Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

DEFINISI KEGAWATDARURATAN
Kegawatdaruratan secara umum dapat diartikan sebagai suatu keadaan yang
dinilai sebagai ketergantungan seseorang dalam menerima tindakan medis atau evaluasi
tindakam operasi dengan segera. Berdasarkan definisi tersebut the American College of
Emergency Physicians states dalam melakukan penatalaksanaan kegawatdaruratan
memiliki prinsip awal, dalam mengevaluasi, melaksanakan, dan menyediakan terapi
pada pasien-pasien dengan trauma yang tidak dapat di duga sebelumnya serta penyakit
lainnya (Stone, Humphries, 2008).
Berbagai langkah harus diperhatikan dalam melaksanakan perawatan gawatdarurat
obstetric dan neonatal. Penatalaksanaan meliputi pengenalan segera kondisi
gawatdarurat,stabilisasi penderita, pemberian oksigen, infus dan terapi cairan, terapi
cairan, transfusi darah dan pemberian medikamentosa (antibiotika, sedative, anestesi,
analgesic dan serum anti tetanus) maupun upaya rujukan lanjutan. Semua langkah dan
penatalaksanaan tersebut, harus dikuasai oleh petugas kesehatan/staf klinik yang
bertugas di unit gawatdarurat atau ruang tindakn obstetsri dan neonatal.

1.2 Rumusan Masalah


1.Bagaimana penilaian awal kegawatdaruratan
2.Bagaimana cara penanganan awal stabilisasi dan rujukan dan
3.Bagaimana cara pemberian terapi cairan dan medikamentosa
4.Bagaimana penatalaksanaan nyeri
5.Bagaimana penanganan awal diuretika

1
1.3 Tujuan Penulisan
1.Mengetahui dan mengenali penatalaksanaan kegawatdaruratan
2.Mengetahui cara penanganan awal stabilisasi dan rujukan
3.Mengetahui cara pemberian terapi cairan dan medikamentosa
4.Mengetahui penatalaksanaan dan penanganan nyeri dan awal diuretika
5.Menyelesaikan tugas Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal Neonatal

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. PRINSIP DASAR PENANGANAN KEGAWATDARURATAN

Prinsip dasar dalam penanganan kasus kegawatdaruratan perlu dipahami. Walaupun


semua pertolongan ataupun prosedur pemeriksaan dilakukan dengan cepat, cermat, dan
terarah, prinsip komunikasi dan hubungan antara dokter-pasien dalam menerima dan
menangani pasien harus tetap diperhatikan. Berikut ini ada beberapa prinsip dasar dalam
penanganan kegawatdaruratan.

a. Menghormati Hak Pasien  semua klien harus diperlakukan dengan rasa hormat
yang sama, tanpa memandang status sosialnya. Petugas harus memahami dan peka
terhadap lingkungan sekitar di keluarga tersebut.
b. Gentleness  dalam memberikan pengobatan atau tindakan harus dilakukan
dengan penuh kelembutan, dan jujur bila tindakan tersebut akan terasa sakit atau
kurang enak sehingga klien dapat memahami prosedur yang akan dilakukan.
c. Komunikatif  tenaga kesehatan harus berkomunikasi dengan klien dalam bahasa
dan kalimat yang mudah dipahami klien/pun keluarga sehingga informasi mengenai
hasil pemeriksaan dapat diterima dengan baik oleh klien.
d. Hak Klien  hak-hak klien harus dihormati seperti penjelasan informed consent,
hak klien untuk menolak pengobatan yang akan diberikan dan kerahasiaan status
medik klien.
e. Dukungan Keluarga (Familly Support)  salah satu hal yang sangat dibutuhkan
oleh klien saat sedang berada dalam keadaan gawat darurat. Oleh karena itu, tenaga
kesehatan sebelum melakukan tindakan, perlu menghadirkan keluarga untuk dapat
diajak berkomunikasi.

3
B. PENILAIAN AWAL

Dalam menentukan kondisi kasus obstetric yang dihadapi termasuk dalam


kategori keadaan gawat darurat atau tidak, perlu dilakukan pemeriksaan secara
sistematis meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik umum, dan pemeriksaan obstetrik.
Biasanya pemeriksaan sistematis yang harus lengkap membutuhkan waktu yang agak
lama, padahal penilaian ini harus dilakukan secara cepat, maka dilakukan penilaian
awal.

Penilaian awal ialah langkah pertama untuk menentukan dengan cepat kasus
obstetric yang membutuhkan pertolongan segera dengan mengidentifikasi komplikasi
yang dihadapi. Dalam penilaian awal ini, anamnesis lengkap belum dilakukan.
Anamnesis awal dilakukan bersamaan dengan periksa pandang, periksa raba, dan
penilaian tanda vital dan hanya untuk mendapatkan informasi yang sangat penting
berkaitan dengan kasus. Misalnya, apakah kasus mengalami perdarahan, demam, tidak
sadar, kejang, sudah mengejan atau bersalin berapa lama, dan sebagainya. Fokus utama
penilaian adalah apakah pasien mengalami syok hipovolemik, syok septik, syok jenis
lain, koma, kejang-kejang, atau koma yang disertai kejang-kejang dan hal itu dapat
terjadi dalam kehamilan, persalinan, pascasalin, atau masa nifas.

Pemeriksaan yang dilakukan sebagai penilaian awal sebagai berikut.

 Periksa pandang :
- Menilai kesadaran penderita : pingsan/koma, kejang-kejang, gelisah, tampak
kesakitan
- Menilai wajah penderita : pucat, kemerahan, banyak berkeringat
- Menilai pernapasan : cepat, sesak napas
- Menilai perdarahan dari kemaluan
 Periksa raba :
- Kulit : dingin, demam
- Nadi : lemah/kuat, cepat/normal
- Kaki/tungkai bawah : bengkak

4
 Tanda vital :
- Menilai tekanan darah, nadi, suhu, dan pernapasan

Hasil penilaian awal ini menjadi dasar pemikiran apakah pasien yang syok hipovolemik,
syok septik, koma disertai kejang-kejang tersebut mengalami penyulit perdarahan,
infeksi, hipertensi, preeklampsia/eklampsia, atau penyulit lainnya. Dasar pemikiran ini
harus dilengkapi dan diperkuat dengan melakukan pemeriksaan klinik lengkap. Namun
sebelum melakukan pemeriksaan klinik lengkap, langkah-langkah untuk melakukan
pertolongan pertama sudah dapat dikerjakan sesuai hasil penilaian awal. Misalnya
ditemukan kondisi syok, pertolongan pertama untuk mengatasi syok harus sudah
dilakukan.

C. CARA PENANGANAN AWAL DAN MRUJUK SECARA CEPAT

Bidan sebagai tenaga kesehatan yang dapat membantu dalam melakukan


penanganan awal seharusnya tetap tenang, tidak panik, dan tidak membiarka ibu
sendirian tanpa penunggu/pendamping. Jika ibu tidak sadar, lakukan pengkajian jalan
nafas, pernafasan dan sirkulasi dengan cepat. Jika dicurigai adanya syok, mulai segera
tindakan membaringkan ibu miring kiri dengan bagian kaki ditinggikan, longgarkan
pakaian yang ketat. Ajak ibu/klien bicara dan bantu untuk tetap tenang. Lakukan
pemeriksaan dengan cepat meliputi tanda-tanda vital, warna kulit dan perdarahan yang
keluar.

Pengkajian awal kasus kegawatdaruratan secara cepat

a. Jalan nafas dan pernafasan


- Lihat adanya cyanosis, gawat nafas
- Lakukan pemeriksaan kulit : adakah pucat, dingin, demam
- Pemeriksaan suara paru : adakah weezhing, sirkulasi tanda-tanda syok
- Periksa tanda-tanda vital : nadi (cepat >110 kali/menit dan lemah), tekanan
darah (rendah, sistolik <90 mmHg)

5
b. Jika ada, tanyakan apakah ibu sedang hamil, usia kehamilan, riwayat persalinan
sebelumnya dan sekarang, bagaimana proses kelahiran plasenta, kaji kondisi
vulva (jumlah darah yang keluar, plasenta tertahan), uterus (adakah atonia uteri),
dan kondisi kandung kemih (penuh/tidak).
c. Klien tidak sadar/kejang
- Tanya pada keluarga ibu sedang hamil/tidak, usia kehamilannya
- Periksa : tekanan darah (tinggi, diastolic >90 mmHg), suhu ( >38 ̊C)
d. Demam yang berbahaya
- Tanya pada ibu apakah sedang lemah, lethargie, sering nyeri saat berkemih
- Periksa : suhu ( >39 ̊C), tingkat kesadaran, kaku kuduk, paru-paru (pernafasan
dangkal), abdomen (tegang), vulva (keluar cairan purulent), payudara
bengkak
e. Nyeri abdomen
- Tanya pada ibu apakah sedang hamil, usia kehamilannya
- Periksa : tekanan darah ( >38 ̊C), uterus (status kehamilan)
f. Perhatikan tanda-tanda : keluar darah, adanya kontraksi uterus, pucat, lemah,
pusing, sakit kepala, pandangan kabur, pecah ketuban, demam dan gawat nafas.

Penderita atau pasien gawat darurat adalah pasien yang perlu pertolongan tepat, cermat,
dan cepat untuk mencegah kematian/kecacatan. Ukuran keberhasilan dari pertolongan
ini adalah waktu tanggap (respon time) dari penolong. Pengertian lain dari penderita
gawat darurat adalah penderita yang bila tidak ditolong segera akan meninggal atau
menjadi cacat, sehingga diperlukan tindakan diagnosis dan penanggulangan segera.
Karena waktu yang terbatas tersebut, tindakan pertolongan harus dilakukan secara
sistematis dengan menempatkan prioritas pada fungsi vital sesuai dengan urutan ABC,
yaitu :

A (Air Way) : yaitu membersihkan jalan nafas dan menjamin nafas bebas
hambatan
B (Breathing) : yaitu menjamin ventilasi lancar
C (Circulation) : yaitu melakukan pemantauan peredaran darah

6
 Stabilisasi dan Rujukan

Adapun yang dimaksud dengan sistem rujukan di Indonesia, seperti yang telah
dirumuskan dalam SK Menteri Kesehatan RI No. 001 tahun 2012 ialah suatu sistem
penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang melaksanakan pelimpahan tanggung
jawab timbal balik terhadap suatu kasus penyakit atau masalah kesehatan secara
vertical dalam arti dari unit yang berkemampuan kurang kepada unit yang lebih
mampu atau secara horizontal dalam arti antar unit-unit yang setingkat
kemampuannya.

Sistem rujukan pelayanan kegawatdaruratan maternal dan Neonatal mengacu pada


prinsip utama kecepatan dan ketepatan tindakan, efisien, efektif dan sesuai dengan
kemampuan dan kewenangan fasilitas pelayanan. Setiap kasus dengan
kegawatdaruratan obstetrik dan neonatal yang datang ke puskesmas PONED harus
langsung dikelola sesuai dengan prosedur tetap sesuai dengan buku acuan nasional
pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Setelah dilakukan stabilisasi kondisi
pasien, kemudian ditentukan apakah pasien akan dikelola di tingkat puskesmas
mampu PONED atau dilakukan rujukan ke RS pelayanan obstetrik dan neonatal
emergensi komprehensif (PONEK) untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik
sesuai dengan tingkat kegawatdaruratannya (Depkes RI, 2007).

Tahapan Rujukan Maternal dan Neonatal

1. Menentukan kegawatdaruratan penderita

Pada tingkat bidan desa, puskesmas pembantu dan puskesmas. Tenaga kesehatan
yang ada pada fasilitas pelayanan kesehatan tersebut harus dapat menentukan
tingkat kegawatdaruratan kasus yang ditemui, sesuai dengan wewenang dan
tanggung jawabnya, mereka harus menentukan kasus mana yang boleh ditangani
sendiri dan kasus mana yang harus dirujuk.

2. Menentukan tempat rujukan

7
Prinsip dalam menentukan tempat rujukan adalah fasilitas pelayanan yang
mempunyai kewenangan dan terdekat termasuk fasilitas pelayanan swasta dengan
tidak mengabaikan kesediaan dan kemampuan penderita.

3. Memberikan informasi kepada penderita dan keluarga

Kaji ulang rencana rujukan bersama ibu dan keluarga. Jika perlu dirujuk, siapkan
dan sertakan dokumentasi tertulis semua asuhan, perawatan dan hasil penilaian
(termasuk partograf) yang telah dilakukan untuk dibawa ke fasilitas rujukan. Jika
ibu tidak siap dengan rujukan, lakukan konseling terhadap ibu dan keluarganya
tentang rencana tersebut. Bantu mereka membuat rencana rujukan pada saat awal
persalinan.

4. Mengirimkan informasi pada tempat rujukan yang dituju

a. Memberitahukan bahwa akan ada penderita yang dirujuk.

b. Meminta petunjuk apa yang perlu dilakukan dalam rangka persiapan dan
selama dalam perjalanan ke tempat rujukan.

c. Meminta petunjuk dan cara penangan untuk menolong penderita bila penderita
tidak mungkin dikirim.

5. Persiapan penderita (BAKSOKUDO)

6. Pengiriman Penderita

Stabilisasi dan merujuk secara tepat waktu dengan kondisi optimal akan sangat
membantu pasien untuk ditangani secara adekuat dan efektif. Dalam sistem
pelayanan gawatdarurat dan rujukan kesehatan antar fasilitas, seharusnya sudah
tersedia perangkat dan mekanisme operasional yang jelas antar umur yang terlihat.
Fasilitas kesehatan primer akan merujuk pasien ke rumah sakit rujukan. Tetapi
pada kota-kota besar, mungkin saja terjadi rujukan antar puskesmas, rumah sakit
ataupun diantara pusat-pusat rujukan. Apapun mekanisme yang terjadi semua unsur

8
yang terlibat, seharusnya mampu untuk membawa pasien mencapai fasilitas
rujukan yang dituju agar mendapatkan pertolongan yang sangat vital dalam
menyelamatkan jiwa.

Elemen-elemen penting dalam stabilisasi pasien adalah :

1. Menjamin kelancaran jalan nafas, pemulihan sistem respirasi dan sirkulasi

2. Menghentikan sumber perdarahan atau infeksi

3. Mengganti cairan tubuh yang hilang

4. Mengatasi rasa nyeri atau gelisah

 Terapi Cairan

Pada kebanyakan kasus gawatdarurat, pasien-pasien memerlukan infu suntuk


mengganti cairan yang hilang. Larutan isotonik yang dianjurkan adalah Ringer
Laktat dan NaCl fisiologis atau garam fisiologis (normal saline). Larutan glukosa
tidak dapat menggantikan garam atau elektrolit yang dibutuhkan selama pengantian
cairan yang hilang.

Untuk pemberian cairan infus, perhatikan :

1. Jumlah cairan yang akan diberikan

2. Lamanya pemberian per unit cairan

3. Ukuran atau diameter jarum (no. 16-18) dan kesecpatan tetesan. Jumlah per
mililiter tetesan bervariasi antara 10 atau 20 tetes per mililiter

Saat jarum infus dimasukkan, segera ambil spesimen darah untuk pemeriksaan
kadar hemoglobin, golongan darah atau pemeriksaan laboratorium lainnya. Bila
pasien mengalami syok, pemasangan infus dan pengambilan spesimen darah akan
sulit dilaksanakan (perlu vena seksi). Pengukuran konsentrasi Hb darah kapiler
(dari ujung jari) pasien mengalami syok hasilnya sangat tidak akurat.

9
Pada kasus syok hipovolemik yang diakibatkan oleh perdarahan, berikan 500-
1000 ml cairan isotonik dalam 15-20 menit pertma. Stabilisassi umumnya terjadi
setelah 1-3 liter cairan infus yang diberikan. Setelah stabilisasi tercapai maka
kecepatan cairan infus diatur menjadi tetesan pemeliharaan (1 liter dalam 6-8
jam).

Bila pemulihan pasien telah mencapai kondisi yang memuaskan maka dilakukan
pemberian cairan per oral. Infus dapat dilepaskan kecuali bila dibutuhkan untuk
jalur pemberian obat secara intravena. Untuk kondisi seperti itu, kecepatan tetesan
cairan diperlambat (1 liter selama 10-12 jam).

Dalam terapi cairan ini, juga dipantau tentang keseimbangan cairan. Apabila
terjadi pembengkakan atau edema pada kaki, tangan, muka, mungkin hal inin
diakibatkan oleh kelebihan cairan. Kelebihan tersebut dapat pula dinilai dan
terjadinya sesak nafas atau bising nafas yang abnormal (ronkhi basah difusa).

Rumus kecepatan cairan infus :

Jumlah cairan yang dibutuhkan (mililiter)/waktu pemberian (menit) X jumlah tetes


per mililiter = jumlah tetes per menit

Contoh : 1000 cc X 10 tetes per militer = 41, 67 atau 40 tetes per menit

4 jam X 60 menit

Terapi awal cairan pengganti, seharusnyaa diberikan dalam waktu yang cepat
dan ini hanya dimungkinkan dengan pemberian kristloid isotonik seperti Ringer
Laktat dan gram fisiologis. Pada tahap awal ini, tidak dianjurkan untuk
memberikan cairan infus larutan iotonik glukosa 5%. Pada tahap awal, jumlah
cairan yang diberikan adalah 50 mililiter per kilogram berat badan (50 ml/kg BB)
atau 3 kali dari perkiraan jumlah darah yang hilang. Cairan koloidal sintetik
diberikan hingga 50 ml/kg BB tetapi dengan kecepatan tetesan yang lebih rendah

10
dari larutan kristaloid isotonik. Amilum hidroksiletil atau dextran 70 diberikan 20
ml/kg BB selama 24 jam pertama.

Dapat pula diberikan albumin atau fraksi protein plasma. Eritrosit tanpa plasma tidak
direkomendasikan untuk pengganti cairan yang hilang sedangkan jika diberikan plasma
saja, risiko transmisi penyakit, cukup tinggi. Cairan darah (eritrosit dan plasma)
diberikan untuk mengganti cairan yang hilang, pembawa oksigen ke jaringan dan
faktor-faktor petning utnuk hemostasis.

 Transfusi Darah

Pendahuluan

Transfusi darah unuk mengganti sejumlah darah yang hilang akibat perdarahan, dapat
menyelamatkan pasien dari kematian. Sebaiknya, pada beberapa kasus, transfusi darah
dapat pula menimbulkan komplikasi yang fatal. Oleh sebab itu, pemberian transfuse
darah, harus melalui serangkaian proses yang teliti dan pertimbangan yang matang.
Sebaiknya,setiap fasilitas rujukan, mempunyai pelayanan transfusi darah.

Transfusi darah juga mempunyai resiko, diantaranya adalah:

 Transmisi penyakit, misalnya hepatitis B dan AIDS


 Reaksi imunitas yang menyebabkan gangguan atau penghancuran eritrosit atau
system yang normal didalam tubuh (misalnya, hemolisi intravaskuler)
 Pembebanan system sirkulasi darah.

Ketersediaan donor menjadi factor penentu bagi mereka yang membutuhkannya. Darah
yang diberikan kepada pasien, harus bebas dari risiko transmisi penyakit sehingga
diperlukan adanya proses penapisan dan identifikasi keamanan donor yang efektif.
Pertimbangan keselamatan jiwa pasien harus juga diperhitungkan terhadap risiko
prosedur transfusi darah.

11
Asuhan Kebidanan sering kali memerlukan adanya penambahan atau transfuse darah
untuk menyelamatkan jiwa pasien harus juga diperhitungkan terhadap risiko prosedur
transfuse darah.

Asuhan Kebidanan sering kali memerlukan adanya penambahan atau transfusi darah
untuk menyelamatkan jiwa pasien. Mengingat tingginya frekuensi permintaan transfuse
darah dari Bagian Kebidanan maka sudah sepatutnya para petugas kesehatan (dokter
dan paramedik) di bagian tersebut memahami dan waspada tentang indikasi, kesesuaian
golongan, cara penggunaan dan risiko transfusi darah .

Kesesuaian pengguna cairan dan produk darah didefinisikan sebagai pemberian darah
yang aman (kesesuaian golongan, risiko rendah terhadap reaksi inkompatibilitas, dan
bebas dari potensi transmisi penyakit) dan ditunjukan terhadap kondisi yang dapat
menimbulkan morbiditas atau mortalitas dimana darah ,erupakan pilihan utama untuk
mengatasi kondisi tersebut.

Kondisi darah yang memerlukan transfuse darah, diantaranya adalah:

 Perdarahan pascapersalinan yang disertai dengan syok


 Kehilangan banyak darah selama prosuder operasi
 Anemia berat ( yang disertai gejala dekompensasio kordis) pada akhir masa kehamilan

Setiap rumah sakit rujukan (terutama sekali di tingkat kabupaten) harus dapat
memenuhi permintaan atau menediakan darah pada setiap saat dimana transfusi darah
diperlukan. Ketersediaan darah (minimal golongan O dan plasma beku segar) di Bagian
Kebidanan telah menjadi suatu kewajiban karena hal ini dapat menjadi penyelamat bagi
para ibu atau pasien yang sangat membutuhkan.

Kewaspadan dalam Menggunakan Cairan dan Produk Darah

Kewaspadan sangat diperlukan karena apabila cairan dan produk darah digunakan
sesuai dengan indikasinya dan bener cara pemberiannya maka prosedur ini akan
menyelamaatkan jiwa dan memperbaiki kondisi kesehatan ibu bersalin. Sebaiknya,

12
kelalaian dan cara pemberian yang salah, justru dapat membahayakan keselamatan jiwa
ibu hamil/bersalin pasien yang sangat membutuhkan.

Kewaspadaan dalam Menggunakan Cairan dan Produk Darah

Kewaspadaan sangat diperlukan karena apabila cairan dan produk darah digunakan
sesuai dengan indikasinya dan benar cara pemberiannya maka prosedur ini akan
menyelamatkan jiwa dan memperbaiki kondisi kesehatan ibu bersalin. Sebaliknya,
kelalaian dan cara pemberian yang salah, justru dapat membahayakan kesekamatan jiwa
ibu hamil/bersalin (kondisinya lebih baik sebelum dilakukan transfusi darah)

Seperti tindakan pengobatan lainnya, transfuse darah juga mungkin menimbulkan


preaksi tubuh (baik segera maupun lambat) sehingga dapat memperberat gangguan
kesehatan yang sedang dialami. Selain itu, uji saring yang tidak memenuhi syarat, dapat
membuat pasien tertular penyakit berbahaya akibat mikroorganisme berbahaya didalam
darah yang ditransfusikan. Penyediaan dan pengelolaan darah dan produknya, juga
memerlukan sumberdaya yang sangat besar sehingga penggunaan yang tidak efisien
merupakan pemborosan dan sangat merugikan.

 Beberapa contoh keadaan dimana transfusi darah tidak diperlukan:


o Anemia pada trimester kedua kehamilan tidak perlu diatasi dengan
memberikan transfusi darah karena masih ada beberapa alternative lain yang dapat
memperbaiki kondisi tersebut (misalnya, pemberian hematinik dan nutrisi yang
adekuat apabila anemia disebabkan oleh defisiensi makro dan mikro nutrien)
o Transfusi untuk mempercepat persiapan tindakan operasi elektif atau untuk
mempercepat pasien agar dapat segera dipulangkan. Defisit cairan dapat diatasi
dengan pemberian infus dan anemia dapat dikoreksi dengan pemberian hermatinik
atau asupan yang mempunyai nilai gizi tinggi.

Tindakan tranfusi darah berdasarkan indikasi yang kurang tepat dapat mengakibatkan
hal-hal berikut ini:

 Pasien terpapar risiko yang seharusnya dapat dicegah

13
 Pemborosan stok darah yang mungkin sangat diperlukan oleh pasien lain

Sebelum menentukan perlunya dilakukan transfusi darah, dipertimbangkan secara


matang tentang risiko yang mungkin terjadi apabila transfuse diberikan atau tidak
diberikan.

Transfusi Seluruh Komponen Darah atau Hanya Sel Darah

 Transfusi darah membawa risiko terhadap reaksi inkompatibilitas atau hemolitik yang
sangat serius.
 Produk darah dapat menularkan penyakit, termasuk penyakit berbahaya seperti HIV,
hepatitis B, hepatitis C, syphilis, malaria dsb kepada resipien.
 Setiap produk darah dapat terkontaminasi mikroorganisme dan menjadi bahan yang
berbahaya apabila tidak ditangani secara baik atau diberikan kepada resipen.

Transfusi Plasma

 Plasma dapat menularkan penyakit seperti halnya seluruh komponen darah


 Plasma juga dapat menimbulkan berbagai reaksi transfusi
 Hanya beberapa indikasi tertentu saja yang memerlukan transfui plasma
(misalnya.koagulopati). risiko yang dapat terjadi akibat transfuse plasa biasanya lebih
banyak daripada manfaatnya yang mungkin diperoleh

Pengamanan Darah

Risiko yang berhubungan dengan transfuse dapat dikurangi melalui upaya berikut:

 Seleksi akurat terhadap donor dan darah


 Uji tapis dan kajian prevalensi penyakit menular di komunitas donor untuk
menghindarkan infeksi melalui transfuse darah dan uji keamanan darah donor
 Program jaga mutu darah dan produk darah
 Jaminan akurasi golongan darah, uji kompatibilitas, kualitas pemisahan dan
penyimpanan komponen darah dan keamanan transportasi darah

14
 Kesesuaian indikasi bagi penggunaan darah dan produknya.

Penapisan bahan yang berpotensi menimbulkan infeksi

Setiap unit yang terkait dengan pemberian atau donasi darah harus dapat melakukan
penceghaan infeksi melalui dara melalui upaya penapisan yang efektif dan pengelolaan
yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan (mengacu pada standar nasional atau
hasil kajian tentang pravelensi agen penyebab infeksi dalam donor darah).

Semua darah yang akan di donasikan, harus lulus uji tapis penyakit-penyakit berikut ini
:

1. HIV-1 dan HIV-2

2. Hepatitis B surface antigeen (HbsAg)

3. Treponema Palidum (syphilis)

Bila memungkinkan dilakukan pula pengajian berikut ini :

1. Hepatitis C

2. Malaria

3. Penyakit-penyakit lain yang dapat ditularkan melalui darah (prevalensi


setempat) atau lulus uji keamanan darah mennurut standar nasional

4. Uji kompatibilitas darah atau produk darah (walaupun dalam keadaan sangat
genting atau gawatdarurat )

Prinsip- prinsip transfusi

Prinsip dasar kesesuaian pengguna darah atau produk darah adalah bahwa transfusi
merupakan salah satu dari banyak upaya atau tindakan utnuk menyelamatkanibu
dari situasi dan kondisi gawatdarurat. Apabila terjadi kehilangan sejumlah besar
darah secara mendadak, yang mungkin disebabkan oleh perdarahan

15
pascapersalinan, pembedahan atau komplikasi persalinan maka yang paling
pertama dan segera harus dilakukan adalah restorasi atau penggantian kehilangan
cairan dari sistem sirkulasi.

Alasan utama untuk melakukan transfusi sel darah merah adalah pemulihan fungsi
oksigenasi jaringan karena hemoglobin darah mempunyai kemampuan untuk
mengikat dan menghantarkan oksigen. Fungsi inilah yang tidak dapat dipenuhi oleh
cairan kristaloid atau pengganti plasma.

Lakukan berbagai upaya penghematan darah di sirkulasi dengan jalan berikut ini :

1. Gunakan cairan pengganti untuk resusitasi

2. Hidarkan pengambilan spesimen darah (pemeriksaan laboratorium) secara


berulang kali

3. Gunakan teknik pembedahn dan anestesi terbaik untuk menghindarkan


kehilangan darah secara berlebihan

4. Lakukan autotransfusi apabila teknik dan kondisinya memungkinkan

Hal –hal penting yang harus diperhatikan :

1. Transfusi merupakan salah satu elemen dari penatalaksanaan lengkap


gawatdarurat

2. Keputusan utnuk menetapkan transfusi darah sebagai tindakan yang diperlukan


harus memperhatikan panduan nasional tentang penggunaan klinik darah dan
produknya serta mempertimbangkan kebutuhan pasien

3. Selama menatalksana pasien, lakukan segala upaya untuk mencegah


perdarahan lanjutan sehingga transfusi darah dapat dihindarkan

4. Pasien dengan perdarahan akut dalam jumlah yang banyak sebaiknya segera
memperoleh tindakan resusitasi (restorasi kehilangan cairan dengan cairan

16
pengganti, oksigen, bantuan pernapasan dsb) sambil dipertimbangkan perlu
tidaknya transfusi darah

5. Walaupun konsentrasi hemoglobin dapat mengindikasikan berat ringannya


derajat perdarahan tetapi hal tersebut bukan merupakan indikator tunggal untuk
melakukan transfusi darah. Transfusi darah harus didasarkan pada perbaikan
kondisi klinik yang akan diperoleh apabila transfusi darh dilakukan sehingga
upaya ini akan memberi hasil yang bermakna terhadap penurunan morbiditas
dan mortalitas ibu.

6. Petugas kesehatan harus waspada terhadapa resiko transmisi penyakit


berbahaya melallui tranfusi darah

7. Transfusi dara hanya diberikan apabila manfaatnya lebih besar dari risikonya

8. Pemberian dan pemantauan transfusi darah harus dilaksanakan oleh petugas


terlatih agar komplikasi dikenali secara dini dan pertolongan dapat segera
diberikan

9. Alsan untuk transfusi darah harus dicatatkan dan lakukan kajian apabila timbul
reaksi yang tidak diinginkan

Pemantauan Selama Transfusi Darah

Lakukan pemantauan untuk setiap unit darah yang diberikan. Pemantauan dilakukan
pada tahapan berikut ini :

 Sebelum transfusi darah dilakukan

 Pada saat transfusi diberikan

 Setiap jam selama transfusi darah

 Setiap jam dalam 4 jam pertama setelah transfusi darah

17
Pantau secara ketat dalam 15 menit pertama transfusi darah, lanjutkan secara reguler
(sesuai jadwal diatas) selama transfusi darah dijalankan agar setiap gejala dan tanda
reaksi transfusi pada pasien dapat segera dikenali dan diatasi.

Selama melakukan pemantauan, perhatikan dan periksa kondisi dibawah ini :

 Keadaan umum

 Temperatur

 Nadi

 Tekanan darah

 Pernapasan

 Keseimbangan cairan (asupan enteral dan intravena serta produksi urin)

Catatkan pula hal-hal berikut ini :

 Waktu mulai transfusi

 Waktu selesai transfusi

 Jumlah dan jenis darah atau produk darah yang ditransfusikan

 Nomor donor dan nomor kantong darah

 Efek samping

Menangani Reaksi Transfusi

Pada reaksi transfusi dapat timbul gejala dan tanda berikut ini :

 Demam diatas 38°C

18
 Takikardia

 Gawat napas

 Hipotensi

 Rona merah pada wajah

 Irritabilitas

 Mual dan muntah

 Ruam kulit

 Hematuria (+1 atau lebih)

Reaksi transfusi dapat beerkisar dari ruam kulit ringan hingga syok anafilaktiks.bila
terjadi reaksi, lakukan hal berikut ini :

1. Segera hentikan transfusi darah, bilas darah yang tersisa dalam selang infus dan
tetap pertahankan jalur infus (gunakan garam fisiologis atau ringer laktat)

2. Secara bersamaan lakukan penilaian jenis dan derajat reaksi transfusi dan
tentukan upaya atau tindakan pertolongan yang sesuai

3. Laporkan ke UTD atau Bank Darah tentang reaksi yang terjadi dan kirimkan
kantong transfusi dan selang ke unit tersebut untuk konfirmasi dan kajian ulang
darah dan produk darah serta hasil uji padanan silang sebelumnya

4. Lakukan pengambilan spesimen urin setelah terjadi reaksi transfusi dan kirim ke
laboratorium untuk uji konfirmatif

Beberapa upaya untuk mengatasi reaksi transfusi :

19
 Bila terjadi ruam kulit ringan dan disertai gejala sistemik lain, berikan
promethazine 10 mg per oral dan perhatikan perubahan yang terjadi

 Bila terjadi syok, berikan :

o Adrenalin 1:1000 (0,1 ml dalam 10 ml cairan garam fisiologis/NS) dan


berikan secara lambat melalui jalur intravena

o Tambahkan promethazine 10 mg IV Hidrokortison 1 g IV setiap 2 jam

 Bila terjadi spasme bronkus, berikan aminofilin 250 mg dalam 10 ml NS atau


RL secara lambat melalui jalur IV

 Lakukan tindakan resusitasi lain jika diperlukan

 Pantau fungsi ginjal, paru dan kardiovaskuler

 Jika dipandang perlu untuk mendapatkan rawat intensif, segera rujuk pasien
apabila kondisinya telah stabil.

Komplikasi Lain Transfusi Darah

Komplikasi Penyebab Pencegahan/penanganan

Sepsis Kontaminasi Gunakan darah dalam waktu


mikroorganisme 4 jam setelah diberikan.
Lakukan kultur
mikroorganisme dan berikan
antibiotika yang sesuai

Hipotermia/menggigil Transfusi sejumlah besar Hangatkan darah sebelum


darah yang temperaturnya sitransfusikan

20
masih dingin

Kelebihan bebab cairan Pemberian darah secara Jangan memeras darah


cepat dalam jumlah yang dalam kantong (kecuali
banyak disertai dengan pada kondisi sangat gawat).
cairan infus lainnya Pertibangkan pemberian
diuretika

Hipokalsemia (disritmia Kelebihana sitrat yang ada Periksa kadar kalsium darah
dan hipotensi) di dalam kantong darah
Periksa EKG

Berikan Kalsium Glukonas

 Pemberian Medikmentosa

Keamanan, kepentingan dan cara pemberian merupakan hal-hal penting yang harus
diperhatikan untuk memutuskan kapan, apa dan bagaimana menentukan pemberian
medikamentosa bagi pasien. Tanyakan riwayat alergi obat-obatan sebelum memberikan
obat kepada pasien. Bila ada riwayat alergi tersebut, maka harus dicarikan obat
pengganti yang lebih aman tetapi juga cukup efektif.

Cara pemberian obat (harus ditetapkan sebelum obat diberikan) :

Intravena

Cara pemberian ini terpilih untuk pasien syok atau kondisi gawatdarurat (syok septik
atau hipovolemik, sepsis reaksi alergi atau anafilaktik, resusitasi)

Intramuskuler

21
Cara ini dipilih apabila tidak tersedia bahan untuk pemberian intravena atau tidak ada
sediaan untuk pemberian intravena atau apabila onset kerja obat bukan merupkan
kebutuhan utama

Per oral

Tidak ianjurkan untuk pasien-pasien dengan syok atau sedang dipersiapkan untuk
laparotomy. Hanya diberikan pada pasien dalam keadaan sadar atau proses realimentasi
berlangsung normal.

Cara ini hanya memungkinkan untuk :

 Pasien akan dirujuk dan masih membutuhkan waktu cukup lama sebelum
sampai ditempat rujukan. Tidk tersedia obat-obatan yang diberikan secara
intravena atau intramuskuler. Pada saat diberikan obat, pasien tidak dalam
keadaan syok.
 Pasien stabil dan masih dapat makan dan minum.

Antibiotika

Pada kasus kasus infeksi atau trauma septik, mutlak diperlukan antibiotika. Pada
keadaan tersebut, beri antibiotika secepat mungkin, baik secara intravena atau
intramuskuler atau per oral (bila pasien tidak syok). Karena identifikasi penyebab
infeksi sulit diperoleh dalam waktu singkat dan keadaan gawatdarurat harus segera
diatasi maka gunakan antibiotika (kombinasi) spectrum luas yang efektif terhadap
mikroorganisme gram negative, gram positif, anaerob dan klamidia.

Tabel 2-3 : Antibiotika Kasus Infeksi Penyerta Kasus Gawatdarurat

Antibiotika Dosis Keterangan


Ampisilin 1 g IV tiap 4 jam atau 500 Spektrum luas, murah
mg (oral)

22
Benzilpenisilin 10 juta unit IV tiap 4 jam Ada efek samping serius
Efektif untuk kokus Gram
(+) dan Go
Kloramfenikol 1 g IV tiap 6 jam Baik untuk sepsis,
pemekanan sumsum tulang,
pantau gambaran darah

Gentamisin 1,5 kg/kg BB/dosis IV/IM Efektif untuk Gram (-) dan
Doksisiklin tiap 8 jam flora usus. Aktif untuk
Tetrasiklin 100 mg tiap 12 jam kuman Gram (+), Gram (-)
500 mg tiap 6 jam (jangan termasuk Klamidia. Dapat
diberikan bersamaan dengan menggntikan atau kombinasi
susu atau antasida) dengan Ampisilin. Baik
dikombinasikan dengn
Metronodazol
Metronidazol 1 g IV atau per rektal tiap 12 Baik untuk Gram (-) dan
jam atau 500 mg oral tiap 6 Anaerob.
jam Dapat dikombinasikan
dengan Ampisilin dan
Doksisiklin. Alternatif dan
klindamisin. Relatif murah
dan mudah didapat.serapn
oral mencapi kadar serum
yang sama dengan Intravena.

Catatan

 Golongan penisilin gentamisin dan metronidazole sering dikombinasikan dan


mempunyai cakupan berbagai mikroorganisme.

23
 Kloramfenikol mempunyai efektifitas yang cukup luas walaupun digunakan
secara tunggal dan sangat efektif jika dikombinasikan dengan
penisilin/ampisilin.
 Sekali diberikan, antibiotika diteruskan hingga bebas demam 24-48 jam. Bila
setelah 48 jam pemberian ternyata tidak mengalami perubahan, ganti dengan
antibiotika lain.
 Bila terjadi perbaikan, ganti cara pembeian parenteral dengan per oral.
Sesuaikan dosis per oral. Sesuaikan dosis per oral dengan parenteral.

Tabel 2-4 : Kombinasi Antibiotika untuk Infeksi Ganda

Seftriakson atau Siprofloksasin atau Spektinomisin dengan Gentamisin atau


Metronidazol
Doksisiklin dengan Metronidazol
Penisilin dengan Kloramfenikol

Tabel 2-5 : Antibiotika untuk Pasien Rawat Jalan

Antibiotika Dosis Catatan


Seftriakson 250 mg dosis tunggal oral Efektif untuk hampir
atau semua mikroorganisme
Siprofloksasin 500 mg dosis tunggal oral
atau Cakupan kokus Gram (-)
Spektinomisin 2 g dosis tunggal oral dan Go
Dikombinasikan dengan salah satu antibiotika dibawah ini

Doksisiklin 100 mg oral 2x sehari 10- Murah dan mencakup


14 hari atau klamidia
Tetrasiklin 500 mg oral 4x sehari 10- Murah dan mencakup
14 hari atau klamidia

24
Kotrimoksasol 2 tablet dewasa/1 kaplet Spektrum luas dan murah
forte 10 hari

 Penatalaksanaan Nyeri

Kebanyakan pasien dengan infeksi berat, trauma intraabdomen, demam tinggi dan
kommplikasi berat lainnya, juga akan mengeluhkan rasa nyeri dan membutuhkan
analgesia. Pemilihan analgesia sangat tergantung dari ondisi pasien, jenis obat,
perawatan yang diberikan, waktu dan cara pemberian analgesia. Pemberian obat
sebelum pemeriksaan selesai, akan menghilangkan sebagian dari gejala gejala penyakit,
yang apabila tidak dicermati akan menyulitkan pembuatan diagnosis.

Hindarkan pemberian sedative berlebihan karena akan menghilangkan kemampuan


pasien untuk menjawab secara benar. Bahan narkotika, harus diberikan secara selektif
dan pemantauan ketat karena dapat menyebabkan depresi pernapasan. Siapkan
antidotum dan peralatan resusitasi kardiopulmoner sebelum pemberian analgesia
narkotika. Anti radang non-steroid, dapat menimbulkan gangguan pembukaan darah.
Beberapa analgesia, juga mempunyai efek antipiretika sehingga sebaiknya tidak
diberikan sebelum selesainya pengukuran temperature darah. Penggabungan analgesik
dengan sedatif, kadang-kadang menyebabkan depresi pernapasan.

 Diuretika

Lakukan pemantauan dan penghitungan keseimbangan cairan dengan teliti.


Kesalahan dalam mengkalkulasikan cairan masuk dan keuar, akan menyebabkan
cairan yang diberikan kurang dari yang ditentukan atau malah terjadi kelebihan
pemberian cairan yang dapat menimbulkan beban pada jantung atau edema paru.
Konfirmasi kelebihan cairan, dapat dilihat melalui foto Ro paru atau melihat gejala fisik
dan klinik (edema pada kaki, tangan, muka, palpebral atau sesak napas, ronkhi basah)
untuk mengurangi beban jantung dan menghilangkan edema akut paru, berikan
diuretika dan perhatikan perbaikan gejala atau edema yang terjadi.

25
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Penatalaksanaan awal dalam kegawatdaruratan merupakan aplikasi terlatih dari prinsip-


prinsip penanganan pada saat terjadinya kecelakaan atau dalam kasus-kasus penyakit
mendadak dengan menggunakan fasilitas-fasilitas atau benda-benda yang tersedia pada
saat itu. Hal ini merupakan metode penanganan yang telah diuji sampai korban
dipindahkan ke Rumah Sakit atau lokasi dimana keterampilan dan peralatan yang layak
tersedia

26
DAFTAR PUSTAKA
Saifuddin, Prof. dr. Abdul Bari, SpOG, MPH. 2009. Buku Acuan Nasional Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono

PrawirohardjoSaifuddin, Prof. dr. Abdul Bari, SpOG, MPH. 2010. Ilmu Kebidanan.
Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

Suprapti, Didien Ika Setyarini. 2016. Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal


dan Neonatal. Jakarta : PPSDM Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

27

Anda mungkin juga menyukai