LaporanSeminarLCS PDF
LaporanSeminarLCS PDF
SEMINAR INTERNASIONAL
Juni 2006
1
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
Kata Pengantar
2
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
Daftar Isi
3
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
Bagian Pertama
PENDAHULUAN
4
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
5
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
Sesi I.
Policy and Economy Aspects on Non-Cash Payment Instruments Development
09.45 - 11.45 Theo L. Sambuaga, Ketua Komisi I DPR-RIRegulating Less Cash
Society in Relation to National Security Aspect, especially in the
Attempt of Preventing Terrorism Financing Prof. Dr. Leo van Hove,
Vrije Universiteit BrusselMacro Economic Aspects of Creating Less
Cash Society Dr. Dradjad H. Wibowo, Pakar EkonomiLess Cash
Society and its Impact for Monetary Policy from the Point of View
of Indonesian ObserverPerry Warjiyo, Direktur Riset Ekonomi dan
Kebijakan Moneter Bank IndonesiaNon-cash Payments and Mon-
etary Policy Implications in IndonesiaModerator: Halim Alamsyah,
Direktur Statistik Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia
11.45 - 12.45 Tanya Jawab, Diskusi dan Kesimpulan Hasil Diskusi Sesi I
6
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
7
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
8
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
Pembukaan Seminar
oleh
Burhanuddin Abdullah, Gubernur Bank Indonesia
9
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
10
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
Saya juga menyampaikan penghargaan kepada panitia dan rekan-rekan yang telah
menyiapkan acara pada hari ini.
Akhirnya, saya ucapkan selamat mengikuti seminar, dan dengan mengucap
‘Bismillahirahmanirrahim’ Seminar Dua Hari ini saya nyatakan dibuka.
Burhanuddin Abdullah
11
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
Distinguished speaker, Professor Dr. Leo van Hove from Vrije Universiteit Brussel,
Para Pembicara dan Moderator yang saya hormati,
Rekan-rekan Anggota Dewan Gubernur yang berbahagia,
S a u d a r a - S a u d a r a Ta m u U n d a n g a n , P e s e r t a S e m i n a r d a n H a d i r i n S e k a l i a n
yang Berbahagia
12
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
dan electronic-based saat ini sudah menjadi suatu kebutuhan karena transaksi dapat
dilakukan dengan praktis, cepat dan nyaman. Bagi masyarakat, penggunaan
pembayaran non tunai dengan menggunakan kartu mempermudah transaksi mereka
seperti penarikan tunai, transfer dana, dan pembayaran berbagai tagihan rutin lainnya.
Semua itu dilakukan tanpa harus datang ke counter atau kantor bank.
Bagi bank/penerbit, selain mengikuti trend, penggunaan instrumen non tunai
dan berbagai derivatif produknya, tidak dipungkiri menjadi salah satu jurus untuk
memperkuat daya saing bank, memperluas pasar, meningkatkan fee-based income dan
memberikan layanan plus kepada nasabah. Dari sisi operasional, penggunaan non-cash
instrument akan mempercepat dan mempermudah penyelesaian transaksi dan berbagai
kebutuhan nasabah dalam satu waktu, serta dengan biaya transaksi yang relatif lebih
rendah.
Dengan berbagai kelebihannya, e-banking dan APMK juga secara perlahan-lahan
telah menjadi bagian integral dari sistem operasional perbankan dan mengubah perilaku
pelayanan bank kepada nasabah melalui konsep ‘close to customer’.
Tidak hanya di Indonesia, perkembangan non-cash payment di kawasan Asia
Pasifik secara umum juga menunjukkan peningkatan dimana nilai transaksi pembayaran
melalui kartu kredit, kartu debet dan kartu ATM cenderung meningkat.
13
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
karena itu saya sangat berharap bahwa para pelaku sistem pembayaran, baik bank
maupun non bank, memiliki sistem manajemen risiko yang handal untuk menjamin
keamanan dan kepastian bertransaksi.
Lemahnya sistem keamanan dalam bertransaksi akan berdampak pada
timbulnya risiko operasional dan risiko reputasi yang dapat menyebabkan
hilangnya kepercayaan masyarakat pada sistem pembayaran secara keseluruhan.
Te r c i p t a n y a k e l a n c a r a n d a n k e a m a n a n s i s t e m i n i a k a n s a n g a t b e r p e r a n
dalam menjaga stabilitas sistem keuangan nasional, dan gangguan atas sistem
ini akan menimbulkan financial disturbances yang dapat berisiko sistemik.
14
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
15
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
R. Maulana Ibrahim S.
16
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
Bagian Kedua
POKOK-POKOK
MATERI SEMINAR
17
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
A .Sesi 1
Policy and Economy Aspects on Non-Cash Payment Instruments
Development
1. Regulating Less Cash Society in Relation to National Security Aspects, especially
in the Attempt of Preventing Terrorism Financing
(Theo L. Sambuaga, Ketua Komisi I DPR-RI)
Topik yang dipaparkan pembicara terkait dengan penggunaan transaksi yang
memanfaatkan sarana non tunai sebagai upaya untuk mencegah terjadinya aksi
teroris terkait dengan bidang keuangan dan pencucian uang. Dalam kesempatan
tersebut dikemukakan bahwa penggunaan sarana pembayaran non tunai dapat
membantu usaha pencegahan dan identifikasi kejahatan, terutama jika dilakukan
dengan melacak kegiatan pendanaannya termasuk didalamnya penggunaan
transaksi untuk kegiatan terorisme. Secara rinci materi yang disampaikan oleh
pembicara mencakup beberapa hal seperti:
a. Terdapat beberapa Undang-Undang yang telah disusun untuk mengawasi dan
mengatasi terorisme, antara lain:
1) Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Terorisme;
2) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
No. 1 Tahun 2002 tentang Terorisme sebagaimana telah disahkan dengan
Undang-Undang No. 15 Tahun 2005 tentang Pengesahan Undang-Undang
No. 1 Tahun 2002;
3) Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003;
4) Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Kerjasama Internasional;
5) Undang-Undang No. 1 Tahun 2006 tentang Kerjasama dalam Penanganan
Kejahatan;
6) Undang-Undang No. 5 Tahun 2006 tentang Pengesahan Kerjasama
Internasional dalam Pencegahan Terorisme Pengeboman, 1997; dan
7) Undang-Undang No. 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan Kerjasama
Internasional dalam Pengawasan Pendanaan Terorisme, 1999.
b. Tindakan pencucian uang diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh seseorang atau suatu organisasi terhadap uang yang diperoleh
melalui kegiatan-kegiatan yang melanggar hukum seperti tindak kejahatan
untuk menyamarkan atau mengaburkan asal-usul uang tersebut. Tindakan
pencucian uang dilakukan untuk menutupi asal-usul uang terhadap tindakan
pelacakan yang mungkin dilakukan oleh pemerintah atau otoritas yang
berwenang dengan memasukkan uang tersebut pada sistem keuangan
sehingga seolah-olah uang tersebut menjadi uang yang diperoleh dari kegiatan
yang legal.
18
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
c. Tindakan pencucian uang diyakini dapat memiliki dampak yang relatif luas
terhadap masyarakat, antara lain:
1) Tindakan tersebut dapat memberikan kesempatan kepada pengedar
narkotika, penyelundup, dan pelanggar hukum lainnya untuk melakukan
dan bahkan memperluas ruang lingkup kegiatan illegal yang mereka
lakukan.
2) Tindakan tersebut memiliki dampak yang luas terhadap perekonomian
nasional karena melibatkan jumlah uang yang relatif besar.
3) Tindakan tersebut dapat meningkatkan rasa tidak percaya dunia
internasional karena dapat meningkatkan ancaman terhadap keamanan
internasional.
d. Dampak tindakan pencucian uang terhadap keamanan nasional antara lain:
1) Melemahkan sektor swasta yang legal;
2) Melemahkan integritas sistem keuangan;
3) Hilangnya kontrol atas kebijakan ekonomi;
4) Gangguan dan instabilitas ekonomi;
5) Hilangnya pendapatan;
6) Risiko dalam proses swastanisasi;
7) Risiko reputasi;
8) Risiko sosial.
e. Kebijakan seperti “Know Your Customer” (KYC) dapat mencegah tindakan
pencucian uang.
f. Dalam pelaksanaan sarana pembayaran non tunai, pihak perbankanlah yang
seharusnya menanggung biaya yang timbul karena pihak perbankan juga
menikmati pendapatan dari pelaksanaan sarana pembayaran non tunai
tersebut.
g. Dalam rangka mengubah budaya masyarakat yang relatif kurang memiliki
pengetahuan yang cukup mengenai sarana pembayaran non tunai, upaya yang
harus dilakukan adalah terutama memberikan edukasi yang memadai mengenai
sarana pembayaran non tunai tersebut.
h. Pemerintah Indonesia tengah mengusahakan kerjasama ekstradisi dengan
Singapura, tetapi perjanjian kerjasama tersebut sulit dicapai, terutama karena
adanya perbedaan persepsi dalam hal tindakan kejahatan yang dapat
diikutsertakan serta perbedaan hukum di kedua negara. Pemerintah Singapura
juga menginginkan agar kerjasama di bidang pertahanan juga dibicarakan
pararel dengan kerjasama ekstradisi tersebut.
19
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
Pada topik ini digambarkan oleh pembicara tentang adanya contoh kasus
penggunaan instrumen non-cash di Eropa. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan
oleh Bank Sentral Belgia dan Belanda dijelaskan bahwa manfaat ekonomi yang
dihasilkan apabila masyarakat mengubah perilaku penggunaan instrumen cash
menjadi non-cash (dalam kasus ini lebih ditekankan pada e-purse dan kartu de-
bet). Namun demikian terdapat beberapa tantangan dalam mewujudkan suatu
LCS karena adanya pandangan bahwa penggunaan instrumen non-cash lebih
mahal dibandingkan instrumen cash. Secara rinci materi yang disampaikan oleh
Prof Leo Van Hove mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Pada awal presentasi telah dijelaskan perbedaan antara less cash dengan cash-
less, dimana less cash berarti upaya untuk mengurangi penggunaan instrumen
cash sedangkan cashless adalah upaya untuk menghilangkan penggunaan
instrumen cash di masyarakat. Berdasarkan definisi tersebut, menurut
pembicara, upaya menuju less cash lebih realistis dibandingkan cashless
mengingat akan sangat sulit untuk menghilangkan instrumen cash sebagai
alat bayar. Dijelaskan pula bahwa fokus upaya less cash adalah untuk mengganti
kebiasaan penggunaan instrumen cash dalam transaksi pembayaran yang
bersifat ritel (micro payment) dengan menggunakan instrumen non-cash.
b. Telah dipaparkan pula mengenai fakta penggunaan instrumen non-cash untuk
retail payment di Belgia. Pada tahun 2004, berdasarkan studi dari bank sentral
Belgia, penggunaan cek mulai berkurang bahkan cenderung menghilang
sementara penggunaan instrumen cash masih tinggi yaitu mencapai 81% dari
total volume dan 63% dari total nilai. Fenomena lainnya adalah tingginya
penetrasi pada kartu debet yang mencapai lebih dari 100% selama kurun waktu
25 tahun terakhir (54 transaksi per kapita per tahun). Sementara itu
penggunaan kartu kredit kurang begitu populer di kalangan masyarakat Eropa
karena hanya mencapai 7,1 transaksi per kapita per tahun dibandingkan dengan
Amerika yang mencapai 65,1 transaksi per kapita per tahun dan penetrasi pada
kartu kredit hanya sekitar 28%.
c. Fenomena lain yang menarik adalah penggunaan e-purse di beberapa negara
Eropa yang ternyata juga tidak terlalu sukses. Salah satu e-purse yang tergolong
relatif berhasil adalah Proton card (Belgia). Jumlah kartu yang digunakan
mencapai 9 juta kartu atau 88% dari populasi. Dilihat dari jumlah, walaupun
jumlah pengguna cukup besar namun yang secara aktif (paling tidak 1 transaksi
dalam 6 bulan terakhir) menggunakan Proton card hanya mencapai 20%.
Apabila jumlah sleeping card diabaikan dalam penghitungan frekuensi
pemakaian, maka penggunaan Proton card mencapai 4,1 transaksi per kartu
aktif per bulan.
d. Lebih lanjut, pembicara menyampaikan alasan perlunya dukungan terhadap
upaya peningkatan less cash society antara lain:
1) Tingginya biaya penggunaan cash
Biaya dihitung berdasarkan social cost yang terjadi dari setiap instrumen
20
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
21
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
22
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
3) Penggunaan metode cost based pricing sangat berguna terutama untuk melihat
keseluruhan dampak biaya dari penggunaan instrumen pembayaran.
4) Hasil penelitian tersebut tidak bisa digeneralisir di setiap negara. Untuk
menerapkan kebijakan sebagaimana hasil kajian yang telah dilakukan di atas
akan sangat berisiko karena belum tentu sesuai dengan kondisi sosial, budaya,
ekonomi dan kondisi lainnya di tiap-tiap negara.
3. Less Cash Society and its Impact for Monetary Policy from the Point of View of
Indonesian Observer
(Dr. Dradjad H. Wibowo, Pakar Ekonomi)
Berangkat dari cara pandang sebagai seorang peneliti, dipaparkan beberapa hal
terkait dengan materi yang disampaikan sebagai berikut:
a. Penggunaan sarana pembayaran non tunai akan meningkatkan transaksi
transnasional, sehingga transaksi-transaksi keuangan tidak akan mengenal
batas-batas negara. Bank sentral akan kesulitan dalam mengawasi transaksi-
transaksi keuangan yang ada.
b. Penggunaan sarana pembayaran non tunai secara tidak langsung akan
meningkatkan jumlah pemain dalam pasar uang, karena dengan adanya sarana
pembayaran non tunai terutama yang bersifat elektronis, akses masyarakat
terhadap kegiatan pasar uang menjadi lebih mudah.
c. Transaksi yang menggunakan sarana pembayaran non tunai relatif lebih mudah
dilacak karena sarana pembayaran non tunai tersebut mempersyaratkan
identitas dalam penerbitannya, sedangkan uang tunai tidak melekatkan
identitas pemiliknya sehingga relatif lebih sulit dilacak.
d. Di masa depan, sektor formal dan daerah perkotaan akan lebih mengarah pada
penggunaan sarana pembayaran non tunai, sedangkan sektor informal dan
daerah pedesaan masih mengandalkan sarana pembayaran tunai.
e. Salah satu kelemahan kartu kredit adalah bahwa kartu kredit tidak dapat
digunakan untuk transaksi antar individu serta tidak dapat digunakan untuk
transaksi-transaksi dengan nominal yang relatif kecil.
f. Penggunaan sarana pembayaran non tunai dapat meningkatkan instabilitas
perekonomian karena lalu lintas uang dapat dilakukan dengan cepat dan tidak
mengenal batas-batas negara.
g. Dampak penggunaan sarana pembayaran non tunai terhadap makro ekonomi:
1) Instabilitas nilai tukar meningkat dengan adanya kemudahan bagi
masyarakat untuk melakukan transaksi secara virtual.
2) Meningkatnya suplai uang karena adanya uang virtual.
3) Risiko terjadinya gagal bayar dalam proses penyelesaian transaksi meningkat
sehingga meningkatkan risiko terjadinya krisis keuangan.
23
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
24
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
3) Pengenaan giro wajib minimum oleh bank sentral kepada penerbit sarana
pembayaran non tunai;
4) Peraturan yang jelas yang memfasilitasi hak dan kewajiban pihak-pihak yang
berkaitan dengan sarana pembayaran non tunai.
B . Sesi 2
Oversight & Legal Aspect of Non-Cash Payment Instruments
1. Aspek Perlindungan Konsumen Dalam Less Cash Society
(Asman Abnur, Wakil Ketua Komisi XI DPR-RI)
Sejalan dengan meningkatnya penggunaan alat pembayaran non tunai perlu
menjadi perhatian mengenai keamanan sistem yang dipergunakan. Berkaitan
dengan hal tersebut, dijelaskan mengenai hal-hal sebagai berikut:
a. Alat-alat pembayaran yang bersifat elektronik pada dasarnya harus
dikembangkan karena akan memberikan keuntungan bagi penggunanya.
Sebenarnya, Indonesia agak terlambat mengatur alat pembayaran elektronik
karena alat-alat pembayaran tersebut saat ini sudah merupakan kebutuhan di
negara-negara lain. Penggunaan alat-alat pembayaran elektronik diharapkan
dapat berkembang terus di masyarakat sehingga dapat tumbuh menjadi suatu
kebiasaan dan pada akhirnya menjadi budaya (social construction by technol-
ogy).
b. Seiring dengan kebutuhan adanya alat pembayaran elektronik, maka harus
diterbitkan pula peraturan-peraturan yang memberikan kepastian hukum dan
perlindungan bagi pengguna alat-alat pembayaran elektronik tersebut,
termasuk sanksi yang jelas bagi pihak yang menyalahgunakan alat pembayaran
elektronik.
c. Penegakan hukum masih merupakan isu utama. Berkembangnya alat-alat
pembayaran elektronik juga ditentukan oleh penerapan ketentuan, seperti
Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Bank Indonesia serta
Surat Edaran Bank Indonesia, yang isinya melindungi kepentingan konsumen
secara baik dan konsisten oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya.
d. Pada dasarnya yang dibutuhkan konsumen adalah perlindungan terhadap pri-
vacy konsumen, keamanan bertransaksi serta perlakuan yang tidak diskriminatif
dari penyelenggara alat pembayaran elektronik.
2. Aspek Hukum dalam Implementasi Alat Pembayaran Non Tunai Elektronik (e-
money) dan Kesiapan Perangkat Hukum Indonesia dalam Menunjang Terciptanya
Less Cash Society
(Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LL.M, Ph.D, Dekan Fakultas Hukum Universitas
Indonesia)
Kemajuan teknologi yang mendorong inovasi dan semakin mewarnai dunia
menjadi suatu tantangan bagaimana hukum Indonesia merespon situasi tersebut.
Materi yang disajikan memaparkan beberapa hal dalam menjawab kondisi
25
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
tersebut, yaitu:
a. Agar e-money dapat berjalan dengan baik dan digunakan secara luas oleh
masyarakat diperlukan infrastruktur hukum yang memadai. Pembentukan
peraturan tidak dapat dilakukan dengan mengadopsi begitu saja peraturan
dari negara lain (transplantasi hukum), karena karakteristik dan budaya masing-
masing bangsa dan negara adalah berbeda-beda.
b. Pengertian hukum tidak terbatas pada peraturan perundang-undangan saja.
Pengertian semacam ini merupakan pengertian hukum yang direduksi, karena
disamping peraturan perundang-undangan diperlukan pula infrastruktur
hukum lainnya.
c. Permasalahan terpenting dalam implementasi alat pembayaran elektronik (e-
money) adalah pada penegakan hukumnya.
d. Dari segi hukum, e-money dapat dilihat dari sisi perdata dan sisi pidana:
1) Dari sisi perdata, transaksi e-money terkait erat dengan konsepsi perjanjian,
dimana berbagai perjanjian antar pihak yang terkait dalam pelaksanaan e-
money akan didasarkan pada hukum perjanjian.
2) Dari sisi pidana, yang perlu dilakukan adalah identifikasi perbuatan yang
dianggap dapat merugikan masyarakat dan menjadi perbuatan jahat, serta
penentuan sanksi.
e. Masalah lain yang perlu mendapatkan perhatian dalam implementasi e-money
adalah masalah pembuktian. Dalam hal ini, pertanyaan yang mengemuka
adalah apakah data elektronik dapat dijadikan alat bukti dalam beracara di
pengadilan.
f. Undang-Undang Bank Indonesia memberikan dasar kewenangan bagi Bank
Indonesia untuk mengatur e-money. Pengaturan oleh Bank Indonesia terutama
adalah pengaturan secara administratif mengenai pihak-pihak yang ingin
menyelenggarakan kegiatan e-money, juga untuk mengurangi risiko dan
meningkatkan keamanan penggunaan e-money.
g. Implementasi e-money dapat dilaksanakan secara bertahap, mungkin pertama
kali di Jakarta terlebih dahulu sebagai pilot project, baru kemudian
dikembangkan di kota-kota lain.
h. Berkaca dari negara-negara lain, penyusunan Undang-Undang khusus tentang
e-money bukanlah suatu keharusan (contoh di Hong Kong tidak ada ketentuan
khusus yang mengatur e-money). Pengaturan e-money dapat dilakukan dengan
mengacu pada ketentuan yang telah ada dengan tambahan ketentuan Bank
Indonesia atau departemen-departemen terkait untuk pengaturan yang lebih
bersifat teknis.
i. Sebagai penutup, penegakan hukum yang baik dan konsisten atas peraturan e-
money merupakan hal yang utama. Apabila penegakan hukum masih tidak op-
timal, maka masyarakat tidak akan percaya terhadap e-money sebagai instrumen
pembayaran. Pada akhirnya, hal tersebut dapat menciptakan keengganan
masyarakat untuk menggunakan e-money sehingga pada gilirannya harapan
26
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
A. Sesi 1
National Payment Gateway from the Point of view of Practitioners
27
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
28
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
29
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
30
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
B . Sesi 2
Market Collaboration among Banks, Non Bank Issuers, Billers,
Merchants and Supporting Services (Switching Company and
Financial Acquirer)
31
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
cepat, aman dan handal. Meskipun terdapat peran Bank Indonesia dalam hal ini,
prinsip yang tetap harus dipegang adalah adanya “win-win solution” antara Bank
Indonesia dengan pelaku LCS (perbankan, service provider company, outlet/mer-
chant dan masyarakat).
Pertanyaan kedua adalah apa yang harus dilakukan oleh Bank Indonesia dalam
mengembangkan LCS. Upaya mendorong masyarakat dalam menggunakan alat
pembayaran non tunai tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan
penggunaan uang tunai yang terjadi saat ini. Beberapa fakta yang terjadi saat ini
terkait dengan ketidakefisienan penggunaan uang tunai antara lain adalah relatif
masih tingginya biaya pengadaan dan pengelolaan uang tunai, semakin cepatnya
teknologi pemalsuan uang, dan ketersediaan uang pecahan yang masih sulit
memenuhi kebutuhan masyarakat. Di sisi lain, penggunaan alat pembayaran non
tunai sebenarnya telah banyak berkembang di masyarakat Indonesia untuk
melakukan berbagai transaksi khususnya transaksi yang bernilai besar. Selain itu
sudah mulai banyak masyarakat yang mengenal kartu prabayar. Dari sini dapat
ditarik kesimpulan bahwa hal yang harus dilakukan Bank Indonesia adalah
mengurangi penggunaan uang tunai di masyarakat atau mendorong penggunaan
alat pembayaran non tunai. Untuk melaksanakan tugas tersebut, perlu dipikirkan
segmen mana yang akan dituju oleh Bank Indonesia. Dalam hal ini kriteria
penggunaan alat pembayaran non tunai ditujukan lebih kepada pembayaran yang
memiliki kriteria antara lain: transaksi bernilai kecil (micro payment); frekuensi
penggunaannya relatif sering; dan bersifat masal.
Pertanyaan terakhir yang harus dijawab adalah bagaimana Bank Indonesia harus
berperan dalam menunjang upaya terwujudnya LCS. Berpijak pada tugas Bank
Indonesia untuk mengembangkan sistem pembayaran nasional yang efisien, cepat,
aman dan handal maka dalam memposisikan dirinya sudah seharusnya Bank In-
donesia berperan aktif tanpa harus menonjolkan diri. Dalam hal ini, Bank Indo-
nesia diharapkan agar lebih mengedepankan fungsi sebagai fasilitator dan
katalisator untuk mendorong percepatan ke arah terwujudnya LCS.
Pada akhirnya pembicara menyimpulkan bahwa upaya untuk mendorong
terwujudnya LCS tidaklah mudah sehingga tidak mungkin dilakukan hanya oleh
Bank Indonesia. Oleh karena itu, perlu dilakukan kerjasama dengan pihak-pihak
lain di luar Bank Indonesia sehingga dapat disusun suatu grand design LCS yang
komprehensif dan dapat diterapkan di Indonesia.
32
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
tersebut terutama dalam bentuk kebijakan dan regulasi yang diarahkan untuk
menciptakan keadaan yang kondusif bagi perkembangan transaksi keuangan
berbasis teknologi informasi. Beberapa kebijakan dan regulasi pemerintah terkait
dengan 3C diantaranya adalah:
a. Konvergensi 3G, regulasi ini bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan
sumber daya yang ada dan merupakan potensi sumber pendapatan negara
yang besar.
b. Fasilitasi regulasi, Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik (RUU ITE).
c. Rancangan Undang-Undang Cyber Crime, ditujukan untuk meningkatkan
keamanan dan kenyamanan dalam berinteraksi/bertransaksi di dunia cyber.
d. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi tentang certification authority
dan keamanan sistem.
e. Peningkatan penetrasi internet untuk memperluas akses internet sehingga lebih
merata.
f. Perlindungan security.
g. Lawful interception, penyadapan secara legal untuk kepentingan hukum
(diantaranya dapat dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan
kepolisian).
h. Prepaid regulation.
Kebijakan dan regulasi di atas diharapkan dapat mendukung terwujudnya LCS
khususnya dari sisi security dan law enforcement. Untuk mewujudkan LCS
terdapat beberapa kendala seperti tingkat perekonomian, keengganan
masyarakat, masalah privasi, security, dan law enforcement. LCS sendiri
sebenarnya dapat meningkatkan keamanan dalam transaksi asalkan didukung
dengan aturan yang jelas.
Salah satu instrumen dalam rangka mewujudkan LCS adalah penggunaan e-
money. E- Money adalah suatu nilai moneter yang diterima sebagai alat
pembayaran secara elektronik dan diterbitkan oleh bank maupun badan usaha
non bank. Beberapa masalah yang perlu diantisipasi dalam penggunaan e-
money adalah pencucian uang, double spending problem, dan technological
risk. Upaya mendorong terwujudnya LCS dapat mencegah terjadinya money
laundering karena transaksi lebih tercatat otomatis secara elektronik.
Penyelenggara e-money harus memenuhi azas keterbukaan informasi, yaitu
akses dalam informasi terkait dengan transaksi. Penyelenggara jasa e-money
harus memberikan akses bagi konsumen mengenai informasi yang relevan dan
komprehensif serta panduan tentang cara kerja dan cara menggunakan produk
e-money. Di sisi lain, konsumen juga harus diinformasikan mengenai tanggung
jawabnya sebagai pemegang e-money.
Selain azas keterbukaan informasi, penyelenggara e-money harus menjaga
kerahasiaan informasi pribadi konsumen yang dimiliki oleh penyelenggara
sesuai dengan hukum mengenai privasi dan akses informasi, kecuali apabila
33
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
3. Prospek dan Tantangan dalam Mewujudkan Less Cash Society – Case Study BCA
(D.E. Setijoso, CEO PT. Bank Central Asia, Tbk.)
Sampai saat ini uang kertas dan cek sebagai alat pembayaran masih banyak
digunakan oleh masyarakat dunia. Namun sejalan dengan perkembangan
teknologi informasi dan sistem pembayaran yang semakin pesat, pola pembayaran
tunai (cash) secara berangsur beralih menuju pembayaran non tunai (non-cash)
dengan 3 basis instrumen pembayaran yakni:
· Paper-based: cek, bilyet giro dan nota debet.
· Card-based: kartu kredit, kartu debet dan kartu ATM.
· Electronic-based: e-money, internet banking dan mobile banking.
Perkembangan menuju less cash society merupakan trend yang tidak dapat
dihindari. Perubahan tersebut antara lain didukung infrastruktur, sistem dan alat
pembayaran elektronis seperti kartu magnetik dan kartu chip. Penggunaan
instrumen pembayaran card-based dan electronic-based (non-cash payment)
sebagai alat transaksi memiliki keunggulan, antara lain dapat menangani transaksi
secara lebih efisien dan menekan biaya transaksi.
Perkembangan non-cash payment di kawasan Asia Pasifik bervariasi di tiap negara
dan pada umumnya menunjukkan peningkatan untuk nilai transaksi pembayaran
melalui kartu kredit, kartu debet dan kartu ATM. Seiring dengan perkembangan
pola pembayaran tersebut, pembayaran non-cash di Indonesia juga menunjukkan
peningkatan dari tahun ke tahun.
Walaupun pembayaran non-cash di Indonesia meningkat namun masih ada
beberapa hal yang menjadi kendala dalam pengembangan lebih lanjut, antara
lain: Indonesia masih merupakan cash society dimana tendensi bertransaksi
dengan uang tunai masih tinggi; masalah infrastruktur; dan kesiapan perangkat
hukum yang masih membutuhkan pembenahan lebih lanjut.
Transaksi nilai kecil dengan frekuensi transaksi yang tinggi (skala retail) atau
dikenal dengan micro payment system, dilakukan dengan menggunakan prepaid
cash card atau microchip-based mobile/cellular phone. Beberapa contoh
penerapan sistem ini adalah pada pembayaran perparkiran, tol, entertainment
center, tiket bus, subway dan lain lain. Micro payment system telah diterapkan
dengan sukses di beberapa negara seperti: Hong Kong dengan Octopus card;
Malaysia dengan Touch n’ Go; dan Singapore dengan EZ link.
Untuk dapat mengembangkan non-cash payment system selain membutuhkan
infrastruktur dan teknologi yang memadai, bank juga harus bekerjasama dengan
perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang telekomunikasi dan switching
(operator jaringan), mengembangkan jejaring merchant dan nasabah pengguna
34
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
35
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
36
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
Bagian Ketiga
TANYA JAWAB DAN
DISKUSI
37
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
38
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
39
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
dan Credit card. Sedangkan definisi e-money secara sempit adalah terdiri dari
smart card dan prepaid smart card
5 . Noer Azam Achsani (Institut Pertanian Bogor)
Pertanyaan:
a. Bagaimana cara menghitung underground economy?
b. Saran untuk menaikkan cost of cash kurang sesuai diterapkan di Indonesia
karena penggunaan cash di Indonesia masih lebih tinggi daripada penggunaan
non-cash. Berkenaan dengan hal tersebut bagaimana tanggapan Prof. Leo?
Jawaban:
a. Underground economy dihitung dengan menambahkan variabel tax rate dalam
persamaan permintaan uang. Latar belakang perhitungan tersebut disebabkan
oleh semakin tingginya tax rate maka semakin tinggi pula dorongan untuk
melakukan transaksi pembayaran tunai (korelasi positif). Hal ini berarti semakin
tinggi tax rate maka semakin tinggi permintaan uang kartal. Metode ini
merupakan metode yang dikembangkan oleh Vito Tamzi dari IMF.
b. Sebagaimana telah disampaikan pada presentasi saya bahwa pendekatan untuk
menaikkan cost of cash belum tentu sesuai untuk diterapkan di semua negara.
Hal ini sangat tergantung dari kondisi sosial budaya masing-masing negara.
Berkenaan dengan hal tersebut disarankan agar otoritas menjelaskan kepada
masyarakat bahwa sebenarnya penggunaan uang tunai memiliki konsekuensi
biaya tinggi misalnya biaya untuk cash handling dan biaya untuk keamanan.
Di sisi yang lain agar penggunaan alat pembayaran non tunai diterima lebih
luas di masyarakat perlu juga mendorong merchant untuk memfasilitasi
tersedianya sarana pendukung penggunaan instrumen non tunai tersebut.
40
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
41
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
42
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
pelaksanaannya. Penting pula untuk diatur mengenai sanksi, dimana sanksi ini
dapat bersifat administratif (pencabutan izin, penghentian kegiatan usaha,
denda, dan lain-lain) dan dapat diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.
5 . Lili (PT. ISO)
Pertanyaan:
a. Sebenarnya transaksi dengan e-money sudah berjalan. Namun demikian
terdapat permasalahan dimana dalam transaksi melalui internet, Indonesia
termasuk sebagai salah satu negara yang di-banned. Apakah permasalahan ini
diakibatkan oleh tidak adanya ketentuan atau justru kelemahan dalam
penerapan peraturan?
b. Dalam melaksanakan suatu kegiatan bisnis, apakah mutlak diperlukan
keberadaan peraturan yang mengatur bisnis tersebut lebih dahulu, atau apakah
bisa kegiatan bisnisnya jalan dulu baru kemudian peraturannya, mengingat
dalam beberapa kasus yang terjadi adalah kegiatan bisnis berjalan terlebih
dulu dibandingkan dengan ketentuan yang mengaturnya?
Jawaban:
a. Dalam konteks alat pembayaran, Bank Indonesia berdasarkan Undang-Undang
Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur alat pembayaran
termasuk berperan aktif dalam menentukan standar alat pembayaran termasuk
perangkat penunjangnya serta perlindungan kepada konsumen.
b. Permasalahan yang utama adalah mengenai masalah penegakan hukum.
Adapun hal yang perlu diperhatikan yaitu apakah pelaku kejahatan/fraud
tersebut berakhir di pengadilan atau tidak (dihukum dengan pantas atau tidak
terkait dengan efek jera yang ditimbulkan).
Kecenderungan yang terjadi adalah bisnis berjalan dulu baru kemudian
hukumnya dibuat dengan mempertimbangkan apakah kegiatan tersebut perlu
diatur mengenai pengenaan sanksi, syarat-syarat administratif serta standar
keamanan.
6 . Nastiti (Direktorat Perlindungan Konsumen, Departemen
Perdagangan)
Informasi:
Sesuai dengan informasi Prof. Hikmahanto, pada saat ini terdapat Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang melakukan penyelesaian sengketa
konsumen di luar pengadilan. Hingga saat ini sudah dibentuk di 22 daerah tingkat
II, dan 10 diantaranya sudah aktif berjalan. Di DKI Jakarta belum ada BPSK karena
terbentur Undang-Undang Otonomi Daerah.
43
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
44
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
PT. Pertamina:
Prinsipnya, Pertamina juga akan menerapkan prinsip value protection
sebagaimana dikemukakan Antony. Untuk kartu-kartu yang terdaftar, pemilik
kartu dapat melakukan pemblokiran/pengklaiman dana apabila kartunya hilang,
sedangkan untuk anonymous card tidak dapat diklaim apabila hilang. Mengingat
implementasi Gaz Card tahap awal akan diprioritaskan untuk transaksi antara
Pertamina dan Pengusaha (merchant), maka Gaz Card justru akan bersifat regis-
tered. Untuk Gaz Card yang akan diluncurkan pada tahap awal ini, konversi nilai
dana yang ada pada kartu menjadi uang sebagai konsekuensi money back guar-
antee, tampaknya akan sulit dipenuhi oleh PT. Pertamina.
PT. Telkom:
E-cash atau stored value card merupakan bentuk lain (elektronik) dari uang,
sehingga sudah semestinya e-cash harus bisa dicairkan kembali (konversi) ke dalam
bentuk uang apabila diinginkan oleh pemegangnya. Sehubungan dengan hal
tersebut tidak ada alasan mengenai tidak adanya money back guarantee apabila
pengguna tidak merasa nyaman dalam penggunaan e-cash tersebut.
45
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
maupun katalisator agar pasar berkolaborasi satu dengan yang lain, dalam
pengembangan e-cash di Indonesia. Perlu pula dicermati apakah akan ada
standardisasi produk atau tidak.
PT. Pertamina:
Pertamina mengembangkan Gaz Card salah satunya untuk loyalty rewards bagi
pelanggan, sehingga diharapkan pelanggan akan tetap loyal kepada produk
Pertamina. Meskipun sampai saat ini Pertamina masih bepikir bahwa kolaborasi
dapat saja dilakukan sepanjang dengan perusahaan-perusahaan yang memang
bukan kompetitor Pertamina, namun Pertamina tetap berpandangan sama bahwa
kolaborasi itu sangat penting.
3 . Agus Ponco (Bank Indonesia)
Pertanyaan:
Apakah stored value card seperti Octopus Card dapat dikembangkan di Indone-
sia mengingat masyarakat Indonesia sangat berbeda-beda baik dari sisi budaya,
behavior maupun religion-nya?
Jawaban:
Antony
Belajar dari pengalaman, untuk menciptakan alat pembayaran baru, jangan
mengedepankan masalah kompleksitasinya, namun selalu mengemukakan ben-
efits-nya. Hal ini untuk mencegah keengganan dan sikap skeptis dari masyarakat
calon pengguna. Perbedaan dan keanekaragaman budaya, baik dari sikap, perilaku
maupun preferensi pembayaran masyarakat harus dijadikan salah satu acuan
dalam pengembangan alat pembayaran. Dalam arti, jangan sampai dilakukan
pengembangan alat pembayaran yang memang tidak sesuai dengan kebutuhan
dan karakter masyarakat, dan bertentangan dengan budaya masyarakat. Buatlah
skim pembayaran itu sesederhana mungkin.
PT. Telkom:
Dalam setiap pengembangan produk, Telkom selalu memperhatikan budaya
masyarakat karena hal tersebut sangat berpengaruh terhadap acceptance
masyarakat atas produk yang diterbitkan. Sebagai contoh, Telkomsel, anak
perusahaan PT. Telkom pernah mengeluarkan produk kartu prabayar berupa
“Simpati Hoki” yang ternyata memang tidak laku di wilayah tertentu (Propinsi
Aceh). Hal ini mengingat di wilayah tersebut tidak mempercayai adanya hoki
(lucky) dan adat setempat menganggap bahwa percaya pada faktor hoki semata-
mata adalah tidak baik. Untuk itu, produk “Simpati Hoki” ditarik dan digantikan
dengan “Simpati Jitu”.
Sejalan dengan perilaku dan karakter masyarakat pulalah saat ini 97% produk
kartu telekomunikasi yang diterbitkan oleh Telkom Group berupa kartu prabayar.
4 . Bank Jatim
Saran/sharing:
Kiranya pengembangan non-cash payment instruments seperti stored value cards
untuk pembayaran BBM kendaraan bermotor yang sedang dijajagi oleh Pertamina
46
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
47
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
bagus jika dilakukan dengan bank karena memang sistem pembayaran ini
merupakan area yang menjadi nature bank.
PT. Pertamina:
Pertamina telah melakukan uji coba Gaz Card di Batam pada tanggal 5 Mei 2006,
dan hasilnya ternyata tingkat minat masyarakat terhadap Gaz Card ini sangat
besar. Dengan demikian Pertamina tidak melihat adanya keengganan pasar.
Namun demikian, untuk mengantisipasi keengganan pasar pada saat produk
diluncurkan, Pertamina akan memberikan perlakuan “khusus” bagi pelanggan
yang melakukan pembayaran Gaz Card, misalnya dengan memberikan line khusus
untuk pembelian BBM sehingga tidak antri, diberikan poin setiap mengisi dana
pada kartu bahkan sebelum dana pada kartu tersebut digunakan untuk
bertransaksi.
Untuk mempermudah akses masyarakat dalam melakukan pembelian kartu dan
top-up, termasuk proses registrasi, Pertamina akan menentukan SPBU yang dapat
dijadikan tempat untuk melakukan transaksi-transaksi tersebut.
PT. Telkom:
Isu kliring dan settlement selalu bersifat kompleks, namun bukan berarti tidak
ada jawabannya.
48
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
berdasarkan asas tersebut pelaku yang berada di luar negeri dapat diadili di
negara penyelenggara.
c. Proyek smartcard multifungsi yang direncanakan oleh PT. Jasa Marga menjadi
tertunda karena terdapat hal-hal yang berada di luar wewenang PT. Jasa Marga,
antara lain masalah regulasi e-money dan kepentingan antar institusi.
49
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
50
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
merupakan produk non tunai yang sedang trend saat ini. Pada saat awal
peluncuran produk internet banking, satu hal yang menjadi pertanyaan BCA
adalah apakah produk ini akan digunakan oleh masyarakat atau tidak, mengingat
prinsip yang dipegang oleh BCA pada saat peluncuran produk baru adalah harus
mencapai tingkat economic of scale tertentu. Disadari bahwa saat ini sebagian
besar pengusaha berasal dari generasi tua yang kurang mengenal teknologi yang
digunakan. Namun dalam kenyataannya terdapat pengusaha yang berasal dari
second generation yang telah mengenal teknologi internet. Melihat kondisi
tersebut, apabila BCA hanya melihat pada market generasi terdahulu saja, maka
penetrasi pasar akan sangat lama. Oleh karena itu BCA lebih mengarahkan
produknya pada generasi muda sebagai channel delivery system sehingga produk
BCA cukup dikenal oleh masyarakat.
9 . Hari (Bank Bukopin)
Pertanyaan
a. Untuk membuat kartu yang multipurpose, permasalahan yang terjadi selama
ini adalah interoperability. Apakah ada pemikiran dari PT. Jasa Marga untuk
membuat standar terhadap kartu untuk tol sehingga bisa digunakan lintas
operator tol (selain PT. Jasa Marga)?
b. Dalam grand design PT. Jasa Marga, apakah di masa yang akan datang akan
bekerjasama dengan bank, menjadi issuer sendiri atau melakukan kerjasama
dengan pihak lain (non bank)?
Jawaban
a. Pada saat ini terdapat beberapa perusahaan yang terlibat dalam pengelolaan
industri tol antara lain PT. DMNS untuk tol ruas Tangerang-Merak, PT. Citra
Marga Nusa Pala untuk tol dalam kota. Kedua perusahaan ini dikategorikan
pada kelompok merchant yang beda tetapi tujuan yang sama (untuk membayar
tol). Terkait dengan kolaborasi antara pelaku pasar tersebut, disadari bahwa
hal tersebut akan mempercepat penggunaan kartu. Sementara itu untuk
standardisasi kartu saat ini masih terdapat tarik-menarik antara pemain
mengingat terdapat berbagai kepentingan antara lain aspek bisnis, teknologi
dan lain-lain.
Permasalahan yang dihadapi oleh PT. Jasa Marga adalah belum adanya standar
messaging untuk multipurpose. Permasalahan lain juga cukup beragam yaitu
masalah teknologi dan bisnis.
b. Untuk saat ini kemungkinan PT. Jasa Marga akan menjadi issuer sendiri dengan
memperluas layanan smartcard yang sudah diterapkan di ruas Padalarang-
Cileunyi. Ke depan tidak menutup kemungkinan untuk berkolaborasi dengan
pihak lain untuk mengembangkan multipurpose card.
51
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
Bagian Keempat
DISKUSI DENGAN
PEMBICARA ASING DI
LUAR SEMINAR
52
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
53
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
54
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
baik. Pada umumnya penerbit prepaid card adalah bank. Kedua, seluruh lembaga
penerbit prepaid card tersebut merupakan obyek pengawasan sistem pembayaran.
Ketiga, penerbit prepaid card diwajibkan untuk memiliki modal minimum tertentu
dan harus menempatkan dananya pada investasi tertentu yang aman. Apabila
Indonesia akan menerapkan peraturan untuk menjadi penerbit prepaid card
seyogyanya lembaga penerbit adalah bank. Selanjutnya apabila ada lembaga lain
seperti jasa transportasi atau lainnya maka lembaga tersebut harus bekerja sama
dengan bank. Berkenaan dengan hal tersebut diperlukan legal infrastructure yang
tegas dan jelas untuk mengatur aturan main penyelenggaraan prepaid card ini.
Pertanyaan 9:
Apakah Bank Sentral Belgia mengawasi bank dan lembaga keuangan bukan bank
penyelenggara e-money?
Jawaban:
Pengawasan terhadap penyelenggaraan kegiatan e-money di Eropa menjadi
tanggung jawab European Central Bank (ECB), sehingga setiap penerbit harus
melaporkan kegiatan penerbitan -e-money secara rutin. Di setiap bank sentral
yang tergabung dalam ECB juga memiliki financial stability department yang
melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan e-money.
Pertanyaan 10:
Apakah penerbit e-purse juga memberikan laporan kegiatannya kepada lembaga
yang menangani money laundering?
Jawaban:
Pada umumnya nilai uang pada e-purse dibatasi karena hanya digunakan untuk
transaksi ritel sehingga nampaknya kecil kemungkinan untuk digunakan sebagai
sarana untuk melakukan transaksi money laundering.
Pertanyaan 11:
Bagaimana penyelesaian dispute antara issuer, merchant dan konsumen, misalnya
apabila issuer bangkrut sementara konsumen masih memiliki nilai uang pada kartu
yang dibelinya?
Jawaban:
Nilai uang yang tersimpan dalam e-purse akan tetap berlaku sampai dengan
nilainya habis dan tidak terkait dengan penerbit e-purse tersebut. Oleh karena
itu apabila issuer e-purse bangkrut konsumen tetap dapat menggunakan kartu
tersebut untuk bertransaksi di merchant.
Pertanyaan 12:
Bagaimana dampak less cash society terhadap variabel-variabel makro ekonomi
seperti:
- tingkat harga (inflasi);
- surplus konsumen dan produsen; dan
- kesejahteraan masyarakat secara umum.
Jawaban:
Dilihat dari dampak terhadap tingkat harga (inflasi), tergantung dari jenis
55
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
instrumen pembayaran non tunai. Untuk Debit card dan prepaid card tidak akan
mempengaruhi ekonomi makro. Tetapi untuk Credit card akan mempengaruhi
uang beredar karena adanya money multiplier effect.
Dilihat dari dampak terhadap surplus konsumen dan produsen, tergantung dari
tingkat persaingan pasar. Semakin sempurna persaingan pasar tersebut, konsumen
akan semakin diuntungkan.
Dilihat dari dampak terhadap kesejahteraan masyarakat secara umum, karena
social cost berkurang maka kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Dengan
berkurangnya social cost dalam hal ini antara lain dengan berkurangnya cash
handling maka surplus produsen akan semakin meningkat.
Pertanyaan 13:
Apabila masyarakat memandang penggunaan instrumen non tunai akan lebih
membuat masyarakat semakin nyaman untuk bertransaksi, apakah akan kondisi
ini akan berdampak pada meningkatnya aktivitas transaksi yang pada gilirannya
akan meningkatkan tingkat harga secara umum?
Jawaban:
Kondisi tersebut tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan
harga secara umum.
Pada prinsipnya kenyamanan penggunaan -e-purse sama dengan kenyamanan
penggunaan uang tunai.
Pertanyaan 14:
Bagaimana cara menghitung social cost of payment instrument?
Jawaban:
Penghitungan social cost dilakukan dengan menjumlahkan seluruh private cost
atau biaya-biaya yang dikeluarkan oleh seluruh pihak yang menggunakan
instrumen pembayaran. Misalnya penghitungan seluruh biaya yang dikeluarkan
oleh merchant, konsumen, bank, lembaga penyedia instrumen pembayaran
termasuk bank sentral terkait dengan distribusi penggunaan instrumen
pembayaran tersebut. Untuk menghindari terjadinya penghitungan ganda maka
biaya transfer dana melalui sistem perbankan tidak disertakan dalam perhitungan
tersebut.
Untuk menghitung social cost, data transaksi diperoleh dari bank umum atau
penerbit. Sementara itu data yang dikeluarkan oleh merchant maupun konsumen
dilakukan dengan survei sehingga diperoleh proksi untuk menghitung seluruh
biaya yang dikeluarkannya.
Pertanyaan 15:
Apakah dampak penggunaan instrumen non-cash terhadap pendapatan seignor-
age bank sentral?
Jawaban:
Penggunaan instrumen non-cash secara otomatis akan menurunkan pendapatan
seignorage bagi bank sentral tapi terdapat pula efisiensi terutama pengurangan
biaya cetak uang, biaya distribusi dan biaya keamanannya. Hal yang lebih penting
56
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
57
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
58
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
59
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
60
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
61
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
Bagian Kelima
PENUTUP
62
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
Kesimpulan dan Penutupan Seminar: Edi Siswanto, Direktur Akunting dan Sistem
Pembayaran Bank Indonesia.
63
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
2) Sementara itu, dari pembicara kedua, Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M.,
Ph.D., Dekan FH UI, sempat melontarkan fakta bahwa dalam praktek
internasional penyelenggaraan e-money tidak harus diikuti dengan
penyusunan Undang-Undang. Namun demikian, sudah tepat saatnya jika Bank
Indonesia dapat terus melanjutkan langkah-langkah dengan mengeluarkan
peraturan Bank Indonesia di bidang e-money. Hal lain yang lebih penting
setelah dikeluarkannya ketentuan adalah masalah penegakkan “hukum” yang
harus dilakukan dengan tegas.
3) Adalah menarik juga dalam sesi ini muncul usulan bahwa bisnis dapat tetap
jalan dulu tanpa harus menunggu dikeluarkannya aturan.
4) Sementara itu pembicara ketiga, Bramudija Hadinoto, melihat pentingnya peran
pengawasan sistem pembayaran oleh Bank Indonesia yang dapat dilakukan
sebagai upaya penegakan hukum untuk mewujudkan sistem pembayaran yang
cepat, aman dan handal.
c. Hari kedua sesi pagi (aspek kolaborasi dan ekspektasi pasar terhadap
pengembangan sistem pembayaran non tunai):
1) Pembicara pertama, Antony Morris dari Octopus Cards Ltd. Hong Kong,
menggarisbawahi pentingnya kolaborasi pasar untuk mengetahui kebutuhan
mekanisme pembayaran yang paling tepat. Disadari bahwa untuk dapat
berkembang seperti sekarang ini, Octopus telah melakukan perjalanan yang
panjang dan bertahap. Dalam tahap ini penting untuk membangun “trust”,
antara lain dengan menerapkan 100% money back guarantee.
2) Pengembangan yang telah dilakukan perlu terus disesuaikan dengan
memperhatikan aspek culture, needs, behavior dan karakter pembayaran
masyarakat Indonesia, seperti memperhatikan: kemudahan dan kenyamanan
dalam penggunaan, biaya yang murah, dan kepuasan konsumen, serta dilakukan
dengan menggunakan teknologi terbaru yang secure, praktis, cepat, dan reli-
able.
3) Sedangkan pembicara kedua dari PT. Telkom dan pembicara ketiga dari
Pertamina mengemukakan kesiapan kedua perusahaan tersebut dalam
mendukung pengembangan less cash society di Indonesia.
4) Hal lain yang menarik dari ketiga pembicara dalam sesi ini adalah sepakat adanya
keperluan untuk standardisasi dan menciptakan kesadaran arti pentingnya
interoperability dan konvergensi antar operator.
d. Hari kedua sesi siang. Diantara pembicara dari Bank Indonesia, Depkominfo, BCA
dan Jasa Marga telah membahas lebih rinci pentingnya peran kolaborasi dalam
memasuki pasar di Indonesia dan mengharapkan pentingnya peran sentral Bank
Indonesia sebagai fasilitator dan katalisator yang berdiri tepat di antara opera-
tor dan masyarakat sebagai konsumen.
2. Dari apa yang telah dipaparkan dalam dua hari seminar, diyakini para peserta semi-
nar bahwa pengembangan beberapa infrastruktur dan instrumen terkait dengan
less cash society di Indonesia telah dimulai. Namun demikian, agar pengembangannya
64
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
secara nasional lebih efisien, seperti dikemukakan oleh Mohamad Ishak, diperlukan
peran regulasi dari Bank Indonesia untuk memfasilitasi dan menggerakkan seluruh
pihak yang terkait untuk duduk bersama dan mendiskusikan hal-hal krusial dan teknis
dalam pengembangan sistem pembayaran non tunai
3. Kiranya, hasil seminar ini bermanfaat bagi kita semua terutama bagi Bank Indonesia
dalam pengembangan sistem pembayaran yang tidak pernah henti menuju
masayarakat yang berkecenderungan less cash, dengan penggunaan instrumen
pembayaran non tunai yang handal, nyaman, aman, murah, dan efisien.
65
Seminar Internasional
“Toward a Less Cash Society in Indonesia”
Tim Perisalah/Penyusun
1. Puji Atmoko
2. Sukarelawati Permana
3. Pipih D. Purusitawati
4. Iwan Setiawan
5. Panji Achmad
6. Sri Yulia Parayudhanti
7. Butet Linda H.P.
8. Safari Kasiyanto
9. Franz Hansa
10. Trifaldi Yudistira
11. Kiptiah Riyanti
12. Himawan Kusprianto
13. Gunawan Purbowo
14. Nuryanti
15. Retno A. Soejoedono
66