Inkompatibilitas ABO
Inkompatibilitas ABO
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian /
SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unsyiah BPK RSUDZA
Banda Aceh
Oleh:
Vidya Chatmayani M
1007101010139
Pembimbing
2
BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK
BAB I
PENDAHULUAN
Ikterus merupakan masalah neonatus yang umum dan sering ditemukan pada
bayi baru lahir. Peningkatan bilirubin yang disertai ikterus ini dapat merupakan
proses fisiologis pada bayi baru lahir, namun dapat pula menunjukan suatu proses
patologis. Ikterus merupakan suatu petanda adanya penyakit (patologik) atau adanya
gangguan fungsional (fisiologik). Ikterus patologik apabila ikterus dengan dasar
patologik atau kadar bilirubin mencapai hiperbilirubinemia yaitu bila peningkatan
konsentrasi bilirubin ≥ 5 mg/dl lebih setiap 24 jam atau konsentrasi bilirubin serum
lebih dari 15 mg/dl pada bayi cukup bulan dan 12 mg/dl pada bayi kurang bulan.1,2
Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir sebagian besar disebabkan oleh bilirubin
indirek yang dapat memberikan efek toksik pada otak dan dapat menimbulkan
kematian atau cacat seumur hidup. Penyebab hiperbilirubinemia pada neonatus
banyak, namun penyebab yang tersering adalah penyakit hemolitik neonatus antara
lain karena inkompatibilitas golongan darah (rh, ABO), defek sel darah merah
(defisiensi G6PD, sferositosis), dan lain lain.3,4
Inkompatibilitas ABO merupakan salah satu penyebab penyakit hemolitik
pada bayi baru lahir yang merupakan faktor resiko tersering kejadian
hiperbilirubinemia. Ibu yang golongan darah O secara alamiah mempunyai antibodi
anti-A dan anti-B pada sirkulasinya. Inkompatibilitas ABO kira-kira 2% seluruh
kehamilan terlihat dalam ketidakselarasan golongan darah ABO dari 75% dari jumlah
3
ini terdiri dari ibu golongan darah O dan janin golongan darah A atau B. Mayoritas
inkompatibilitas ABO 40% diderita oleh anak pertama dan anak berikutnya makin
lama makin baik keadaannya. Inkompatibilitas ABO juga lebih sering terjadi pada
bayi golongan darah B daripada golongan darah A, dan lebih sering terjadi pada bayi
kulit putih dibandingkan bayi kulit hitam.1,2,4
Prognosis Inkompatibilitas ABO dengan penatalaksanaan yang baik, (95%)
dari bayi yang lahir hidup dapat diselamatkan. Kira-kira 30-35% dari bayi dengan
kelainan ini tidak memerlukan transfusi tukar. 3,5
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : By. Revina Rusady
Tanggal Lahir/ Umur : 20 Oktober 2014/ 20 hari
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Ds. Pante Pagar Air Banda Aceh
Agama : Islam
Suku : Aceh
Nomor CM : 1-02-20-69
Jaminan : JKRA
Tanggal Masuk : 21 oktober 2014
Tanggal pemeriksaan: 23 Oktober 2014
Nama orang tua
Ayah : Zaki Irawan, SE
Ibu : Revina Rusady
2.2 Anamnesis
2.2.1 Keluhan Utama
Kuning pada seluruh tubuh
2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
4
Pasien datang ke NICU RSUDZA atas rujukan dokter spesialis dengan
keluhan seluruh tubuh berwarna kekuningan. Kuning dirasakan tidak berkurang
diseluruh bagian tubuh sejak lahir. Bayi juga terlihat lemah dan tidak bergerak aktif.
Keluhan demam disangkal. Mual muntah tidak ada. Nafsu makan baik, pasien dapat
menghisap kuat saat diberikan asi. Buang air kecil dalam batas normal, urin berwarna
gelap disangkal, BAB dalam batas normal berwarna kuning kecoklatan. Pasien
bergolongan darah B, sedangkan Ibu pasien bergolongan darah O.
5
Kesadaran : Compos Mentis
HR : 130 x/menit
RR : 48 x/menit
T : 36,8 0C
2.4 Data Antropometri
Usia gestasi : 35-36 minggu
Berat Badan Lahir : 3000 gram
Berat Badan Sekarang : 3485 gram
Panjang Badan : 53 cm
6
Thoraks : Simetris, ves (+/+), rh (-/-), wh (-/-), pernafasan
abdominothorakal, retraksi (-)
Cor : BJ I > BJ II, reguler (+), bising (+), ictus cordis tidak
terlihat, ictus cordis tidak teraba
Abdomen : Soepel, simetris, distensi (+), peristaltik (+) kesan
normal, tali pusat putih mengkilat
Genetalia : Labia mayora (+) Labia Minora (+)
Anus : Terbentuk, dalam batas normal
Ekstremitas :
Superior :Ikterik (+/+) Edema (-/-), pucat (-/-), ikterik (-/-), sianosis
(-/-), akral hangat, CRT <3”
Inferior : Ikterik (+/+) Edema (-/-), pucat (-/-), ikterik (-/-), sianosis
(-/-), akral hangat, CRT <3”
7
LED : 4 mm/jam
MCV : 88,3 fL
MCH : 31,9 pg
MCHC :36,1 g/d
Lab darah rutin (25/10/2014)
Hb : 12,5 gr/dl
Ht : 36 %
Eritrosit : 4,2 x 106/mm3
Leukosit : 12,5 x 103/mm3
Trombosit : 570.000 U/L
Hitung jenis : 2/0/29/51/18
8
2.9.1 Terapi Nonmedikamentosa
Pertahankan suhu tubuh 36,5˚C-37,5˚C
Terapi sinar 48 jam
ASI ad libitum
Transfusi PRC 35cc
9
Quo ad Sanactionam : Dubia at bonam
10
tenang, gerakan sianosis (-) BAK: 173cc
Leher : Pembesaran KGB (-) BAB (-) x
kurang aktif.
Thorak : Simetris, Retraksi (+),
ves (+/+), rh (-/-), wh
(-/-), stridor (-/-)
Cor : Bj I > BJ II, Reg, Bising (-)
Abd : Distensi (+), soepel,
H/L/R tidak teraba,
Peristaltik (+) kesan
normal
Extr : Sup : edema (-/-),
pucat (-/-), ikterik
(+/+)
Inf : edema (-/-),
pucat (-/-), ikterik (-/-)
11
BB: 3485 gr T : 36,6 0C Mata : konj. Palpebra inf
anemis (-/-), sklera
PB : 53 cm BB : gr
ikterik (-/-)
PB : cm Telinga : Normotia, sekret (-)
Hidung : NCH (-), Sekret (-),
bayi tampak
epistaksis (-)
tenang. Mulut : Mukosa kering (-),
sianosis (-) P/ monitor vital sign
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thorak : Simetris, Retraksi (+),
ves (+/+), rh (-/-), wh
(-/-), stridor (-/-)
Cor : Bj I > BJ II, Reg, Bising (-)
Abd : Distensi (+), soepel,
H/L/R tidak teraba,
Peristaltik (+) kesan
normal
Extr : Sup : edema (-/-),
pucat (-/-), ikterik
(+/+)
Inf : edema (-/-),
pucat (-/-), ikterik (-/-)
12
Ass : Hiperbilirubinemia ABO
inkompatibilitas +
Distensi abdomen +
anemia
BAB III
ANALISA KASUS
Pasien datang dengan keluhan kuning pada seluruh tubuh. Ibu pasien
mengaku warna kekuningan tampak 24 jam setelah lahir dan tidak berkurang hingga
saat ini. Pasien merupakan anak pertama, ibu bergolongan darah O dan bayi
bergolongan darah B. Riwayat transfusi sebelumnya disangkal, riwayat terkena
hepatitis virus disangkal. BAB dalam batas normal tidak berwarna dempul dan BAK
dalam batas normal. Tidak ada keluarga yang menderita hal yang sama. Pasien lahir
secara sectio cesaria atas indikasi ketuban pecah dini pada G1P1A0 hamil 35-36
minggu. Air ketuban jernih. Bayi lahir segera menangis, gerakan kurang aktif. Berat
badan lahir 3000 gram dan panjang badan 50 cm.
Etiologi penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun
dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, ikterus neonatarum dapat
dibagi: 6, 7
a) Produksi yang berlebihan. Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk
mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada
inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi G6PD, piruvat
kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b) Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar Gangguan ini dapat
disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin,
gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak
terdapatnya enzim glukorinil transferase(Sindrom Criggler-Najjar). Penyebab
lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam
uptake bilirubin ke sel hepar.
13
c) Gangguan transportasi Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian
diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh
obat misalnya salisilat, sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih
banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah
melekat ke sel otak.
d) Gangguan dalam eksresi Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam
hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh
kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan
hepar oleh penyebab lain.
Inkompatibilitas ABO adalah ketidak sesuaian golongan darah antara ibu dan
bayi. Inkompatibilitas ABO dapat meyebabkan reaksi isoimun berupa hemolisis yang
terjadi apabila antibodi anti-A dan anti-B pada ibu dengan golongan darah O, A, atau
B dapat melewati plasenta dan mensensitisasi sel darah merah dengan antigen A, B,
atau AB pada janin.1,8
Inkompatibilitas ABO
Kompensasi tubuh bayi memproduksi dan melepaskan eritrosit yang imatur lebih
banyak
(eritroblas) dan berlebihan
Penumpukan bilirubun
Hiperbilirubinemia
14
Ikterus Neonatus
Gambar 3.1. Patofisiologi Ikterus pada Inkompatibilitas ABO
15
mempunyai kadar IgG anti-A atau anti-B yang tinggi yang potensial menyebabkan
eritroblastosis karena melewati sawar plasenta. Ibu golongan darah O mempunyai
kadar IgG anti-A lebih tinggi daripada ibu golongan darah B dan mempunyai kadar
IgG anti-B lebih tinggi daripada ibu dengan golongan golongan darah A. Dengan
demikian, penyakit hampir selalu terjadi bila golongan darah O. Penyakit jarang
terjadi bila ibu golongan darah A dan bayi golongan darah B. Kehamilan pertama
sering terkena sensitisasi ibu tejadi sejak awal kehidupan melalui kontak dengan
antigen A dan B. Penyakit tidak memburuk pada kehamilan berikutnya yang juga
terkena dan jika ada penyakitnya cenderung menajdi lebih ringan.1,3,8
Sekitar sepertiga bayi golongan A atau B dari ibu golongan darah O akan
mempunyai antibody ibu yang dapat dideteksi pada eritrositnya. Ini lebih sering
terjadi pada bayi golongan darah B daripada A dan lebih sering pada bayi kulit hitam
daripada bayi kulit putih dengan golongan darah A atau B. Hanya sebagian kecil dari
bayi ini yang akan mengalami gejala klinis. Pada mereka dengan penyakit klinis,
terdapat jauh lebih sedikit antibody ibu yang melekat pada tempat antigen pada
eritrosis daripa yang ada pada penyakit Rhesus klinis. Akibatnya penyakit klinis
sangat ringan dengan reaksi antiglobulin langsung bervariasi dari hanya positif secara
mikroskopis sampai 2+. Ada sedikit atau tidak ada anemia dan bilirubinemia dapat
dikendalikan dengan dengan fototerapi atau pada kebanyakan diatasi dengan satu
transfuse tukar. Namun, IgG anti-A atau IgG anti-B tampaknya lebih banyak
menyebabakan hemolisis daripada anti-Rh dalam jumlah yang sama. Dengan
demikian bayi dengan reaksi antiglobulin direk 2+ dengan penyakit ABO biasanya
akan menderita bilirubinemia lebih berat daripada bayi dengan 2+ karena penyakit
Rh.8, 10
Ringannya Hemolytic Disease of Newborn (HDN) ABO dapat dijelaskan
sebagian oleh antigen A dan Antigen B yang belum sepenuhnya berkembang pada
saat lahir dan karena netralisir sebagian antibody IgG ibu oleh antigen A dan B pada
sel-sel lain yang terjadi dalam plasma dan cairan jaringan. HDN ABO dapat
ditemukan pada kehamilan pertama dan dapat atau tidak mempengaruhi kehamilan
berikutnya. Pemeriksaan sediaan hapus darah memperlihatkan autoaglutinasi dan
16
sferositosis polikromasi dan eritroblastosis. Ibu golongan darah O dapat membentuk
anti-A dan anti-B. Destruksi pada eritrosit janin bergolongan darah A atau B
tergantung dari kekuatan antigen A dalam eritrosit. Hemolisis pada sistem ABO
terjadi pada bayi baru lahir. Bayi berwarna kuning, karena bilirubin manifes ke kulit.
Berat ringannya bayi kuning tergantung dari kadar IgG. Ciri khas destruksi Mikro
sferositosis menyebabkan fragil osmotik, volume sel kecil, protein lipid membran
sedikit sehingga aglutinasi mudah terjadi.1, 2, 8
Dua puluh sampai 25% kehamilan terjadi inkompabilitas ABO, yang berarti
bahwa serum ibu mengandung anti-A atau anti-B sedangkan eritrosit janin
mengandung antigen respective. Inkompabilitas ABO nantinya akan menyebabkan
penyakit hemolitik pada bayi yang baru lahir dimana terdapat lebih dari 60% dari
seluruh kasus. Penyakit ini sering tidak parah jika dibandingkan dengan akibat Rh,
ditandai anemia neonatus sedang dan hiperbilirubinemia neonatus ringan sampai
sedang serta kurang dari 1% kasus yang membutuhkan transfusi tukar.
Inkompabilitas ABO tidak pernah benar-benar menunjukkan suatu penyebab
hemolisis dan secara umum dapat menjadi panduan bagi ilmu pediatrik dibanding
masalah kebidanan.1, 8
Mayoritas inkompatibilitas ABO diderita oleh anak pertama dan anak-anak
berikutnya makin lama makin baik keadaannya. Gambaran klinis penyakit hemolitik
pada bayi baru lahir berasal dari inkompabilitas ABO sering ditemukan pada keadaan
dimana ibu mempunyai tipe darah O, karena tipe darah grup masing-masing
menghasilkan anti A dan anti B yang termasuk kelas IgG yang dapat melewati
plasenta untuk berikatan dengan eritrosit janin. Pada beberapa kasus, penyakit
hemolitik ABO tampak hiperbilirubinemia ringan sampai sedang selama 24-48 jam
pertama kehidupannya. Hal ini jarang muncul dengan anemia yang signifikan.
Tingginya jumlah bilirubin dapat menyebabkan kernikterus terutama pada neonatus
preterm. Fototerapi pada pengobatan awal dilakukan meskipun transfusi tukar yang
mungkin diindikasikan untuk hiperbilirubinemia. Seks predominan eritroblastosis
fetalis akibat inkompatibilitas ABO adalah sama antara laki-laki dan perempuan.1,8, 11
Hemolitik pada inkompatibilitas ABO termasuk dalam reaksi hipersensitivitas
17
tipe II. Reaksi hipersensitivitas tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terja
di karena dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bag
ian sel pejamu. Reaksi diawali oleh reaksi antara antibodi dan determinan antigen yan
g merupakan bagian dari membran sel tergantung apakah komplemen atau molekul as
esori dan metabolisme sel dilibatkan. Ibu dengan golongan darah A atau B antibodi
alami yang dimilikinya berupa antibodi kelas IgM yang tidak dapat menembus
plasenta. Sedangkan pada ibu dengan golongan darah O antibodi alaminya
didominasi oleh antibodi kelas IgG yang dapat menembus plasenta. Antibodi anti-A
dan anti-B pada ibu dengan golongan darah O yang dapat melewati plasenta akan
mensensitisasi sel darah merah dengan antigen A, B, atau AB pada janin. Antibodi
tersebut akan menyelimuti sel darah merah dan akan dilisiskan oleh enzim lysosomal
yang diproduksi makrofag dan natural killer lymphocytes.8,12
Sistem imun ibu menghasilkan antibodi yang melawan sel darah merah janin
yang dikandungnya. Pada saat ibu hamil, eritrosit janin dalam beberapa insiden dapat
masuk kedalam sirkulasi darah ibu yang dinamakan fetomaternal microtransfusion.
Bila ibu tidak memiliki antigen seperti yang terdapat pada eritrosit janin, maka ibu
akan distimulasi untuk membentuk imun antibodi. Imun anti bodi tipe IgG tersebut
dapat melewati plasenta dan kemudian masuk kedalam peredaran darah janin
sehingga sel-sel eritrosit janin akan diselimuti (coated) dengan antibodi tersebut dan
akhirnya terjadi aglutinasi dan hemolisis, yang kemudian akan menyebabkan anemia
(reaksi hipersensitivitas tipe II). Hal ini akan dikompensasi oleh tubuh bayi dengan
cara memproduksi dan melepaskan sel-sel darah merah yang imatur yang berinti
banyak, disebut dengan eritroblas (yang berasal dari sumsum tulang) secara
berlebihan.1, 8, 12
Produksi eritroblas yang berlebihan dapat menyebabkan pembesaran hati dan
limpa yang selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya hepar dan ruptur limpa.
Produksi eritroblas ini melibatkan berbagai komponen sel-sel darah, seperti platelet
dan faktor penting lainnya untuk pembekuan darah. Pada saat berkurangnya faktor
pembekuan dapat menyebabkan terjadinya perdarahan yang banyak dan dapat
18
memperberat komplikasi. Lebih dari 400 antigen terdapat pada permukaan eritrosit,
tetapi secara klinis hanya sedikit yang penting sebagai penyebab penyakit hemolitik.
Kurangnya antigen eritrosit dalam tubuh berpotensi menghasilkan antibodi jika
terpapar dengan antigen tersebut. Antibodi tersebut berbahaya terhadap diri sendiri
pada saat transfusi atau berbahaya bagi janin.5, 7
Hemolisis yang berat biasanya terjadi oleh adanya sensitisasi maternal
sebelumnya, misalnya karena abortus, ruptur kehamilan di luar kandungan,
amniosentesis, transfusi darah Rhesus positif atau pada kehamilan kedua dan
berikutnya. Penghancuran sel-sel darah merah dapat melepaskan pigmen darah merah
(hemoglobin), yang mana bahan tersebut dikenal dengan bilirubin. Bilirubin secara
normal dibentuk dari sel-sel darah merah yang telah mati, tetapi tubuh dapat
mengatasi kekurangan kadar bilirubin dalam sirkulasi darah pada suatu waktu.
Eritroblastosis fetalis menyebabkan terjadinya penumpukan bilirubin yang dapat
menyebabkan hiperbilirubinemia, yang nantinya menyebabkan jaundice pada bayi.
Bayi dapat berkembang menjadi kernikterus.13
Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang
menjurus ke arah terjadinya kern ikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar
bilirubin tidak dikendalikan. Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi
sinar, tetap tergolong non patologis sehingga disebut ‘Excess Physiological
Jaundice’. Digolongkan sebagai hiperbilirubinemia patologis (Non Physiological
Jaundice) apabila kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus >95%. Ikterus pada
bayi atau yang dikenal dengan istilah ikterus neonatarum adalah keadaan klinis pada
bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi
bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih(Sukadi,2008). Pada orang dewasa, ikterus
akan tampak apabila serum bilirubin >2 mg/dl(>17µmol/L) sedangkan pada neonatus
baru tampak apabila serum bilirubin >5mg/dl(86µmol/L)(Etika et al,2006). Ikterus
lebih mengacu pada gambaran klinis berupa pewaranaan kuning pada kulit,
sedangkan hiperbilirubinemia lebih mengacu pada gambaran kadar bilirubin serum
total. Terdapat 2 jenis ikterus yaitu yang fisiologis dan patologis.7,9,14
a. Ikterus fisiologi
19
Ikterus fisiologi adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan hari ketiga
serta tidak mempunyai dasar patologi atau tidak mempunyai potensi menjadi
karena ikterus. Adapun tanda-tanda sebagai berikut : 1. Timbul pada hari
kedua dan ketiga 2. Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada
neonatus cukup bulan. 3. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak
melebihi 5% per hari. 4. Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg%. 5.
Ikterus menghilang pada 10 hari pertama. 6. Tidak terbukti mempunyai
hubungan dengan keadaan patologis.
b. Ikterus Patologi
Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar
bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Adapun tanda-
tandanya sebagai berikut : 1. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama. 2. Kadar
bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau melebihi 12,5%
pada neonatus kurang bulan. 3. Pengangkatan bilirubin lebih dari 5 mg% per
hari. 4. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama. 5. Kadar bilirubin direk
melebihi 1 mg%. 6. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar(85-90%) terjadi
dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil(10-15%) dari senyawa lain seperti
mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin
yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi
dari heme sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme
untuk menghasilkan tertapirol bilirubin, yang disekresikan dalam bentuk yang tidak
larut dalam air(bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena ketidaklarutan ini,
bilirubin dalam plasma terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air.
Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati ,hepatosit melepas
bilirubin dari albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin ke
asam glukoronat(bilirubin terkonjugasi, direk)(Sacher,2004). Dalam bentuk
glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk ke sistem empedu
20
untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus ,bilirubin diuraikan oleh bakteri
kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan
diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur
enterohepatik, dan darah porta membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur
ulang ini umumnya diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus,
tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan
sebagai senyawa larut air bersama urin.6,7
Pada dewasa normal level serum bilirubin <1mg/dl. Ikterus akan muncul pada
dewasa bila serum bilirubin >2mg/dl dan pada bayi yang baru lahir akan muncul
ikterus bila kadarnya >7mg/dl(Cloherty et al, 2008). Hiperbilirubinemia dapat
disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi kemampuan hati normal untuk
ekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan hati(karena rusak) untuk
mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa adanya
kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga akan menyebabkan
hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam darah dan
jika konsentrasinya mencapai nilai tertentu(sekitar 2- 2,5mg/dl), senyawa ini akan
berdifusi ke dalam jaringan yang kemudian menjadi kuning. Keadaan ini disebut
ikterus atau jaundice.6,7,9
21
Gambar 3.3. Pembagian Ikterus Menurut Kremer
22
n dalam bentuk ringan tidak memerlukan pengobatan spesifik, kecuali bila terjadi ken
aikan bilirubin yang tidak wajar. Bentuk sedang memerlukan tranfusi tukar, umumnya
dilakukan dengan darah yang sesuai dengan darah ibu (Rhesus dan ABO). Jika tak ad
a donor Rhesus negatif, transfusi tukar dapat dilakukan dengan darah Rhesus positif s
esering mungkin sampai semua eritrosit yang diliputi antibodi dikeluarkan dari tubuh
bayi. Bentuk berat tampak sebagai hidrops atau lahir mati yang disebabkan oleh anem
ia berat yang diikuti oleh gagal jantung. Pengobatan ditujukan terhadap pencegahan t
erjadinya anemia berat dan kematian janin.11, 14
1. Fototerapi
Foto terapi dengan bantuan lampu blue violet dapat menurunkan kadar bilirubi
n. Fototerapi sifatnya hanya membantu dan tidak dapat digunakan sebagai terapi tung
gal. Menurut Mc Donagh (1981) terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi bili
rubi indirek yang mudah larut dalam plasma dan lebih mudah dieksresi oleh hati ke d
alam saluran empedu. Meningkatnya fotobilirubin didalam empedu menyebabkan ber
tambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus sehingga peristaltik usus menin
gkat dan bilirubin lebih cepat meninggalkan usus.6, 8, 11
2. Transfusi tukar
Tujuan transfusi tukar yang dapat dicapai adalah memperbaiki keadaan anemi
a, tetapi tidak menambah volume darah, menggantikan eritrosit yang telah diselimuti
oleh antibodi (coated cells) dengan eritrosit normal (menghentikan proses hemolisis),
mengurangi kadar serum bilirubin, menghilangkan imun antibodi yang berasal dari ib
u.6, 8
3. Transfusi albumin
Pemberian albumin sebanyak 1 mg/kg BB bayi, maka albumin akan mengikat
sebagian bilirubin indirek. Karena harga albumin cukup mahal dan resiko terjadinya o
verloading sangat besar maka pemberian albumin banyak ditinggalkan.6, 8
23
BAB IV
KESIMPULAN
24
DAFTAR PUSTAKA
25
12. Kresno SB, dkk. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2003.
13. Kalakheti BK, Singh R, Bhatta NK. Risk of Neonatal Hyperbilirubinemia in
Babies Born to O Positive Mother. Kathmandu: Kathmandu university
Medical Journal; 2009.
14. Hiscock TY, et al. Manual of Neonatal Care. USA: Library Congress
Cataloging; 2004.
26