Kebijakan Pembatasan Obat Pedoman Umum Bpom
Kebijakan Pembatasan Obat Pedoman Umum Bpom
Obat bebas terbatas adalah obat yang dijual bebas dan dapat dibeli tanpa dengan resep dokter, tapi disertai
dengan tanda peringatan. Tanda khusus untuk obat ini adalah lingkaran berwarna biru dengan garis tepi
hitam.
Khusus untuk obat bebas terbatas, selain terdapat tanda khusus lingkaran biru, diberi pula tanda peringatan
untuk aturan pakai obat, karena hanya dengan takaran dan kemasan tertentu, obat ini aman dipergunakan
untuk pengobatan sendiri. Tanda peringatan berupa empat persegi panjang dengan huruf putih pada dasar
hitam yang terdiri dari 6 macam, yaitu:
Obat Keras adalah obat yang hanya dapat diperoleh dengan resep dokter. Ciri-cirinya adalah bertanda
lingkaran bulat merah dengan garis tepi berwarna hitam, dengan huruf K ditengah yang menyentuh garis
tepi. Obat ini hanya boleh dijual di apotik dan harus dengan resep dokter pada saat membelinya.
Obat Wajib Apotek adalah beberapa obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter, namun harus
diserahkan oleh apoteker di apotek. Pemilihan dan penggunaan obat DOWA harus dengan bimbingan
apoteker. Daftar obat wajib apotek yang dikeluarkan berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan. Sampai saat
ini sudah ada 3 daftar obat yang diperbolehkan diserahkan tanpa resep dokter.
Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) merupakan daftar obat terpilih yang paling dibutuhkan dan yang
diupayakan tersedia di unit pelayanan kesehatan sesuai dengan fungsi dan tingkatnya.
Dari sisi medis, obat esensial sedikit banyak dapat dikaitkan dengan obat pilihan (drug of choice). Dalam
hal ini hanya obat yang terbukti memberikan manfaat klinik paling besar, paling aman, paling ekonomis,
dan paling sesuai dengan sistem pelayanan kesehatan yang ada yang dimasukkan sebagai obat esensial.
Tujuan kebijakan obat esensial adalah untuk meningkatkan ketepatan, keamanan, kerasionalan penggunaan
dan pengelolaan obat yang sekaligus meningkatkan daya guna dan hasil guna biaya yang tersedia sebagai
salah satu langkah untuk memperluas, memeratakan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan kepada
masyarakat. Kriteria obat esensial yang dibuat oleh Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) dan juga telah
diadopsi di Indonesia adalah sebagai berikut:
Memiliki rasio manfaat-risiko (benefit risk ratio) yang paling menguntungkan pasien
Mutu terjamin, termasuk stabilitas dan ketersediaan hayati (bioavailability)
Praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan
Praktis dalam penggunaan dan penyerahan yang disesuaikan dengan tenaga, sarana dan fasilitas
kesehatan
Menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh pasien
Memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi berdasarkan biaya langsung dan tidak
langsung
Bila terdapat lebih dari satu pilihan yang memiliki efek terapi yang serupa,maka pilihan diberikan
kepada obat yang:
o Sifatnya paling banyak diketahui berdasarkan data ilmiah
o Sifat farmakokinetiknya diketahui paling banyak menguntungkan
o Stabilitas yang paling baik
o Paling mudah diperoleh
o Obat yang telah dikenal
Obat jadi kombinasi tetap, dengan kriteria sebagai berikut:
o Obat bermanfaat bagi pasien hanya bila dalam bentuk kombinasi tetap
o Kombinasi tetap terbukti memberikan khasiat dan keamanan lebih baik dibanding masing-masing
komponennya
o Perbandingan dosis komponen kombinasi tetap merupakan perbandingan yang tepat untuk sebagian
besar pasien yang memerlukan kombinasi tersebut.
o Kombinasi tetap harus meningkatkan rasio manfaat dan keamanan
o Kombinasi antibakteri harus dapat mencegah atau mengurangi terjadinya resistensi atau efek
merugikan lain.
Di Indonesia, penerapan DOEN harus dilaksanakan secara konsisten dan terus menerus di semua unit
pelayanan kesehatan.
Obat Generik
Obat yang beredar di pasaran umumnya berdasarkan atas nama dagang yang dipakai oleh masing-masing
produsennya. Karena tiap produsen jelas akan melakukan promosi untuk masing-masing produknya, maka
harga obat dengan nama dagang umumnya lebih mahal. Kebijakan obat generik adalah salah satu kebijakan
untuk mengendalikan harga obat, di mana obat dipasarkan dengan nama bahan aktifnya.
Agar para dokter dan masyarakat dapat menerima dan menggunakan obat generik, diperlukan langkah-
langkah pengendalian mutu secara ketat. Di Indonesia, kewajiban menggunakan obat generik berlaku di
unit-unit pelayanan kesehatan pemerintah.
Agar upaya pemanfaatan obat generik ini dapat mencapai tujuan yang diinginkan, maka kebijakan tersebut
mencakup komponen-komponen berikut:
Produksi obat generik dengan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Produksi dilakukan oleh
produsen yang memenuhi syarat CPOB dan disesuaikan dengan kebutuhan akan obat generik dalam
pelayanan kesehatan.
Pengendalian mutu obat generik secara ketat.
Distribusi dan penyediaan obat generik di unit-unit pelayanan kesehatan sesuai dengan Cara Distribusi
Obat yang Baik
Peresepan berdasarkan nama generik, bukan nama dagang.
Penggantian (substitusi) dengan obat generik diusulkan diberlakukan di unit-unit pelayanan kesehatan.
Informasi dan komunikasi mengenai obat generik bagi dokter dan masyarakat luas secara
berkesinambungan.
Pemantauan dan evaluasi berkala terhadap penggunaan obat generik.
Mutu obat generik tidak perlu diragukan mengingat setiap obat generik juga mendapat perlakuan yang sama
dalam hal evaluasi terhadap pemenuhan kriteria khasiat, keamanan dan mutu obat. Namun, sekarang ini
terdapat kecenderungan bahwa penggunaan obat generik mulai menurun. Untuk itu hasil dari pemeriksaan
mutu dan informasi mengenai obat generik harus selalu dikomunikasikan kepada pemberi pelayanan maupun
ke masyarakat luas.
Mengingat pengembangan dan penerapan FRS adalah untuk meningkatkan mutu pelayanan melalui
penggunaan obat yang aman, efektif, rasional dan juga dalam rangka efisiensi biaya pengobatan, maka
pengembangan FRS perlu melibatkan berbagai pihak yang terkait di rumah sakit, yakni pihak pengelola
obat, manajemen rumah sakit, dan keahlian- keahlian klinik yang ada. Keputusan untuk memasukkan suatu
obat dalam FRS harus didasarkan atas kesepakatan akan kriteria tertentu yang mencakup bukti, manfaat
klinis obat, keamanan obat, kesesuaian obat dengan pelayanan yang ada di rumah sakit dan biaya. Faktor-
faktor ini harus dikaji secara ilmiah dari sumber-sumber informasi ilmiah yang layak dipercaya. Kajian tidak
cukup hanya berdasarkan informasi yang diberikan oleh produsen obat.
FRS yang telah dikembangkan harus disosialisasikan di kalangan dokter, dan dalam penerapannya harus
dilakukan pemantauan secara berkesinambungan. Hasil pemantauan dipakai untuk pelaksanaan evaluasi dan
revisi agar sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran.
Pedoman Pengobatan
Di banyak sistem pelayanan kesehatan, baik di negara maju maupun negara berkembang, saat ini banyak
dikembangkan dan dilaksanakan pedoman pelayanan termasuk pedoman pengobatan dalam berbagai tingkat
pelayanan. Unit-unit pelayanan kesehatan, baik di tingkat primer, sekunder maupun tersier, membutuhkan
suatu pedoman pengobatan yang bertujuan untuk meningkatkan efektifitas, keamanan maupun cost-
effectiveness tindakan farmakoterapi yang diberikan.
Kebutuhan pedoman pengobatan dilator-belakangi oleh banyaknya alternatif pengobatan yang ada untuk
setiap jenis penyakit dan juga adanya kebiasaan pengobatan yang sangat beragam di antara para dokter
berdasarkan pengalamannya masing-masing. Prinsip kedokteran berdasarkan bukti (evidence based
medicine) menuntut bahwa alternatif terapi yang terbukti secara ilmiah paling bermanfaat, paling aman,
paling sesuai dan paling ekonomis untuk pasien yang harus dipilih dan diberikan kepada pasien.
Agar pedoman pengobatan dapat memberikan manfaat sesuai dengan tujuannya, maka beberapa hal berikut
perlu mendapatkan perhatian:
Pedoman pengobatan dikembangkan berdasarkan informasi ilmiah yang layak dan handal.
Pedoman pengobatan dikembangkan dengan melibatkan berbagai faktor dalam sistem pelayanan
kesehatan yang bersangkutan.
Pedoman pengobatan perlu disosialisasikan kepada para dokter.
Perlu pemantauan ketaatan terhadap pedoman pengobatan melalui audit atau studi penggunaan obat di
unit-unit pelayanan kesehatan.
Pedoman pengobatan memuat penyakit yang umum dijumpai di unit pelayanan kesehatan.
Pedoman pengobatan harus disesuaikan dengan sarana pelayanan dan pelaku pelayanan yang ada.
Mengembangkan pedoman pengobatan dan menyebarluaskannya ke unit-unit pelayanan kesehatan saja tidak
akan memberikan banyak dampak perubahan terhadap kebiasaan penggunaan obat. Pedoman pengobatan
perlu dipakai dan ditaati oleh para dokter dalam pelaksanaan pelayanan dan secara berkala dilakukan
pemeriksaan (audit) dan pemantauan (monitoring) kebiasaan penggunaan obat. Hasil pemeriksaan dan
pemantauan ini perlu diumpanbalikkan kepada para dokter sebagai masukan yang diharapkan akan
meningkatkan mutu penggunaan obatnya.
Untuk menjamin penggunaan obat yang tepat, semua profesional kesehatan harus mewaspadai lima hal yang
harus tepat dalam pemberian obat yaitu: “Tepat pasien, tepat obat, tepat dosis, tepat rute pemberian dan tepat
waktu pemberian”. Dalam manajemen risiko, semua hal yang harus tepat ini diubah/ dibalik menjadi
kategori medication error. Beberapa masalah dalam pemberian obat yang dikategorikan sebagai medication
error, adalah sebagai berikut:
1. Memberikan obat yang salah yaitu memberikan obat yang sebenarnya tidak diresepkan untuk pasien
tersebut.
2. Kelebihan jumlah sediaan yang diberikan, yaitu apabila sediaan yang diberikan lebih besar dari total
jumlah sediaan pada saat diminta oleh dokter. Contoh: apabila dokter meminta obat untuk diberikan
hanya pada pagi hari namun pasien juga menerima obat untuk digunakan pada sore hari.
3. Kesalahan dosis atau kesalahan kekuatan obat yaitu apabila pada sediaan yang diberikan terdapat
kesalahan jumlah dosis
4. Kesalahan rute pemberian yaitu apabila obat diberikan melalui rute yang berbeda dengan yang
seharusnya, termasuk juga sediaan yang diberikan pada tempat yang salah. Contoh: obat seharusnya
diteteskan pada telinga sebelah kanan tetapi diteteskan pada telinga sebelah kiri.
5. Kesalahan waktu pemberian yaitu apabila waktu pemberian obat berbeda dari seharusnya tanpa ada
alasan yang kuat dan memberikan perbedaan efek yang cukup signifikan.
6. Kesalahan bentuk sediaan yaitu apabila bentuk sediaan yang diberikan berbeda dengan yang diminta
oleh dokter Contoh: memberikan tablet padahal yang diminta adalah suspensi
Contoh medication error yang berhubungan dengan singkatan dan simbol
Maksud
Singkatan sebenarnya Error Rekomendasi
Nama Obat
Singkatan:
MTX Mitosantron
Metotreksat
Magnesium
Sulfat
MS (MgSO4)
Morfin Sulfat
Stemmed
names:
Jangan
Nitro drip menyingkat nama
obat
Nitroprusid Nitrogliserin
Simbol
Memisahkan
dua dosis atau
untuk 1 (angka 1);
mengindikasikan contoh lain Tuliskan ‘per’
per misalnya jangan menuliskan
25unit/10 simbolnya
/ unit dibaca
sebagai 110
unit
Salah dibaca
+ sebagai
Tanda tambah angka 4 Tuliskan ‘dan’
Nilai desimal
Pencantuman
angka “Nol”
Nol setelah setelah koma
nilai desimal berbahaya karena
(contoh 1.0 Salah dibaca dapat disalah
mg) sebagai 10 artikan, karena itu
1 mg mg jangan digunakan
Singkatan istilah. Pada umumnya, istilah-istilah dari obat dan sediaan sebaiknya ditulis secara lengkap.
Misalnya penulisan sediaan injeksi antibiotik dengan kekuatan 1 gram seringkali ditulis “1 g”. Hal ini
sebaiknya ditulis secara lengkap yaitu “1 gram”.
Kekuatan dan kuantitas. Kekuatan atau kuantitas dari sediaan kapsul, tablet hisap, tablet, dan lain-lain
harus ditetapkan oleh dokter penulis resep.
Jika apoteker menerima resep yang tidak lengkap untuk suatu sediaan yang digunakan secara sistemik dan
berpendapat bahwa pasien tidak perlu kembali ke dokter, prosedur seperti berikut ini dapat diterapkan:
a. Harus dilakukan usaha untuk menghubungi dokter penulis resep untuk memastikan maksudnya.
b. Jika usaha yang dilakukan untuk menghubungi dokter penulis resep berhasil, sesudah itu jika
memungkinkan apoteker harus mengusahakan supaya kuantitas, kekuatan yang dapat digunakan, dan
dosis dapat disisipkan/disusulkan oleh penulis resep pada resep yang tidak lengkap tersebut.
c. Selanjutnya, meskipun dokter penulis resep telah berhasil dihubungi, perlu didokumentasikan secara
tertulis pada resep bahwa dokter sudah dihubungi dan tambahkan informasi mengenai kuantitas dan
kekuatan yang dapat digunakan dari sediaan yang tersedia, dan dosis sesuai indikasi. Catatan tersebut
sebaiknya diberi nama dan tanggal oleh apoteker.
d. Apabila dokter penulis resep tidak dapat dihubungi dan atau apoteker ragu-ragu dalam mengambil
keputusan, resep yang tidak lengkap tersebut sebaiknya dikirimkan kembali kepada dokter penulis
resep.
Eksipien/Bahan Tambahan
Bahan resmi, yang dibedakan dari sediaan resmi, tidak boleh mengandung bahan yang ditambahkan, kecuali
secara khusus diperkenankan dalam monografi. Apabila diperkenankan, pada penandaan harus tertera nama
dan jumlah bahan tambahan tersebut. Kecuali dinyatakan lain dalam monografi atau dalam ketentuan umum
Farmakope Indonesia, bahan-bahan yang diperlukan seperti bahan dasar, penyalut, pewarna, penyedap,
pengawet, pemantap dan pembawa dapat ditambahkan ke dalam sediaan resmi untuk meningkatkan
stabilitas, manfaat atau penampilan maupun untuk memudahkan pembuatan. Bahan tambahan tersebut
dianggap tidak sesuai dan dilarang digunakan, kecuali (a) bahan tersebut tidak membahayakan dalam jumlah
yang digunakan, (b) tidak melebihi jumlah minimum yang diperlukan untuk memberikan efek yang
diharapkan, (c) tidak mengurangi ketersediaan hayati, efek terapi atau keamanan dari sediaan resmi, (d) tidak
mengganggu dalam pengujian dan penetapan kadar.
Udara dalam wadah sediaan resmi dapat dikeluarkan atau diganti dengan karbondioksida, helium, nitrogen
atau gas lain yang sesuai. Gas tersebut harus dinyatakan pada etiket, kecuali dinyatakan lain dalam
monografi.
Sediaan yang dibuat baru
Suatu produk sebaiknya hanya dibuat baru apabila tidak ada produk tersebut yang beredar di pasaran.
British Pharmacopoeia (BP) mengatur bahwa sediaan yang harus dibuat segar berarti bahwa sediaan
tersebut harus dibuat tidak lebih dari 24 jam sebelum sediaan tersebut digunakan. Tujuan pengaturan agar
suatu sediaan sebaiknya dibuat baru menunjukkan bahwa perubahan/peruraian cenderung terjadi apabila
sediaan tersebut disimpan selama lebih dari 4 minggu pada temperatur 15-250C.
Kata air tanpa keterangan lain berarti merupakan air yang direbus dan air purifikasi yang didinginkan.
Keamanan di rumah
Pasien harus diingatkan untuk menyimpan semua obat jauh dari jangkauan anak-anak. Semua sediaan padat,
cair oral dan eksternal harus diserahkan dalam wadah yang dapat ditutup yang tidak dapat dibuka oleh anak-
anak kecuali jika:
Kemasan asli obat tidak memungkinkan hal ini
Pasien akan mengalami kesulitan dalam membuka kemasan yang tidak dapat dibuka oleh anak-anak
Adanya permintaan khusus supaya sediaan tersebut tidak diserahkan dalam kemasan yang tidak dapat
dibuka oleh anak-anak
Tidak tersedia kemasan yang tidak dapat dibuka oleh anak-anak khususnya untuk sediaan cair
Semua pasien sebaiknya disarankan untuk membuang obat yang sudah tidak terpakai.
Produk Komplemen
Dewasa ini, informasi mengenai obat herbal atau produk komplemen telah semakin banyak ditemui. Namun,
IONI hanya menyajikan informasi mengenai produk yang dikategorikan sebagai obat. Referensi mengenai
obat herbal atau produk komplemen beserta interaksi obat herbal dengan obat dari bahan kimia antara lain
dapat dilihat pada Buku Informatorium Suplemen Makanan–Badan POM.
Obat dan Pengaruhnya Terhadap Kewaspadaan Saat Menjalankan Mesin
Tenaga kesehatan harus memberi informasi kepada pasien jika terapi yang diberikan dapat mempengaruhi
kemampuan dalam mengendarai kendaraan bermotor. Pasien harus diberi informasi bahwa selama minum
obat seperti golongan sedatif, jangan menjalankan mesin atau mengendarai kendaraan bermotor. Efek obat
golongan sedatif dapat meningkat dengan adanya alkohol, karena itu hindari minum obat ini bersama-sama
dengan alkohol.
Nama Obat
Nama obat harus muncul pada etiket kecuali dokter menginstruksikan hal lain.
a. Kekuatan obat harus dinyatakan dalam kemasan/etiket, jika sediaan (bentuk tablet, kapsul atau bentuk
sediaan lain) memiliki berbagai kekuatan yang berbeda.
b. Jika dokter menginginkan ada keterangan seperti misalnya “tablet sedatif” pada etiket obat, dokter harus
menuliskannya pada resep
c. Nama obat dapat tidak ditulis jika terdapat beberapa kandungan obat (merupakan kombinasi)
d. Nama obat yang ditulis pada etiket harus sama dengan nama obat yang tertulis pada resep
Menjaga Keamanan dan Keabsahan Resep
Untuk menjamin validitas resep dan tidak disalahgunakan, disarankan agar:
tidak meninggalkan blanko resep di meja praktek tanpa pengawasan
tidak meninggalkan blanko resep di dalam mobil dan tampak dari luar
jika tidak digunakan, sebaiknya blanko resep disimpan dalam tempat yang terkunci.
Jika terdapat keraguan terhadap keabsahan suatu resep, apoteker harus menghubungi dokter penulis resep.
Penulisan Resep
Resep merupakan dokumen legal yang digunakan sebagai sarana komunikasi secara profesional dari dokter
kepada penyedia obat, agar penyedia obat memberikan obat kepada pasien sesuai dengan kebutuhan medis
yang telah ditentukan oleh dokter.
Resep harus ditulis secara jelas dan mudah dimengerti. Harus dihindari penulisan resep yang menimbulkan
ketidakjelasan, keraguan, atau salah pengertian mengenai nama obat serta takaran yang harus
diberikan. Menulis resep secara tidak jelas seperti yang sering terjadi saat ini, merupakan kebiasaan yang
tidak benar.
Resep harus memuat unsur-unsur informasi mengenai pasien, pengobatan yang diberikan dan nama dokter
yang menulis resep. Informasi tentang pasien mencakup nama, jenis kelamin, dan umur. Di beberapa unit
pelayanan kesehatan di negara-negara tertentu, diagnosis juga sering ditulis dalam resep. Ini memungkinkan
dilakukan pengecekan ulang terhadap jenis obat yang ditulis oleh dokter pada saat pemberi obat
menyediakan obatnya. Informasi tentang obat mencakup nama obat (seyogyanya nama generik, kecuali
kalau memang benar-benar diperlukan nama dagang), bentuk sediaan dan kekuatan sediaan, cara dan aturan
penggunaan, serta jumlah satuan yang diinginkan. Informasi mengenai dokter mencakup nama dokter,
alamat, keahlian, nomor ijin dokter atau ijin praktek. Beberapa pesan khusus bila perlu ditulis secara jelas,
misalnya diminum berapa jam sebelum makan, diminum pada saat perut kosong dan sebagainya. Resep
harus memuat tanda tangan dokter secara resmi.
Pendidikan Berkelanjutan
Pendidikan berkelanjutan berperan penting dalam mengikuti kemajuan-kemajuan mutakhir di bidang
farmakoterapi, terutama jika dikaitkan dengan prinsip kedokteran berdasarkan bukti (evidence based
medicine). Kemajuan farmakoterapi dan penemuan obat-obat baru sedemikian pesatnya, sehingga dokter
harus selalu mengikuti kemajuan-kemajuan ini agar dapat menelaah serta memilih secara kritis, obat yang
layak digunakan dalam praktek.
Adalah sikap yang keliru untuk menerapkan begitu saja suatu obat yang baru tanpa menelaah dan
membandingkannya dengan pilihan utama yang sudah ada, dalam hal manfaat klinis, keamanan, biaya dan
kesesuaian dengan situasi dan kondisi pasien yang harus menggunakan obat.
Para dokter juga harus dapat menelaah dan memilih alternatif sumber informasi maupun media (misalnya
kegiatan ilmiah) yang akan diikuti untuk pendidikan berkelanjutan. Banyak media ilmiah yang sebenarnya
merupakan ajang promosi obat baru, namun dikemas sedemikian rupa sehingga pesannya tersamarkan.
Organisasi-organisasi profesi sering menyelenggarakan kegiatan pendidikan berkelanjutan, tetapi sayangnya
juga seringkali tidak dapat lepas dari beban promosi obat baru.
Dalam perkembangan pelayanan kedokteran di tingkat global ini, perlu dikembangkan suatu mekanisme
atau sistem pendidikan berkelanjutan yang benar-benar terakreditasi, bebas dari pesan-pesan promosi produk
teknologi kedokteran dan obat.
Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, obat-obat yang termasuk golongan psikotropika
golongan I adalah brolamfetamina, etisiklidina, etriptamina, katinon, (+)-lisergida, metkatinon, psikosibina,
rolisiklidina, tenamfetamina, tenosiklidina. Psikotropika golongan II adalah amfetamina, deksamfetamina,
fenetilina, fenmetrazina, fensiklidina, levamfetamina, meklokualon, metamfetamina, metakualon,
metilfenidat, sekobarbital, zipepprol. Psikotropika golongan III adalah amobarbital, buprenorfina, butalbital,
glutetimida, katina, pentazosina, pentobarbital, siklobarbital. Psikotropika golongan IV adalah allobarbital,
alprazolam, amfepramona, aminorex, barbital, benzfetamina, bromazepam, brotizolam, delorazepam,
diazepam, estazolam, etil amfetamina, etil loflazepate, etinamat, etklorvinol, fencamfamina, fendimetrazina,
fenobarbital, fenproporeks, fentermina, fludiazepam, flurazepam, halazepam, haloksazolam, kamazepam,
ketazolam, klobazam, kloksazolam, klonazepam, klorazepat, klordiazepoksida, klotiazepam, lefetamina,
loprazolam, lorazepam, lo rmetazepam, mazindol, medazepam, mefenoreks, meprobamat, mesokarb,
metilfenobarbital, metiprilon, midazolam, nimetazepam, nitrazepam, nordazepam, oksazepam, oksazolam,
pemolina, pinazepam, pipradol, pirovalerona, prazepam, sekbutabarbital, temazepam, tetrazepam, triazolam,
vinilbital.
Selain narkotika dan psikotropika, prekursor dan alat-alat yang potensial dapat disalahgunakan untuk
melakukan tindak pidana narkotika ditetapkan sebagai barang di bawah pengawasan Pemerintah.
Untuk obat yang profil keamanannya sudah diketahui dengan baik tidak perlu dilaporkan, efek samping yang
bahayanya relatif kecil seperti mulut kering dengan anti depresan trisiklik atau konstipasi dengan opioid
tidak perlu dimasukan dalam pelaporan.
Masalah Khusus
Efek obat yang tertunda.
Beberapa reaksi (misalnya kanker, retinopati klorokuin, dan fibrosis retroperitoneal) terjadi/muncul
beberapa bulan atau tahun setelah pemberian. Bila ada kecurigaan harus dilaporkan. Pada lansia, dokter perlu
mengawasi terjadinya reaksi ini karena risikonya lebih besar.
Jika bayi lahir dengan abnormalitas kongenital atau pada kasus abortus dengan malformasi, dokter perlu
mempertimbangkan kemungkinan sebagai reaksi obat dan perlu mencatat seluruh riwayat pengobatan
selama hamil termasuk self medication.
Untuk anak diperlukan pemantauan khusus untuk mengidentifikasi dan melaporkan reaksi yang tidak
diinginkan, termasuk yang disebabkan oleh penggunaan obat-obat yang tidak disetujui (off-label); semua
reaksi yang dicurigai harus dilaporkan.
Pencegahan terjadinya reaksi yang tidak diinginkan ini meliputi:
Jangan gunakan obat jika indikasinya tidak jelas. Jika pasien dalam kondisi hamil, jangan gunakan obat
kecuali benar-benar dibutuhkan.
Alergi dan idiosinkrasi merupakan sebab penting terjadinya reaksi ini. Pasien perlu ditanyakan adanya
riwayat reaksi sebelumnya.
Tanyakan pada pasien apakah sedang mengkonsumsi obat lain, termasuk self medication, karena bisa
terjadi interaksi obat.
Umur dan penyakit hati atau renal memperlambat metabolisme dan eksresi sehingga dibutuhkan dosis
yang lebih kecil. Faktor genetik juga mungkin terkait dengan variasi kecepatan metabolisme, khususnya
isoniazid dan anti depresan.
Resepkan obat sesedikit mungkin dan beri petunjuk yang jelas, terutama pada lanjut usia dan pasien
yang nampaknya sulit mengerti instruksi yang diberikan.
Jika mungkin gunakan obat-obat yang sudah dikenal. Jika menggunakan obat baru, harus diperingatkan
terhadap efek samping atau kejadian yang tidak diharapkan.
Jika kemungkinan terjadinya reaksi pada pasien cukup serius perlu untuk memperingatkan pasien.
Pemantauan keamanan penggunaan obat dilakukan melalui program Monitoring Efek Samping Obat
(MESO) karena beberapa jenis efek samping yang tidak terdeteksi pada tahap pengembangan obat dapat
timbul setelah penggunaan obat secara luas pada jangka waktu lama. Di Indonesia, Program MESO
dimulai sejak tahun 1975, dan dicanangkan pada tahun 1981. Tujuan utama program MESO Nasional ini
adalah mendeteksi sedini mungkin setiap kemungkinan timbulnya efek obat yang tidak diinginkan yang
terjadi di Indonesia, untuk mencegah kejadian efek samping serupa secara luas. Dengan pelaksanaan MESO
diharapkan akan diperoleh informasi baru mengenai efek samping obat (ESO), tingkat kegawatan serta
frekuensi kejadiannya, sehingga dapat segera dilakukan tindak lanjut yang diperlukan.
Dalam program MESO Nasional, digunakan pelaporan secara sukarela (voluntary reporting) bagi tenaga
kesehatan dan wajib bagi industri farmasi. Pemilihan metode ini karena merupakan sistem yang relatif sedikit
membutuhkan biaya dan bila terlaksana dengan baik cukup efektif untuk pengumpulan laporan ESO dari
profesi kesehatan. Keuntungan lain dari sistem ini adalah kemungkinan dapat menemukan ESO yang jarang
terjadi, fatal atau gawat. Disamping itu kualitas laporan ESO cukup objektif karena tidak dikaitkan dengan
suatu kewajiban atau biaya. Namun kelemahan sistem pelaporan secara sukarela ini adalah bergantung pada
peran aktif dokter, dokter gigi, apoteker dan tenaga kesehatan lain, dan tenaga kesehatan tersebut di Rumah
Sakit pada khususnya sebagai sumber yang potensial dalam pelaporan ESO.
Secara fungsional pusat MESO Nasional berada di Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM).
Untuk pelaksanaan MESO, dibentuk Panitia MESO Nasional yang bertugas untuk menilai laporan ESO yang
diterima, menganalisis data hasil evaluasi, dan memberikan rekomendasi tindak lanjut yang perlu dilakukan.
Dalam penyelenggaraan MESO, Pusat MESO Nasional bekerjasama dengan WHO Collaborating Center for
International Drug Monitoring. Dalam kerjasama ini, Pusat MESO Nasional secara teratur menerima
informasi mengenai MESO dari WHO dan juga memberikan masukan kepada WHO. Formulir laporan
MESO tersedia di Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan
PKRT, Badan Pengawas Obat dan Makanan. Selain MESO, Badan POM juga memonitor efek samping obat
tradisional; efek samping suplemen makanan dan efek samping kosmetik dengan menggunakan Formulir
Monitoring Efek Samping Obat Tradisional MESOT), Formulir Monitoring Efek Samping Suplemen
Makanan (MESOSM) dan Formulir Monitoring Efek Samping Kosmetik (MESK)
Formulir laporan monitoring kategori produk tersebut di atas dapat diperoleh Direktorat Penilaian Obat
Tradisional, Suplemen Makanan dan Kosmetik, Badan Pengawas Obat dan Makanan
Zat tambahan, terutama minyak-minyak esensial, dapat menyebabkan kulit sensitif, tetapi pembengkakan
mukosa yang terjadi biasanya tidak terlalu nyata.
Pasien yang diberi obat sitotoksik mudah sekali terserang ulkus terutama pada mukosa oral,
misalnya metotreksat. Obat-obat lain yang menyebabkan ulkus meliputi emas, nikorandil, AINS,
pankreatin, penisilamin, dan proguanil. Kaptopril (dan penghambat ACE lainnya) dapat
menyebabkan stomatitis.
Berbagai bentuk eritema (termasuk sindrom Steven-Johnson) dapat terjadi setelah penggunaan bermacam-
macam obat, seperti
antibakteri, golongan sulfonamid, dan antikonvulsan; mukosa mulut dapat terjadi ulserasi yang meluas,
dengan lesi pada kulit dengan karakter khusus. Lesi mulut pada toxic epidermal necrolysis (Lyell’s sindrom)
telah dilaporkan terjadi pada obat-obat. Erupsi lisenoid dikaitkan dengan penggunaan AINS, metildopa,
klorokuin, antidiabetik oral, diuretik tiazid, dan emas.
Kandidiasis dapat memperburuk pengobatan dengan antibakteri dan immunosuppresan dan merupakan efek
samping kadang terjadi pada pemberian kortikosteroid inhaler.
Periodontium
Pertumbuhan gingival yang terlalu cepat (gingival hyperplasia) merupakan efek samping dari fenitoin dan
kadang-kadang akibat siklosporin atau nifedipin (dan beberapa antagonis kalsium lain). Trombositopenia
mungkin berkaitan dengan obat dan dapat menyebabkan perdarahan pada daerah gusi, yang mungkin secara
spontan atau akibat dari trauma ringan (seperti sikat gigi).
Kelenjar Ludah
Umumnya efek obat berakibat pada kelenjar ludah yaitu mengurangi aliran (xerostomia). Pasien dengan
mulut kering yang menetap mungkin higienitas mulutnya kurang; hal ini dapat berkembang menjadi karies
gigi, dan infeksi pada mulut. (terutama kandidiasis). Penggunaan yang berlebihan dari diuretik dapat juga
mengakibatkan xerostomia. Banyak obat yang mengakibatkan xerostomia, terutama antimuskarinik
(antikolinergik), antidepresan (termasuk antidepresan trisiklik, dan selective serotonin re-uptake inhibitors),
baklofen, bupropion, klonidin, opioid, dan tizanidin. Beberapa obat (seperti klozapin, neostigmin) dapat
meningkatkan produksi ludah tetapi hal ini jarang terjadi, kecuali jika pasien mengalami kesulitan menelan,
Rasa sakit pada kelenjar ludah telah dilaporkan pada pemberian beberapa antihipertensi (seperti: klonidin,
metildopa) dan alkaloid vinka. Bengkak pada kelenjar ludah dapat diakibatkan oleh Iodida, obat antitiroid,
fenotiazin, ritodrin dan sulfonamid.
Pengecap
Sensasi rasa dapat berkurang ketajamannya atau berubah. Obat yang mengakibatkan sensasi rasa meliputi
amiodaron, kaptopril (dan penghambat ACE lain), karbimazol, emas, griseofulvin, garam litium,
metronidazol, penisilamin, penindion, propafenon, terbinafin, dan zopiklon.
Peresepan Pada Anak
Anak terutama neonatus mempunyai respons yang berbeda terhadap pemberian obat dibandingkan dengan
orang dewasa. Perhatian khusus perlu diberikan pada masa neonatus (umur 0-30 hari) karena dosis harus
selalu dihitung dengan cermat. Pada umur ini, risiko efek toksik bertambah karena filtrasi ginjal yang belum
efisien, defisiensi relatif enzim, sensitivitas organ target yang berbeda, dan belum memadainya sistim
detoksifikasi yang menyebabkan lambatnya eksresi obat.
Jika memungkinkan, injeksi intramuskular harus dihindarkan karena menyebabkan rasa sakit pada anak.
Seyogyanya obat yang diresepkan untuk anak memang obat yang mempunyai lisensi khusus untuk anak,
namun demikian anak sering membutuhkan obat yang tidak mempunyai lisensi khusus.
Menetapkan kekuatan sediaan obat dalam bentuk kapsul atau tablet penting dilakukan karena sebetulnya
banyak anak yang bisa menelan kapsul atau tablet dan menyukai obat dalam bentuk padat. Orang tua
mempunyai peranan yang penting dalam membantu menentukan sediaan yang tepat untuk anak. Apabila
dibutuhkan resep obat berbentuk sediaan cair yang diberikan secara oral kurang dari 5 ml, maka bisa
diberikan bentuk sediaan tetes yang diberikan secara oral. Pada pemberian sediaan tetes secara oral,
hendaknya orang tua anak diberi tambahan informasi untuk jangan menambahkan sediaan tersebut pada susu
atau makanan bayi/anak.
Apabila diberikan bersama dengan susu atau makanan bayi/anak, kemungkinan bisa terjadi interaksi atau
dosis yang diberikan berkurang karena anak tidak menghabiskan susu atau makanan tersebut.
Orang tua harus diperingatkan agar menjauhkan semua obat dari jangkauan anak.
Anak mungkin memerlukan dosis per kilogram yang lebih besar dibandingkan dengan orang dewasa karena
kecepatan metabolismenya lebih tinggi. Beberapa masalah yang perlu dipertimbangkan antara lain, anak
yang gemuk akan mendapat dosis yang terlalu besar, untuk itu dosis harus diperhitungkan berdasarkan berat
ideal dan dikaitkan dengan tinggi badan dan umur. Penghitungan berdasarkan luas permukaan tubuh lebih
akurat dibandingkan dengan berat badan karena fenomena fisiologis tubuh lebih dekat berhubungan dengan
luas permukaan tubuh. Rata-rata luas permukaan tubuh pada orang dewasa dengan berat badan 70 kg adalah
1,8 m2. Untuk anak-anak rumus yang bisa digunakan adalah:
Frekuensi Dosis
Umumnya antibakteri diberikan dalam waktu tertentu dalam beberapa hari. Untuk menghindari anak bangun
pada malam hari diberikan beberapa fleksibilitas. Misalnya dosis malam hari diberikan pada saat mau tidur.
Peresepan Pada Kehamilan
Penggunaan obat selama masa kehamilan dapat menimbulkan efek yang membahayakan bagi janin. Hal ini
penting untuk diingat ketika meresepkan obat untuk wanita dan laki-laki usia subur. Selama
masa trimester pertama kehamilan, obat dapat menyebabkan malformasi kongenital (teratogenesis), dan
risiko terbesar berada pada minggu ketiga sampai dengan minggu ke sebelas kehamilan. Selama trimester ke
dua dan ke tiga kehamilan, obat dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan fungsional janin atau
dapat berefek toksik pada organ janin. Obat yang diberikan sesaat sebelum atau selama persalinan dapat
menyebabkan efek samping yang merugikan terhadap proses persalinan atau pada bayi yang baru dilahirkan.
Pada Lampiran 4: Kehamilan dicantumkan daftar obat yang:
Mungkin memiliki efek yang membahayakan terhadap kehamilan dan angka dalam kurung
menunjukkan trimester yang berisiko.
Belum diketahui bahayanya terhadap kehamilan.
Daftar ini disusun berdasarkan data penggunaan obat pada manusia, tetapi juga mencakup data uji pada
hewan untuk beberapa obat yang jika tidak dicantumkan bisa menyesatkan.
Obat hanya boleh diresepkan pada masa kehamilan jika manfaat bagi ibu lebih besar daripada risiko pada
janin dan jika mungkin semua obat harus dihindari selama trimester pertama. Obat yang sudah secara luas
digunakan pada kehamilan dan biasanya aman harus lebih dipilih dibandingkan obat baru atau obat yang
belum diuji coba, tetapi dengan menggunakan dosis efektif terendah. Beberapa obat telah diketahui bersifat
teratogenik pada manusia.
Namun tidak diragukan lagi bahwa tidak ada obat yang aman jika diberikan pada awal kehamilan.
Prosedur screening (USG) merupakan cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui risiko cacat yang
mungkin terjadi.
Bila obat tidak ada dalam daftar tidak berarti obat tersebut aman digunakan pada kehamilan.
harus digunakan dengan perhatian atau yang dikontraindikasikan pada wanita menyusui dengan
pertimbangan di atas
berdasarkan bukti terkini dapat diberikan selama menyusui karena terdistribusi dalam ASI dalam jumlah
yang sangat kecil untuk dapat menimbulkan efek yang membahayakan bayi
belum diketahui menimbulkan efek yang membahayakan bayi, meskipun terdistribusi dalam ASI dalam
jumlah yang bermakna.
Banyak obat yang belum memiliki cukup bukti yang dapat dijadikan acuan, karena itu disarankan hanya
obat-obat essensial saja yang diberikan pada wanita menyusui. Dikarenakan kurangnya informasi tersebut,
daftar pada lampiran tersebut hanya sebagai panduan; apabila obat tidak terdapat dalam daftar bukan
berarti obat tersebut aman untuk digunakan pada wanita menyusui.
Peresepan Pada Lansia
Sejumlah perubahan akan terjadi dengan bertambahnya usia, termasuk anatomi, fisiologi, psikologi dan
sosiologi. Karena itu terapi pengobatan pada pasien lansia secara signifikan berbeda dari pasien pada usia
muda. Dampak yang timbul dari penggunaan obat-obatan yang digunakan sebelumnya juga mempengaruhi
terapi pengobatan. Keputusan terapi untuk pasien lansia sedapat mungkin didasarkan pada hasil uji klinik
yang secara khusus didesain untuk pasien lansia.
Peresepan yang Tepat
Pasien lansia memerlukan pelayanan farmasi yang berbeda dari pasien usia muda. Penyakit yang beragam
dan kerumitan regimen pengobatan adalah hal yang sering terjadi pada pasien lansia. Faktor-faktor inilah
yang menyebabkan pasien mengalami kesulitan dalam mematuhi proses pengobatan mereka sendiri seperti
menggunakan obat dengan indikasi yang salah, menggunakan obat dengan dosis yang tidak tepat atau
menghentikan penggunaan obat.
Pada pasien lansia keseimbangan antara manfaat pemberian dengan bahaya yang mungkin timbul dari
beberapa obat-obatan dapat berubah. Oleh karena itu, obat untuk pasien lansia harus ditinjau secara berkala
dan obat-obatan yang tidak bermanfaat harus dihentikan.
Untuk mengatasi gejala seperti sakit kepala, sulit tidur dan pusing lebih tepat menggunakan pendekatan non
farmakologikal, bila hal ini berhubungan dengan tekanan sosial seperti menjanda, kesepian dan
diusir/dikucilkan keluarga.
Pada beberapa kasus pemberian obat-obat profilaksis mungkin tidak tepat jika obat-obat tersebut dapat
menyebabkan komplikasi dengan pengobatan yang sedang dijalani atau menyebabkan efek samping yang
sebenarnya bisa dihindari, terutama pada pasien lansia dengan prognosis atau kondisi kesehatan yang buruk.
Bagaimanapun, pasien lansia tidak dapat mengesampingkan obat-obatan yang dapat membantu mereka,
seperti antikoagulan atau obat anti platelet untuk fibrilasi atrial, antihipertensi, statin, dan obat untuk
osteoporosis.
Bentuk Sediaan
Pasien lansia yang lemah sulit untuk menelan tablet; jika tertinggal di mulut, dapat menyebabkan
ulserasi. Karena itu mereka harus selalu menelan tablet atau kapsul dengan menggunakan banyak cairan
sambil berdiri untuk menghindari kemungkinan ulserasi esofageal. Jika memungkinkan akan sangat
membantu bila dapat berdiskusi dengan pasien untuk kemungkinan pemberian obat dalam bentuk cairan.
Karakteristik Pasien Lansia
Pada pasien yang sangat tua, manifestasi dari ketuaan secara normal dapat meyebabkan kesalahan dalam
mendefinisikan penyakit dan dapat mengantarkan pada peresepan yang tidak tepat. Biasanya, usia
berhubungan dengan melemahnya otot dan kesulitan untuk menjaga keseimbangan tetapi hal ini jangan
selalu dikaitkan dengan penyakit saraf. Gangguan seperti pusing tidak ada hubungan dengan hipotensi
postural atau postprandial sehingga tidak selalu ditolong dengan menggunakan obat.
Pengobatan Sendiri
Seperti halnya pada pasien dengan usia lebih muda, pengobatan sendiri dengan produk obat bebas (OB) atau
obat bebas terbatas (OBT) atau mengkonsumsi obat yang diresepkan untuk penyakit-penyakit sebelumnya
(atau bahkan mengkonsumsi obat dari orang lain) dapat menambah komplikasi. Diskusi dengan pasien dan
keluarganya atau lebih baik kunjungan ke rumah mungkin diperlukan untuk menetapkan apa yang sebaiknya
diberikan pada pasien lansia.
Sensitivitas
Akibat penuaan pada sistem saraf menyebabkan melemahnya kepekaan pada banyak obat yang biasa
digunakan, seperti analgesik opioid, benzodiazepin, antipsikotik dan obat antiparkinson, di mana semua
harus digunakan dengan hati-hati. Begitu juga, organ-organ yang lain akan makin peka terhadap efek obat
seperti obat antihipertensi dan AINS.
Farmakokinetik
Efek yang paling penting dari lansia adalah berkurangnya klirens ginjal. Banyak pasien lansia akan
mengalami perlambatan ekskresi obat, dan makin rentan terhadap obat nefrotoksik. Penyakit akut dapat
menyebabkan penurunan klirens ginjal secara cepat, terutama bila disertai dehidrasi. Demikian juga
metabolisme beberapa obat dapat menurun pada pasien lansia. Perubahan farmakokinetik dapat ditandai
dengan meningkatnya kadar obat dalam jaringan pada pasien lansia, terutama pada pasien yang lemah
sehingga memerlukan pengurangan dosis. Obat-obatan dengan indeks terapetik sempit harus diberikan
dengan pengurangan dosis, contohnya adalah digoksin dan aminoglikosida dan pengurangan dosis sebanyak
50% sebagai dosis awal dianjurkan pada banyak kasus. Penyesuaian dosis dapat tidak diperlukan untuk obat
dengan indeks terapetik yang luas, contoh: penisilin. Bagaimanapun, profesi kesehatan harus waspada
terhadap obat-obat yang potensial menimbulkan masalah pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
Farmakodinamik
Sensitivitas jaringan terhadap obat juga mengalami perubahan sesuai pertambahan umur seseorang.
Mempelajari perubahan farmakodinamik lansia lebih kompleks dibanding farmakokinetiknya karena efek
obat pada seseorang pasien sulit dikuantifikasi; di samping itu bukti bahwa perubahan farmakodinamik itu
memang ada harus dalam keadaan bebas pengaruh efek perubahan farmakokinetik. Perubahan
farmakodinamik dipengaruhi oleh degenerasi reseptor obat di jaringan yang mengakibatkan kualitas reseptor
berubah atau jumlah reseptornya berkurang.
Berikut ini disampaikan beberapa contoh obat yang sering digunakan pada lansia dengan beberapa
pertimbangan sesuai respons yang bisa berbeda:
Warfarin: perubahan farmakokinetik tak ada, maka perubahan respon yang ada adalah akibat perubahan
farmakodinamik. Sensitivitas yang meningkat adalah akibat berkurangnya sintesis faktor-faktor pembekuan
pada lansia.
Nitrazepam: perubahan respons juga terjadi tanpa perubahan farmakokinetik yang berarti. Hal ini
menunjukkan bahwa pada lansia sensitivitas terhadap nitrazepam memang meningkat. Lebih lanjut data
menunjukkan bahwa pemberian diazepam intravena pada pasien lansia memerlukan dosis yang lebih kecil
dibandingkan pasien dewasa muda, selain itu efek sedasi yang diperoleh memang lebih kuat dibandingkan
pada usia dewasa muda. Triazolam: pemberian obat ini pada warga lansia dapat mengakibatkan postural
sway- nya bertambah besar secara signifikan dibandingkan dewasa muda.
Sensitivitas obat yang berkurang pada lansia juga terlihat pada pemakaian obat propranolol. Penurunan
frekuensi denyut nadi setelah pemberian propranolol pada usia 50 – 65 tahun ternyata lebih rendah
dibandingkan mereka yang berusia 25 – 30 tahun. Efek tersebut adalah pada reseptor β1; efek pada reseptor
β2 yakni pelepasan insulin dan vasodilatasi akibat pemberian isoprenalin tidak terlihat.
Perubahan sensitivitas menunjukkan bahwa terdapat perubahan pada pasca-reseptor intraselular.
Obat Lain
Obat lain yang biasanya menyebabkan efek yang tidak diinginkan adalah obat antiparkinson, antihipertensi,
psikotropik dan digoksin. Dosis pemeliharaan digoksin pada pasien dengan usia sangat lanjut adalah 125
mcg sehari (62,5 mcg pada pasien dengan penyakit ginjal); dosis yang lebih rendah seringkali tidak
mencukupi tetapi biasanya terjadi toksisitas pada pemberian 250 mcg sehari.
Obat yang menyebabkan gangguan pada darah lebih jauh lebih sering terjadi pada lansia. Begitu juga obat
yang dapat menyebabkan depresi sumsum tulang belakang (misalnya kotrimoksasol, mianserin) harus
dihindarkan kecuali tidak ada alternatif lain yang tersedia. Pada umumnya pasien lansia memerlukan dosis
pemeliharaan warfarin yang rendah dibandingkan dengan dewasa muda; dengan kemungkinan pendarahan
yang mungkin terjadi cenderung lebih serius.
Pedoman
Selalu pertimbangkan bahwa obat memang benar-benar diindikasikan
Pembatasan. Sebaiknya obat yang diberikan terbatas saja dengan efek obat pada pasien lansia sudah
diketahui dengan pasti.
Penurunan Dosis. Umumnya dosis untuk pasien lansia lebih rendah dibandingkan untuk pasien dengan usia
yang lebih muda. Dosis biasanya dimulai dari 50% dosis dewasa. Pemakaian beberapa obat (misalnya
antidiabetik kerja panjang seperti glibenklamid dan klorpropamid) harus dihindari sama sekali.
Pengkajian secara berkala. Secara berkala buat kajian terhadap resep obat yang diberikan berulang.
Berdasarkan pemantauan kemajuan klinis, beberapa pasien dapat dihentikan pemberian beberapa obatnya.
Bila fungsi ginjal menurun kemungkinan diperlukan pengurangan dosis beberapa obat.
Sederhanakan Regimen. Pengobatan dengan regimen yang sederhana akan menguntungkan bagi pasien
lansia. Hanya obat dengan indikasi jelas yang diresepkan dan apabila memungkinkan diberikan 1 atau 2 kali
sehari. Regimen yang interval dosisnya membingungkan harus dihindari.
Terangkan Dengan Jelas. Tulis instruksi secara lengkap pada setiap resep (termasuk pengulangan resep)
jadi kemasan harus diberi label dengan petunjuk lengkap. Hindari keterangan ”seperti petunjuk”. Kemasan
yang mudah rusak oleh anak-anak mungkin tidak sesuai.
Pengulangan dan Pemusnahan. Beritahukan pasien apa yang harus dilakukan bila obat sudah habis, dan
juga bagaimana menyingkirkan obat apabila tidak diperlukan lagi. Resepkan dengan jumlah yang sesuai.
Apabila petunjuk ini diikuti diharapkan banyak lansia akan mampu mengatasi masalah terkait obat yang
digunakan. Jika instruksi ini tidak diikuti maka perlu diikut sertakan pihak ketiga (biasanya keluarga atau
teman) untuk membantu.
Peresepan Pada Terapi Paliatif
Terapi paliatif adalah terapi pada pasien yang tidak responsif dengan terapi kuratif. Tujuannya adalah
mengurangi nyeri dan gejala yang lain, mengurangi masalah psikologis, sosial dan spiritual, serta yang paling
penting meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarganya. Pemantauan gejala dan apa yang diperlukan
pasien dilakukan oleh tim multidisiplin. Jumlah obat diusahakan sesedikit mungkin. Preparat oral biasanya
lebih memuaskan. Namun bila terjadi mual, muntah, sakit menelan, lemah, dan koma dibutuhkan pemberian
parenteral.