Anda di halaman 1dari 23

I.

KONSEP DASAR SC
A. PENGERTIAN
Istilah caesarea berasal dari kata kerja latin caedere yang berarti memotong atau
menyayat (Cunningham, 2006). Sectio caesarea adalah suatu pembedahan guna
melahirkan bayi melalui insisi pada dinding abdomen dan uterus (Oxorn, 2010).

B. TUJUAN SECTIO CAESAREA


Tujuan melakukan sectio caesarea (SC) adalah untuk mempersingkat lamanya
perdarahan dan mencegah terjadinya robekan serviks dan segmen bawah rahim. Sectio
caesarea dilakukan pada plasenta previa totalis dan plasenta previa lainnya jika
perdarahan hebat. Selain dapat mengurangi kematian bayi pada plasenta previa, sectio
caesarea juga dilakukan untuk kepentingan ibu, sehingga sectio caesarea dilakukan pada
placenta previa walaupun anak sudah mati.

C. JENIS – JENIS SECTIO CAESAREA


Menurut Cunningham (2006), jenis section caesarea dapat dibedakan menurut :
1. Jenis insisi abdomen :
a. Insisi vertical
b. Adalah insisi garis tengah infra umbilicus, merupakan jenis insisi yang paling
cepat dibuat. Insisi ini harus cukup panjang agar janin dapat lahir tanpa kesulitan,
sehinggga harus sesuai dengan tafsiran berat janin.
c. Insisi Transversal/melintang
d. Insisi dibuat setinggi garis rambut pubis dan diperluas sedikit melebihi batas
e. lateral otot rektus. insisi transversal memiliki keunggulan dalam hal kosmetik.
2. Menurut jenis insisi uterus :
a. Insisi caesarea klasik yaitu insisi vertikal kedalam korpus uterus diatas segmen
bawah uterus dan mencapai fundus uteri
b. Insisi caesarea transversal yaitu insisi dengan menyayat bagian segmen bawah
uterus yang harus dilakukan dengan hati-hati agar sayatan dapat memotong
seluruh ketebalan dinding uterus tetapi tidak melukai janin dibawahnya.

D. MANIFESTASI KLINIK
Persalinan dengan sectio caesaria, memerlukan perawatan yang lebih

komprehensif yaitu: perawatan post operatif dan perawatan post partum.

Menurut Prawirohardjo (2010), manifestasi klinis pada klien dengan post sectio caesarea,

antara lain :

a. Kehilangan darah selama prosedur pembedahan 600-800 ml.

b. Terpasang kateter : urine jernih dan pucat.

c. Abdomen lunak dan tidak ada distensi.

d. Bising usus tidak ada.

e. Ketidakmampuan untuk menghadapi situasi baru.

f. Balutan abdomen tampak sedikit noda.

g. Aliran lokhia sedang dan bebas bekuan, berlebihan dan banyak.

E. ETIOLOGI / INDIKASI SC
Menurut Oxorn (2010), indikasi sectio caesarea lebih bersifat absolute dan relative.
Setiap keadaan yang tidak memungkinkan kelahiran lewat jalan lahir merupakan indikasi
absolute untuk sectio caesarea. Diantaranya adalah panggul sempit yang sangat berat dan
neoplasma yang menyumbat jalan lahir. Pada indikasi, kelahiran pervaginam bisa
terlaksana tetapi dengan keadaan tertentu membuat kelahiran lewat sectio caesarea akan
lebih aman bagi ibu, anak ataupun keduanya. Faktor-faktor yang menyebabkan perlunya
tindakan sectio caesarea yaitu :
1. Faktor ibu
a. Disporporsi fetopelvic, mencakup panggul sempit, fetus terlalu besar, atau adanya
ketidakseimbangan antara ukuran bayi dan ukuran pelvic.
b. Disfungsi uterus, mencakup kerja uterus yang tidak terkoordinasikan, inersia,
ketidakmampuan dilatasi cervix, partus menjadi lama.
c. Neoplasma
Neoplasma yang menyumbat pelvis menyebabkan persalinan normal tidak
mungkin dilakukan. Kanker invasif yang didiagnosa pada trimester ketiga dapat
diatasi dengan sectio caesarea yang dilanjutkan dengan terapi radiasi,
pembedahan radikal atau keduanya.
d. Riwayat sectio caesarea sebelumnya
Meliputi riwayat jenis insisi uterus sebelumnya, jumlah sectio caesarea
sebelumnya dan indikasi sectio caesarea sebelumnya. Pada sebagian negara besar
ada kebiasaan yang dilakukan akhir-akhir ini yaitu setelah prosedur sectio
caesarea dilakukan maka persalinan mendatang juga harus diakhiri dengan
tindakan sectio caesarea juga.
e. Plasenta previa sentralis dan lateralis
f. Abruptio plasenta
g. Toxemia gravidarum antara lain pre eklamsia dan eklamsia, hipertensi essensial
dan nephritis kronis.
h. Diabetes maternal
i. Infeksi virus herpes pada traktus genitalis.
2. Faktor janin
a. Gawat janin
Disebut gawat janin, bila ditunjukkan dengan adanya bradikardi berat atau
takikardi. Namun gawat janin tidak menjadi indikasi utama dalam peningkatan
angka sectio caesarea. Stimulasi oxytocin menghasilkan abnormalitas pada
frekuensi denyut jantung janin. Keadaan gawat janin pada tahap persalinan
memungkinkan dokter memutuskan untuk melakukan operasi. Terlebih apabila
ditunjang kondisi ibu yang kurang mendukung. Sebagai contoh, bila ibu
menderita hipertensi atau kejang pada rahim dapat mengakibatkan gangguan pada
plasenta dan tali pusar yaitu aliran darah dan oksigen kepada janin menjadi
terganggu. Kondisi ini dapat mengakibatkan janin mengalami gangguan seperti
kerusakan otak. Bila tidak segera ditanggulangi, maka dapat menyebabkan
kematian janin (Oxorn, 2010).
b. Ukuran Janin
Berat bayi lahir sekitar 4000 gram atau lebih (giant baby), menyebabkan bayi
sulit keluar dari jalan lahir. Umumnya pertumbuhan janin yang berlebihan
disebabkan sang ibu menderita kencing manis (diabetes mellitus). Bayi yang lahir
dengan ukuran yang besar dapat mengalami kemungkinan komplikasi yang lebih
berat daripada bayi normal karena sifatnya masih seperti bayi prematur yang tidak
bisa bertahan dengan baik terhadap persalinan yang lama (Oxorn, 2010).
c. Cacat atau kematian janin sebelumnya
Ibu-ibu yang pernah melahirkan bayi yang cacat atau mati dilakukan sectio
caesarea elektif.
d. Malposisi dan malpresentasi bayi
e. Insufisiensi plasenta
f. Inkompatibilitas rhesus, jika janin mengalami cacat berat akibat antibody dari ibu
Rh (-) yang menjadi peka dan bila induksi dan persalinan pervaginam tidak
berhasil maka tindakan sectio caesarea dilakukan.
g. Post mortem caesarean yaitu dilakukan pada ibu yang baru saja meninggal
bilamana bayi masih hidup.

F. PATOFISIOLOGI
Adanya beberapa kelainan / hambatan pada proses persalinan yang menyebabkan
bayi tidak dapat lahir secara normal / spontan, misalnya plasenta previa sentralis dan
lateralis, panggul sempit, disproporsi cephalo pelvic, rupture uteri mengancam, partus
lama, partus tidak maju, pre-eklamsia, distosia serviks, dan malpresentasi janin. Kondisi
tersebut menyebabkan perlu adanya suatu tindakan pembedahan yaitu Sectio Caesarea
(SC).
Dalam proses operasinya dilakukan tindakan anestesi yang akan menyebabkan
pasien mengalami imobilisasi sehingga akan menimbulkan masalah intoleransi aktivitas.
Adanya kelumpuhan sementara dan kelemahan fisik akan menyebabkan pasien tidak
mampu melakukan aktivitas perawatan diri pasien secara mandiri sehingga timbul
masalah defisit perawatan diri.
Kurangnya informasi mengenai proses pembedahan, penyembuhan, dan perawatan
post operasi akan menimbulkan masalah ansietas pada pasien. Selain itu, dalam proses
pembedahan juga akan dilakukan tindakan insisi pada dinding abdomen sehingga
menyebabkan terputusnya inkontinuitas jaringan, pembuluh darah, dan saraf - saraf di
sekitar daerah insisi. Hal ini akan merangsang pengeluaran histamin dan prostaglandin
yang akan menimbulkan rasa nyeri (nyeri akut). Setelah proses pembedahan berakhir,
daerah insisi akan ditutup dan menimbulkan luka post op, yang bila tidak dirawat
dengan baik akan menimbulkan masalah resiko infeksi.
G. PATHWAYS
H. KONTRAINDIKASI
Menurut Oxorn, (2010) sectio caesarea tidak boleh dilakukan bila terdapat keadaan
sebagai berikut :
1. Bila janin sudah mati atau berada dalam keadaan yang jelek sehingga
kemungkinan hidup kecil. Dalam keadaan ini tidak ada alasan untuk melakukan
operasi berbahaya yang tidak diperlukan.
2. Bila jalan lahir ibu mengalami infeksi yang luas dan fasilitas untuk sectio caesarea
extraperitoneal tidak tersedia.
3. Bila dokter dan tenaga asisten tidak berpengalaman atau memadai.

I. KOMPLIKASI
Menurut Oxorn (2010) komplikasi dari sectio caesarea adalah :
1. Perdarahan disebabkan karena :
a. Atonia Uteri
b. Pelebaran insisi uterus
c. Kesulitan mengeluarkan plasenta
d. Hematoma ligament latum (broad ligament)
2. Infeksi Puerperal (nifas)
a. Traktus genitalia
b. Insisi
c. Traktus urinaria
d. Paru-paru dan traktus respiratorius atas
3. Thrombophlebitis
4. Cidera, dengan atau tanpa fistula
a. Traktus urinaria
b. Usus
5. Obstruksi usus
a. Mekanis
b. Paralitik
J. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hemoglobin atau hematokrit (HB/Ht) untuk mengkaji perubahan dari kadar pra
operasi dan mengevaluasi efek kehilangan darah pada pembedahan.
2. Leukosit (WBC) mengidentifikasi adanya infeksi
3. Tes golongan darah, lama perdarahan, waktu pembekuan darah
4. Urinalisis / kultur urine
5. Pemeriksaan elektrolit

K. PENATALAKSANAAN POST SECTIO CAESAREA


Menurut Cunningham (2006) penatalaksanaan pasca operatif meliputi pemantauan
ruang pemulihan dan pemantauan di ruang rawat. Di ruang pemulihan jumlah
perdarahan pervagina harus dimonitor secara cermat, fundus uteri harus sering dipalpasi
untuk memastikan bahwa kontraksi uterus tetap kuat. Palpasi abdomen kemungkinan
besar akan menyebabkan nyeri yang hebat sehingga pasien dapat ditoleran dengan
pemberian analgetik.
a. Pemberian cairan
Karena 24 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka pemberian cairan
perintavena harus cukup banyak dan mengandung elektrolit agar tidak terjadi
hipotermi, dehidrasi, atau komplikasi pada organ tubuh lainnya. Cairan yang biasa
diberikan biasanya DS 10%, garam fisiologi dan RL secara bergantian dan jumlah
tetesan tergantung kebutuhan. Bila kadar Hb rendah diberikan transfusi darah sesuai
kebutuhan.
b. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus lalu
dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian minuman dengan
jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 - 10 jam pasca operasi, berupa air
putih dan air teh.
c. Mobilisasi
a) Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi :
b) Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah operasi
c) Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur telentang sedini
mungkin setelah sadar
d) Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan diminta
untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya.
e) Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi setengah duduk
(semifowler)
f) Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan belajar
duduk selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada hari
ke-3 sampai hari ke5 pasca operasi.
d. Kateterisasi
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak pada penderita,
menghalangi involusi uterus dan menyebabkan perdarahan. Kateter biasanya
terpasang 24 - 48 jam / lebih lama lagi tergantung jenis operasi dan keadaan
penderita.
e. Pemberian obat-obatan
a) Antibiotik
Cara pemilihan dan pemberian antibiotik sangat berbeda-beda setiap institusi
b) Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
1. Supositoria : ketopropen sup 2x/24 jam
2. Oral : tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
3. Injeksi : penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu
c) Obat-obatan lain
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat diberikan
caboransia seperti neurobion I vit. C
f. Perawatan luka
Kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post operasi, bila basah dan berdarah harus
dibuka dan diganti
g. Perawatan rutin
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan adalah suhu, tekanan darah,
nadi,dan pernafasan.
h. Perawatan Payudara
Pemberian ASI dapat dimulai pada hari post operasi jika ibu memutuskan tidak
menyusui, pemasangan pembalut payudara yang mengencangkan payudara tanpa
banyak menimbulkan kompesi, biasanya mengurangi rasa nyeri.

II. KONSEP PLACENTA PREVIA


A. Pengertian
Plasenta previa adalah keadaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat abnormal yakni
pada segmen bawah rahim, sehingga menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan ostium
uteri internal (OUI). (FK Unpad, 2012).
Plasenta previa adalah plasenta yang letaknya abnormal, yaitu pada segmen bawah uterus
sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir. Pada keadaan normal
plasenta terletak di bagian atas uterus. (Sarwono Prawirohardjo. 2007)
Plasenta previa adalah posisi plasenta yang berada di segmen bawah uterus, baik
posterior maupun anterior, sehingga perkembangan plasenta yang sempurna menutupi os
serviks. (Helen Varney. 2007)

B. Klasifikasi Plasenta Previa


Menurut Chalik (2008), plasenta previa dapat digolongkan menjadi empat bagian, yaitu:
a. Plasenta previa totalis/komplit.
Adalah plasenta yang menutupi seluruh ostium uteri internum.
b. Plasenta previa parsialis.
Adalah plasenta yang menutupi sebagian ostium uteri internum.
c. Plasenta previa marginalis.
Adalah plasenta yang tepinya berada pada pinggir ostium uteri internum.
d. Plasenta letak rendah
Yang berarti bahwa plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah
C. Etiologi
a. Umur dan paritas ( Pada primigravida umur >35 tahun lebih sering dibandingkan umur <
25 tahun atau Pada multipora lebih sering )
b. Endometrium hipoplastis: kawin dan hamil umur muda.
c. Endometrium bercacat pada bekas persalinan berulang-ulang, bekas operasi, curettage, dan
manual plasenta.
d. Corpus luteum bereaksi lambat, dimana endometrium belum siap menerima hasil konsepsi.
e. Adanya tumor; mioma uteri, polip endometrium.
f. Kadang-kadang pada malnutrisi

D. Patofisiologi
Seluruh plasenta biasanya terletak pada segmen atau uterus. Kadang-kadang bagian atau
seluruh organ dapat melekat pada segmen  bawah uterus, dimana hal ini dapat diketahui
sebagai plasenta previa. Karena segmen bawah agak merentang selama kehamilan lanjut dan
persalinan, dalam usaha mencapai dilatasi serviks dan kelahiran anak,  pemisahan plasenta dari
dinding uterus sampai tingkat tertentu tidak dapat dihindarkan sehingga terjadi pendarahan.
Plasenta previa adalah implantasi plasenta bawah rahim sehingga menutupi kanalis servikalis
dan mengganggu proses persalinan dengan terjadinya perdarahan. Zigot yang tertanam sangat
rendah dalam kavum uteri, akan membentuk plasenta yang pada awal mulanya sangat
berdekatan dengan ostimintenum. Plasenta yang letaknya demikian akan diam di tempatnya
sehingga terjadi plasenta previa. Penurunan kepala janin yang mengakibatkan tertekannya
plasenta (apabila plaseta tumbuh di segmen bawah rahim ).Pelebaran pada segmen
bawah uterus lebih banyak mengalami perubahan pada trisemester III. Perdarahan tidak dapat
dihindari karena ketidak mampuan serabut otot segmen bawah uterus berkontraksi seperti pada
plasenta letak normal (Dehes, 2013)

E. Pathway
F. Manifestasi klinis
G. Komplikasi

III. KONSEP ASKAN TEORI


A. Pengkajian
Pada pengkajian klien dengan sectio caesaria, data yang dapat ditemukan meliputi
distress janin, kegagalan untuk melanjutkan persalinan, malposisi janin, prolaps tali pust,
abrupsio plasenta dan plasenta previa.
a. Identitas atau biodata klien
Meliputi, nama, umur, agama, jenis kelamin, alamat, suku bangsa, status perkawinan,
pekerjaan, pendidikan, tanggal masuk rumah sakit nomor register , dan diagnosa
keperawatan.
b. Keluhan utama
c. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan dahulu:
Penyakit kronis atau menular dan menurun sepoerti jantung, hipertensi, DM,
TBC, hepatitis, penyakit kelamin atau abortus.
2) Riwayat kesehatan sekarang:
Riwayat pada saat sebelun inpartu di dapatka cairan ketuban yang keluar
pervaginan secara sepontan kemudian tidak di ikuti tanda-tanda persalinan.
3) Riwayat kesehatan keluarga:
Adakah penyakit keturunan dalam keluarga seperti jantung, DM, HT, TBC,
penyakit kelamin, abortus, yang mungkin penyakit tersebut diturunkan kepada
klien.

B. Pola-Pola Fungsi Kesehatan


1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Karena kurangnya pengetahuan klien tentang ketuban pecah dini, dan cara
pencegahan, penanganan, dan perawatan serta kurangnya mrnjaga kebersihan
tubuhnya akan menimbulkan masalah dalam perawatan dirinya
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien nifas biasanaya terjadi peningkatan nafsu makan karena dari keinginan
untuk menyusui bayinya.
3) Pola aktifitas
Pada pasien pos partum klien dapat melakukan aktivitas seperti biasanya, terbatas
pada aktifitas ringan, tidak membutuhkan tenaga banyak, cepat lelah, pada klien nifas
didapatkan keterbatasan aktivitas karena mengalami kelemahan dan nyeri.
4) Pola eleminasi
Pada pasien pos partum sering terjadi adanya perasaan sering /susah kencing selama
masa nifas yang ditimbulkan karena terjadinya odema dari trigono, yang
menimbulkan inveksi dari uretra sehingga sering terjadi konstipasi karena penderita
takut untuk melakukan BAB.
5) Istirahat dan tidur
Pada klien nifas terjadi perubagan pada pola istirahat dan tidur karena adanya
kehadiran sang bayi dan nyeri epis setelah persalinan
6) Pola hubungan dan peran
Peran klien dalam keluarga meliputi hubungan klien dengan keluarga dan orang lain.
7) Pola penanggulangan stress
Biasanya klien sering melamun dan merasa cemas
8) Pola sensori dan kognitif
Pola sensori klien merasakan nyeri pada prineum akibat luka janhitan dan nyeri perut
akibat involusi uteri, pada pola kognitif klien nifas primipara terjadi kurangnya
pengetahuan merawat bayinya
9) Pola persepsi dan konsep diri
Biasanya terjadi kecemasan terhadap keadaan kehamilanya, lebih-lebih menjelang
persalinan dampak psikologis klien terjadi perubahan konsep diri antara lain dan
body image dan ideal diri
10) Pola reproduksi dan sosial
Terjadi disfungsi seksual yaitu perubahan dalam hubungan seksual atau fungsi dari
seksual yang tidak adekuat karena adanya proses persalinan dan nifas.
C. Pemeriksaan fisik
1) Kepala
Bagaimana bentuk kepala, kebersihan kepala, kadang-kadang terdapat adanya
cloasma gravidarum, dan apakah ada benjolan
2) Leher
Kadang-kadang ditemukan adanya penbesaran kelenjar tioroid, karena adanya proses
menerang yang salah
3) Mata
Terkadang adanya pembengkakan paka kelopak mata, konjungtiva, dan kadang-
kadang keadaan selaput mata pucat (anemia) karena proses persalinan yang
mengalami perdarahan, sklera kunuing
4) Telinga
Biasanya bentuk telingga simetris atau tidak, bagaimana kebersihanya, adakah cairan
yang keluar dari telinga.
5) Hidung
Adanya polip atau tidak dan apabila pada post partum kadang-kadang ditemukan
pernapasan cuping hidung
6) Dada
Terdapat adanya pembesaran payu dara, adanya hiper pigmentasi areola mamae dan
papila mamae
7) Abdomen
Tampak insisi post op SC, namun pada klien nifas abdomen kendor kadang-kadang
striae masih terasa nyeri. Fundus uteri 3 jari dibawa pusat.
8) Genitalia
Pengeluaran darah campur lendir, pengeluaran air ketuban, bila terdapat pengeluaran
mekonium yaitu feses yang dibentuk anak dalam kandungan menandakan adanya
kelainan letak anak.
9) Anus
Kadang-kadang pada klien nifas ada luka pada anus karena rupture
10) Ekstermitas
Pemeriksaan odema untuk mrlihat kelainan-kelainan karena membesarnya uterus,
karenan preeklamsia atau karena penyakit jantung atau ginjal.
11) Tanda-tanda vital
Apabila terjadi perdarahan pada pos partum tekanan darah turun, nadi cepat,
pernafasan meningkat, suhu tubuh turun.

D. Diagnosa Keperawatan
Beberapa diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada ibu post SC yaitu :
1. Menyusui tidak efektif berhubungan dengan kurangnya pengetahuan ibu tentang
cara menyusui yang bernar.
2. Nyeri akut berhubungan dengan injury fisik jalan lahir.
3. Defisit pengetahuan berhubungan dengan tidak mengenal atau familiar
dengan sumber informasi tentang cara perawatan bayi.
4. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelelahan sehabis bersalin
5. Resiko infeksi berhubungan dengan luka operasi
E. RENCANA KEPERAWATAN

NO DIANGOSA KEPERAWATAN TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC)

1. Menyusui tidak efektif Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 3x24 jam Health Education:
berhubungan dengan kurangnya klien menunjukkan respon breast feeding adekuat  Berikan informasi mengenai :
pengetahuan ibu tentang cara dengan indikator:  Fisiologi menyusui
menyusui yang benar  Klien mengungkapkan puas dengan kebutuhan untuk  Keuntungan menyusui
menyusuI  Perawatan payudara
 Klien mampu mendemonstrasikan perawatan  Kebutuhan diit khusus
payudara  Faktor-faktor yang menghambat proses
menyusui
 Demonstrasikan breast care dan pantau
kemampuan klien untuk melakukan secara
teratur
 Ajarkan cara mengeluarkan ASI dengan benar,
cara menyimpan, cara transportasi sehingga bisa
diterima oleh bayi
 Berikan dukungan dan semangat pada ibu untuk
melaksanakan pemberian Asi eksklusif
 Berikan penjelasan tentang tanda dan gejala
bendungan payudara, infeksi payudara
 Anjurkan keluarga untuk memfasilitasi dan
mendukung klien dalam pemberian ASI
 Diskusikan tentang sumber-sumber yang dapat
memberikan informasi/memberikan pelayanan
KIA

16
2. Nyeri akut b.d agen injuri fisik Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam Pain Management
(luka insisi operasi) diharapkan nteri berkurang dengan indicator:  Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
Pain Level, termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
Pain control, kualitas dan faktor presipitasi
Comfort level  Observasi reaksi nonverbal dari
 Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, ketidaknyamanan
mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk  Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
mengurangi nyeri, mencari bantuan) mengetahui pengalaman nyeri pasien
 Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan  Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri
menggunakan manajemen nyeri  Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
 Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi  Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain
dan tanda nyeri) tentang ketidakefektifan kontrol nyeri masa
 Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang lampau
 Tanda vital dalam rentang normal  Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan
menemukan dukungan
 Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi
nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan
kebisingan
 Kurangi faktor presipitasi nyeri
 Pilih dan lakukan penanganan nyeri
(farmakologi, non farmakologi dan inter
personal)
 Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan
intervensi
 Ajarkan tentang teknik non farmakologi
 Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
 Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
 Tingkatkan istirahat
 Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan
dan tindakan nyeri tidak berhasil
 Monitor penerimaan pasien tentang manajemen
nyeri
Analgesic Administration
 Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan
derajat nyeri sebelum pemberian obat
 Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis,
dan frekuensi
 Cek riwayat alergi
 Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi
dari analgesik ketika pemberian lebih dari satu
 Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan
beratnya nyeri
 Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan
dosis optimal
 Pilih rute pemberian secara IV, IM untuk
pengobatan nyeri secara teratur
 Monitor vital sign sebelum dan sesudah
pemberian analgesik pertama kali
 Berikan analgesik tepat waktu terutama saat
nyeri hebat
 Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala
(efek samping)
3. Kurang pengetahuan tentang Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam Teaching : Disease Process
perawatan ibu nifas dan perawatan diharapkan pengetahuan klien meningkat dengan  Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan
post operasi b/d kurangnya sumber indicator: pasien tentang proses penyakit yang spesifik
informasi Kowlwdge : disease process  Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan
Kowledge : health Behavior bagaimana hal ini berhubungan dengan anatomi
 Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman dan fisiologi, dengan cara yang tepat.
tentang penyakit, kondisi, prognosis dan program  Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul
pengobatan pada penyakit, dengan cara yang tepat
 Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur  Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang
yang dijelaskan secara benar tepat
 Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali  Identifikasi kemungkinan penyebab, dengna cara
apa yang dijelaskan perawat/tim kesehatan lainnya. yang tepat
 Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi,
dengan cara yang tepat
 Hindari jaminan yang kosong
 Sediakan bagi keluarga atau SO informasi
tentang kemajuan pasien dengan cara yang tepat
 Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin
diperlukan untuk mencegah komplikasi di masa
yang akan datang dan atau proses pengontrolan
penyakit
 Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
 Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau
mendapatkan second opinion dengan cara yang
tepat atau diindikasikan
 Eksplorasi kemungkinan sumber atau dukungan,
dengan cara yang tepat
 Rujuk pasien pada grup atau agensi di komunitas
lokal, dengan cara yang tepat
 Instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala
untuk melaporkan pada pemberi perawatan
kesehatan, dengan cara yang tepat
4. Defisit perawatan diri b.d. Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam Self Care assistane : ADLs
Kelelahan. ADLs klien meningkat dengan indicator:  Monitor kemempuan klien untuk perawatan diri
Self care : Activity of Daily Living (ADLs) yang mandiri.
 Klien terbebas dari bau badan  Monitor kebutuhan klien untuk alat-alat bantu
 Menyatakan kenyamanan terhadap kemampuan untuk kebersihan diri, berpakaian, berhias,
untuk melakukan ADLs toileting dan makan.
 Dapat melakukan ADLS dengan bantuan  Sediakan bantuan sampai klien mampu secara
utuh untuk melakukan self-care.
 Dorong klien untuk melakukan aktivitas sehari-
hari yang normal sesuai kemampuan yang
dimiliki.
 Dorong untuk melakukan secara mandiri, tapi
beri bantuan ketika klien tidak mampu
melakukannya.
 Ajarkan klien/ keluarga untuk mendorong
kemandirian, untuk memberikan bantuan hanya
jika pasien tidak mampu untuk melakukannya.
 Berikan aktivitas rutin sehari- hari sesuai
kemampuan.
 Pertimbangkan usia klien jika mendorong
pelaksanaan aktivitas sehari-hari.
5. Risiko infeksi b.d tindakan invasif, Setelah dilakuakan asuhan keperawatan selama 3x24 jam Infection Control (Kontrol infeksi)
paparan lingkungan patogen diharapkan resiko infeksi terkontrol dengan indikator:  Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
Immune Status  Pertahankan teknik isolasi
Knowledge : Infection  Batasi pengunjung bila perlu
control Risk control  Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci
 Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung
 Mendeskripsikan proses penularan penyakit, faktor meninggalkan pasien
yang mempengaruhi penularan serta  Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
penatalaksanaannya  Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan
 Menunjukkan kemampuan untuk mencegah keperawtan
timbulnya infeksi  Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat
 Jumlah leukosit dalam batas normal pelindung
 Menunjukkan perilaku hidup sehat  Pertahankan lingkungan aseptik selama
pemasangan alat
 Ganti letak IV perifer dan line central dan
dressing sesuai dengan petunjuk umum
 Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan
infeksi kandung kencing
 Tingkatkan intake nutrisi
 Berikan terapi antibiotik bila perlu

Infection Protection (Proteksi Terhadap Infeksi)


 Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan
lokal
 Monitor hitung granulosit, WBC
 Monitor kerentanan terhadap infeksi
 Batasi pengunjung
 Saring pengunjung terhadap penyakit menular
 Partahankan teknik aspesis pada pasien yang
beresiko
 Pertahankan teknik isolasi k/p
 Berikan perawatan kulit pada area epidema
 Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap
kemerahan, panas, drainase
 Ispeksi kondisi luka / insisi bedah
 Dorong masukkan nutrisi yang cukup
 Dorong masukan cairan
 Dorong istirahat
 Instruksikan pasien untuk minum antibiotik
sesuai resep
 Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala
infeksi
 Ajarkan cara menghindari infeksi
 Laporkan kecurigaan infeksi
 Laporkan kultur positif
DAFTAR PUSTAKA

Cunningham, F.G., Gant, N.F., Leveno, K.J., Gillstrap III, L.C., Hauth, J.C., Wenstrom,
K.D.,et. al. (2006). Obstetri William. Vol 1. Edisi 21. EGC. Jakarta
Oxorn. (2010). Ilmu Kebidanan : Patologi & Fisiologi Persalinan. Yayasan Essentia
Medica. Yogyakarta
Panduan Penyusunan Asuhan Keperawatan Professional. 2013. Aplikasi Asuhan
Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC-NOC. Jilid 1.
Yogyakarta: Med Action Publishing
Panduan Penyusunan Asuhan Keperawatan Professional. 2013. Aplikasi Asuhan
Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC-NOC. Jilid 2.
Yogyakarta: Med Action Publishing
Partini. 2016. Pengaruh Pendampingan Terhadap Kemampuan Mobilisasi Dini Pada
Ibu Post Sectio Caesarea Di RSUD Kota
Salatiga. http://stikeskusumahusada.ac.id/digilib/files/disk1/30/01-gdl-
partinist1-1453-1- partini-i.pdf diakses pada 31 Oktober 2017
Prawirohardjo, S. (2010). Ilmu Kebidanan, Jakarta: Bina Pustaka.
Riskesdas. (2013). http://www/depkes.gi.id/resources.dowload/general/Hasil
% 20Riskesdas%202013 .pdf
Sumelung (2014), Faktor-Faktor Yang Berperan Meningkatnya Angka Kejadian Sectio
Caesarea Di Rumah Sakit Umum Daerah Liun Kandage, Ejournal Keperawatan
(e-Kp) Volume 2, No.1. Februari 2014

23

Anda mungkin juga menyukai