Tugas Wangi Fikih

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 11

Pengertian FIKIH

Fikih (Bahasa Arab: ‫ ;ﻓﻘﻪ‬transliterasi: Fiqh) adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara
khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan
pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya. Beberapa ulama fikih seperti
Imam Abu Hanifah mendefinisikan fikih sebagai pengetahuan seorang muslim tentang kewajiban dan
haknya sebagai hamba Allah.

Fikih membahas tentang cara beribadah, prinsip Rukun Islam, dan hubungan antar manusia sesuai yang
tersurat dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Dalam Islam, terdapat empat seperti ilmu tentang hukum alam,
seperti gaya gravitasi bumi. Dari "al-amaliyyah" (bersifat praktis, diamalkan), ilmu tentang hukum-
hukum syari'at yang bersifat keyakinan atau akidah, ilmu tentang ini dikenal dengan ilmu kalam atau
ilmu tauhid. Dari "at-tafshiliyyah" (bersifat terperinci), ilmu tentang hukum-hukum syari'at yang didapat
dari dalil-dalilnya yang "ijmali" (global),mazhab dari Sunni yang mempelajari tentang fikih. Seseorang
yang sudah menguasai ilmu fikih disebut Fakih.

Etimologi

Dalam bahasa Arab, secara harfiah fikih berarti pemahaman yang mendalam terhadap suatu hal.
Beberapa ulama memberikan penguraian bahwa arti fikih secara terminologi yaitu merupakan ilmu yang
mendalami hukum Islam yang diperoleh melalui dalil di Al-Qur'an dan Sunnah. Selain itu fikih
merupakan ilmu yang juga membahas hukum syar'iyyah dan hubungannya dengan kehidupan manusia
sehari-hari, baik itu dalam ibadah maupun dalam muamalah. Dalam ungkapan lain, sebagaimana
dijelaskan dalam sekian banyak literatur, bahwa fiqh adalah "al-ilmu bil-ahkam asy-syar'iyyah al-
amaliyyah al-muktasab min adillatiha at-tafshiliyyah", ilmu tentang hukum-hukum syari'ah praktis yang
digali dari Fiqih menurut bahasa bermakna : tahu dan paham, sedangkan menurut istilah, banyak ahli
fiqih (fuqoha’) mendefinisikan berbeda-beda tetapi mempuyai tujuan yang sama diantaranya :

Ulma’ Hanafi mendifinisikan fiqih adalah :

‫ت اْل ُحﻘُ ْوقٌَ يُبَيِِّنٌُ ع ِْل ٌم‬ ِ ‫ق الَّتِي َواْ َلو‬


ٌِ ‫اجبَآ‬ ٌُ َّ‫ل تَتَعَل‬
ٌِ ‫اْل ُم َكلَّ ِفيْنٌَ بِأ َ ْﻓعَآ‬

“Ilmu yang menerangkan segala hak dan kewajiban yang berhubungan amalan para mukalaf”.

Sedangkan menurut pengikut Asy Syafi’i mengatakan bahwa fiqih (ilmu fiqih) itu ialah :

ٌ‫َام يُبَ ِيِّنٌُ الَّذِي الع ِْل ُم‬


ٌَ ‫ل َحْ ك‬ َّ ‫ق الَّتِي ال‬
ٌ ‫ش ْر ِعيَّ ٌةَ ا‬ ٌُ َّ‫ل تَت َ َعل‬
ٌِ ‫ظ ٌِة اْل ُم َكلَّ ِفيْنٌَ ِبأ َ ْﻓ َعآ‬ ٌْ ‫ص ْي ِليَّ ٌِة ا َ ِدلَّتِ َهآ م‬
َ ‫ِن اْل ُم ْست َ ْن ِب‬ ِ ‫الت َّ ْف‬

“ilmu yang menerangkan segala hukum agama yang berhubungan dengan pekerjaan para mukallaf, yang
dikeluarkan (diistimbatkan) dari dalil-dalil yang jelas (tafshili)”.

Sedangkan Jalalul Mahali mendifinisikan fiqih sebagai :

ٌ‫ش ْر ِعيَّ ٌة ُ الَحْ كَا ُم‬


َّ ‫ِن ال ُم ْكت َ ِسبَ ٌةُ العَ َم ِليَّ ٌةُ ال‬
ٌْ ‫ص ْي ِليَّ ٌِة ا َ ِدلَّتِ َهآ م‬
ِ ‫الت َ ْف‬
“ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan amaliyah yang diusahakan
memperolehnya dari dalil yang jelas (tafshili)”.

Sedangkan menurut Abdul Wahab Khallaf pengertian fiqih adalah :

“pengetahuan tentang hukum-hukum syariat Islam memngenahi perbuatan manusia, yang diambil dari
dalil-dalilnya secara rinci”.

Jadi dapat disimpulkan dari difinisi-definisi di atas, fiqih adalah : ilmu yang menjelaskan tentang hukum
syar’iyah yang berhubungan dengan segala tindakan manusia, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang
diambil dari nash-nash yang ada, atau dari mengistinbath dalil-dalil syariat Islam.

Dilihat dari segi ilmu pengetahuan yangg berkembang dalam kalangan ulama Islam, fiqih itu ialah ilmu
pengetahuan yang membiacarakan/ membahas/ memuat hukum-hukum Islam yang bersumber
bersumber pada Al-Qur’an, Al-Sunnah dalil-dalil Syar’i yang lain; setelah diformulasikan oleh para ulama
dengan mempergunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqih. Dengan demikian berarti bahwa fiqih itu merupakan
formulasi dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang berbentuk hukum amaliyah yang akan diamalkan oleh
ummatnya. Hukum itu berberntuk amaliyah yang akan diamalkan oleh setiap mukallaf (Mukallaf artinya
orang yang sudah dibebani/diberi tanggungjawab melaksanakan ajaran syari’at Islam dengan tanda-
tanda seperti baligh, berakal, sadar, sudah masuk Islam). dalil-dalilnya secara terperinci".

Sejarah Fikih

Masa Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam

Masa Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam ini juga disebut sebagai periode risalah, karena pada
masa-masa ini agama Islam baru didakwahkan. Pada periode ini, permasalahan fiqih diserahkan
sepenuhnya kepada Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam. Sumber hukum Islam saat itu adalah
wahyu dari Allah SWT serta perkataan dan perilaku Nabi SAW. Periode Risalah ini dapat dibagi menjadi
dua bagian, yaitu periode Makkah dan periode Madinah. Periode Makkah lebih tertuju pada permasalah
akidah, karena disinilah agama Islam pertama kali disebarkan. Ayat-ayat yang diwahyukan lebih banyak
pada masalah ketauhidan dan keimanan.

Setelah hijrah, barulah ayat-ayat yang mewahyukan perintah untuk melakukan puasa, zakat dan haji
diturunkan secara bertahap. Ayat-ayat ini diwahyukan ketika muncul sebuah permasalahan, seperti
kasus seorang wanita yang diceraikan secara sepihak oleh suaminya, dan kemudian turun wahyu dalam
surah Al-Mujadilah. Pada periode Madinah ini, ijtihad mulai diterapkan , walaupun pada akhirnya akan
kembali pada wahyu Allah kepada Nabi Muhammad saw.

Masa Awal Pertumbuhan Fikih

Masa ini berlangsung sejak berkuasanya Mu'awiyah bin Abi Sufyan sampai sekitar abad ke-2 Hijriah.
Rujukan dalam menghadapi suatu permasalahan masih tetap sama yaitu dengan Al-Qur'an, Sunnah dan
Ijtihad para faqih. Tapi, proses musyawarah para faqih yang menghasilkan ijtihad ini seringkali
terkendala disebabkan oleh tersebar luasnya para ulama di wilayah-wilayah yang direbut oleh
Kekhalifahan Islam.

Mulailah muncul perpecahan antara 7 Islam menjadi tiga golongan yaitu Sunni, Syiah, dan Khawarij.
Perpecahan ini berpengaruh besar pada ilmu fikih, karena akan muncul banyak sekali pandangan-
pandangan yang berbeda dari setiap faqih dari golongan tersebut. Masa ini juga diwarnai dengan
munculnya hadis-hadis palsu yang menyuburkan perbedaan pendapat antara faqih.

Pada masa ini, para faqih seperti Ibnu Mas'ud mulai menggunakan nalar dalam berijtihad. Ibnu Mas'ud
kala itu berada di daerah Iraq yang kebudayaannya berbeda dengan daerah Hijaz tempat Islam awalnya
bermula. Umar bin Khattab pernah menggunakan pola yang dimana mementingkan kemaslahatan umat
dibandingkan dengan keterikatan akan makna harfiah dari kitab suci, dan dipakai oleh para faqih
termasuk Ibnu Mas'ud untuk memberi ijtihad di daerah di mana mereka berada

SEJARAH PERKEMBANGAN FIQH ( TARIKH TASYRI’)

Tarikh tasyri’ atau sejarah fiqih islam, pada hakekatnya, tumbuh dan berkembang dimasa Nabi sendiri,
karena Nabi lah yang mempunyai wewenang untuk mentasyri’kan hukum, dan berakhir dengan
wafatnya Nabi. Dan yang dimaksud masa kenabian yaitu masa dimana hidup Nabi Muhammad saw, dan
para sahabat yang bermula dari diturunkannya wahyu sampai berakhit dengan wafatnya Nabi pada
tahun 11H. Era ini merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan fiqih islam. Suatu masa turunnya
syariat islam dalam pengertian yang sebenarnya.

Turunnya syariat dalam proses munculnya hukum-hukum syariyah hanya terjadi pada era kenabian ini
Sebab syariat itu turun dari Allah dan itu berakhir degan turunnya wahyu setelah nabiwafat. Nabi sendiri
tidak punya kekuasaan untuk membuat hukum-hukum syar’iyah karena tugas seorang rosul hanya
menyampaikan hukum-hukum syar’iyah itu kepada umatnya.

Dari sini kita dapat memahami bahwa kerja para Fuqoha’ dan mujtahidin bukan membuat hukum tapi
mencari dan menyimpulkannya dari sumber-sumber hukum yang benar. Sumber-sumber hukumi slam
yang menjadi rujukan para mujtahidin dalam mencari hukum-hukum syariyah adalah wahyu, baik dari
al-Quran maupun as-Sunnah.

Sedangkan yang dimaksud dengan sejarah perkembangan fiqih islam (tasyri’) adalah ilmu yang
membahas tentang keadaan fiqih islam pada masa Rasulullah dan masa-masa sesudahnya, untuk
menentukan masa-masa terjadinya terjadinya hukum itu dan segala yang merupakan hukum, baik
berupa naskh, takhshis dan lain-lain, serta tentang keadaan fuqoha’ dan mujtahidin beserta hasil karya
mereka terhadap hukum-hukum itu.

3) PERIODESASI FIQH PADA MASA RASULULLAH

Fase ini bermula saat Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW membawa wahyu berupa Al-quran
ketika baginda sedang berada dalam Gua Hira pada hari jumat 17 Ramadhan tahun ketiga belas sebelum
hijrah bertepatan dengan tahun 610 M. wahyu terus turun pada baginda Rasulullah di Makah selama 13
tahun dan terus berlangsung ketika beliau berada di Madinah.
Terkadang wahyu turun kepada Nabi dalam bentuk Al-Quran yang merupakan kalam Allah dengan
makna dan lafalnya, dan terkadang dengan wahyu yang hanya berupa makna sementara lafalnya dari
Nabiatau yang kemudian termanifestasi dalam bentuk hadits. Dengan dua pusaka inilah perundang-
undangan islam ditetapkan dan ditentukan.Atas dasar ini, fiqh pada masa ini mengalami dua
periodesasi[3]:

A. Periode Mekah

Periode ini terhitung sejak diangkatnya baginda Rasulullah sebagai Rasul samapai beliau hijrah ke
Madinah. Periode ini berlangsung selama 13 tahun.

Perundang-undangan hukum Islam atau Fiqh pada periode ini lebih terfokuskan pada upaya
mempersiapkan masyarakat agar dapat menerima hukum-hukum agama, membersihkan aqidah dari
meyembah berhala kepada menyembah Allah.

Oleh sebab itu, wahyu pada periode ini turun untuk memberikan petunjuk dan arahan kepada manusia
atas dua perkara utama:

Mengokohkan aqidah yang benar dalam jiwa atas dasar iman kepada Allah, dan bukan untuk yang
lain, beriman kepada malaikat, kitab-kitab, Rasul,takdir Allah dan hari akhir.

Membentuk akhlak manusia agar memiliki sifat yang mulia dan menjauhkan dari sifat yang tercela.

B. Periode Madinah

Periode ini berlangsung sejak hijrah Rasulullah dari mekkah hingga beliau wafat. Periode ini berjalan
selama 10 tahun.Pada periode ini fiqh lebih menitikberatkan pada aspek hukum-hukum praktikal dan
dakwah islamiyah pada fase ini membahas tentang akidah dan akhlak. Oleh sebab itu perlu adanya
perundang-undangan yang mengatur tentang kondisi masyarakat dari tiap aspek, satu persatu ia turun
sebagai jawaban terhadap semua permasalahan, kesempatan, dan perkembangan.

Dalam masa inilah umat islam berkembang dengan pesatnya dan pengikutnya terus menerus
bertambah. Sehingga timbullah keperluasan untuk mengadakan syari’at dan peraturan-peraturan,
karena masyarakat membutuhkannya untuk mengatur perhubungan antara anggota masyarakat satu
dengan lainnya, baik dalam masa damai ataupun dalam masa perang.

Pada periode Madinah inilah turun ayat-ayat menerangkan hukum-hukum syar’iyah dari semua
persoalan yang dihadapi manusia, baik ibadat seperti salat, zakat, puasa, haji, dan muamalat seperti
aturan jual-beli, masalah kekeluargaan, kriminalitas hingga persoalan-persoalan ketata negaraan.
Dengan kata lain, periodeMadinah dapat pula disebut periode revolusi social dan politik.
Rekontruksisosial ini ditandai dengan penataan pranata-pranata kehidupan masyarakat Madinah yang
layak dan dilanjutkan dengan praktek-praktek pemerintahan yang dilakukan oleh Nabi saw, sehinngga
menampilkan islam sebagai suatu kekuatan politik.
Karena itulah surat-surat Madaniyah, seperti surat-surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa’, Al-Maidah, Al-
Anfal, At-Taubah, An-Nur, Al-Ahzab, banyak mengandung ayat-ayat hukum disamping megandung ayat-
ayat aqidah, akhlak, sejarah, dll.

Dalam proses perkembangan periode Madinah ini ada tiga aspek syaria’at yang perlu dijelaskan.
Pertama metode Nabis.a.w, kedua kerangka hukum syari’at. Ketiga turunnya syari’at secara bertahap
(periodik). Adapun aspek pertama yaitu metode Nabis.a.w dalam menerangkan hukum, Nabi sendiri
tidak banyak menerangkan apakah perbuatannya itu wajib atau sunnah, sebagaimana syarat dan
rukunnya dan lain sebagainya.
MisalnyaketikaNabisalatdanparasahabatmelihatsertamenirukannyatanpamenanyakansyaratdanrukunny

Kedua, kerangka hukum syariat. Ada hukum yang disyari’atkan untuk suatu persoalan yang dihadapi
oleh masyarakat, seperti bolehkah menggauli istri yang sedang udzur (haid)[4]. Ada juga hukum yang
disyariatkan tanpa didahului oleh pertanyaan dari sahabat atau tidak ada kaitannya dengan persoalan
yang mereka hadapi, seperti masalah ibadah dan hal-hal yang berkaitan dengan muamalat.

Ketiga, turunnya syari’at secara bertahap (periodik). Dalam tahap periodic ini syari’at terbagi dalam dua
hal, yaitu tahpan dalam menetapkan kesatuan hukum islam, seperti salat disyari’atkan pada malam isra’
mi’roj (satu tahun sebelum hijrah), adzan pada tahun pertama hijrah dan seterusnya. Yang kedua,
tahapan itu tidak sedikit terjadi pada satu perbuatan.Misalnya, salat awalnya diwajibkan dua rakaat saja,
kemudian setelah hijrah keMadinah empat rakaat, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim bahwa A’isyah berkata : ”Salat diwajibkan dua rakaat, kemudian Nabi hijrah maka menjadi
empat rakaat”
Fiqih dan Syari’ah

Fiqih dan Syari’ah; Ahmad Sarwat, Lc

Sumber fiqh adalah dalil-dalil yang dijadikan oleh syariat sebagai hujjah dalam pengambilan hukum.
Dalil-dalil ini sebagian disepakati oleh ulama sebagai sumber hukum, seperti Al Qur’an, Sunnah dan
Ijma’. Sebagian besar ulama juga menetapkan Qiyas sebagai sumber hukum ke empat setelah tiga
sumber di atas.

Di samping itu ada beberapa sumber lain yang merupakan sumber turunan dari sumber di atas, seprti
Istihsan, Masalihul mursalah, Urf, dan lain-lain. Perlu diketahui bahwa semua dalil-dalil yang ada
bersumber dan berdasarkan dari satu sumber; Al Quran. Karena Imam Syafi’i
mengatakan,”Sesungguhnya hokum-hukum Islam tidak diambil kecuali dari nash Al Quran atau makna
yang terkandung dalam nash.” Menurutnya, tidak ada hukum selain dari nash atau kandungan darinya.
Meski, Imam Syafi’i membatasi maksudnya “kandungan nash” hanya dengan qiyas saja. Sementara ahli
fiqh lainnya memperluas pengertian “kandungan nash”.

A.Sumber-sumber Pokok:

Selain Qiyas sumber-sumber pokok fiqh disepakati oleh para ulama fiqh sebagai dalil pengambilan
hukum.

1. Al Quran

Al Quran adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril. Menurut
ulama Ushul Al-qur’an adalah, “Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang ditulis
dalam mushhaf, berbahasa arab, dinukilkan kepada kita dengan jalan mutawatir, diawali dari surat Al-
Fatihah, diakhiri dengan surat An-Nas dan membacanya merupakan ibadah.

Al Quran menjelaskan rambu-rambu masalah akidah dengan secara rinci, namun masalah ibadah dan
hak-hak antar sesame dengan cara garis besar. Dalam syariat Islam Al Quran adalah undang-undang
dalam menetapkan aturan social. Ia sebagai tuntutan bagi Nabi saw. dan pengikutnya. Karenanya, ia
merupakan sumber utama dan pertama.

Banyak hukum-hukum mengenai ibadah dalam Al Quran disebutkan secara garis besar seperti hukum-
hukum shalat, puasa, zakat dan tidak dijelaskan secara cara melakukan shalat atau kadar yang
dikeluarkan dalam zakat. Penjelasan rinci mengenai hal-hal tersebut terdapat dalam Sunnah baik
dengan perkataan atau perbuatan Rasulullah saw.

Demikian hal dengan perintah Al Quran untuk memenuhi perjanjian dan akad serta halalnya jual beli
dan haram riba disebutkan secara garis besar. Dalam Al Quran tidak dijelaskan secara terperinci akad
dan traksaksi jual beli yang sah dan dibenarkan oleh syariat dan yang tidak dibenarkan.
Namun dalam beberapa hal, Al Quran memberikan penjelasan terperinci seperti masalah warisan,
mekanisme Li’an (suami yang menuduh istrinya melakukan zina tanpa bukti yang cukup), sebagian
hukuman hudud, perempuan yang haram dinikahi, dan beberapa hukum lainnya yang tidak berubah
sepanjang zaman.

Penguraian secara garis besar, terutama dalam masalah hukum-hukum muamalat social, system politik
membantu kita memahaminya dan memudahkan mempraktekknya dalam situasi yang berbeda dengan
tetap berpegang dengan pemahanan yang benar.

Penguraian garis besar juga menegaskan bahwa Al Quran dirinci oleh Rasulullah saw. dalam
menentukan mekanisme hukum, kadarnya, dan batasannya. Karenanya, Al Quran memberikan isyarat
tentang tugas Sunnah dalam hal ini

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah.” (Al Hasyr: 7)

Dari sini, maka sunnah adalah pintu masuk memahami Al Quran secara utuh.

2. As Sunnah:

Menurut ulama hadits Sunnah adalah, “Apa-apa yang datang dari Nabi saw. berupa perkataan,
perbuatan, persetujuan, sifat-sifat beliau baik sifat jasmani ataupun sifat akhlaq.

Sunnah merupakan sumber syariat Islam setelah Al Quran. Sunnah berfungsi merinci garis besar Al
Quran, menjelaskan yang musykil, membatasi yang muthlak, dan memberikan penjelasan hukum.
Sunnah juga merupakan sumber hukum independent (mustaqil) yang tidak ada hukumnya dalam Al
Quran seperti warisan untuk nenek yang dalam sunnah disebutkan mendapatkan warisan 1/6 dari harta
warisan.

Namun demikian Sunnah mengikut Al Quran sebagai penjelas sehingga sunnah tidak akan keluar dari
kaidah-kaidah umum dalam Al Quran. Maka memahami Sunnah secara umum merupakan susuatu yang
pasti dalam memahami Al Quran karena jika tidak kitab suci ini tidak mungkin bisa dipahami dan
dipraktikkan dengan benar.

Sunnah sampai ke kita dengan melalui jalan periwayatan secara berantai hingga ke Rasulullah saw.
Sebab masa kenabian sudah usai. Namun krediblititas agama dan moral para perawi (pembawa hadis)
itu sudah melalaui seleksi ketat oleh para ahli hadis. Sehingga keotentikan hadis dan kebenarannya
sudah melalui pembuktian yang ketat. Hadis shahih dan hasan saja yang bisa dijadikan sumber hukum.

Sementara hadis hadis yang berstatus lemah (dlaif), atau bahkan palsu (maudlu’) yang tidak bisa
dijadikan referensi dan sumber hukum syariat. Kitab-kitab hadits yang dijadikan sumber utama adalah
Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Kemudian kitab-kitab Sunan Abu Dawud, Sunan An Nasai, Sunan At
Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah. Disamping kitab Al Muwatta’ karangan Imam Malik dan Musnad Ahmad
karangan Imam Ahmad memiliki kedudukan penting bagi para ulama fiqh.
Jadi seorang ahli fiqh akan mencari dalil terlebih dahulu dari Al Quran kemudian dari Sunnah.
Diriwayatkan dalam sebuah hadis, Rasulullah saw bertanya kepada Muadz bin Jabal: Bagaimana kamu
memutuskan masalah yang kamu hadapi? Muadz: Saya memutuskan dengan kitab Allah. Rasulullah:
Bagaimana jika kamu tidak menemukan di dalamnya? Muadz: Dengan Sunnah Rasulullah,” Kepada
hakim Syuraih, Umar bin Khattab mengirim surat kepadanya yang berisi,”Hendaklah kamu memutuskan
dengan kitab Allah, jika tidak menemukan maka dengan Sunnah Rasulullah saw.”

3. Ijma’

Ijma’ adalah kesepakatan para ahli fiqh dalam sebuah periode tentang suatu masalah setelah wafatnya
Rasulullah saw tentang suatu urusan agama. Baik kesepakatan itu dilakukan oleh para ahli fiqh dari
sahabat setelah Rasulullah saw wafat atau oleh para ahli fiqh dari generasi sesudah mereka. Contohnya
ulama sepakat tentang kewajiban shalat lima waktu sehari semalam dan semua rukun Islam.

Ijma’ merupakan sumber hukum dalam syariat setelah Sunnah.

Menurut Imam Ibnu Taimiyah Ijma adalah, “Kesepakatan seluruh ulama Islam terhadap suatu masalah
dalam satu waktu. Apbila telah terjadi ijma’ seluruh mujtahidin terhadap suatu hukum, maka tidak boleh
bagi seseorang menyelisihi ijma trsebut, karena ummat (para mujtahidin) tidak mungkin bersepakat
terhadap kesesatan.

Sejumlah ayat dan sunnah menjelaskan bahwa Ijma’ adalah sumber dan hujjah dalam menetapkan
hukum. Allah berfirman:

“Barangsiapa yang durhaka kepada Rasul setelah petunjuk datang dan mengikuti jalan selain jalan
orang-orang beriman,” (An Nisa: 115)

Rasulullah saw. Bersabda,”Umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan,” dalam riwayat lain “…dalam
kesalahan,” Dalam hadis lain,”Apa yang menurut orang-orang Islam baik maka ia baik di sisi Allah dan
apa yang menurut mereka buruk maka buruk di sisi Allah,”

Di hadits lain disebutkan,

”Barangsiapa yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal saja maka ia telah melepaskan ikatannya dari
Islam”

Disamping itu Ijma’ dilakukan berdasarkan dalil di dalamnya sebab tidak mungkin ulama dalam masa
tertentu melakukan kesepakatan tanpa dalil syariat. Karenanya, para ulama mutaakhir (generasi
belakangan) ingin mengetahui Ijma’ maka yang dicari bukan dalil Ijma’ namun kebenaran adanya Ijma’
itu sendiri, apakah benar periwayatannya atau tidak.
4. Qiyas

Qiyas adalah menyamakan (menganalogikan) suatu perkara dengan perkara (yang sudah ada ketetapan
hukumnya) dalam hukum syariat kedua kedua perkara ini ada kesamaan illat (pemicu hukum). Menurut
ulama ushul qiyas adalah, “Memberlkukan suatu hukum yang sudah ada nashnya kepada hukum yang
tidak ada nashnya berdasarkan kesamaan illat. Contoh, Allah mengharamkan khamar karena
memabukan, maka segala makanan dan minuman yang memabukan hukumnya sama dengan khamar
yaitu haram.

Dibanding dengan Ijma’, Qiyas lebih banyak memberikan pengaruh dalam pengambilan hukum yang
dilakukan oleh para ulama fiqh. Ijma’ disyarakan harus disepakai semua ulama di suatu waktu dan
tempat tertenu. Sementara Qiyas tidak disyaratkan kesepakatan ulama fiqh. Masing-masing ulama
memiliki kebebasan untuk melakukan Qiyas dengan syarat-syarat yang sudah disepakati oleh para
ulama.

Kenapa harus ada Qiyas? Sebab teks-teks Al Quran dan Sunnah sangat terbatas, artinya tidak
keseluruhan masalah disebutkan hukumnya satu-satu persatu. Sementara kejadian-kejadian yang
membutuhkan kepastian hukum syariat dalam kehidupan manusia sanga banyak dan setiap hari muncul
kejadian-kejadian baru. Untuk memecahkan masalah itu diperlukan ijihad dari para ulama fiqh. Salah
satu methode ijtihad tersebut disebut dengan Qiyas.

Hukum-hukum jual beli misalnya, Al Quran dan Sunnah menyebutkan lebih banyak dibanding dengan
soal sewa menyewa. Maka para ahli fiqh kemudian melakukan Qiyas pada hukum-hukum sewa-
menyewa dengan hukum-hukum dalam masalah jual beli karena kedua masalah ini memiliki kesamaan;
dari sisi keduanya adalah transaksi jual beli barang dan jasa.

B. Sumber-sumber tabaiyah (turunan)

Disebut turunan karena sumber-sumber sesungguhnya diambil dan bermuara dari pemahaman baik
langsung atau tidak terhadap Al Quran dan Sunnah.

1. Masalih mursalah

Atau dikenal juga Istislah. Yang artinya; mengambil hukum suatu masalah berdasarkan kemasalahatan
(kebaikan) umum. Yaitu kemasalahatan yang oleh syariat tidak ditetapkan atau ditiadakan. Masuk dalam
masalah adalah menghindarkan kerusakan baik terhadap indifidu atau masyarakat dalam banyak
bidang.

Contoh maslahah mursalah adalah Umar bin Khatab dimasa kekhilafahannya membuat sebuah instansi
untuk menangani gaji para pasukan kaum muslimin. Kemudian muncul instansi lainnya untuk menangani
masalah-masalah lainnya.
Menurut sebagian ulama Mashlahatul Mursalah adalah, memelihara maksud Syara’ dengan jalan
menolak segala yang merusakan makhluk. Contohnya, menaiki bis atau pesawat ketika melaksanakan
ibadah haji walau itu tidak ada di zaman Rasulallah tidak tetapi boleh dilakkukan demi kemashlahatan
ummat. Contoh lain, mendirikan sekolah, madrasah untuk thalabul ilmi, tegasnya melakukan hal-hal
yang berhubungan dengan agama walau tidak ada di zaman Nabi boleh kita lakukan demi kemashlahatn
ummat yang merupakan tujuan di syaria’atkanya agama.

2. Istidlal

Menurut Ibnu Hazm istidlal adalah, “Mencari dalil dari ketetapan-ketetapan akal dan natijah-natijah
(kesimpulan) atau dari seorang yang lain yang mengetahuinya”.

Menurut ulama lain, Istidlal adalah, “Pertalian antara dua hukumtanpa menentukan illat (sebab)nya.
Misalnya, menentukan batalnya shalat kalau tidak menutup aurat, karena menutup aurat merupakan
syarat shahnya shalat.

Contoh lain, haramnya menjual daging babi karena termasuk membantu dalam kedurhakaan.

3. Istishhab

Istishhab adalah, menetapkan hukum yang berlaku sekarang atau yang akan datang berdasarkan
ketetapan hukum sebelumnya karena tidak ada yang merubahnya.

Misalnya, seseorang telah berwudlu, setelah beberapa saat ia ragu-ragu apakah ia sudah batal atau
belum, maka ketetapan hukum seblumnya yaitu sudah berwudlu bisa dijadikan dalil bahwa ia masih
punya wudlu. Sebagian ulama menamakan istishhab dengan “Baraatu Al-Dzimmah”.

4. Saddu Dzari’ah

Saddu Dzari’ah adalah, mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan untuk menolak kerusakan atau
menyumbat jalan yang menyampaikan seseorang kepada kerusakan. Contoh, diharamkan menanam
ganja atau opium untuk menutup kerusakan yang akan ditimbulkannya, yaitu orang-orang
menggunakannya untuk memabukkan. Contoh lain, membuat diskotik karena biasanya sebgai tempat
maksiat dan dosa.

5. Istihsan

Istihsan adalah berpindah dari suatu hukum dalam pandangannya kepada hukum yang berlawanan
karena ada suatu yang dianggap lebih kuat, dengan pertimbangan hukum yang baru lebih baik karena
kondisi dengan tanpa mengubah hukum asalnya, jika kondisi normal. Contohnya, orang yang mencuri di
musim paceklik atau musim kelaparan tidak dipotong tangannya karena dimungkinkan ia mencurinya
karena terpaksa.
6. ‘Urf

‘Urf atau kebiasaan adalah sesuatu yang biasa terjadi di kalangan kaum muslimin, misalnya jual beli yang
harusnya pakai ijab qobul, pada suatu kondisi tidak apa-apa jika kebiasaan masyarakat disana idak
melakukannya. Contoh lain, batasan safar yang membolehkan di qoshor shalat, tergantung kepada
kebiasan masyarakat menamakan istilah safar tersebut.

7. Syar’u man qoblana

Maksudnya adalah syariat umat sebelum nabi Muhammad diutus, namun syariat Muhammad tidak
menghapusnya dengan jelas. Selama tidak nash Al Quran dan hadis yang menjelaskan bahwa syariat itu
tidak dihapus maka ia termasuk syariat kita.

Anda mungkin juga menyukai