Anda di halaman 1dari 15

BAB III

LANDASAN TEORI

A. Light Weight Deflectometer

1. Definisi Light Weight Deflectometer


Light Weight Deflectometer (LWD) adalah sebuah perangkat yang
mengukur deformasi vertikal oleh massa jatuh, alat ini telah digunakan selama
lebih dari dua dekade sebagai jaminan kualitas untuk konstruksi pekerjaan
tanah. Perang katini khusus digunakan dalam pekerjaan tanah dan, baru-baru
ini untuk aspal. Di Amerika Serikat, hasil pengujian LWD, yaitu, defleksi
tanah atau perkiraan modulus tanah dinamisnya (dari analisis Boussinesq plat
pembebanan pada setengah – ruang elastis), telah digunakan sebagai nilai
relative dan kualitatif karena kriterianya tergantung kepada kepadatan kering
dan kadar air (David, 2013).
Light Weight Deflectometer (LWD) adalah perangkat non destructive
testing, yang juga dapat menentukan defleksi dari aspal tanpa merusaka spalitu
sendiri. Alat LWD ini dapat digunakan dengan mudah dan sangat cepat dalam
penggunaannya.
Light Weight Deflectometer(LWD) semakin dipertimbangkan oleh
pemerintah Amerika Serikat dan beberapa negara di seluruh dunia. Perangkat
uji in-situ ini dapat digunakan untuk secara cepat untuk menentukan modulus
elastisitas dan parameter masukan untuk desain mekanik, yang memberikan
alternatif untuk uji in-situ yang memakan banyak waktu (misalnya, uji beban
lem pengstatis) dan parameter masukan untuk desain perkerasan mekanistik.
Modulus elastisitas LWD (ELWD) dihitung dengan menggunakan teori
setengah ruang elastik, mengetahui tegangan kontak pelat dan defleksi, dan
membuat asumsi untuk distribusi tegangan. Meskipun sebagian
besarperangkat menunjukkan kesamaan dalam operasi dan metodologi, ada
perbedaan bagaimana tekanan dan tekanan lempeng kontak ditentukan. Hal ini
menyebabkan perbedaan nilai ELWD yang dihitung. Komponen perangkat
LWD umumnya terdiri dari pelat pemuatan berdiameter 100 sampai 300 mm

16
17

dengan berat jatuh dari 10 sampai 20 kg, frase laser/akselerometer atau geofon
untuk menentukan defleksi, dan sel beban atau batas beban yang dikalibrasi
untuk menentukan tegangan kontak pelat. Untuk berhasil mengembangkan
spesifikasi dan penerapan penggunaan perangkat ini.

Gambar 3.1 Light Weight Deflectometer.


Sumber :Office of Geotechnical Services

2. Penentuan Teoritis Modulus Elastis


Berdasarkan elastic Bousinnesq, hubungan antara tekanan dan
perpindahan yang diterapkan di dalam tanah untuk kasus basa kaku atau
fleksibel yang terletak pada ruang setengah elastic dapat diturunkan sebagai
berikut:
(1−𝑉 2 )×σ0×a
𝐸= × 𝑓…………………..……………….……………………(3.1)
d0

dimana:
E = modulus elastisitas (MPa)

d0 = penurunan yang diukur (mm)

v = Rasio Poisson

σ0 = tegangan terapan (MPa)

a = jari-jari pelat(mm)
18

f = factor bentuk tergantung pada distribusi tegangan

Semua perangkat LWD menggunakan teori setengah ruang elastic


dan mengasumsikan distribusi tegangan untuk menghitung modulus elastic
dari tegangan kontak yang diukur (atau diasumsikan) dan defleksi puncak
pelat atau tanah langsung di bawah pusat pelat.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengukuran ELWD


Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai ELWD meliputi ukuran pelat
pemuatan, tekanan kontak pelat, tipe dan lokasi transduser defleksi, rigiditas
pelat, tingkat pemuatan, kekakuan penyangga, dan pengukuran bebandi mana
faktor-faktor ini mempengaruhi modulus diperlakukan secara terpisah dan
dibahas pada bagian berikut.
a. Tipe dan lokasi sensor defleksi
Sensor defleksi yang berbeda dan posisi pemasangan, misalnya,
memiliki akselero meter yang terpasang di piring dari mana bacaannya dua
kali terintegrasi untuk menghitung defleksi pelat.
b. Beban transduser
Beberapa perangkat mengasumsikan kekuatan penerapan konstan
berdasarkan uji kalibrasi yang dilakukan pada permukaan yang kaku
(misalnya beton), sedangkan perangkat lain mengukur beban sebenarnya
yang diterapkan menggunakan sel beban. Secara teoritis, gaya yang
diterapkan pada permukaan tidak dapat konstan, karena jelas tergantung
pada kekakuan material yang digunakan untuk beban. Namun, karena LWD
umumnya digunakan untuk pengujian lapisan padat yang relatif kaku,
kesalahan apapun yang terkait dengan asumsi kekuatan penerapan konstan
dalam perhitungan mungkin tidak terlalu signifikan. Davich (2005)
melaporkan pengukuran uji laboratorium untuk menyelidiki kesalahan dari
penggunaan beban yang diasumsikan bahwa asumsi gaya konstan dapat
menyebabkan overestimasi ELWD pada kisaran 4 sampai 8%, berdasarkan
pengujian material lunak sampai sangat kaku. Hasil uji lapangan dan
laboratorium dipresentasikan oleh Brandl (2003), dan Kopf dan Adam
(2004) menggunakan Zorn LWD menunjukkan bahwa asumsi kekuatan
19

penerapan konstan adalah wajar. Hasil yang disajikan dalam penelitian ini
juga mendukung kesimpulan ini.

𝐹 = √2 × 𝑚 × 𝑔 × ℎ × 𝐶………….………………………...…………(3.2)

dimana:
F = gaya terapan (kN)
m = massa berat jatuh (kg)
g = percepatan karena gravitasi, 9,81 (m / s2)
h = tinggi drop (m)
C = konstanta kekakuan material (N / m)

c. Tingkat Pembebanan dan Kekakuan Buffer


Dengan menggunakan teori half-space elastis dalam prosedur estimasi
ELWD, defleksi transien maksimum diasumsikan setara dengan defleksi
maksimum dari pelat statis dengan diameter dan tekanan terapan yang
sama. Beberapa studi, menunjukkan bahwa tingkat pemuatan
mempengaruhi ELWD. Tingkat pemuatan dapat dikontrol dengan
memvariasikan kekakuan buffer yang ditempatkan di antara tetesan dan
pelat kontak. Fleming (2000) melaporkan bahwa penyangga kekakuan
yang relatif lebih rendah memberikan transfer beban lebih efisien dan
mensimulasikan kondisi pemuatan pelat secara lebih baik. Lenngren
(1992) melaporkan bahwa dengan menggunakan penyangga yang lebih
kaku, riwayat waktu pulsa beban dipersingkat, dan EFWD yang dihasilkan
meningkat sebesar 10 sampai 20% pada beberapa perkerasan aspal beton,
sementara lokasi lain menunjukkan sedikit atau tidak ada perbedaan.
Lukanen (1992) menunjukkan bahwa bentuk pulsa beban dan kenaikan
dan waktu tinggal selamates LWD dapat mempengaruhi besarnya defleksi
yang diukur sampai batas tertentu namun tidak dapat dianggap signifikan.
Menurut Adam dan Kopf (2002), pulsabeban yang diterapkan dapat
bervariasi sekitar 30% dengan perubahan suhu penyangga karet dari 0
sampai 30 ° C, sementara tetap lebih konstan untuk pegas pegas baja.
20

B. Benkelman Beam
Menurut Pedoman Perencanaan Lapis Tambah Perkerasan Lentur dengan
Metode Lendutan (PdT-05-2005-B), disebutkan bahwa Benkelman Beam dapat
diartikan sebagai alat untuk mengukur lendutan balik dan lendutan langsung
perkerasan yang menggambarkan kekuatan struktur perkerasan jalan.
Tahapan pengujian mengacu pada pedoman Cara Uji Lendutan Perkerasan
Lentur Alat Benkelman Beam (SNI 2416:2011), dan pada penggunaanya sangat
efektif untuk menentukan kekuatan struktur tanpa menyebabkan kerusakan pada
permukaan jalan.
Adapun hasil dari pengujian akan diperoleh nilai-nilai antara lain sebagai
berikut:
1. Lendutan Balik Maksimum (Maximum Rebound Deflection)
Merupakan besarnya lendutan balik pada kedudukan di titik kontak batang
Benkelman Beam setelah beban berpindah sejauh 6 meter.
2. Lendutan Balik Titik Belok
Merupakan besarnya lendutan balik pada kedudukan di titik kontak batang
Benkelman Beam setelah beban berpindah sejauh 0,30 meter untuk
penetrasi buton dan laburan atau sejauh 0,40 meter untuk aspal beton.

3. Cekung Lendutan (Bowl Deflection)


Merupakan kurva yang menggambarkan bentuk lendutan dari suatu
segmen jalan.

Data-data tersebut diperoleh langsung melalui survey dilapangan untuk


kemudian dijadikan sebagai data utama dalam perencanaan tebal lapis tambah
(overlay) pada perkerasan lentur.
21

Gambar 3.2. Benkelman Beam.


Sumber : Cara Uji Lendutan Perkerasan Lentur Alat Benkelman Beam SNI
2416:2011, Badan Standarisasi Nasional (2005).

a. Lendutan dengan Benkelman Beam


Data lendutan diperoleh melalui pengujian langsung dilapangan akan
dilakukan analisa guna mendapatkan nilai lendutan balik yang telah
dikorelasikan dengan faktor muka air tanah (faktor musim), faktor
temperatur dan faktor beban uji (bila beban uji tidak tepat sebesar 8,16
ton). Adapun besarnya lendutan balik dapat ditentukan dengan
menggunakan persamaan (3.4) berikut:

dB = 2 × (d3 − d1 ) × Ft × Ca × FK B−BB ………………….……(3.3)

Keterangan:
dB = Lendutan balik (mm)
d1 = Lendutan pada saat beban berada pada titik pengukuran (mm)
d3 = Lendutan pada saat beban berada pada jarak 6 meter dari titik
pengukuran (mm)
Ft = Faktor penyesuaian lendutan terhadap temperatur standar 35oC,
yang nilainya ditentukan menggunakan persamaan (3.5) dan (3.6)
atau melalui pembacaan grafik pada gambar (3.4.) serta dapat pula
ditentukan melalui tabel (3.7.) sebagai berikut:
22

Ft = 4,184 × TL −0,4025 untuk HL < 10 𝑐𝑚 (3.5)


Ft = 14,785 × TL −0,7573 untuk HL ≥ 10 cm (3.6)

Keterangan:
TL = Temperatur lapis beraspal, diperoleh dari hasil
pengukuran langsung dilapangan atau dapat ditentukan melalui
prediksi berdasarkan temperatur udara dilapangandengan
menggunakan persamaaan (3.7) berikut:
TL = 1⁄3 (Tp + Tt + Tb )………………...………………(3.4)

Keterangan:
Tp = Temperatur permukaan lapis beraspal
Tt = Temperatur tengah lapis beraspal (Tabel 3.8.)
Tb = Temperatur bawah lapis beraspal (Tabel 3.8.)
Ca = faktor pengaruh muka air tanah (faktor musim)
= 1,20 ; musim kemarau atau muka air tanah rendah
= 0,9 ; musim hujan atau muka air tinggi
FKB-BB = Faktor koreksi beban uji Benkelman Beam (BB)
= 77,343 × (beban uji dalam ton)(-2,0715)…………….…(3.5)

b. Menghitung Parameter Tebal lapis Permukaan Structural Number (SN)


dan Modulus Elastisitas dengan Metode AASHTO 1993
Metode Aashto (1993) ini pada dasarnya adalah metode perencanaan
yang didasarkan pada metode empiris. Parameter yang dibutuhkan dalam
perencanaan dengan metode Aashto antara lain:

1. Structural Number (SN)


Structural number (SN) merupakan fungsi dari ketebalan
lapisan,koefisien relatif lapisan (layer coeficients), dan koefisien
drainase (drainage coeficients). Persamaan untuk struktural number
adalah sebagai berikut:
23

SN =a1 D1+ a2 D2 m2+ a3 D3 m3……………………...…………(3.5)


di mana :
a1 = koefisienrelatif lapis ke-i
D2 =tebalmasing-masing lapis perkerasanke-i (cm)
M2 =koefisiendrainase lapis ke-i
SN = structural number

2. Koefisien kekuatan relative


Berdasarkan jenis dan fungsi material lapis perkerasan,estimasi
koefisien kekuatan relatif dikelompokkan kedalam 5 kategori, yaitu:
beton aspal (asphalt concrete), lapis pondasi granular (granular
subbase), cement-treated base (CTB), dan asphalt-treated base
(ATB). Untuk mencari koefisien relatif dari 5 kategori tersebut
diatas menggunakan grafik yang ada yaitu sebagai berikut :
a) Lapis permukaan beton aspal ( asphalt concrete surface course)
Lapis permukaan beton aspal dapat dilihat pada grafik yang
dipergunakan untuk memperkirakan koefisien kekuatan relatif
lapis permukaan berbeton aspal bergradasi rapat berdasarkan
modulus elastisitas (EAC) pada suhu 68°F (metode ASSHTO
4123) pada Gambar 3.6 disarankan agar berhati-hati untuk nilai
modulus diatas 450.000 psi. Meskipun modulus beton aspal
yang lebih tinggi, lebih kaku dan lebih tahan terhadap lenturan
akan tetapi, lebih rentan terhadap retak.
24

Gambar 3.3. Grafik untuk memperkirakan koefisien kekuatan relatif


lapis permukaan beton aspal (a1)
Sumber: Pedoman Perencanaan Tebal Perekerasan Lentur Pt T- 01-2002 B

b) Lapis pondasi granular (granular base layer)


Lapis pondasi granular aspal dan lapis pondasi granular
bersemen atau koefisien kekuatan relatif a2 dapat di perkirakan
dengan menggunakan grafik Gambar 3.7 dan Gambar 3.8 atau
di hitung dengan menggunakan persamaan 3.26 .
A2 = 0,249 (log10 EBS) - 0,977...………………..…………(3.26)
25

Gambar 3.4. Grafik Variasi koefisien kekuatan relatif lapis pondasi


granular(a2)
Sumber: Pedoman Perencanaan Tebal Perekerasan Lentur Pt T- 01-
2002 B
26

Gambar 3.5. Grafik Variasi koefisien kekuatan relatif lapis


pondasi bersemen (a2)
Sumber: Pedoman Perencanaan Tebal Perekerasan Lentur Pt T- 01-
2002 B

c) Lapis pondasi bawah (granular subbase layer)


Lapis pondasi bawah granular a3 dapat di perkirakan dengan
menggunakan Gambar 3.9 atau dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan 3. 27.
A3 = 0,227 (log10EBS) - 0,839…………………………..….(3.27)
27

Gambar 3.6. Grafik Variasi koefisien kekuatan relatif lapis pondasi


granular (a3)
Sumber: Pedoman Perencanaan Tebal Perekerasan Lentur Pt T- 01-
2002 B

3. Koefisien drainasi
Untuk mengakomodasi kualitas sistim drainasi yag dimiliki
perkerasan jalan dirincikan pada tabel 3.8 Kualitas drainasi pada
perkerasan lentur di perhitungkan dalam perencanaan dengan
menggunakan koefisien relatif yang dimodifikasi. Faktor untuk
memodifikasi koefisien kekuatan relatif ini adalah koefisien drainasi
(m) dan disertakan kedalam persaman indeks tebal pekerasan (ITP)
bersama-sama dengan koefisien kekuatan relatif (a) dan ketebalan
(D). Tabel 3.9 memperlihatkan nilai koefisien drainasi (m) yang
28

merupakan fungsi dari kualitas drainasi dan persen waktu selama


setahun struktur perkerasan akan dipengaruhi oleh kadar air yang
mendekati jenuh.

Tabel 3.1 Definisi kualitas drainasi


Kualitas drainasi Air hilang dalam
Baik sekali 2 Jam
Baik 1 Hari
Sedang 1 Minggu
Jelek 1 Bulan
Jelek sekali Air tidak akan mengalir

Sumber: Pedoman Perencanaan Tebal Perekerasan Lentur Pt T- 01-2002 B

Tabel 3.2. Koefisien drainasi (m) untuk memodifikasi koefisien


kekuatan relatif material untreated base dan subbase pada perkerasan
lentur
Persen waktu struktur perekerasan dipengaruhi oleh
Kualitas
kadar air yang mendekati jenih
drainase
˂1% 1-5 % 5-25% ˃ 25 %
1,40 – 1,30 1,35 – 1,30 1,30 – 1,20 1,20
Baik sekali
1,35 – 1,25 1,25 – 1,15 1,15 – 1,00 1,00
Baik
1,25 – 1,15 1,15 – 1,05 1,00 – 0,80 0,80
Sedang
1,15 – 1,05 1,05 – 0,80 0,80 – 0,60 0,60
Jelek
1,05 – 0,95 0,80 – 0,75 0,60 – 0,40 0,40
Jelek sekali

Sumber: Pedoman Perencanaan Tebal Perekerasan Lentur Pt T-


01-2002 B
29

4. Lalulintas
Menurut Siegfried (2007), prosedur perencanaan untuk parameter
lalu lintas didasarkan pada kumulatif beban gandar standar ekivalen
(Equivalent Standard Axle Load, ESAL). Perhitungan untuk ESAL
ini didasarkan pada konversi lalulintas yang lewat terhadap beban
gandar standar 8,16 kN dan mempertimbangkan umur rencana,
volume lalu lintas, faktor distribusi lajur, serta faktor bangkitan lalu
lintas (growth factor).
5. Reliability
Menurut Sukirman (1999), reliabilitas adalah nilai probabilitas dari
kemungkinan tingkat pelayanan dapat dipertahankan selama masa
pelayanan dipandang dari pengguna jalan. Reliabilitas adalah nilai
jaminan bahwa perkiraan beban lalu lintas yang akan memakai
jalan tersebut dapat dipenuhi.Reliabilitas dinyatakan dalam tingkat
reliabilitas (level of reliability).
Tabel 3.3. Rekomendasi Tingkat Realibilitas Untuk Bermacam-
macam Klasifikasi Jalan

Klasifikasi jalan Rekomendasi tingkat realibilitas


Perkotaan Antar kota
Bebas hambatan 85 – 99,9 80 – 99,5
Arteri 80 – 99 75 – 95
Kolektor 80 – 95 75 – 95
Lokal 50 – 80 50- 80
Sumber :Sumber: Pedoman Perencanaan Tebal Perekerasan
Lentur Pt T- 01-2002 B

6. Faktor Lingkungan
Persamaan-persamaan yang digunakan untuk perencanaan
ASSTHO didasarkan atas hasil pengujian dan pengamatan pada
jalan percobaan selama lebih kurang 2 tahun, pengaruh jangka
panjang dari temperatur dan kelembapan pada penurunan
serviceability belum dipertimbangkan, faktor lingkungan ini adalah
30

pengaruh dari kondisi swell dan frost heave di pertimbangkan,maka


penurunan serviceability dipertimbangkan selama analisis yang
kemudian berpengaruh pada umur rencana.

7. Serviceability
Menurut Siegfried (2007), serviceability tingkat pelayanan yang
diberikan oleh sistem perkerasan yang dirasakan pengguna jalan.
Serviceability parameter utama adalah Present Serviceability Index
(PSI). Serviceability merupakan penentu tingkat pelayanan
fungsional suatu sIstem perkerasan jalan.

Anda mungkin juga menyukai