Referat Epistaksis
Referat Epistaksis
EPISTAKSIS
Pembimbing:
Disusun Oleh:
2
PENDAHULUAN
Epistaksis atau pendarahan dari hidung banyak dijumpai sehari-hari baik pada
anak maupun usia lanjut. Epistaksis jarang mengancam nyawa tetapi dapat
menyebabkan kekhawatiran, terutama di antara orang tua kepada anak kecilnya.
Sebagian besar epistaksis adalah ringan, dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan
bantuan medis, dan terjadi secara spontan, tapi ada beberapa yang terjadi berulang.
Epistaksis yang berat jarang ditemukan namun merupakan masalah kedaruratan medis
yang dapat berakibat fatal bila tidak segera ditangani. Sebagian besar penyebab
epistaksis tidak dapat diketahui, tapi seringkali merupakan gejala atau manifestasi
penyakit lain. Prevalensi sebenarnya dari epistaksis tidak dapat diketahui karena
sebagian besar kejadian dapat berhenti sendiri sehingga tidak terlaporkan. Ketika
bantuan medis diperlukan, biasanya dikarenakan kejadian yang berulang atau parah.
Perawatan tergantung dari gambaran klinis, pengalaman dokter, dan ketersediaan
pelayanan medis.
Anatomi
Hidung memiliki suplai vaskular yang banyak, dengan kontribusi terbesar dan
terpenting dari Arteri karotis interna dan eksterna.
Sistem arteri karotis eksterna memperdarahi hidung melalui Arteri fasialis dan
maksilaris interna. Arteri-arteri tersebut memperdarahi dasar dan bagian depan rongga
hidung dan septum anterior melalui cabang septum. Arteri fasialis bercabang menjadi
Arteri labialis superior (cabang terminal). Arteri maksilaris interna masuk melalui
fosa pterigomaksilaris dan bercabang menjadi 6 cabang yaitu Arteri alveolaris
posterior superior, palatina desenden, infraorbitalis, sfenopalatina, kanal pterigoid,
dan faringeal. Arteri palatina desenden turun melalui kanal palatina mayor dan
memperdarahi dinding lateral hidung, lalu kembali ke dalam rongga hidung melalui
cabang di foramen insisivus untuk memperdari septum anterior. Arteri sfenopalatina
masuk ke dalam rongga hidung dekat dengan perlekatan posterior konka media untuk
memperdarahi dinding lateral hidung dan bercabang lagi untuk memperdarahi septum.
3
Arteri etmoidalis anterior yang lebih besar meninggalkan orbit melalui foramen
etmoidalis anterior. Arteri etmoidalis anterior dan posterior menyebrangi atap etmoid
untuk masuk fossa kranialis anterior lalu turun ke dalam rongga hidung melalui
lempengan kribiformis, di sini mereka bercabang menjadi cabang lateral dan septal
untuk memperdarahi dinding lateral hidung dan septum.
Bagian atas
A. etmoidalis rongga hidung
anterior
A. karotis Mempe Dinding lateral
A. oftalmikus
interna
A. etmoidalis rdarahi hidung
posterior
Septum anterior
A. palatina
desenden
A. maksilaris Bagian bawah
interna rongga hidung
A. Mempe
A. karotis sfenopalatina rdarahi Dinding lateral
eksterna
hidung
A. labialis
A. fasialis
superior Septum anterior
4
Anatomi perdarahan dalam rongga hidung
5
Patofisiologi
Pendarahan biasanya terjadi ketika mukosa ter-erosi dan pembuluh darah
menjadi terpajan kemudian pecah.
Lebih dari 90% pendarahan terjadi di daerah anterior dan berasal dari area
Little dimana terbentuk pleksus Kiesselbach di septum. Pleksus Kiesselbach adalah
dimana pembuluh dari Arteri karotis interna (Arteri etmoidalis anterior dan posterior)
dan eksterna (cabang Arteri maksilaris interna) berkumpul. Pendarahan kapiler atau
vena tersebut mengalir secara perlahan walaupun pemompaan darah yang besar pada
arteri asalnya. Pendarahan anterior dapat juga berasal dari konka inferior bagian
depan.
Etiologi
Penyebab epistaksis dapat dibagi menjadi kelainan lokal (trauma, iritasi
mukosa, obat-obatan, kelainan septum, peradangan, tumor, kelainan anatomi,
kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, dan pengaruh udara lingkungan),
kelainan sistemik (kelainan darah, penyakit kardiovaskuler, kelainan kongenital,
infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir, dan kelainan hormonal), dan idiopatik.
Penyebab tersering adalah trauma lokal, diikuti oleh trauma fasial, benda asing,
infeksi nasal atau sinus, dan inhalasi udara kering yang berkepanjangan. Anak kecil
biasanya mengalami epistaksis karena iritasi lokal atau infeksi saluran nafas atas.
1. Trauma
Trauma yang disebabkan diri sendiri karena mengorek hidung terus-
menerus dapat menyebabkan ulserasi dan pendarahan septum anterior.
Skenario ini sering terjadi pada anak kecil. Benda asing di rongga hidung
(nasogastric tube dan nasotracheal tube) dapat juga menyebabkan epistaksis
walaupun jarang. Trauma ringan dapat juga disebabkan karena benturan
ringan, bersin, atau mengeluarkan ingus terlalu keras.
6
Trauma akut fasial dan nasal sering menyebabkan epistaksis.
Pendarahan yang berasal dari laserasi minor pada mukosa biasanya terbatas.
Namun, trauma fasial yang lebih luas atau berat (kena pukul, jatuh, kecelakaan
lalu lintas) dapat menyebabkan pendarahan berat yang memerlukan tampon
nasal. Pada pasien tersebut, epistaksis tertunda dapat menandakan adanya
aneurisma traumatik.
Trauma nasal dapat terjadi karena benda asing yang tajam atau trauma
pembedahan, oleh karena itu pasien yang akan menjalankan operasi nasal
perlu diingatkan potensi terjadinya epistaksis. Pendarahan pada trauma nasal
dapat berkisar dari minor (karena laserasi mukosa) hingga berat (karena
transeksi pembuluh darah besar). Spina septum yang tajam dapat juga
menyebabkan epistaksis, pendarahan dapat terjadi di tempat spina itu sendiri
atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka itu sedang membengkak.
2. Udara Kering
Kelembapan udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa,
oleh karena itu epistaksis lebih lazim pada iklim kering dan saat cuaca dingin
dimana sistem pemanas rumah akan menyebabkan dehumidifikasi mukosa
nasal.
3. Obat-obatan
Obat-obatan nasal topikal seperti anti-histamin dan kortikosteroid
dapat menyebabkan iritasi mukosa, terutama ketika digunakan langsung ke
septum nasal daripada dinding lateral sehingga dapat menyebabkan epistaksis.
Obat-obatan seperti nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), terutama
aspirin juga sering terlibat karena aspirin menyebabkan asetilasi dari enzim
cylooxygenase secara ireversibel sehingga berdampak pada gangguan agregasi
platelet.
4. Kelainan Septum
Deviasi dan taji septum nasi dapat mengganggu aliran udara nasal
sehingga menyebabkan kekeringan dan epistaksis. Lokasi pendarahan
biasanya terletak di depan taji pada sebagian besar pasien. Ujung dari
perforasi septum sering mengandung permukaan keras dan menjadi sumber
epistaksis.
5. Inflamasi / Infeksi Lokal
7
Rinosinusitis bakteri, virus, dan alergi dapat menyebabkan inflamasi
mukosa sehingga terjadi epistaksis. Pendarahan pada kasus ini biasanya ringan
dan sering muncul sebagai bercak darah pada sekret nasal.
Penyakit granulomatosa seperti sarkoidosis, granulomatosis Wegener,
tuberkulosis, sifilis, dan rinoskleroma sering menyebabkan mukosa menjadi
kering dan rapuh sehingga menjadi penyebab epistaksis berulang.
Bayi dengan gastroesophageal reflux (GERD) ke hidung dapat
mengalami epistaksis karena inflamasi.
6. Tumor
Tumor jinak dan ganas dapat bermanifestasi epistaksis. Pasien yang
terkena dapat juga mengalami tanda dan gejala sumbatan nasal dan
rhinosinusitis, seringnya unilateral. Epistaksis berat dapat timbul pada
hemangioma, karsinoma, dan angiofibroma. Rabdomiosarkoma intranasal,
walaupun jarang, sering mulai di nasal, orbital, atau area sinus pada anak kecil.
Angiofibroma nasal juvenilis pada remaja laki-laki dapat menyebabkan
epistaksis berat sebagai gejala awalnya.
7. Kelainan darah
Koagulopati kongenital harus dicurigai pada individu dengan riwayat
keluarga positif, mudah lebam, atau pendarahan yang lama dari trauma ringan
atau pembedahan. Contoh kelainan pendarahan kongenital adalah hemofilia
dan penyakit von Willebrand.
Koagulopati yang didapat bisa primer (karena penyakit) atau sekunder
(karena perawatannya). Koagulopati didapat yang sering adalah
trombositopenia dan penyakit liver yang disertai pengurangan signifikan dari
faktor-faktor pembekuan darah. Walaupun tanpa penyakit liver, peminum
alkohol sering berhubungan dengan koagulopati dan epistaksis. Obat
antikoagulan oral juga menjadi faktor resiko epistaksis.
8. Kelainan pembuluh darah
Pembuluh darah yang arteriosklerotik dipertimbangkan sebagai
penyebab prevalensi epistaksis yang tinggi pada orang usia lanjut.
Hereditary hemorrhagic telangiectasia (HHT; Osler-Weber-Rendu
Syndrome) adalah penyakit autosomal dominan yang berhubungan dengan
pendarahan berulang dari anomali pembuluh darah. kondisi ini dapat
berdampak pada pembuluh darah mulai dari kapiler hingga arteri,
8
menyebabkan pembentukan telangiektasia dan malformasi arteri-vena.
Pemeriksaan patologi dari lesi ini mengungkapkan kurangnya elastisitas atau
jaringan muskular pada dinding pembuluh darah, sehingga pendarahan dapat
terjadi dengan mudah dari trauma ringan dan cenderung tidak berhenti spontan.
Berbagai sistem organ seperti pernafasan, gastrointestinal, dan alat kelamin-
saluran kencing dapat terlibat. Derajat keparahan epistaksis pada individual
tersebut beragam tapi hampir semuanya berulang.
Kelainan pembuluh darah lainnya yang memiliki faktor resiko
epistaksis adalah neoplasma pembuluh darah, aneurisma, nefritis kronis,
sirosis hepatis, diabetes mellitus, dan endometriosis.
9. Migrain
Anak kecil dengan migrain memiliki angka kejadian yang lebih tinggi
untuk epistaksis berulang daripada yang tanpa migrain. Pleksus Kiesselbach,
yang merupakan bagian dari sistem trigeminovaskular, telah terlibat dalam
patogenesis migrain.
10. Hipertensi
Hubungan antara hipertensi dan epistaksis sering disalahpahami.
Pasien dengan epistaksis sering muncul dengan tekanan darah yang tinggi.
Epistaksis lebih sering pada pasien hipertensi, yang mungkin dikarenakan
kerapuhan vaskular karena penyakitnya yang kronis.
Hipertensi walaupun demikian, jarang menjadi penyebab langsung
epistaksis. Umumnya, epistaksis disertai kegelisahan menyebabkan
peningkatan akut tekanan darah. Penanganannya, oleh karena itu, harus
difokuskan pada pengendalian pendarahan dan mengurangi kegelisahan yang
ditujukan untuk menurunkan tekanan darah.
Batuk berlebihan yang menyebabkan hipertensi vena nasal dapat
diperhatikan pada pertusis atau cystic fibrosis.
11. Infeksi Sistemik
Demam berdarah sering menyebabkan epistaksis, penyakit lainnya adalah
demam tifoid, influensa, dan morbili.
12. Gangguan hormonal
Epistaksis dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena pengaruh
perubahan hormonal.
13. Idiopatik
9
Penyebab epistaksis tidak selalu langsung dapat dikenali. Sekitar 10% pasien
epistaksis tidak dapat diketahui penyebabnya walaupun setelah dilakukan
evaluasi lengkap.
Epidemiologi
Frekuensi epistaksis sulit ditentukan karena sebagian besar kejadiannya
sembuh dengan perawatan oleh diri sendiri sehingga tidak terlaporkan. Tetapi, ketika
beberapa sumber ditinjau, angka kejadian epistaksis dalam populasi umum sekitar
60%, dengan kurang dari 10% yang mencari pertolongan medis.
Distribusi umur bersifat bimodal, dengan puncak pada anak kecil (2-10 tahun)
dan individu usia lanjut (50-80 tahun). Epistaksis jarang pada bayi yang tanpa
penyakit koagulopati atau patologi nasal (atresia koanal, neoplasma). Trauma lokal
(mengorek hidung) tidak terjadi hingga nanti pada usia balita. Anak yang lebih tua
dan remaja juga memiliki angka kejadian yang rendah. Harus dipikirkan penggunaan
kokain pada anak remaja.
Prognosis
Untuk sebagian besar populasi, epistaksis dianggap hanyalah gangguan ringan.
Tetapi, masalah ini kadang-kadang dapat mengancam nyawa, terutama pada pasien
usia lanjut dan pasien dengan masalah kesehatan. Untungnya, kematian jarang dan
biasanya karena komplikasi dari hipovolemia, dengan pendarahan berat atau keadaan
penyakit penyebabnya.
Pasien dengan epistaksis yang terjadi karena membran kering atau trauma
ringan biasanya baik-baik saja, tanpa dampak jangka panjang. Pasien dengan HHT
cenderung mengalami rekurensi yang banyak walaupun telah dilakukan pengobatan.
10
Pasien dengan pendarahan karena masalah hematologi atau kanker memiliki
prognosis yang beragam. Pasien yang telah menjalankan tampon nasal adalah subjek
dalam peningkatan morbiditas. Tampon posterior dapat menyebabkan sumbatan jalan
nafas dan depresi pernafasan. Tampon di manapun dapat menyebabkan infeksi.
11
PRESENTASI KLINIS
Anamnesa
Pasien sering menyatakan bahwa pendarahan berasal dari bagian depan dan
belakang hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya
pendarahan atau pada bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah.
Pada anamnesis harus ditanyakan secara spesifik mengenai beratnya
pendarahan, frekuensi, lamanya pendarahan, dan riwayat pendarahan hidung
sebelumnya. Perlu ditanyakan juga mengenai kelainan pada kepala dan leher yang
berkaitan dengan gejala-gejala yang terjadi pada hidung. Bila perlu, ditanyakan juga
mengenai kondisi kesehatan pasien secara umum yang berkaitan dengan pendarahan,
misalnya : riwayat darah tinggi, arteriosklerosis, koagulopati, riwayat pendarahan
yang memanjang setelah dilakukan operasi kecil, riwayat penggunaan obat-obatan
seperti koumarin, NSAID, aspirin, warfarin, heparin, ticlopidin, serta kebiasaan
merokok, dan minum minuman keras.
Pemeriksaan Fisik
Untuk pemeriksaan yang adekuat, pasien harus ditempatkan dalam posisi dan
ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja, dan harus cukup sesuai untuk
mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung. Dengan spekulum, hidung
dibuk, lalu dengan alat penghisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung, baik
cairan, sekret, maupun darah yang sudah membeku. Sesudah dibersihkan semua
lapangan dalam hidung, diobservasi untuk mencari tempat, dan faktor-faktor
penyebab pendarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi
dengan larutan anastesi lokal seperti pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang
ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan
membuat vasokonstriksi pembuluh darah, sehingga perdarahan dapat berhenti untuk
sementara. Sesudah 10-15 menit, kapas dalam hidung dikeluarkan, dan evaluasi dapat
dilakukan.
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung
yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien
dengan perdarahan hidung yang prioritas utamanya adalah menghentikan perdarahan.
Pemeriksaan yang diperlukan berupa :
12
a. Rhinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior.
Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung, dan konka
inferior harus diperiksa dengan cermat.
b. Rhinoskopi posterior.
Pemeriksaan nasofaring dengan rhinoskopi posterior penting pada pasien
dengan epistaksis berulang.
Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari epistaksis atau sebagai
akibat dari penanganan yang dilakukan. Akibat dari epistaksis yang hebat dapat
terjadi syok dan anemia. Turunnya tekanan darah yang mendadak dapat
menimbulkan iskemi serebri, insufisiensi koroner, dan infark miokard. Hal-hal
inilah yang menyebabkan kematian. Bila terjadi hal seperti ini, maka
penatalaksanaan terhadap syok harus segera dilakukan. Komplikasi lain yang juga
dapat ditemukan diantaranya: hematom atau perfoasi septum, deformitas hidung,
nekrosis mukosa hidung, dan aspirasi.
13
DIAGNOSIS BANDING
Rinitis Alergi
Kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan
tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
Gelaja yang dialami penderita rhinitis alergi adalah serangan bersin berulang
lebih dari lima kali dalam satu serangan. Rinorea yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, kadang disertai lakrimasi. Tidak ada demam.
Gejala sering tidak lengkap. Reaksi inflamasi yang ditimbulkan rinitis alergi juga
dapat menyebabkan epistaksis.
Gejala spesifik lain pada anak-anak bila penyakit telah berlangsung lama (>2
tahun) adalah bayangan gelap didaerah bawah mata (allergic shinner) akibat stasis
vena sekunder karena obstruksi hidung. Anak sering menggosok-gosok hidung
dengan punggung tangan (allergic salute). Lama-lama akan mengakibatkan timbul
garis melintang di dorsum nasi sepertiga bawah (allergic crease).
Sering disertai penyakit alergi lainnya seperti asma, urtikaria atau eksim.
Pada rinoskopi anterior didapatkan mukosa edema, basah, pucat atau livid,
disertai banyak sekret encer. Diluar serangan, mukosa kembali normal, kecuali bila
telah berlangsung lama.
Sinusitis
Merupakan infeksi pada sinus yang dapat disebabkan oleh infeksi, alergi,
ataupun autoimun. Reaksi inflamasi sinusitis yang sering, terutama pada sinusitis
kronis, dapat menyebabkan epistaksis.
Infeksi sinus lebih lanjut diklasifikasikan menjadi akut, sub akut dan kronis,
tergantung pada durasi dari kondisi. Siusitis akut (mendadak) berlangsung selama
kurang dari 4 minggu, sub-akut selama sekitar 4-6 minggu, dan kronis (jangka
panjang) sinusitis biasanya berlangsung selama lebih dari 12 minggu
14
Hidung tersumbat dengan lendir hijau atau kuning, yang dapat mengalir di
bagian belakang hidung ke tenggorokan dan dapat menyebabkan sakit
tenggorokan dan batuk
Demam
Sakit pada kepala dan wajah
Sakit pada telinga
Sakit pada gigi dan rahang atas
Sinusitis frontal dapat menyebabkan rasa sakit tepat di atas alis dan dahi
Sinusitis maksilaris dapat menyebabkan rahang atas, gigi dan pipi terasa sakit
Sinusitis etmoidalis dapat menyebabkan sakit di sekitar mata dan sisi hidung.
Sinusitis sfenoidalis dapat menyebabkan sakit di sekitar mata dan di bagian
atas kepala
Trauma
Trauma dapat menyebabkan pendarahan pada hidung. Trauma ini dapat dibagi
dalam trauma ringan (mengorek rongga hidung, bersin yang terlalu kuat) ataupun
trauma hebat (dipukul, kecelakaan). Barotrauma juga dapat menyebabkan pendarahan
karena adanya perubahan tekanan udara atau atmosfir (scuba, landas pesawat terbang).
Gejala yang dapat timbul adalah adanya epistaksis, bau tidak sedap, bersin,
atau rasa sakit. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan nasal dengan
spekulum. Pemeriksaan radiologi juga dapat dilakukan untuk membantu
mengidentifikasi benda yang masuk, dimana kebanyakan NFBs adalah radiolusen,
dengan benda metalik dan yang mengandung kalsium sebagai pengecualian.
Tumor
Pendarahan pada rongga hidung dapat terjadi karena adanya tumor intranasal
seperti hemangioma, karsinoma, angiofibroma, dan lainnya. Gejala lain yang dapat
15
timbul adalah adanya rinorea, sakit kepala, benjolan/nyeri/baal pada daerah sekitar
hidung, wajah, leher dan lainnya, gangguan penglihatan, dan nyeri pada daerah sinus.
Pemeriksaan yang bisa dilakukan adalah melihat adanya benjolan pada daerah
sekitar hidung, kepala, dan leher, pembesaran kelenjar limfa, pemeriksaan radiologi
kepala, leher, dan dada, nasoskopi, dan biopsi jaringan.
Endometriosis Nasal
Kondisi dimana sel dari dinding uterus (endometrium) tumbuh pada bagian
tubuh lainnya. Endometriosis dapat juga muncul pada bagian nasal yang disebut
sebagai endometriosis nasal.
Pada DIC, biasanya diagnosa dapat ditegakkan dengan menilai ada atau
tidaknya trombositopenia, prothrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin
time (APTT) yang memanjang, konsentrasi fibrinogen yang rendah, dan
bertambahnya fibrin degradation products (D-Dimer).
16
Epistaksis yang spontan dan rekuren
Multiple Telangiecstasia pada berbagai macam lokasi
AVM pada visera yang telah terbukti (paru, hati, otak, vertebra)
Keluarga utama dengan HHT
Jika 3 dari 4 ada, maka pasien dipastikan menderita HHT. Juga 2 dari 4 ada, maka
pasien dicurigai menderita HHT.
Hemofilia
Kelainan genetik yang ditandai dengan ketidakmampuan tubuh untuk
melakukan pembekuan dan koagulasi darah. Hemofilia dibagi menjadi hemophilia A
yang ditandai dengan adanya defisiensi faktor VIII, dan hemofilia B yang ditandai
dengan defisiensi dari faktor IX.
Gen vWF terletak pada kromosom dua belas . Jenis 1 dan 2 yang diwariskan
sebagai sifat dominan autosomal dan tipe 3 diwariskan sebagai resesif autosomal.
Kadang-kadang tipe 2 juga mewarisi resesif.
17
Willebrand Factor). Pemeriksaan Bleeding time dan APTT akan menunjukkan adanya
perpanjangan.
Toksisitas Antikoagulan
Golongan obat-obatan yang berfungsi untuk menghambat koagulasi darah.
Toksisitas antikoagulan yang terutama disebabkan oleh Warfarin (Coumadin) yang
merupakan derivat dari Coumarin yang dapat ditemukan dari berbagai macam
tanaman. Rodentisida antikoagulan juga dapat menyebabkan gangguan pendarahan
dengan menghambat siklus vitamin K sehingga mengambat faktor koagulasi II
(prothrombin) dan VII (proconvertin).
18
PENATALAKSANAAN
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan awal berupa visualisasi langsung yang dilengkapi sumber cahaya
yang baik, spekulum nasal, dan penyedot nasal seharusnya sudah cukup pada
sebagian besar pasien sehingga pada sebagian besar kasus, pemeriksaan penunjang
tidak diperlukan atau tidak membantu pada epistaksis untuk yang pertama kalinya
atau jarang berulang dan disertai dengan riwayat mengorek hidung atau trauma
terhadap hidung. Tetapi, pemeriksaan penunjang diperlukan bila terjadi pendarahan
hebat atau dicurigai terdapat koagulopati.
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menilai kondisi pasien dan
masalah medis penyebab epistaksis, biasanya tidak dilakukan bila pendarahan
bersifat minor dan tidak berulang. Bila terdapat riwayat pendarahan berat yang
berulang, kelainan platelet, atau neoplasia, dilakukan pemeriksaan darah
lengkap. Bleeding time adalah pemeriksaan skrining yang baik untuk
kecurigaan terdapatnya kelainan pendarahan. Pemeriksaan International
Normalized Ratio (INR) atau prothrombin time (PT) dilakukan bila pasien
dicurigai mengkonsumsi warfarin atau menderita penyakit liver.
2. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan CT scan (Computed Tomography Scanning) atau MRI
(Magnetic Resonance Imaging) diindikasikan untuk menilai anatomi dan
menentukan kehadiran dan perluasan dari rinosinusitis, benda asing, dan
neoplasma.
3. Nasofaringoskopi
Pemeriksaan ini dapat dilakukan bila tumor dicurigai sebagai penyebab
pendarahan.
Pengobatan
19
dengan epistaksis berulang dan atau berat dimana pengobatan gagal termasuk
pemasangan tampon posterior, dapat dilakukan ligasi arteri atau embolisasi.
Pendekatan medis untuk pengobatan epistaksis adalah:
Obat penghilang nyeri yang cukup pada pasien dengan tampon, terutama
tampon posterior
Antibiotik oral dan topikal untuk mencegah rinosinusitis dan toxic shock
syndrome
Menghindari aspirin dan NSAIDs lainnya
Pengobatan untuk mengontrol penyakit penyebabnya (hipertensi, defisiensi
vitamin K) disertai konsultasi dengan dokter spesialis lainnya.
20
b) Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, pendarahan dapat
dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping
hidung ditekan ke arah septum selama 10-15 menit (metode Trotter).
21
Teknik Pemasangan Tampon Bellocq
22
Apabila usaha pengobatan di atas gagal menghentikan pendarahan, dapat
dilakukan ligasi arteri. Pemilihan pembuluh darah yang diligasi tergantung dari lokasi
epistaksis. Secara umum, semakin dekat ligasi terhadap lokasi pendarahan, semakin
efektif prosedur yang dilakukan. Ligasi biasanya dilakukan pada arteri karotis
eksternal, atau maksilaris interna, atau etmoidalis. Ligasi arteri karotiks eksternal
dilakukan melalui insisi horizontal yang dilakukan di antara tulang hyoid dan batas
superior kartilago tiroid. Ligasi arteri maksilaris interna memiliki angka kesuksesan
yang lebih tinggi daripada ligasi arteri karotis eksterna karena letak intervensinya
yang lebih jauh, biasanya diakses secara transantral melalui pendekatan Caldwell-Luc.
Bila pendarahan terjadi di lokasi yang lebih tinggi/atap nasal, lebih baik dilakukan
ligasi arteri etmoidalis anterior dan atau posterior melalui insisi etmoidektomi
eksternal.
Pendarahan dari sistem arteri karotis eksterna dapat juga dikontrol dengan
embolisasi, sebagai modalitas utama pada kandidat yang kurang baik untuk dibedah
ataupun pengobatan sekunder pada mereka dengan operasi yang gagal. Sebelum
embolisasi, dilakukan dulu angiografi untuk memeriksa kehadiran hubungan yang
tidak aman antara sistem arteri karotis interna dan eksterna. Embolisasi selektif pada
23
arteri maksilaris interna dan kadang-kadang pada arteri fasialis. Angiografi pasca
embolisasi dilakukan untuk menilai derajat oklusi.
Pengobatan Farmakologi
Terapi farmakologi hanya berperan sebagai pengobatan suportif dalam menangani
pasien dengan epistaksis.
1. Vasokonstriktor topikal
Obat tersebut bekerja pada reseptor alfa adrenergik pada mukosa nasal
yang menyebabkan vasokonstriksi.
Oxymetazoline 0.05% (Afrin) dioleskan langsung pada membran
mukosa nasal, dimana akan menstimulasi reseptor alfa adrenergik dan
menyebabkan vasokonstriksi. Dekongesi terjadi tanpa perubahan drastis pada
tekanan darah, distribusi vaskular, atau stimulasi jantung. Oxymetazoline
dapat dikombinasi dengan lidokain 4% untuk memberikan efek anestesi dan
vasokonstriksi nasal yang efektif. Dosis 2 tetes atau semprotan per kavum nasi
sebanyak 2 kali sehari, dosis maksimum adalah 2 kali dosis anjuran per 24 jam
dan durasi maksimum adalah 3-5 hari.
2. Anestesi topikal
Ketika obat anestesi diberikan bersamaan dengan obat vasokonstriktor,
maka efek anestesinya akan diperpanjang dan ambang nyeri meningkat.
Lidokain 4% (xylocaine) mengurangi permeabilitas ion natrium di
membran neuronal, sehingga menghambat depolarisasi dan menghambat
transmisi impuls saraf. Dosis 1-3 mL setiap pemberian, dosis maksimum 3
mg/kg, tidak boleh diberikan dengan interval kurang dari 2 jam.
3. Salep antibiotik
Salep antibiotik digunakan untuk mencegah infeksi lokal dan
memberikan kelembapan lokal.
Salep mupirocin 2% (bactroban nasal) menghambat pertumbuhan
bakteri dengan mengambat RNA dan sintesis protein. dioleskan pada area
yang terkena tiga kali sehari.
24
4. Agen kauterisasi
Agen kauterisasi menggumpalkan protein sehingga mengurangi
pendarahan. Silver nitrat menggumpalkan protein dan membuang jaringan
granulasi juga mempunyai efek anti-bakteri. Kapas yang telah dililitkan pada
aplikator dicelupkan ke dalam larutan lalu dioleskan pada area yang terkena 2-
3 kali per minggu selama 2-3 minggu.
Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari epistaksis atau
sebagai akibat dari penanganan yang kita lakukan. Akibat pemasangan tampon
anterior dapat timbul rinosinusitis (karena ostium sinus tersumbat), air mata
yang berdarah (bloody tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui
duktus nasolakrimalis, septikemia, toxic shock syndrome, sinekia, dan
gangguan fungsi tuba eustachius. Akibat pemasangan tampon posterior dapat
timbul otitis media, hematotimpanum, disfagia, sinekia, toxic shock syndrome,
gangguan fungsi tuba, disfagia, hipoventilasi, mati mendadak, serta laserasi
palatum mole dan sudut bibit bila benang yang dikeluarkan melalui mulut
terlalu kencang ditarik. Komplikasi akibat kauterisasi adalah sinekia dan
perforasi septum. Komplikasi akibat ligasi arteri maksilaris interna transantral
adalah resiko anestesi, rinosinusitis, fistula oroantral, anestesia infraorbital, dan
trauma dental. Sedangkan komplikasi akibat ligasi arteri maksilaris internal
transoral adalah resiko anestesia, anestesia pipi, trismus, dan pareestesia lidah.
Komplikasi akibat ligasi arteri etmoidalis anterior atau posterior adalah resiko
anestesi, rinosinusitis, trauma duktus lakrimalis, dan kebutaan. Komplikasi
akibat embolisasi adalah nyeri pada wajah, trismus, paralisis wajah, nekrosis
kulit, kebutaan, dan stroke.
Edukasi Pasien
Tindakan pencegahan berikut harus disampaikan kepada pasien:
25
4. Tidak menggunakan manipulasi jari pada nasal
5. Menghindari makanan panas dan pedas
6. Menghindari mandi dengan air panas
7. Menghindari aspirin dan NSAIDs lainnya
Berikut adalah instruksi sederhana untuk perawatan epistaksis oleh diri sendiri yang
harus diberitahukan:
26
DAFTAR PUSTAKA
Soepardi, Sp.THT, Prof. Dr. Efiaty Arsyad, Prof. Dr. Nurbaiti Iskandar, Sp.THT, Prof.
Dr. Jenny Bashiruddin, Sp.THT, and DR. Dr. Ratna Dwi Restuti, Sp.THT.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi
Keenam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.
Higher Adams, Boeis. Boeis Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta : EGC, 1997.
"Paranasal Sinus and Nasal Cavity Cancer Treatment (PDQ®)." National Cancer
Institute.http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treatment/paranasalsinus/Pat
ient/page1.
27