Anda di halaman 1dari 3

Si Bodoh Tongtonge

Pendongeng | June 23, 2012 | Cerita Rakyat, Dongeng, Nusantara | 26 Comments

Tongtonge adalah seorang anak remaja yang lugu. Ia tidak pernah


sekolah. Sejak kecil ia hidup bersama ayahnya berpindah-pindah dari satu ladang ke ladang yang
lain. Ia tak pandai bekerja di sawah, apalagi di sawah yang selalu berlumpur. Lumpur bisa
merusak kaki. Itu alasannya. Oleh karena itu, ia tidak suka tinggal di kampungnya. Ia memilih
tinggal di ladang yang semakin lama semakin jauh dari kampungnya. Sesekali ia pulang
menjenguk ibunya yang sudah tua dan kurang pendengarannya.

Pada suatu hari, Tongtonge berhasil membuat “bubu” (alat menangkap ikan). Bubu itu
disimpannya di dekat pagar ladangnya. Karena sibuknya membenahi ladangnya, ia tidak sempat
ke sungai menangkap ikan dengan bubunya.

Suatu hari, Tongtonge ingin menangkap ikan di sungai. Kemudian, ia menuju tempat
penyimpanan di mana bubunya. Ternyata bubu itu telah habis dimakan anai-anai. Dengan nada
marah, ia berkata, “Simpan bubu dekat Pagar, bubu dimakan anai-anai, maka anai-anailah yang
saya ambil”. Dengan berkata demikian, maka dikumpulkanlah semua anai-anai yang ada di situ.
Anai-anai itu dibungkus dan dibawa menjenguk ibunya di kampung. Sampai di suatu tempat ia
beristirahat sejenak.

Karena kelelahan ia tertidur. Pada saat terbangun, ia segera mengambil bungkusannya yang
berisi anai-anai itu. Tetapi anai-anai itu telah habis dimakan ayam. la pun berkatalah, “Bubu
dimakan anai-anai, anai-anai dimakan ayam, maka ayamlah yang saya ambil.” Sambil berkata
demikian, ia menangkap ayam yang memakan anai-anai tersebut. Ayam itu lalu dibawanya
melanjutkan perjalanan. Sesampai di suatu pemukiman penduduk, ia berhenti. Ayam itu
dikepitnya kemana pun ia pergi. Melihat tingkah laku yang aneh itu, salah seorang penduduk
menegurnya, “Tongtonge, titipkan ayammu kepadaku, sementara engkau makan dan
beristirahat.”

“Terima kasih, tetapi hati-hati jangan sampai ayamku mati”.

“Jangan khawatir, nanti kalau ayammu mati saya ganti”.

Tak lama kemudian apa yang dikhawatirkan Tongtonge pun terjadi. Ayamnya mati terlimpa alu
penumbuk padi. Lalu, berkatalah si penumbuk padi, “Maaf Tongtonge ayammu mati tertimpa
alu. Nanti akan saya ganti dengan ayamku.
Tongtonge menjawab, “Oh tidak, itu tidak adil. Jika ayamku mati tertimpa alu, maka alu itulah
sebagai gantinya”. Lalu ia bergumam, “Bubu dimakan anai-anai, anai-anai dimakan ayam, ayam
mati terlimpa alu, maka alulah yang saya ambil”.

Setelah bergumam demikian, maka Tongtonge melanjutkan perjalanan dengan memikul alu.

Kampungnya masih jauh. Di tengah jalan, ia ditegur seorang penggembala sapi, “Hai anak muda
bolehkah Saya meminjam alumu untuk saya jadikan palang pintu kandang sapi-sapi saya.

“Boleh, tetapi harus hati-hati jangan sampai patah”.

“Kalau hanya itu saja syaratnya, kau boleh ambil salah satu dari seratus sapiku ini”.

Mereka telah bersepakat. Tongtonge ikut membantu memasang alu itu sebagai palang pintu.
Tidak lama kemudian, seekor sapi yang cukup besar lari dengan kencang menabrak palang pintu
tersebut. Apa yang dikhawatirkan pun terjadi. Alu itu patah. Tongtonge pun berkata,

“Bubu dimakan anai-anai, anai-anai dimakan ayam, ayam tertimpa alu, alu patah karena sapi,
maka sapilah yang saya ambil”.

Selesai berkata demikian, Tongtonge langsung menangkap sapi yang mematahkan alunya,
kemudian dituntunnya melanjutkan perjalanan menuju kampungnya. Siang itu, hari cukup terik.
Kampung yang dituju masih jauh. Maka Tongtonge pun beristirahat lagi. Sapinya ditambatkan di
bawah pohon nangka yang rindang. Bau nangka masak tercium olehnya. Lalu, ia memanjat
pohon nangka dan memetik yang telah masak. Pohon itu ridak ada yang punya, karena tidak
terletak di dalam pagar. Ia makan dengan lahapnya buah nangka yang ternyata sangat manis.
Karena kekenyangan, ia tertidur. Sementara tertidur, angin bertiup agak kencang. Banyak buah
nangka masak yang jatuh. Sebuah nangka yang cukup besar jatuh, menimpa sapi yang tertambat
di bawahnya. Sapi itu mati seketika.

Tongtonge bergumam pula, “Simpan bubu dekat pagar, bubu dimakan anai-anai, anai-anai
dimakan ayam, ayam mati tertimpa alu, alu patah oleh sapi, sapi mati tertimpa nangka, maka
nangkalah yang saya ambil”.

Setelah itu, Tongtonge memungut nangka Yang menimpa sapinya, lalu melanjutkan perjalanan.
Karena nangka itu cukup berat, ia perlu beristirahat. Sampailah ia di sebuah gubug. Di gubug itu
tinggal seorang gadis yang cantik. Gadis itu mengajak Tongtonge beristirahat, dengan maksud
ditawari makan nangka oleh Tongtonge. Akan tetapi, Tongtonge tidak bermaksud memakan
buah nangka itu. Buah nangka itu untuk ibunya. Tongtonge menitipkan nangkanya kepada gadis
itu, sementara ia mandi. Gadis itu tidak dapat menahan seleranya. Nangka itu pun dikupas dan
dimakannya.

Sekembalinya dari kali, Tongtonge sangat kecewa karena nangka itu telah dimakan oleh sang
gadis. Ia pun berkata dalam hati, “Diriku memang sial, bubu disimpan dekat pagar, bubu
dimakan anai-anai, anai-anai dimakan ayam, ayam mati tertimpa alu, alu patah oleh sapi, sapi
mati tertimpa nangka, nangka dimakan gadis, maka gadis inilah yang saya ambil.”
Tongtonge kemudian menyiapkan dua buah keranjang. Keranjang yang satu untuk sang gadis,
yang satu diisi batu agar seimbang.

Tongtonge melanjutkan perjalanan menuju kampung halamannya dengan memikul seorang gadis
cantik. Di tengah jalan ia berhenti mau buang air besar. Gadis di keranjang berkata, “Tongtonge,
kalau mau buang air besar jauh-jauhlah dari sini. Cari sungai, kalau di dekat sini, nanti saya bisa
pingsan mencium kotoranmu.” Tongtonge pun pergi mencari kali untuk buang air besar.
Sementara itu, si gadis turun dari keranjang, lalu mencari batang kayu dan batu ditaruh di
keranjang mengganti dirinya. Lalu, ia lari kembali ke kampungnya. Sementara itu, Tongtonge
telah kembali.

Tanpa periksa, segeralah ia mengangkat keranjang itu. Dengan semangat yang menyala, ia ingin
segera menyampaikan berita gembira kepada ibunya, bahwa ia telah membawa gadis cantik
calon istrinya.

Tidak terasa kampungnya semakin dekat. Rumahnya mulai tampak. Ia bergegas, semakin dekat,
walaupun penuh keringat. Dengan tidak sabar ia memanggil ibunya, “Ibu! Ibu! Calon menantu
ibu telah datang!”

Mendengar suara Tongtonge, ia menyahut dari dalam, “Kalau batu dan batang taruh saja di
bawah kolong rumah.” Sambil berkata demikian, ibunya membuka pintu. “Apa yang kau bawa
ini Tongtonge?” tanya ibunya. “Ini calon menantu Ibu,” jawab Tongtonge sambil menunjuk
salah satu keranjang.

“Ooo…. batu batang,” jawab ibunya.

“Menantu Ibu datang!” teriak Tongtonge agak keras, sambil mendekatkan mulutnya ke telinga
ibunya.

“Kalau begitu mengapa engkau tidak membukanya!” lanjut ibunya. Ternyata…, benarlah kata
ibunya, setelah keranjang itu dibuka, isinya hanya batu dan batang pohon. Lemaslah Tongtonge
merenungi nasibnya.

Tongtonge adalah lambang kebodohan, akibat tidak sekolah. Oleh karena itu, sekolah sangat
penting. Dengan bersekolah, kita memperoleh berbagai pengetahuan dan keterampilan yang
menyebabkan kita tidak mudah dibodohi orang

Anda mungkin juga menyukai