Anda di halaman 1dari 19

Tan Malaka dalam kemelut Sejarah

Tan Malaka: Pejuang Revolusioner yang Kesepian


Oleh Alfian

Suasana politik, di situ termasuk sikap yang diambil serta tingkah laku yang
diperlihatkan oleh mereka yang berkuasa, sering memberi kerumitan yang luar biasa dalam
mendudukkan seorang tokoh (apalagi kalau dia kontroversil) secara wajar, obyektif dan jujur.
Kecendrungan dari sebagian penting anggota masyarakat untuk berperangai ekstrim,
menyanjung tokoh yang disenangi secara berlebihan sampai kadang-kadang seolah
mendewakan, dan sebaliknya memperlakukan secara buruk atau dengki sekali tokoh yang
dimusuhi, tambah mempersulit lagi usaha buat mencari apalagi menegakkan secara obyektif
benar. Tan Malaka (lengkapnya Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka) yang menurut salah
satu sumber, lahir 2 Juni 1896 di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, dan
meninggal (lebih tepat mati terbunuh) secara tragis pada 19 Februari 1949 di dekat Kediri,
Jawa Timur, adalah salah seorang tokoh yang rumit itu. Bertambah rumit lagi karena tokoh
ini tak banyak yang mengenalnya dari dekat atau bertemu muka secara fisik. Dulu, sebagian
orang mungkin banyak mendengar tentang dia dari mulut ke mulut dalam berbagai versi, atau
membaca riwayat hidupnya yang dramatis – Dari Penjara ke Penjara – serta karya-karya
tulisnya yang lain. Itu semua rupanya cendrung untuk menjadikannya seorang tokoh
legendaris, manusia yang penuh misteri, yang rakyat banyak tak pernah melihat rupa dan
batang tubuhnya secara riil.
Tidaklah mengherankan kalau sewaktu dia muncul di rumah Ahmad Subardjo, di
Jakarta, pada permulaan revolusi (25 Agustus 1945) menyebabkan si tuan rumah amat
terperanjat karena dia mengira bahwa tamu dan teman yang pernah dikenalnya di Negeri
Belanda di permulaan tahun 1920-an ini sudah lama mati. Sewaktu Ahmadi Subardjo
membawa dan memperkenalkannya dengan elite politik Jakarta, seperti Sukarno, Hatta dan
Syahrir, pada hari-hari berikutnya tokoh ini, walaupun sudah lama mereka dengar, barangkali
baru pada waktu itulah mereka bertemu buat pertama kali. Bagi merekapun Tan Malaka
tampaknya lebih banyak merupakan seorang tokoh legendaris, dan karena baru kenal juga
masih merupakan orang asing. Suasana seperti itu tentu mempunyai pengaruh dalam
pergaulan dan hubungan politik mereka kemudian. Sebagai orang yang belum begitu kenal,
sulit bagi mereka untuk menerka siapa sebenarnya Tan Malaka ini dalam arti peta bumi
politik di permulaan revolusi itu. Sebaliknya, Tan Malaka yang lebih mengenal tokoh-tokoh
yang lebih tua seperti Semauan dan Tjokroaminoto, tentu menemui kerumitan pula dalam
memahami tokoh-tokoh yang lebih muda ini, walaupun perbedaan umurnya dengan mereka
tidaklah seberapa. Suasana revolusi yang tegang, kacau, serta komunikasi yang sulit
menambah sukar mereka untuk bisa lebih mengenal masing-masing secara lebih dekat dan
intim. Demikianlah, pada saat kemunculannya kembali secara terbuka dalam dunia politik
Indonesia, Tan Malaka menemukan dirinya sebagai seorang tokoh yang mengundang banyak
tanda tanya bagi mereka yang memegang kekuasaan pada waktu itu. Apalagi kalau dia
sampai dianggap pula sebagai seorang saingan berat bagi mereka yang berambisi dan ingin
memonopoli kekuasaan dan ketenaran. Walaupun bagaimana, usaha buat memahami grafik
perjuangan si revolusioner tua yang kesepian ini, terutama pada masa pemunculannya yang
terakhir, barangkali dapat dimulai dengan gambaran suasana tadi.

II
Suasana legendaris dan misteri yang dibawa Tan Malaka kadang-kadang
mengagumkan dan mengharumkan namanya, kadang-kadang diekploitir orang, kadang-
kadang mengundang kecurigaan yang bisa menodai reputasi atau mencelakakan dirinya.
Salah satu hal yang menjadikannya legendaris ialah karena seringnya dia muncul dengan
memakai nama samaran atau alias, yang menurut pengakuannya adalah karena keperluan
buat menghilangkan jejak sebagai buronan politik yang selalu diincer oleh spion atau intel
penguasa kolonial. Nama samaran biasanya dipakai buat keperluan memasuki negara baru
yang akan dijadikannya tempat bersembunyi atau bergerak, seperti dia memakai nama Elias
Fuentes sewaktu memasuki Manila dari Hongkong (1925-1927), Ong Soong Lee sewaktu
memasuki Hongkong dari Syanghai (1932), Ramli Husein sewaktu kembali ke Indonesia dari
Singapura melalui Penang terus ke Medan, Padang dan Jakarta (1942). Sewaktu bekerja di
pertambangan Jepang di Bayah, Banten, sampai permulaan revolusi dia memakai nama
samaran Ilyas Husein. Beberapa nama samarannya yang lain adalah Cheng Kun Tat, Eliseo
Rivera, dan Howard Law.
Kerjasama yang erat antara intel penguasa-penguasa kolonial (Belanda, Inggeris dan
Amerika Serikat) berhasil menjaring Tan Malaka sewaktu dia memasuki Manila dari
Hongkong sebagai mahasiswa Manila dari Hongkong sebagai mahasiswa Filipina dengan
nama samaran Elias Fuentes tanggal 12 Agustus 1927. Penangkapan itu dan proses
pemeriksaannya menjadi berita hangat koran-koran setempat. Kaum nasionalis Filipina dan
beberapa surat kabar terkemuka, jelas menunjukkan simpati mereka kepada nasibnya, antara
lain juga karena legenda dan misteri perjuangannya. Salah satu koran, The Tribune, menulis
komentar yang amat memuji perjuangan Tan Malaka dalam terbitannya tanggal 16 Agustus
1927. “Tan Malaka”, tulisnya, “muncul hari ini kepala setiap orang Filipina sebagai patriot
sejati, dan pada suatu ketika, kalau seandainya nasib buruk menimpa dirinya, sebagai martir
yang syahid dalam memperjuangkan kemerdekaan tanah airnya”. Tokoh ini disejajarkan
namanya dengan patriot Filipina angkatan Jose Rizal, dan oleh karena itu merupakan simbol
yang jelas dari “pergerakan nasionalis Jawa”.
Akan tetapi, penguasa kolonial akhirnya memutuskan untuk mendeportasikannya
dengan dalih bahwa dia memasuki Filipina secara tidak sah. Keputsannya ini memberi angin
kepada kekuatan yang tidak senang dengan perjuangannya buat mencemarkan namanya
secara berlebihan pula. Sebuah mingguan, Philippines Free Press, memuat tiga artikel
berturut-turut yang isinya bertolak belakang dengan sanjungan yang diberikan The Tribune di
atas. Dia ditelanjangi habis-habisan karena memakai nama samaran untuk masuk Filipina
secara misterius. Oleh karena dia memakai nama samaran itu, maka dianggap tidak pantaslah
dia disamakan dengan Jose Rizal, karena bapak nasionalis Filipina ini (berbeda dengan Tan
Malaka) tidak pernah memakai nama palsu atau berjuang secara terselubung.
Sungguhpun begitu, simpati yang cukup jelas diperlihatkan oleh kaum nasionalis
Filipina tampak berpengaruh terhadap keputusan yang relatif lunak, menderpotasikannya.
Sebenarnya, dalam pandangan penguasa kolonial Tan Malaka aalah orang yang amat
berbahaya. Untuk membuktikan itu mereka tidak mengalami kesulitan melalui kerjasama
yang erat buat mencari kegiatan-kegiatannya di masa lampau sebagai tokoh PKI dan agen
Komintern (Moskow). Suasana anti komunis yang keras pada waktu itu sudah cukup untuk
dipakai sebagai alasan bahwa dia berbahaya bagi keamanan dan kestabilan politik.
Dari sinopsis tadi dapat dilihat bahwa suasana legendaris dan misteri yang dibawa Tan
Malaka menyulitkan orang buat menilainya secara wajar dan obyektif. Di satu pihak ciri itu
mudah mengundang rasa kagum, sedang di pihak lain dan pada waktu yang sama ia juga
merupakan sumber yang mudah diekploitir buat mengembangkan rasa curiga dan dengki.
Dari semakin jelas bagaimana dia muncul sebagai salah seorang tokoh kontroversial, amat
sukar untuk diterka, ditelaah dan difahami.
Tan Malaka bukan saja tampak berhasil menjadikan dirinya sebagai sumber konflik
atau kontroversi, bahkan seluruh kehidupannya, termasuk kehidupan mentalnya , merupakan
pertarungan yang tak habis-habisnya dengan konflik. Riwayat hidupnya, bagaikan cerita
detektif. Riwayat hidupnya, bagaikan cerita detektif yang penuh ketegangan dan oleh karena
itu mengasyikkan kalau dibaca, penuh berisi perintaiannya dengan bahaya dan malapetaka.
Pada saat-saat yang amat kritis ia berhasil lolos, lepas, tetapi bahaya dan malapetaka baru
sudah menghadangnya pula di depan. Yang menarik ialah justru pada saat-saat yang amat
menegangkan itu kelihaian dan kehebatannya muncul, pemikiran-pemikirannya yang
berbobot lahir. Karya-karya tulisnya yang bernilai tercipta sewaktu organis tubuhnya
bertarung dengan kuman-kuman penyakit (dia mengidap tbc), atau sewaktu fisiknya
meringkuk dalam penjara, atau sewaktu dia harus menanggung dan menahan kemiskinan
yang menyengsarakan.
Konflik memberikan tantangan dan sekaligus rangsangan baginya, dan oleh karena itu
dia tampak menghadapinya dengan penuh gairah. Dia menemukan vitalitasnya yang tinggi
justru dalam suasana konflik. Itulah rupanya yang telah menjadikannya seorang revolusioner
yang tak kenal lelah, seorang pemikir yang aktif, seorang idealis tak kenal putus asa. Sejalan
dengan itu, kunci penting lain yang dapat dipakai untuk memahami tokoh ini ialah berusaha
melihatnya dalam suasana seperti itu. Dalam suasana konflik kita mungkin akan dapat lebih
mengerti siapa Tan Malaka sebenarnya.

III

Rudolf Mrazek dalam artikelnya (1972) tentang tokoh ini mencoba mempelajari Tan
Malaka melalui pendekatan “struktur pengalaman seorang personalitas politik”. Dengan
struktur pengalaman kira-kira dimaksudkannya totalitas pola-pola kebudayaan yang
terkumpul dalam diri seseorang melalui mana ia menghayati atau memahami apa-apa yang
terjadi di sekitarnya. Struktur pengalaman memberikan visi tertentu bagi seseorang tentang
bagaimana melihat dan mengartikan apa-apa yang berlaku. Seorang personalitas politik
mengkonsepsuilkan dirinya dan masyarakat melalui konsepsi yang sama dan sesuai dengan
visi (atau nilai-nilai) struktur pengalamannya, atau apa yang telah membudaya dalam dirinya.
Struktur pengalaman Tan Malaka, menurut Mrazek, adalah typis masyarakat
Minangkabau pada akhir abad yang lalu atau permulaan abad ini (abad 20) yang mempuyai
“dinamisme” dan “anti parokhialisme” sebagai ciri khasnya. Melalui struktur pengalaman ini
masyarakat Minangkabau mempunyai perspektif, yang sampai sekarang tampak masih kuat
dipegang, bahwa adat dan falsafah Minangkabau memandang konflik sebagai esensiil buat
mencapai dan mempertahankan perpaduan/integrasi masyarakat. Alam Minangkabau dilihat
melalui kacamata “dialektika” yang selalu mampu menemukan keserasian dalam suasana
kontradiksi. Kemampuan adat bertahan melawan perubahan zaman terletak keluwesannya
mengembangkan diri dalam menerima proses pembaruan. Dari segi bentuk adat
dipertahankan agar tetap tidak berubah, tetapi unsur-unsur baru dari luar yang dianggap baik
diterima dan dimasukkan ke dalamnya. Dalam hal ini kaitan yang erat antara adat dan agama
(Islam), umpamanya, dapat dilihat melalui perspektif itu. perspektif itu juga dipegang, atau
dipakai sebagai alasan rasionil, dalam memberikan respons terhadap kekuasaan kolonial dan
kebudayaan Barat. Demikianlah analisa Mrazek tentang masyarakat Minangkabau yang
umumnya didasarkannya atas karya ilmiah Taufik Abdullah.
Yang menarik perhatian ialah karena masyarakat Minangkabau berhasil
mengidealisasikan adat dan falsafah hidup mereka melalui perspektif dinamisme dan anti
parokhialisme itu, sehingga bukan saja tampak relevan dengan tetapi juga mendorong proses
kemajuan atau modernisasi. Tidaklah mengerankan kalau kaum cendikiawan Minangkabau
berpendidikan Barat pada pertukaran abad ini terundang untuk menerima dan memegang visi
itu, terutama karena melihat bahwa alam Minangkbau membuka diri terhadap perubahan-
perubahan sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, tetapi pada waktu yang sama
mampu pula mempertahankan karakter dan bentuknya yang asli. Oleh karena itu, pemasukan
unsur-unsur baru dari luar (yang dianggap baik tentunya) ke dalam alam atau masyarakat
mereka, tidaklah berarti merusak atau memperlemahkannya, melainkan justru memperkuat
dan memperkayanya. Pada waktu yang sama proses dinamis itu dengan sendirinya pula
menyingkirkan elemen-elemen yang terbukti lapuk atau usang dari alam itu sendiri.
Logikanya, alam atau adat Minangkabau mempunyai dinamika sendiri untuk mengambil
yang baik dari luar dan menyisihkan yang buruk dari dalam. Dalam dinamika itulah
kekuatannya terletak sehingga menjadikan dirinya tetap relevan dari zaman ke zaman.
Menurut Mrazek, Tan Malaka termasuk salah seorang cendikiawan Minangkabau yang
menerima visi atau idealisasi adat dan falsafah hidup masyarakat Minangkabau yang begitu.
Itulah landasan atau dasar struktur pengalamannya. Sikap, tingkah laku politik serta jalan
pemikirannya amat diwarnai oleh itu. Proses pemasukan unsur-unsur luar atau baru terutama
dimungkinkan oleh konsep “rantau”. Pergi merantau, menurut visi falsafah Minangkabau itu,
membuka mata warganya buat mengenal dunia luar yang luas di mana mereka akan menemui
hal-hal baru yang nanti akan dibawanya pulang. Pada waktu yang sama, karena berada di luar
alam Minangkabau si perantau akan mampu melihat diri dan peranannya secara lebih jelas
dalam konteks kepulangannya nanti. Dengan lain perkataan, si perantau betapa jauhpun dia
pergi pada suatu waktu akan kembali ke alamnya dengan segala bawaanya- harta ataupun
ilmu. Dia, karena sudah luas pengetahuannya, diharapkan akan memainkan peranan sebagai
juru penerang atau guru atau ulama sehingga masyrakatnya bisa ikut menerima apa yang baik
dari rantau dan melihat, lalu membuang, apa yang buruk dalam alam mereka sendiri. Di sini
jelas terlihat bahwa pengertian rantau bukan semata mencari uang dan harta, melainkan juga
menuntut ilmu atau mengaji. Ditarik lebih jauh, di samping merantau secara fisik, secara
mental (pemikiran) seseorang (dalam hal ini cendikiawan) juga bisa merantau. Berdasarkan
batasan ini, Tan Malaka adalah seorang perantau, baik secara fisik maupun secara mental.
Kedudukan perantau yang begitu mulia dalam masyarakatnya, dan juga karela
landasan struktur pengalamannya sendiri memperkuat atau membenarkan itu, maka Tan
Malaka melihat dirinya sebagai guru atau pembaharu masyarakatnya. Tingkah laku politik
serta pemikiran-pemikirannya juga tampak diwarnai oleh pemahaman peranan itu di dalam
dirinya.
Rantau pertama yang dialami Tan Malaka ialah ketika dia meninggalkan tempat
lahirnya pergi menuntut ilmu ke “Sekolah Raja” di Bukittinggi. Walaupun masih berada di
alam Minangkabau, tapi alam asalnya adalah Nagari Pandan Gadang. Sewaktu dia tamat
belajar di Bukittinggi ia diberi gelar Datuk Tan Malaka oleh kaum atau sukunya, sebagai
kepala adat mereka. Baginya yang masih berusia remaja itu pemberian gelar begitu tinggi
tentu berkaitan erat dengan ilmu yang diperolehnya di rantau, dan itu sekaligus membenarkan
serta memperkuat visi struktur pengalamannya di atas. Ia menjadi orang terpandang bukanlah
karena kebetulan, melainkan karena dinamika adat dan falsafah Minangkabau sendiri. Si
perantau yang sukses pulang ke kampung halaman buat menerima eluan kaumnya.
Tidak lama sesudah itu, dia pergi lagi melanjutkan studinya. Kali ini ke Negeri
Belanda, perantauan yang amat jauh bagi seorang anak muda yang baru berumur 16 tahun.
Walaupun landasan struktur pengalamannya relatif sama, namun ruang-lingkup alamnya
lambat laun berubah dari Nagari Pandan Gadang yang kecil meluas menjadi alam
Minangkabau dan kemudian Indonesia. Dengan lain perkataan, visi adat dan falsafah
Minangkabau yang dimilikinya dikembangkannya untuk memahami dan menginterpretasikan
permasalahan-permasalahan masyarakat Indonesia. Titik tolak dari pemikiran-pemikirannya
adalah visi atau perspektif yang berasal dari kebudayaan Minangkabau seperti dijelaskan tadi.
Hal ini jelas membekas dalam karya-karya tulisnya, terutama dalam karya terbaiknya
Madilog.
Visi adat dan falsafah Minangkabau di atas menuntut kepada warganya, terutama si
perantau, untuk mengkontraskan atau memperbandingkan dunia rantaunya dengan realitas
alam asalnya, karena hanya dengan jalan begitulah dia akan mampu melihat mana yang baik
dan mana yang buruk dari keduanya. Hal itu mengundang orang untuk berfikir kritis, dan itu
bisa terjadi dengan tajam kalau ada refrensi yang bisa dipakai sebagai pembanding. Alam
tempat asal adalah refrensi itu. Dari situ dapat pula dilihat bahwa visi itu sebenarnya
menekankan cara berfikir dialektis, dan oleh karena itu kontradiksi atau konflik dianggap
wajar, terutama karena difahami bahwa suasana kontradiksi atau konflik itu akan selalu dapat
diintegrasikan atau diselesaikan secara memuaskan atau harmonis melalui proses pemilihan
mana yang baik dan mana yang buruk. Keberhasilan dari pemilihan itu tergantung pada akal,
yaitu kemampuan berfikir secara rasionil. Kalau begitu, visi itu mendorong orang untuk
berfikir secara kritis, dinamis atau dialektis. Cara berfikir yang dikembangkan Tan Malaka,
yang dalam kamusnya dikenal dengan “thesis-antithesis-synthesis” tampak sesuai sekali
dengan visi di atas. Rantau bagi Tan Malaka adalah antithesis yang berkonflik dengan thesis
(alam sebagai refrensi asal), dan dari situ lahirlah synthesis-hasil pemikiran atau idealisme
baru- yang mendorong manusia untuk mengadakan perubahan-perubahan buat perbaikan
nasibnya. Dia mengembangkan cara berfikir begini secara luas dalam bukunya Madilog,
kependekan dari Materialisme, Dialektika dan Logika yang ditulisnya dalam tahun 1942-
1943. Pada esensinya, Madilog dimaksudkannya sebagai suatu “cara berfikir” baru yang
dapat dipakai untuk memerangi cara berfikir lama yang amat dipengaruhi oleh dunia mistik
atau takhyul yang menyebabkan orang menyerah kepada alam.
Walaupun Tan Malaka mengakui bahwa cara berfikir baru yang diperkenalkannya ini
banyak berasal dari dunia Barat yang rasionil, logis dan Marxis-Leninist, Mrazek justru
menunjukkan bahwa pada dasarnya itu berasal dari visi yang lahir dari struktur
pengalamannya yang sudah lama terbentuk oleh adat dan falsafah Minangkabau. Memang
Tan Malaka doyan sekali memakai terminologi Marxist-Leninist dalam karya-karyanya.
Tetapi, hal yang selalu ditekankannya berulang kali adalah “kekuatan ide (the power of
ideas) seagai perangsang perubahan sosial, bukan kekuatan dinamis dalam pertentangan
kelas.” Di samping itu, konsep-konsep yang dilontarkannya mempunyai pengertian sendiri
yang berbeda dengan apa yang lazim dimengerti orang Barat. Konsepnya tentang
materialisme, umpamanya, tidak identik dengan pengertian yang biasanya berlaku di Barat.
Bagi Tan Malaka, materialisme adalah “cara berfikir” yang realistis, pragmatis dan fleksibel.
Orang yang berfikir dengan cara materialisme ini terutama memusatkan perhatiannya pada
apa yang dekat dengannya, apa yang mempengaruhi kehidupannya secara langsung. Orang
yang begitu melandaskan kegiatan atau hasil karyanya berdasarkan serangkaian bukti yang
nyata, yang sudah dialami dan dapat dicek. Barangkali, secara kasar pengertian materialisme
Tan Malaka adalah cara berfikir yang terpusat paa masalah bagaimana memperbaiki atau
merubah kehidupan duniawi secara realistis dan pragmatis.
Erat berkaitan dengan itu ialah konsep dialektikanya, yang dimaksudkannya untuk
memerangi cara berfikir yang pasif atau dogmatis. Cara berfikir atau dogmatis ini bertalian
dengan kepercayaan masyarakat yang masih dalam terhadap kekuatan gaib (mistik), dan itu
menyebabkan mereka tidak percaya kepada kemampuan intelektuil dan kekuatan mereka
sendiri untuk merubah dunia materi. Dia mengecam habis cara berfikir dogmatis sebagai
menjerumuskan masyarakat ke dalam penipuan diri sendiri, kepasifan, mentalitas budak, dan
itulah yang mengakibatkan takluknya dunia Timur kepada Barat. Sebaliknya dia menyanjung
cara berfikir dialektis- yang antara lain dimaksudkannya sebagai cara berfikir dinamis –
karena ini memungkinkan orang mengembangkan pemikiran atau intelektualitasnya secara
terus menerus. Jadi kunci dari pengertian dialektika Tan Malaka adalah berfikir aktif dan
terus menerus. Jadi kunci dari pengertian dialektika Tan Malaka adalah berfikir aktif dan
terus menerus, atau berfikir dinamis. Tetapi berfikir secara dinamis itu harus berlandaskan
akal atau logika. Di sini kita kembali melihat pertemuan antara visi adat dan falsafah
Minangkabau dengan cara berfikir yang ingin dikembangkan Tan Malaka.
Akan tetapi, untuk menyatakan bahwa hasil-hasil pemikiran Tan Malaka hanya
membesit dari visi atau idealisasinya tentang adat dan falsafah Minangkabau mungkin terasa
amat berlebihan atau keterlaluan. Ia sendiri mengakui bahwa dia juga melihat pada
modernisme Islam (yang juga mulai berkembang di Minangkabau dan tempat-tempat lain
sewaktu mudanya) sebagai pendorong cara berfikir dinamis itu dan anti dogmatis. Dari dunia
Barat yang banyak diketahuinya dalam perantauan dia juga melihat begitu, bukan saja dari
aliran Marx dan Lenin, tetapi juga dari dinamika yang diperlihatkan oleh masyrakat Amerika
dan Jerman.
Sungguhpun begitu, visi adat dan falsafah Minangkabau seperti di atas, mungkin
membekali dia dengan suatu perspektif dasar yang tajam sehingga memungkinkannya untuk
selalu tetap kritis terhadap sesuatu yang baru ditemuinya di dunia luar. Pertemuannya dengan
cara berfikir dialektis di Barat mungkin telah memperkuat atau bahkan memperluas
perspektif tadi. Yang amat penting mungkin ialah bahwa struktur pengalaman Minangkabau
yang dibawanya itu tidak menjadikannya merasa rendah diri terhadap pemikir-pemikir besar
di Barat. Dia tentu belajar dari karya-karya mereka, tetapi sebagai seorang intelektuil yang
kritis, bukan sebagai murid yang “nrimo” saja. Oleh karena itu dia tidak pernah menjadi
pengikut pemikiran seseorang, apakah itu Marx atau yang lain, secara dogmatis. Bahkan
kalau kita ikuti cara berfikir dialektis, yang biasanya dikaitkan dengan Marx, Marx sendiri
tentunya juga menentang dogmatisme, tidak perduli apakah yang dijadikan dogma itu adalah
hasil pemikirannya sendiri. Marx yang sejati, menurut salah seorang yang mempelajarinya
secara tekun dan kritis, Michael Harrington, menginginkan kebebasan berfikir dan oleh
karena itu mengutuk dogmatisme.
Segi lain dari adat dan falsafah Minangkabau yang tampak berpengaruh pula pada
Tan Malaka ialah tuntutan untuk selalu melihat pada realitas yang ada di alam tempat asalnya
sebagai refrensi pembanding. Sebagaimana telah dikemukakan, pengertian alam di sini tentu
bisa berubah dan meluas sifatnya. Dalam pemikiran-pemikirannya, Tan Malaka boleh
dikatakan tidak pernah lupa kepada refrensi pembanding itu. pengetahuannya yang cukup
dalam tentang masyrakatnya, sebagai refrensi, menjadikan dia semakin bertambah kritis
terhadap dunia luar. Itu memberi kekuatan kepadanya untuk tidak mudah terpukau dengan ide
atau pemikiran orang lain. Ia tetap mempunyai untuk mengembangkan dan mengemukakan
pemikirannya sendiri. Oleh karena itu, Tan Malaka dapat dikatakan bertuan kepada dirinya
sendiri, baik dalam tindakan politik maupun dalam berfikir. Hubungannya dengan kaum
komunis dapat dipakai sebagai salah satu ilustrasi tentang itu.

Pada tahun-tahun pertama Tan Malaka di Negeri Belanda ia tampak tertarik dengan
kemajuan Amerika Serikat dan Jerman. Tetapi, sukses Revolusi Bolsyewik tahun 1918 di
Rusia semakin mendorongnya ke kiri. Literatur-literatur beraliran ini semakin banyak
dipelajarinya. Pada tahun 1919 dia kembali ke Indonesia sebagai guru (dengan gaji besar
yang disamakan dengan gaji orang Eropa) di perkebunan Senembah, Deli. Kontras kehidupan
yang amat tajam antara antara tuan-tuan kolonialis yang mewah dengan kuli-kuli inlander
yang sengsara sangat memuakkannya. Pengaruh Revolusi Bolsyewik semakin tertanam di
dalam dirinya, dan dari situ idenya tentang revolusi sebagai solusi buat menyelamatkan
bangsa Indonesia dari cengkeraman kaum kapitalis-kolonialis berkembang cepat. Ia menjadi
semakin revolusioner. Senembah dan gaji besar ditinggalkannya. Ia berlayar ke Jawa (1921).
Pertemuannya dengan tokoh komunis kenamaan, Semaun, membawanya ke sarang PKI di
Semarang, di mana dia diberi tugas buat memimpin sebuah sekolah yang diselenggarakan
oleh partai itu. Suksesnya dalam menjalankan sekolah itu, dan oleh karena itu kemudian
terkenal dengan sebutan “Sekolah Tan Malaka”, mengorbitkan namanya dalam PKI. Dalam
waktu yang relatif pendek ia berhasil menjadi ketuanya, tetapi hanya beberapa bulan.
Sewaktu ia terlibat dalam kegiatan pemogokan buruh di permulaan 1922 dia ditangkap
penguasa kolonial dan dibuang ke luar negeri. Penangkapan dan pembuangannya itu
memastikan dirinya sebagai pejuang revolusioner. Partai Komunis Belanda menjadikannya
“martyr” atau pahlawan dan dipasang sebagai calon nomor tiganya dalam pemilihan umum.
Kepopuleran Tan Malaka jelas terlihat ketika dia berhasil mendapatkan suara terbanyak
kedua partai itu. Walaupun suara itu memungkinkannya duduk di dalam Parlemen Belanda,
teapi hal itu tak mungkin terjadi karena dia hanya calon resmi nomor tiga (Partai Komunis
Belanda hanya memenangkan dua kursi dan juga karena umurnya belum cukup. Sementara
itu dia sudah berada di Berlin dalam perjalanannya ke Moscow buat memainkan peranan lain.
Sewaktu di Semarang, dia sudah menunjukkan sikap bebasnya dalam pemikiran atau
ide yang dikemukakannya, kadang-kadang bahkan mengambil posisi yang berlawanan
dengan tokoh-tokoh PKI lainnya. Visi revolusi Tan Malaka dari semula adalah menentang
kolonialis-imperialis Belanda. Masyarakat Indonsia versus kekuasaan kolonial sebagai titik
tolaknya. Tidaklah mengherankan kalau dia kemudian menentang sikap atau garis yang
diperlihatkan oleh sebagian penting tokoh PKI dalam percekcokan mereka dengan Sarekat
Islam. Perpecahan seperti itu menurut Tan Malaka hanya melemahkan kekuatan bangsa
Indonesia secara keseluruhan dalam menentang penjajah, dan oleh karena itu perlu dihindari.
Sikap keras yang diperlihatkan tokoht-tokoh PKI lain rupanya sebagian dipengaruhi
oleh kebijaksanaan politik Komintern di Moskow yang menentang Pan Islamisme
(Modernisme Islam) sebagai corak baru dari imprialisme. Tan Malaka tidak bisa menerima
sikap Komunis International itu, antara lain karena menurut dia Pan Islamisme justru bangkit
menentang imperialisme Barat yang menjajah kaum Muslimin di berbagai negara di dunia
ini. Ciri Pan Islamisme adalah juga anti imperialisme. Di samping itu, Tan Malaka rupanya
memahami pula bahwa jika modernisme yang dibawa oleh Pan Islamisme sesuai dengan
sikap anti dogmatisme. Tambahan lagi, Islam secara realistis merupakan kekuatan politik
yang besar di Indonesia. Itu semua menyebabkan Tan Malaka menilai bahwa sikap anti Pan-
Islamisme Moskow tidak mencerminkan realita suasana perkembangan dunia pada waktu itu,
dan sejalan dengan itu sikap anti Sarekat Islam dari PKI tidak pula sesuai dengan keadaan
sebenarnya dari masyarakat Indonesia. Setia kepada pandangan politiknya yang berasal dari
hasil pemikirannya sendiri, Tan Malaka meneruskan sikap bebasnya itu sewaktu dia
berkesempatan berbicara di muka Kongres Komintern sebagai wakil PKI, tidak lama sesudah
dia dibuang Belanda. Dia tetap mengemukakan kekeliruan kebijaksanaan Komintern terhadap
Pan-Islamisme, dan menghendaki agar sikap itu dirubah. Komintern tidak menghiraukannya.
Dari uraian ini jelas kelihatan bahwa Tan Malaka mengembangkan dan berani
mengemukakan pemikirannya sendiri, walaupun itu berbeda atau bertentangan dengan garis
politik yang ada. Salah satu kasus lagi ialah pertentangannya dengan tokoh-tokoh PKI akan
mencetuskan pemberontakan (Putusan Prambanan 1925) dia berusaha keras untuk
mencegahnya karena menganggap saatnya belum tiba. PKI masih kecil, belum begitu
berkuku, tak mungkin mampu menggerakkan massa rakyat. Lagipula gerak geriknya selalu
diawasi dengan ketat oleh penguasa kolonial. Tan Malaka menganalisa pemberontakan itu,
kalau jadi dilakukan, akan mengalami kegagalan. Usahanya untuk mencegah memang tidak
berhasil. Pemberontakan meletus, di Sumatera Barat dan Banten, tapi dalam waktu pendek
berhasil dilumpuhkan penguasa. Analisa Tan Malaka terbukti benar. Dilihat dari
kacamatanya, mereka yang mencetuskan pemberontakan itu tampak berfikir atau mengikuti
ideologi secara dogmatis, dan oleh karena itu nekad.
Sikap bebas yang diperlihatkan Tan Malaka, baik dalam tingkah laku politik maupun
pemikirannya, merupakan sumber penting dalam perselisihannya dengan kaum komunis di
kemudian hari, apalagi kalau mereka dianggapnya terlalu dogmatis terhadap ideologi.
Sebagaimana diketahui, dia kemudian berpisah dengan orang-orang komunis. Kaum komunis
memperlihatkan rasa tidak senang mereka terhadap Tan Malaka melalui berbagai macam
cara, antara lain dengan jalan menuduhnya sebagai beraliran atau menjadi pengikut Trotsky,
seorang tokoh yang dibenci dalam dunia komunis karena dianggap menyeleweng. Bahkan,
Tan Malaka kemudian dituduh sebagai penghianat yang telah menyebabkan gagalnya
pemberontakan 1926/1927.
Orang yang amat menghargai kebebasan berfikir seperti Tan Malaka tak mungkin
mampu menyesuaikan diri dengan organisasi yang dikendalikan oleh sikap dogmatisme
terhadap ideologi secara ketat. Orang seperti itu akan mampu melihat dan mengemukakan
apa yang dianggapnya baik (atau buruk) di manapun letaknya. Dalam hal ini pandangan Tan
Malaka tentang Barat merupakan merupakan contoh terbaik dari hasil kebebasan berfikirnya.
Sungguhpun dia secara politik dan ekonomis menentang kapitalisme dan imperialisme Barat,
namun masih bisa melihat segi-segi yang positif dari sana dan menganjurkan agar itu diambil
tanpa malu-malu. “Akuilah dengan putih bersih,” tulisnya, “bahwa kamu orang Indonesia
sanggup dan mesti belajar dari Barat. Tapi kamu jangan jadi peniru Barat, melainkan
seorang murid dari Timur yang cerdas...Juga jangan dilupakan, bahwa kamu belum seorang
murid, bahkan belum seorang manusia, bila kamu tak ingin merdeka dan belajar bekerja
sendiri...Seseorang yang ingin menjadi murid Barat atau manusia, hendaknya ingin merdeka
dengan memakai senjata Barat yang rasionil.
Pada waktu yang sama hasil pemikirannya juga mengemukakan secara berani segi-
segi kelemahan masyarakat Indonesia yang ingin dikikisnya, terutama sikap yang sangat
menghargai kebudayaan kuno yang dianggapnya penuh berisi kesesatan, kepasifan dan
takhyul yang menyebabkan mereka bersemangat budak. Dalam Madilog, kebudayaan kuno
yang dianggapnya menghalangi orang berfikir bebas, kritis dan dinamis ialah kebudayaan
Hindu-Jawa. Kebudayaan Hindu yang datang dari India ke Indonesia, dan terutama
berpengaruh di pulau Jawa, menurutnya telah melahirkan mentalitas budak sebagaimana
terlihat dalam sisa-sisa feodalisme. Di sini dia, apakah untuk keperluan pengkontrasan,
memang terasa memperlakukan kebudayaan Hindu-Jawa secara kurang simpatik. Sebagian
itu mungkin disebabkan oleh pengetahuannya yang relatif terbatas, atau juga mungkin karena
dia menganggap bahwa visi kebudayaan Minangkabau yang asli jauh lebih unggul, sehingga
mendorongnya untuk lekas-lekas mengambil generalisasi yang tampak sulit untuk
dipertahankan.
Kalau seandainya Tan Malaka membaca pemikiran-pemikiran Sukarno, seperti yang
terbit antara tahun 1926 dan 1933, dia akan menemui bagaimana seorang yang sedikit
banyaknya terpengaruh oleh sisa-sisa kebudayaan Hindu-Jawa yang dikutuknya itu berhasil
melahirkan ide-ide yang juga berbobot dan berani. Dalam suasananya sendiri, yaitu secara
pribadi membaca literatur-literatur Barat, Sukarno sebenarnya secara mental melakukan
perantauan. Dia melakukakan cara berfikir aktif dan dinamis, dari mana lahir pula konsep-
konsepnya yang orisinil dan tajam seperti “marhaenisme”. Secara garis besarnya, cara
berfikir Sukarno tidak jauh berbeda, kalaulah tidak identik, dengan Tan Malaka, di mana ciri-
ciri dinamisme atau dialektisme jelas terlihat. Sebagaimana Tan Malaka, Sukarno secara kritis
mempelajari pemikiran-pemikiran Barat, terutama yang berasal dari kaum sosialis, yang
sering dipakainya sebagai alat buat memperjelas hasil-hasil pemikirannya sendiri.
Barangkali, setiap masyarakat dalam pertemuannya dengan dunia dan kebudayaan
luar, seperti Barat, akan terpaksa membuka dirinya buat menerima kemungkinan lahirnya
orang-orang berfikir dinamis dan kritis sebagai akibat langsung dari pertemuan dua
kebudayaan itu. Orang-orang inilah yang melahirkan synthesis berupa pemikiran-pemikiran
baru yang dianggapnya relevan dan oleh karena dia bisa dipakai buat suasana baru yang
sedang atau akan muncul. Kalau di Minangkabau salah seorang dari orang itu adalah Tan
Malaka, maka di Jawa salah seorang dari mereka adalah Sukarno.

VI

Sebagaimana dapat dilihat tadi, Tan Malaka hampir selalu menemukan dirinya dalam
suasana konflik, yaitu melihat hal atau ide yang tak sesuai dengan yang diharapkan atau
dipuyainya. Dia hampir selalu berhadapan dengan kondisi thesis-antithesis yang menuntut
kepadanya untuk melahirkan synthesis. Suasana yang tegang itu, sebagimana antara lain
terlihat dalam otobiografinya, merupakan tantangan yang diterimanya dengan sepenuh hati,
dan itu telah menjadikannya seorang intelektuil yang amat produktif. Sesuai dengan dinamika
jalan fikirannya, ia tidak pernah menyerah kepada suatu tantangan, karena yakin bahwa pada
akhirnya kekuatan intelektualismenya akan berhasil mengatasinya dan keluar sebagai
pemenang. Konflik, kontradiksi atau tantangan baginya adalah wajar dan lumrah.
Pada esensinya pemikiran-pemikiran dan perjuangan Tan Malaka terpusat kepada
tujuan untuk memerdekakan bangsanya dan sekaligus merombaknya secara total dan drastis
dalam segala bidang-politik, ekonomi, sosial dan budaya. Sewaktu di pembuangan dan
menjadi salah seorang agen Komintern di Canton dia menerbitkan buku (1925) Menuju
Republik Indonesia (titel asnya Naar de Republik Indonesia). Dalam karya ini ia
mengemukakan program-program untuk mencapai atau menuju berdirinya Republik
Indonesia yang menyangkut berbagai macam bidang seperti politik, ekonomi, sosial,
pendidikan dan bahkan militer. Program-program itu sebenarnya dimaksudkannya sebagai
pegangan partainya (PKI) yang diinginkannya untuk mengambil atau memainkan peranan
pimpinan revolusioner ke arah yang dicita-citakannya. Akan tetapi, hubungannya dengan
tokoh-tokoh PKI, sebagaimana telah diungkapkan tadi, kemudian memburuk dan akhirnya
rusak samasekali setelah terjadi Pemberontakan 1926/1927. Pemberontakan yang dikecam
Tan Malaka sebagai perbuatan konyol itu praktis melumpuhkan PKI sebagai kekuatan politik
pada waktu itu.
Kritik Tan Malaka terhadap kegagalan pemberontakan itu melahirkan karyanya,
Massa Aksi, di mana ia menekankan bahwa suatu revolusi Indonesia hanya mungkin terjadi
dengan berhasil kalau didukung oleh massa rakyat yang tersusun/terorganisir. Di sini kembali
tampak dengan jelas bahwa dia menginginkan agar kaum proletar memegang pimpinan
revolusioner, tetapi syarat untuk suksesnya revolusi itu baginya tetap dukungan massa yang
kuat. Bahkan, kalau sudah berhasil, yaitu kemerdekaan Indonesia tercapai, dia masih melihat
bahwa kerjasama atau persatuan antara proletar dengan yang bukan proletar, tetap merupakan
syarat mutlak dan perlu dipertahankan. Bila mana kerjasama itu sampai terputus ia
memperkirakan kemungkinan lahirnya suasana yang menuju kepada perbudakan nasional,
atau kasarnya penjajahan oleh bangsa sendiri, oleh satu golongan yang berkuasa.
Tetapi, mengapa revolusi? Di samping pengamatannya yang melihat bahwa jalan
itulah yang terbaik untuk mengenyahkan kaum kolonialis-imperialis dari bumi Indonesia, dia
juga mempunyai satu alasan atau argumentasi lain. Menurut dia, bangsa Indonesia belum
mempunyai riwayat sendiri selain perbudakan, baik perbudakan dalam feodalisme (oleh
bangsa sendiri) maupun dalam bentuk penjajahan (oleh bangsa asing). Implikasinya, bangsa
Indonesia baru akan mempunyai sejarah sendiri yang tidak bersifat perbudakan kalau berhasil
mengadakan revolusi total, yaitu mengeyahkan penjajah ke luar dan sekaligus membersihkan
diri ke dalam. Revolusi Indonesia mempunyai dua tombak, yaitu mengusir imprialisme Barat
dan mengikis sisa-sisa feodalisme. Revolusi semacam itulah, bilamana berhasil dilaksanakan,
yang akan mendatangkan perubahan yang berarti dan menyeluruh dalam politik, ekonomi,
sosial dan bahkan mental. Dan itu berarti lahirnya masyarakat Indonesia Baru yang
diinginkan Tan Malaka dan sekaligus menjadi tujuan revolusinya ialah masyarakat Indonesia
yang merdeka dan sosialis. Masyarakat semacam itu hanya bisa lahir kalau dilandasi oleh
dasar kerakyatan. Kerakyatan itulah, dalam terminologi politiknya “murbaisme”, yang
menjadi tujuan akhir dari revolusi Tan Malaka.
Setelah PKI praktis dihancurkan oleh penguasa kolonial, dalam bulan Juli 1927 Tan
Malaka bersama-sama dengan Subakat dan Djamaludin Tamim mendirikan “Partai Republik
Indonesia” atau PARI di Bangkok. Pendirian PARI ini menarik, terutama dalam hubungan
Tan Malaka sebagai tokoh komunis di pembuangan pada waktu itu dari segi kelanjutan
usahanya merealisir cita-cita revolusinya. Inisiatifnya mendirikan PARI sebagian berasal dari
percekcokannya dengan kaum komunis Indonesia (peristiwa pemberontakan 1926/1927) dan
ketidak-sesuaiannya dengan sikap politik Komintern (terutama yang menyangkut Pan-
Islamisme). Sementara itu Moskow juga tampak lebih banyak memakai Komintern buat
kepentingan “hegemony” internasional Rusia daripada kepentingan perjuangan kaum
nasionalis di daerah-daerah jajahan. Di sini, kalau analisa di atas betul, jelas kelihatan bahwa
warna nasionalisme dalam diri Tan Malaka jauh lebih tajam daripada fanatisme terhadap
ideologi (komunisme). Itulah salah satu faktor yang telah memungkinkannya mendirikan
sebuah partai baru (PARI) tanpa merasa terikat untuk memasukkan kata komunis di
dalamnya. Hal ini tentunya juga berkaitan erat dengan sistem pemikirannya yang
mengutamakan kebebasan dan dinamika.
Sungguhpun begitu, dia tidak pula mungkin dapat dilepaskan samasekali dari kaitan
pengaruh Marx yang telah mengilhami revolusi Rusia. Sukses Revolusi Bolsyewik itu sangat
berkesan padanya, dan oleh karena itu tak mungkin hapus begitu saja. Secara idealis dan
teoritis dia mungkin masih menganggap dirinya seorang bolsyewik atau komunis, tetapi
seorang bolsyewik yang lebih mengerti dan mengutamakan realita bangsanya. “Marxisme”,
katanya, “bukan kaji hafalan (dogma) melainkan suatu petunjuk untuk revolusi.” Oleh karena
itu seorang Marxis perlu bersikap kritis terhadap petunjuk itu. Sikap kritis itu antara lain
sangat ditekannya pada kemampuan untuk melihat perbedaan dalam kondisi atau faktor sosial
dari suatu masyarakat dibandingkan dengan masyarakat-masyarakat lain. Dari situ akan
diperoleh kesimpulan oleh “ahli revolusi di Indonesia ataupun di Hindustan (yang) tentulah
berlainan sekali dengan yang diperoleh di Rusia. Yang bersamaan cuma cara
berfikir...dialektika materialistis.
Setelah sebulan PARI berdiri dia pergi ke Manila (melalui Hong Kong) dan
tertangkap. Sewaktu yang memeriksanya menanyakan apakah dia mengerti apa yang
dimaksudkan dengan bolsyewikisme. Ia jawab, “Ya”. Apa itu? “Itu adalah doktrin melalui
apa kelas buruh di dunia dapat mencapai emansipasi sosial dan politik dengan jalan
mempersatukan diri mereka buat merubah sistem yang berlaku sekarang dengan jalan
apapun. Apakah kamu mengikuti doktrin ini? (pertanyaan). “Secara teoritis ya, tetapi
tujuannya harus tergantung pada batasan-batasan (kondisi) yang terdapat di masing-masing
negeri.” Sewaktu dia ditanya tentang apakah dia percaya pada pemakaian kekerasan fisik atau
senjata untuk mencapai kemerdekaan. Jawabnya, “Saya percaya pada aksi massa untuk
mencapai kemerdekaan kami dengan cara apapun, apakah fisik atau yang lain, politik,
ekonomi dan kalau perlu dengan kekarasan fisik/senjata. Pada bagian lain Tan Malaka
mencoba memisahkan dirinya dari PKI (dengan mengaku sebagai ketua Sarekat Rakyat,
bukan ketua PKI) dan Komintern (dengan menyangkal bahwa dia bukan agitator merah atau
agen bolsyewik). “Saya bukan seorang bolsyewik,” katanya menyangkal tuduhan,” katanya
menyangkal tuduhan. “Kalau seseorang mencintai tanah airnya memperlihatkan
kecendrungan-kecendrungan terhadap bolsyewikisme, maka panggilah saya bolsyewik.”
Penguasa kolonial di Filipina (Amerika Serikat) karena bekerjasama erat sekali dengan
penguasa kolonial Belanda, tentu telah mempunyai data lengkap kegiatan-kegiatan Tan
Malaka di masa lampau yang isinya paling kurang sebagaian berlainan dengan keterangan
Tan Malaka di masa lampau yang isinya paling kurang sebagian berlainan dengan keterangan
Tan Malaka di atas. Sikap anti komunis yang keras dari penguasa-penguasa kolonial, dan
terjadinya malapetaka pemberontakan PKI 1926/1927 yang berakibat bagi aktifis-aktifis PKI,
barangkali merupakan penyebab kuat mengapa dia merasa perlu untuk agak membohong
tentang kegiatan politik masa lampaunya.
Sungguhpun begitu, pengakuannya bahwa dia menerima bolsyewikisme secara
teoritis dan tidak menolak kemungkinan untuk memakai kekerasan fisik buat mencapai
kemerdekaan mungkin dapat dianggap sebagai suatu sikap yang konsisten dan konsekwen,
yang paling kurang dalam kaitan pandangannya terhadap Marxisme sebagai petunjuk untuk
berevolusi, bukan sebagai dogma atau kaji hafalan. Kalau boleh disimpulkan, Tan Malaka
dalam arti kata yang sesungguhnya tetap konsisten dan konsekwen sebagai seorang
revolusioner. Seorang revolusioner yang antara lain menerima Marxisme sebagai petunjuk,
tetapi jauh di lubuk hatinya lebih meresapkan nasionalisme.
PARI, yang dimaksudkannya sebagai kendaraan untuk menuju revolusi Indonesia
yang diinginkannya, tidak pernah sempat berakar untuk menjalar luas di Indonesia. Dua
orang pendiri lainnya, Subakat dan Djamaluddin Tamin, tertangkap. Subakat memilih bunuh
diri dalam penjara di Jakarta. Sisa-sisa terakhir dari PARI di Jakarta dan Surabaya digulung
habis Belanda dalam tahun 1935. Sementara itu, Tan Malaka yang praktis terputus
hubungannya dengan teman-temannya boleh dikatakan bergerak sendiri. Dalam tahun 1928
dia diangkat kembali oleh Komintern sebagai salah seorang agennya untuk Asia Tenggara.
Pada waktu itu Moskow rupanya belum mengetahui kegiatan Tan Malaka dan PARI-nya.
Sewaktu dia memasuki Hong Kong dari Syanghai, (1932), dalam perjalanan menuju pos
barunya di Buma sebagai agen Komintern, dia ditangkap Inggeris, dan ditahan selama
beberapa minggu. Sesudah dilepas dia kembali ke Cina (Amoy), di mana dia menghidupi
dirinya dengan mendirikan Sekolah Bahasa Asing yang cukup berhasil sampai tahun 1937,
ketika dia terpaksa lari lagi sewaktu Jepang menyerang kota itu. Ia menyingkar ke Singapura,
menyamar sebagai guru Cina di sekolah-sekolah di sana sampai 1942. Sewaktu dia sampai di
Indonesia kembali, Jepang sudah mendarat dan berkuasa. Jadi semenjak meninggalkan
Bangkok (1927), kecuali hubungan surat menyurat yang terbatas dan kemudian juga terputus,
Tan Malaka lebih banyak bergerak sendiri. Dalam arti kata yang mendekati sesungguhnya dia
menjadi seorang pejuang revolusioner yang kesepian, tetapi tetap setia kepada cita-cita
revolusinya.
Sementara itu Komintern dan orang-orang komunis Indonesia mengetahui tentang
PARI, dan itu dengan sendirinya mengungkapkan kepada mereka siapa Tan Malaka yang
sebenarnya. Dia dikecam habis-habisan, antara lain oleh tokoh PKI Muso, yang berhasil
masuk Indonesia dari Moskow tanpa diketahui Belanda, yang menulis pamflet menentang
tokoh ini dengan PARI-nya, Tan Malaka yang dulunya pernah menjadi ketua PKI dan agen
Komintern, kini menjadi musuh utama mereka.
Dari uraian di atas dapat dilihat bagaimana kontroversilnya tokoh ini. sikap, tingkah
laku politik serta ide atau pemikirannya menempatkannya dalam suasana konflik dengan
berbagai kekuasaan. Sebagai pejuang nasionalis atau burnonan politik kolonial dia berkonflik
dengan penguasa-penguasa kolonial di Asia pada waktu itu. Sebagai politisi yang berfikir
dinamis dan menerima Marxisme secara kritis dia berani mengeritik tokoh-tokoh separtainya
(PKI) dan kemudian mendirikan partai baru tanpa kata komunis di dalamnya, dan itu semua
menempatkan dia berkonflik dengan tokoh-tokoh komunis Indonesia dan Komintern. Tetapi,
apakah ada jalan lain dari menyelusuri liku-liku berbagai konflik itu untuk dapat memahami
siapa tokoh ini sebenarnya?

VII

Dua siklus pertama dari perantauannya di tandai dengan titik puncak sewaktu dia
kembali pulang. Titik puncak pertama ialah pada waktu ia diangkat menjadi datuk sewaktu
dia pulang ke kampungnya sehabis menamatkan sekolah di Bukittinggi. Titik puncak dari
perantauan kedua ialah ketika dia berhasil memainkan peranan amat penting dalam
pergerakan nasional Indonesia, sebagai tokoh dan ketua PKI, tak lama sesudah ia kembali
dari Negeri Belanda. Dengan begitu, arti rantau bagi dirinya memang penting. Rantau telah
menjadikannya manusia yang semakin berarti dan berguna bagi perjuangan bangsanya.
Siklus ketiga perantauannya berjalan lama sekali, 20 tahun sebagai buangan politik.
Pengalamannya dalam perantauan ketiga ini jauh lebih banyak, penderitaan jauh lebih
mendalam, kecemasan jauh lebih sering datang. Itu semua semakin mematangkan dan
mendewasakan dirinya, baik sebagai intelektuil-pemikir, politisi-idealis, maupun pejuang
revolusioner yang kesepian. Iapun sudah semakin berumur. Dapatlah dimengerti kalau dia
melihat kepulangannya kali ini sebagai sesuatu yang amat berarti. Ia melihat bahwa siklus-
siklus hidupnya sejajar dengan siklus-siklus perjuangan bangsanya, dan itu diidentikkannya
pula dengan perkembangan organis tubuhnya yang telah sampai pada siklus akhirnya.
Dia memperkirakan dan mengantisipasi kepulangannya dari perantauan yang ketiga
dan terakhir kalinya ini akan bertautan dengan terjadinya revolusi Indonesia, dan dia ingin
hadir dan ikut aktif sebagai peserta di dalamnya. Bagi dia, ini adalah kesempatan terakhir
untuk merealisir revolusi totalnya, dan oleh karena itu tak ingin melepaskan kesempatan itu
berlalu dengan sia-sia. Seluruh kehidupannya selama ini tercurah ke sana, dan dapatlah
dimengerti kalau ia ingin memberikan sesuatu yang amat berarti bagi bangsanya pada saat
yang amat bersejarah itu. Bermakna untuk penghabisan kalinya. Tetapi, menarik pula untuk
diketahui bahwa sewaktu pulang dari perantauan ketiga ini Tan Malaka tidak segera
menggabungkan diri dalam barisan perjuangan atau mengambil peranan aktif dalam
percaturan politik. Salah satu faktor mungkin karena dia membutuhkan waktu buat
mempelajari suasana masyarakat yang sudah lama ditinggalkannya. Ia ingin masuk sekolah
sosial dulu. Alasan lain yang diberikan Tan Malaka ialah karena ingin menulis sesuatu yang
berarti yang bisa dipakai sebagai pegangan oleh bangsanya nanti dalam hidup bernegara
sebagai bangsa merdeka yang sosialistis. Dia memang menulis apa yang dianggapnya sebagai
karya terbaiknya yang ingin ditinggalkan sebagai “pusaka bertuah”. Itulah Madilog, yang
ditulisnya dalam suasana kemiskinan yang luar biasa di sebuah gubuk bambu di pinggir
Jakarta. Pada waktu itu dia masih belum keluar dengan mamakai nama aslinya. Faktor lain
yang menyebabkan merasa masih perlu menyembunyikan identitas sebenarnya barangkali
pengaruh pengalaman pahitnya sebagai buronan politik di luar negeri yang tentu selalu
menghantuinya, walaupun suasana romantis dan misteri yang lahir bersamaan dengan itu
tampak pula disenanginya. Dia mungkin masih merasa perlu menyembunyikan diri di bawah
kekuasaan Jepang yang tak kalah kejamnya itu.
Kekejaman fasis Jepang tambah memuakkan hatinya ketika ia menyaksikan sendiri di
pertambangan Bayah, Banten. Di sini, sebagai krani yang cukup baik kedudukannya, dengan
memakai nama samaran Ilyas Husein dia kembali menyaksikan, sebagai mana pernah
dialaminya di perkebunan Senembah dulu, pengeksploitasian bangsanya oleh kekuasaan
imperialis baru. Ia melihat sendiri kondisi yang amat menyengsarakan - antara hidup dan mati
– kaum romusha yang dipekerjakan Jepang secara paksa. Hal itu tentunya tambah
memperkuat keyakinannya tentang perlunya adanya aksi massa buat melahirkan revolusi.
Suasana politik Indonesia selama pendudukan Jepang secara garis besarnya diwarnai
oleh Sukarno, Hatta dan sejumlah pemimpin lain yang memilih bekerjasama atau
berkolaborasi dengan Jepang. Mereka, senang ataukah tidak, ikut serta dalam sistem
kekuasaan, sesuatu hal yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Sebagai pejuang
nasionalis mereka tentu mempunyai alasan-alasan sendiri buat memilih jalan itu. Di fihak
lain, sejumlah tokoh yang relatif lebih muda seperti Sutan Sjahrir memilih untuk bergerak di
bawah tanah melawan rezim fasis Jepang. Antara kedua kelompok, yang di bawah tanah,
barangkali terdapat kontak atau kerjasama pula. Kecendrungan ke arah asumsi ini dikuatkan
oleh relatif mudahnya kedua kelompok ini, yang disimbolkan oleh Sukarno-Hatta dan Sjahrir,
bekerjasama kemudian dalam revolusi kemerdekaan.
Tan Malaka juga melihat adanya dua kekuatan, tetapi dengan pemahaman yang agak
lain. Sukarno dan hatta dianggapnya sebagai simbol dari golongan tua yang berkoloborasi
dengan kekuasaan Jepang, dan oleh karena itu dia menganggap mereka terutama Sukarno,
sebagai oportunis. Sikap sinis Tan Malaka terhadap Sukarno antara lain berkaitan dengan
pandangan negatifnya terhadap kebudayaan Hindu-Jawa. Strategi Sukarno (dan Hatta) untuk
mencapai kemerdekaan melalui kerjasama dengan kaum penjajah baginya menunjukkan
masih adanya sisa-sisa mentalitas budak yang berasal dari kebudayaan Hindu-Jawa itu. Ini
jelas sangat kontras dengan ide revolusi Tan Malaka sendiri yang antara lain ingin
menghancurkan sisa-sisa kebudayaan lama yang bernilai buruk, terutama ciri-ciri
feodalismenya.
Kekuatan kedua yang dilihatnya ialah pemuda yang dinilainya sebagai tombak
revolusi. Baginya di sinilah terletak kekuatan revolusi yang sebenarnya, dan oleh karena itu
ia menaruh perhatian yang sangat besar kepada mereka. Dia berusaha mengidentikkan dirinya
dengan semangat revolusioner pemuda, melalui mana dia melambungkan harapan bahwa
merekalah yang akan berhasil merealisir revolusi yang dicita-citakannya. Pengkontrasan yang
tajam antara golongan tua (Sukarno-Hatta) yang dinilainya opurtunis dengan pemuda yang
revolusioner berasal dari cara berfikir Tan Malaka yang dialektis. Akan tetapi, ia rupanya
kurang begitu memahami realita sebenarnya dari masyarakat Indonesia pada waktu itu.
Sukarno-Hatta, terutama Sukarno (apakah itu sebagai akibat dari pengaruh sisa-sisa
kebudayaan Hindu-Jawa dalam masyarakat ataukah tidak) sudah lama mempunyai kekuatan
kharisma politik yang menjalar jauh ke dalam masyarakat. Dwitunggal ini telah berhasil
menjadikan diri mereka sebagai simbol dari persatuan dan perjuangan nasional. Cara berfikir
Tan Malaka yang amat dialektis ternyata tidak begitu tepat, kalaulah tidak samasekali salah.
Melalui ini barangkali dapat dimengerti sebagian dari penyebab mengapa riwayat Tan Malaka
dalam revolusi Indonesia berakhir secara tragis.

VIII
Beberapa minggu menjelang proklamasi, Tan Malaka masih memakai nama samaran
Ilyas Husein, mulai mengadakan kontak dengan sejumlah kecil pemuda revolusioner. Akan
tetapai ia tidak hadir sewaktu peristiwa bersejarah itu, proklamasi, terjadi, yang kemudian
disesalinya. Ia baru muncul di arena politik, langsung dengan nama aslinya, beberapa hari
kemudian di rumah Ahmad Subardjo yang selanjutnya memperkenalkannya dengan anggota
elite politik Jakarta yang lain pada hari-hari berikutnya. Sewaktu dia sempat berbicara dengan
Sukarno,yang sudah menjadi presiden, Tan Malaka berhasil mengemukakan ide-idenya
tentang revolusi, antara lain mengenai bagaimana pimpinan revolusi harus dilanjutkan kalau
seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (mati atau ditangkap) atas diri Sukarno dan
Hatta. Diperkirakan, pengaruh pembicaraan ini, setelah beberapa waktu mendorongnya
lahirnya semacam surat amanat dari Sukarno dan Hatta, yang antara lain berisi bahwa kalau
mereka berdua, karena sesuatu dan lain hal, sampai tidak berdaya memimpin revolusi, maka
pimpinan perjuangan kemerdekaan diteruskan oleh Tan Malaka, Iwa Kusumasumantri,
Sjahrir dan Wongsonegoro. Surat amanat ini kemudian menjadi isyu politik yang hangat, lalu
dicabut. Walaupun isyu tentang surat yang berisi semacam wasiat itu kemudian tampak
banyak merugikan nama Tan Malaka, namun kelahirannya dapat dipakai sebagai ukuran
dari pengaruhnya di kalangan elite politik pada waktu itu.
Di samping Sukarno dan Hatta, Sjahrir merupakan tokoh penting pula dalam minggu-
minggu pertama revolusi. Ia, dengan dukungan pemuda di sekitarnya, berhasil banyak
mempengaruhi jalannya politik, yang akhirnya menempatkan dirinya di kursi Perdana
Menteri. Itu terjadi pada tanggal 14 November 1945. Lahirnya sistem Kabinet Perdana
Menteri ini secara konstitusional sebenarnya menyimpang dari ketentuan UUD 45, walaupun
secara politis pada waktu itu dibenarkan oleh suasana darurat revolusioner.
Garis politik Sjahrir tercermin dalam brosurnya “Perjuangan Kita” yang
penerbitannya diumumkan oleh Kementerian Penerangan pada tanggal 10 November 1945.
Dalam brosur ini Sjahrir mengemukakan idenya tentang revolusi demokratis yang
menekankan pentingnya arti demokrasi buat melawan kecendrungan fasisme yang masih
membekas, terutama di kalangan pemuda, akibat pengaruh pendudukan Jepang. Dengan lain
perkataan Sjahrir tidak menginginkan semangat revolusi meluap menjadi terorisme yang
tidak bertanggung jawab terhadap orang-orang Belanda, Indo dan kelompok-kelompok
minoritas yang dianggap pro Belanda seperti Cina, Ambon dan Menado. Dari situ dapat
dilihat benih-benih sosialisme kemanusiaan (atau demokrasi sosial) yang ingin disemaikan
Sjahrir di kalangan pemuda. Akan tetapi, hal itu berkaitan erat dengan pandangan Sjahrir
tentang kekuatan Indonesia yang sangat lemah pada waktu itu yang menurutnya berada di
daerah pengaruh kekuatan kapitalis Amerika Serikat dan Inggris, dan oleh karena itu tidaklah
bijaksana bagi negara muda yang masih rapuh ini untuk memusuhi mereka. Syahrir bahkan
melihat bahwa nasib Indonesia amat tergantung pada kebijaksanaan politik yang akan diambil
oleh kekuatan-kekuatan imperialis itu. Dari situ dia mengambil kesimpulan bahwa satu-
satunya jalan untuk menjamin kemerdekaan Indonesia amat tergantung pada kebijaksanaan
politik yang akan diambil oleh kekuatan-kekuatan imperialis itu. dari situ dia mengambil
kesimpulan bahwa satu-satunya jalan untuk menjamin kemerdekaan Indonesia ialah melalui
“diplomasi yang lihai dan fleksibel, agar Amerika dan Inggris tidak terundang buat
mendukung Belanda secara penuh”. “Selanjutnya, secara logis sikap itu menuntut lahirnya
kebijaksanaan politik yang liberal terhadap modal asing; pengakhiran kekerasan corak-
pemuda, terutama terhadap orang-orang kulit putih; mendirikan lembaga-lembaga politik ang
dapat diterima Barat. Itu semua tampak serasi dengan kecendrungan-kecendrungan politiknya
yang liberal-demokratis. Sulit kiranya untuk disangkal bahwa Sjahrir mengutamakan
diplomasi dari pada memakai kekerasan/kekuatan senjata, dalam revolusi Indonesia, dan itu
sesuai dengan jalan pemikirannya tentang demokrasi sosial yang humanis.
Pandangan Sjahrir di atas jelas sangat kontras, kalaulah tidak samasekali bertolak
belakang, dengan visi Tan Malaka tentang revolusi. Bagi Tan Malaka, sebagaimana diketahui,
perombakan masyarakat Indonesia yang bermakna hanya mungkin terjadi melalui suatu
revolusi total, di mana bukan saja si penjajah yang diusir tetapi juga mengikis habis sisa-sisa
kebudayaan lama yang tidak menguntungkan seperti feodalisme yang menyuburkan
mentalitas budak dalam masyarakat selama ini. baginya, kemerdekaan bukan hanya berarti
politik, tetapi juga ekonomi sosial dan lebih dari itu mental. Revolusi total seperti itu hanya
bisa terjadi juga ekonomi sosial dan lebih dari itu mental. Revolusi total seperti itu hanya bisa
terjadi dan berhasil kalau massa dapat digerakkan, ada organisasi yang kuat untuk menjaga
jalan dan disiplin revolusi secara hukum besi, dan ada pimpinan revolusi.
Tan Malaka berfikir dalam kerangka itu, dan setia kepada ide revolusinya dia
menerjunkan diri dengan sepenuh hati ke dalamnya.
Sewaktu dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri akibat yang amat menyedihkan
dari pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, di mana para pemuda dan rakyat yang
bersenjata sangat minim berani menyabung nyawa melawan senjata modern tentara Sekutu.
Tan Malaka melihat dan meyakini bahwa semangat yang muncul pada waktu itu mampu
menggerakkan massa buat merealisir revolusi totalnya. Pada tanggal 2 Desember 1945
munculah brosurnya yang berjudul “Muslihat”, yang berisi ajakan kepada semua
golongan/lapisan untuk bersatu mengadakan perlawanan bersama-revolusi total-lengkap
dengan strategi dasarnya. Strategi itu antara lain menyangkut keperluan membentuk Laskar
Rakyat, pembagian tanah kepada si miskin, hak buruh dalam mengontrol produksi, membuat
rencana ekonomi perang, pengusiran tentara asing dan perlucutan senjata Jepang. Kunci dari
strategi ini ialah bahwa revolusi mempunyai tiga segi, yaitu politik, ekonomi dan militer.
Melalui ketiganya bangsa Indonesia, menurutnya, akan mampu mengadakan revolusi jangka
panjang dan pada akhirnya akan keluar sebagai pemenang. Taktik revolusi yang berjangka
lama ini, kemudian dituangkannya sebagai gerilya politik dan ekonomi atau lebih populer
dengan sebutan GERPOLEK.
Ide revolusi Tan Malaka yang berani ini rupanya mendapat sambutan baik di kalangan
pemuda dan masyarakat, antara lain karena sesuai dengan gejolak semangat yang menggelora
waktu itu. Banyak kalangan, terutama pemuda dan lasykar, mulai melihat kepada Tan Malaka
sebagai alternatif baru dalam revolusi, jauh berbeda dengan Sjahrir yang mengutamakan
berunding atau diplomasi. Salah satu tanda dari meningkatnya pengaruh Tan Malaka adalah
tulisan Muhamad Yamin di surat-surat kabar di akhir tahun 1945 (dan kemudian dibukukan)
yang berjudul “Tan Malaka: Bapak Republik Indonesia”. Tokoh ini yang menurut
pengakuannya sendiri tidak mempunyai pengikut (kecuali mungkin beberapa gelintir
pemuda) dan organisasi sebagai landasan kekuatan politik, berhasil memainkan rol seperti di
atas lebih banyak berdasarkan kekuatan yang dibawa oleh idenya di samping suasana
legendaris dan misteri yang melekat pada namanya.
Demikianlah, Tan Malaka dalam waktu yang relatif pendek muncul sebagai kekuatan
baru yang langsung menantang relevansi kebijaksanaan penguasa pada waktu itu yang
dikontrol oleh Sjahrir dan Partai Sosialisnya. Mengetahui ini, partai itu berusaha mendekati
dan mengajaknya untuk ikut duduk dalam pimpinannya. Tan Malaka, yang memandang
pendirian partai-partai pada waktu itu sebagai merugikan usaha buat menghimpun kekuatan
massa yang diperlukan revolusi, menolak. Pertentangan politik, yang bermula dengan
perbedaan visi, antara dia dengan Sjahrir tak terhindarkan lagi.
Kelambanan pemerintahan Sjahrir menghasilkan diplomasi yang menguntungkan
revolusi merupakan salah satu faktor mengapa banyak pemuda, laskar dan massa memihak
kepada visi revolusi Tan Malaka. Pemerintah yang mengutamakan jalan diplomasi
berhadapan dengan semangat serta kemauan keras (sebagian besar) massa rakyat yang
berjuang untuk meneruskan dan meningkatkan revolusi bersenjata. Semangat dan kemauan
keras itu akhirnya melahirkan Persatuan Perjuangan (PP) pada permulaan tahun 1946 yang
berhasil menghimpun sebanyak 141 organisasi politik, lasykar, dan entah apalagi, termasuk
partai-partai politik yang berpengaruh seperti Masyumi (Islam) dan PNI (nasionalis). Dalam
pertemuan pembentukan organisasi massa revolusi yang bernama Persatuan Perjuangan ini ,
di Purwokerto, Tan Malaka memberikan pidato yang menekankan pentingnya arti persatuan
buat mencapai kemerdekaan 100%. Persatuan Perjuangan dalam kongresnya di Solo
beberapa hari kemudian mengambil keputusan politik penting yang disebut minimum
program yang berisi tujuh fasal. Minimum program ini pada dasarnya berasal dari pidato Tan
Malaka pula dan oleh karena itu sangat mencerminkan visi revolusinya. Isinya adalah:
I. Berunding atas pengakuan Kemerdekaan 100%.
II. Pemerintahan Rakyat (dalam arti: kemauan Pemerintahan sesuai dengan kemauan Rakyat)
III. Tentara Rakyat (dalam arti: kemauan Tentara sesuai dengan kemauan Rakyat)
IV. Menyelenggarakan Tawanan Eropa.
V. Melucuti senjata Jepang.
VI. Menyita hak dan milik musuh
VII. Menyita perusahaan (pabrik, bengkel dan lain-lain) dan pertanian (perkebunan,
pertambangan dan lain-lain musuh.

Bahkan nama Persatuan Perjuangan juga diambil dari pidatonya. Tan Malaka
kemudian terpilih sebagai salah seorang dari 11 anggota sub-komite yang diserahi tugas
untuk menyempurnakan organisasi itu. Kecuali dia, yang boleh dikatakan duduk atas
namanya sendiri atas usul beberapa pemuda pendukungnya, yang sepuluh lagi duduk
mewakili organisasi atau kekuatan politik tertentu. Salah seorang dari mereka adalah Jenderal
Sudirman yang mewakili TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan seorang lagi, Atmaji, duduk
mewakili TKR-Laut. Sulit kiranya untuk membantah bahwa Persatuan Perjuangan pada
waktu itu mewakili sebagian besar dari kekuatan-kekuatan sosial politik, termasuk militer,
lasykar dan pemuda.
Ide Tan Malaka tentang revolusi-merdeka 100% - akhirnya secara formil diterima
banyak orang, walaupun dalam aktualitas kadar penerimaan itu berbeda-beda. Pembentukan
Persatuan Perjuangan dengan tujuh fasal minimum programnya merupakan titik puncak
terakhir dari karir politik Tan Malaka, atau dari siklus ketiga kehidupannya. Hal itu tentu
tambah meyakinkan pandangannya bahwa ide mempunyai kekuatan sendiri; perubahan
masyarakat yang berarti bisa terjadi melalui kekuatan yang dilahirkan ide. Akan tetapi, tidak
lama sesudah itu dia menghadapi kenyataan pahit (dan hal itu bukannya tidak mungkin
difahminya sendiri) bahwa kekuatan ide saja tidaklah cukup.

IX

Satu-satunya tali yang merangkaikan 141 macam organisasi ke dalam Persatuan


Perjuangan adalah semangat revolusi yang tersimbol dalam ungkapan “merdeka 100%”.
Sedangkan itupun belum tentu sama kadarnya. Banyak organisasi yang ada di dalamnya
cenderung untuk mengundang sikap kompromistis, oportunistis, atau berkompetisi
memperlihatkan mana yang lebih revolusioner. Persatuan Perjuangan secara romantis
barangkali merupakan nama yang tepat buat mencerminkan ide revolusi Tan Malaka, tetapi
secara aktualitas sifat persatuan dari berbagai organisasi itu sulit untu dipertahankan, karena
memang tidak kuat. Sungguhpun begitu, lahirnya Persatuan Perjuangan sulit pula buat
diartikan lain kecuali sebagai peryataan tidak puas diri dri sebagian besar masyarakat
terhadap garis kebijasanaan politik Sjahrir yang mereka anggap lunak karena mengutamakan
diplomasi. Jenderal Sudirman yang ikut aktif dalam Persatuan Perjuangan, dan sebagai
pimpinan tentara, jelas memperlihatkan pemihakannya kepada ide “kemerdekaan 100%”.
Semua itu telah memaksa Sjahrir meletakkan jabatan sebagai Perdana Menteri, walaupun
kemudian diminta kembali buat membentuk kabinet baru.
Suasan pembentukan kabinet Sjahrir kedua penuh dengan permainan politik, di mana
Sukarno dan Hatta ikut memainkan peranan penting. Pembentukan kabinet berusaha
mendapatkan dukungan seluas mungkin, dan itu hanya mungkin kalau kekuatan-kekuatan
penting dalam Persatuan Perjuangan diikut sertakan. Jalan ke arah itu antara lain ditempuh
melalui pewarnaan program kabinet baru dengan mengambil sebagian dari minimum
program Persatuan Perjuangan diikut sertakan. Jalan ke arah itu antara lain ditempuh melalui
pewarnaan program kabinet baru dengan mengambil sebagian dari minimum program
Persatuan Perjuangan sendiri. Antara lain fasal pertama (dari lima fasal) program kabinet
(jelas berbau minimum program) berbunyi: “Perundingan atas dasar pengakuan kemerdekaan
100%., Sungguhpun begitu, Tan Malaka, dan sejumlah tokoh lain melihat program kabinet itu
masih kurang keras, tambahan lain bunyinya mengandung kekaburan. Namun bagi sebagian
kekuatan politik yang ada dalam Persatuan Perjuangan itu rupanya sudah cukup memuaskan
mereka. Dengan begitu terbentuklah Kabinet Sjahrir II, di mana duduk pul orang-orang
Masyumi dan PNI. Tan Malaka yang pernah ditawari pula untuk duduk dalam kabinet tetap
konsekwen dengan pendiriannya, menolak, karena minimum program Persatuan Perjuangan
tidak diambil sepenuhnya sebagai program kabinet. Proses pembentukan kabinet ini jelas
menunjukkan kerapuhan Persatuan Perjuangan, dan dalam hal ini peranan pengaruh Sukarno
dan Hatta, terutama Sukarno, yang memihak kepada Sjahrir juga merupakan faktor yang amat
penting. Sesudah kabinet terbentuk, kekuatan yang beroposisi kepada pemerintah menjadi
berkurang. Di samping itu, tokoh-tokoh Persatuan Perjuangan yang masih tetap
memperlihatkan sikap keras seperti Tan Malaka, Yamin, Ahmad Subardjo, Iwa
Kusumasumantri, dan beberapa tokoh pemuda boleh dikatakan tidak mempunyai landasan
politik yang berakar dalam masyarakat. Hal ini memudahkan Sjahrir dan kawan-kawannya
buat menghadapi mereka. Demikianlah, pada tanggal 17 Maret 1946 tokoh-tokoh itu
ditangkapi, dan alasan penuh secara resmi baru dikeluarkan dua minggu kemudian (1April).
Alasan itu antara lain tuduhan bahwa mereka yang ditangkap melakukan oposisi yang sudah
menjurus kepada tidak atau kurang loyal yang bertujuan untuk melemahkan kedudukan
pemerintah secara tidak bertanggungjawab. Dituduhkan pula bahwa kegiatan mereka
bertujuan melemahkan kedudukan pemerintah secara tidak bertanggung jawab. Dituduhkan
pula bahwa kegiatan mereka bertujuan untuk merubah struktur pemerintahan pusat melalui
cara-cara di luar konstitusi. Tuduhan-tuduhan itu tampak sekali berbau politik dari mereka
yang berkuasa sebagai usaha buat mematahkan atau membungkam para pengeritiknya.
Yang menarik perhatian ialah sikap yang diambil pimpinan militer atas penangkapan
itu. Dalam pengumumannya pimpinan militer menyatakan bahwa penangkapan itu sekali-kali
bukan dilakukan atas perintah mereka. Menarik perhatian pula ialah bahwa pengumuman
tentang penangkapan itu tidak ditandatangani oleh Sukarno sebagai presiden. Kalau begitu,
dugaan paling kuat ialah bahwa penangkapan itu merupakan inisiatif Sjahrir dan kawan-
kawan separtainya, terutama Amir Sjarifuddin (Menteri Pertahanan) dan Dr. Sudarsono
(Menteri Dalam Negeri). Dalam kaitan ini semakin jelas duduk pertentangan antara
kelompok Sjahrir dengan kelompok Tan Malaka.
Walaupun bagaimana, posisi Tan Malaka sebagai orang tak bersalah di mata
masyarakat tumbuh dipersulit sewaktu seorang perwira militer yang masih muda bernama
Abdul Kadir Jusuf mengambil inisiatif sendiri, atas sepengetahuan atasannya Mayor Jenderal
Sudarsono, menculik Sutan Sjahrir (25 Juni 1946) karena dia menilai Perdana Menteri itu
sudah mengkhianati revolusi melalui perundingan-perundingan yang merugikan dengan
Belanda. Tindakan perwira muda ini mungkin sekali didorong oleh semangat revolusi Visi
Tan Malaka, tetapi Tan Malaka sendiri tidak mengetahui apa-apa tentang penculikan itu,
apalagi merencanakannya. Dia masih meringkuk dalam penjara. Melalui pidato radio yang
bersejarah, 30 Juni Presiden Sukarno (yang telah mengambil alih kekuasaan pemerintahan
sejak 28 Juni, karena Perdana Menteri diculik menyerukan bahwa demi nama baik Indonesia
mereka yang menangkap Sjahrir segera melepaskannya. Sjahrir akhirnya dilepaskan
penculiknya. Tidak lama sesudah itu terjadi peristiwa 3 Juli, di mana kembali nama Tan
Malaka disangkut-pautkan dengan tuduhan adanya komplotan yang ingin melakukan kudeta.
Bahkan dia seolah-olah dituduh sebagai otaknya. Tan Malaka yang juga masih dalam penjara
sulit pula untuk dikatakan mengetahui apa-apa tentang tuduhan kudeta yang mamai namanya
itu. Hasil proses verbal dari mereka yang diadili dalam perkara itu, seperti perkara
Muhammad Yamin, memang tidak membuktikan terlibatnya Tan Malaka dalam usaha kudeta
yang dituduhkan itu.
Meskipun begitu, namanya sudah terlanjur cemar atau (dan mungkin lebih tepat)
dicemarkan. Selama lebih kurang 30 bulan si revolusioner tua itu meringkuk dalam penjara
bangsanya sendiri, tanpa mengetahui apa benar kesalahan yang telah diperbuatnya. Karena
memang tidak bisa dibuktikan, akhirnya dia dilepaskan juga. Penglepasan itu terjadi sewaktu
revolusi Indonesia tengah berada pula dalam suasana kritis, sekitar pemberontakan PKI 18
September 1948. Suasana saling curiga semakin memanas. Sungguhpun begitu, Tan Malaka
masih sempat mendirikan sebuah partai baru bernama Murba, dan kembali mengambil bagian
aktif dalam revolusi sebagai gerilyawan. Tidak lama sesudah itu, nasib malang menimpa
dirinya. Dia mati terbunuh di hadapan senapan sekelompok tentara republik sendiri. Pada hal
pada waktu itu dia juga tengah memimpin sekelompok gerilyawan dalam usaha meneruskan
ide revolusinya memerdekakan tanah airnya. Apakah ada kematian seorang pejuang
revolusioner yang lebih tragis dari itu memang sangat rumit untuk dibicarakan, apalagi
dibeberkan.

Sebagaimana dapat dilihat, visi revolusi total Tan Malaka kandas di tengah jalan. Pada
suatu saat, di permulaan tahun 1946, ia menemukan momentumnya, muncul sebagai sesuatu
yang sangat riil bagi banyak orang, dan oleh karena itu merupakan alternatif terbaik bagi
mereka. Sungguhpun begitu, visi revolusi demokrasi Sjahrir bukannya tidak mempunyai
kekuatan, walaupun kekuatan itu lebih banyak terletak pada kenyataan bahwa ia yang
memerintah dan berkuasa. Pertarungan antara kedua visi itu melahirkan suatu visi baru,
sebagai kompromi dari keduanya, sebagaimana tercermin dalam program Kabinet Sjahrir II.
Tetapi visi baru ini masih lebih berat pada visi Sjahrir semula. Kalau kita lihat proses
pertarungan kedua visi itu melalui cara berfikir dialektis Tan Malaka, maka visi Sjahrir
adalah thesis, visi Tan Malaka sendiri antithesis, dan visi baru yang dilahirkan keduanya
adalah synthesis.
Kalau diamati secara cermat, kelahiran synthesis itu terutama dimungkinkan oleh
pengaruh peranan Sukarno dan Hatta. Tan Malaka tidak mau menerima synthesis itu, dan itu
telah membawa risiko buruk baginya. Sjahrir yang menerimanya, antara lain karena tentu
merasa dimenangkan, terus ikut berkuasa. Akan tetapi, melalui proses terjadinya synthesis itu
dapat pula dilihat bahwa kekuatan politik Sjahrir sudah semakin merosot. Sukarno dan Hatta
yang memainkan peranan penting dan mungkin menentukan dalam proses itu muncul sebagai
pemenang yang sebenarnya. Mereka berdualah, sebagai dwitunggal, yang akhirnya menjadi
simbol persatuan dan revolusi Indonesia. Kekuatan pengaruh kharisma mereka, terutama
Sukarno, melampaui jauh Sjahrir dan Tan Malaka. Sebagaimana di ketahui, dalam suasana
revolusi yang amat emosionil kharisma pemimpin memainkan peranan yang amat penting,
dan sering menentukan.
Walaupun ide revolusi total Tan Malaka akhirnya mengalami kekandasan, hal itu tetap
mengusik benak mereka yang kritis. Bagaimanakah hasilnya kalau seandainya visi
revolusinya yang menang dan diikuti? Memang sulit pula buat menjawabnya. Visi revolusi
yang barangkali mendekati Tan Malaka ialah yang dipunyai oleh Ho Chi Minh di Vietnam.
Sebagaimana dapat dilihat, pelaksanaan yang konsekwn dari visi itu berhasil dengan
gemilang mengalahkan dua kekuatan kapitalis-imperialis besar, Perancis dan Amerika
Serikat. Semangat nasionalisme serta kepercayaan kepada kekuatan sendiri yang tinggi,
sebagaimana diperlihatkan oleh rakyat Vietnam, membuktikan bahwa pada akhirnya visi
revolusi total bisa dimenangkan oleh mereka yang walaupun secara materi dan persenjataan
adalah lemah. Revolusi itu memang berjalan lama sekali dan telah memakan banyak korban.
Revolusi kemerdekaan Indonesia telah lama selesai, dan Tan Malaka tak sempat
melihat penyelesaiannya itu. Kalau seandainya dia masih hidup sekarang, apakah dia dapat
menganggap bahwa ide revolusinya sudah terealisir, yaitu dalam bidang politik, ekonomi,
sosial, budaya dan mental? Secara lebih pendek, apakah “merdeka 100%” seperti yang
diinginkannya sudah tercapai? Kalau seandainya pemahaman kita tentang Tan Malaka ini
mendekati kebenaran, dia agaknya akan menjawab “belum”. Kalau memang itulah
jawabannya, maka kita akan melihatnya muncul kembali sebagai seorang figur kontroversil.
Seorang tokoh yang rupanya tak mungkin bisa menghindarkan diri dari suasana konflik.
Lalu, apakah dia melihat kemungkinan terealisirnya “merdeka 100%” itu? jawaban
terhadap pertanyaan ini perlu dicari pada apa yang dianggapnya esensiil bagi terciptanya
perubahan masyarakat yang menuju kepada kemerdekaan penuh itu. sebagaimana telah
diungkapkannya, terutama dalam karya terbaiknya Madilog, kunci dari perubahan
masyarakat terletak pada cara berfikir. Cara berfikir yang mampu memerdekakan suatu
masyarakat secara politis, ekonomis, sosial, budaya dan sebagainya menurut Tan Malaka
ialah cara berfikir materialisme, dialektis, dan logis. Secara lebih mudah, secara berfikir kritis
dan dinamis. Melalui cara berfikir begitu, orang akan menjadi intelektual-aktif yang tidak
memungkinkannya menjadi dogmatis atau bermental budak. Oleh karena intelektuil-aktif
orang itu akan kreatif, dan oleh sebab itu akan tahu menghargai kebebasan berfikir. Seseorang
yang bermental budak, menurut Tan Malaka, akan menjadi intelektuil pasif yang tak mungkin
kreatif. Logikanya, dia tak mungkin dapat menghargai betul arti kebebasan berfikir. Selama
cara berfikir yang begitu tidak berubah, orang atau masyarakat itu tidak akan mampu
memerdekakan dirinya 100%. Perubahan cara berfikir, atau tepatnya perubahan mental,
adalah kunci atau fundamentil bagi Tan Malaka. Pengertiannya tentang kekuatan ide dalam
proses perubahan masyarakat berkaitan erat dengan itu. Itulah kiranya esensi dari Tan Malaka
yang antara lain dapat dibaca dalam Madilog. Tetapi, siapakah kini yang membaca karyanya
itu?

Anda mungkin juga menyukai