus berikut (Hagget, 1975):
Ju
T=
Jh
dimana:
T = indeks penyebaran tetangga terdekat
Ju =jarak rata-rata yang diukur antara satu titik dengan titik tetangga yang terdekat
Jh = jarak rata-rata yang diperoleh andaikata semua titik mempunyai pola random (acak), yakni dihitung
dengan rumus
-V2p
p = kepadatan titik dalam tiap kilometer persegi, yaitu jumlah titik (M dibagi dengan luas wilayah dalam
kilometer persegi (A)
Untuk mengetahui apakah pola permukiman yang dianalisis, termasuk mengelompok, random atau
seragam, dibandingkan dengan continuum nilai parameter tetangga terdekat T untuk masing-masing
pola yang dapat diperlihatkan:
T = 0 – 0,7 pola bergerombol (mengelompok); T = 0,71-1,4 pola acak (tersebar tidak merata; T = 1,41 -
2,15 pola tersebar merata

Faktor Pengaruh terhadap Pala Persebaran Permukiman


Terjadinya keanekaragaman pola persebaran permukiman sebagai wujud dari persebaran penduduk
yang tidak merata Hal ini akan menimbulkan terjadinya pelbagai masalah yang bervariasi pula di antara
wilayah satu dengan wilayah lainnya, balk bagi kehidupan penduduk beserta lingkungannya saat ini,
maupun bagi rencana pengembangan permukiman itu sendiri pada mass mendatang. Oleh karenanya,
pemahaman lewat penelitian yang mendasar mengenai bagaimana pola persebaran permukiman yang
ada pada saat ini beserta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya suatu pola persebaran
permukiman merupakan suatu usaha yang penting dan dapat mendukung landasan pola berfikir
pemecahan masalah permukiman pada mass mendatang.
Persebaran permukiman mempunyai kaftan erat dengan persebaran penduduk. Persebaran penduduk
membentuk persebaran permukiman, dengan pola-pola persebaran permukiman yang bervariasi.
Shryock, et al. (1971) mengemukakan bahwa persebaran permukiman dipengaruhi oleh Mini (suhu dan
curah hujan); topografi
grafi
bentuk lahan, sumberdaya alam; hubungan keruangan; faktor budaya; serta faktor demografi. Secara
garis besar terjadinya pola permukiman menurut Shryock tersebut dipengaruhi oleh faktor fisik balk
alarm maupun buatan, faktor sosial-ekonomi, dan faktor budaya manusia atau penduduk.
Faktor-faktor pengaruh tersebut menurut Singh (1969) yang menerapkan dalam penelitiannya pola
permukiman di salah satu bagman daerah di India, hanya ditekankan pada faktor fisik, sejarah, tradisi,
dan sosial ekonomi, dengan perincian sebagai berikut:
- faktor fisik mencakup relief, sumber air, jalur drainase, dan kondisi tanah-, faktor sosial ekonomi
meliputi tata guns lahan, penyakapan tanah, rotasi tanaman, transportasi dan komunikasi, serta
kepadatan penduduk-,
faktor sejarah dan tradisi seperti sejarah terbentuknya permukiman, kebiasaan penduduk melakukan
migrasi, maupun kebiasaan penduduk yang mengacu kepada adat dalam kaitannya dengan membangun
tempat tinggal.

Dalam hal ini terlihat, bahwa terbentuknya pola permukiman banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor
yang kompleks, tetapi mencerminkan adanya kecende-rungan faktor alam menentukan terhadap
kegiatan manusia- Jelas hal tersebut sudah banyak yang tidak berlaku, mengingat kemampuan manusia
dalam mengadaptasikan diri
dengan lingkungan sangat dominan, sebagai akibat kemajuan teknologi. Seperti yang dikemukakan oleh
Pacione (1984) bahwa pola permukiman merupakan cerminan penyesuaian penduduk terhadap
lingkungan alam, seperti topografi, iklim dan tanah. Tingkat penyesuaian tersebut sangat tergantung
pada faktor-faktor sosial ekonomi dan kultur penduduknya_ Dengan demikian, pola tempat kediaman
penduduk terbentuknya akan dipengaruhi oleh keadaan lingkungan alam, keadaan sosial ekonomi, serta
keadaan budaya mereka.
Beberapa faktor pengaruh terhadap persebaran permukiman antara lain:
A. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap compact rural settlement:
Daerah-daerah yang memiliki tanah-tanah subur, dapat mengikut tempat kediaman penduduk dalam
satu kelompok.
Daerah-daerah dengan relief yang sama, misalnya dataran-dataran rendah menjadi sasaran penduduk
untuk bertempat tinggal.
Daerah-daerah dengan permukaan air tanah yang dalam menyebabkan adanya sumur-sumur yang
sangat sedikit, karena pembuatan sumur-sumur itu akan memakan biaya dan waktu yang banyak.
Dengan demikian maka sebuah sumber air, dalam hal ini sumur menjadi pemusatan penduduk.
Daerah-daerah dimana keadaan keamanan belum dapat dipastikan, balk karena gangguan binatang
maupun gangguan suku bangsa yang sedang bermusuhan dapat berpengaruh terhadap timbulnya
pengelompokan tempat kediaman.
B. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap fragmented rural settlement:
a- Daerah-daerah banjir dapat merupakan pemisah antara permukiman perdesaan satu dengan lainnya.

Daerah-daerali dengan topografi kasar menyebabkan rumah penduduk desa tersebar.


Permukaan air tanah yang dangkal memungkinkan pembuatan sumur-sumur di Setiap tempat, sehingga
perumahan penduduk dapat didirikan dengan pemilihan tempat yang ada_
Dalamkaitannya dengan pola permukiman tersebut, Pacione (1984) mengemukakan bahwa permukiman
yang memusat dipengaruhi oleh faktor kebutuhan akan keamanan atau pertahanan, ikatan keluarga
atau marga, kelang-kaan air, kebiasaan dari sistem pembagian waris, datar ekonomi dari hasil pertanian,
politik, agama atau ideologi. Sebaliknya untuk permukiman yang tersebar, dipengaruhi oleh faktor-
faktor kurang pentingnya pertahanan, kolonisasi yang dilakukan oleh keluarga-keluarga secara individu
berdasarkan hubungan darah maupun wilayah, pertanian yang bersifat pribadi, melon perbukitan atau
pegunungan, persediaan air yang dangkal, dan penyebaran yang disengaja oleh pemerintah.
Demikian pula Singh (1971), mengklasifikasikan pola permukiman desa atas: compact type, semi
compact type dan dispersed type. Faktor-faktor yang mempengaruhi tipe permukiman memusat antara
lain permukaan lahan yang datar, lahan yang subur, curah hujan yang relatif kurang, kebutuhan akan
kerjasama, ikatan sosial-ekonomi, agama atau kepercayaan, kurangnya keamanan waktu yang lampau,
tipe pertanian, lokasi industri dan mineral. Untuk tipe permukiman tersebar berhubungan dengan
topografi yang kasar, keanekaragaman kesuburan lahan, curah hujan dan air permukaan yang
melimpah, keamanan waktu yang lampau dan susunan kasta Disamping itu dinyatakan, bahwa pola
permukiman dipengaruhi oleh lingkungan fisikal, seperti relief, sumber air, jalur drainase, kondisi lahan
serta kondisi sosialekonomi, seperti tats guna lahan, penyakapan lahan, rotasi tanaman, prasarana
transportasi dan komunikasi serta kepadatan penduduk (Wuryanto Abdullah dan Su Rito Hardoyo,
1981).
Pendapat dan pernyataan di atas menunjukkan adanya tiga kelompok penting dalam pola permukiman,
yakni pola mengelompok, pola acak dan pola tersebar merata Selain itu, tampak pula bahwa relief,
kesuburan lahan dan sumber air, merupakan komponen lingkungan alam yang dominan dalam
mempengaruhi pola permukiman, di samping kondisi sosial-ekonomi dan kebudayaan, seperti tata guns
lahan, tipe pertanian, penyakapan lahan, prasarana transportasi dan komunikasi, kepadatan penduduk,
lokasi mineral dan industri, keamanan, politik, sistem pembagian waris dan agama atau ideologi.
Ditinjau dari letak ketinggian wilayah, tampak faktor ini mempunyai hubungan yang erat dengan kualitas
lahan. Dengan pernyataan lain, semakin meningkatnya letak ketinggian tempat, - menyebabkan semakin
berkurangnya lahan-lahan datar. Sandy (1977) menyatakan bahwa di sekitar ketinggian sama dengan
atau lebih besar dari 100 meter, biasanya topografi lebih kasar daripada di bawahnya- Dengan demikian
berarti, bahwa semakin meningkatnya letak ketinggian tempat di suatu wilayah, maka semakin
meningkat pula kekasaran topografinya. Sebaliknya, dari letak ketinggian tempat ini lebih bar yak
menunjukkan, bahwa keadaan permukaan air sumur semakin dalam dengan semakin meningkatnya
letak ketinggian tempat, sehingga kemungkinan untuk terjadinya pengelompokan permukiman secara
teratur maupun penyebaran secara teratur sangat kecil. Oleh karena itu, dengan semakin meningkatnya
letak ketinggian tempat pada suatu wilayah, pola permukiman semakin tersebar secara tidak teratur.
Adanya tekanan penduduk terhadap lahan pertanian yang semakin mendesak di daerah pedesaan,
mengakibatkan kebutuhan akan lahan pertanian yang lebih besar. Hal ini memaksa, prang atau
penduduk untuk menduduki lahan-lahan yang tadinya tidak diperuntukkan bagi permukiman maupun
usaha pertanian. Di pihak lain, memaksa penduduk untuk semakin meningkatkan lahan-lahan garap-
annya seefektif mungkin. Keadaan ini mendorong para. penggarap untuk berusaha mendekatkan
tempat tinggalnya dengan masing-masing lahan garapannya, sehingga mendorong pula untuk
tumbuhnya permukiman-permukiman baru bagi lahan pertanian yang terlalu jauh. Sejalan dengan
pernyataan Sandy 1977), bahwa kemampuan untuk menempuh jarak di pedesaan, ditentukan oleh
kemampuan seseorang untuk berjalan kaki. Dengan demikian, adanya perluasan lahan pertanian dan
peningkatan efektivitas kerja, yang disebabkan tekanan penduduk terhadap lahan pertanian dapat
mempengaruhi terhadap penyebaran pola permukiman.
Terdapatnya permukiman dalam artian sempit di suatu wilayah, tentu disebabkan oleh adanya
kemungkinan untuk hidup bagi masyarakat kampung yang bersangkutan, sesuai dengan keahlian
ataupun ketrampilan mereka-Makin besarnya kemungkinan untuk hidup yang diberikan suatu wilayah,
semakin besar pula kemungkinan jumlah manusia yang tinggal di wilayah tersebut, atau semakin besar
pula terjadinya pemusatan penduduk wilayah tersebut. Apabila ditinjau dari perkembangan bentuk-
bentukpenggunaan lahan untuk usaha pertanian rakyat di pedesaan, sebagaimana dikemukakan Sandy
(1977), bahwa perkembangan tertinggi dari usaha pertanian kecil di Indonesia adalah persawahan
dengan pengairan teratur, apabila memungkinkan penduduk akan membuat sawah pada medan dengan
lereng yang bagaimanapun, baik rawa, lereng gunung dan apalagi daerah datar. Dengan demikian,
daerah- daerah usaha pertanian lahan sawah merupakan daerah pusaatan penduduk yang terbesar.
Adanya perbedaan bentuk penggunaan lahan dalam usaha pertanian, dengan sendirinya memerlukan
tingkat pengolahan serta tingkat kebutuhan tenaga, kerja yang berbeda-beda pula Dalam hal ini i
ditunjukkan bahwa lahan merupakan
Dalam dan jenis penggunaan yang paling intensip. Artinya pemakaian tenaga kerja dalam bentuk usaha
lahan sawah akan lebih besar dari usaha pertanian lahan kering, seperti tegalan, kebun campuran
maupun usaha perkebunan kecil. Untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja ini, dilakukan dengan
sistem pertukaran jasa. (barter tenaga sesama. mereka). Sejalan dengan pendapat Mubyarto (1977),
bahwa tolong menolong lebih banyak terdapat pada pekerjaan dimana dimungkinkan pengembalian
pekerjaan yang sama. pada. tanaman yang sama Dengan adanya sistem pertukaran jasa (barter tenaga
sesama mereka) dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja ini, menurut Leibo (1986) sebagai penyebab
sifat-sifat kelompok primer dalam ketetanggaan masyarakat desa Dengan demikian, besarnya
pemakaian tenaga kerja dari besarnya. Sifat kegotongroyongan pada usaha pertanian lahan sawah,
menuntut suatu kehidupan sosial yang saling berdampingan antara sesama keluarga petani. Hal ini,
menuntut pula terjadinya pengelompokan permukiman pedesaan di sekitar lahan sawah, dan sebaliknya
terjadi pola-pola permukiman yang menyebar pada penggunaan lahan pertanian lahan kering.
Berbagai pendapat di atas menunjukkan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi pola permukiman,
antara lain: kemiringan lahan, ketinggian tempat, kedalaman air sumur, curah hujan, kepadatan
penduduk, tekanan penduduk terhadap lahan pertanian dan persentase luas lahan sawah dari seluruh
luas lahan pertanianPenyakapan tanah prasarana transportasi dan komunikasi, lokasi mineral dan
industri, sistem pembagian waris, keamanan dan politik agama atau ideologi.

Posted by Slamet Teguh at 07.08

Anda mungkin juga menyukai