Anda di halaman 1dari 9

Mohammad Thareq Defa - 15214011

Pengaruh Adaptasi Iklim Tropis pada Bangunan Kolonial.


(Studi Kasus: Gedung Sate, Bandung)
Mohammad Thareq Defa
15214011

Abstrak

Indonesia mengalami penjajahan oleh Bangsa Belanda selama kurang lebih 3,5 abad,
sejak tahun 1600 hingga 1942. Pada masanya, terjadi intervensi pembangunan di kota-
kota di Indonesia oleh Bangsa Belanda, sehingga rona kawasan peninggalan Bangsa
Belanda memiliki Gaya Arsitektur Kolonial. Arsitektur kolonial di Indonesia memberikan
sebuah gambaran percampuran/akulturasi dan diiringi juga dengan adaptasi yang
terbentuk oleh dua bangsa sehingga menghasilkan “Arsitektur Kolonial”. Hal-hal yang
menyangkut akulturasi dan adaptasi ini mencakup ketersediaan material, cara
membangun, ketersediaan tenaga kerja, dan penyesuaian iklim setempat. Bangunan
Kolonial yang dibangun di Indonesia tentunya tidak sama dengan Bangunan Kolonial yang
ada di Eropa maupun Amerika. Bangunan Kolonial di Indonesia tentunya memiliki ciri khas
tersendiri, baik itu penyesuaian dari bentuk akulturasi langgam kolonial dengan langgam
asli Indonesia, maupun berupa adaptasi terhadap penyesuaian iklim yang jauh berbeda
dengan iklim di Eropa maupun Amerika. Dalam menyesuaikan rancangan terhadap aspek
Iklim Tropis, para perancang Barat mempertimbangkan beberapa aspek didalamnya,
seperti kenyamanan termal terkait radiasi matahari, pola sirkulasi udara yang terkait
dengan pola ruang serta bukaan pada bangunan, pencahayaan alami, penggunaan
material, serta respon terhadap curah hujan yang tinggi. Bentuk-bentuk adaptasi yang
dilakukan dalam membangun bangunan kolonial terhadap iklim tropis di Indonesia akan
terlihat pada aspek-aspek tersebut.

Kata-kunci : Arsitektur Tropis, Arsitektur Kolonial, Gedung Sate, Bandung.

AR5121 Arsitektur dan Teknologi – Semester I-2017/2018


Pengaruh Adaptasi Iklim Tropis pada Bangunan Kolonial. (Studi Kasus: Gedung Sate, Bandung.)

A. Pendahuluan

1. Latar Belakang
Indonesia mengalami penjajahan oleh Bangsa Belanda selama kurang lebih 3,5
abad, sejak tahun 1600 hingga 1942. Pada masanya, terjadi intervensi
pembangunan di kota-kota di Indonesia oleh Bangsa Belanda.

Pembangunan yang terjadi di Indonesia tentunya memiliki pengaruh dari barat,


baik dari segi bangunan hingga tata kota. Pengaruh gaya arsitektur yang dibawa
oleh bangsa barat ke Indonesia seringkali kita sebut sebagai gaya arsitektur
kolonial.

Gaya desain kolonial pada dasarnya merupakan gaya yang berkembang di Benua
Eropa dan Amerika pada sekitar abad ke-15 hingga 16. Gaya desain ini secara
tidak langsung dibawa oleh penjajah barat ketika mereka menginvasi negara-
negara lain, salah satunya Indonesia.

Arsitektur kolonial di Indonesia memberikan sebuah gambaran


percampuran/akulturasi dan diiringi juga dengan adaptasi yang terbentuk oleh
dua bangsa sehingga menghasilkan “Arsitektur Kolonial”. Hal-hal yang
menyangkut akulturasi dan adaptasi ini mencakup ketersediaan material, cara
membangun, ketersediaan tenaga kerja, dan penyesuaian iklim setempat.

2. Masalah
Bagaimana pengaruh adaptasi bangunan kolonial terhadap iklim tropis di
Indonesia?

3. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk-bentuk adaptasi iklim
tropis pada bangunan kolonial di Indonesia, merujuk pada studi kasus di Gedung
Sate.

4. Ruang Lingkup Penelitian

Variabel Indikator
Orientasi Bangunan Arah matahari
Atap Material dan sudut kemiringan
Denah Pola ruang
Dinding Material dan dimensi

2|
Mohammad Thareq Defa - 15214011

B. Kajian Teori

Arsitektur Tropis
Menurut Lippsmeier, Arsitektur Tropis merupakan suatu rancangan bangunan yang
dirancang untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang terdapat di daerah
tropis. Pada umumnya, iklim tropis memiliki dua kondisi, yaitu musim kemarau dan
musim penghujan. Pada musim kemarau suhu udara sangat tinggi dan kondisi
lingkungan yang sangat kering. Dalam proses perancangannya, isu-isu desain utama
yang perlu diselesaikan erat kaitannya dengan kondisi iklim tropis.

Orientasi Bangunan
Menurut Lippsemeier, pengaruh orientasi bangunan terhadap kenyamanan terdapat 3
faktor, diantaranya:
1. Radiasi matahari
2. Arah dan kekuatan angin
3. Topografi

Menurut Setyo Soetriadi, orientasi bangunan terhadap radiasi matahari merupakan


sebuah aspek penerangan alami. Namun, pada iklim tropis, radiasi matahari dalam
jumlah yang berlebihan yang mengenai bangunan dapat menumbuhkan permasalahan.

Orientasi bangunan yang paling optimal berdasarkan garis edar matahari adalah
orientasi bangunan yang memiliki sisi paling lebar menghadap arah utara dan selatan.
Sehingga, radiasi matahari yang masuk secara langsung ke dalam bangunan dapat di
minimalisasi.

Atap
Aspek penting yang dapat diteliti dari atap adalah aspek material dan sudut
kemiringannya.

Material atap yang digunakan pada bangunan tropis idealnya dapat secara cepat
menyerap radiasi matahari, sehingga dapat membuat rumah menjadi lebih sejuk.
Jenis-jenis material atap yang sering dijumpai pada bangunan tropis diantaranya:
1. Genteng tanah liat
Genteng tanah liat memiliki bahan dasar tanah liat. Sumber tanah liat di Indonesia
cukup melimpah, sehingga pengguanaan material ini dinilai sebagai jenis material
yang ekonomis
2. Sirap
Sirap merupakan penutup atap yang berasal dari kayu. Kayu yang digunakan
biasanya berasal dari kayu ulin, karena sifatnya yang awet dan tahan lama. Sirap
memiliki daya serap radiasi matahari yang baik, sehingga dapat membuat
bangunan menjadi lebih sejuk.
3. Genteng aspal
Genteng aspal memiliki bahan dasar aspal. Pemasangannya kurang lebih sama
seperti genteng sirap, namun masih jarang orang yang ahli dalam pemasangannya.
Padahal, genteng aspal memiliki daya serap radiasi matahari yang tinggi.

AR5121 Arsitektur dan Teknologi – Semester I-2017/2018


Pengaruh Adaptasi Iklim Tropis pada Bangunan Kolonial. (Studi Kasus: Gedung Sate, Bandung.)

Kemiringan atap pada bangunan tropis tidak hanya mencirikan sebagai suatu identitas
bangunan tropis. Dibalik itu, kemiringan atap di bangunan tropis sangat berperan
penting dalam performa sebuah bangunan dalam merespon curah hujan.

Mengingat curah hujan di iklim tropis yang tinggi, ketika hujan datang, idealnya air
hujan yang turun mengalir melewati atap dapat segera mungkin disalurkan, hingga
berakhir di tanah, agar tidak menggenang di area atap. Oleh karena itu, kemiringan
atap sangat penting. Dengan membuat kemiringan atap yang ideal di iklim tropis,
maka distribusi air hujan juga akan berjalan dengan baik.

Denah
Menurut Lippsmeier, denah pada arsitektur tropis yang berbentuk persegi panjang
lebih menguntungkan dibandingkan dengan denah yang berbentuk bujur sangkar.
Denah persegi panjang memungkinkan adanya pergerakan angin di dalam bangunan
tersebut melalui cross ventilation. Selain itu, idealnya bentuk persegi panjang ini sisi
panjangnya mengarah ke sisi utara-selatan, sehingga perolehan radiasi matahari yang
mengenai bangunan dapat diminimalisasi.

Dinding
Menurut Lippsmeier, dinding bangunan berfungsi sebagai : stabilitas bangunan,
perlindungan terhadap hujan, angin dan debu, perlindungan terhadap radiasi matahari
secara langsung, perlindungan terhadap dingin, perlindungan terhadap kebisingan,
pengaman terhadap gangguan manusia dan hewan.

Dinding pada bangunan tropis selain berfungsi sebagai fungs-fungsi diatas, memiliki
fungsi juga sebagai media perpindahan panas. Media perpindahan panas ini memiliki
waktu pindah, waktu perpindahan tergantung kepada dimensi dan material yang
dipakai. Hal ini disebut dengan time-lag.

Saat radiasi matahari jatuh ke permukaan dinding, radiasi tersebut akan diteruskan
dinding untuk diserap kedalam bangunan. Pada prosesnya, ada penundaan
penyerapan ini yang disebabkan oleh faktor material dan dimensi dari dinding.
Semakin massif dan besar suatu dinding, maka time-lag-nya akan semakin besar.
Beberapa contoh pengaruh bahan dan ketebalan terhadap time-lag sebagai berikut:

Bahan Ketebalan Nilai-U Time-Lag


Bata 4 0,61 2,5 jam
8 0,41 5,5 jam
12 0,31 8,5 jam
Kayu 0,5 0,69 10 menit
1 0,47 25 menit
2 0,3 1 jam
Table 1. Nilai Time-Lag Bata dan Kayu
Sumber : David Egan, 1975:84

4|
Mohammad Thareq Defa - 15214011

C. Kasus

Gambar 1. Gedung Sate


Sumber: https://id.wikipedia.org (diakses pada 10 Oktober 2017)

Objek yang diteliti dalam penelitian ini adalah Gedung Sate. Gedung Sate merupakan
bangunan peninggalan Belanda yang dibangun pada tahun 1920 dan dirancang oleh J.
Gerber. Bangunan ini berlokasi di Jalan Diponegoro No. 22, Bandung. Pada saat ini
gedung ini berfungsi sebagai kantor Gubernur Jawa Barat, sedangkan pada masa
Hindia Belanda gedung ini disebut Gouvernements Bedrijven (GB).

Pemilihan Gedung Sate sebagai objek penelitian adalah adanya akulturasi antara gaya
arsitektur kolonial dan Indonesia yaitu biasa disebut dengan Gaya Indo-Eropa, (Indo
Europeeschen architectuur stijl), serta adanya adaptasi rancangan terhadap iklim tropis
di Indonesia.

D. Pembahasan

Orientasi Bangunan

Gambar 2. Diagram Garis Edar


Matahari
Sumber: Dokumen pribadi.

AR5121 Arsitektur dan Teknologi – Semester I-2017/2018


Pengaruh Adaptasi Iklim Tropis pada Bangunan Kolonial. (Studi Kasus: Gedung Sate, Bandung.)

Berdasarkan hasil pengamatan, didapatkan bahwa muka bangunan terpanjang Gedung


Sate menghadap ke arah utara dan selatan. Dapat dikatakan bahwa Gedung Sate
sudah merespon iklim tropis dengan menghindari orientasi bangunan barat timur, guna
menghindari paparan radiasi matahari yang berlebih untuk masuk ke dalam bangunan.

Atap

Gambar 3. Atap sirap Gedung Sate


Sumber: https://id.wikipedia.org (diakses
pada 10 Oktober 2017)

Berdasarkan hasil pengamatan, didapatkan bahwa material atap yang digunakan oleh
Gedung Sate adalah sirap kayu ulin. Sirap kayu ulin yang dijadikan sebagai material
atap merupakan pilihan yang baik untuk diaplikasikan pada bangunan beriklim tropis,
karena sifat kayu ulin yang dapat menyerap radiasi matahari dengan baik.

Gambar 4. Balai Kota Bandung


Sumber: https://skyscrapercity.com
(diakses pada 10 Oktober 2017)

Tidak seperti bangunan kolonial kebanyakan yang memiliki atap curam, Gedung Sate
memiliki atap yang cukup landai dengan kemiringan sekitar 25⁰. Atap yang landai
memiliki indikasi bahwa adanya percampuran gaya atap khas Amerika pada bangunan
pemerintahan. Sebagai pembanding, Gedung Balai Kota Bandung memiliki atap yang
landau sebagai ekspresi bangunan pemerintahan.

6|
Mohammad Thareq Defa - 15214011

Denah

Gambar 4. Skematik Denah Gedung


Sate
Sumber: Dokumen pribadi

Berdasarkan hasil pengamatan, didapatkan bahwa bentuk denah Gedung Sate


merupakan dua buah persegi panjang yang bersatu membentuk seperti huruf “T”.
Terdapat bukaan-bukaan pada sisi-sisi dinding-dinding Gedung Sate yang bisa
memunculkan pergerakan angin yang baik di dalam Gedung Sate melalui sistem cross
ventilation.

Dinding

Gambar 5. Repetisi Ekspresi


Ketebalan Dnding
Sumber:
http://gaedegambarist.blogspot.co.id
(diakses pada 10 Oktober 2017)

Berdasarkan hasil pengamatan, dinding Gedung Sate bermaterial batu bata dan
memiliki ketebalan dinding mencapai ketebalan satu meter. Ketebalan ini tentu bukan
hanya sebagai pembentuk karakter agar terlihat kokoh dan berwibawa, tetapi tentu
memiliki makna lain dibaliknya.

Berdasarkan data pengukuran time-lag oleh David Egan, dinding Gedung Sate
berbahan dasar batu bata dan memiliki ketebalan 1 meter, tentunya Gedung Sate
memiliki time-lag yang sangat besar. Hal ini tentunya sebagai respon dari arsitektur
tropis yang bangunannya selalu mendapatkan pancaran sinar matahari sepanjang
tahun. Dengan besarnya time-lag, radiasi panas matahari yang menembuh lapisan
dinding akan membutuhkan waktu yang lama untuk dapat menembus hingga kedalam
ruangan, sehingga ruangan akan menjadi tetap sejuk.

AR5121 Arsitektur dan Teknologi – Semester I-2017/2018


Pengaruh Adaptasi Iklim Tropis pada Bangunan Kolonial. (Studi Kasus: Gedung Sate, Bandung.)

E. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa Gedung Sate sebagai
bangunan peninggalan Bangsa Belanda atau sering kita sebut Bangunan Kolonial,
memenuhi variable-variabel yang mengindikasikan adanya adaptasi rancangan melalui
intervensi aspek iklim tropis di Indonesia. Bentuk-bentuk adaptasi tersebut dapat kita
lihat dari:

1. Orientasi bangunan yang mengarah ke arah utara dan selatan.


2. Atap yang memiliki material sirap kayu ulin.
3. Denah yang berbentuk persegi panjang.
4. Dinding bangunan yang memiliki ketebalan hingga 1 meter.

Adapun satu aspek yang kurang sesuai dengan teori arsitektur tropis, yaitu Gedung
Sate memiliki atap yang cukup landai. Rancangan atap yang landai diindikasikan
penyesuaian bangunan pemerintah dengan Gaya Amerika yang memiliki atap landau.
Sebagai pembanding, Gedung Balai Kota Bandung memiliki atap yang cukup landai
juga.

8|
Mohammad Thareq Defa - 15214011

Daftar Pustaka

Annisa, S. (2010). Kontekstual Bangunan Baru di Kawasan Gedung Sate.


(https://architecturejournals.wordpress.com/). Diakses pada 10 Oktober 2017.

Deni. (2010). Arsitektur Kolonial. (http://deni-nusantara.blogspot.co.id/2010/05/arsitektur-


kolonial.html), diakses tanggal 10 Oktober 2017.

Egan, M. David (1975). Concept in Thermal Comfort. London: Prentice-Hall International.

Lippsmeier. G. (1969). Tropenbau: Building in The Tropics. Jerman: Callwey.

Lisa, N. (2017). Pengaruh Adaptasi Arsitektur Tropis pada Bangunan Kolonial di Koridor
Jalan Blang Mee Samudera Pase. Temu Ilmiah IPLBI.

Rosadi, H. (2012). Pengaruh Sudut Kemiringan Atap Bangunan dan Orientasinya terhadap
Kualitas Termal. Temu Ilmiah IPLBI.

Ramadhan, G.(2012). Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat.


(http://gaedegambarist.blogspot.co.id/2012/05/gedung-sate-bandung-jawa-barat.html).
Diakses tanggal 10 Oktober 2017.

Soetiadji, Setyo. (1986). Anatomi Utilitas. Jakarta: Djambatan.

Suriastuti, M. (2014). Kajian Penerapan Konsep Kearifan Lokal Pada Perancangan


Arsitektur Balaikota Bandung. Jurnal Itenas Rekarupa.

Yuuwono, A. (2006). Pengaruh Orientasi Bangunan Terhadap Kemampuan Menahan


Panas pada Rumah Tinggal di Perumahan Wonorejo Surakarta. Tesis. Pascasarjana
Universitas Diponegoro Semarang.

AR5121 Arsitektur dan Teknologi – Semester I-2017/2018

Anda mungkin juga menyukai