105 766 1 DR
105 766 1 DR
ABSTRAK
Suatu penelitian telah dilakukan untuk mengetahui kondisi tubuh dan kinerja
reproduksi induk sapi Bali pada periode breeding dengan sistem pemeliharaan intensif
(intensive management). Sebanyak 13 induk sapi Bali dipelihara dalam 1 kandang
kelompok bersama 1 ekor pejantan. Sstem perkawinan yang diterapkan adalah perkawinan
secara alam, pejantan dilepas bersama induk dalam 1 kandang secara terus menerus. Pakan
konsentrat yang diberikan 1,5% dari bobot badan ternak dan hijauan/rumput secara ad
bilitum. Parameter yang diamati antara lain kondisi tubuh induk (BCS), berahi pertama
setelah melahirkan (post-partum estrus), tingkat kebuntingan dan service perconception
(S/C). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbaikan managemen pada periode breeding
setelah kelahiran :1) dapat memperbaiki kondisi induk setelah melahirkan dengan BCS
5,40,8 menjadi 6,31,0 selama 3 bulan pemeliharaan dengan sistem intensif dan 6,70,8
selama 6 bulan pertama pemeliharaan. Post-partum estrus pertama 64,531,5 hari. Tingkat
kebuntingan 53,8% dengan S/C 2,20,5 selama 3 bulan pemeliharaan dan 100% tingkat
kebuntingan dengan S/C 2,50,8 selama 6 bulan pemeliharaan.
Kata Kunci: Skor Kondisi Tubuh Induk (BCS), Post-partum esterus, Tingkat
Kebuntingan, Service perconception (S/C), managemen intensif,
Produktifitas, sapi Bali.
1
PENDAHULUAN
Sapi Bali merupakan ternak asli Indonesia yang banyak dipelihara oleh petani di
Sulawesi Selatan. Hal tersebut disebabkan bangsa sapi ini memiliki beberapa keunggulan
antara lain, tidak selektif dan mampu memanfaatkan pakan yang berkualitas rendah,
memiliki tingkat adaptasi terhadap lingkungan yang cukup tinggi bahkan dapat hidup dan
berproduksi baik di lahan kritis sedangkan bangsa sapi lainnya tidak demikian (Murtidjo,
1990 dan Baco, 2010), dan mempunyai persentase karkas tinggi, daging yang sedikit
lemak serta keempukan dagingnya tidak kalah dengan daging sapi impor (Ngadiyono,
1997). Dengan demikian sapi Bali dapat memberikan kontribusi penting dalam
peningkatan kesejahteraan masyarakat sehingga sapi Bali dijadikan komoditas unggulan
Sulawesi Selatan pada bidang peternakan. Bahkan Pemda Sulsel menargetkan
pertumbuhan populasi pada tahun 2013 sebesar 1 juta ekor melalui Program Aksi
Pencapaian Sejuta ekor sapi untuk mendukung Program Swasembada Daging (PSDS)
tahun 2014 dan Program Nasional Kecukupan Daging yang telah dicanangkan oleh
pemerintah (Anonim, 2009). Bahkan diwacanakan dilakukan gerakan pencapaian populasi
2 juta ekor pada tahun 2015. Dengan melihat kondisi dan penampilan sapi Bali di Sulawesi
Selatan saat ini oleh beberapa peneliti telah mensinyalir bahwa sapi Bali terjadi penurunan
mutu genetik dan produktifitasnya (Sonjaya dan Abustam, 1993). Hal ini dapat dilihat
bahwa sangat sulit untuk mendapatkan sapi bibit betina dengan tinggi pundak melebihi dari
104 cm. Penurunan performansi sapi Bali mungkin disebabkan karena faktor bibit yaitu
terjadinya inbreeding (silang dalam) dan tidak adanya pejantan unggul di dalam kelompok
ternak masyarakat yang digunakan sebagai pemacek sehingga terjadi perkawinan acak
tanpa kontrol dalam kelompok (Baco, 2000 dan 2001). Selain itu, manajemen penanganan
induk pada saat musim breeding atau kawin juga kurang mendapat perhatian dengan baik.
Namun demikian hasil penelitian Baco dan Rahim (2007) tentang analisis keragaman
genetik sapi Bali di Sulawesi Selatan menunjukkan keragaman genetik masih tinggi. Hal
ini memberikan indikasi bahwa sangat memungkin perbaikan performans dan produktifitas
sapi Bali melalui perbaikan genetik dan lingkungan atau manajemen. Secara teoritis bahwa
penentu tingkat produktifitas dan performans ternak adalah faktor genetik (ternak) dan
lingkungan (pakan, manajemen pemeliharaan, kesehatan, iklim dan sebagainya).
Pada umumnya manajemen pemeliharaan sapi Bali di masyarakat masih bersifat
tradisional dan akibatnya produktifitas ternak rendah. Dengan sistem pemeliharaan seperti
itu, tidak mampu mengekspoitasi potensi ternak meskipun secara genetik ternak tersebut
memiliki potensi produktifitas tinggi (Wello dan Ismartoyo, 2010; Baco, 2011a). Survei di
lapangan menunjukkan bahwa tingkat kebuntingan ternak sapi di peternakan rakyat masih
rendah 20 – 40%, umur melahirkan pertama 3 – 4 tahun, interval kelahiran panjang 1,5 – 2
tahun dan berat sapih pedet rendah 70 – 80 kg bahkan tingkat kematian pedet sangat tinggi
(30 – 50%). Jika dibanding dengan potensi sapi Bali, produktifitas tersebut masih sangat
rendah (Baco, 2010). Hal ini didasari atas pengalaman penulis melakukan kajian-kajian
pendahuluan di Laboratorium Ternak Potong Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin,
terlihat bahwa sapi Bali yang dipelihara secara Semi-Intensif di Laboratorium Ternak
Potong Unhas hasil sementara menunjukkan tingkat kebuntingan dan kelahiran dapat
mencapai 95% (Baco, 2011b), akan tetapi tingkat kematian pedet masih tinggi 20 -30% dan
pertumbuhan pedet sebelum sapih rendah 0,1 – 0,2 kg per ekor per hari. Hasil sementara
dari pengalaman pengelolaan di Laboratorium Ternak Potong tersebut yaitu;1)Dengan
perbaikan manajemen melalui pola pemeliharaan Semi-Intensif dengan pemberian pakan
tambahan dengan hanya dedak padi secara terbatas sudah dapat meningkatkan tingkat
kebuntingan dan kelahiran pedet tetapi belum mampu menekan tingkat kematian pedet 0 –
2
3%, 2) Pertumbuhan pedet sebelum sapih masih rendah sehingga berat pedet pada saat
sapihan (weaning weigth) rendah pula, dengan demikian waktu pubertas, bunting dan
kelahiran pertama tertunda, interval kelahiran menjadi panjang, akibatnya biaya produksi
menjadi tinggi dan tidak efisien.
Dengan melihat permasalahan tersebut di atas dapat diduga bahwa salah satu
penyebabnya adalah kualitas pakan ternak dan pola manajemen yang diterapkan. Oleh
karena itu perlu dilakukan penelitian bagaimana pengaruh perbaikan manajemen melalui
perbaikan pakan terhadap tingkat produktifitas dan performans sapi Bali yang dipelihara
secara Intensif?. Dengan perbaikan pakan pada saat periode breeding diharapkan tingkat
produktifitas induk meningkat, maka percepatan penyapihan dengan berat pedet yang
tinggi tercapai, sehingga umur pembiakan pertama dan umur kelahiran pertama (firt
calving age) lebih cepat atau lebih muda. Dengan demikian terjadi efisiensi biaya produksi
sehingga peternak mendapatkan keuntungan yang optimal.
Tujuan Penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh perbaikan manajemen melalui
perbaikan pakan periode breeding terhadap BCS induk, produktifitas sapi Bali yang
dipelihara secara intensif.
3
dari berat badan pedet sedangkan hijauan diberikan secara ad-libitum. Komposisi bahan
pakan konsentrat pada penelitian dapat dilihat pada Tabel 1. Untuk melihat bagaimana
pengaruh perlakuan maka dilakukan pengukuran pada awal, setelah 3 bulan pertama dan 6
bulan perlakuan.
Parameter Penelitian adalah body condition score (BCS), bobot badan induk setelah
kelahiran/periode breeding, estrus pertama setelah kelahiran (post-partum estrus), tingkat
kebuntingan dan service preconception (S/C).
BCS diukur berdasarkan penilaian kuantitatif yaitu nilai 1 (sangat kurus) sampai 9
(sangat gemuk/obesitas). Tingkat kebunting ditentukan jika ternak betina tidak berahi
kembali pada jadwal berikut setelah kawin (no return estrus). Selanjutnya monitoring
kebuntingan tetap dilakukan sampai terjadi kelahiran pedet atau anak.
Data yang diperoleh dianalisis dengan metode analisis parametrik dan non-
parametrik. Parameter dengan jenis data kuantitatif interval atau rasio dianalisis dengan
menggunakan t-test. Sedang parameter dengan data kuantitatif nominal atau data kualitatif
dianalisis dengan analisis deskritif. Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini juga
dilakukan pembandingan dengan data-data yang diperoleh dari penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya, yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan produktifitas sapi Bali
dari pengaruh perbaikan pakan.
Pengolahan data menggunakan komputer paket program SPSS Versi 12 for
Windows (Anonim, 2009).
4
mengalami peningkatan dari 192,3 kg menjadi 200,3 kg selama 6 bulan pemeliharaan
dengan perbaikan managemen/pakan dalam kandang. Peningkatan bobot badan tersebut
dalam periode 6 bulan pertama breeding sebesar 4%, dan nampaknya bahwa meningkatnya
bobot badan tersebut mungkin hanya karena akibat dari perbaikan kondisi pada induk
setelah kelahiran atau pertumbuhan awal embrio pada periode kebunting awal induk sapi.
Hal ini merupakan indikasi yang baik pada awal kebuntingan ternak dalam breeding.
5
kebuntingan yang diperoleh dari penelitian ini lebih tinggi dibanding dengan tingkat
kebunting pada sapi Bali yang ditemukan di masyarakat petani dengan system tradisional
denga tingkat kebuntingan 37% (Baco, et al., 2013) dan sapi Peranakan Onggole 40
66% (Affandhy, dkk. 2008; Montoya, et al., 2013).
SIMPULAN
SANWACANA
Affandhy, L., D. Pamungkas dan D. Ratnawati. 2008. Respons reproduksi sapi potong
induk pada umur penyapihan pedet berbeda di kondisi peternakan rakyat di
lahan kering. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. 132-136.
Anonim. 2009. Panduan Lengkap SPPS 12,0 for Windows. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Anomim. 2009. Sulawesi Selatan dalam Angka tahun 2008. Badan Pusat Statistik,
Sulawesi Selatan.
Baco, S. 2000. Genetic Parameters for Performance Traits of Bali Cattle on Smallholders
in South Sulawesi. Laporan Penelitian URGE Dikti.
Baco, S. 2001. Perbandingan Bobot Badan dan Beberapa Ukuran Dimensi Tubuh Sapi
Bali Betina yang Dipelihara Secara Ekstensif pada Daerah Dataran Rendah dan
Pegunungan Di Kabupaten Bone. Laporan Penelitian Proyek DPP Universitas
Hasanuddin.
6
Baco, S., dan L. Rahim. 2007. Analisis Keragaman Genetik Sapi Bali Di Sulawesi
Selatan Berdasarkan Perbedaan Performans dan Topografi Menggunakan
RAPD-PCR. Laporan Penelitian Fundamental DIKTI.
Baco, S. 2010. Performansi sapi Bali pada Kawasan Instalasi populasi dasar Breeding
Center di Kabupaten Bone. Prosiding Seminar Nasional Peternakan. Hal. 236 -
245.
Baco, S., R. Malaka dan L. Rahim. 2010. Kesamaan Genetik dalam dan antar Populasi
Sapi Bali dan Persilangannya Di Sulawesi Selatan Berdasarkan Analisis
Polymerase Chain Reaction-Random Amplified Polymorphic DNA (PCR-
RAPD). Laporan Penelitian Stranas-Dikti.
Baco, S. 2011a. Konservasi Sapi Bali sebagai Plasma Nutfah Ternak Indonesia. Buletin
Peternakan. 40 : 12 – 21.
Baco, S. 2011b. Arah dan strategi pengembangan sapi bali secara berkelanjutan. Buletin
Peternakan. 42 : 1 – 8.
Baco, S., M. Yusuf, B. Wello and M. Hatta. 2013. Current status of reproductive
management in Bali cows in South Sulawesi Province, Indonesia. Open J.
Forestry. Vol. 3 (4B) : 2 – 6. http://dx.doi.org/10.4236/ojf.2013.34B002.
Lalman, D.L., D.H. Keisler, J.E. Williams, E.J. Scholljegerdes and D.M. Mallet. 1997.
Influence of postpartum weight and body condition score change on duration
of anestrus by undernourished suckled beef heifers. J. Anim. Sci., 75 (8):
2003–2008.
Montoya, E.S., R.B. Rosales and T.R. Cortes. 2013. Reproductive trend in Cebu cattle
grazing rice crop residues in Colombian tropical dry forest. Open J. Forestry.
Vol. 3 (4B) : 7 – 12. http://dx.doi.org/10.4236/ojf.2013.34B003.
Ngadiyono, N. 1997. Kinerja dan Prospek Sapi Bali di Indonesia. Seminar Environmental
Pollution and Natural Product and Bali Cattle in Regional Denpasar, Bali.
Pratiwi, W.C., L. Affandhy dan D. Ratnawati. 2008. Pengaruh umur penyapihan terhadap
performans induk dan pertumbuhan pedet sapi potong di kandang kelompok.
Prosiding Semnar Nasional Sapi Potong. Palu, : 115-122.
Sonjaya, H. dan E. Abustam. 1993. Penampilan dan kondisi peternakan sapi Bali di
daerah pedesaan Propinsi Sulawesi Selatan. Bull. Ilmu Peternakan dan
Perikanan Vol. II (6) : 54-71.
Spitzer, J.C., D.G. Morrison, R.P. Wettemann and L.C. Faulkner. 1995. Reproductive
responses, calf birth and weaning weight as affected by body condition at
7
parturition and postpertum weight gain in primiparous beef cows. J. Anim.sci.,
73: 1251-1257.
Wello, B. dan Ismartoyo. 2010. Strategi Peningkatan Populasi dan Mutu Genetik Sapi
Bali di Sulawesi Selatan. [terhubung berkala]. http://disnaksulsel.info/index.
php?option=com_docman&task=doc.(28 Agustus 2010).
8
9
8
7
Body Condition Score
6
5
(BCS)
4 6,3 6,7
3
5,4
1,0 0,8
2 0,8
1
0
Awal P-1 P-2
Gambar 1. Body Condition Score (BCS) selama perlakuan (Awal: BCS awal
penelitian/setelah kelahiran, P-1: Penilaian 3 bulan pemeliharaan/breeding
dan P-2 : 6 bulan pemeliharaan)
250
200
Berat Badan (kg)
150
192,3 196,7 200,3
100
16,0 19,8 19,3
50
0
Awal P-1 P-2
9
100
75
Post-partus Estrus
50
(hari)
64,5
47,1
25
31,5
12,7
0
Intensif Semi-Intensif
Tabel 2. Tingkat Kebuntingan Induk sapi Bali, Frequensi Estrus dan Servis Perconception
(S/C)
No Status Frequenci (%) Freq-Estrus S/C
3 Bulan Pemeliharaan/Breeding
1. Bunting 53,8 2–3 2,20,5
2. Belum Bunting 46,2 1–2
6 Bulan Pemeliharaan/Breeding
1. Bunting 100 2–4 2,50,8
2. Tidak Bunting - -
10
11