Anda di halaman 1dari 5

Contoh Perhitungan Penyusutan secara Fiskal

Posted on December 16, 2013 by tanyapajak Standard


Salah satu biaya usaha yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, saat menghitung penghasilan
kena pajak, adalah biaya Penyusutan. Meski secara umum sama dengan prinsip akuntansi yang lazim
(SAK) namun sebenarnya peraturan pajak memiliki ketentuan tersendiri dalam soal penghitungan
biaya Penyusutan.

Ketentuan Umum

Melalui ketentuan Pasal 9 ayat (2), UU PPh secara tegas menyatakan bahwa pengeluaran untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1
(satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan
atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A.

Pasal 11 UU PPh secara umum berisi ketentuan mengenai penyusutan untuk harta berwujud
sedangkan Pasal 11A UU PPh berisi ketentuan mengenai amortisasi atas pengeluaran untuk
memperoleh harta tak berwujud termasuk HGB, HGU, Hak Pakai, Goodwill, dan harta atau asset tak
berwujud lainnya.

Namun perlu diketahui bahwa terkait dengan masalah penghitungan penyusutan dan amortisasi fiskal
ini, ketentuan pajak atau ketentuan fiskal tidak seluruhnya mengadopsi ketentuan-ketentuan yang ada
dalam prinsip akuntansi umum (Standar Akuntansi Keuangan/SAK). Secara khusus, otoritas pajak
telah menetapkan beberapa ketentuan khusus yang diatur dalam peraturan-peraturan berikut (yang
masih berlaku sampai saat artikel ini ditulis):

1. Pasal 11 dan Pasal 11A UU PPh;


2. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 96/PMK.03/2009; dan
3. PMK Nomor 249/PMK.03/2008 stdd PMK Nomor 126/PMK.03/2012.
Prinsip Usia atau Masa Manfaat Harta

Perbedaan pertama antara peraturan fiskal dengan SAK, terkait dengan penentuan apakah harta
tersebut boleh dibebankan atau dibiayakan sekaligus pada tahun terjadinya pengeluaran atau harus
melalui penyusutan/amortisasi.

Dalam SAK, kita telah tahu bahwa penetapan mengenai hal ini diserahkan sepenuhnya kepada
manajemen perusahaan. Artinya manajemen, oleh SAK dibolehkan untuk menentukan bahwa
pengeluaran tersebut dibebankan sekaligus pada tahun terjadinya pengeluaran atau biaya. Biasanya
manajemen akan memilih membebankan sekaligus terutama jika nilai atau materialitasnya tidak
terlalu besar.

Tetapi menurut ketentuan fiskal, sebagaimana bisa kita baca pada redaksional kalimat Pasal 9 ayat
(2) UU PPh, pengeluaran atau biaya usaha yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun
tidak boleh dibebankan sekaligus. Pengeluaran atau biaya tersebut harus dibebankan melalui
penyusutan/amortisasi yang ketentuannya diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 11A UU PPh.

Sebagai contoh misalnya pada tahun 2012 Wajib Pajak membeli ordner, whiteboard, dan perkakas
kecil lainnya untuk dipakai dalam kegiatan operasional usaha sehari-hari. Menurut SAK, karena nilai
dari perkakas kantor tersebut tidak terlalu besar, maka seluruh harga pembelian perkakas itu boleh
dibebankan sekaligus pada tahun 2012.

Akan tetapi secara fiskal, harga beli perkakas tersebut seharusnya tidak dibebankan sekaligus sebagai
biaya di tahun 2012 tetapi dibebankan secara bertahap sesuai dengan umur atau masa manfaat
perkakas yang bersangkutan. Dalam praktik pemeriksaan, ada kalanya kita menghadapi pemeriksa
pajak yang ‘saklek’ dengan ketentuan tersebut. Tetapi tidak sedikit juga pemeriksa yang bisa
mengakomodir ketentuan SAK terutama jika menurut pemeriksa pajak nilai perkakas tersebut tidak
terlalu material.

Usia atau Masa Manfaat Harta

Dalam menentukan usia atau masa manfaat harta, fiskal juga memiliki aturan tersendiri yaitu seperti
yang dicantumkan dalam Pasal 11 maupun Pasal 11A UU PPh. Dalam kedua pasal ini, usia atau
masa manfaat harta ditetapkan sebagai berikut:

Pengelompokkan Harta Menurut Fiskal


Pengelompokkan Harta
Untuk mengetahui di kelompok berapa aktiva atau harta yang kita gunakan, kita—Wajib Pajak—
harus melihat pada Lampiran I s.d. Lampiran IV yang ada di PMK Nomor 96/PMK.03/2009. Di
lampiran tersebut sudah ditentukan jenis-jenis aktiva untuk masing-kelompok harta yang disebutkan
di tabel di atas, sesuai dengan jenis usaha dan kegiatan Wajib Pajak. PMK ini berlaku umum untuk
seluruh Wajib Pajak, kecuali bagi Wajib Pajak yang disebutkan dalam PMK Nomor
249/PMK.03/2008.
Kemudian jika misalnya kita punya aktiva tetapi aktiva kita tidak tercantum dalam Lampiran I
hingga Lampiran IV PMK tersebut, maka aktiva kita itu dianggap masuk Kelompok 3. Itu artinya
aktiva kita tadi harus disusutkan selama 16 tahun [Pasal 2 ayat (1) PMK Nomor 96/PMK.03/2009).
Namun jika kita bisa menunjukkan bahwa aktiva kita yang tidak tercantum dalam lampiran-lampiran
PMK tersebut bukan termasuk Kelompok 3, maka kita bisa mengajukan permohonan untuk
penetapan kelompok atas aktiva kita tersebut sesuai dengan masa manfaat yang sebenarnya.
Permohonan ini harus diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah DJP setempat, sesuai dengan
Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-55/PJ./2009. Tanpa ada surat persetujuan dari Kepala Kantor
Wilayah DJP, aktiva kita yang tidak tercantum dalam Lampiran I hingga Lampiran IV akan tetap
dianggap masuk Kelompok 3.

Khusus bagi Wajib Pajak bidang usaha tertentu, ketentuan mengenai penyusutan aktiva atau hartanya
diatur secara khusus melalui PMK Nomor 249/PMK.03/2008 tanggal 31 Desember 2008 tentang
Penyusutan Atas Pengeluaran Untuk Memperoleh Harta Berwujud Yang Dimiliki Dan Digunakan
Dalam Bidang Usaha Tertentu.
Non-Depreciable Assets

Dalam ketentuan fiskal, ada aktiva yang digolongkan sebagai aktiva yang tidak boleh disusutkan
(non-depreciable assets) yaitu tanah hak milik, termasuk tanah yang berstatus hak guna bangun, hak
guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali. Terkait dengan tanah, hanya perpanjangan hak guna
bangun, hak guna usaha, atau hak pakai saja yang boleh disusutkan melalui mekanisme amortisasi
sesuai Pasal 11A UU PPh.

Misalnya di tahun 2012 ini kita membeli sebidang tanah seharga Rp 1.500,- dengan rincian Rp
1.000,- sebagai harga pokok tanah, Rp 300,- sebagai penggantian hak guna bangun yang tersisa dan
Rp 200,- sebagai biaya notaris dan biaya perolehan lainnya. Dalam hal ini seluruh biaya pembelian
tanah Rp 1.500,- tidak boleh disusutkan yang artinya tidak akan pernah ada biaya terkait dengan
tanah tersebut.

Jika misalnya terhadap tanah tadi kita perpanjang hak guna bangunnya dengan biaya Rp 500,- untuk
masa hak guna bangun 20 tahun, maka terhadap biaya perpanjangan ini bisa disusutkan melalui
mekanisme amortisasi seperti yang diisyaratkan Pasal 11A UU PPh.

Menurut penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU PPh, tanah bisa saja disusutkan dan dibebankan menjadi
biaya usaha apabila tanah tersebut berkurang karena penggunaannya untuk memperoleh penghasilan.
Misalnya tanah yang dipergunakan oleh perusahaan genteng, keramik atau batu bata untuk
memproduksi genteng, keramik dan batu batanya.

Depreciable-Not-Deductible

Aktiva atau harta yang tergolong depreciable-not-deductible-assets adalah aktiva-aktiva yang oleh
ketentuan dan peraturan pajak dianggap tidak memilki hubungan dengan kegiatan usaha untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan/3M.

Misalnya saja asset berupa perumahan atau mess karyawan bagi Wajib Pajak yang tidak mendapat
penetapan sebagai pengusaha di daerah terpencil. Dalam hal ini, kita boleh saja menghitung
penyusutan atas mess atau perumahan tersebut untuk kepentingan penyusunan laporan laba rugi
komersial kita. Tetapi saat akan membuat SPT Tahunan PPh, biaya penyusutan mess atau perumahan
itu harus dikoreksi positif.

Meski asset yang kita miliki kita gunakan dalam kegiatan usaha atau terkait 3M, tetapi apabila
penghasilan dari kegiatan usaha kita itu dikenakan PPh bersifat final, maka penyusutan asset itu pun
tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Misalnya jika kita bergerak di bidang usaha jasa konstruksi
dan kita memiliki alat-alat berat konstruksi. Dalam hal ini, karena penghasilan dari usaha jasa
konstruksi sudah dikenakan PPh Final Pasal 4 ayat (2), maka penyusutan atas alat-alat konstruksi itu
tidak boleh dibiayakan lagi.

Depreciable – Deductible Only 50%

Untuk asset berupa kendaraan dinas dan telepon selular milik perusahaan, yang boleh dibawa pulang
oleh pegawai tertentu berlaku ketentuan bahwa penyusutannya hanya boleh dibebankan sebesar 50%
dari total penyusutan fiskal yang berlaku. Ketentuan ini di atur melalui Keputusan Dirjen Pajak
Nomor KEP-220/PJ./2002 tanggal 18 April 2002 dan dijelaskan lebih lanjut dalam Surat Edaran
Dirjen Pajak Nomor SE-09/PJ.42/2002 tanggal 17 Mei 2002.
Metode Penyusutan

Metode penyusutan yang diperbolehkan oleh UU PPh hanya ada dua, yaitu Metode Garis Lurus/GL
(Straight Line Method) dan Metode Saldo Menurun/SM (Declining Balance Method).

Khusus untuk asset atau aktiva berupa bangunan, metode penyusutan yang diperkenankan oleh UU
PPh hanyalah Metode Garis Lurus/GL.

Dengan Metode Garis Lurus, biaya penyusutan untuk setiap tahun dihitung dengan cara membagi
jumlah biaya perolehan asset dengan masa manfaat asset yang sudah ditentukan oleh Pasal 11 UU
PPh. Misalnya kita membeli komputer dengan total harga perolehan Rp 10.000.000,-. Kemudian jika
misalnya komputer itu menurut PMK 96/PMK.03/2009 tergolong sebagai asset Kelompok 1 dengan
masa manfaat 4 tahun, maka dengan menggunakan Metode Garis Lurus, biaya penyusutan per
tahunnya = Rp 10.000.000,00/4 tahun = Rp 2.500.000,00/tahun.
Jika penyusutan komputer dihitung dengan Metode Saldo Menurun (SM), maka besarnya penyusutan
untuk masing-masing tahun akan berbeda. Penyusutan pada awal-awal tahun akan lebih besar
dibandingkan dengan akhir tahun.

Penyusutan Tahun ke-1: = Rp 10.000.000,00 x 50% = Rp 5.000.000,00

Penyusutan Tahun ke-2: = (Rp 10.000.000,00 – Rp 5.000.000,00) x 50% = Rp 2.500.000,00

Penyusutan Tahun ke-3: = (Rp 10.000.000,00 – Rp 5.000.000,00 – Rp 2.500.000,00 ) x 50% = Rp


1.250.000,00

Penyusutan Tahun ke-4 (nilai sisa buku fiskal) = (Rp 10.000.000,00 – Rp 5.000.000,00 – Rp
2.500.000,00 – Rp 1.250.000,00 = Rp 1.250.000,00) disusutkan sekaligus pada tahun ke-4 (tahun
terakhir).

Untuk satu aktiva, Wajib Pajak hanya boleh memilih satu metode penyusutan dan metode itu harus
diterapkan secara konsisten atau taat azas. Jika Wajib Pajak memiliki dua aktiva berbeda, maka
kedua asset itu bisa dipilih metode yang berbeda-beda. Misalnya untuk asset A dipilih Metode Garis
Lurus, sedangkan untuk asset B dipilih Metode Saldo Menurun. Jika Wajib Pajak hendak mengubah
metode penyusutannya, Wajib Pajak terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari Dirjen Pajak
sesuai ketentuan Pasal 28 ayat (6) UU KUP. Lihat juga SE-40/PJ.42/1998 dan SE-14/PJ.313/1991.
Saat Dimulainya Penyusutan

Penyusutan fiskal dimulai pada bulan terjadinya pengeluaran. Meski pengeluaran itu terjadi diakhir
bulan misalnya, maka secara fiskal atas asset tersebut berhak mendapat penyusutan.

Misalnya jika kita membeli komputer di bulan September 2012 seharga Rp 10.000.000,00, maka
untuk tahun pajak 2012 komputer tersebut boleh disusutkan sebanyak 4 bulan (terhitung mulai
September hingga Desember). Dengan menggunakan Metode Garis Lurus misalnya, penyusutan
komputer untuk tahun 2012 dihitung sebesar = (Rp 10.000.000,00/4 tahun) x 4/12 = Rp 833.333,00.

Khusus untuk asset yang masih dalam proses pengerjaan, misalnya bangunan yang masih dalam
proses pembangunan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya pengerjaan asset tersebut [Pasal
11 ayat (3) UU PPh].

Dalam kondisi tertentu bahkan dimungkinkan untuk Wajib Pajak mengajukan permohonan agar
penyusutan atas asset tersebut dimulai pada saat harta tersebut digunakan untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan atau pada saat asset itu menghasilkan. Misalnya bagi Wajib
Pajak perkebunan di mana pada tahun pertama penanaman hingga tahun ketiga atau keempat belum
menghasilkan panen. Dalam hal ini, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Dirjen
Pajak agar biaya-biaya usaha yang telah dikeluarkan sebelum masa panen ditunda pembebanannya
hingga saat panen dan memperoleh penghasilan (income).

Anda mungkin juga menyukai