Anda di halaman 1dari 1

DEKLARASI JUANDA

Langkah pertama memperjuangkan cita-cita kesatuan wilayah adalah dengan membawanya ke Konvensi
PBB ke-1 tentang Hukum Laut di Jenewa pada Februari 1958. Dan seperti sudah diduga sebelumnya, karena
oposisi yang terlalu keras, akhirnya Indonesia menarik kembali usulnya sebelum ditolak secara resmi oleh
dunia internasional.

Menjelang Konvensi PBB ke-2 tentang Hukum Laut di Jenewa pada April 1960, pemerintah Indonesia
kemudian meresmikan isi Deklarasi Djuanda melalui Undang-Undang/Prp No. 4/1960 pada Februari.
Kenyataannya, konferensi tersebut tidak lagi membicarakan masalah negara kepulauan, namun memusatkan
perhatian kepada batas terluar dari laut wilayah (3 mil, 12 mil, atau 6 mil laut wilayah ditambah 6 mil zona
perikanan), yang ternyata kemudian juga gagal mencapai kesepakatan.

Sementara di dalam negeri, pemerintah Indonesia tetap menjalankan Undang-Undang/Prp No. 4/1960, meski
mendapat banyak protes dan kecaman dari dunia maritim internasional. Implementasi undang-undang
tersebut adalah menetapkan Peraturan Pemerintah No. 8/1962 tanggal 25 Juli 1982 untuk mengatur lalu
lintas laut damai bagi kendaraan air asing yang melalui perairan Nusantara Indonesia, dan Keppres No.
103/1963 yang menetapkan seluruh perairan Nusantara Indonesia sebagai satu lingkungan laut yang berada
di bawah pengamanan Angkatan Laut Republik Indonesia.

Sepuluh tahun setelah Deklarasi Djuanda diumumkan, timbul berbagai pemikiran di dunia internasional
untuk membahas kembali masalah kelautan. Hal ini, menurut Awaloedin Djamin, dilandasi beberapa hal:

(1) Makin banyaknya negara-negara di Asia dan Afrika yang baru merdeka, yang merasa tidak pernah ikut
membuat Hukum Laut Internasional pada masa lalu, dan karena itu ingin lebih berperan dalam menentukan
dan membela kepentingannya.
(2) Terjadinya kecelakaan kapal tangki Torrey Canyon pada 1967 di Selat Dover yang menimbulkan polusi
laut di pantai Inggris dan Prancis, yang kemudian menimbulkan permasalahan hukum perlindungan
lingkungan laut.
(3) Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi kelautan yang memungkinkan eksplorasi dan
eksploitasi kekayaan alam di dasar laut dalam, yang terletak jauh dari wilayah nasional, sehingga
menimbulkan masalah kepemilikan atas kekayaan alam tersebut.
(4) Makin maraknya eksploitasi perikanan di laut oleh negara-negara penangkap ikan jarak jauh yang tidak
membawa keuntungan apa pun bagi negara-negara pantai yang lebih dekat dengan sumber perikanan
tersebut
(5) Semakin menghebatnya Perang Dingin yang memerlukan mobilisasi angkatan laut masing-masing
melalui selat-selat dan laut-laut yang sangat strategis, terutama di Asia Tenggara.

ikeluarkannya Deklarasi Djuanda membuat banyak negara yang keberatan terhadap konsepsi landasan hukum laut
Indonesia yang baru. Untuk merundingkan penyelesaian masalah hukum laut ini, pemerintah Indonesia melakukan
harmonisasi hubungan diplomatik dengan negara-negara tetangga. Selain itu Indonesia juga melalui konferensi
Jeneva pada tahun 1958, berusaha mempertahankan konsepsinya yang tertuang dalam deklarasi Djuanda dan
memantapkan Indonesia sebagai Archipelagic State Principle atau negara kepulauan.

Deklarasi Djuanda ini baru bisa diterima di dunia internasional setelah ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB
yang ke-3 di Montego Bay (Jamaika) pada tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/ UNCLOS
1982). Pemerintah Indonesia kemudian meratifikasinya dalam UU No.17/ 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982
bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.
etelah diperjuangkan selama lebih dari dua puluh lima tahun, akhirnya pada 16 November 1994, setelah diratifikasi
oleh 60 negara, hukum laut Indonesia diakui oleh dunia internasional. Upaya ini tidak lepas dari perjuangan pahlawan
diplomasi kita, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja dan Prof. Dr. Hasjim Djalal, yang setia mengikuti berbagai
konferensi tentang hukum laut yang dilaksanakan PBB dari tahun 1970an hingga tahun 1990an.

Anda mungkin juga menyukai