Anda di halaman 1dari 140

BAB I

AGAMA

Sasaran Pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat :
1. Mempelajari arti agama dan ruang lingkup ajarannya.
2. Mempelajari perbandingan agama-agama besar dan mengetahui
tempat agama islam diantaranya.
3. Menjelaskan tentang karakteristik dan ruang lingkup agama islam.
Kompetensi :
Dapat memahami tentang pengertian agama islam dan macam-macam
agama serta ruang lingkup agama islam.

A.AGAMA DAN MACAMNYA


1. Definisi Agama
Dalam masyarakat Indonesia selain kata agama, dikenal
pula kata Din berasal dari bahasa Arab dan kata religi dari bahasa
Eropa, sedang kata agama berasal dari bahasa Sansekerta.
Dalam bahasa Arab kata Din mengandung arti
menguasai, menundukkan, patuh, hutang dan balasan. Agama
memang membawa peraturan-peraturan yang merupakan hukum,
yang harus dipatuhi orang. Selanjutnya agama memang
menguasai diri seseorang dan membuat ia tunduk dan patuh
kepada Tuhan dengan menjalankan ajaran-ajaran agama. Agama
juga membawa kewajiban-kewajiban yang kalau tidak dijalankan
oleh seseorang menjadi hutang baginya.
Kewajiban dan kepatuhan membawa pula kepada faham
balasan. Yang menjalankan kewajiban dan yang patuh akan

96
mendapat balasan yang baik, dan sebaliknya yang tidak
menjalankan dan yang tidak patuh akan mendapat balasan yang
tidak baik.
Agama mengandung arti ikatan-ikatan yang harus
dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan ini mempunyai pengaruh
yang besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari. Ikatan
itu berasal dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia.
Satu kekuatan gaib yang tidak dapat ditangkap dengan panca
indera, Dialah Tuhan.

2. Unsur-Unsur Agama
Menurut Prof. Dr. Harun Nasution, ada empat unsur
penting yang harus dimiliki oleh suatu agama, yaitu :
a. Unsur Keyakinan atau credial / credo
Adanya keyakinan manusia terhadap sesuatu yang ghoib
yang memiliki kekuatan menciptakan dan mengatur alam
semesta ini Yaitu keyakinan tentang adanya Tuhan.
b. Unsur Peribadatan atau ritual
Manusia merasa dirinya lemah dan berhajat pada Tuhan
sebagai tempat minta tolong. Oleh karena itu manusia harus
mengadakan hubungan baik (menyembah) kepada Tuhan
yang telah mereka yakini tersebut. Hubungan baik ini dapat
diwujudkan dengan mematuhi segala perintah dan menjauhi
larangannya.
c. Unsur ritus atau aturan dalam peribadatan
Adanya aturan hukum yang berupa kitab suci yang
mengandung ajaran-ajaran agama tersebut dan sekaligus
mengatur tata cara penyembahan kepada Tuhan yang mereka
yakini tersebut.

96
d. Respons yang bersifat emosional dari manusia.
Respons itu bisa berupa perasaan takut atau perasaan cinta
yang sangat mendalam terhadap agama yang telah
dipeluknya (fanatis agama) yang kadang kala sampai ekstrim
membela agamanya dengan berlebihan manakala agamanya
dihina oleh agama atau golongan lain.

3. Tujuan Beragama
Semua agama Monotheisme mempunyai tujuan akhir
yang sama yaitu agar selamat, bahagia, dan sejahtera hidupnya di
dunia dan akherat. Jadi tidak saja mengutamakan keselamatan
hidup duniawi yang bersifat materi saja tetapi yang lebih penting
lagi adalah keselamatan dan kebahagiaan hidup ukhrowi yang
bersifat spiritual.

4. Macam-Macam Agama
Pada dasarnya ada dua macam agama di dunia ini, yaitu :
Agama Samawi dan Agama Ardli.
a. Agama Samawi / agama wahyu : ialah agama yang
berorientasi pada kebenaran wahyu yang datangnya dari
Allah SWT. Contohnya : Islam, Yahudi dan Nasrani.
b. Agama Ardli / agama budaya : ialah agama yang tumbuh dan
berkembang melalui proses pemikiran, adat istiadat dan
budaya manusia. Contohnya : Hindu dan Budha.

Ciri-ciri Agama Wahyu :


 Disampaikan oleh seorang Rosul
 Memiliki kitab suci
 Konsep ketuhanannya monotheisme mutlak
 Kebenarannya universal

96
 Ajarannya konstan / tetap
 Diturunkan kepada masyarakat

Ciri-ciri Agama Budaya :


 Tidak disampaikan oleh seorang Rosul
 Umumnya tidak memiliki kitab suci
 Konsep ketuhanannya, animisme, dinamisme, polyteisme,
monotheisme nisbi.
 Kebenarannya tidak universal
 Ajarannya berubah-ubah.
 Tumbuh dalam masyarakat penganutnya.
Berdasarkan ciri-ciri / parameter tersebut, maka untuk
saat sekarang ini agama yang masih layak dan pantas disebut
sebagai agama samawi atau agama wahyu hanya Islam yang
ajaran-ajarannya dibawa oleh Rosulullah Muhammad SAW.

B.AGAMA ISLAM
1. Definisi Islam
Ditinjau dari segi ethimologi / bahasa istilah Islam diambil dari
bahasa Arab :
 Aslama : artinya berserah diri, taat, patuh.
QS. Ali Imron : 83, An Nisa’ : 125.
 Assalm : artinya damai, tentram, rukun
QS. Al Anfal : 61, QS. Muhammad : 35
 Salaam : artinya selamat, sejahtera
QS. Az Zumar : 73, QS. Yasin : 58
 Saliim : artinya suci dan bersih
QS. Asy Syu’aro : 89, QS. Ash Shoffat : 84

96
Dari definisi secara ethimologi tersebut, terkandung makna
esensial tentang Komitmen seorang muslim terhadap Islamnya,
yaitu mengaku Islam :
a. Wajib berserah diri, tunduk, patuh, dan taat hanya kepada
Allah SWT.
b. Harus dapat menciptakan kedamaian dan kerukunan di
lingkungannya.
c. Harus dapat menciptakan keselamatan dan kesejahteraan
hidup di lingkungan masyarakatnya.
d. Harus dapat menjaga kebersihan dan kesucian (kehormatan)
dirinya dan lingkungannya.

Ditinjau dari segi therminologi / istilah : definisi Islam adalah :


 Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT
kepada manusia melalui RosulNya, yang berisi hukum yang
mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan
manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan
alam semesta. [Achman Muhammad Al Masdosy]
 Islam is indeed much more than a system of theology. It is
complete civilization (Islam adalah lebih dari satu sistem
agama saja, ia adalah satu kebudayaan yang lengkap). [H.
AR. Gibb].

2. Metode Dalam Mengkaji Islam


Menurut nasruddin Razaq dalam bukunya Dinul Islam,
ada empat metode atau cara mengkaji Islam yang benar, yaitu :
a) Islam harus dikaji dari sumber asli (Al Qur’an dan Al Hadits)
b) Islam harus dikaji secara integral bukan partial
c) Islam harus dikaji dari kepustakaan Muslim atau Sarjana
Islam.

96
d) Jangan mengkaji Islam dari kenyataan hidup atau realita
umatnya.

3. Karakteristik Islam
Menurut Yusuf Qordawi dalam bukunya Karakteristik
Islam, menjelaskan bahwa agama Islam mempunyai beberapa
ciri-ciri khusus, diantaranya :
a) Rabbaniyah, yaitu agama yang langsung berhubungan
dengan Tuhan dan tujuan akhirnya (limit goal) adalah
berhubungan dengan Tuhan (Allah) Manusia nya disebut
Manusia Rabbani. QS. Ali Imron : 79
b) Insaniyah, yaitu agama yang sesuai dengan jiwa Manusia.
Semua perintah dan larangannya, manfaatnya untuk manusia
itu sendiri. Jadi Islam sangat menekankan kemanusiaan
(Memanusiakan manusia) QS. 29: 45)
c) Syumuliyah, yaitu agama yang berlaku secara universal
(seluruh umat manusia) artinya dapat diterima oleh semua
manusia di dunia sampai akhir masa. Islam Agama Rahmatal
Lil Alamin (QS. Al – Ambya’ : 107)
d) Wasatiyah, yaitu agama yang bersifat moderat (pertengahan)
artinya agama yang menyeimbangkan antara kehidupan
dunia dan akhirat, spiritual maupun material. (QS. Al
Baqarah : 201).
4. Ruang Lingkup Ajaran Islam
Menurut Endang Saifuddin Anshory dalam bukunya “Kuliah AL
Islam” Agama Islam yang Universal ajarannya terdiri dari 3 bagian :
a. Aqidah : Keimanan / Keyakinan
b. Syariah : Aturan Hukum
c. Akhlak : Etika / moral

96
Apabila Seorang Muslim dapat mengaktualisasikan
ketiga ajaran Islam tersebut dalam kehidupan sehari-hari maka
Islamnya disebut : Islam Kaffah / Islam sempurna (QS. Al
Baqarah: 208).
Adapun Ajaran Islam selengkapnya dapat dilihat dalam
Bagan Sistematika Ajaran Islam berikut :

SISTEMATIKA AJARAN ISLAM

96
Kesimpulan.
Agama mengandung arti ikatan-ikatan yang harus dipegang dan di patuhi
oleh manusia,ikatan ini mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap
kehidupan manusia sehari-hari.ikatan itu berasal dari suatu kekuatan yang
lebih tinggi dari manusia. Satu kekuatan goib yang tidak dapat ditangkap
dengan panca indera, Dialah Tuhan.
Agama dapat di bagi menjadi dua yang pertama agama samawi dan yang
kedua agama ardli kedua agama itu masing-masing punya ciri-ciri. Di
tinjau dari segi therminologi/istilah : definisi Islam adalah :islam adalah
agama y6ang diturunkan oleh Allah SWT kepada manusia melalui
Rasulnya, y6ang berisi hokum yang mengatur hubungan manusia dengan
Allah. Hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia
dengan alam semesta.

Daftar Pustaka
Ahmad,H.A Malik, Tauhid Membina Pribadi Muslim dan masyarakat,
Jakarta, Alhiyah, 1980.
Ali, Muhammad Daud, Prof, S.H, Pendidikan Agama Islam, Jakarta, PT
Raja Grafindo Perkasa, 1998.
Buccaille,Maurice, Asal Usul manusia menurut Bible, Al-quran, dan
Sains, Bandung, Mizan, 1985.
Iqbal,Muhammad, Membangun kembali pikiran agama dalam islam,
Jakarta,Tintamas, 1966.
Nasruddin, Razak, Dienul islam, Al-Ma’arif, Bandung, 1993.
Nur kholis Madjid, Menuju Masyarakat Madani, Jurnal Ulumul Quran
No.2 juli 1996.

96
Pertanyaan.
1. Jelaskan bahwa islam satu-satunya agama yang diturunkan Allah ke
muka bumi ?
2. Jelaskan bahwa sekarang ini hanya agama islam yang layak di sebut
agama samawi ?
3. Jelaskan perbedaan antara konsep monoteisme dengan tauhid ?
4. Jelaskan perbedaan penting antara agama wahyu dan agama budaya?
5. Apa makna agama dan mengapa agama merupakan fitrah manusia ?

96
LEMBAR JAWABAN TUGAS

Nama Mahasiswa :………………………...


NPM :………………………...
Jurusan :………………………...
Kelas :………………………...

96
BAB II
KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM

Sasaran Pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menjelaskan tentang konsep ke tuhanan dalam islam.
2. Menjelaskan sejarah pemikiran manusia tentang Tuhan.
3. Menjelaskan tentang Tuhan menurut Agama Wahyu.
4. Mengungkapkan pembuktian adanya Tuhan melalui kajian
ilmiah,sehingga dapat memantapkan iman.
Kompetensi :
Dapat memahami tentang adanya Tuhan dan mengungkapkan
keberadaan-Nya.

Keimanan dalam Islam merupakan aspek ajaran yang


fundamental, kajian ini harus dilaksanakan secara intensif. Keimanan
kepada Allah SWT kecintaan, pengharapan, ikhlas kekhawatiran tidak
dalam ridho-Nya, tawakal nilai yang harus ditumbuhkan secara subur
dalam pribadi muslim yang tidak terpisah dengan aspek pokok ajaran
yang lain dalam Islam.
Ketaatan merupakan karunia yang sangat besar bagi muslim dan
sebagian orang yang menyebut kecerdasan spiritual yang ditindaklanjuti
dengan kecerdasan sosial. Intinya ketaatan tidak dinilai menurut Allah
SWT, bila tidak ada nilai pada aspek sosial.
Muslim yang baik memiliki kecerdasan intelektual sekaligus
kecerdasan spiritual (Ali Imron 190 – 191) sehingga sikap
keberagamaannya tidak hanya pada ranah emosi tetapi didukung

96
kecerdasan pikir. Terpadunya dua hal tersebut insya Allah menuju dan
berada pada agama yang fitrah. (Ar Rum 30), sedang Ali Imron 190-191
menyebutnya sebagai ulul albab.

A.SIAPA TUHAN ITU?


Lafal ILAHI, yang artinya Tuhan, menyatakan berbagai
obyek yang dibesarkan dari dipentingkan manusia, misalnya dalam
surah Al-Furqon 43 yang artinya :”Apakah engkau melihat orang
yang meng-Melikan keinginan-keinginan pribadinya?”
Orang menyediakan hawa nafsunya, pemuji dalam hidupnya,
berarti telah berbuat syirik yang sebenarnya menurut Islam hawa
nafsu harus tunduk kepada kehendak Allah SWT dalam surah Al-
Qoshash 38, lafal ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya sendiri,
yang artinya :”Dan Fir’aun berkata, wahai para pembesar aku tidak
menyangka bahwa kalian mempunyai ilah selain diriku.
Bagi manusia Tuhan itu bisa dalam bentuk konkrit maupun
abstrak/ghaib. Al-Qur’an menegaskan bahwa ilah bisa dalam bentuk
mufrad maupun jama’ (ilah, ilahain, alilah). Ialah sesuatu yang
dipentingkan, dipuja, dimintai, diagungkan diharapkan memberikan
kemaslakhatan dan termasuk yang ditakuti karena mendatangkan
bahaya.
Alquran surah Al Baqarah : 163 menegaskan, yang artinya :
“Dan Tuhanmu, Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan
selain Dia yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.” Ilah yang
dituju ayat diatas adalah Allah SWT, yang menurut Ulama’ Ilmu
Kalam ialah disini bermakna al-Ma’bud, artinya satu-satunya yang
diibadati/disembah. Sedang Al Mandudi memberikan makna al
Mahbub, al Marhub, al Matbu’, yang dicintai, yang disenangi, diikuti.
(Abdul Majid, 1996). Inilah yang disebut Tauhid Uluhiyah, bahwa

96
Allah SWT satu-satunya Tuhan yang diibadahi, dicintai, disenangi
dan diikuti.
Allah SWT menfirmankan dalam Al-Qur’an surat Thoha: 14,
yang artinya: “Sesungguhnya Aku Allah. Tidak ada Tuhan selain Aku
(Allah), maka beribadalah hanya kepada-Ku (Allah), dan dirikanlah
shalat untuk mengingat-Ku”.
Kalimat Tauhid secara komprehensif mempunyai pengertian
sebagai berikut :
- La Kholiqu illa Allah : Tiada Pencipta selain Allah
- La Roziqu illa Allah : Tiada Pemberi rizki selain Allah
- La Hafidha illa Allah : Tiada Pemelihara selain Allah
- La Mudabbiro illa Allah : Tiada Pengatur selain Allah
- La Malika illa Allah : Tiada Penguasa selain Allah
- La Waliya illa Allah : Tiada Pemimpin selain Allah
- La Hakima illa Allah : Tiada Hakim selain Allah
- La Ghoyata illa Allah : Tiada Yang Maha menjadi tujuan
selain Allah
- La Ma’buda illa Allah : Tiada Yang Maha disembah selain
Allah.

Lafal al ilah pada kalimat tauhid menurut Ibnu Taimiyah


memiliki pengertian yang puja dan cinta sepenuh hati, tunduk
kepadaNya merendahkan diri di hadapannya, takut dan
mengharapkan kepadaNya, berserah hanya kepadaNya ketika dalam
kesulitan dan kesusahan, meminta perlindungan kepadaNya, dan
menimbulkan ketenangan jiwa di kala mengingat dan terpaut cinta
dengannya.
Lawan tauhid adalah syirik, artinya menyekutukan Allah
SWT dengan yang lain, mengakui adanya Tuhan selain Allah,

96
menjadikan tujuan hidupnya selain kepada Allah. Dalam ilmu Tauhid,
syirik digunakan dalam arti mempersekutukan tuhan lain dengan
Allah SWT, baik persekutuan itu mengenai dzatNya, sifatNya, atau
afialNya, maupun mengenai ketaatan yang seharusnya hanya
ditujukan kepadaNya saja (Alqur’an surah Az Zukkruf: 87)
Dalam AL Qur’an Surat Adz Dzukhruf: 87 yang artinya:
“Dan sesungguhnya jika kami bertanya kepada mereka, Siapa yang
menciptakan mereka? Niscaya mereka menjawab Allah”, maka
bagaimanakah mereka dapat memalingkan diri menyembah Allah.
Syirik merupakan dosa yang paling besar yang tidak dapat
diampuni, syirik itu bertentangan dengan perintah Allah SWT, juga
berakibat merusak akal manusia, menurunkan derajat dan martabat
manusia, serta membuatnya tak pantas menempati kedudukan tinggi
yang telah ditentukan Allah SWT.
Dalam kaitannya dengan masalah ini, Allah SWT berfirman
dalam Surat Luqman: 13, yang artinya: “Dan (ingatlah) ketika
Luqman berkata kepada anaknya, Wahai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersatukan (Allah)
adalah benar-benar kedhaliman yang amat besar.
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa selain syirik, bagi siapa yang dikehendaki.
Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah
berbuat dosa besar. (QS. An Nisa’: 48).

B. SEJARAH PEMIKIRAN MANUSIA TENTANG TUHAN


1. Pemikiran Barat.
Yang dimaksud dengan konsep Ketuhanan menurut
pemikiran manusia adalah hasil pemikiran tentang Tuhan, baik

96
melalui pengalaman lahiriyah maupun batiniyah dari penelitian
rasional maupun pengalaman batin.
Teori Evolusi pertama tentang Botani oleh George
Cabanis, kemudian teori tentang manusia oleh Carles Darwin dan
terakhir teori evolusi tentang Tuhan dan agama oleh Lewis
Brown, G.G. Alkins., E.D. Sopr. Dan Max Muller. Sedang dalam
pemikiran Barat fase evolusi tentang Tuhan diawali dengan
Dinamisme, Animisme, Politisme, henoteisme, dan puncak
tertingginya monoteisme (Nisbi).
Pemikiran tentang Tuhan sebagaimana diatas,
pendekatannya adalah budaya, bila ditinjau berdasarkan Teori
Cychingnya Arnold Toynbobe monoteisme bukan hasil akhir
proses, sebab orang yang sudah maju dalam intelktualitasnya
sangat mungkin justru berputar mundur ke belakang dalam
bertuhan yakni animistis.
2. Pemikiran Islam
Dalam ilmu kalam terdapat beberapa aliran, ada yang
bersifat liberal, tradisional dan aliran antara keduanya. Ketiga
corak pemikiran ini mewarnai sejarah pemikiran ilmu kalam
dalam Islam.
a. Muktazilah, adalah kelompok rasionalis di kalangan orang
Islam, menekankan penggunaan akal dalam memahami
ajaran Islam.
b. Qodariyah. Adalah kelompok yang berpendapat bahwa
manusia memiliki kebebasan berkehendak dan berbuat.
Manusia berhak menentukan dirinya kafir atau mukmin
sehingga mereka harus bertanggung jawab pada dirinya.

96
c. Jabariyah, adalah kelompok yang berpendapat bahwa
kehendak dan perbuatannya manusia sudah ditentukan
Tuhan.
d. Asy’ariyah dan Maturidiyah, adalah kelompok yang
mengambil jalan tengah antara Qodariyah dan Jabariyah.

3. Tuhan Menurut Agama Wahyu.


Eksistensi Allah disampaikan Rosul melalui wahyu
kepada manusia. Sedang eksistensi Tuhan yang diperoleh melalui
proses pemikiran dan atau perenungan, hasil bukan yang
sebenarnya.
Informasi melalui wahyu tentang keimanan kepada Allah
dapat dibaca dalam :
a. Surat Al Ambiya’ : 25 yang artinya : Dan kami tidak
mengutus seorang Rosulpun sebelum kami, melainkan kami
wahyukan kepadanya, Bahwa hanya tidak ada Tuhan selain
Allah, maka sembahlah Olehmu sekalian Aku. Sejak
diutusnya Adam As sampai Rosul terakhir. Ajaran yang Allah
SWT wahyukan kepada para utusan-Nya adalah Tauhidullah
atau monotheisme murni. Bila ada perbedaan ajaran tentang
Tuhan yang pada asalnya dari agama wahyu, yang semacam
itu disebabkan kehendak manusia mengubah ajaran tersebut.
Dan hal seperti itu termasuk kebohongan yang besar
(dhulmun adhim).
b. Surat Al Maidah: 72 : yang artinya: Dan Al Masih berkata;
“Hai Bani Israil sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu,
sesungguhnya orang yang mempersekutukan Allah, maka
Allah pasti mengharamkan baginya Surga dan tempatnya
adalah neraka.

96
c. Surat Al Baqarah: 163 : Yang artinya : Dan Tuhanmu adalah
Tuhan yang Maha Esa, tidak ada Tuhan kecuali Dia yang
Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Ayat diatas, tegas bahwa Allah SWT adalah Illah, Tuhan
yang diibadahi. Lafadz Allah SWT adalah isim jamid, personal
name, atau isi a’dham yang tidak dapat diterjemah atau diganti
dengan yang lain.
Allah SWT yang menciptakan, menyempurnakan
ciptaannya, menetapkan aturan-aturan atau hukum-hukum
terhadap ciptaannya dan mengaruniakan hidayah kepada
ciptaannya dan Dialah Allah SWT yang wajib diibadahi.
4. Keberadaan Alam Semesta, Bukti adanya Tuhan
Ismail Raj’i Al Faruqi mengatakan prinsip dasar dalam
Teologi Islam, yaitu Khaliq dan makhluk. Khaliq adalah pencipta
yakni Allah SWT, hanya Dialah Tuhan yang kekal, abadi, dan
transenden. Dia selamanya mutlak Esa dan tidak bersekutu.
Sedangkan makhluk adalah yang diciptakan, berdimensi ruang
dan waktu, tercakup didalamnya dunia benda, tanaman, hewan,
manusia, jin, malaikat, langit dan bumi, surga dan neraka dan
sebagainya.
Adanya alam serta organisasinya yang menakjubkan dan
rahasia-rahasianya yang unik, tidak boleh tidak semuanya
memberikan penjelasan bahwa ada sesuatu kekuatan yang telah
menciptakannya, setiap manusia normal akan percaya bahwa
dirinya ada dan percaya pula bahwa alam ini juga ada.
Jika kita percaya tentang eksistensi alam, secara logika
kita harus percaya tentang adanya pencipta alam semesta.
Pernyataan yang mengatakan : “Percaya adanya makhluk, tetapi
menolak adanya khaliq, adalah suatu pernyataan yang tidak

96
benar”. Kita belum pernah mengetahui adanya sesuatu yang
berasal dari tidak ada tanpa diciptakan. Segala sesuatu
bagaimanapun ukurannya, pasti ada penyebabnya atau ada
penciptanya, dan pencipta itu tiada lain adalah Tuhan.
5. Pembuktian adanya Tuhan dengan Pendekatan Fisika.
Ada pendapat di kalangan ilmuwan bahwa alam ini azali,
dalam pengertian lain alam ini menciptakan dirinya sendiri. Ini
jelas tidak mungkin karena bertentangan dengan hukum kedua
termodinamika. Hukum ini dikenal dengan “Hukum
keterbatasan energi atau teori pembatasan perubahan energi
panas” yang membuktikan bahwa adanya alam ini tidak
mungkin azali.
Hukum tersebut menerangkan energi panas selalu
berpindah dari keadaan panas beralih menjadi tidak panas,
sedangkan kebalikannya tidak mungkin, yakni energi panas tidak
mungkin berubah dari keadaan yang tidak panas berubah menjadi
panas. Perubahan energi panas dikendalikan oleh keseimbangan
antara energi yang ada dengan energi yang tidak ada.
Dengan bertitik tolak dari kenyataan bahwa proses kerja
kimia dan fisika di alam terus berlangsung, serta kehidupan tetap
berjalan, hal ini membuktikan secara pasti bahwa alam bukanlah
bersifat azali, karena jika alam ini azali maka sejak dahulu alam
sudah kehilangan energi dan sesuai hukum tersebut tentu tidak
akan ada lagi kehidupan di alam ini.

6. Pembuktian adanya Tuhan dengan Pendekatan Astronomi


Astronomi menjelaskan bahwa jumlah bintang di langit
seperti banyaknya butiran pasir yang ada di pantai seluruh dunia.
Benda alam yang dekat dengan Bumi adalah bulan, yang

96
jaraknya dari bumi sekitar 240.000 mil, yang bergerak
mengelilingi bumi, dan menyelesaikan setiap edarnya selama 29
hari sekali. Demikian pula bumi yang terletak 93.000.000.000
mil dari matahari berputar dari porosnya dengan kecepatan 1000
mil per jam dan menempuh garis edarnya sepanjang 190.000.000
mil setiap setahun sekali. Dan sembilan planet tata surya
termasuk bumi, yang mengelilingi matahari dengan kecepatan
yang luar biasa.
Matahari tidak berhenti pada tempat tertentu, tetapi ia
beredar bersama dengan planet-planet dan asteroid-asteroid
mengelilingi garis edarnya dengan kecepatan 600.000 mil per
jam. Disamping itu masih ada ribuan sistem lain “sistem tata
surya” kita dan setiap sistem mempunyai kumpulan atau galaxy
sendiri-sendiri. Galaxy-galaxy tersebut juga beredar pada garis
edarnya. Galaxy dimana terletak sistem matahri kita, beredar
pada sumbunya dan menyelesaikan edarannya sekali dalam
200.000.000 tahun cahaya.
Logika manusia dengan memperhatikan sistem yang luar
biasa dan organisasinya yang teliti, akan berkesimpulan bahwa
mustahil semuanya ini terjadi dengan sendirinya, bahkan akan
menyimpulkan bahwa dibalik semuanya itu pasti ada kekuatan
yang maha besar yang membuat dan mengendalikan semuanya
itu, kekuatan maha besar itu adalah Tuhan.

7. Argumentasi Qur’ani
Allah SWT telah berfirman, termaktub dalam Surat AL
Fatihah ayat 2, yang terjemahannya “seluruh puja dan puji
hanyalah milik Allah SWT, Rabb alam semesta”. Lafadz Rabb

96
dalam ayat tersebut artinya Tuhan yang dimaksud adalah Allah
SWT.
Allah SWT sebagai “Rabb” maknanya dijelaskan dalam
surat Al A’la ayat 2-3, yang terjemahannya “Allah yang
menciptakan dan menyempurnakan, yang menentukan ukuran-
ukuran ciptaannya dan memberi petunjuk”. Dari ayat tersebut
jelaslah bahwa Allah SWT yang telah menciptakan ciptaannya,
yaitu alam semesta, menyempurnakan, menentukan aturan-aturan
dan memberi petunjuk terhadap ciptaannya. Jadi adanya alam
semesta dan seisinya tidak terjadi dengan sendirinya, akan tetapi
ada yang menciptakan dan mengaturnya yaitu Allah SWT.
Didalam Surat Al A’raf ayat 54, termaktub yang
terjemahannya “Tuhanmu adalah Allah yang telah menciptakan
langit dan bumi dalam enam hari”. Lafadz “Ayyam” adalah
jamak dari yaum yang berarti periode, jadi sittati ayam berarti
enam periode dan tentunya membutuhkan proses waktu yang
sangat panjang.
Dalam menciptakan sesuatu memang Allah tinggal
berfirman “Kun fayakun” yang artinya jadilah maka jadi, akan
tetapi karena dimensi manusia dengan Allah berbeda sehingga
sampai kepada manusia membutuhkan waktu enam periode, hal
ini agar manusia dapat meneliti dan mengkaji dengan methode
ilmiahnya sehingga akhirnya muncul atau lahir berbagai macam
ilmu pengetahuan.

C. KEIMANAN DAN KETAQWAAN


1. Definisi Iman dan Taqwa
Kata iman berasal dari bahasa Arab : amina – yukminu –
imanam, yang secara bahasa atau ethimilogi berarti yakin atau

96
percaya. Dalam surat Al Baqarah 165, yang berbunyi “Alladziina
aamanuu Asyaddu hubban lillaah” yang artinya orang yang
beriman sangat luar biasa cintanya kepada Allah SWT.
Iman kepada Allah berarti percaya dan cinta kepada
ajaran Allah, yaitu Al Qur’an dan Sunnah Rosul. Apa yang
dikehendaki Allah, menjadi kehendak orang yang beriman,
sehingga dapat menimbulkan tekat untuk mengorbankan apa saja
untuk mewujudkan harapan dan kemauan yang dituntut Allah
kepadanya.
Dalam hadits dinyatakan bahwa iman adalah hati
membenarkan, lisan mengucapkan dan dikerjakan dalam
kehidupan sehari-hari (tashdiiqun bil qolbi waiqraru bil lisan
wa’amalu bil arkan) dan iman dalam Islam termaktub dalam
rukun iman sedang aplikasinya didalam rukun Islam.
Iman itu mengikat orang Islam, ia terikat dengan segala
aturan hukum yang ada dalam Islam sebagaimana yang telah
ditentukan oleh Allah. Oleh karenanya orang Islam itu harus
iman, sehingga ia meyakini ajaran Islam dan secara totalitas
mengamalkannya dalam seluruh kehidupannya.
Kata “Taqwa” berasal dari : waqa – yaqi – wiqoyah,
secara ethimologi artinya takut, menjaga, memelihara dan
melindungi. Dengan makna tersebut maka taqwa dapat diartikan
memelihara keimanan yang diwujudkan dalam pengamalan
ajaran agama Islam secara utuh dan konsisten (istiqomah).
Pengertian taqwa secara therminologi dijelaskan dalam
Al hadits, yang artinya : Menjalankan semua perintah Allah dan
menjauhi semua larangan-Nya (imtitsalu bi’awamirillahi
wajtinabu annawahih).

96
Dalam surat Al Baqarah : 177, Allah menjelaskan ciri-ciri
orang-orang yang bertaqwa, yang secara umum dapat
dikelompokkan menjadi lima indikator ketaqwaan, yaitu :
1. Iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab, dan para nabi.
Indikator taqwa yang pertama adalah memelihara fitrah iman.
2. mengeluarkan harta yang dicintai kepada karib kerabat, anak
yatim, orang-orang miskin orang yang dalam perjalanan,
orang yang minta-minta dana, orang yang tidak memiliki
kemampuan untuk memerdekakan hamba sahaya. Indikator
taqwa yang kedua adalah mencintai sesama umat manusia
yang diwujudkan melalui kesanggupan mengorbankan harta.
3. Mendirikan sholat dan menunaikan zakat. Indikator taqwa
yang ketiga adalah memelihara ibadah formal.
4. Menepati janji. Indikator taqwa yang keempat adalah
memelihara kehormatan atau kesucian diri
5. Sabar disaat kepayahan, kesusahan dan di waktu jihad.
Indikator kelima adalah memiliki semangat perjuangan.

2. Proses Terbentuknya Iman


Sejak awal seluruh Ruh manusia (jamak arwah) telah
mengambil kesaksian bahwa Rabb-nya adalah Allah SWT. Ini
berarti setiap manusia telah memiliki benih iman (QS. Al A’raf :
172).
Ditegaskan lebih lanjut oleh Allah SWT, setiap ciptaan
dan dalam hal ini manusia fitrahnya mengesakan Allah artinya
fitrahnya berarti telah iman kepada Allah dan berarti pula
fitrahnya adalah Islam.
Imam Ghozali menisbahkan, setiap orang mempunyai
potensi untuk melihat, tetapi ia tetap tidak bisa melihat apabila

96
tidak ada cahaya yang masuk ke dalam mata. Ketika di dunia
yang setiap manusia berkembang potensi fisik dan rohaninya,
diberi kebebasan memiliki dan didalam garis besarnya ada yang
mempengaruhi berkembangnya potensi fitrah itu.
Dalam hadits Nabi Muhammad SAW bersabda yang
artinya : “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan Fitrah,
orangtuanya yang berperan menjadikan anak tersebut menjadi
Yahudi, Nasrani atau Majusi”.
Pada kenyataannya bermacam agama atau kepercayaan
yang dipeluk dan dianut manusia. Dan apabila dalam diri
seseorang telah terikat dengan tatanan iman, harus dikembangkan
untuk mencapai iman yang kokoh. Dalam Al Qur’an Surat Ali
Imron 190-191, dijelaskan bahwa perkembangan iman dapat
melalui dua jalan yaitu fikir dan dzikir dan sebaiknya dilakukan
dan berjalan secara seimbang.

3. Tanda-Tanda Orang Beriman


Didalam Al Quran karim telah banyak menjelaskan
tanda-tanda orang yang beriman, diantaranya :
a. Bergetar hatinya ketika disebut nama Allah. Bergetar hatinya
karena rasa dekat dengan-Nya, atau karena takut akan siksa-
Nya atau karena sangat bahagia. (QS. Al Anfal: 2)
b. Bertambahnya keyakinan atau kepercayaannya ketika
dibacakan ayat-ayat Allah. Baik ayat itu bersifat Qauliyah
(Al Qur’an) maupun ayat Kauniyah (alam semesta) (QS. Al
Anfal: 2)
c. Mereka bertawakal hanya kepada Allah. Mereka tidak
mengharap kepada selain Allah. Tiada tujuan selain kepada-
Nya, tiada perlindungan selain kepada perlindungannya.

96
Mereka yakin, jika Allah menghendaki sesuatu, maka
terwujudlah sesuatu itu. Jika tidak maka sesuatu itupun tidak
terwujud (QS. Al Anfal: 2)
d. Mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian rizkinya.
Mereka rajin dalam menunaikan sholat, baik wajib maupun
sunnah serta menafkahkan sebagian rizkinya di jalan Allah
SWT (QS. Al Anfal: 3).
e. Memelihara amanah dan menepati janji (QS. Al Mukmin : 6)
f. Berjihad di jalan Allah dan gemar menolong. (QS. Al Anfal: 74)
g. Tidak meninggalkan pertemuan sebelum minta izin. (QS. An
Nur: 62)

Pengaruh iman terhadap diri orang mukmin, menurut


Abu A’la Al Maududi, sebagai berikut :
a. Menjauhkan diri dari pandangan yang sempit dan picik
b. Mempunyai kepercayaan terhadap diri sendiri dan tahu harga diri
c. Mempunyai sifat rendah hati dan khidmat
d. Senantiasa jujur, adil dan amanah
e. Tidak bersifat murung dan putus asa dalam menghadapi
setiap persoalan dan situasi dalam hidup
f. Mempunyai pendirian teguh, sabar, tabah dan optimis.
g. Mempunyai sifat satria, semangat, berani tidak gentar
menghadapi resiko bahkan tidak takut terhadap maut.
h. Mempunyai sifat hidup damai dan ridlo
i. Patuh, taat, disiplin menjalankan peraturan agama.

Manfaat iman dalam kehidupan seorang muslim sangat


besar sekali diantaranya adalah :
a. Iman melenyapkan kepercayaan kepada kekuasaan benda

96
b. Iman menanamkan semangat berani menghadapi maut.
c. Iman menanamkan sikap “self help” dalam kehidupan
d. Imam memberikan ketentraman jiwa
e. Iman mewujudkan kehidupan yang baik (hayatan thayibah)
f. Iman melahirkan sikap ikhlas dan konsekuen
g. Iman memberikan keberuntungan dalam kehidupan.
4. Korelasi antara Keimanan dan Ketaqwaan
Keimanan dan ketaqwaan tidak dapat dipisahkan dan
pada hakekatnya keduanya saling memerlukan. Artinya keimanan
diperlukan oleh manusia supaya Allah dapat menerima
ketaqwaannya karena setiap perbuatan atau amalan yang baik tidak
akan diterima oleh Allah tanpa didasari oleh iman.
Semua bentuk ketaqwaan seperti sholat, puasa, zakat dan
haji merupakan bagian dari kesempurnaan iman seseorang. Amin
Rais mengatakan bahwa amal shaleh tersebut merupakan
konsekuensi keimanan seseorang. Seseorang harus
menterjemahkan keyakinannya menjadi kongkrit dan menjadi
satu sikap budaya untuk mengembangkan amal shaleh.
Dalam Al Qur’an ada ratusan ayat yang
menggandengkan antara “orang yang beriman” dengan “orang
yang beramal shaleh”. Iman dan amal shaleh atau iman dan
taqwa bergandengan sangat dekat. Seolah hampa dan kosong
iman seseorang kalau tanpa amal shaleh yang menyertainya, yang
secara kongkrit membuktikan bahwa ada iman dalam hatinya.
Iman adalah pondasi dasar seseorang hamba yang menghendaki
bangunan kesempurnaan taqwa dirinya.
Oleh karenanya seseorang baru dinyatakan beriman dan
bertaqwa, apabila telah punya keyakinan yang mantab dalam hati
kemudian mengucapkan kalimat tauhid (ashadu allaa ilaaha illa

96
Allah) dan kemudian diikuti dengan mengamalkan semua
perintah dan meninggalkan segala larangan-Nya. (Yunan Yusuf,
16-21)
Kesimpulan.
Begitulah ,melalui sains manusia mencoba mendeskripsikan apa dan
bagaimana proses fenomena alam bias terjadi dalam konteks eksperimen
dan pengamatan, dengan parameter yang bias diamati dan diukur.Agama
memperluas spectrum makna alam semesta bagi manusia tentang
kehadiran benda-benda alam semesta, kehidupan dan manusia. Jawaban
singkat tentang pertanyaan siapa pencipta alam semesta beserta hokum-
hukum alamnya: Allah adalah zat yang Maha Pencipta.Agama
memperluas pengetahuan yang dicakup oleh metodologi sain dan
rasionalitas manusia seperti berkenalan dengan alam gaib,akhirat dan
sebagainya.Namun begitu,rupanya planet Bumi masih banyak yang
belum terjawab atau mungkin tak terjawab hingga kehancuran Bumi.

96
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan,A,syifaul qulub, Pendidikan Agama Islam,untuk


pendidikan perguruan tinggi,Sidoarjo,Laros, 2010.
Ali,Mohammad Daud, Pendidikan Agama Islam, Jakarta : Rajawali
Pers,Cetakan kesatu, 1998.
----------------,Hukum Islam, Jakarta : PT Grafindo Persada, Edisi 3,
cetakan 3,1993.
-----------------:Asaa-asas Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Rajawali Press, 1991.
Ali,Zainuddin, Ilmu Hukum dalam Masyarakat Indonesia, Palu : Yayasan
Masyarakat Indonesia, 2002.
Ahmad,HA.Malik, Tauhid, Membina Pribadi Muslim dan Masyarakat,
Jakarta, al-Hidayah, 1980.

96
Pertanyaan :
1. Jelaskan konsep ketuhanan dalam islam.
2. Jelaskan pemikiran manusia tentang Tuhan menurut aliran
evolusionisme ?
3. Bagaimana konsep ketuhanan menurut al-Quran ? sebutkan ayat-
ayat al-Quran yang berkenaan dengan konsep ketuhanan ?
4. Jelaskan definisi iman serta korelasinya dengan ketakwaan ?
5. Apakah keimanan dapat menghilangkan sifat-sifat seperti
korupsi,kolusi dan nepotisme ? jelaskan !
6. Jelaskan ciri-ciri seseorang itu disebut beriman ?
7. Upaya apa yang perlu dilakukan orang tua dalam rangka
pembentukan iman pada anak-anaknya ? jelaskan
8. Apakah iman dan takwa memiliki andil yang cukup besar dalam
mengatasi problematika dan tantangan kehidupan modern ?
jelaskan.

96
LEMBAR JAWABAN TUGAS

Nama Mahasiswa :………………………...


NPM :………………………...
Jurusan :………………………...
Kelas :………………………...

96
BAB III
HAKEKAT MANUSIA MENURUT ISLAM

Sasaran Pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menjelaskan tentang manusia,perbedaan dan persamaannya dengan
makhluk lain.
2. Menjelaskan tentang proses kejadian manusia dan proses
kehidupan manusia.
3. Menjelaskan tentang hajat manusia terhadap agama.
4. Menjelaskan tentang eksistensi dan martabat manusia.
5. Menjelaskan tanggungjawab manusia sebagai khalifah Allah di
muka bumi.

Kompetensi :
Dapat menjelaskan tentang manusia dan eksistensinya serta tanggung
jawab manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi.

A.KONSEP MANUSIA
1.Siapakah Manusia?
Dari dulu manusia tidak pernah kehabisan kata
membicarakan dirinya sendiri, dari kalangan para ilmuwan,
filosof dan ulama telah banyak berbicara dan berdiskusi
mengenai manusia, dan menghasilkan berbagai pendapat tentang
manusia dari sudut pandang yang berbeda-beda.
Ibnu Sina yang terkenal dengan filsafat jiwanya
menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk sosial dan sekaligus
sebagai makhluk ekonomi. Sebagai makhluk sosial, manusia
tidak bisa hidup dengan baik tanpa ada orang lain, ini sebagai

96
penyempurnaan jiwa manusia demi kebaikan hidupnya. Dan
sebagai makhluk ekonomi manusia selalu memikirkan dan
menyiapkan segala sesuatu untuk masa depannya, terutama
mengenai materi sebagai kebutuhan jasmaninya.
Morteza Mutahhari berpendapat bahwa manusia adalah
makhluk serba dimensi. Dimensi pertama, secara fisik manusia
hampir sama dengan hewan, membutuhkan makan, minum,
kawin dan sebagainya. Dimensi kedua, manusia memiliki
sejumlah emosi. Dimensi ketiga, manusia mempunyai perhatian
terhadap keindahan. Dimensi keempat, manusia memiliki naluri
untuk menyembah kepada Tuhannya. Dimensi kelima, manusia
dikaruniai akal, fikiran dan kehendak bebas, sehingga ia mampu
menciptakan keseimbangan dalam kehidupan. Dimensi keenam,
manusia mampu mengenal dirinya, sehingga ia menyadari siapa
pencipta dirinya, bagaimana historis penciptaannya, mengapa ia
diciptakan dan untuk apa ia diciptakan.
Didalam Al Qur’an, Allah sebagai Dzat pencipta manusia,
menyebutkan beberapa istilah yang menunjuk kepada manusia,
yaitu :
a. Bani Adam (QS. Al A’rof: 31). Manusia disebut bani Adam,
karena dilihat dari aspek historis penciptaannya, yaitu
makhluk ciptaan Allah yang merupakan keturunan nabi
Adam.
b. Basyar (QS. Al Mukminun: 33). Penyebutan ini sesuai
dengan sifat-sifat biologis manusia, yaitu makhluk Allah
yang memiliki sifat-sifat fisik, kimia, biologis dalam
kehidupannya, yang membutuhkan makan, minum dan
sebagainya.

96
c. Insan. (QS. Al Ala’: 5). Ini menunjukkan manusia yang
memiliki sifat-sifat psikologis dan kecerdasan yaitu makhluk
yang berfikir dan mampu menyerap ilmu pengetahuan.
d. An Nas (QS. Al Baqoroh: 21). Dilihat dari aspek sosiologis,
manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang mempunyai
sifat-sifat dan kecenderungan untuk hidup berkelompok
dengan sesamanya, sehingga disebut makhluk sosial.
Dengan demikian Al Qur’an telah menjelaskan, bahwa
manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang memiliki aspek-
aspek biologis, psikologis dan sosial.

2.Martabat Manusia.
Dibanding makhluk lain manusia mempunyai kelebihan,
kemampuan untuk bergerak dalam segala ruang, baik darat, laut
maupun udara. Sedangkan binatang mampu bergerak di ruang
terbatas. Ini semua karunia Allah, berupa akal dan hati nurani,
sehingga manusia dapat memahami ilmu yang diturunkan Allah.
Dan dengan ilmunya itu manusia mampu berbudaya.
Allah menciptakan manusia dalam keadaan sebaik-
baiknya ciptaan. Karena keunggulan-keunggulan yang
dimilikinya. Manusia akan tetap bermartabat mulia, kalau mereka
tetap hidup dengan ilmu dan ajaran Allah, tapi jika manusia
meninggalkan ajaran Allah, yaitu iman dan amal sholeh (taqwa)
maka manusiapun tidak bermartabat lagi, karena dalam keadaan
demikian manusia bermartabat sangat rendah. (QS. At Tin : 4-6)

96
B. EKSISTENSI MANUSIA
1. Tujuan Penciptaan Manusia
Tujuan penciptaan manusia adalah untuk penyembahan
(ibadah) kepada penciptanya, yaitu Allah. Pengertian
penyembahan kepada Allah tidak boleh diartikan secara sempit,
dengan hanya membayangkan aspek ritual yang tercermin dalam
sholat saja. Penyembahan berarti ketundukan manusia kepada
ajaran Allah dalam menjalankan kehidupan di muka bumi, baik
yang menyangkut hubungan vertikal (manusia dengan Allah)
maupun horizontal (manusia dengan manusia dan alam semesta).
Ibadah ini harus dilakukan secara tulus dan murni karena Allah
semata. (QS. Al Bayyinah : 5).
Ibadah manusia kepada Allah lebih mencerminkan
kebutuhan manusia terhadap wujudnya sebuah kehidupan dengan
tatanan yang baik dan benar. Oleh karena itu ibadah harus
dilakukan secara suka rela, karena Allah tidak membutuhkan
sedikitpun dari manusia termasuk ritual-ritual ibadahnya,
melainkan seluruh makhluk termasuk manusia yang selalu
membutuhkan rahmat dan karunia Allah (QS. Adz Dzariyat: 56-
58).

2. Fungsi dan Peranan Manusia


Masalah fungsi dan peranan manusia adalah tidak lepas
dari status manusia sebagai khalifah. Sebagai manusia, manusia
berfungsi sebagai penerus ajaran Allah, oleh karena itu peran
yang harus dilakukan adalah sebagai pelaku ajaran Allah dan
sekaligus sebagai pelopor dalam membudayakan ajaran Allah.
Untuk menjadi pelaku ajaran Allah dan sekaligus pelopor
pembudayaannya, seseorang dituntut memulai dari diri sendiri

96
dan keluarganya, setelah itu baru menyampaikan kepada orang
lain. Dan yang harus dilakukan manusia dalam hal ini adalah :
 Mempelajari dan memahami ilmu Allah
 Mengamalkan dan membudayakan ilmu Allah
 Mengajarkan ilmu Allah

C. TANGGUNG JAWAB MANUSIA SEBAGAI HAMBA DAN


KHALIFAH ALLAH
1. Tanggung Jawab Manusia Sebagai Hamba Allah
Esensi kata “Abdun” (hamba) adalah ketaatan dan
ketundukan. Ketaatan dan ketundukan ini terwujud dari sikap
penghambaan diri, ini merupakan konsekuensi dari manusia
sebagai abdun atau hamba Allah. Maka manusia harus
menghambakan dirinya hanya kepada Allah dan dilarang
menghambakan diri kepada yang selain Allah.
Ada tanggung jawab yang dipikul manusia sebagai
hamba Allah yaitu memelihara iman dan taqwa, karena ketaatan
dan ketundukan itu ada jika ada iman dalam hati. Iman harus
dipelihara karena iman itu bersifat fluktuatif, dan taqwa juga
harus dipelihara karena taqwa merupakan aplikasi dari iman.
Seseorang harus senantiasa kontinuitas ibadahnya,
terutama sholat, agar ia dapat menghindarkan diri dari kekejian
dan kemungkaran. Oleh karena itu amar makruf nahi mungkar
harus dilakukan mulai dari diri sendiri, kemudian keluarga, dan
selanjutnya dapat lebih luas kepada orang lain. (QS. At Tahrim:
6).

96
2. Tanggung Jawab Manusia Sebagai Khalifah Allah
Khalifah berarti wakil atau pengganti yang memegang
kekuasaan. Manusia menjadi khalifah memegang mandat atau
SK dari Allah untuk mewujudkan kemakmuran di Bumi (alam).
Kekuasaan yang diberikan kepada manusia bersifat kreatif, yang
memungkinkan dirinya mengelola, mendayagunakan, dan
memelihara apa yang ada di alam ini untuk kepentingan
hidupnya. (QS. Al A’rof: 10).
Kreatifitas manusia dengan kekhalifahannya merupakan
impelementasi dari ketaatan dan ketundukan. Ia tidak tunduk
kepada siapapun kecuali kepada Allah yang telah memberikan
mandat dan amanat sebagai khalifah (QS. Al An’am: 165).
Kekuasaan yang dipegang manusia dibatasi oleh hukum
Allah, baik yang tertulis dalam kitab suci (Al Qur’an) maupun
yang tersirat dalam kandungan alam semesta (Al Kaun). Seorang
wakil yang melanggar batas ketentuan yang diwakilkannya
adalah wakil yang mengingkari kedudukan dan kewenangannya,
serta mengkhianati amanat yang diwakilinya. Oleh karena itu
bertanggung jawab atas mandat yang diemban adalah suatu
keharusan. (QS. Al A’rof: 56 dan Fathir: 39).

Kesimpulan :
Berbicara mengenai “hakikat manusia” memang tidak ada habisnya,
manusia sendiri dalam mengkaji dan menemukan hakikat manusia hingga
kini belumlah tuntas,sehingga benar apa yang dikatakan oleh Dr.A. Carrel
bahwa “sebenarnya manusia telah mencurahkan perhatian dan usaha yang
sangat besar untuk mengetahui dirinya, kendatipun kita memiliki
perbendaharaan yang cukup banyak dari hasil penelitian para ilmuwan,
filosof, sastrawan, dan para ahli di bidang keruhanian sepanjang masa ini,

96
tapi kita ( manusia) hanya mampu mengetahui beberapa segi tertentu dari
diri kita. Kita tidak mengetahui manusia secara utuh, yang kita ketahui
hanyalah bahwa manusia terdiri dari bagian-bagian tertentu, dan inipun
pada hakikatnya dibagi lagi menurut tata cara kita sendiri. Pada
hakikatnya,kebanyakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh
mereka yang mempelajari manusia, hingga kini masih tetap tanpa
jawaban.

Daftar pustaka.

-Azhari,Tahir, Negara Hukum : Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsip


dilihat dari segi HukumIslam,Implementasinya pada periode Negara
Madinah dan Masa kini, Jakarta, bulan Bintang, 1992.
-Al Gazali, Abu Hamid, Ihya Ulum al Din, I Berut, dar al Fikr, t,th.
-Abul Quasem,Etika dan tasawuf, Bandung : IAIN sunang Gunung Djati
Prees. 1990.
-Adi Suryadi, Culla, Masyarakat Madani; Pemikiran, Teori dan
Relevensinya Dengan Cita-cita Reformasi, (Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1996,
-Departemen Agama RI, Pendidikan Agama Islam pada perguruan tinggi
Umum, (Jakarta : Direktorat perguruan tinggi Agama Islam, 2001.
-Dawam Raharjo, Masyarakat Madani, Agama Kelas Menengah dan
Perubahan Sosial, ( LP3ES, Jakarta, 1999)

96
Pertanyaan :
1. Ada berapa istilah yang sering digunakan al-Quran untuk
menyebut kata manusia.Tunjukkan nama surat dan nomor
ayatnya ?
2. Dari segi penciptaannya manusia adalah makhluk yang paling
sempurna dibandingkan dengan makhluk ciptaan Allah yang lain,
akan tetapi dari segi sifat dan prilaku tidak ada manusia yang
sempurna.Bagaimana pendapat anda tentang hal ini ?
3. Jelaskan tujuan utama Allah menciptakan manusia dimuka bumi
ini ? jelaskan ayat al-Quran yang menjelaskan tentang hal
tersebut !
4. Manusia mempunyai martabat yang lebih mulia dibandingkan
dengan makhluk lainnya.jelaskan bagaimana pendapat anda
terhadap pernyataan tersebut.
5. Jelaskan tanggung jawab manusia dalam kaitannya dengan
kedudukannya sebagai hamba dan khalifah di bumi ?

96
LEMBAR JAWABAN TUGAS

Nama Mahasiswa :………………………...


NPM :………………………...
Jurusan :………………………...
Kelas :………………………...

96
BAB IV
ETIKA, MORAL DAN AKHLAK

Sasaran Pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menjelaskan perbedaan etika,moral dan akhlak.
2. Menjelaskan karakteristik etika dalam islam.
3. Menjelaskan indicator manusia berakhlak.
4. Menjelaskan tentang cara mengimplementasikan akhlak dalam
kehidupan sehari-hari.

Kompetensi :
Dapat menjelaskan tentang etika, moral dan akhlak serta aktualisasinya
dalam kehidupan sehari – hari.

A.KONSEP ETIKA, MORAL DAN AKHLAK


1.Pengertian Etika, Moral dan Akhlak
Secara substansial etika, moral dan akhlak adalah sama.
Yakni ajaran tentang kebaikan dan keburukan menyangkut
perilaku manusia dalam hubungannya dengan Allah, sesama
manusia dan alam. Yang membedakan satu dengan yang lainnya
adalah dasar/ukuran kebaikan dan keburukan itu sendiri.
Etika adalah ajaran yang berbicara tentang baik dan
buruk, dan yang menjadi ukurannya adalah akal, karena etika
merupakan bagian dari filsafat. Dan moral adalah segala tingkah
laku manusia yang mencakup sifat baik dan buruk dari tingkah
laku manusia yang mencakup sifat baik dan buruk dari tingkah
laku itu sendiri, dan yang menjadi ukurannya adalah tradisi yang
berlaku di suatu masyarakat.

96
Sedangkan akhlak adalah ajaran yang berbicara tentang
baik dan buruk yang ukurannya adalah wahyu Allah yang
universal. Menurut Ibnu Miskawaih akhlak adalah keadaan jiwa
seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-
perbuatan tanpa melalui pertimbangan fikiran terlebih dahulu.
Dan Al-Ghozali berpendapat bahwa akhlak adalah suatu sifat
yang tertanam dalam jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-
perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pertimbangan
fikiran.

2.Karakteristik Etika Islam (Akhlak)


Akhlak merupakan ilmu yang menentukan batas antara
baik dan buruk, terpuji atau tercela menyangkut perilaku manusia
yang meliputi perkataan, fikiran dan perbuatan manusia lahir dan
batin.
Akhlak secara substansial adalah sifat hati, bisa baik bisa
buruk, yang tercermin dalam perilaku. Jika sifat hatinya baik
maka yang muncul adalah perilaku baik (al-akhlaq al-mahmudah)
dan jika sifat hatinya buruk maka yang muncul adalah perilaku
buruk (al-akhlaq al=madzmumah).
Apa sebenarnya yang menyebabkan hati manusia
menjadi baik atau menjadi buruk. Menurut Ibnu Arabi, di dalam
diri manusia ada tiga nafsu; 1) Nafsu Syahwaniyah, yaitu nafsu
yang ada pada manusia dan binatang, nafsu ini cenderung kepada
kelezatan jasmaniyah, misalnya makan, minum dan nafsu
seksual. Jika nafsu ini tidak terkendali maka manusia menjadi
tidak ada bedanya dengan binatang, sikap hidupnya menjadi
hedonisme. 2) Nafsu Ghodlobiyah, nafsu ini juga ada pada
manusia dan binatang, yaitu nafsu yang cenderung pada amarah,

96
merusak dan senang menguasai dan mengalahkan yang lain.
Nafsu ini lebih berbahaya daripada nafsu syahwaniyah jika tidak
terkendali, karena dapat mengalahkan akal. 3) Nafsu Nathiwah,
yaitu nafsu yang membedakan manusia dengan binatang. Dengan
nafsu ini manusia mampu berfikir dengan baik, berdzikir,
mengambil hikmah dan memahami fenomena alam. Nafsu ini
menjadikan manusia dapat membedakan mana yang baik dan
yang buruk. Jika manusia dapat mengoptimalkan nafsu ini untuk
mengendalikan kedua nafsu tadi, maka manusia akan dapat
menjadi lebih unggul dan mulia. Pada akhirnya lahirlah al-
akhlaq al-karimah.
Begitu pentingnya kedudukan akhlak dalam Islam
sehingga Al-Qur’an tidak hanya memuat ayat-ayat tentang akhlak
secara spesifik, melainkan selalu mengaitkan ayat-ayat yang
berbicara tentang hukum dengan masalah akhlak pada ujung ayat.
Ayat-ayat yang berbicara tentang shalat, puasa, haji, zakat dan
muamalah selalu dikaitkan dan diakhiri dengan pesan-pesan
perbaikan akhlak. (Al-Baqarah: 183, 197 dan sebagainya).

B. HUBUNGAN TASAWUF DENGAN AKHLAK


Tasawuf adalah proses pendekatan diri kepada Allah dengan
cara mensucikan hati (tashfiyat al-qalbi). Hati yang suci bukan hanya
bisa dekat dengan Allah tapi malah dapat mengenal Allah (al-
ma’rifah). Menurut Dzun Nun Al-Misri, ada tiga macam pengetahuan
tentang Allah, yaitu :
a. Pengetahuan Awam: Allah Esa dengan perantaraan kalimat
syahadat
b. Pengetahuan Ulama : Allah Esa menurut logika akal.

96
c. Pengetahuan Kaum Sufi : Allah Esa dengan perantaraan hati
sanubari.
Pengetahuan yang hakiki tentang Allah adalah pengetahuan
yang disertai dengan kesucian hati. Telah dijelaskan bahwa akhlak
adalah sifat hati yang mendasari perilaku manusia. Jika hatinya bersih
dan suci maka yang akan keluar adalah perbuatan/perilaku yang baik
dan mulia (al-akhlaq al-karimah). Dan tasawuf adalah cara untuk
membersihkan dan mensucikan hati. Maka hubungan antara tasawuf
dan akhlak menjadi sangat erat dan penting karena satu sama lain
saling mendukung.
Dalam ilmu tasawuf, metode penyucian hati (tashfiyat al-
qalbi) adalah dengan :
a. Ijtinabul Manhiyat, yaitu menjauhi larangan-larangan Allah.
b. Ada’ul Wajibat, yaitu melaksanakan kewajiban-kewajiban Allah.
c. Ada’un Nafilat, yaitu melaksanakan hal-hal yang disunahkan Allah.
d. Ar-Riyadloh, yaitu latihan spiritual agar dapat istiqamah dalam
menjalankan seluruh ajaran Islam dan mendekatkan diri kepada Allah.

C. AKTUALISASI AKHLAK
1. Indikator Manusia Berakhlak
Indikator manusia berakhlak (husn al-khuluq) adalah
tertanamnya iman dalam hati dan teraplikasikannya takwa dalam
perilaku. Sebaliknya manusia yang tidak berakhlak (su’ al-
khuluq) adalah manusia yang ada nifaq (kemunafikan) didalam
hatinya. Nifaq adalah sikap mendua terhadap Allah. Tidak ada
kesesuaian antara hati dan perbuatan.
Taat akan perintah Allah dan tidak mengikuti keinginan
hawa nafsu dapat mengilaukan hati, sebaliknya melakukan dosa
dan maksiat dapat menghitamkan hati. Barangsiapa melakukan

96
dosa hitamlah hatinya, dan barangsiapa melakukan dosa tetapi
menghapusnya dengan kebaikan tidak akan gelaplah hatinya,
hanya saja cahaya itu berkurang.
Salah seorang sufi mengemukakan tanda-tanda manusia
berakhlak, antara lain adalah : memiliki budaya malu dalam
interaksi dengan sesamanya, tidak menyakiti orang lain, banyak
kebaikannya, benar dan jujur dalam ucapannya, tidak banyak
bicara tetapi banyak berbuat, penyabar, tenang, hatinya selalu
bersama Allah, suka berterima kasih, ridlo terhadap ketentuan
Allah, bijaksana, hati-hati dalam bertindak, disenangi teman dan
lawan, tidak pendendam, tidak suka mengadu domba, sedikit
makan dan tidur, tidak pelit dan hasad, cinta karena Allah dan
benci karena Allah.
Kalau akhlak difahami sebagai pandangan hidup maka
manusia berakhlak adalah manusia yang menjaga keseimbangan
antara hak dan kewajibannya dalam hubungannya dengan Allah,
sesama makhluk dan alam semesta.

2. Akhlak dan Aktualisasinya dalam Kehidupan


Aktualisasi akhlak adalah bagaimana seseorang dapat
mengimplentasikan iman yang dimilikinya dan mengaplikasikan
seluruh ajaran Islam dalam setiap tingkah laku sehari-hari. Dan
cakupan akhlak meliputi :
a. Akhlak terhadap Allah
b. Akhlak terhadap Rasulullah
c. Akhlak terhadap diri sendiri
d. Akhlak terhadap sesama makhluk
Akhlak terhadap Allah sebenarnya banyak sekali
bentuknya, hanya saja yang terpenting adalah dzikir bahkan

96
“dawam al-dzikir”. Pentingnya dzikir ini telah dinyatakan secara
naqli sebagai berikut :
 Allah menjadikan dzikir hamba kepada-Nya sebagai syarat
dzikirnya Allah kepada mereka.
 Larangan berlaku sebaliknya yaitu lupa terhadap Allah dan lali
dari dzikir.
 Pujian Allah dialamatkan kepada ahli dzikir dan Allah
menjadikan bagi mereka ampunan dan surga.
 Kebahagiaan yang akan diperoleh manusia dikaitkan dengan
banyak dan istiqamahnya dalam berdzikir.
Akhlak terhadap Rasulullah dapat dilakukan dengan
mempelajari dan memahami pesan-pesan (sunnah). Rasulullah
kemudian mengamalkannya, dan menjadikan Rasulullah sebagai
suri tauladan yang baik(uswatun hasanah).
Akhlak terhadap sesama makhluk meliputi akhlak
terhadap kedua orang tua, akhlak terhadap keluarga, kerabat,
tetangga, sesama muslim, orang non muslim, binatang dan alam
lingkungan.
Dalam ilmu akhlak dijelaskan bahwa kebiasaan yang
baik harus disempurnakan dan kebiasaan yang buruk harus
dihilangkan, karena kebiasaan merupakan faktor yang sangat
penting dalam membentuk karakter manusia berakhlak.
Al-Ghozali menjelaskan bahwa untuk mencapai akhlak
yang baik ada tiga cara, yaitu :
a. Akhlak yang merupakan anugerah dan rahmat Allah, yakni
orang memiliki akhlak baik secara alamiah (bi al-thabi’ah
wa al-fitrah). Sebagai sesuatu yang diberikan Allah kepada
seseorang sejak ia dilahirkan.

96
b. Dengan mujahadah, yaitu selalu berusaha keras untuk
merubah diri menjadi baik dan tetap dalam kebaikan, serta
menahan diri dari sikap putus asa.
c. Riyadloh, yaitu melatih diri secara spiritual untuk senantiasa
dzikir (ingat) kepada Allah dengan dawam al-dzikir.

Kesimpulan,

Sukses tidaknya suatu bangsa mencapai tujuan hidupnya


tergantung atas “commited” tidaknya bangsa itu terhadap
nilai-nilai akhlak. Jika ia “commited” terhadap akhlak maka
bangsa itu akan sukses, dan sebaliknya jika ia mengabaikan
akhlak maka bangsa itu pun akan hancur. Itulah sebabnya
misi utama Rasululllah adalah perbaikan akhlak,
penyempurnaaan budi pekerti yang mulia (al-akhlak al-
karimah). Dan rasululllah sendiri adalah prototype manusia
yang berakhlak sempurna.
Begitu pentingnya kedudukan akhlak dalam islam sehingga
al-Quran tidak hanya memuat ayat-ayat tentang akhlak
secara spisifik, malainkan selalu mengaitkan ayat-ayat yang
berbicara tentang hokum dengan masalah akhlak pada
ujungnya ayat-ayat yang berbicara tentang
sholat,puasa,haji,zakat dan muamalah selalu dikaitkan dan
diakhiri dengan pesan-pesan perbaikan akhlak.(al-Baqarah :
183,197)

96
DAFTAR PUSTAKA.

Harun Nasution, Falsafah dan Mistisime dalam islam, Jakarta, bulan


bintang , 1973.
Harjono ,Anwar, Hukum Islam : Keluasan dan keadilannya, Jakarta
bulan bintang, 1986.
Hussain, Syekh Syaukat, Hak Asasi Manusia Dalam Islam,
diterjemahkan oleh abdul Rochim, Jakarta Gema Insani Prees,
1996.
……………, Hukum islam pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia, Jakarta : PT Raja Grafindo persada,1999.
……………, dan Habibah Daud, Lembanga-lembanga Islam di
Indonesia, Jakarta : PT Raja Grfindo Persada, 1995.
Iberani, Jamal Syarief, Mengenal Islam, Elkahfi Jakarta, 2003.
Imarah, Muhammad, Islam dan Pluralistas , Suatu perbedaan dan
kemajemukan dalam bingkai persatuan, Gema Insani Press,
Jakarta, 1999.
Rahmat Djatmika, Sistem Etika Islam, Jakarta. Panjimas, 1990.
Suryana, A.Toto,Drs,N.Pd,et,Al, Pendidikan Agama Islam, (bandung :
Tiga Mutiara, 1996).

96
Pertanyaan :
1. Jelaskan pengertian etika, moral dan akhlak ?
2. Jelaskan perbedaan antara etika, moral dan akhlak ?
3. Jelaskan cakupan etika dalam islam ?
4. Jelaskan bagaimana cara mengubah kebiasaan yang buruk menurut
imam ghozali ?
5. Jelaskan langkah – langkah lahir yang harus ditempuh untuk
membentuk akhlak karimah ?
6. Jelaskan bagaimana mengaktualisasikan akhlak dalam kehidupan
seorang muslim ?
7. Jelaskan perbedaan yang mendasar antara akhlak mahmudah dan
akhlak mudzmummah ?

96
LEMBAR JAWABAN TUGAS

Nama Mahasiswa :………………………...


NPM :………………………...
Jurusan :………………………...
Kelas :………………………...

96
BAB V
HUKUM, HAK ASASI MANUSIA, DAN
DEMOKRASI DALAM ISLAM

Sasaran Pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menjelaskan konsep hukum,Hak Asasi manusia dan Demokrasi
menurut islam.
2. Menjelaskan prinsip-prinsip musyawarah.
3. Menjelaskan prinsip-prinsip ijma’ (consensus).
4. Menjelaskan perbedaan prinsip antara konsep HAM dalam
pandangan islam dan barat.

Kompetensi :
Dapat menjelaskan tentang Hukum, Hak Asasi Manusia dan Demokrasi
dalam islam serta bias menyebutkan perbedaan prinsip konsep Hak Asasi
Manusia dalam pandangan islam maupun barat.

A.HUKUM ISLAM
1. Pengertian Hukum Islam
Dalam masyarakat Indonesia berkembang berbagai
macam istilah, dimana istilah satu dengan lainnya mempunyai
persamaan dan sekaligus perbedaan. Istilah yang dimaksud
adalah syariat Islam, fikih Islam dan hukum Islam. Dalam
kepustakaan hukum Islam berbahasa Inggris, syariat Islam
diterjemahkan dengan Islamic Law, sedang fikih Islam dengan
Islamic Jurisprudence.
Dalam bahasa Indonesia, untuk syariat Islam sering
dipergunakan istilah hukum syariat atau hukum syara’,

96
sedangkan untuk fikih Islam dipergunakan istilah hukum fikih
atau kadang-kadang hukum Islam. Dalam praktik seringkali
kedua istilah itu dirangkum dalam kata hukum Islam. Syariat
merupakan landasan fikih dan fikih merupakan pemahaman
orang yang memenuhi syarat tentang syariat. Oleh karena itu
seseorang yang akan memahami hukum Islam dengan baik dan
benar harus dapat membedakan antara fikih Islam dengan
syariat Islam.
Pada prinsipnya syariat adalah wahyu Allah yang
terdapat dalam AL-Qur’an dan sunnah yang terdapat dalam
kitab-kitab hadits. Syariat bersifat fundamental, mempunyai
ruang lingkup yang lebih luas dari fikih, berlaku abadi, dan
menunjukkan kesatuan dalam Islam. Sedangkan fikih adalah
pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang syariat
sebagaimana yang terdapat dalam kitab-kitab fikih, karena itu
sifatnya instrumental, ruang lingkupnya terbatas, tidak berlaku
abadi dapat berubah dari masa ke masa, dan dapat berbeda dari
satu tempat dengan tempat yang lain. Hal ini terlihat pada aliran-
aliran hukum yang disebut madzhab, sehingga fikih
menunjukkan adanya keragaman dalam hukum Islam. (M. Daud
Ali, 1999; 45-46).
Fikih merupakan elaborasi atau rincian terhadap syariah
melalui kegiatan ijtihad. yang dimaksud ijtihad adalah usaha
yang sungguh-sungguh dengan menggunakan segenap
kemampuan yang ada dilakukan oleh orang (ahli hukum) yang
memenuhi syarat untuk mendapat suatu kepastian hukum yang
belum jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al-Qur’an
ataupun hadits.

96
Dalam fikih seorang akan menemukan pemikiran-
pemikiran para fuqaha’, antara lain para pendiri empat madzhab
yang ada dalam ilmu fikih dan sampai sekarang masih
berpengaruh di kalangan umat Islam sedunia; yaitu Abu Hanifah
(madzab Hanafi), Malik bin Anas (Madzhab Maliki), Muhammad
Idris As-Syafi’i (Madzhab Syafi’i ) dan Ahmad bin Hambal
(Madzhab Hambali). Mereka sangat berjasa dalam
pengembangan hukum Islam melalui pemikiran-pemikirannya. J.
Schacht memuji pemikiran mereka sebagai suatu epitome
(contoh terbaik) dalam pemikiran Islam, karena bidang-bidang
lain seperti bidang akidah (teologi) maupun bidang tasauf belum
mencapai tingkat pemikiran yang sebagus fikih. (J. Schacht,
1964: 1).
Menurut Thohir Azhari, ada tiga sifat dasar hukum Islam, yaitu :
a) Bidimensional : mengandung segi kemanusiaan dan segi
ketuhanan (Ilahi) hukum Islam tidak hanya mengatur satu
aspek kehidupan saja, tetapi mengatur berbagai aspek
kehidupan manusia.
b) Adalah (adil), dalam hukum Islam keadilan bukan saja
merupakan tujuan, tetapi juga merupakan sifat yang melekat
sejak kaidah-kaidah dalam syariat itu ditetapkan.
c) Individualistik dan Kemasyarakatan. Sifat ini diikat oleh
nilai-nilai transendental yaitu wahyu Allah yang disampaikan
kepada Rasulullah Muhammad SAW. Thohir Azhari, 1992:
48).

2. Ruang Lingkup Hukum Islam


Hukum Islam baik dalam pengertian syariat maupun fikih
dapat dibagi dalam dua bagian besar, yaitu: Ibadah dan

96
Muamalah. Ibadah adalah aktifitas seorang mukmin yang
bersifat vertikal (hubungan manusia dengan Tuhannya) secara
ritual yang tata cara dan pelaksanaannya telah diatur dengan rinci
oleh Allah dan Rasulnya (dalam hadits), seperti: shalat, zakat dan
haji. Dengan demikian tidak mungkin ada proses yang membawa
perubahan dan perombakan secara asasi mengenai hukum,
susunan, cara dan tata ibadah itu sendiri, yang mungkin berubah
hanyalah sarana penunjang dan alat-alat modern dalam
pelaksanaannya.
Adapun muamalat adalah ketetapan-ketetapan Allah yang
mengatur hubungan manusia dengan lainnya yang terbatas pada
aturan-aturan pokok, dan tidak seluruhnya diatur secara rinci
sebagai ibadah. Oleh karena itu sifatnya terbuka untuk
dikembangkan melalui ijtihad manusia yang memenuhi syarat
untuk melakukan usaha itu. (M. Daud Ali, 1999: 49)
Hukum Islam tidak membedakan dengan tajam antara
hukum perdata dengan hukum publik seperti halnya dalam
hukum Barat. Karena menurut hukum Islam pada hukum perdata
ada segi-segi publik, dan pada hukum publik ada segi-segi
perdatanya. Menurut Abdul Wahab Khalaf sistematika hukum
Islam adalah :
a) Al-ahkam al-syahshiyah (hukum perorangan/keluarga) yang
mencakup masalah perkawinan, waris dan sebagainya, ayat
yang berkaitan dengan hukum ini berjumlah 70 ayat.
b) Al-ahkam al-amadaniyah (hukum perdata), hukum ini
berkaitan dengan transaksi jual beli perburuhan, utang
piutang, jaminan, gadai dan sebagainya. Ayat yang berkaitan
dengan masalah ini berjumlah 70 ayat.

96
c) Al-ahkam al-jinaiyah (hukum pidana), hukum ini berkaitan
dengan pelanggaran dan kejahatan, ayat yang berkaitan
dengan masalah ini berjumlah 30 ayat.
d) Al-ahkam al-murafa’at (hukum acara), hukum ini berkenaan
dengan peradilan, kesaksian, pembuktian, sumpah dan
sebagainya, ayat yang berkaitan dengan masalah ini
berjumlah 13 ayat.
e) Al-ahkam al-dusturiyah (hukum tata negara), hukum ini
berkaitan dengan sistem pemerintahan dan prinsip-prinsip
pengaturannya. Ayat yang berhubungan dengan masalah ini
berjumlah 10 ayat.
f) Al-ahkam al-dauliyab (hukum internasional), hukum ini
berkaitan dengan hubungan antar negara, kerjasama,
perdamaian. Ayat yang berkenaan dengan masalah ini
berjumlah 25 ayat.
g) Al-ahkam al-iqrishadiyah wal maliyah (hukum
perekonomian dan keuangan), hukum berkaitan dengan
pendapatan negara, baitul maal, dan pendistribusiannya pada
masyarakat. Ayat yang berkaitan dengan persoalan ini
berjumlah 10 ayat. (Abdul Wahab Khalaf, 1973: 32-24).

Apabila bidang-bidang hukum Islam tersebut disusun


menurut sistematika hukum Barat yang membedakan hukum
publik dan hukum perdata, maka susunan muamalah dalam arti
luas adalah :
1. Munakahat yaitu hukum yang mengatur segala sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan, perceraian, serta akibat-
akibatnya.

96
2. Waratsah, mengatur segala masalah yang berhubungan
pewaris, ahli waris, harta peninggalan, serta pembagian
warisan. Hukum kewarisan ini juga disebut Faroid.
3. Muamalat dalam arti khusus, yakni hukum yang mengatur
masalah kebendaan dan hak-hak atas benda, jual beli, sewa-
menyewa, pinjam meminjam, perseroan, dan sebagainya.
Adapun yang termasuk dalam hukum publik Islam adalah :
4. Jinayat yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-
perbuatan yang diancam dengan hukuman baik dalam
jarimah hudud, qishos, ataupun ta’zir.
5. Al-ahkam as-sulthaniyah yaitu hukum-hukum yang
mengatur hal-hal yang berhubungan dengan kepala negara,
pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun daerah, tentara,
pajak, dan sebagainya.
6. siyar yakni hukum yang mengatur urusan perang dan damai,
tata hubungan dengan pemeluk agama dan negara lain.
7. muhashanat, mengatur tentang peradilan, kehakiman, dan
hukum acara. (M. Daud Ali, 1999: 51-52)

3. Tujuan Hukum Islam


Tujuan Hukum Islam secara umum adalah “Dar-ul
mafaasidi wa jalbul mashaalihi” (mencegah terjadinya
kerusakan dan mendatangkan kemaslahatan). Yakni mengarahkan
manusia pada kebenaran untuk mencapai kebahagiaan hidup
mereka dunia dan akhirat, dengan jalan mengambil segala yang
manfaat dan mencegah atau menolak yang madlarat, yang tidak
berguna dalam kehidupan manusia.
Abu Ishaq As-Sathibi merumuskan lima tujuan hukum
Islam (maqashid al-khamsah), yaitu :

96
a) Memelihara Agama.
Agama adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh setiap
manusia agar martabatnya dapat terangkat lebih tinggi dari
martabat makhluk lain dan memenuhi hajat jiwanya.
Beragama merupakan kebutuhan manusia yang harus
dipenuh, karena agamalah yang dapat menyentuh nurani
manusia. Agama Islam harus terpelihara dari ancaman orang-
orang yang merusak akidah, syariah dan akhlak atau
mencampuradukkan ajaran Islam dengan paham/aliran yang
batil. Agama Islam memberi perlindungan kepada pemeluk
agama lain untuk menjalankan agama sesuai dengan
keyakinan agama Islam tidak memaksakan pemeluk agama
lain meninggalkan agamanya untuk memeluk agama Islam,
sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an surat Al-Baqarah :
256.

b) Memelihara Jiwa.
Menurut hukum Islam jiwa harus dilindungi. Untuk itu
hukum Islam wajib memelihara hak manusia untuk hidup dan
mempertahankan kehidupannya. Islam melarang
pembunuhan sebagai upaya menghilangkan jiwa manusia dan
melindungi berbagai sarana yang dipergunakan oleh manusia
untuk mempertahankan kemaslahatan hidupnya (QS. 6: 151,
QS. 17: 33, QS. 25: 68).

c) Memelihara Akal
Islam mewajibkan seseorang untuk memelihara akalnya,
karena akal mempunyai peranan sangat penting dalam hidup
dan kehidupan manusia. Dengan akal manusia dapat

96
memahami wahyu Allah baik yang terdapat dalam kitab suci
(ayat-ayat Qauliyah) maupun yang terdapat pada alam (ayat-
ayat Kauniyah). Dengan akal manusia dapat
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Seseorang
tidak akan dapat menjalankan hukum Islam dengan baik dan
benar tanpa mempergunakan akal yang sehat. Untuk itu Islam
melarang meminum minuman yang memabukkan (khamar)
dan memberi hukuman pada perbuatan orang yang merusak
akal. (QS. 5: 90).

d) Memelihara Keturunan.
Dalam hukum Islam memelihara keturunan adalah hal yang
sangat penting. Karena itu untuk meneruskan keturunan
harus melalui perkawinan yang sah menurut ketentuan yang
ada dalam Al Qur’an dan As-Sunnah dan dilarang melakukan
perbuatan zina. Hukum kekeluargaan dan hukum kewarisan
yang ada dalam Al Qur’an merupakan hukum yang erat
kaitannya dengan pemurnian keturunan pemeliharaan
keturunan. Dalam Al-Qur’an dan Sunnah hukum-hukum
yang berkenaan dengan masalah perkawinan dan kewarisan
diterangkan secara tegas dan rinci. (Lihat, QS. 17: 32).

e) Memelihara Harta.
Menurut ajaran Islam harta merupakan pemberian Allah
kepada manusia untuk kelangsungan hidup mereka. Untuk itu
manusia sebagai khalifah di bumi dilindungi haknya untuk
memperoleh harta dengan cara-cara yang halal, sah menurut
hukum dan benar menurut ukuran moral. Pada prinsipnya
hukum Islam tidak mengakui hak milik seseorang atau atas

96
sesuatu benda secara mutlak, karena kepemilikan atas suatu
benda hanya ada pada Allah. Namun karena diperlukan
adanya suatu kepastian hukum dalam masyarakat, untuk
menjamin kedamaian dalam kehidupan bersama, maka hak
milik seseorang atas suatu benda diakui. (Anwar Haryono,
1968: 140).
Jika diperhatikan dengan sungguh-sungguh hukum Islam
yang ditatapkan oleh Allah adalah untuk memenuhi kebutuhan
hidup manusia itu sendiri, baik yang bersifat primer, sekunder,
maupun tersier (dlorori, haaji, dan tahsini).

4. Sumber Hukum Islam


Hukum Islam bersumber pada :
a. Al-Qur’an
Ini merupakan dalil yang otentik, kebenarannya dijamin
mutlak dan tidak mungkin terjadi perubahan kandungan-
kandungannya. Kandungan Al-Qur’an bersifat absolut yang
berfungsi sebagai pengendali atau pengarah terhadap
adillatul, ahkam yang lain. Konfigurasi kandungan Al-qur’an
mungkin dapat mengalami perubahan karena perubahan
interpretasi yang disebabkan oleh kondisi, waktu, tempat
yang berbeda. (Arifin, M., 1987: 121)
Subhi Al-Salih mendefinisikan Al-qur’an sebagai berikut :
“Al-Qur’an adalah firman Allah yang berfungsi mukjizat
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Yang
tertulis dalam mushaf yang diriwayatkan secara mutawatir
dan dinilai ibadah membacanya” (Masjfuk Zuhdi, 1987: 1-2).

96
Segi-segi kemukjizatan AL-qur’an.
Al-qur’an merupakan mukjizat Nabi Muhammad yang
terbesar. Ia dapat membuktikan kebenaran kerasulan Nabi
SAW sekaligus sebagai penantang bagi kaum kafir yang
mengingkari. Adapun kemukjizatan Al-qur’an dapat
dibedakan menjadi 3 macam :
 Al-Ijaz al-lughawy.
Kemukjizatan yang berkaitan dengan aspek
kebahasaan, baik ditinjau dari struktur bahasa,
keindahan balaghoh, perimbangan kata satu dengan
kata lain, dan semua itu tidak mungkin dapat
ditandingi oleh manusia. (QS. 4: 82, QS. 39: 23).

 Al’Ijaz al-ilmy
‘Ijaz yang menonjolkan aspek keilmuan, yang
berisikan berbagai macam informasi ilmiyah dan
dapat dibenarkan dengan data ilmiah, bahkan mampu
menempuh kebenaran yan supra empirik (Al
Ghoibiyah). Banyak contoh ayat-ayat Al-qur’an yang
mengisyaratkan keilmiahannya, misalnya : cahaya
matahari bersumber dari dirinya sendiri sedang
cahaya bulan adalah pantulan (dari cahaya matahari)
(perhatikan QS. 10: 5). Demikian juga jenis kelamin
anak adalah hasil sperma pria, sedang wanita sekedar
mengandung karena ia bagaikan ladang (QS. 2: 223)
lebih lanjut baca Quraisy Syihab, 1992: 29-31).

96
 Al-‘Ijaz al-tasyri’y.
Kemukjizatan yang menonjolkan aspek hukum,
misalnya: masalah ibadah, masalah keutamaan
akhlak, masalah keluarga (QS. 30: 31, QS. 4: 19-33),
masalah sosial kemasyarakatan (QS. 3: 109, QS. 42:
38), QS. 49: 10, dan beberapa ayat yang lain), serta
masalah primer dalam kehidupan manusia (QS. 4: 2-4,
QS. 5: 39).

b. As-Sunnah/Al-Hadits.
Secara etimologi berarti: “Ash-Siroh hasanatan aw
qobihatan” (tradisi yang baik ataupun yang buruk).
Sebagaimana yang tergambar pada sabda Rasul SAW.
“Barang siapa yang memulai membuat suatu tradisi yang
baik (menurut agama) maka baginya adalah pahala, dan ia
tetap akan mendapatkan pahala dari perbuatan orang-orang
yang melestarikan tradisinya. Dan barang siapa yang
memulai/membuat tradisi yang buruk (menurut agama)
maka baginya adalah dosa, dan ia juga akan mendapatkan
bagian dosa perbuatan orang-orang yang melestarikannya”
(H.R. Muslim)
Secara terminologi As-Sunnah berarti : “Apa saja
yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan,
perbuatan maupun ketetapan”. Pengertian ini jika dikaitkan
dengan “Ushul fiqh” maka sunnah dibatasi atas perkataan,
perbuatan, dan ketetapan Nabi SAW yang berhubungan
dengan “Adilatul ahkam”

96
Fungsionalisasi Sunnah/Hadits dalam tasyri’ islam
As-Sunnah/hadits mempunyai relasi yang erat terhadap
keberadaan Al-qur’an, karena sunnah/hadits merupakan dasar
operasional dalam memahami hukum-hukum Al-Qur’an :
 As-Sunnah sebagai penguat Al-Qur’an.
Artinya, sunnah berfungsi sebagai penguat-penguat
pesan-pesan atau aturan-aturan yang tersurat dalam ayat-
ayat Al-Qur’an, misalnya Al-Qur’an menyebutkan suatu
kewajiban dan larangan, lalu Rasul dalam sunnahnya
menguatkan kewajiban dan larangan tersebut. Dalam hal
ini sunnah berperan antara lain :
 Menegaskan kedudukan hukum, seperti penyebutan
hukum wajib/fardlu.
 Menerangkan posisi kewajiban atau larangan dalam
syariat Islam.
 Menjelaskan sanksi hukum bagi pelanggarnya.
 As-Sunnah sebagai penjelas Al-Qur’an
Artinya, As-Sunnah memberikan penjelasan terhadap
maksud ayat, antara lain :
 Menjelaskan makna yang rumit dari ayat Al-Qur’an,
misalnya QS. 2: 238 (shalat wustha, yang dimaksud
adalah shalat ashar)
 Mengikat makna-makna ayat yang bersifat lepas
“taqyid al-mutlaqah” dari ayat Al-Qur’an, misal
tentang hukum potong tangan bagi pencuri (QS. 5:
38), pengertian tangan yang dimaksud adalah
“pergelangan tangan”.
 Mengkhususkan ketetapan-ketetapan yang disebut
AQ secara umum “takhshish al-‘am”, misalnya Allah

96
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS
2: 275). Jual beli sifatnya umum, maka Rasul
melarang (khusus) jual beli yang tidak jelas
benda/obyeknya, waktu, tempat, harga. (H.R.
Muslim).
 Menjelaskan ruang lingkup masalah yang terkandung
dalam nash-nash Al-Qur’an, misalnya “mengerjakan
haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu
bagi orang yang mampu” (QS. 3: 97), maka Rasul
menjelaskan bahwa kewajiban haji itu hanya sekali
seumur, barang siapa yang menambah, maka
tambahan itu termasuk satu kebajikan (H.R. Daud,
Ahmad dan Hakim).
 Menjelaskan mekanisme pelaksanaan dari hukum-
hukum yang ditetapkan AQ., misalnya tentang tata
cara shalat, haji, puasa, dan lain-lain.
 As-Sunnah sebagai pembuat hukum
Artinya sunnah menetapkan hukum yang belum
ditetapkan oleh Al-Qur’an, misalnya AQ. Menyebutkan
empat macam makanan yang haram (QS. 5: 3) kemudian
Rasul menetapkan ketetapan baru dengan melarang
(memakan) semua binatang buas, yang bertaring, dan
burung yang berkaki penyambar. (H.R. Muslim).

c. Al-Ijtihad.
Ijtihad sebagai sumber hukum Islam ketiga setelah Al-Qur’an
dan As-Sunnah berdasar pada :
(1) QS. 4: 59 yang berisi perintah kepada orang-orang yang
beriman agar patuh, taat terhadap ketentuan-ketentuan

96
Allah (Al-Qur’an) dan taat, mengikuti ketentuan-
ketentuan Rasul (As-Sunnah/Al-Hadits) serta taat,
mengikuti ketentuan-ketentuan Ulil Amri (Ijtihad)
(2) Dialog Rasulullah SAW dengan sahabat Mu’adz bin
Jabal, ketika ia menerima tugas sebagai Gubernur di
Yaman.

Ijtihad dapat dilakukan dengan menggunakan :


1. Ijma’
2. Qiyas
3. Istihsan.
4. Istishhab
5. Maslahah Mursalah.
6. ‘Urf (Tradisi)
7. Madzab Shohaby
8. Syar’u Man Qablana.
9. Saddud Dzari’ah

5. Kontribusi Umat Islam Dalam Perumusan dan Penegakan


Hukum.
Kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan
hukum di Indonesia nampak jelas setelah Indonesia merdeka.
Sebagai hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat,
hukum Islam telah menjadi bagian dari kehidupan bangsa
Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan
hukum semakin nampak jelas dengan diundangkannya beberapa
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hukum
Islam, misalnya :

96
 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang
Perwakafan Tanah Milik.
 Undang-Undang Nomor Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama.
 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi
Hukum Islam.
 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan
Zakat.

Penegakan hukum Islam dalam praktik bermasyarakat


dan bernegara memang melalui proses, yaitu proses kultural dan
dakwah. Apabila Islam telah memasyarakat (dipahami secara
baik) maka sebagai konsekuensinya hukum Islam harus
ditegakkan (law enforcement) melalui perjuangan legislasi.
Didalam negara yang mayoritas penduduknya muslim, kebebasan
mengeluarkan pendapat/berpikir harus ada. Hal ini diperlukan
untuk mengembangkan pemikiran hukum Islam yang betul-betul
teruji, baik dari segi pemahaman maupun segi
pengembangannya. Dalam ajaran Islam ditetapkan bahwa umat
Islam mempunyai kewajiban untuk mentaati hukum yang telah
ditetapkan Allah. Persoalannya, bagaimanakah sesuatu yang
wajib menurut hukum Islam menjadi wajib pula menurut
perundang-undangan. Hal ini jelas memerlukan proses dan waktu
untuk merealisasikannya.

B. HAK ASASI MANUSIA.


Menurut Jan Materson dan Komisi Hak Asasi Manusia PBB
bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada manusia,

96
yang tanpa dengannya manusia mustahil dapat hidup sebagai
manusia. Bahrudin Lopa memahami kalimat “mustahil dapat hidup
sebagai manusia” dengan makna “mustahil dapat hidup sebagai
manusia yang bertanggung jawab”, karena disamping manusia
memiliki hak, ia juga memiliki tanggung jawab atas segala yang
diperbuatnya. Hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan
langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta (hak-hak yang bersifat
kodrati). Oleh karena itu, tidak ada kekuasaan apapun yang dapat
mencabutnya. Meskipun demikian, bukan berarti manusia dengan
hak-haknya dapat berbuat semaunya, sebab apabila seseorang
melakukan sesuatu yang dapat dikategorikan memperkosa/merampas
hak asasi orang lain, maka ia harus mempertanggungjawabkan
perbuatannya. (Bharudin Lopa, 1996: 1).
Secara historis lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya
Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris yang intinya membatasi
kekuasaan raja-raja yang absolut. Ini merupakan embrio bagi lahirnya
monarki konstitusional. Kemudian diikuti dengan lahirnya Bill of
Rights di Inggris pada tahun 1689 yang berintikan bahwa manusia
harus diperlakukan sama di depan hukum. Prinsip ini memperkuat
dorongan timbulnya demokrasi dan negara hukum.
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai munculnya The
American Declaration of Independence yang lahir dari paham
Rousseau dan Montesquieu. Setelah itu lahir pula The French
Declaration dan The Rule of Law.
Dalam The French Declaration antara lain disebutkan bahwa
tidak boleh ada penangkapan dan penahanan yang semena-mena,
termasuk penangkapan tanpa alasan yang sah dan penahanan tanpa
surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Disamping itu
dinyatakan juga adanya presumption of innocence, artinya orang-

96
orang yang ditangkap kemudian dituduh dan ditahan berhak
dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah.
Dalam deklarasi ini juga dipertegas adanya freedom of
expression, freedom of religion, the right of property dan hak-hak
dasar lainnya. Semua hak-hak yang ada dalam berbagai instrumen
HAM tersebut kemudian dijadikan dasar pemikiran untuk melahirkan
rumusan HAM yang bersifat universal, yang kemudian dikenal
dengan The Universal Declaration of Human Right yang disahkan
PBB pada tahun 1948.
Hak-hak asasi yang dimiliki oleh manusia telah
dideklarasikan oleh ajaran Islam jauh sebelum masyarakat (Barat)
mengenalnya, melalui berbagai ayat Al-qur’an. Misalnya: manusia
tidak dibedakan karena warna kulitnya, rasnya, tingkat sosialnya dan
lain-lain. Allah menjamin dan memberi kebebasan pada manusia
untuk hidup dan merasakan kenikmatan dari kehidupan, bekerja dan
menikmati hasil usahanya, memilih agama yang diyakininya dan
lain-lain.

Perbedaan Prinsip Antara Konsep HAM Dalam Pandangan Islam


dan Barat.
Ada beberapa prinsip antara hak-hak asasi manusia dilihat
dari sudut pandangan Barat dan Islam. Hak asasi manusia menurut
pemikiran Barat semata-mata bersifat antroposentris, artinya segala
sesuatu berpusat kepada manusia. Dengan demikian manusia sangat
dipentingkan. Sebaliknya, hak-hak asasi manusia dilihat dari sudut
pandang Islam bersifat teosentris, artinya segala sesuatu berpusat
kepada Tuhan. Dengan demikian Tuhan Allah menjadi sentral.

96
Pemikiran Barae menempatkan manusia pada posisi bahwa
manusialah yang menjadi tolok ukur segala sesuatu dan manusia
adalah ciptaan Allah untuk mengabdi kepadanya. Disinilah letak
perbedaan yang fundamental antara hak-hak asasi manusia menurut
pola pemikiran Barat dengan hak-hak asasi manusia menurut pola
ajaran Islam. Makna teosentris bagi orang Islam adalah manusia
pertama-tama harus meyakini ajaran pokok Islam yang dirumuskan
dalam dua kalimah syahadat, barulah manusia melakukan perbuatan-
perbuatan yang baik menurut isi keyakinannya itu. (M. Daud Ali,
1995: 304).
Uraian diatas, sepintas menunjukkan bahwa seakan-akan
dalam Islam manusia tidak mempunyai hak-hak asasi. Dalam konsep
Islam seseorang hanya mempunyai kewajiban-kewajiban kepada
Allah karena ia harus mematuhi hukum-hukum-Nya, namun secara
paradoks di dalam tugas-tugas inilah terletak semua hak dan
kemerdekaannya. Menurut Islam, manusia mengakui hak-hak dari
manusia lain, karena hal ini merupakan sebuah kewajiban yang
dibebankan oleh hukum agama untuk mematuhi Allah. Karena itu
hak-hak asasi manusia dalam Islam tidak semata-mata menekankan
kepada hak asasi manusia saja, tetapi hak-hak itu dilandasi kewajiban
asasi manusia untuk mengabdi kepada Allah sebagai Penciptanya.
(A.K. Brohi, 1982: 204).
Kewajiban dalam Islam dapat dibedakan menjadi dua
macam: yaitu huququllah (hak-hak Allah) dan huququl ‘ibad (hak-
hak manusia). Hak-hak Allah adalah kewajiban-kewajiban manusia
terhadap Allah SWT yang diwujudkan dalam berbagai ritual ibadah,
sedangkan hak-hak asasi manusia merupakan kewajiban-kewajiban
manusia terhadap sesamanya dan terhadap makhluk-makhluk Allah
lainnya. Hak-hak Allah tidak berarti bahwa hak-hak yang dimintai

96
oleh Allah karena bermanfaat bagi Allah, tetapi hak-hak itu
bersesuaian dengan hak-hak makhluk-Nya. (Syaukat Husen, 1996: 54).
Prinsip-prinsip HAM yang tercantum dalam Universal
Declaration of Human Right (UDoHR) semua telah terlukiskan
dalam berbagai ayat Al-qur’an dan Sunnah Rasul SAW antara lain :
 Martabat dan kemuliaan manusia. Al Qur’an menyebutkan
bahwa manusia mempunyai kemuliaan dan martabat yang tinggi
dibandingkan dengan makhluk yang lain, sehingga manusia
diberi kebebasan untuk hidup dan merasakan kenikmatan dalam
kehidupannya. (QS. 17: 33, QS. 5: 52). Perhatikan pula UDoHR
Pasal 1 dan 3.
 Prinsip Persamaan. Pada dasarnya semua manusia sama, karena
semuanya adalah hamba Allah, yang membedakan manusia
(lebih tinggi derajatnya) dari lainnya adalah ketakwaannya
kepada Allah (QS. 49: 13). Lihat : UDoHR Pasal 6 dan 7.
 Prinsip Kebebasan Menyatakan Pendapat. Al-Qur’an
memerintahkan kepada manusia agar mau dan berani
menggunakan akal pikiran mereka terutama untuk menyatakan
pendapat yang benar. Perintah ini secara khusus ditujukan kepada
manusia yang beriman agar berani menyatakan kebenaran secara
benar dan penuh tanggung jawab. Lihat: UDoHR, Pasal 19.
 Prinsip Atas Jaminan Sosial. Dalam Al-Qur’an banyak dijumpai
ayat-ayat yang menjamin tingkat dan kualitas hidup minimum
bagi seluruh masyarakat, antara lain : Kehidupan fakir miskin
harus diperhatikan terutama oleh mereka yang punya (QS. 51: 19,
QS. 70: 24), kekayaan tidak boleh dinikmati dan hanya berputar
diantara orang-orang kaya saja (QS. 104: 20, QS. 9: 60).
Sehingga tujuan zakat antara lain adalah untuk melenyapkan
kemiskinan dan menciptakan pemerataan pendapatan bagi

96
segenap anggota masyarakat. Lihat pasal 22 dari UDoHR, yang
berbunyi : “Setiap orang sebagai anggota masyarakat mempunyai
hak atas jaminan sosial ….”
 Hak Atas Harta Benda. Dalam hukum Islam hak milik seseorang
sangat dijunjung tinggi. Sesuai dengan harkat dan martabat,
jaminan dan perlindungan terhadap hak milik seorang merupakan
kewajiban penguasa / pemerintah. Oleh karena itu, siapapun juga
bahkan pemerintah sekalipun tidak diperbolehkan merampas hak
milik orang lain, kecuali untuk kepentingan umum menurut tata
cara yang telah ditentukan lebih dahulu (M. Daud Ali, 1995: 316)
Pasal 17 dari UDoHR menyatakan : (1) Setiap orang berhak
mempunyai hak milik, baik sendiri maupun bersama orang lain.
(2) Tidak seorangpun hak miliknya boleh dirampas dengan
sewenang-wenang.

C. DEMOKRASI DALAM ISLAM.


Kedaulatan mutlak dan Keesaan Tuhan yang terkandung
dalam konsep tauhid dan peranan manusia yang terkandung dalam
konsep khalifah memberikan kerangka yang dengannya para
cendekiawan belakangan ini mengembangkan teori politik tertentu
yang dapat dianggap demokratis. Dalam penjelasan mengenai
demokrasi dalam kerangka konseptual Islam, banyak perhatian
diberikan pada beberapa aspek khusus dari tanah sosial dan politik.
Demokrasi Islam dianggap sebagai sistem yang mengukuhkan
konsep-konsep islami yang sudah lama berakar, yaitu musyawarah ,
konsesnsus (ijma’) dan ijtihad. (John L. Esposito & John O’Voll,
1999: 33)
Masalah musyawarah ini dengan jelas telah disebutkan dalam
QS. 42: 28, yang berisi perintah kepada para pemimpin dalam

96
kedudukan apapun untuk menyelesaikan urusan mereka yang
dipimpinnya dengan cara bermusyawarah. Dengan demikian tidak
akan terjadi kesewenang-wenangan dari seorang pemimpin terhadap
rakyat yang dipimpinnya. Oleh karena itu, perwakilan rakyat sebuah
negara Islam tercermin terutama dalam doktrin musyawarah (syura).
Disamping musyawarah ada hal lain yang sangat penting
dalam masalah demokrasi, yakni “konsensus atau ijma’”. Dalam
pengertian yang lebih luas, konsensus dan musyawarah sering
dipandang sebagai landasan yang efektif bagi demokrasi Islam
modern. Konsep konsensus memberikan dasar bagi penerimaan
sistem yang mengakui suara mayoritas. Beberapa cendekiawan
kontemporer menyatakan bahwa karena tidak ada rumusan yang pasti
mengenai struktur negara dalam Al-Qur’an, legitimasi negara
bergantung kepada sejauh mana organisasi dan kekuasaan negara
mencerminkan kehendak umat, sebab legitimasi pranata-pranata
negara tidak berasal dari sumber tekstual, tetapi terutama didasarkan
pada prinsip ijma’. (John L. Esposito & O Voll, 1999: 34).
Selain syura dan ijma’ ada konsep yang sangat penting dalam
proses demokrasi Islam, yaitu Ijtihad. Ini merupakan langkah kunci
menuju penerapan perintah Allah berkaitan dengan tempat dan
waktu. Khursyid Ahmad menyatakan bahwa “Allah hanya
mewahyukan prinsip-prinsip utama dan memberi manusia kebebasan
untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut dengan arah yang sesuai
dengan semangat dan keadaan zamannya (Khursyid Ahmad, 1976:
43).
Dalam pengertian politik murni, Muhammad Iqbal dalam
tulisannya menegaskan tentang hubungan antara konsensus,
demokratisasi, dan ijtihad, bahwa tumbuhnya semangat republik dan
pembentukan secara bertahap majelis-majelis legislatif di negara-

96
negara muslim merupakan langkah awal yang besar. Pengalihan
wewenang ijtihad dari individu-individu berbagai madzhab kepada
suatu majelis legislatif muslim, yang dalam kondisi kemajemukan
madzhab merupakan satu-satunya bentuk ijma’ yang dapat diterima
di zaman modern, akan menjamin kontribusi dalam pembahasan
hukum dari kalangan rakyat yang memang memiliki wawasan yang
tajam. (Muhammad Iqbal, 1968: 173).
Dalam kaitan ini M. Iqbal juga berpendapat bahwa bentuk
pemerintahan republik tidak hanya sesuai dengan semangat Islam,
tetapi merupakan suatu keharusan, mengingat munculnya kekuatan-
kekuatan baru yang menyerukan kebebasan di dunia Islam
(Muhammad Iqbal, 1968: 157).

Kesimpulan.
Berbicara mengenai Hak Asasi Manusia berarti berbicara
pula mengenai Hak atau kebebasan manusia dalam melakukan segala
perbuatan sesuai dengan kehendaknya, jika perbuatan tersebut
melanggar syariat, maka alasan pertama yang di keluarkan adalah
Hak Asasi Manusia, ini merupakan doktrin Barat yang hamper
mendarah danging di masyarakat kita.
Kebebasan dalam islam bukan berarti bebas tanpa batas
sebagaimana yang di pahami orang Barat, kebebasan dalam islam
adalah kebebasan dalam “Memilih” atau “khiyar” antara yang baik
dengan yang buruk, Allah memberitahukan kepada manusia lewat al-
Quran bahwa ini baik dan itu buruk, setelah itu Allah memberi
kebebasan kepada manusia untuk memilih, memilih yang baik
konsekwensinya adalah mendapat pahala dari Allah.sedangkan
memilih yang buruk konsekwensinya adalah mendapat dosa dan
adzab dari Allah.

96
sumber hokum bagi ummat islam adalah al-Quran dan al-
Hadist sebab keduanya itu merupakan dalil yang otentik,
kebenarannya di jamin mutlak dan tidak mungkin terjadi perubahan
kandungan –kandungannya, kandungan al-Quran bersifat absolut
yang berfungsi sebagai pengendali atau pengarah terhadap adillatul,
ahkam yang lain.

96
DAFTAR PUSTAKA.

Lopa, Baharuddin, al-Quran dan Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta PT


Dana Bhakti Prima Yasa, 1999).
Madjid, Nurcholis, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, Paramadina,
Jakarta, 1999.
Mauluddin, Ambivalensi Masyarakat Madani, Jawa Post 17 Maret
1999.
Muhammad Hasyim, Munuju Masyarakat Madani, (CV. Cempaka,
Surabaya, 1992.
Muhammad as Hikam, Demokrasi dan Civil Society, ( Pustaka
LP3ES, Jakarta. 19966).
Nurcholis Madjid, Menuju Masyarakat Madani, jurnal Ulumul Quran
No.2/v/II/ 1996.
Nurcholis Madjid, Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi:
Tantangan dan kemungkinan, Republika, 9 agustus 1999.
Praja, Juhaya, S, Epistimologi Hukum Islam, Disertasi, Jakarta IAIN,
1998.

96
Pertanyaan :
1. Jelaskan fungsi hokum islam dalam kehidupan bermasyarakat ?
2. Apakah memungkinkan Hukum islam diterapkan di Negara
Indonesia ? jelaskan pendapat Saudara !
3. Jelaskan perbedaan dan persamaan antara HAM dalam perspektif
islam dan HAM dalam perspektif Barat ?
4. Jelaskan prinsip-prinsip Musyawarah dan ijma’ ?
5. Jelaskan beberapa prinsip Demokrasi dalam islam ?

96
LEMBAR JAWABAN TUGAS

Nama Mahasiswa :………………………...


NPM :………………………...
Jurusan :………………………...
Kelas :………………………...

96
BAB VI
ILMU PENGETAHUAN,
TEKNOLOGI DAN SENI DALAM ISLAM

Sasaran Pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menjelaskan pengertian IPTEKS dalam islam.
2. Menyebutkan sumber pengembangan IPTEKS dalam islam.
3. Menjelaskan keutamaan dan tanggung jawab ilmuwan terhadap
lingkungan.
4. Mengintegrasikan antara iaman, Iptek dan amal.

Kompetensi :
Dapat menjelaskan IPTEKS dan pengembangannya menurut islam dan
dapat mengintegrasikan antara iman, IPTEKS dan amal.

A.KONSEP IPTEKS DALAM ISLAM


Ipteks adalah singkatan dari ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni. Berbagai definisi tentang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
telah banyak diberikan oleh para filosof, ilmuwan dan budayawan
sesuai dengan bidang keahlian mereka masing-masing.
Dalam sudut pandang filsafat ilmu, pengetahuan dan ilmu
sangat beda maknanya. Ilmu adalah pengetahuan yang sudah
diklasifikasikan, disistematisasi, dan diinterpretasikan sehingga
menghasilkan kebenaran obyektif serta sudah diuji kebenarannya
secara ilmiah, sedangkan pengetahuan adalah apa saja yang diketahui
oleh manusia atau segala sesuatu yang diperoleh manusia baik
melalui pancaindera, intuisi, pengalaman maupun firasat.

96
Jadi ilmu pengetahuan atau sains adalah himpunan
pengetahuan manusia yang dikumpulkan melalui proses pengkajian
dan dapat dinalar atau dapat diterima oleh akal. Dengan kata lain
sains dapat didefinisikan sebagai kumpulan rasionalisasi kolektif
insani atau sebagai pengetahuan yang sudah sistimatis (science is
systematic knowledge). Dalam pemikiran sekuler, sains mempunyai
tiga karakteristik, yaitu obyektif, netral dan bebas nilai, sedangkan
dalam pemikiran Islam, sains tidak boleh bebas nilai, baik nilai lokal
maupun nilai universal.
Dalam pemikiran Islam ada dua sumber ilmu yaitu akal dan
wahyu. Keduanya tidak boleh dipertentangkan. Ilmu yang bersumber
dari wahyu Allah bersifat abadi (perennial knowledge) dan tingkat
kebenaran mutlak (absolute). Sedangkan ilmu yang bersumber dari
akal pikiran manusia bersifat perolehan (aquired knowledge), tingkat
kebenaran nisbi (relative), oleh karenanya tidak ada istilah final
dalam suatu produk ilmu pengetahuan, sehingga setiap saat selalu
terbuka kesempatan untuk melakukan kajian ulang atau perbaikan
kembali.
Selanjutnya teknologi adalah ilmu tentang cara menerapkan
ilmu pengetahuan untuk kemaslahatan dan kenyamanan manusia.
Dengan demikian mesin atau alat canggih yang dipergunakan
bukanlah teknologi, tetapi merupakan hasil dari teknologi.
Teknologi dapat membawa dampak positif berupa kemajuan
dan kesejahteraan bagi manusia juga sebaliknya dapat membawa
dampak negatif berupa ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan
manusia dan lingkungannya yang berakibat kehancuran alam
semesta. Pada dasarnya teknologi juga memiliki karakteristik
obyektif dan netral, tetapi dalam situasi tertentu teknologi tidak netral
lagi karena memiliki potensi untuk merusak dan potensi kekuasaan.

96
Oleh karena itu penguasaan, pengembangan dan pendayagunaan
Iptek harus senantiasa berada dalam jalur nilai-nilai keimanan dan
kemanusiaan.
Iptek dan segala hasilnya dapat diterima oleh Islam manakala
bermanfaat bagi kehidupan manusia. Jika penggunaan hasil Iptek
akan melalaikan seseorang dari dzikir dan tafakur, serta
mengantarkan kepada rusaknya nilai-nilai kemanusiaan, maka bukan
hasil teknologinya yang ditolak, melainkan manusianya yang harus
diperingatkan dan diarahkan dalam menggunakan teknologi. Dan
apabila Iptek sejak semula diduga dapat menggeserkan manusia dari
jati diri dan tujuan penciptaan, maka sejak dini pula kehadirannya
ditolak oleh Islam.
Adapun tentang seni, dalam teori ekspresi disebutkan bahwa
“Art is an expression of human feeling” artinya seni adalah suatu
pengungkapan perasaan manusia. Seni merupakan ekspresi jiwa
seseorang dan hasil dari ekspresi jiwa tersebut berkembang menjadi
bagian dari budaya manusia. Seni identik dengan keindahan,
keindahan yang hakiki identik dengan kebenaran, dan keduanya
memiliki nilai yang sama yaitu keabadian. Dan seni yang lepas dari
nilai-nilai ketuhanan tidak akan abadi karena ukurannya adalah hawa
nafsu buka akal dan budi.
Islam sebagai agama yang mengandung ajaran, moral, aqidah
dan syariah, senantiasa mengukur segala sesuatu (benda-benda, karya
seni, aktivitas dll) dengan pertimbangan-pertimbangan ketiga aspek
tersebut. Oleh karenanya seni yang bertentangan dan atau merusak
moral, aqidah dan syariat, tidak akan diakui sebagai sesuatu yang
bernilai seni. Dengan demikian semboyan seni untuk seni tidak dapat
diterima dalam Islam.

96
Dalam perspektif Islam, Ilmu pengetahuan, Teknologi dan
Seni, merupakan pengembangan potensi manusia yang telah
diberikan oleh Allah berupa akal dan budi. Prestasi gemilang dalam
pengembangan Ipteks, pada hakekatnya tidak lebih dari sekedar
menemukan bagaimana proses sunnatullah itu terjadi di alam semesta
ini, bukan merancang atau menciptakan hukum baru di luar
sunnatullah (hukum alam hukum Allah). Dan seharusnyalah temuan-
temuan baru di bidang Ipteks membuat manusia semakin
mendekatkan diri pada Allah, bukan semakin angkuh dan
menyombongkan diri.
Sumber pengembangan Ipteks dalam Islam adalah wahyu
Allah. Ipteks yang Islami selalu mengutamakan dan mengedepankan
kepentingan orang banyak dan kemaslahatan bagi kehidupan umat
manusia. Untuk itu Ipteks dalam pandangan Islam tidak bebas nilai.

B. INTEGRASI IMAN, ILMU DAN AMAL


Didalam Al Qur’an surat Ibrahim: 24-25, Allah telah
memberikan ilustrasi indah tentang integritas antara iman, ilmu dan
amal. Ayat tersebut menggambarkan keutuhan antara iman, ilmu dan
amal atau aqidah, syariat dan akhlak dengan menganalogkan
bangunan Dinul Islam bagaikan sebatang pohon yang baik. Iman
diidentikkan dengan akar sebuah pohon yang menopang tegaknya
ajaran Islam. Ilmu bagaikan batang pohon yang mengeluarkan dahan-
dahan dan cabang-cabang ilmu pengetahuan, sedangkan amal ibarat
buah dari pohon identik dengan teknologi dan seni.
Ipteks yang dikembangkan di atas nilai-nilai iman dan ilmu
akan menghasilkan amal sholeh dan perbuatan baik tidak akan
bernilai amal sholeh apabila perbuatan tersebut tidak dibangun diatas
nilai iman dan ilmu yang benar. Iptek yang lepas dari keimanan dan

96
ketakwaan tidak akan bernilai ibadah serta tidak akan menghasilkan
kemaslahatan bagi umat manusia dan alam lingkungannya bahkan
akan menjadi malapetaka bagi kehidupan manusia.

C. KEUTAMAAN ORANG YANG BERILMU


Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling
sempurna. Kesempurnaan karena dibekali dengan seperangkat
potensi, dan potensi yang paling utama adalah akal, dengan akalnya
manusia mampu melahirkan berbagai macam ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni. Bagi orang-orang yang berakal dan senantiasa
bernalar untuk mengembangkan ilmunya, Allah menyebutnya dengan
sebutan Ulil Albab (QS. Ali Imron: 190).
Tentang keutamaan orang yang berilmu, didalam Al Qur’an
Surat Al Mujadalah : 11, Allah menjanjikan akan mengangkat derajat
orang-orang yang beriman dan berilmu. Derajat yang diberikan Allah
bisa berupa kemuliaan pangkat, kedudukan, jabatan, harta dan
kelapangan hidup. Jika manusia ingin mendapatkan derajat yang
tinggi dari Allah maka manusia harus berupaya semaksimal mungkin
meningkatkan kualitas keimanannya dan keilmuannya dengan penuh
keikhlasan dan hanya untuk mencari ridlo Allah semata.
Imam Al Ghozali juga mengatakan “Barang siapa yang
berilmu, akan dapat membimbing dirinya memanfaatkan ilmunya
bagi orang lain, bagaikan matahari , selain menerangi dirinya, juga
menerangi orang lain. Dia bagaikan minyak kasturi yang harum dan
menyebarkan pesona keharumannya kepada orang yang berpapasan
dengannya.

96
D. TANGGUNG JAWAB ILMUWAN TERHADAP ALAM
LINGKUNGANNYA
Ada dua fungsi utama manusia di dunia yaitu sebagai Abdun
(hamba Allah) dan sebagai Khalifah Allah di bumi. Esensi dari
Abdun adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan kepada kebenaran
dan keadilan Allah, sedangkan esensi dari Kholifah adalah tanggung
jawab terhadap dirinya dan alam lingkungannya, baik lingkungan
sosial maupun lingkungan alam.
Dalam kontek Abdun, manusia menempati posisi sebagai
ciptaan Allah yang memiliki konsekuensi adanya keharusan manusia
untuk taat dan patuh kepada penciptanya. Keengganan manusia
menghambakan diri kepada Allah sebagai pencipta dirinya akan
menghilangkan rasa syukur atas anugerah yang diberikan sang
pencipta kepadanya. Dengan hilangnya rasa syukur mengakibatkan
manusia menghamba kepada selain Allah, termasuk menghambakan
diri kepada hawa nafsunya. Keikhlasan manusia menghambakan
dirinya kepada Allah akan mencegah penghambaan manusia kepada
sesama manusia termasuk kepada dirinya.
Fungsi yang kedua adalah sebagai khalifah (wakil Allah) di
muka bumi. Dalam posisi ini manusia mempunyai tanggung jawab
untuk menjaga keseimbangan alam dan lingkungannya tempat
mereka tinggal. Manusia diberikan kebebasan untuk mengeksploitasi,
menggali sumber-sumber alam, serta memanfaatkannya dengan
sebesar-besarnya untuk kemanfaatan umat manusia, asalkan tidak
berlebih-lebihan dan melampaui batas. Karena pada dasarnya alam
beserta isinya ini diciptakan oleh Allah adalah untuk kehidupan dan
kemaslahatan manusia.
Untuk menggali potensi alam dan pemanfaatannya
diperlukan ilmu pengetahuan yang memadai. Hanya orang-orang

96
yang memiliki ilmu pengetahuan yang cukup (para ilmuwan atau
para cendikiawan) yang sanggup menggali dan memberdayakan
sumber-sumber alam ini. Akan tetapi para ilmuwan juga harus sadar
bahwa potensi sumber daya alam ini terbatas dan akan habis terkuras
apabila tidak dijaga keseimbangannya. Oleh karena itu tanggung
jawab memakmurkan, melestarikan, memberdayakan dan menjaga
keseimbangan alam semesta banyak bertumpu pada para ilmuwan
dan cendekiawan. Mereka mempunyai amanat atau tanggung jawab
yang lebih besar dibandingkan dengan orang-orang yang tidak
mempunyai ilmu pengetahuan.
Kerusakan alam dan lingkungan ini lebih banyak disebabkan
oleh karena ulah tangan manusia sendiri (QS. Ar Rum : 41). Mereka
banyak yang mengkhianati perjanjiannya sendiri kepada Allah.
Mereka tidak menjaga amanat sebagai kholifah yang bertugas untuk
menjaga, melestarikan alam ini. Justru mengesploitir alam ini untuk
kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Kedua fungsi manusia tersebut tidak boleh terpisah, artinya
keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang seharusnya
diaktualisasikan dalam kehidupan manusia. Jika hal tersebut dapat
dilakukan secara terpadu maka akan dapat mewujudkan manusia
yang idial (Insan Kamil) yakni manusia sempurna yang pada
akhirnya akan memperoleh keselamatan hidup dunia dan akhirat.

Kesimpulan.
Al-Quran memerintahkan manusia untuk terus berupaya
meningkatkan kemampuan ilmiahnya, jangankan manusia biasa.
Rasulullah Muhammad SAW pun di perintahkan agar berusaha dan
berdo’a agar selalu di tambah pengetahuannya : Robbi zidni ilma
warzuqni fahma watawaffani muslimin. Yang artinya : Tuhanku

96
tambahkanlah untukku ilmu, tambahkanlah untukku faham terhadap
ilmu, dan matikanlah aku dalam keadaan muslim.
Hal ini dapat menjadi pemicu manusia untuk terus
mengembangkan teknologi dengan memanfaatkan anugerah Allah
yang di limpahkan kepadanya. Hanya saja manusia dapat berusaha
mengarahkan diri agar tidak memperturutkan nafsunya untuk
mengumpulkan harta dan ilmu/teknologi yang dapat membahayakan
dirinya, Agar ia tidak menjadi seperti kepompong yang
membahayakan dirinya sendiri karena kepandaiannya.

DAFTAR PUSTAKA.

Sidi Gazalba, Ilmu, Filsafat dan Islam Tentang Manusia dan Agama.
Jakarta : Bulan Bintang, 1978.
Wardiman Djojonegoro, “Pembinaan Nilai Islam dalam
Pengembangan Budaya Nasional” dalam Aswab Mahasin dkk.
Ruh Islam dalam Budaya Bangsa (Jakarta : Bina Rena
Pariwara, 1996).
Iqbal, Muhammad, Membangun kembali Pikiran Agama dalam Islam,
Jakarta, Tintamas, 1966.
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi ( Jakarta : Aksara Baru,
1982).
Khan, Walduddin, Islam Menjawab Tantangan Zaman, Bandung :
Penerbit Pustaka, 1993.

96
Pertanyaan :
1. Jelaskan pengertian ilmu pengetahuan, teknologi dan seni ?
2. Berilah ilustrasi tentang integrasi antara iman, ilmu dan amal ?
3. Jelaskan bagaimana profil orang yang beriman mengembangkan
iptek yang islami ?
4. Pada prinsipnya perkembangan iptek dalam islam untuk
kesejahteraan,keseimbangan dan kemasalahatan umat manusia!
Jelaskan mengapa iptek selama ini tidak seperti yang
diharapkan !Faktor apa yang menyebabkan kondisi tersebut
terjadi ?
5. Sebutkan dan jelaskan dampak positif dan negative dari
perkembangan iptek dijaman modern ini ?
6. Bagaimana anda menjelaskan jika ada orang yang berpendapat
bahwa agama islam itu menghambat kemajuan iptek ?

96
LEMBAR JAWABAN TUGAS

Nama Mahasiswa :………………………...


NPM :………………………...
Jurusan :………………………...
Kelas :………………………...

96
BAB VII
KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA

Sasaran Pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, mahsiswa diharapkan dapat :
1. Menjelaskan ajaran agama islam sebagai Rahmatan Lil Alamin.
2. Menjelaskan makna Ukhuwah Islamiyah dan Ukhuwah
Insaniyah.
3. Menjelaskan upaya membangun ukhuwah dan menghilangkan
penyakit ukhuwah.
4. Menjelaskan perbedaan antara pluralitas dan pluralism agama.

Kompetensi :
Dapat menerapkan toleransi antar agama dalam masyarakat multikultural.

A.AGAMA ISLAM MERUPAKAN RAHMAT BAGI SELURUH


ALAM
Setiap agama di dunia kebanyakan mengambil nama dari
penemunya atau tempat dimana agama tersebut dilahirkan dan
dikembangkan, sebagaimana agama Nasrani yang mengambil nama
dari tempat Nazareth, agama Budha yang berasal dari nama
pendirinya, Budha Gautama. Tetapi tidaklah demikian untuk agama
Islam. Agama Islam tidak mempunyai hubungan dengan orang,
tempat atau masyarakat tertentu dimana agama ini dilahirkan atau
disiarkan.
Agama Islam adalah agama yang Allah turunkan sejak
manusia pertama, Yaitu Nabi Adam as kemudian Allah turunkan

96
secara berkesinambungan kepada para Nabi dan Rosul berikutnya.
Akhir dari penurunan agama Islam itu terjadi pada masa kerasulan
Muhammad SAW pada awal abad ke VII Masehi.
Ketika Islam mulai disampaikan oleh Rasulullah SAW
kepada masyarakat Arab dan beliau mengajak masyarakat untuk
menerima dan mentaati ajaran Islam, tanggapan yang mereka
sampaikan para Rasulullah adalah sikap heran, aneh dan ganjil. Islam
dianggapnya sebagai ajaran yang menyimpang dari tradisi leluhur
yang telah mendarah daging bagi masyarakat Arab, yang telah
mereka taati secara turun menurun, dan mereka tidak mau tahu
apakah tradisi tersebut salah atau benar. (Dijelaskan dalam QS. Al
Baqarah: 170). Dan didalam sebuah hadits juga digambarkan, bahwa
Islam datangnya dianggap asing dan akan kembali dianggap asing,
namun berbahagialah orang yang dianggap asing tersebut.
Kata Islam berarti damai, selamat, penyerahan diri, tunduk
dan patuh. Pengertian tersebut menunjukkan bahwa agama Islam
adalah agama yang mengandung ajaran untuk menciptakan
kedamaian, keselamatan dan kesejahteraan bagi kehidupan umat
manusia pada khususnya dan semua makhluk Allah pada umumnya.
Inilah yang disebut fungsi rahmatal lil alamin.
Fungsi Islam sebagai agama rahamatal lil alamin tidak
tergantung pada penerimaan atau penilaian manusia. Substansi
rahmat terletak pada fungsi ajarannya tersebut, dan fungsi itu baru
akan terwujud dan dapat dirasakan oleh manusia sendiri maupun oleh
makhluk-makhluk yang lain, apabila manusia sebagai pengembang
amanat Allah telah dapat mentaati dan menjalankan aturan-aturan
ajaran Islam dengan benar dan kaaffah. Fungsi Islam sebagai rahmat
dan bukan sebagai agama pembawa bencana, dijelaskan oleh Allah
dalam Al Qur’an Surat Al Anbiya’ : 170. Yang artinya: “Dan tidaklah

96
Kami mengutus kamu Muhammad, melainkan untuk menjadi rahmat
bagi semesta alam”. Sedangkan bentuk-bentuk kerahmatan Allah
pada ajaran Islam itu adalah :
1.Islam menunjukkan manusia jalan hidup yang benar.
2.Islam memberikan kebebasan kepada manusia untuk menggunakan
potensi yang diberikan oleh Allah secara tanggung jawab.
3.Islam menghormati dan menghargai semua manusia sebagai hamba
Allah, baik mereka muslim maupun non muslim.
4.Islam mengatur pemanfaatan alam secara baik dan proporsional.
5.Islam menghormati kondisi spesifik individu manusia dan
memberikan perlakuan yang spesifik pula, dll.

D. UKHUWAH ISLAMIYAH DAN UKHUWAH INSANIYAH


Kata ukhuwah berarti persaudaraan, maksudnya adanya
perasaan simpati dan empati antara dua orang atau lebih. Masing-
masing pihak memiliki satu kondisi atau perasaan yang sama, baik
sama suka maupun duka, baik senang maupun sedih. Jalinan perasaan
ini menimbulkan sikap timbal balik untuk saling membantu bila
pihak lain mengalami kesulitan, dan sikap saling membagi
kesenangan kepada pihak lain bila salah satu pihak menemukan
kesenangan.
Ada dua macam ukhuwah yang seharusnya mendapatkan
perhatian khusus bagi manusia :
a. Ukhuwah Islamiyah, yaitu persaudaraan yang berlaku
antar sesama umat Islam atau persaudaraan yang diikat oleh
aqidah/keimanan, tanpa membedakan golongan, selama
aqidahnya sama (laa ilaaha illahllah) maka itu adalah saudara kita
dan harus kita jalin dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana
dijelaskan Allah SWT dalam Al Qur’an Surat Al Hujurat ayat 10,

96
yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu
adalah saudara, oleh karena itu pereratlah simpul persaudaraan
diantara kamu, dan bertaqwalah kepada Allah, mudah-mudahan
kami mendapatkan rahmat”.
Dari ayat diatas jelas bahwa kita sesama umat Islam ini
adalah saudara, dan harus / wajib menjalin terus persaudaraan
diantara sesama umat Islam, artinya marilah yang saudara kita
jadikan saudara dan janganlah saudara kita anggap sebagai
musuh, hanya karena masalah-masalah sepele / kecil yang tidak
berarti. Jika itu kita lakukan maka akan terjadi permusuhan yang
pada akhirnya mengancam Ukhuwah Islamiyah yang pada
akhirnya dapat melumpuhkan kerukunan dan keutuhan bangsa.
b. Ukhuwah Insaniyah / Badriyah, yaitu persaudaraan yang
berlaku pada semua manusia secara universal tanpa membedakan
agama, suku ras, dan aspek-aspek kekhususan lainnya. Atau
persaudaraan yang diikat oleh jiwa kemanusiaan, maksudnya kita
sebagai manusia harus dapat memanusiakan manusia dan
mempromosikan atau memandang orang lain dengan penuh rasa
kasih sayang, selalu melihat kebaikannya bukan kejelekannya.
Ukhuwah Insaniyah ini harus dilandasi oleh ajaran bahwa
semua umat manusia adalah makhluk Allah. Sekalipun Allah
memberikan petunjuk kebenaran melalui ajaran Islam, tetapi
Allah juga memberikan kebebasan kepada setiap manusia untuk
memilih jalan hidup berdasarkan atas pertimbangan rasionya.
Jika ukhuwah Insaniyah, tidak dilandasi dengan ajaran agama
(keimanan dan ketaqwaan), maka yang akan muncul adalah jiwa
kebinatangan yang penuh keserakahan dan tak kenal halal haram,
bahkan saling bunuh / kanibal terhadap sesamanya. Tidak salah

96
jika Thomas Hobbes mengatakan bahwa Manusia adalah Homo
homini lopus artinya manusia adalah serigala bagi manusia lain.

E. KEBERSAMAAN DALAM PLURALITAS AGAMA


Pada era globalisasi sekarang ini, umat beragama dihadapkan
kepada serangkaian tantangan baru yang tidak terlalu berbeda dengan
yang pernah dialami sebelumnya. Pluralitas agama adalah fenomena
nyata yang ada dalam kehidupan. Pluralitas merupakan hukum alam
(sunnatullah) yang mensti terjadi dan tidak mungkin terelakkan. Ia
sudah merupakan kodrati dalam kehidupan. Dalam QS. Al Hujurat
(49): 13, Allah menggambarkan adanya indikasi yang cukup kuat
tentang pluratitas tersebut.
Namun, pluralitas tidak semata menunjukkan pada kenyataan
adanya kemajemukan, tetapi lebih dari itu adanya keterlibatan aktif
terhadap kenyataan adanya pluralitas tersebut. Pluralitas agama dapat
kita jumpai dimana-mana, seperti didalam masyarakat tertentu, di
kantor tempat kerja, di pasar tempat belanja, di perguruan tinggi
tempat belajar dan sebagainya. Seorang baru dikatakan memiliki
sikap keterlibatan aktif dalam pluralitas apabila dia dapat berinteraksi
secara positif dalam lingkungan kemajemukan. Dengan kata lain
pemahaman pluralitas agama menuntut sikap pemeluk agama untuk
tidak hanya mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi juga
harus terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna
mencapai kerukunan dan kebersamaan.
Bila dikaji, eksistensi manusia dalam kerukunan dan
kebersamaan ini, diperoleh pengertian bahwa arti sesungguhnya dari
manusia bukan terletak pada akunya, tetapi pada kitanya atau pada
kebersamaannya. Kerukunan dan kebersamaan ini bukan hanya harus

96
tercipta intern seagama tetapi yang lebih penting adalah antar umat
yang berbeda agama di dunia (pluralitas agama).
Dalam mewujudkan kerukunan dan kebersamaan dalam
pluralitas agama, didalam QS. An Naml (16) : 125, menganjurkan
dialog dengan baik. Dalam dialog seorang muslim hendaknya
menghindari mengklaim dirinya sebagai orang yang berada dalam
pihak yang benar. Dialog tersebut dimaksudkan untuk saling
mengenal dan saling membina pengetahuan tentang agama kepada
mitra dialog. Dialog tersebut dengan sendirinya akan memperkaya
wawasan kedua belah pihak dalam rangka mencari persamaan-
persamaan yang dapat dijadikan landasan untuk menjalin kerukunan
dalam kehidupan bermasyarakat.
Kerukunan dan kebersamaan yang didambakan dalam Islam
bukanlah yang bersifat semu, tetapi yang dapat memberikan rasa
aman pada jiwa setiap manusia. Oleh karena itu langkah pertama
yang harus dilakukan adalah mewujudkannya dalam setiap diri
individu. Setelah itu melangkah pada keluarga, kemudian masyarakat
luas dan selanjutnya pada seluruh bangsa di dunia ini. Dengan
demikian pada akhirnya dapat tercipta kerukunan, kebersamaan dan
perdamaian dunia.
Ada perbedaan yang mendasar antara kerukunan dengan
toleransi, namun antara keduanya saling memerlukan. Kerukunan
mempertemukan unsur-unsur yang berbeda, sedangkan toleransi
merupakan sikap atau refleksi dari kerukunan. Tanpa kerukunan,
toleransi tidak pernah ada, sedangkan toleransi tidak pernah
tercermin bila kerukunan belum terwujud.
Itulah konsep ajaran Islam tentang Pluralitas, kalaupun
kenyataannya berbeda dengan realitas, bukan berarti konsep

96
ajarannya yang salah, akan tetapi pelaku atau manusianyalah yang
perlu dipersalahkan.

Kesimpulan.
Dengan demikian, kerukunan antar umat beragama perlu di
pupuk dan dijujung tinggi, jika ada orang non-muslim di dekat kita
atau menjadi tetangga kita, kita tidak boleh mengucilkan atau
mencemoohkannya, apalagi sampai membunuhnya, karena islam
tidak mengajarkan hal semacam itu. Islam membolehkan memerangi
orang non muslim atau kafir jika mereka (orang kafir) memerangi
kita terlebih dahulu, tapi kalau mereka tidak menyerang, terus tiba-
tiba dibunuh, maka itu adalah dosa yang besar. Karena islam adalah
agama yang sangat menjujung tinggi nilai-nilai toleransi antar agama.

Daftar Pustaka
Daud Ali, Mohammad, Prof,H, Pendidikan Agama Islam, Jakarta :
Rajawali Press, Cetakan ke satu, 1998.
Departemen Agama RI, Buku Teks Pendidikan Agama Islam pada
perguruan tinggi umum, Jakarta : 2000.
Departemen Agama Islam, Pedoman Dasar Kerukunan Hidup
Beragama, Jakarta : Depag RI, 1980.
Nurcholis Madjid, Pintu-pintu Menuju Tuhan, Jakarta : Paramadina,
Cetakan keenam, 2002.
Tarmizi Taher, Kerukunan Hidup Umat Beragama dan Studi Agama-
agama, makalah, Yogyakarta : LPKUB IAIN Sunan Kalijaga,
1998.

96
Pertanyaan :
1. Jelaskan ungkapan bahwa islam adalah agama Rahmatan lil
Alamin ?
2. Jelaskan perbedaan antara ukhuwah islamiyah dan ukhuwah
insaniyah ?
3. Jelaskan beberapa penyakit ukhuwah yang dapat merusak sendi
kehidupan beragama ?
4. Jelaskan upaya membangun ukhuwah Islamiyah ?
5. Jelaskan perbedaan antara “Pluralitas Agama” dan “Pluralisme
Agama” ?
6. Bagaimana fatwa MUI mengenai “Pluralisme Agama” ?

96
LEMBAR JAWABAN TUGAS

Nama Mahasiswa :………………………...


NPM :………………………...
Jurusan :………………………...
Kelas :………………………...

96
BAB VIII
MASYARAKAT MADANI DAN
KESEJAHTERAAN UMAT

Sasaran Pembelajaran:
Setelah mepelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menjelaskan konsep Masyarakat Madani.
2. Menjelaskan karakteristik Masyarakat Madani.
3. Menjelaskan Peran Umat Muslim dalam Mewujudkan
Kesejahteraan Sosial.
4. Menjelaskan Peran Umat Muslim dalam Mewujudkan Masyarakat
Madani.

Kompetensi :
Dapat menjelaskan makna dan karakteristik masyarakat madani serta
mengambil peran dalam mewujudkan masyarakat madani.

A.MASYARAKAT MADANI
Diakui bahwa pemahaman tentang masyarakat madani di
Indonesia berawal pada konsep masyarakat Madinah yang dibangun
oleh Nabi Muhammad pasca hijrah. Masyarakat Madinah yang
menjadi parameter normatif historis masyarakat madani tersebut telah
melahirkan kesadaran baru pada kaum Anshar dan Muhajirin tentang
kesetaraan (musawwah), pluralisme, dan toleransi yang dibungkus
dan disatukan dengan agama Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad. Namun yang perlu diingat bahwa Nabi Muhammad
telah menanamkan nilai-nilai religiusitas (dalam hal ini adalah agama

96
Islam) kepada masyarakat Madinah secara totalitas. Pemahaman
tentang kesetaraan (egalitarian) diwujudkan dengan mengacu kepada
hukum agama yang terkandung didalam Al Qur’an dan Sunnah.
Menurut Anwar Ibrahim yang dikutip oleh Dawam Rahardjo
dalam buku “Masyarakat Madani; Agama, Kelas Menengah dan
Perubahan Sosial”, mengatakan bahwa untuk membentuk masyarakat
madani harus dan tetap bersumber kepada agama, peradaban adalah
prosesnya dan masyarakat kota adalah hasilnya. Jadi, masyarakat
madani mengandung tiga unsur pokok yaitu agama, peradaban dan
perkotaan. Menempatkan agama sebagai sumber pada masyarakat
madani merupakan suatu keniscayaan bagi masyarakat Indonesia
karena masyarakat Indonesia yang beragama – agar pemaknaan
masyarakat madani berbeda dengan civil society yang berkembang di
barat yang pada akhirnya menimbulkan masyarakat sekular dan
individual. Alasan lainnya yaitu dengan agama, bisa difahami sebagai
wahana pemersatu umat agar perbedaan-perbedaan yang muncul bisa
diminimalisir menuju pada integritas umat (ummatun wahidan).

1. Makna Sejarah Masyarakat Madani


Banyak tokoh intelektual Indonesia yang menggunakan
istilah masyarakat madani dengan mengaitkan pada konsep Islam
yaitu Nurcholis Madjid, Dawam Rahardjo, Abdul Munir Mulkan,
Thoha Hamim, Masykuri Abdillah, Aswab Machasin, Fachri Ali,
M. Hasyim Manan dan sebagainya.
Nurcholis Madjid salah seorang intelektual muslim yang
telah mempopulerkan istilah masyarakat madani dengan
mengaitkan hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah
yang sebelumnya bernama Yatsrib. Perkataan Madinah, menurut
Nurcholis Madjid, dalam bahasa Arab dapat dipahami dari dua

96
sudut pengertian: pertama secara konvensional kata Madinah
dapat bermakna sebagai “kota”, dan kedua secara kebahasaan
dapat diartikan sebagai “peradaban”; walaupun di luar kata
“madaniyah” tersebut, apa yang disebut peradaban juga
perpadanan dengan kata “tamaddun” dan “hadlarah”.
Perubahan nama kota Yatsrib menjadi Madinah, menurut
Nurcholis, pada hakekatnya adalah sebuah pernyataan niat atau
proklamasi, bahwa beliau bersama kaum Muhajirin dan Anshar
untuk mendirikan dan membangun masyarakat berperadaban di
kota tersebut. Tindakan nabi Muhammad mengganti Yatsrib
menjadi Madinah, maka beliau telah merintis dan memberi
teladan kepada umat manusia dalam membangun masyarakat
yang berperadaban di kota tersebut.
Tindakan nabi Muhammad mengganti Yatsrib menjadi
Madinah, maka beliau telah merintis dan memberi teladan kepada
umat manusia dalam membangun masyarakat yang
berperadabann (ber-“madaniyah”) karena tunduk dan patuh
(dana-yadinu) kepada ajaran kepatuhan (diin) yang dinyatakan
dalam supremasi hukum dan peraturan.
Kemudian Nurcholis mengutip pendapat Robert N.
Bellah dalam Beyond Belief yang mengatakan bahwa hasil
tatanan politik yang dibangun oleh Nabi Muhammad di Madinah
adalah suatu tatanan politik yang sangat modern, bahkan terlalu
modern untuk zaman dan tempatnya. Lebih lanjut Belah
mengatakan:
“Segi-segi modernitas Madinah itu ialah tingkat yang tinggi
dalam komitmen, keterlibatan dan partisipasi yang diharapkan
dari seluruh jajaran anggota masyarakat, dan keterbukaan
posisi kepemimpinannya terhadap ukuran kecakapan pribadi
yang dinilai atas dasar pertimbangan yang bersifat universal
dan dilambangkan dalam percobaan untuk melembagakan

96
puncak kepemimpinan yang tidak bersifat keturunan. Karena
itulah, Madinah merupakan “suatu model untuk bangunan
masyarakat nasional modern yang lebih baik daripada yang
diimajinasikan” dan menjadi “contoh sebenarnya bagi
nasionalisme partisipatoris yang egaliter. Maka usaha umat
Islam di jaman modern ini untuk menjadikan Madinah sebagai
rujukan masyarakat madani” bukanlah suatu fabrikasi ideologis
yang tidak historis”.

Dasar-dasar masyarakat madani yang dibangun nabi


Muhammad tertuang dalam sebuah dokumen “Piagam Madinah”
(Mistaqul Madinah) yang memperkenalkan wawasan kebebasan
terutama di bidang agama dan ekonomi, serta tanggung jawab
sosial dan politik, khususnya pertahanan secara bersama.
Tidak jauh berbeda dengan Nurcholis adalah M. Hasyim
yang memberikan kontribusi pemikiran tentang masyarakat
madani dengan menulis buku kecil berjudul Menuju Masyarakat
Madani. Hasyim memberikan antonim pada masyarakat madani
dengan masyarakat barbari atau badawi yang memang menjadi
kecirikhasan masyarakat Arab sebelum Nabi Muhammad lahir.
Tetapi, Hasyim membedalan masyarakat madani dengan
Madinah. Menurutnya, Madinah lebih dikenal dengan pengertian
kota (hadliroh) sebagai antonim dari kata desa (albadw). Artinya,
tidak semua masyarakat di kota (al-madinah) merupakan
masyarakat madani, atau sebaliknya juga, tidak semua
masyarakat yang tinggal di desa, merupakan masyarakat tidak
madani. Justru akan menjadi kebalikannya, mungkin masyarakat
perkotaan yang menjadi masyarakat barbari dan masyarakat
pedesaan menjadi masyarakat madani. Jadi, sebutan madani atau
tidak madani bukanlah sebutan untuk suatu wilayah, tetapi
kondisi anggota masyarakat yang memenuhi atau tidak
memenuhi syarat-syarat tertentu.

96
Pendapat Hasyim tersebut diperkuat lagi oleh Masykuri
Abdillah dalam tulisannya di harian Kompas berjudul “Islam dan
Masyarakat Madani” yang menyatakan bahwa diantara
pemahaman tentang masyarakat madani yang dikaitkan dengan
Islam tetapi menurutnya kurang tepat adalah (1) masyarakat
madani diidentikkan dengan masyarakat Madinah pada masa
Nabi, (2) masyarakat madani disamakan dengan peran Nabi
sebagai kepala negara, (3) masyarakat madani diidentikkan
dengan kelas menengah muslim kota, (4) masyarakat madani
berarti masyarakat yang beradab, kata madani terkait dengan
madaniyah (peradaban) sama dengan civil yang berasal dari
civility (peradaban). Meskipun kata “Madani” menurut Masykuri
lebih lanjut dalam bahasa Arab bisa merupakan kata sifat dari
kata “Madinah” yang berarti nama sebuah kota tertentu tempat
hijrah Nabi, atau berarti kota secara umum atau berarti peradaban
tetapi kata ini juga bisa dipakai untuk menterjemahkan kata civil
dalam bahasa Inggris, yang tidak terkait dengan Madinah, kota
atau peradaban.
Namun Thoha Hamim, dalam hal ini menangani bahwa
memang masyarakat madani sebagai terjemahan civil society
tidak terkait dengan masyarakat tertentu yaitu Madinah sebagai
sebuah wilayah dimana Nabi Muhammad hijrah. Thoha Hamim
menjelaskan bahwa masyarakat madani yang dihubungkan
dengan Madinah, karena Madinah lah sebagai attributive atau
masyarakat madani. Juga Madinah lah Nabi Muhammad telah
membangun masyarakat yang ideal, dengan memberlakukan
nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan, penegakan hukum,
jaminan kesejahteraan bagi semua warga serta perlindungan
terhadap kelompok minoritas. Sehingga para pemikir muslim

96
menganggap masyarakat Madinah sebagai prototype masyarakat
ideal produk Islam yang bisa dipersandingkan dengan masyarakat
ideal dalam konsep civil society. Thoha menyatakan bahwa
ajaran Islam sangat kaya dengan nilai dan etika, yang bila
diimplementasikan akan terbentuk tatanan kehidupan yang ideal.
Madani berasal dari unsur kata mim, dal dan nun (‫) ن د م‬
yang kemudian menjadi “tamaddana” yang bermakna to become
civilized, menjadi sopan, beradab. Kata Madaniy mempunyai arti
civilized, sopan, beradab. Sementara kata civil dalam susunan
civil society mempunyai makna polite, well mannered, sopan
santun dan berperilaku baik. Sehingga Hasyim memberikan
pengertian masyarakat Madani adalah :
Masyarakat madani adalah masyarakat yang selalu
memelihara perilaku yang beradab, sopan santun, berbudaya
tinggi, baik dalam pergaulan sehari-hari, dalam berbicara,
dalam mencari kebenaran bahkan dalam mencari rizki,
mengupayakan kesejahteraan, atau dalam menerapkan hukum
dalam sanksi, sampai dalam menghadapi konflik dan
peperangan.
Masyarakat madani adalah masyarakat yang selalu
memelihara perilaku yang beradab, sopan santun berbudaya
tinggi, baik dalam menghadapi sesama manusia, atau alam
lainnya, misalnya dalam menyembelih binatang untuk
dikonsumsi, dalam berburu, dan lain sebagainya.
Masyarakat madani adalah masyarakat yang selalu
memelihara perilaku yang beradab, sopan santun berbudaya
tinggi, dan ramah dalam menghadapi lingkungannya,
masyarakat dimana hubungan antara warganya sangat harmoni,
saling menghargai kepentingan masing-masing, menyadari
bahwa walaupun masing-masing mempunyai hak bahkan hak
asasi, tetapi haknya itu dibatasi oleh hak yang dimiliki orang
lain dalam kapasitas yang sama.

96
2. Ciri-Ciri Masyarakat Madani
Muhammad AS Hikam memberikan ciri-ciri civil society
(masyarakat madani) mengutip dari pendapat Tocqueville yaitu
adanya sikap warga dengan kesukarelaan (voluntary),
keswasembadaan (self generating), dan keswadayaan (self
supporting), kemandirian yang tinggi berhadapan dengan negara,
dan keterikatan dengan norma-norma dan nilai-nilai hukum yang
diikuti oleh warganya. Namun sayang, Hikam tidak menjelaskan
secara rinci apa yang dimaksud dengan ciri-ciri yang telah
dikutipnya.
Sedangkan Nurcholis Madjid mengungkapkan beberapa
ciri mendasar dari masyarakat madani yang acuannya tetap
kepada konsep masyarakat yang dibangun Nabi Muhammad
SAW di Madinah yaitu :
a. Egalitarianisme, ( kesepadaan )
b. Penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan
prestises seperti kesukuan, keturunan, ras dan sebagainya).
c. Keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat secara
aktif.
d. Penegakan hukum dan keadilan.
e. Toleransi dan Pluralisme,
f. Musyawarah
Didalam masyarakat madani tidak terdapat marginalisasi
derajat, bahkan mereka percaya bahwa semua orang mempunyai
derajat yang sama. Inilah yang disebut dengan egalitarianisme.
Antara pemimpin dan pengikut tidak dibedakan dalam perlakuan
dan pengakuan atas hak dan kewajiban individual maupun
kelompoknya. Yang ada dalam masyarakat madani adalah
kewajaran, kelayakan, proporsionalitas, dan resiprositas.

96
Dalam mewujudkan masyarakat madani, dibutuhkan
manusia-manusia yang secara pribadi berpandangan hidup
dengan semangat ketuhanan, dengan konsekuensi tindakan
rahmatan lil alamaiin. Dalam Islam tidak ada sistem keturunan,
kesukuan, atau ras, yang ada adalah sebuah ukhuwah islamiyah,
persatuan antar umat Islam.
Dalam rangka penegakan hukum dan keadilan, Nabi
SAW juga tidak membedakan antara orang atas dan orang bawah.
Sehingga keadilan yang dijunjung oleh Nabi SAW adalah
mengibaratkan seandainya Fatimah, putri kesayangan beliau,
melakukan kejahatan, maka beliau sendiri yang akan memberikan
hukuman sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Paham pluralisme atau kemajemukan masyarakat tidak
cukup hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan
masyarakat yang majemuk, tapi harus disertai dengan sikap tulus
untuk menerima kenyataan kemajemukan itu adalah suatu hal
yang positif. Dengan demikian akan memperkaya pertumbuhan
budaya melalui interaksi dinamis dan pertukaran silang budaya
yang beraneka ragam. Pemahaman pluralisme harus diiringi
dengan toleransi yang memberikan penilaian bahwa merupakan
suatu kewajiban untuk melaksanakan ajarannya sendiri. Jika
toleransi menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang “enak”
antara berbagai kelompok yang berbeda-beda, maka hasil itu
harus dipahami sebagai “hikmah” atau “manfaat” dari
pelaksanaan suatu ajaran yang benar.
Dasar toleransi dan pluralisme dalam Piagam Madinah,
diambil dari konsep Al Qur’an yang mengajarkan tidak adanya
paksaan dalam agama, sehingga bisa memilih dan bertanggung
jawab dengan dasar kebenaran (QS. Al Baqarah: 256).

96
Keberadaan manusia dalam sebuah masyarakat yang
sangat plural mengharuskannya berinteraksi dengan baik. Ajaran
kemanusiaan yang suci membawa konsekuensi bahwa kita harus
melihat sesama manusia secara optimis dan positif dengan
berprasangka baik (husn al-adzan). Berdasarkan pandangan
kemanusiaan yang optimis – positif tersebut, kita harus
memandang bahwa setiap orang mempunyai potensi yang baik
dan benar sehingga pendapat-pendapatnya layak untuk didengar.
Demikianlah, menurut Nurcholis, musyawarah pada
hakekatnya tak lain ialah interaksi positif berbagai individu
dalam masyarakat untuk berpendapat dan mendengarkan
pendapat.
Kemudian Maulidin Al-Maula, Direktur Lembaga Studi
Agama dan Demokrasi (LSAD) Surabaya, memberikan ciri
utama masyarakat madani yaitu :
7. Kemandirian yang tinggi dari individu-individu dan
kelompok-kelompok masyarakat saat berhadapan dengan
negara.
8. Adanya ruang publik yang bebas sebagai wahana bagi
keterlibatan politik secara aktif dari warga negara melalui
wacana praktis yang berkaitan dengan kepentingan publik.
9. Adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar ia tidak
intervensionis.
Maulidin memberikan ciri tentang masyarakat madani
sebagai keindonesiaan civil society berkiblat pada pemikir-
pemikir barat seperti Bell (1989), Keane (1989), Cohen dan Arato
(1992), yang dikonsepsikan masyarakat madani sebagai lawan
negara (state).

96
Tetapi ada suatu hal yang agak lain dalam memberikan
ciri-ciri masyarakat madani (civil society) yang ditelurkan oleh
Ernest Gellner. Konsep Gellner tentang masyarakat madani
diilhami oleh tatanan ekonomi yang dipegang oleh kaum borjuasi
yang mendapat legitimasi pemegang kekuasaan, juga munculnya
rasionalisasi sebagai gugatan atas domatika Kristiani. Akibat
kondisi sosial yang terjadi sedemikian rupa di barat tersebut,
sehingga melahirkan renaisans atau dalam Perancis disebut
sebagai aufklarung (pencerahan).

3. Peran Umat Muslim Mewujudkan Masyarakat Madani.


Salah satu jalan peran umat Islam mewujudkan
masyarakat madani adalah meningkatkan SDM kaum muslimin
dengan jalur pendidikan (mempunyai lembaga pendidikan
unggulan).
Kita semua prihatin dengan adanya sinyalemen bahwa
lembaga pendidikan Islam masih ketinggalan baik sistem maupun
output yang dihasilkannya. Mulai abad XIV sampai sekarang
masih sangat kecil sumber daya manusia (baca : muslim) yang
menguasai IPTEK.
Terjadinya kemunduran tersebut disebabkan oleh adanya
penerapan program pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan
Islam yang dikotomi, pemisahan antara ilmu-ilmu agama dan
ilmu-ilmu umum. Lahirnya pemikiran tersebut sangat
berpengaruh pada pelaksanaan pendidikan di lembaga-lembaga
pendidikan Islam sampai sekarang.
Sehingga ada beberapa kalangan memunculkan gagasan
perlunya islamisasi ilmu-ilmu umum (islamisasi sains). Padahal
menurut kami tidak ada istilah ilmu-ilmu umum dan agama,

96
sebab semua ilmu itu Islam, sebagaimana firman Allah: Al-
Mujadalah (58) : 11, Al-ra’ad (13) : 3-4, Yunus (10) : 101, Ali
Imron (3) : 190 – 191.

B. KESEJAHTERAAN UMAT
“Sejahtera” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
“aman, sentosa dan makmur; selamat (terlepas) dari segala macam
gangguan, kesukaran dan sebagainya”. Dengan demikian
kesejahteraan sosial, merupakan keadaan masyarakat yang sejahtera.
Sebagian pakar menyatakan bahwa kesejahteraan sosial
didambakan Al-Qur’an tercermin dari surga yang dihuni oleh Adam
dan istrinya, sesaat sebelum turunnya mereka melaksanakan tugas
kekhalifahan di bumi. Seperti telah diketahui, sebelum Adam dan
istrinya diperintahkan turun ke bumi, mereka terlebih dahulu
ditempatkan di surga.
Surga diharapkan menjadi arah pengabdian Adam dan Hawa,
sehingga bayang-bayang surga itu diwujudkannya di bumi, serta
kelak dihuninya secara hakiki di akhirat. Masyarakat yang
mewujudkan bayang-bayang surga itu adalah masyarakat yang
berkesejahteraan.
Kesejahteraan surgawi dilukiskan antara lain dalam
peringatan Allah kepada Adam :
Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu
dan bagi istrimu, maka sekali-kali jangan sampai ia mengeluarkan
kamu berdua dari surga, yang akibatnya engkau akan bersusah
payah. Sesungguhnya engkau tidak akan kelaparan disini (surga),
tidak pula akan telanjang, dan sesungguhnya engkau tidak akan
merasa dahaga maupun kepanasan. (QS. Thaha (20) : 117-119).

96
Dari ayat diatas ini jelas bahwa pangan, sandang dan papan
yang diistilahkan dengan tidak lapar, dahaga, telanjang dan
kepanasan semuanya telah terpenuhi disana. Terpenuhinya kebutuhan
ini merupakan unsur pertama dan utama kesejahteraan sosial.
Dari ayat lain diperoleh informasi bahwa masyarakat di surga
hidup dalam suasana damai, harmonis, tidak terdapat suatu dosa, dan
tidak ada sesuatu yang tidak wajar, serta tiada pengangguran ataupun
sesuatu yang sia-sia :
Mereka tidak mendengar didalamnya (surga) perkataan sia-
sia; tidak pula (terdengar adanya) dosa, tetapi ucapan salam dan
salam (sikap damai). (QS. Al-Waqi’ah (52): 25 dan 26)
Mereka hidup bahagia bersama sanak keluarganya yang
beriman (Baca Surat Yasin (36): 55-58, dan Al-Thur (52) : 21).
Adam bersama istrinya diharapkan dapat mewujudkan
bayang-bayang surga itu di permukaan bumi ini dengan usaha
sungguh-sungguh, berpedoman kepada petunjuk-petunjuk ilahi.
Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu (hai Adam,
setelah engkau berada di dunia, maka ikutilah). Maka barang siapa
yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tiada ketakutan menimpa mereka
dan tiada pula kesedihan. (QS. Al-Baqarah (2) : 38).
Itulah rumusan kesejahteraan yang dikemukakan oleh Al-
qur’an. Rumusan ini dapat mencakup berbagai aspek kesejahteraan
sosial yang pada kenyataannya dapat menyempit atau meluas sesuai
dengan kondisi pribadi, masyarakat serta perkembangan zaman.
Untuk masa kini, kita dapat berkata bahwa yang sejahtera
adalah yang terhindar dari rasa takut terhadap penindasan, kelaparan,
dahaga, penyakit, kebodohan, masa depan dirinya, sanak keluarga,
bahkan lingkungan.

96
Kesejahteraan sosial dimulai dari perjuangan mewujudkan
dan menumbuhsuburkan aspek-aspek kaidah dan etika pada diri
pribadi, karena dari diri pribadi yang seimbang akan lahir masyarakat
seimbang. Masyarakat Islam pertama lahir dari Nabi Muhammad
SAW, melalui kepribadian beliau yang sangat mengagumkan. Pribadi
ini melahirkan keluarga seimbang; Khadijah, Ali bin Abi Thalib,
Fatimah Az-Zahra, dan lain-lain. Kemudian lahir di luar keluarga itu
Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a., dan sebagainya yang juga membentuk
keluarga, dan demikian seterusnya, sehingga pada akhirnya
terbentuklah masyarakat yang seimbang antara keadilan dan
kesejahteraan sosialnya.
Kesejahteraan sosial dimulai dengan “Islam”, yaitu
penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Tidak mungkin jiwa
akan merasakan keterangan apabila kepribadian terpecah (split
personality) :
Allah membuat perumpamaan seorang budak yang dimiliki
oleh beberapa orang yang berserikat yang dalam perselisihan, dan
seorang budak yang menjadi milik penuh seseorang. Adakah kedua
budak itu sama halnya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan
mereka tidak mengetahui (QS. Al-Zumar (39) : 29).
Kesejahteraan sosial dimulai dari kesadaran bahwa pilihan
Allah apa pun bentuknya, setelah usaha maksimal adalah pilihan
terbaik, dan selalu mengandung hikmah. Karena itu Allah
memerintahkan kepada manusia berusaha semaksimal mungkin,
kemudian berserah diri kepada-Nya, disertai kesadaran bahwa :
Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi, dan tidak
pula pada dirimu sendiri, melainkan telah tertulis di dalam kitab
(Lauhul Mahfudzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya
yang demikian itu mudah bagi Allah. (Kami jelaskan ini) supaya

96
kamu jangan berduka cita terhadap sesuatu yang luput dari kamu,
dan jangan juga terlalu gembira (melampaui batas) terhadap hal
yang diberikannya kepada kamu…… (QS. Al-Hadid (57): 22-23)
Ini dimulai dengan pendidikan kejiwaan bagi setiap pribadi,
keluarga, dan masyarakat, sehingga akhirnya tercipta hubungan yang
serasi diantara semua anggota masyarakat, yang salah satu
cerminannya adalah kesediaan mengulurkan tangan sebelum diminta
oleh yang membutuhkan, atau kesediaan berkorban demi kepentingan
orang banyak.
Mereka mengutamakan (orang lain) atas diri mereka sendiri,
sekalipun mereka membutuhkan (apa yang mereka berikan itu). (QS.
Al-Hasyr/59: 9).
Setiap pribadi bertanggung jawab untuk menyucikan jiwa
dan hartanya, kemudian keluarganya, dengan memberikan perhatian
secukupnya terhadap pendidikan anak-anak dan istrinya, baik dari
segi jasmani maupun rohani. Tentunya, tanggung jawab ini
mengandung konsekuensi keuangan dan pendidikan.
Dari sini Al-Qur’an memerintahkan penyisihan sebagian
hasil usaha untuk menghadapi masa depan. Salah satu penggalan ayat
yang diulang-ulang Al-Qur’an sebagai tanda orang yang bertakwa
adalah,
Dan sebagian dari yang Kami anugerahkan kepada mereka,
mereka nafkahkan (QS. AL-Baqarah (2) : 3).
Sebagian lain (yang tidak mereka nafkahkan itu), mereka
tabung, demikian tulis Muhammad Abduh, guna menciptakan rasa
aman menghadapi masa depan, diri dan keluarga.
Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang
seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak lemah,
yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraannya). Oleh sebab itu,

96
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar. (QS. An-Nisa’ (4) : 9).
Dari keluarga, kewajiban beralih kepada seluruh anggota
masyarakat, sehingga dikenal adanya kewajiban timbal balik antara
pribadi dan masyarakat, serta masyarakat terhadap pribadi.
Kewajiban tersebut sebagaimana halnya setiap kewajiban melahirkan
hak-hak tertentu yang sifatnya adalah keserasian dan keseimbangan
diantara keduanya. Sekali lagi kewajiban dan hak tersebut tidak
terbatas pada bentuk penerimaan maupun penyerahan harta benda,
tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan.
Siapa diantara kami yang melihat kemungkaran, maka
hendaklah ia meluruskannya dengan tangan. Bila tak mampu maka
dengan lidah, dan bila (ini pun) ia tidak mampu, maka dengan hati
dan inilah selemah-lemahnya iman. (Diriwayatkan oleh Muslim).
Demikian sabda Nabi SAW yang pada akhirnya melahirkan
pesan. Bahwa, paling tidak, seorang Muslim harus merasakan manis
atau pahitnya sesuatu yang terjadi didalam masyarakatnya, bukan
bersikap tak acuh dan tak peduli. Terdapat puluhan ayat dan ratusan
hadits yang menekankan keterikatan iman dengan rasa senasib dan
sepenanggungan, diantaranya :
Tahukah kami orang yang mendustakan agama? Mereka
itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan
memberi pangan kepada orang miskin. (QS. Am-Ma’un (107) : 1-3).
Redaksi ayat di atas bukanlah “tidak memberi makan”
melainkan “tidak menganjurkan memberi pangan”. Ini
mencerminkan kepedulian. Yang tidak memiliki kemampuan
memberi, minimal harus menganjurkan pemberian itu. Jika ini tidak
dilakukannya, sesuai ayat diatas ia termasuk orang yang mendustakan
agama dan hari pembalasan.

96
Setiap orang berkewajiban bekerja. Masyarakat atau mereka
yang berkemampuan harus membantu menciptakan lapangan
pekerjaan untuk setiap anggotanya yang berpotensi. Karena itulah
monopoli dilarang-Nya. Janganlah didalam bidang ekonomi, pada
tempat duduk pun diperintahkan agar memberi peluang dan
kelapangan :
Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada
kami, “Berlapang-lapanglah di dalam majlis!”, maka lapangkanlah.
Niscaya Allah memberi kelapangan untuk kami (QS. Al-Mujadilah
(58) : 11).
Setiap insan harus memperoleh perlindungan jiwa, harta dan
kehormatannya. Jangankan membunuh atau merampas harta secara
tidak sah, mengancam atau mengejek dengan sindiran halus, atau
menggelari dengan sebutan yang tidak senonoh, berprasangka buruk
tanpa dasar, mencari-cari kesalahan, dan sebagainya. Kesemuanya itu
terlarang dengan tegas, karena semua itu dapat menimbulkan rasa
takut, tidak aman, maupun kecemasan yang mengantarkan kepada
tidak terciptanya kesejahteraan lahir dan batin yang didambakan (QS.
Al-Hujurat (49) : 11-12).
Bantuan keuangan baru boleh diberikan apabila seseorang
ternyata tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Ketika seorang datang
kepada Nabi Muhammad SAW mengadukan kemiskinannya, Nabi
SAW tidak memberinya uang tetap kapak agar digunakan untuk
mengambil dan mengumpulkan kayu.
Disisi lain, perlu diingat bahwa Al Qur’an menegaskan
perkataan yang baik pada saat menolak, serta memanfaatkan tingkah
laku yang kurang sopan dari si peminta, akan jauh lebih baik daripada
memberi namun dibarengi sikap dan tingkah laku yang menyakitkan.

96
Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada
sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (QS. Al-
Baqarah (2) : 263).
Demi mewujudkan kesejahteraan sosial, Al Qur’an melarang
beberapa praktik yang dapat mengganggu keserasian hubungan
antara anggota masyarakat, seperti larangan riba (QS. Al-Baqarah
(2) : 275) dan larangan melakukan transaksi bukan atas dasar
kerelaan (QS. Al-Nisa’ (4) : 29). Disamping itu, ditetapkan bahwa
pada harta milik pribadi terdapat hak orang-orang yang
membutuhkan dan harus disalurkan, baik berupa zakat maupun
sedekah. (QS. Al-Dzriyat (51) : 19).
Demikian sekelumit wawasan Al-Qur’an tentang
kesejahteraan. Tidak dipungkiri bahwa uraian ini sangat terbatas
dibandingkan dengan wawasan Al Qur’an tentang topik di atas.
Namun, prinsip-prinsip dasar dari wawasan Al Qur’an kiranya tulisan
singkat ini telah dapat tercerminkan.

Kesimpulan
Dalam perspektif pembangunan masyarakat madani,
kemandirian merupakan unsur yang paling menentukan.Untuk itu
perlu di definisikan dengan jelas agar memudahkan proses
pencapaiannya, yang lebih penting adalah bagaimana membentuk
kemandirian itu sehingga mampu melahirkan kecenderungan
psikologis yang positif, seperti kreatifitas, denamika, prakarsa dan
inovasi yang menjadi ciri dominan dari kemandirian.
Untuk dapat mengaktualisasikan kemandiriannya, seorang
manusia perlu menyadari sekaligus mengembangkan setiap potensi
kerohanian yang di milikinya, Di sinilah perlunya etika agama yang
dapat membimbing manusia pada kesadaran akan adanya sifat-sifat

96
Tuhan pada dirinya yang kreatif (al-khaliq), mandiri (al-qiyam
binafsihi), inovatif (al-mushawwir), percaya diri (al-qohhar), dan
lain-lain. Sayangnya, etika agama seringkali dilupakan dalam proses
pembangunan masyarakat madani.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Khurshid (ed), Pesan Islam, diterjemahkan oleh achsin
Muhammad, Bandung : Pustaka, 1983.
Ali, Mohammad Daud, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf,
Jakarta : UI-Press 1988.
Culla, Adi Suryadi, Masyarakat Madani, Edisi I, cetakan
kedua,Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1999.
Umari,Akram Dhiyauddin, Prof,Dr, Masyarakat Madani,Penerjemah
Mu’in A,Sirry, Jakarta : Gema Insani, Cetakan kesatu, 1999.
Pusat Inkubasi Bisnis Usaha kecil, “Pedoman Cara Pembentukan
BMT”.
Al-Qardlaawi, Yusuf, Anotomi Masyarakat Islam, Penerjemah
Setiawan Budi Utomo, Jakarta al-Kautsar, Cetakan kesatu.
1999.

Pertanyaan :
1. Jelaskan konsep masyarakat madani menurut ajaran Islam ?
2. Berilah contoh masyarakat madani yang sudah pernah ada dan
terjadi dalam sejarah kehidupan umat manusia ?
3. Sebutkan dan jelaskan karakteristik yang sebenarnya dari
masyarakat madani ?
4. Jelaskan bagaimana kualitas SDM masyarakat islam saat ini ?
5. Jelaskan peran umat islam untuk mewujudkan masyarakat madani?

96
LEMBAR JAWABAN TUGAS

Nama Mahasiswa :………………………...


NPM :………………………...
Jurusan :………………………...
Kelas :………………………...

96
BAB IX
KEBUDAYAAN DALAM ISLAM

Sasaran Pembelajaran :
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menjelaskan pengertian kebudayaan dan peradapan islam.
2. Menjelaskan nilai-nilai islam dalam budaya Indonesia.
3. Menjelaskan masjid sebagai pusat peradaban islam.
4. Menjelaskan sejarah intelektual islam.

Kompetensi :
Dapat menjelaskan tentang konsep kebudayaan islam dan
perkembangannya.

A.Konsep Kebudayaan Dalam Islam


A.L. Kroeber dan Clyde Kluckhohn, telah mengumpulkan
kurang lebih 161 definisi tentang kebudayaan (Musa Asy’ari. 1992:
93) secara garis besar definisi sebanyak itu dapat dikelompokkan
dalam enam kelompok. Sesuai dengan sudut pandang mereka.
Kelompok pertama melihat dari pendekatan historis, kedua
dari pendekatan normatif oleh Ralph Linton, ketiga dari pendekatan
psikologi oleh Kluckkhohn, keempat dari pendekatan struktural oleh
turney, kelima dari pendekatan genetik oleh Bidney dan keenam
dengan pendekatan deskriptif oleh taylor.
Dilihat dari berbagai tujuan dan sudut pandang tentang
definisi kebudayaan, menunjukkan bahwa kebudayaan itu merupakan
suatu persoalan yang sangat luas, namun esensinya adalah bahwa

96
kebudayaan itu melekat dengan diri manusia. Artinya bahwa
manusialah sebagai pencipta kebudayaan itu. Kebudayaan itu hadir
bersama dengan kelahiran manusia sendiri. Dari penjelasan diatas
kebudayaan itu dapat dilihat dari dua sisi. Yaitu kebudayaan sebagai
proses dan kebudayaan sebagai suatu produk.
Al Qur’an memandang kebudayaan itu merupakan suatu
proses, dan meletakkan kebudayaan sebagai eksistensi hidup
manusia. Kebudayaan merupakan suatu totalitas kegiatan manusia
yang meliputi kegiatan akal hati dan tubuh yang menyatu dalam suatu
perbuatan. Oleh karena itu secara umum kebudayaan dapat dipahami
sebagai hasil akal, budi, cipta rasa, karsa dan karya manusia. Ia tidak
mungkin terlepas dari nilai-nilai kemanusiaan, namun bisa jadi lepas
dari nilai-nilai ketuhanan.
Kebudayaan Islam adalah hasil akal, budi, cipta rasa, karsa
dan karya manusia yang berlandaskan pada nilai-nilai tauhid. Islam
sangat menghargai akal manusia untuk berkiprah dan berkembang.
Hasil akal, budi, rasa dan karsa yang telah terseleksi oleh nilai-nilai
kemanusiaan yang bersifat universal berkembang menjadi sebuah
peradaban.
Dalam perkembangannya kebudayaan perlu dibimbing oleh
wahyu dan aturan-aturan yang mengikat agar tidak terperangkap pada
ambisi yang bersumber dari nafsu hewani, sehingga akan merugikan
dirinya sendiri. Disini agama berfungsi untuk memebimbing manusia
dalam mengembangkan akan budinya sehingga menghasilkan
kebudayaan yang beradap atau peradaban Islami.
Oleh sebab itu misi kerasulan Muhammad, sebagaimana
dalam sabdaNya: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan
akhlak”. Artinya Nabi Muhammad SAW, mempunyai tugas pokok

96
untuk membimbing manusia agar mengembangkan kebudayaan
sesuai dengan petunjuk Allah.
Awal tugas kerasulan Nabi meletakkan dasar-dasar
kebudayaan Islam yang kemudian berkembang menjadi peradaban
Islam. Ketika dakwah Islam keluar dari Jazirah Arab, kemudian
tersebar ke seluruh dunia, maka terjadilah suatu proses panjang dan
rumit yaitu asimilasi budaya-budaya setempat dengan nilai-nilai
Islam itu sendiri, kemudian menghasilkan kebudayaan Islam,
kemudian berkembang menjadi suatu peradaban yang diakui
kebenarannya secara universal.

B. SEJARAH INTELEKTUAL ISLAM


Perkembangan pemikir Islam mempunyai sejarah yang
panjang dalam arti seluas-luasnya. Tradisi pemikiran di kalangan
umat Islam berkembang seiring dengan kemunculan Islam itu sendiri.
Dengan menggunakan teori yang dikembangkan oleh Harun
Nasution, dilihat dari segi perkembangannya, sejarah intelektual
Islam dapat dikelompokkan menjadi tiga masa, yaitu masa klasik
antara tahun 650-1250 M, masa pertengahan antara tahun 1250-1800
M, dan masa modern yaitu sejak tahun 1800 sampai sekarang.
Pada masa klasik lahir ulama Madzhab seperti Imam
Hambali, Imam Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Maliki bersamaan
dengan itu lahir pula para filosof Muslim seperti Ali Kindi tahun 801
M, Ar Razi tahun 865 M, Al Farabi tahun 870 M. Dia kenal sebagai
pembangun agung sistem filsafat. Berikutnya Ibnu Maskaweh tahun
930 M, merupakan pemikir terkenal tentang pendidikan akhlak,
kemudian Ibnu Sina tahun 1037 M, Ibnu Bajjah tahun 1138 M, dan Ibnu
Rusydi tahun 1126 M.

96
Pada Masa Pertengahan, dalam sejarah pemikiran Islam masa
ini merupakan fase kemunduran, karena filsafat mulai dijauhkan dari
umat Islam, sehingga ada kecenderungan akal dipertentangkan
dengan wahyu, iman dengan ilmu, dunia dengan akhirat, dan
pengaruhnya terasa sampai sekarang.
Ini merupakan awal kemunduran Ilmu pengetahuan dan
filsafat di dunia Islam. Sejalan dengan perdebatan di kalangan filosof
muslim juga terjadi perdebatan antara fuqoha dengan para ahli
teologi. Pemikiran disaat itu adalah pemikiran dikotomis antara
agama dengan ilmu dan antara urusan dunia dengan urusan akherat.
Titik kulminasinya adalah ketika para ulama sudah mendekat kepada
para penguasa pemerintah, sehingga fatwa-fatwa mereka tidak diikuti
lagi oleh umatnya dan kondisi umat menjadi carut-carut kehilangan
figur pemimpin yang dicintainya.

C. MASJID SEBAGAI PUSAT KEBUDAYAAN ISLAM


Masjid pada umumnya dipahami oleh masyarakat sebagai
tempat ibadah khusus seperti sholat, padahal fungsi masjid lebih luas
dari itu. Pada zaman Rasulullah masjid bergungsi sebagai pusat
peradaban. Nabi mensucikan jiwa kaum muslimin, mengajar Al
qur’an dan al hikmah, bermusyawarah berbagai permasalahan umat
hingga masalah upaya-upaya peningkatan kesejahteraan umat. Hal ini
berjalan hingga 700 tahun, sejak nabi mendirikan masjid yang
pertama, fungsi masjid dijadikan simbol persatuan umat dan masjid
sebagai pusat peribadatan dan peradaban. Sekolah-sekolah dan
universitas-universitas pun kemudian bermunculan, justru dari
masjid. Masjid Al Azhar di Mesir merupakan salah satu contoh yang
dapat dikenal oleh umat Islam di dunia. Masjid ini mampu

96
memberikan bea siswa bagi para pelajar dan mahasiswa, bahkan
penentasan kemiskinan pun merupakan program nyata masjid.

D. NILAI-NILAI ISLAM DALAM BUDAYA INDONESIA


Islam masuk ke Indonesia lengkap dengan budayanya yaitu
budaya Arab. Pada awal masuknya Islam ke Indonesia, dirasakan
amat sulit membedakan aman ajaran Islam dan mana budaya Arab.
Dalam ajaran Islam meniru budaya suatu kaum itu boleh-boleh saja
sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar Islam apalagi
yang ditirunya adalah panutan suci nabi Muhammad SAW, namun
yang tidak boleh adalah menganggap bahwa nilai-nilai budaya Arabnya
dipandang sebagai ajaran Islam.
Corak dan potongan baju yang dikenakan Rasulullah
merupakan budaya yang ditampilkan oleh orang Arab. Yang menjadi
ajarannya adalah menutup aurat, kesederhanaan, kebersihan dan
kenyamanan. Sedang bentuk dan mode pakaian yang dikenakan umat
Islam boleh saja berbeda dengan yang dikenakan oleh Nabi
Muhammad SAW, demikian pula makan nabi dengan menggunakan
jari jemari bukan merupakan ajaran Islam.
Dalam perkembangan dakwah Islam di Indonesia para
penyiar Islam mendakwahkan ajaran Islam melalui bahasa budaya,
sebagaimana dilakukan oleh para Wali Allah di tanah Jawa. Karena
kehebatan Para Wali dalam mengemas ajaran Islam dengan bahasa
budaya setempat, sehingga masyarakat tidak sadar bahwa nilai-nilai
Islam masuk dan menjadi tradisi dalam kehidupan sehari-hari
mereka.
Tugas berikutnya para intelektual Islam adalah menjelaskan
secara sistematis dan berkelanjutan upaya penetrasi yang sudah
dilakukan oleh para pemeluknya.

96
Integrasi nilai-nilai Islam ke dalam kehidupan bangsa
Indonesia ternyata tidak sekedar masuk pada aspek kebudayaan
semata tetapi sudah masuk ke wilayah hukum. Sebagai contoh dalam
hukum keluarga (akhwalul syahsiyyah), masalah waris, masalah
pernikahan dan lain-lain. Mereka tidak sadar bahwa nilai-nilai Islam
masuk ke wilayah hukum yang berlaku di Indonesia.

Kesimpulan.
Islam yang di turunkan sebagai din, sejatinya telah memiliki
konsep seminalnya sebagai perdaban. Sebab kata din itu sendiri telah
membawa makna keberhutangan,susunan kekuasaan,struktur hokum,
dan kecenderungan pada kehidupan yang teratur. Dari akar kata din
ini lalu dibentuk akar kata baru madana, yang berarti
berbudaya,bermartabat dan maju sesuai dengan makna yang
terkandung dalam din. Oleh sebab itu ketika din (agama) Allah yang
bernama islam itu telah di sempurnakan dan di laksanakan di suatu
tempat, maka tempat itu di beri nama Madinah. Dari akar ini pulalah
umat islam menggunakan kata tamaddun untuk istilah peradapan
islam, meskipun dikemudian hari istilah ini juga dipakai untuk
peradaban selain islam.
Jika istilah din mengandung konsep seminal tentang
peradaban,al-Quran sendiri memiliki konsep seminal yang
memproyeksikan pandangan islam tentang alam semesta dan
kehidupan yang kini disebut pandangan hidup atau pandangan alam
islam merupakan asas bagi setiap peradaban didunia.

96
Daftar Pustaka
Shihab M,Quraish. Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu’I atas berbagai
Persoalan.
Thoha Hamin, Islam dan Masyarakat Madani, HAM, Pluralisme dan
Toleransi Beragama, Jawa Post 11 maret 1999.
Iqbal, Muhammad, Membangun kembali pikiran Agama dalam islam,
Jakarta, Tintamas, 1966.
Khan, Walduddin, Islam menjawab tatangan Zaman, Bandung :
Penerbit Pustaka, 1983.
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung, Mizan, Tahun
1997.
M.Imaduddin Abdurahim, Kuliyah Tauhid ( Jakarta : Yayasan Sari
Insan, 1989).
M,Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, bandung : Mizan, 2000.

96
Pertanyaan :
1. Jelaskan konsep kebudayaan dalam islam ?
2. Jelaskan nilai-nilai islam yang terkandung dalam budaya
Indonesia ?
3. Jelaskan fungsi Masjid sebagai pusat peradaban islam ?
4. Apa yang harus dilakukan oleh para intelektual muslim,dalam
upaya memakmurkan masjid sebagaimana yang pernah dilakukan
di zaman Rosul ?
5. Jelaskan perbedaan antara kebudayaan islam dengan kebudayaan
Barat sebagaimana yang anda ketahui ?

96
LEMBAR JAWABAN TUGAS

Nama Mahasiswa :………………………...


NPM :………………………...
Jurusan :………………………...
Kelas :………………………...

96
BAB X
SISTEM EKONOMI ISLAM

Sasaran Pembelajaran:
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menjelaskan system ekonomi Islam.
2. Menjelaskan manajemen Zakat dan wakaf.
3. Menjelaskan prinsip Transaksi dalam islam.
4. Menjelaskan perbedaan antara system ekonomi islam dengan system
ekonomi konvensional.

Kompetensi :
Dapat membandingkan antara konsep ekonomi islam dengan konsep
ekonomi konvensional.

A. Sistem Ekonomi Islam.


Menurut ajaran islam, semua kegiatan manusia termasuk kegiatan social
dan ekonomi haruslah berlandaskan tauhid (keesaan Allah ).
System ekonomi yang diatur secara islami.Bila diterapkan dengan
disiplin,maka tidak akan pernah ada pratek-pratek yang tidak sehat dalam
bisnis karena sejak awal Rasululllah telah melarangnya.Beliau tidak
menganjurkan campur tangan apa pun dalam proses penentuan harga oleh
Negara ataupun individual apalagi bila penentuan harga ditempuh dengan
cara merusak perdangangan yang fair antara lain melalui penimbunan
barang.
Dalam konsep ekonomi islam,Allah telah menetapkan batas-batas
tertentu terhadap prilaku manusia sehingga menguntungkan individu
tanpa mengorbankan hak-hak individu lainnya. Prilaku mereka yang

96
ditetapkan dalam hokum Allah (Syariah ) harus diawasi oleh masyarakat
secara keseluruhan,berdasarkan aturan islam.
Ekonomi islam memiliki konsep tersendiri yang mengacu pada al-Quran
dan As-Sunnah yang telah terbukti dapat bertahan dengan krisis moneter
yang berkepanjangan. Konsep ekonomi islam berpengang teguh pada
keadilan dan keterbukaan, system mudharabah atau bagi hasil yang
diterapkan dalam ekonomi islam mampu memberikan keuntungan
terhadap kedua belah pihak yaitu pemilik modal dan pengguna modal,
tanpa harus merugikan salah satu dari keduannya.

B. Manajemen Zakat dan Wakaf ( ZAWA )


1.Zakat.
dilihat dari sudut bahasa, kata zakat berasal dari kata “zaka” yang berarti
berkah,tumbuh,bersih dan baik pendapat lain mengatakan bahwa kata
dasar “zaka” berarti bertambah dan bertumbuh,sedangkan segala sesuatu
yang bertambah disebut zakat.Menurut istilah fiqih zakat berarti harta
tertentu yang diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada yang berhak.
Menurut nawawi, jumlah yang dikeluarkan dari kekayaan itu disebut
zakat karena yang dikeluarkan itu “menambah banyak,membuat lebih
berarti dan melindungi kekayaan dari kebinasaan “ (yusuf al-Qardlawi,
1986 : 37-38).dengan mengeluarkan zakat,harta itu menjadi bersih. Hal
ini sesuai dengan ayat al-Quran sebagai berikut : “pungutlah zakat dari
kekayaan mereka, engkau bersihkan dan sucikan mereka dengannya” (al-
Quran Taubah : 103 ).
Dari ayat ini tergambar bahwa zakat yang dikeluarkan oleh para
“Muzzaki” itu dapat mensucikan dan membersihkan hati mereka. Suci
hati dapat diartikan mereka tidak mempunyai sifat yang tercela terhadap
harta seperti rakus dan kikir. Sebagai orang yang suci dan mendapat
petunjuk Allah,dia akan mengeluarkan harta bendanya tidak hanya

96
semata-mata karena kewajiban yang diperintahkan Allah,melainkan
benar-benar karena merasa sebagai orang yang mempunyai kelebihan
harta yang ikut bertanggung jawab atas sebagian masyarakat yang
terlantar.
Dari defenisi tersebut, jelas bahwa zakat selain merupakan ibadah kepada
Allah juga mempunyai dampak social yang nyata.dari satu sisi zakat
adalah ibadah dan dari segi lain ia merupakan kewajiban social. Zakat
merupakan dasar prinsipil untuk menegakkan struktur social islam. Zakat
bukanlah derma atau sedekah biasa,ia adalah sedekah wajib. Zakat adalah
perintah Allah yang harus dilaksanakan.Dalam al-Quran dan al-Hadist
banyak perintah untuk melaksanakan zakat,antara lain yaitu :”Dan
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat dan apa-apa yang kamu usahakan
dari kebaikan darimu, tentu kamu akan mendapatkan pahalanya di sisi
Allah.Sesungguhnya Allah itu Maha Melihat apa-apa yang kamu
kerjakan” ( Al-Baqarah : 110 ).
Mengenai orang yang berhak menerima zakat disebutkan secara jelas
dalam al-Quran “Sesungguhnya zakat – zakat itu hanyalah untuk orang-
orang fakir,orang-orang miskin,pengurus-pengurus zakat, para muallaf
yang dibujuk hatinya untuk (memerdekakan) budak,orang-orang yang
berhutang untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam
perjalanan,sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah
maha mengetahui lagi maha bijaksana” (Q,S, at-Taubah, ayat : 60).
Dari ayat diatas dapat dijelaskan sebagaimanaberikut : orang-orang yang
berhak menerima zakat adalah :
1. Fakir.
2. Miskin
3. Amil, yakni orang yang mengurus zakat,
4. Muallaf,yaitu orang yang baru masuk islam yang masih lemah
imannya.

96
5. “Riqab” yakni hamba sahaya atau budak beliau yang diberi
kebebasan berusaha untuk menebus dirinya supaya menjadi
orang merdeka.
6. “Gharim”, yakni orang berhutang,
7. “Sabilillah”, arti harfiahnya jalan Allah,Maknanya adalah
segala usaha yang baik yang dilakukan untuk kepentingan
agama dan ajaran islam.
8. “Ibnu Sabiil”,yaitu orang yang kehabisan biaya dalam
perjalanan yang bermaksud baik.

Adapun tujuan dari pengelolaan zakat,antara lain adalah sebagai berikut :


1. mengangkat harkat dan martabat fakir miskin dan membantunya
keluar dari kesulitan dan penderitaan.
2. Membantu pemecahan permasalahan yang dihadapi oleh para
Mustahik.
3. Menjembatani antara yang kaya dan yang miskin dalam suatu
masyarakat.
4. Meningkatkan Syi’ar Islam.
5. Mengangkat harkat dan martabat bangsa dan Negara.
6. Mewujudkan kesejahteraan dan keadilan social dalam
masyarakat.

2.Wakaf.
Wakaf adalah salah satu bentuk dari lembanga ekonomi islam.ia
merupakan lembanga islam yang satu sisi berfungsi sebagai ibadah
kepada Allah, sedangkan sisi lain wakaf juga berfungsi social. Oleh
karenanya, Wakaf adalah salah satu lembanga islam yang dapat
dipergunakan bagi seorang muslim untuk mewujudkan dan memelihara
hubungan manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia

96
lain dalam masyarakat. Dalam fungsinya sebagai ibadah, ia diharapkan
akan menjadi bekal bagi kehidupan si wakif di hari kemudian,karena ia
merupakan suatu bentuk amalan yang pahalanya akan terus-menerus
mengalir selama harta wakaf itu dimanfaatkan.Sedangkan dalam fungsi
sosialnya, Wakaf merupakan asset yang sangat bernilai bagi
pembangunan umat.
Sebagai salah satu lembanga social islam, wakaf erat kaitannya dengan
social ekonomi masyarakat.Walaupun wakaf merupakan lembanga islam
yang hukumnya sunnah,namun lembanga ini dapat berkembang dengan
baik di beberapa Negara misalnya Mesir,Yordania,Saudi Arabia,
Bangladesh, dan lain-lain.Hal ini barangkali lembanga wakaf ini
dikelolah dengan manajemen yang baik,sehingga manfaatnya sangat
dirasakan bagi pihak-pihak yang memerlukannya.
Suatu kenyataan yang dilihat bahwa wakaf yang ada di Indonesia pada
umumnya berupa masjid,mushalla, madrasah,sekolahan, makam,rumah
yatim piatu dll.
Wakaf telah berperan sangat penting dalam pengembangan kegiatan-
kegiatan social ekonomi dan kebudayaan masyarakat islam dan telah
memfasilitasi sarjana dan mahsiswa dengan sarana dan prasarana yang
memadai yang memungkinkan mereka melakukan berbagai kegiatan
seperti riset dan menyelesaikan studi mereka.

C.PRINSIP TRANSAKSI DALAM ISLAM.


Moral Hazard atau prilaku jahat dalam ekonomi adalah tindakan pelaku
ekonomi yang menimbulkan kemudharatan baik untuk diri sendiri
maupun orang lain.Untuk menjustifikasikan apakah suatu tindakan
ekonomi merupakan moral hazard ataukah bukan, perlu mempelajari
prinsip-prinsip dari transaksi yang islami, y6ang dhalalkan ataupun yang
diharamkan.

96
1.Prinsip transaksi islam:
a.”Suka sama suka” Hai orang-orang yang beriman.janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu”
( An Nisa : 29 ).
b.Adil=keseimbangan dalam pandangan berbagai segi antara pelaku
ekonomi/tidak menzalimi (La tazhlimuuna wala tuzhlumuun) dan
terdapat empat batasan :
1. tidak boleh mafsadah (no externalities) = tidak zalim terhadap
lingkungan.
2. tidak boleh gharar (uncertainty with zero sum game)=tidak zalim
terhadap pasangan pelaku transaksi.
3. tidak boleh maisir (uncertainty with zero sum game in utility
exchange) gharar akibat pertukaran manfaat,
4. tidak boleh riba (exchange of liability)= gharar akibat pertukaran
kewajiban.
c.Jelas (dalam status transaksi,ukuran,timbangan,kualitas, harga )
d.tidak memakan hak orang lain secara paksa.
e.Bermanfaat.
2.Prinsip transaksi y6ang terlarang dalam islam.
a. terdapat unsur pemaksaan.
b. terdapat unsur kezaliman.
c. gharar/tadak jelas.
d. memakan hak orang lain.
e. mengandung mudharat.
3.Jenis-jenis aktivitas ekonomi/transaksi yang terlarang.
a. percurian, perampokan,korupsi, tindakan ini merupakan usaha untuk
mengambil ha katas milik pihak lain dengan cara paksa.Aktivitas ini

96
merupakan moral hazard yang sifatnya universal,karena semua
masyarakat di dunia menyepakati sebagai tindakan yang terlarang.
b.Perjudian/maisir = mencari keuntungan ekonomis sekedar dari
spekulasi, tanpa hasil yang riil,Contoh kongkritnya adalah perjudian
dengan media Panah,Dadu,Botohan, SDSB,Valas,Saham.Unsur
uncertainty/ketidakpastian bukan spekulasi,begitu juga game of chance
bukan judi. Hanya bila suatu tindakan bergantungan sepenuhnya pada
hasil game of chance ia termasuk mengundi nasib,dan salah satu pihak
harus menanggung beban pihak lain ia tergolong maisir dan hal ini
terlarang.Bila tidak zero sum game maka tidak disebut judi,contohnya
undian bagi Nabi Yusuf dan Bunyamin yang hadiahnya disediakan pihak
ketiga, mak halal karena tidak ada pihak yang dirugikan.
c. Najasy : tindakan penjual menaikan harga barang dengan melakukan
konpirasi dengan pihak lain, agar orang suruhan tersebut menawar atau
memuji produknya sehingga pembeli lain terpaksa mengikuti harga yang
ditentukan penjual, Ibnu Umar ra berkata, “Rasulullah Saw.Pernah
melarang najasy” Contoh riil dari najasy adalah tindakan George soros
yang menyebar isu belangkaan dollar agar harga dollar
melambung,contoh lainnya adalah penjual saham perusahaan yang
terancam bangkrut dengan menyuruh kolega-koleganya agar memburu
sahamnya,dan harga sahamnya akan melambung karena diburu pembeli
saham yang tidak tahu kondisi riil perusahaan dan mengira perusahaan
tersebut menguntungkan.
d. Tallaqi rukhan : membeli dengan harga rendah dari orang yang tidak
tahu,menjual dengan harga tinggi atau mencari keuntungan pribadi
dengan memanfaatkan asimetrit information/ketidaktahuan pelaku pasar
lainnya atau mencari keuntungan sekedar dengan memanfaatkan selisih
harga dari ketidak sempurnaan pasar, contoh konkritnya adalah calo
terminal, BPPC, “jangan hendaknya sebagian kamu menjual atas

96
penjualan sebagian yang lain, dan janganlah kamu sekalian menyongsong
barang dangangan sehinga diturunkan ke pasar”.
Dan dari Abdullah bin Umar ra. “pernah kami menyongsong para
penunggang unta,dan kami beli dari mereka bahan makanan, maka Nabi
Muhammad SAW melarang menjualnya sampai tiba di pasar bahan
makanan. Dan menurut riwayat lain : mereka membeli bahan makanan di
pasar sebelah atas, lalu menjualnya di tempat itu juga. Maka Rasulullah
SAW melarang mereka menjualnya ditempat itu sehingga
memindahkannya ke tempat lain.
e.Iktihar (Monopoli) = menimbun barang yang telah dibeli pada saat
harga barang bergejolak tinggi untuk menjualnya dengan harga barang
lebih tinggi lagi pada saat dibutuhkan penduduk setempat atau lainnya
( imam Syafi’I dan Hambali ).
“Barang siapa melakukan penimbunan untuk merusak pasar sehingga
harga naik tajam maka ia berdosa” ( HR Ibnu Ahmad).
Contoh kongkrit iktihar saat ini adalah para spekulan valas yang
menimbun dollar agar harga dollar melambung dan menjualnya saat
harga diyakini merupakan harga tertinggi. Iktihar semacam inilah yang
telah menghancurkan perekonomian Asia tenggara.
f.Monopsoni = membeli dengan rendah tanpa kewajaran,sehingga
merugikan penjual.contoh kongkritnya adalah mafia tembakau yang
memaksa petani agar menjual dengan harga rendah. Contoh lainnya
adalah para spekulan barang-barang waktu kerusuhan sampit,yang
memaksa korban kerusuhan untuk menjual barang-barang dengan harga
sangat rendah di luar batas kewajaran.
g.Riba=usaha untuk mengambil keuntungan dari pinjaman (riba
nasiah),atau perdangangan yang tidak jelas harganya (riba
fadl).kongkritnya adalah rentenir, perbankan konvensional, hutang luar

96
negeri dengan bunga, tukar-munukar barang yang tidak jelas harganya
(tukar tambah).
h.Politik Dumping/Predator pricing.tindakan menghacurkan saingan
bisnis dengan cara menjatuhkan harga di luar batas kewajaran,hingga
saingan jatuh kemudian menaikkan lagi, Umar bin Kattab ra pernah
mengetahui tindakan ini,kemudian mengancam penjual tersebut,”naikkan
hargamu atau keluar dari negerimu ini “.
i.Ekploitasi. mengambil manfaat dari kerja orang lain dengan upah yang
tidak layak menurut kebiasaan masyarakat. Rasulullah SAW melarang
untuk memberikan pekerjaan yang diluar kemampuan manusiawi.jika
terpaksa dilakukan, harus dibantu.selain itu upah harus dibayarkan tepat
waktu.tidak boleh ditunda.saat ini salah satu bentuk eksploitasi adalah
TKW yang tidak dibayar oleh majikan berbulan-bulan.
j.Penipuan, usaha untuk memperoleh keuntungan dari pihak lain dengan
memanfaatkan ketidak tahuan orang lain/dengan sengaja memanipulasi
informasi. Contoh : mengurangi timbangan, ukuran dan kualitas palsu.
k.Jual beli untuk tujuan yang mengandung mudharat (menjual barang
untuk tujuan yang merugikan orang lain).misalnya menjual pedang/pistol
pada orang yang jelas punya niat untuk membunuh,kerjasama dengan
musuh umat islam,yang bias digunakan untuk menghancurkan islam
sendiri.
l.Jual beli barang dan jasa yang terlarang ( pelacuran,danging babi,arak)
“barang siapa menahan anggur di musim panen sehingga dapatlah ia
menjualnya kepada orang yang membikinnya jadi arak,maka benar-benar
ia telah menceburkan diri ke dalam api berterang-terangan”dari Abdullah
bin Buraidah.”Allah SWT melaknat bangsa yahudi,pernah diharamkan
atas mereka lemak,maka mereka cairkan lemak-lemak itu,lalu mereka
jual hasilnya dan mereka makan harganya”. ( HR Bukhari ).

96
m. Pemalsuan Uang,dalam fegh dinamakan maghyusy,alGhazali
membolehkan pemerintah mencetak uang selain emas dan perak asal
nilainya dijamin/dijaga dan tidak boleh mengubahnya.Ibnu Khaldun
berpendapat sama,Ibnu Khaldun menyatakan bahwa kekayaan suatu
Negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang dinegara tersebut tetapi
oleh banyaknya produksi barang dan jasa serta neraca pembayaran yang
positif.
D.Perbedaan Sistem Ekonomi islam dan Sistem Ekonomi Konvensional.
Menggeliatnya perkembangan system ekonomi islam pada masa kini
seolah menjadi “amunisi” baru bagi para pengamat dan pelaku
ekonomi,system ekonomi konvensional terbukti tidak mampu lagi bias
menjawab persoalan-persoalan ekonomi yang muncul yang semakin lama
semakin kompleks.ilmu ekonomi konvensiaonal yang kelihatannya
anggun ternyata dibangun dengan pondasi yang rapuh.
Hal ini didasarkan pada falsafahnya,materialism, yang memandang
manusia hanya sebagai suatu realitas material yang ternyata kosong dari
ruh manusia itu sendiri, Asumsi-asumsi yang dijadikan landasan
analisisnya hanyak berpinjak pada pandangan dunia yang sempit karena
semua diukur dari aspek kebendaan,Ada sisi lain yang selama ini
ditinggalkan dan diabaikan. Hal ini menyebabkan ketidak seimbangan
psikologis,spritualis dan filosofis pada diri manusia sehingga apapun
yang dihasilkan tidak akan dapat mendatangkan kebahagiaan yang sejati.

Kesimpulan.
Pada krisis ekonomi yang dialami Indonesia pada kisaran tahun 1998
menjadi ujian bagi perbankan Indonesia, mayoritas bank konvensional
tidak mampu bertahan sehingga akhirnya mengalami kebangkrutan, akan
tetapi tidak bagi bank syari’ah.

96
Bagi lembaga keuangan islam (bank syariah), mudharabah merupakan
wahana utama untuk memobilisasi dana masyarakat dan untuk
menyediakan berbagai fasilitas yang diantarannya adalah transaksi
pembiayaan berdasarkan syariah, yang dilakukan oleh para pihak
perbankan syari’ah berdasarkan kepercayaan, dalam transaksi
pembiayaan mudharabah ini kepercayaan merupakan unsur yang sangat
penting. Wal akhir, keadilan dan kepercayaanlah yang selalu dipengang
teguh oleh system ekonomi islam, sehingga membuatnya tetap eksis
dalam membangun perekonomian bangsa.

DAFTAR PUSTAKA.
Ali,Mohammad Daud, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf, Jakarta :
UI-Press. 1988.
Amrullah, Ahmad, A.E Priyono dan Bintang Sucipto (Eds), Islamisasi
Ekonomi, Yogyakarta : PLP2M, 1985.
Raharjo,M.dawam, “Zakat dalam Perspektif social Ekonomi,” Pesantren,
No.2/Vol. III/1986.
Saifuddin, A.M, Nilai-nilai Sistem Ekonomi Islam,(Jakarta : Media
Da’wah, 1984).

Pertanyaan :
1. Jelaskan system ekonomi islam ?
2. Jelaskan manajemen zakat dan wakaf dalam islam ?
3. Jelaskan prinsip transaksi yang dianjurkan oleh islam ?
4. Jelaskan prinsip transaksi yang dilarang oleh islam ?
5. Jelaskan perbedaan system ekonomi islam dengan system
ekonomi konvensional ?

96
LEMBAR JAWABAN TUGAS

Nama Mahasiswa :………………………...


NPM :………………………...
Jurusan :………………………...
Kelas :………………………...

96
BAB XI
SISTEM POLITIK DALAM ISLAM

Sasaran Pembelajaran :
Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menjelaskan pengertian system politik Islam.
2. Menjelaskan prinsip-prinsip dasar politik islam dan prinsip-
prinsip luar negeri islam.
3. Menguraikan kontribusi umat islam dalam perpolitikan Nasional.

Kompetensi :
Dapat menguraikan tentang konsep politik islam dan kontribusi umat
islam dalam perpolitikan Nasianol.

A.Pengertian Politik Dalam Islam


Umat Islam berbeda pendapat tentang pengertian politik
dalam syariat Islam. Pendapat pertama menyatakan bahwa Islam
adalah suatu agama yang serba lengkap. Didalamnya terdapat antara
lain sistem ketatanegaraan atau politik. Dalam bahasa lain, sistem
politik atau fikih Siyasah merupakan bagian integral dari ajaran
Islam. Lebih jauh kelompok ini berpendapat bahwa sistem
keteladanan yang harus diteladani adalah sistem yang telah
dilaksanakan oleh Nabi Muhammad SAW. Dan para Khulafaur
Rasyidin yaitu sistem khalifah.
Pendapat kedua, kelompok yang berpendirian bahwa Islam
adalah agama dalam pengertian barat. Artinya agama tidak ada
hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini Nabi
Muhammad hanyalah seorang rasul, seperti rasul-rasul yang lain.

96
Pendapat ketiga, menolak bahwa Islam adalah agama yang
serba lengkap yang terdapat didalamnya segala sistem kehidupan
termasuk sistem ketatanegaraan, tetapi juga menolak pendapat bahwa
Islam sebagaimana pendapat barat yang hanya mengatur hubungan
manusia dengan Tuhan. Aliran ini berpendirian bahwa dalam Islam
tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata
nilai etika bagi kehidupan bernegara.
Namun perlu diingat, sejarah membuktikan bahwa nabi
kecuali sebagai rasul atau kepala agama juga beliau sebagai kepala
negara. Nabi menguasai wilayah Yastrib atau Madinah Al
Munawwarah sebagai wilayah kekuasaan nabi sekaligus menjadi
pusat pemerintahannya dengan piagam Madinah sebagai aturan dasar
negaranya. Sepeninggal Nabi, kedudukan beliau sebagai kepala
negara digantikan oleh Abu Bakar yang merupakan hasil kesepakatan
para tokoh sahabat, selanjutnya disebut Kholifah. Sistem
pemerintahannya disebut Khilfah, sistem ini berlangsung hingga
kepemimpinan di bawah kekuasaan Ali bin Abi Tholib.

B. Prinsip Dasar Politik Islah (Siyasah)


Pada garis besarnya, obyek pembahasan sistem politik Islam meliputi :
7. Siyasah dusturiyah atau fikih modern disebut hukum tata negara.
8. Siyasah dauliyah atau disebut hukum internasional dalam Islam.
9. Siyasah maliyah yaitu hukum yang mengatur tentang
pememasukan, pengelolaan dan pengeluaran uang milik negara.
Siyasah dusturiyah secara global membahas hubungan pemimpin
dengan rakyatnya serta institusi yang ada di negara itu sesuai dengan
kebutuhan rakyat untuk kemaslahatan dan pemenuhan kebutuhan
rakyat itu sendiri.

96
Siyasah Dauliyah meliputi :
4. Kesatuan umat Islam
5. Keadilan (Al adalah)
6. Persamaan (Al musawah)
7. Kehormatan manusia (Karomah Insaniyah)
8. Toleransi (Al tasamuh)
9. Kerjasama kemanusiaan
10. Kebebasan, kemerdekaan (Al Akhlak Al karomah)
Siyasah Maliyah meliputi :
1. Prinsip-prinsip kepemilikan harta.
2. Tanggung jawab sosial yang kokoh, tanggung jawab terhadap diri
sendiri, keluarga, masyarakat dan sebaliknya.
3. Zakat, hasil bumi, emas perak, ternak dan zakat fitrah.
4. Khoroj (pajak)
5. Harta peninggalan dari orang yang tidak meninggalkan ahli
waris.
6. Jizyah (harta temuan)
7. Ghonimah (harta rampasan perang)
8. Bea cukai barang import
9. Eksploitasi sumber daya alam yang berwawasan lingkungan.

C. Nasionalisme Dalam Islam


Menurut Ali Abd Al Raziq dalam bukunya “Al Ahkam Al
Sulthoniyah” berpendapat bahwa sistem khilafah timbul sebagai
perkembangan yang seharusnya dari sejarah Islam. Setelah Nabi
wafat, maka Nabi digantikan oleh Abu Bakar. Abu Bakar sebenarnya
tidak mempunyai tugas keagamaan beliau hanya kepala negara bukan
kepala agama, begitu juga Umar, Ustman dan Ali. Soal corak dan
bentuk negara bukan soal agama tetapi soal duniawi dan terserah

96
kepada akal manusia untuk menentukannya. Oleh karena itu tindakan
Mustafa Kamal pada tahun 1924 M, dapat menghapus khilafah dari
sistem kerajaan Usmani bukanlah suatu tindakan yang bertentangan
dengan ajaran Islam.
Selanjutnya Abdul Roziq mengatakan bahwa As Sunnah dan
Al Qur’an tidak menyinggung tentang sistem pemerintahan. Oleh
karena itu ajaran Islam tidak terdapat ketentuan yang jelas tentang
corak negara. Nabi Muhammad hanya mengemban tugas kerasulan
dan dalam misi beliau tidak termasuk pembentukan negara.

D. Kontribusi Umat Islam Dalam Perpolitikan Nasional


Islam sebagai agama yang mencakup persoalan spiritual dan
politik telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap
kehidupan politik di Indonesia. Pertama ditandai dengan munculnya
partai-partai yang berazaskan Islam serta partai Nasionalis yang
berbasis umat Islam. Kedua ditandai dengan sikap proaktifnya tokoh-
tokoh politik Islam dan umat Islam terhadap keutuhan negara
Kesatuan Republik Indonesia sejak proses kemerdekaan, masa-masa
mempertahankan kemerdekaan. Masa pembangunan hingga sekarang
masa reformasi.
Islam telah menyumbang banyak pada Indonesia, demikian
kata Kuntowijoyo, Islam membentuk Civic Culture (budaya
bernegara), nasional solidarity, ideologi jihad dan kontrol sosial.
Sumbangan besar Islam berujung pada keutuhan negara dan
terwujudnya persatuan kesatuan.

96
Kesimpulan.
Dengan demikian, pada dasarnya system perpolitikan dalam
islam sangat sarat dengan nilai-nilai yang ada dalam al-Quran dan al-
Hadist, jauh dengan apa yang dapat dilihat dalam perpolitikan
Indonesia sekarang ini, orang yang sudah duduk dalam anggota
dewan atau yang berkecimpung dalam dunia perpolitikan, seakan
tidak akan lepas dengan korupsi,kolusi dan nepotisme, seorang
anggota dewan misalnya mengusulkan untuk membangun sebuah
jalan atau jembatan, belum tentu niat utamanya ingin memperbaiki
infrastruktur yang ada di sebuah daerah, akan tetapi bias jadi disisi
lain ada niat politik dibalik pembangunan jalan atau jembatan
tersebut, bias jadi itu hanyalah alat yang ia gunakan untuk
membangun “Citra” nya di mana masyarakat, atau bias jadi ia
mendapat “Komisi” khususnya dapat meloloskan proyek tersebut.

DAFTAR PUSTAKA.
Azhari,Tahrir, Negara Hukum : Suatu Studi Tentang prinsip-prinsipnya
dilihat dari segi hokum islam,Implementasinya pada Periode
Negara Madinah dan masa kini,Jakarta : Bulan Bintang, 1992.
……………,Islam untuk disiplin ilmu hokum, social, dan politik,
Jakarta : Bulan Bintang, 1992.
Madjid,Nucholis, Cita-cita politik islam Era Reformasi, Jakarta :
Paradigma, Cetakan keenam, 2002.
Mohammad,Daud Ali, Pengantar ilmu hokum dan tata ilmu hokum di
Indonesia, Jakarta PT Raja Grafindo Persada, 1999.
Nasaruddin Razak, Dienul Islam, AlMa’arif, Bandung, 1993.
Nurdin,Muslim dkk, Moral dan kognisi islam, Bandung, Alfabeta, 1995.

Pertanyaan :

96
1. Jelaskan konsep politik islam ?
2. Jelaskan posisi nabi sebagai kepala Negara dan kepala agama ?
3. Jelaskan nilai-nilai dasar system politik dalam al-Quran ?
4. Jelaskan pengertian siyasah dusturiyah dan apa obyek
pembahasannya ?
5. Jelaskan pengertian siyasah dauliyah dan apa obyek
pembahasannya ?
6. Sebutkan dan jelaskan kontribusi umat islam dalam kehidupan
politik di Indonesia ?

LEMBAR JAWABAN TUGAS

96
Nama Mahasiswa :………………………...
NPM :………………………...
Jurusan :………………………...
Kelas :………………………...

96

Anda mungkin juga menyukai