Anestesi Persiapan Pra Bedah PDF
Anestesi Persiapan Pra Bedah PDF
PERSIAPAN PASIEN
Persiapan pasien dapat dilakukan mulai di ruang perawatan (bangsal), dari rumah pasien
ataupun dari ruang penerimaan pasien di kamar operasi. Bergantung dengan berat
ringannya tindakan pembedahan yang akan dijalankan serta kondisi pasien.
Pasien dengan operasi elektif sebaiknya telah diperiksa dan dipersiapkan oleh petugas
anestesi pada H-2 hari pelaksanaan pembedahan. Sedangkan pasien operasi darurat,
persiapannya lebih singkat lagi. Mungkin beberapa jam sebelum dilaksanakan
pembedahan.
Pasien dianamnesa tentang penyakit yang dia derita, penyakit penyerta, penyakit
herediter, pengobatan yang sedang dia jalani, riwayat alergi, kebiasaan hidup (olahraga,
merokok, minum alkohol dll). Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang (laboratorium dan radiologi).
Perlu pula dianamnesa riwayat pembedahan, pembiusan serta komplikasi yang dialami
pasien. Berapa lama dia menjalani perawatan. Misal, pasien yang pernah menjalani
operasi pengangkatan nevus tapi pasca operasinya dirawat di ruang rawat intensif (ICU),
maka petugas anestesi harus waspada. Pasien ini memiliki masalah yang serius.
PERSIAPAN PEMBEDAHAN
Secara umum, persiapan pembedahan antara lain :
1. Pengosongan lambung : dengan cara puasa, memasang NGT.
2. Pengosongan kandung kemih.
3. Informed consent (Surat izin operasi dan anestesi).
4. Pemeriksaan fisik ulang
5. Pelepasan kosmetik, gigi palsu, lensa kontak dan asesori lainnya.
6. Premedikasi secara intramuskular ½ - 1 jam menjelang operasi atau secara
intravena jika diberikan beberapa menit sebelum operasi.
Lama puasa pada orang dewasa kira-kira 6-8 jam, anak-anak 4-6 jam, bayi 2 jam (stop
ASI). Pada operasi darurat, pasien tidak puasa, maka dilakukan pemasangan NGT untuk
dekompresi lambung.
Persiapan operasi harus optimal dan sempurna walaupun waktu yang tersedia amat
sempit. Keberhasilan anestesi sangat ditentukan oleh kunjungan pra anestesi.
ANAMNESIS
Dalam anamnesis, dilakukan :
1. Identifikasi pasien
2. Riwayat penyakit, riwayat penggunaan obat, riwayat alergi.
3. Riwayat anestesi dan pembedahan yang lalu.
Ketika pasien menyatakan alergi terhadap suatu obat/zat, maka petugas anestesi perlu
mengkonfirmasi apakah kejadian tersebut betul-betul alergi ataukah hanya rasa tidak
enak setelah penggunaan obat tersebut.
Alergi perlu diwaspadai karena alergi dapat menimbulkan bahaya besar seperti syok
anafilaktik dan edema angioneurotik.
Narkotika dan psikotropika (terutama sedatif) saat ini sudah sering disalahgunakan oleh
masyarakat awam. Hal ini perlu diwaspadai oleh petugas anestesi. Oleh karena itu, dalam
anamnesis, petugas harus mampu memperoleh keterangan yang jujur dari pasien.
Pada pasien dengan operasi darurat, mungkin di Instalasi Gawat Darurat dia telah
mendapatkan narkotika dan sedatif, namun petugas di IGD terlupa menuliskan di buku
rekam medis pasien. Agar tidak terjadi pemberian yang tumpang tindih, sebaiknya
petugas anestesi juga menanyakan hal tersebut kepada petugas IGD.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang terdiri dari periksaan laboratorium dan radiologi. Pemeriksaan
laboratorium terbagi menjadi pemeriksaan rutin dan khusus.
Data laboratorium yang harus diketahui diantaranya :
- hemoglobin (minimal 8% untuk bedah elektif)
- leukosit
- hitung jenis
- golongan darah
- clotting time dan bleeding time
- Atas indikasi dilakukan skrining : HBSAg
- Jika usia > 40 tahun, perlu diperiksa elektrolit (terutama natrium dan kalium),
ureum, kreatinin.
- Urinalisis : tes reduksi, tes sedimen
Sedangkan pemeriksaan radiologis dan pemeriksaan lainnya yang diperlukan diantaranya
foto toraks, EKG pada pasien berusia > 40 tahun atau bila ada sangkaan penyakit jantung,
Echokardiografi (wajib pada penderita jantung), dan tes faal paru (spirometri).
Jika diperlukan, pasien dikonsulkan ke bagian lain (penyakit dalam, jantung, dll) untuk
memperoleh gambaran kondisi pasien secara lebih spesifik. Konsultasi bukan untuk
meminta kesimpulan / keputusan apakah pasien ini boleh dianestesi atau tidak. Keputusan
akhir tetap beradaa di tangan anestetis.
Setelah kondisi pasien diketahui, anestetis kemudian dapat meramalkan prognosa pasien
serta merencakan teknik dan obat anestesi yang akan digunakan.
Prognosa dibuat berdasarkan kriteria yang dikeluarkan ASA (American Society of
Anesthesiologist).
ASA 1 ; tanpa ada penyakit sistemik
ASA 2 ; kelainan sistemik ringan sampai sedang. Misalnya apendisitis akut tanpa
komplikasi
ASA 3 ; kelainan sistemik berat, ketergantungan pada obat-obat, aktivitas terbatas. Misal
ileus
ASA 4; kelainan sistemik berat yang mengancam nyawa, sangat tergantung dengan obat-
obat, aktivitas sangat terbatas.
ASA 5; dioperasi ataupun tidak, dalam 24 jam akan mati juga. Tanda-tandanya : nadi
tidak teraba, pasien ruptur aneurisma aorta.
Pasien usia <> 60 tahun, pasien obesitas tergolong kategori ASA 2.
Teknik dan obat yang akan digunakan, disesuaikan dengan kondisi pasien, termasuk
kondisi ekonomi.
Apakah nanti pasien diberi anestesi umum ataukah anestesi regional ? Jika memakai
anestesi umum, teknik apa yang digunakan ? Intravena, Inhalasi atau campuran ? Apakah
nanti pasien dipasang sungkup (facemask), Laryngeal Mask Airway, Intubasi endotrakeal
? Apakah nanti napasnya dikendalikan ataukan di-spontan-kan ? dst.
Sebelum melakukan prosedur anestesia, penting sekali memberikan informasi tentang
risiko anestesi, kepada pasien atau penanggungjawab pasien. Risiko tindakan harus
disampaikan ke pihak yang bertanggung jawab atas diri pasien, yakni pihak yang
memberikan persetujuan dan menandatangani surat izin operasi / surat izin anestesi.