Anda di halaman 1dari 10

Home Tafsir Pinjam Meminjam Barang( ‫ )عارية‬Dalam al-Quran

Pinjam Meminjam Barang( ‫ )عارية‬Dalam al-


Quran
by Atep Hendang | posted: March 12, 2014 0 comment

Atep Hendang, S.Th.I, M.E.I

https://www.facebook.com/elhafidzelnuhah

‫أككرأكيي ك‬
‫ت اللنذيِ يبككدذ ب‬
(1) ‫ب نبالددينن‬
(2) ‫فككذلنكك اللنذيِ يكبدعع ايليِكنتيِكم‬
‫ض كعكلىَ طككعانم ايلنم ي‬
(3) ‫سنكيِنن‬ ‫كولَ يكبح ع‬
‫فككوييلل لنيلبم ك‬
(4) ‫صدليِكن‬
(5) ‫سابهوكن‬ ‫اللنذيكن بهيم كعين ك‬
‫صلَتننهيم ك‬
(6) ‫اللنذيكن بهيم يبكرابؤوكن‬
(7) ‫كويكيمنكبعوكن ايلكمابعوكن‬
1. tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?

2. Itulah orang yang menghardik anak yatim,

3. dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin.

4. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,

5. (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,

6. orang-orang yang berbuat riya

7. dan enggan (menolong dengan) barang berguna

Tafsir Kata al-Maun

Al-Maun sewazan dengan ‫ فكففابعولل‬berasal dari kata ‫ ايلكمكعففنن‬yang berarti sesuatu yang sedikit.
Zakat dikatakan maunan karena diambil 2,5 % dari harta, zakat itu adalah yang sedikit dari
yang banyak. Dinamakan apa yang dipinjam menurut kebiasaan seperti kampak, dan mata
pisau maunan. Maka makna ayat ini adalah celaan bagi orang yang bakhil dengan segala
sesuatu yang sedikit. (Mafatih al-Ghaib, 32:305)

Ikrimah mengatakan al-maun yang paling tinggi adalah zakat dan yang paling rendahadalah
meminjamkan barang. (Lubab at-Tawil, 4:479)

Sedangkan menurut Ibn al-Arabi al-Maun adalah ‫كميفبعولل‬darikata ‫ أككعاكن يبنعيِبن‬dan ‘aun itu adalah
membantu dengan kekuatan dan alat. (‘Ahkam al-Qur’an, 4:455)

Kedua pendapat tentang asal kata al-maun tersebut secara bersamaan disebutkan oleh Abu
Hayan dalam al-Bahr al-Muhit (10:551) kemudian ia mengutip perkataan ahli bahasayaitu,
Abu Ubaidah, al-Zujaj, dan al-Mubarrid yang mengatakan:

‫ِ بكلل كما نفيِنه كمينفككعةل كحلتىَ ايلكفا ب‬:‫ايلكمابعوبن نفيِ ايلكجانهلنيِلنة‬


ُ،‫س كواللديلبو كوايلقنيدبر كوايلقكلداكحبة‬
‫كوبكعل كما نفيِنه كمينفككعةل نمين قكنليِرل أكيو ككنثيِرر‬
Al-Maun pada jahiliyyah adalah setiap apa yang ada padanya manfaat meskipun itu
kampak, ember, periuk dan korek api dan setiap apa yang ada padanya manfaat baik sedikit
maupun banyak

Ibn Al-‘Arabi (‘Ahkam al-Qur’an, 4:455)mengatakan para ulamadalam menafsirkan kata al-
maun terbagi 6 pendapat:

Pertama, zakat ini adalah pendapat Imam Malik

Kedua, harta ini adalah pendapat Ibn Syihab

Ketiga, apa-apa yang orang saling mengambil diantara mereka, ini adalah pendapat Ibn
Abbas

Keempat, periuk, ember, kampak dan yang serupa dengannya,

Kelima, air dan rumput

Keenam, air saja

Kemudian beliau mengatakan bahwa al-maun adalah dari kata ‘aun (pertolongan) maka apa
yang disebutkan oleh ulama dalam tafsirnya (di atas, pen) adalah ‘aun. Dan yang paling
besarnya adalah zakat. Dan ukuran al-maun serta yang membutuhkan kepadanya adalah yang
menjadi tercela dalam menolaknya, kecuali bahwa tercela itu adalah enggan melakukan
kewajiban. ‘Ariyah (meminjam) itu bukan kewajiban secara terperinci, namun ia wajib secara
umum.

Ali al-Shabuni (Shofwatu Tafasir,3:583)menafsirkan al-maun dengan enggan menolong


orang lain dengan barang-barang yang sedikit bermanfaat kepada setiap orang yang
membutuhkan bantuan seperti tinta, kampak, periuk, garam, air dan lain-lain.
Wahbah az-Zuhaili (al-Munir, 30:424) mengatakan mereka enggan memberikan pinjaman
dan berbuat kebaikan. Dan al-ma’un adalah nama bagi setiap apa yang dipinjam bagi setiap
orang diantara mereka seperti, ember, kampak, beliung, periuk dan perhiasan rumah.

As-Sadi (Taisir ar-Rahman, 1:935) mengatakan mereka enggan memberi sesuatu yang tidak
memadaratkan dengan memberinya seperti ‘ariyah (meminjan) atau hibah. Seperti bejana,
ember, kampak, dan lain-lain,

Abu Bakar al-Jazair (Aisaru Tafasir, 5:619) mengatakan mereka enggan memberi barang
yang berguna yang dipinta kepada mereka seperti tinta, periuk, sabit besar dan yang lainnya
yang bermanfaat dan barangnya dikembalikan.

Pengertian ‘Ariyah

‫ العارية‬dengan ditasydid ya kadang juga di tahfif (tidak ditasydid) dan yang pertama itu lebih
fasih dan masyhur. Adalah nama untuk sesuatu yang dipinjam atau untuk akad ‘ariyah.
Diambil dari kata ‫ عار‬yaitu pergi dan datang. Dikatakan juga dari ‫ التعاور‬yaitu, perputaran dan
pertukaran. (Fiqhul Islam wa Adillatuhu, 5:4035)

Muhammad bin Ibrahim bin ‘Abdillah (Mausuah al-Fiqh al-Islami, 3:552) mendefinisikannya
dengan:

‫ِ هيِ إباحة نفع عيِن بلَ عوض‬:‫العارية‬


al-‘Ariyyah adalah membolehkan manfaat/kegunaan suatu barang tanpa pengganti

Sayyid Sabiq (Fiqh al-Sunnah, 3:239) dan ‘Abdul Adzim bin Badawi (al-Wajiz Fi Fiqh al-
Sunnah, 1:369) mengatakan para fukaha mendefinisikan ‘ariyah sebagai berikut:

‫إباحة المالك منافع ملكه لغيِره بلَ عوض‬


Pemilik barang membolehkan manfaat barang miliknya kepadaorang lain tanpa pengganti

Oleh karena itu ‘ariyah berbeda dengan hibah. Hibah adalah pemanfaatan barang baik dzat
maupun manfaatnya sedangkan ‘ariyah manfaat/gunanya saja. Hibah menjadikan seseorang
memiliki barang yang diberikan, sedangkan ‘ariyah membolehkan seseorang untuk
menggunakan manfaat/kegunaan dari barang yang dipinjamkan.

Hukum ‘Ariyah

Asal disyariatkannya ‘ariyah(pinjam meminjam) adalah al-Kitab, sunnah, ijma dan logika.
Adapun dari al-Quran adalah firmnan-Nya yang termaktub dalam QS. al-Maun:‫نوينلمننععوُنن اللنماععوُنن‬

Diriwayatkan dari Ibn Abbas dan Ibn Masud bahwa al-Ma’un adalah orang yang meminjam.

Adapun dari sunnah adalah:


‫سللكم يكبقوبل نفيِ ايلبخ ي‬
‫طبكنة كعاكم كحلجنة‬ ‫صللىَ ل‬
‫اب كعلكييِنه كو ك‬ ‫ت النلبنليِ ك‬ ‫كعين أكنبيِ أبكماكمةك كقاكل ك‬
‫سنميع ب‬
‫ع ايلكعانريكةب بمكؤلداةل كواللزنعيِبم كغانرلم كواللدييبن كميق ن‬
ِ‫ضيي‬ ‫ايلكوكدا ن‬
Dari Abu Umamah ia berkata; Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
dalam khutbahnya ketika haji wada': “Barang pinjaman itu harus dikembalikan, orang yang
menjamin harus membayar jaminannya serta hutang harus dibayar.”

Dari segi ijma’ kaum muslimin sepakat diperbolehkankan ‘ariyah.

Adapun dari segi logikaadalah ketika dibolehkan menghibahkan barang maka boleh juga
menghibahkan manfaat/kegunaannya.(al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 5:182)

Hukum taklifnya

Hukum memberiakn barang untuk dipinjam itu hukumnya bisa mubah, sunnah, wajib bahkan
haram. Berikut adalah pandang para ulama tentang hukum taklifi meminjamkan barang.

Para ulama berbeda pendapat setelah sepakat tentang bolehnya meminjam. Mayoritas fukaha
dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanabali berpendapat bahwa hukum asalnya adalah
dianjurkan. Dengan alasan firman Allah swt. dalam QS al-Haj 77. Hadits Nabi saw. bahwa
setiap kebaikan adalah shadakah (HR. Al-Bukhari),

Adajuga yang berpendapat wajib dengan dalil QS. al-Maun: 4-7. Diriwayatkan dari banyak
sahabat bahwa yang dimaksud adalah meminjan periuk, ember dan yang lainnya.

Menurut pengarang Al-Syarh Al-Shagir‘ariyah bisa menjadi wajib seperti bagi orang kaya,
begitu juga meminjamkan pisau untuk binatang yang ditakuti akan mati. Ini diriwayatkan
dari Mazhab Maliki. Bisa jadi haram seperti meminjankan untuk membantu perbuatan
maksiyat. Dan menjadi makruh sepeti meminjamkan untuk pekerjaan makruh (al-Mausu’ah
al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 5:182-183)

Menurut Muhammad bin Ibrahim meminjam itu akadnya boleh kemudian menjadi wajib
ketika yang meminjam sangat membutuhkan dan tidak ada madarat meminjamkannya bagi
yang dipinjam. Ia wajib meminjamkannya seperti ketika ada orang telanjang pada waktu
sangat dingin, sedangkan yang mempunyai baju tidak membutuhkannya maka ia wajib
meminjamkannya. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. al-Maun 4-7. (Al-Mausu’ah Al-Fiqh
Al-Islami, 3:553)

Abdurrahman al-Jaziri mengatakan hukum ‘ariyah itu dianjurkan namun bisa menjadi wajib
seperti jika yang lain membutuhkan payung di padang pasir ketika sangat panas yang bisa
menyebabkan dia mati atau sakit pada saat itu wajib bagi orang yang memiliki payung
meminjamkannya (al-Fiqh ‘alal Mazhab al-Arba’ah, 3:239).

Oleh karena itu jika ada tetangga yang memerlukan/meminjam mobil untuk membawa
isttrinya bersalin dirumah sakit atau untuk keperluan rawat inap di UGD maka meminjamkan
mobil pada saat itu menjadi wajib. Ketika yang mempunyai mobil enggan membantu maka ia
termasuk apa yang disebutkan dalam QS. al-Ma’un

Ikhtilaf antara mustair (yang meminjam) dan mu’ir (yang dipinjam)


Kadang terjadi perbedaan pendapat antara yang meminjam dan yang dipinjam, maka
manakah yang dipercaya ucapannya?

1. Ikhtilaf dalam asal akad atau sifat, apabila yang memanfaatkan barang mengklaim
i’arah (meminjan) sedangkan pemilik mengklaim ijarah (sewa), yang meminjan
mengklain i’arah sedangkan pemilik mengklaim ghasb (penipuan), maka dibuktikan
perkataan yang dipinjam dengan sumpahnya menurut mazahab syafi’i karena asal itu
tidak ada izin memanfaatkannya, maka pemilik besumpah dan ia berhak mendapat
upah sepadan
2. Ikhtilaf pada keruksakan, apabila ruksa barang yang dipinjamkan dan peminjam
mengklaim bahwa itu ruksak dengan sebab penggunaan yang diizinkan, namun yang
dipinjam menolak, maka dibuktikan perkataan yang meminjam dengan sumpah
3. Ikhtilaf dalam pengembalian barang, apabila peminjam mengklaim telah
mengembalikan barang yang dipinjam kepemiliknya dan pemilik mengingkarinya
maka pemilik bersumpah dan diakui sumpahnya, karena asal adalah belum
dikembalikan, dan yang meminja sebagai terdakwa maka ia harus mendatangkan
bukti. (Fiqhul Islam Wa Adillatuhu, 5:4053

4. Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi


Tugas
5. Mata Kuliah Fiqih dan

Pembelajarannya
6.
7. Dosen Pengampu ِ:
8. Radino, M.Ag
9.
10. Arie Nurdiansyah 09410259
11. Agus Budi Santoso 09410246
12. Kelasِ: PAI E
13.
14.
15. FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
16. UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
17. SEMESTER GASAL
18. TAHUN AKADEMIK 2011
19.
20. Pinjam Meminjam (Ariyah) Dalam Islam
21.
22. 1. Pengertian Pinjam Meminjam (Ariyah)
23. Menurut etimologi, ariyah diambil dari kata a’ra yang berarti datang dan
pergi. Menurut sebagian pendapat ariyah berasal dari kata ta’awuru yang sama
artinya dengan tanawulu aw tanawubu (saling menukar dan mengganti), yakni dalam
tradisi pinjam meminjam.[1]
24. Menurut terminologi syara’ ulama fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikanya,
antara lain:
25. a. menurut Syarkhasyi dan ulama malikiyah:[2]
26. Artinya:
27. “Pemilikan atas manfaat (suatu benda) tanpa pengganti.”
28. b. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hambaliyah:[3]
29. Artinya:
30. “Pembolehan (untuk mengambil) manfaat tanpa mengganti”
31. Akad ini berbeda dengan hibah, karena ariyah dimaksudkan untuk mengambil
manfaat dari suatu benda, sedangkan hibah mengambil zat benda tersebut.
32. Pegertian pertama memberikan makna kepemilikan, sehingga orang yang
meminjamkan tidak dianggap sah kecuali jika barang yang dipinjamkan itu benar-
benar menjadi miliknya, baik terhadap pokok barang itu sendiri maupun manfaatnya.
Adapun pengertian kedua memberikan makna kebolehan, sehingga pinjaman itu tidak
sah diberikan oleh orang yang meminjamnya, yakni bahwa ia tidak boleh
meminjamkan barang pinjaman tersebut kepada orang lain.
33. 2. Landasan Syara’
34. Memberikan pinjaman adalah perbuatan baik dan dianjurkan (mandub).
Bahkan ulama salaf sangat menekankan hal ini,[4] yang didasarkan pada Al-Qur’an
dan Sunah.
35. a. Al-Qur’an
) G9$#ur(qçRur$yès?ur ’n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3“uqø#) .36
37. Artinya:
38. “Dan tolong-menolonglah kalian dalam kebajikan dan taqwa.” (QS. Al-Maidah : 2)
39. b. As-Sunah
40. Dalam hadis Bukhari dan Muslim dari Anas, dinyatakan bahwa Rasulullah SAW,
telah meminjamkan kuda dari Abu Thalhah, kemudian beliau mengendaraiya.
41. Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang jayyid dari
Shafwan Ibn Umayyah, dinyatakan bahwa Rasulullah SAW. pernah meminjam perisai
dari Shafwan bin Umayyah pada waktu perang hunaian. Shafwan bertanya, “Apakah
engkau merampasnya, ya Muhammad?” Nai menjawab, “Cuma meminjam dan aku
bertanggung-jawab.”[5]
42. 3. Rukun Ariyah
43. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ariyah hanyalah ijab dari yang
meminjamkan barang, sedangkan qabul bukan merupakan rukun ariyah.[6]
44. Menurut ulama Syafi’iyah, dalam ariyah disyaratkan adanya lafazh shighat
akad, yakni ucapan ijab dan qabul dari peminjam dan yang meminjamkan barang
pada waktu transaksi sebab memanfaatkan milik barang bergantung pada adanya izin.
[7]
45. Rukun-rukun pinjaman ada lima: peminjaman (al-i’arah), orang yang meminjamkan
(al-mu’ir), peminjam (al-musta’ir), barang yang dipinjamkan (al-mu’ar) dan
ungkapan pemberian pinjaman (sighat). [8]
46. Secara umum, jumhur ulama fiqih [9] menyatakan bahwa rukun ariyah ada empat,
yaitu:
47. 1. Mu’ir (orang yang meminjamkan)
48. 2. Musta’ir (peminjam)
49. 3. Mu’ar (barang yang dipinjamkan)
50. 4. Shighat, yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil manfaat,
baik dengan ucapan maupun perbuatan.
51. 4. Syarat Ariyah
52. Ulama fiqih mensyaratkan dalam akad ariyah sebagai berikut:
53. a. Mu’ir Berakal Sehat
54. Dengan demikian, orang gila dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat
meminjamkan barang. Ulama hanafiyah tidak mensyaratkan sudah baligh,
sedangkan ulama lainnya menambahkan bahwa yang berhak meminjamkan
adalah orang yang dapat berbuat kebaikan sekehendaknya, tanpa dipaksa, bukan
anak kecil, bukan orang bodoh dan bukan orang yang sedang pailit (bangkrut).[10]
55. b. Pemegangan Barang Oleh Peminjam
56. Ariyah adalah transaksi dalam berbuat kebaikan, yang dianggap sah memegang
barang adalah peminjam, seperti halnya dalam hibah.
57. c. Barang (Mu’ar) dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya, jika Mu’ar tidak dapat
dimanfaatkan, akad tidak sah.[11]Para ulama telah menetapkan bahwa ariyah
dibolehkan terhadap setiap barang yang dapat diambil manfaatnya dan tanpa
merusak zatnya, seperti meminjamkan tanah, pakaian, binatang, dan lain-lain.
58. Oleh karena itu tidak boleh meminjamkan hamba perempuan untuk dipakai
bersenang-senang dan makruh pula meminjamkan manfaat kerja budak tersebut,
kecuali jika ia adalah perempuan yang masih mahram baik dengan peminjam maupun
dengan penerima pinjaman.[12]
59. 5. Hukum (Ketetapan) Akad Ariyah
60. Menurut kebiasaan (urf), ariyah dapat diartikan dengan dua cara, yaitu secara hakikat
dan secara majazi.
61. a. Secara Hakikat
62. Ariyah adalah meminjamkan barang yang dapat diambil manfaatnya tanpa merusak
zatnya. Menurut malikiyah dan Hanafiyah, hukumnya adalah manfaat bagi peminjam
tanpa ada pengganti apapun atau peminjam memiliki sesuatu yang semasa dengan
manfaat menurut kebiasaan.[13]
63. Al-Kurkhi, ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan ariyah adalah kebolehan untuk mengambil manfaat dari suatu benda.
64. Dari perbedaan pandangan diatas, dapat ditetapkan bahwa menurut golongan pertama,
barang yang dipinjam boleh dipinjamkan kepada orang lain, bahkan menurut Imam
Malik, sekalipun tidak di izinkan oleh pemiliknya asalkan digunakan sesuai
fungsinya. Akan tetapi, ulama Malikiyah melarangnya jika peminjam tidak
mengizinkannya.
65. Alasan ulama Hanafiyah antara lain bahwa yang memberi pinjaman telah memberikan
hak penguasaan barang kepada peminjam untuk mengambil manfaat barang.
Kekuasaan seperti itu berarti kepemilikan. Dengan demikian, peminjam berkuasa
penuh untuk mengambil manfaat barang tersebut, baik oleh dirinya maupun orang
lain.
66. Menurut golongan kedua, pinjam meminjam hanya sebatas pengambilan manfaat
maka tidak boleh meminjamkan lagi kepada orang lain, seperti halnya seorang tamu
yang tidak boleh meminjamkan makanan yang dihidangkan untuknya kepada orang
lain.
67. Golongan pertama dan kedua sepakat bahwa peminjam tidak memiliki hak
kepemilikan sebagaimana pada gadai barang. Menurut golongan kedua, peminjam
hanya berhak memanfaatkannya saja dan ia tidak memiliki bedanya. Adapun menurut
golongan pertama, gadai adalah akad yang lazim (resmi), sedangkan ariyah adalah
akad tabarru’ (derma) yang dibolehkan, tetapi tidak lazim. Dengan demikian,
peminjam tidak memiliki hak kepemilikan, sebagaimana pad aakad lazim sebab hal
itu akan mengubah tabiat ariyah. Selain itu, peminjampun tidak boleh
menyewakannya.[14]
68. b. Secara Majazi
69. Ariyah secara majazi adalah pinjam-meminjam benda-benda yang berkaitan dengan
takaran, timbangan, hitungan dan lain-lain, seperti telur, uang dan segala benda yang
dapat diambil manfaatnya, tanpa merusak zatnya. Ariyah pada benda-benda tersebut
harus diganti dengan benda yang serupa dan senilai. Dengan demikian, walaupun
termasuk ariyah, tetapi merupakan ariyah secara majazi, sebab tidak mungkin dapat
dimanfaatkan tanpa merusaknya. Oleh karena itu, sama saja antara memiliki
kemanfaatan dan kebolehan memanfatkannya.[15]
70. 6. Hak Memanfaatkan Barang Pinjaman
71. Jumhur ulama selain Hanafiyah bependapat bahwa peminjam dapat mengambil
manfaat barang sesuai dengan izin orang yang meminjamkan. Adapun ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh peminjam bergantung
pada jenis pinjaman, apakah orang yang meminjamkannya secara mutlak atau terikat
(muqayyad).
72. a. Ariyah Mutlak
73. Ariyah Mutlak, yaitu pinjam-meminjam barang yang dalam akadnya (transaksi) tidak
dijelaskan persyaratan apapun, seperti apakah pemanfaatannya hanya untuk peminjam
saja atau dibolehkan orang lain atau tidak dijelaskan cara penggunaanya. Contohnya,
seorang meminjam binatang, namun dalam akad tidak disebutkan hal-hal yang
berkaitan dengan penggunaan binatang tersebut, misalnya waktu dan tempat
mengendarainya. Jadi hukumnya sebagaimana pemilik hewan, yaitu dapat
mengambil. Namun demikian, harus sesuai dengan kebiassan yang berlaku pad
amasyarakat. Tidak dibolehkan menggunakan binatang tersebut siang malam tanpa
henti. Sebaliknya, jika penggunaannya tidak sesuai kebiasaan dan barang pinjaman
rusak, peminjam harus bertanggungjawab.[16]
74. b. Ariyah Muqayyad
75. Ariyah Muqayyad adalah meminjamkan suatu barang yang dibatasi dari segi waktu
dan kemanfaatannya, baik disyaratkan pada keduanya maupun salah satunya.
Hukumnya, peminjam harus sedapat mungkin untuk menjaga batasan tersebut. Hal ini
karena asal dari batas adalah menaati batasan, kecuali ada kesulitan yang
menyebabkan peminjam tidak dapat mengambil manfaat barang. Dengan demikian,
dibolehkan untuk melanggar batasa tersebut apabila kesulitan untuk
memanfaatkannya.[17]
76. 1. Batasan Penggunaan Ariyah Oleh Diri Peminjam
77. Jika orang yang meminjamkan membatasi hak penggunaan manfaat itu untuk dirinya
sendiri dan masyarakat memandang adanya perbedaan tentang penggunaan dalam hal
lainnya, seperti mengendarai binatang atau memakai pakaian. Dengan demikian,
peminjam tidak boleh mengendarai binatang atau memakai pakaian yang ada.
78. 2. Pembatasa Waktu atau Tempat
79. Jika ariyah dibatasi waktu dan tempat, kemudian peminjam melewati tempat atau
menambah waktunya, ia bertanggungjawab atas penambahan tersebut.
80. 3. Pembatasan Ukuran Berat dan Jenis
81. Jika yang disyaratkan adalah berat barang atau jenis kemudian ada kelebihan dalam
bobot tersebut, ia harus menanggung sesuai dengan kelebihannya.
82. Jika ada perbedaan pendapat antara orang yang meminjamkan barang dengan
peminjam tentang lamanya waktu meminjam, berat barang yang dibawa barang
pinjaman atau tempat meminjam, pendapat yang harus dimenangkan atau diterima
adalah pendapat orang yang meminjamkan barang. Karena dialah yang memberi izin
untuk mengambil manfaat barang pinjaman tersebut sesuai dengan keinginannya.[18]
83. 6. Sifat Ariyah
84. Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa hak kepemilikan
peminjam atas barang adalah hak tidak lazim sebab merupakan kepemilikan yang
tidak ada penggantinya. Pada hibah, misalnya bisa saja orang yang meminjamkan
mengambil barang yang dipinjamkannya kapan saja, baik pinjam-meminjam itu
bersifat mutlak atau dibatasi waktu, kecuali ada sebab-sebab tertentu, yang akan
menimbulkan kemadharatan saat pengembalian barang tersebut, seperti kalau
dikembalikan kepada waktu yang telah ditentukan barang akan rusak atau seperti
orang-orang yang meminjam tanah untuk mengubur mayat yang dihormati, maka
orang yang meminjamkan tidak boleh meminta kembali tanah tersebut dan si
peminjampun tidak boleh mengembalikannya sebelum jenazah berubah menjadi
tanah.[19]
85. Alasan mereka antara lain bahwa ariyah adalah transaksi yang dibolehkan,
sebagaiman sabda Nabi Muhammad SAW:
86. Artinya:
87. “Pemberian ditolak sedang pinjam-meminjam adalah (suatu akad) yang
dikembalikan.
88. (HR. Ibnu ‘Addy).
89. Menurut pendapat yang paling masyhur dari ulama Malikiyah, orang yang
meminjamkan tidak dapat meminta barang yang dipinjamkannya sebelum peminjam
dapat mengambil manfaatnya. Jika ariyah ditempokan pada suatu waktu, orang yang
meminjamkan tidak boleh memintanya sebelum habis waktunya. Akan tetapi,
pendapat yang paling unggul menurut Ad-Dardir, dalam kitab Syarah Al-Kabir, adalah
orang yang meminjamkan dapat meminta barang yang dipinjamkannya secara mutlak
kapanpun ia menghendakinya.[20]
90. Dari pendapat di atas, jelaslah bahwa ulama Malikiyah membolehkan untuk
mengembalikan kalau ada akadnya bersifat umum. Adapun jika akad dibatasi oleh
syarat, waktu atau adat mereka melarangnya.
91. 7. Ariyah Apakah Pinjaman atau Amanat?
92. Menurut sebagian Fuqaha, pinjaman itu harus ditanggung meskipun ada saksi
barang pinjaman itu rusak. Pendapat ini dikemukakan oleh Asyhab dan Syafi’i juga
merupakan salah satu pendapat Malik.
93. Fuqaha yang lain berpendapat sebaliknya, yakni bahwa pinjaman itu tidak ditanggung
sama sekali. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Hanifah.
94. Sebagian fuqaha ada juga yang berpendapat bahwa barang yang tidak jelas itu harus
ditanggung, apabila tidak ada saksi barang itu rusak dan tidak ada tanggungan
terhadap barang yang yang sudah jelas dan barang yang ada saksi bahwa barang itu
rusak. Demikianlah pendapat yang terkenal dari Malik, Ibnul Qasim dan kebanyakan
pengikutnya.
95. Silang pendapat dalam hal ini berpangkal pada adanya pertentangan antara hadis-
hadis yang berkenaan dengan masalah itu. Yakni bahwa dalam sebuah hadis sahih
disebutkan Nabi SAW bersabda kepada Shafwan bin Umayyah:
96. Artinya:
97. “Bahkan ia adalah pinjaman yang harus ditanggung dan dikembalikan.” (HR. Abu
Dawud dan Ahmad).
98. Dan hadis yang artinya:
99. “Bahkan ia adalah pinjaman yang harus dikembalikan.”
100. Tetapi dalam riwayat lain dari Nabi SAW beliau bersabda:
101. Artinya:
102. “Tidak ada tanggungan atas orang yang meminjam.” (HR. Ibnu Majah)
103. Karena itu, bagi fuqaha yang mengambil hadis terakhir dan menguatkannya,
menghapuskan tanggungan dari peminjam. Sebaliknya, bagi fuqaha yang mengambil
hadis Shafwan bin Umayyah mewajibkan tanggungan atas peminjam.
104. Bagi fuqaha yang yang memilih jalan penggabungan memisahkan antara
barang yang tidak jelas atasnya dengan barang yang jelas. Kemudian mereka
menerapkan hadis tanggungan ini kepada barang yang tidak jelas dan menerapkan
hadis yang lain kepada barang yang tidak jelas. Hanya saja, hadis yang menyatakan,
“tidak ada tanggungan atas orang yang meminjam” adalah hadis yang tidak terkenal,
sementara hadis Shafwan itu sahih.[21]
105.
106.
107.
108.
109.
110.
111.
112.
113. Daftar Pustaka
114. Muhammad Asy-Syarbini, Mugni Al-Muhtaj
115. Syamsuddin Asy-Syarkhrasyi, Al Mabsuth, As-Sa’adah, Mesir 1324 H.
116. Ibn Rusyd Al Hafizh, Bidayatul Al-Mujtahid wa An-Nihayah Al-Muqtashid,
Beirut, Dar Fikr.
117. Prof. Dr. H. Rachmat Syafei, MA, Fiqih Muamalah. Pustaka Setia. Bandung.
118. Allaudin Al-Kasani, Bada’i Ash-Shana’i fi tartib syara’i. Syirkah Al-
Mathbu’ah, Mesir.
119. Alaud Din Al-Hushkaffi, Ad-Darul Mukhtar.
120.
121.

Anda mungkin juga menyukai