Anda di halaman 1dari 52

PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK DENGAN

METODE HOMOGENISASI

NINA JUSNITA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul “Produksi Nanoemulsi


Ekstrak Temulawak dengan Metode Homogenisasi” adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014

Nina Jusnita
NIM F351110031

*
Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak luar IPB harus
didasarkan pada perjanjian kerjasama yang terkait
RINGKASAN

NINA JUSNITA. Produksi Nanoemulsi Ekstrak Temulawak dengan Metode


Homogenisasi. Dibimbing oleh LIESBETINI HADITJAROKO dan ERLIZA
NOOR.

Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) telah digunakan secara luas


untuk mengatasi kurang nafsu makan, gangguan saluran cerna, eksema dan
jerawat. Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) mengandung pigmen berwarna
kuning yang dikenal dengan kurkuminoid (kurkumin dan desmetoksikurkumin),
protein, fosfor, kalium, zat besi dan vitamin C. Diantara kedua fase kurkuminoid
tersebut, kurkumin merupakan kandungan tertinggi dan utama dalam temulawak
(50-60 %). Penyajian temulawak saat ini dalam bentuk rendaman rajangan atau
serbuk bahan dengan air panas. Hal ini membuat senyawa aktif yang tersari
kurang efektif, karena sifat kurkumin yang tidak dapat larut dalam air serta
memiliki bioavailabilitas yang rendah. Karena kelemahan tersebut, maka perlu
dicari alternatif proses produksi yaitu dengan pembuatan nanoemulsi.
Kombinasi bahan pengemulsi dan penstabil akan menghasilkan ukuran
butiran emulsi lebih kecil. Pada penelitian ini digunakan Tween 80 sebagai
emulsifier karena mudah didapat, larut dalam air dan cocok digunakan untuk
emulsi minyak dalam air. Maltodekstrin juga ditambahkan sebagai bahan
pengental yang bertujuan untuk meningkatkan viskositas dan memperlambat
proses pengendapan, sehingga nanoemulsi yang dihasilkan akan stabil.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kondisi terbaik pembuatan
nanoemulsi ekstrak temulawak dengan metode homogenisasi, dengan melihat
pengaruh konsentrasi ekstrak temulawak, kecepatan dan waktu pengadukan.
Dalam penelitian ini, temulawak diekstraksi dengan cara maserasi menggunakan
pelarut etanol dengan nisbah serbuk temulawak terhadap etanol 1:5 selama 3 jam
menggunakan pengadukan putaran 220 rpm. Setelah itu, dipekatkan dengan
rotavapour dan didapat ekstrak temulawak. Ekstrak temulawak sebagai fase
minyak dengan konsentrasi 20 dan 30 %, kemudian dicampurkan dengan fase air
yang terdiri dari buffer fosfat pH 7, Tween 80 (10 % v/v) dan maltodekstrin (1:1
b/v) dalam pembuatan nanoemulsi. Kecepatan putaran yang digunakan yaitu 20
000, 22 000 dan 24 000 rpm dengan waktu pengadukan selama 20, 30 dan 40
menit.
Nanoemulsi ekstrak temulawak menghasilkan karakteristik yang lebih
baik. Hal ini dapat dilihat dari warna, ukuran butiran, viskositas, pH, kelarutan
dan bioavailabilitasnya. Nanoemulsi yang dihasilkan berwarna transparan.
Nanoemulsi ekstrak temulawak dengan ukuran butiran kurang dari 100 nm
diperoleh dengan konsentrasi ekstrak temulawak 30 % dengan kecepatan
pengadukan 22 000 rpm selama 20 menit yaitu sebesar 95 nm. Nanoemulsi
tersebut memiliki nilai viskositas 3,23 cP dan pH yang sesuai dengan kondisi kulit
dan usus manusia yaitu 6,79. Nanoemulsi ekstrak temulawak dapat larut dalam
pelarut non polar yaitu heksan dan aseton, pelarut semi polar yaitu etanol dan
metanol serta pelarut polar yaitu air. Nanoemulsi memiliki bioavailabilitas yang
lebih tinggi (21,75 %) dibandingkan dengan emulsi ekstrak temulawak (0,32 %).

Kata kunci: nanoemulsi, temulawak, nanoemulsi ekstrak temulawak


SUMMARY

NINA JUSNITA. Production of Nanoemulsion of Curcuma xanthorriza Roxb.’s


Extract by Homogenization Method. Supervised by LIESBETINI
HADITJAROKO dan ERLIZA NOOR.

Curcuma xanthorriza Roxb. has been used widely for treatment of lack of
appetite, stomach ulcers, eczema, and acne. Curcuma xanthorriza Roxb. contain
yellow pigments known as curcuminoids (curcumin and desmetoxicurcumin),
protein, phosphorus, potassium, iron and vitamin C, with curcumin as the highest
component (50-60 %). Curcuma xanthorriza Roxb. is served by soaking the
rhizome or powder in hot water. Curcumin has a low bioavailability and poor-
water solubility, to enhance its properties, the curcumin convert to nanoemulsion.
The combination of emulsifiers and stabilizers will result a smaller droplets.
In this study, Tween 80 was used as emulsifier because can easily to get, soluble
in water and suitable for oil in water emulsions. In making nanoemulsion of
curcuma extract, maltodextrin is added as a thickening agent which can increase
the viscosity and slow down the deposition process, thus resulting nanoemulsion
more stable.
Nanoemulsions stabilized by Tween 80 and maltodextrin were prepared by
homogenization. The purposes of this study were to produce nanocurcumin by
homogenization methode and to see the effect of curcumin extract, the speed and
time of homogenization. In this research, the curcuma extract was produced by
maceration in ethanol with ratio of simplicia powder to ethanol 1:5 for 3 hours
with stirring at 220 rpm. To produced nanoemulsion, 20 and 30 % of curcumin
extract as the oil phase was mixed by continue phase that consist of buffer
phosphat pH 7, Tween 80 (10 % v/v) and maltodextrin (1:1 v/w). The oil and
continue phase were mixed by homogenizer at 20 000, 22 000 and 24 000 rpm for
20, 30 and 40 minutes.
Nanoemulsion of curcuma extract produces better characteristics. It can be
seen from the color, droplet size, viscosity, pH, solubility and bioavailability.
Nanoemulsion of curcuma extract have transparent color. The research was able
to produce nanocurcumin with the droplet size 95 nm (less than 100 nm) by using
a variation of the stirring speed 22 000 for 20 minute and curcumin concentration
30 %. The viscosity of nanoemulsion was 3,23 cP and has pH that suitable to
human’s skin (6,79). Nanoemulsion of curcuma extract soluble in non-polar
solvents (hexane and acetone), semi-polar solvent (ethanol and methanol) as well
as the polar solvent (water). Nanoemulsion also have a higher bioavailability
(21,75 %) compared with extracts of curcumin emulsion (0,32 %).

Keywords: nanoemulsion, Curcuma xanthorriza Roxb., nanoemulsion of


Curcuma xanthorriza Roxb.’s Extract
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PRODUKSI NANOEMULSI EKSTRAK TEMULAWAK
DENGAN METODE HOMOGENISASI

NINA JUSNITA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Dwi Setyaningsih S.TP, M.Si
Judul Tesis : Produksi Nanoemulsi Ekstrak Temulawak dengan Metode
Homogenisasi
Nama : Nina Jusnita
NIM : F351110031

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Liesbetini Haditjaroko, MS Prof Dr Ir Erliza Noor


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Teknologi Industri Pertanian

Prof Dr Ir Machfud, MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 21 Juli 2014 Tanggal Lulus:


PRAKATA
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu
wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penyusunan tesis dengan judul
“Produksi Nanoemulsi Ekstrak Temulawak dengan Metode Homogenisasi”
berhasil diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan
gelar magister di Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih atas doa dan
dukungannya kepada :
1. Dr Ir Liesbetini Haditjaroko, MS dan Prof Dr Ir Erliza Noor selaku
pembimbing yang selalu memberi arahan, masukan, dan bimbingannya
kepada penulis selama menyelesaikan tesis.
2. Dr Dwi Setyaningsih S.TP, M.Si selaku penguji ujian tesis yang telah
memberikan masukan dan saran dalam penulisan dan penyusunan naskah
tesis.
3. Prof Dr Ir Machfud, MS selaku ketua Program Studi Teknologi Industri
Pertanian.
4. Dosen Program Studi Teknologi Industri Pertanian.
5. Laboran laboratorium Teknologi Industri Pertanian.
6. Mama, Papa, kak Rini dan Titi yang selalu memberi dukungan, kasih sayang
dan doa yang tiada henti sehingga tesis ini dapat diselesaikan.
7. Laboran laboratorium Farmasetika non Steril Universitas Indonesia
8. Teman-teman mahasiswa Pascasarjana Program Studi Teknologi Industri
Pertanian angkatan 2011 atas bantuan dan kebersamaan yang diberikan.

Akhirnya kepada semua pihak yang telah banyak membantu, tiada balasan
yang dapat disampaikan melainkan doa yang tulus semoga Allah SWT membalas
amal baik yang telah diberikan agar senantiasa selalu dalam lindungan-Nya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan menjadi acuan para pembaca untuk
melakukan pengembangan penelitian selanjutnya. Semoga ilmu yang penulis
peroleh dapat bermanfaat untuk kemaslahatan umat dan tesis ini dapat
dikembangkan, diaplikasikan dan bermanfaat menuju bangsa dan negara yang
mandiri. Aamiin.

Bogor, September 2014

Nina Jusnita
DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR ii
DAFTAR LAMPIRAN iii
1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Perumusan Masalah 2
1.3 Tujuan 3
1.4 Ruang Lingkup 3
2 TINJAUAN PUSTAKA 3
1.1 Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) 3
2.2 Kurkumin 4
2.3 Ekstraksi 5
2.4 Emulsi 6
2.5 Nanoemulsi 7
3 METODOLOGI 10
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan 10
3.2 Bahan dan Alat 10
3.3 Metode Penelitian 10
3.4 Rancangan Percobaan dan Analisis Data 13
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 13
4.1 Ekstrak temulawak 13
4.2 Karakterisasi Nanoemulsi ekstrak temulawak 14
5 SIMPULAN DAN SARAN 26

UCAPAN TERIMA KASIH 27


DAFTAR PUSTAKA 27
LAMPIRAN 32
DAFTAR GAMBAR

1 Struktur kimia kurkumin 5


2 Jenis-jenis kerusakan emulsi 6
3 Diagram alir pembuatan ekstrak temulawak 12
4 Diagram alir pembuatan nanoemulsi ekstrak temulawak 12
5 Rata-rata ukuran butiran (nm) nanoemulsi ekstrak temulawak
dengan konsentrasi ekstrak temulawak 20% 16
6 Rata-rata ukuran butiran (nm) nanoemulsi ekstrak temulawak
dengan konsentrasi ekstrak temulawak 30% 16
7 Nilai viskositas (cP) nanoemulsi ekstrak temulawak dengan konsentrasi
ekstrak temulawak 20% 19
8 Nilai viskositas (cP) nanoemulsi ekstrak temulawak dengan konsentrasi
ekstrak temulawak 30% 19
9 Distribusi ukuran partikel nanoemulsi ekstrak temulawak 22
10 Kelarutan nanoemulsi ekstrak temulawak terhadap pelarut heksan (a),
aseton (b), etanol (c), metanol (d) dan air (e) 24

DAFTAR TABEL

1 Komposisi utama temulawak 4


2 Metode-metode pembuatan nano beserta ukuran yang dihasilkan 8
3 Komposisi bahan dalam nanoemulsi 11
4 Karakteristik serbuk temulawak 14
5 Rata-rata ukuran partikel dengan metode Zaenal 17
6 Kestabilan nanoemulsi ekstrak temulawak 21
7 Nilai kelarutan kurkumin pada tingkat kepolaran pelarut 24
8 Karakteristik ekstrak temulawak dan nanoemulsi ekstrak temulawak 26
DAFTAR LAMPIRAN

1 Karakterisasi Sifat Nano ekstrak temulawak dan nanoemulsi


ekstrak temulawak 32
2 Analisis Rendemen Ekstrak Temulawak 35
3 Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Rata-rata Ukuran Butiran 35
Nanoemulsi
3a Uji Lanjutan Anova Pengaruh Konsentrasi Ekstrak temulawak, 35
Kecepatan dan Waktu Pengadukan Terhadap Rata-rata Ukuran butiran
Nanoemulsi
4 Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Viskositas Nanoemulsi 36
4a Uji Lanjutan Anova Pengaruh Konsentrasi Ekstrak temulawak, 36
Kecepatan dan Waktu Pengadukan Terhadap Viskositas Nanoemulsi
5 Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap pH Nanoemulsi 36
6 Gambar Nanoemulsi dengan konsentrasi ekstrak temulawak 37
20% dan 30%
7 Gambar Alat Sel Difusi Franz 37
1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Maraknya gerakan kembali ke alam (back to nature) menyebabkan


penggunaan bahan obat alami di dunia meningkat. Bagi Indonesia, gerakan ini
dapat membantu mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku dan obat
konvensional yang berasal dari impor. Penggunaan bahan alami dapat
meminimalkan efek negatif dari penggunaan obat kimia serta harga yang lebih
murah. Meningkatnya kebutuhan akan herbal tersebut merupakan peluang besar
bagi Indonesia untuk mengembangkan budidaya dan agribisnis tanaman obat-
obatan.
Temulawak merupakan salah satu jenis tanaman khas Indonesia. Senyawa
kimia pada rimpang temulawak banyak dimanfaatkan untuk bahan pangan, obat,
tekstil dan farmasi. Senyawa pada temulawak terdiri atas pati, kurkuminoid, dan
fraksi minyak atsiri. Secara spesifik, kandungan kurkuminoid temulawak terdiri
atas kurkumin dan desmetoksikurkumin (Sidik et al. 1995). Warna kuning, yang
menjadi ciri khas temulawak, dihasilkan dari senyawa kurkuminoid dan banyak
dimanfaatkan sebagai zat warna pada industri pangan, obat, tekstil dan kosmetik
(Sembiring 2006).
Aplikasi nanoteknologi untuk pangan menunjukkan kecenderungan yang
terus meningkat. Teknologi ini menawarkan keunggulan dalam meningkatkan
bioavailabilitas bahan aktif, pengendalian pelepasan bahan aktif serta
memperbaiki sifat sensoris. Dalam ukuran nano (50-500 nm), partikel bahan aktif
lebih mudah diserap oleh dinding usus halus, sehingga meningkatkan
bioavailabilitasnya (Prasetyorini 2011 dan Kammona et al. 2012). Penyerapan
bahan aktif meningkat karena kelarutan partikel meningkat dan luas permukaan
partikel yang besar (Huang et al. 2009). Tingkat penyerapan nanoherbal pada
tubuh manusia hampir dapat mencapai 100 %, sedangkan pada ukuran mikron
hanya 50 %. Ukuran nanopartikel yang kecil menyebabkan ekstrak mudah larut
dan memiliki efisiensi penyerapan yang tinggi di usus (Poulain et al. 1998).
Dalam ukuran nano, partikel juga memiliki waktu tinggal yang lebih panjang
karena terjerap dalam lapisan mukosa usus (Kammona et al. 2012). Penggunaan
nanopartikel senyawa antioksidan seperti vitamin E, vitamin C, karotenoid dan
fenol dengan penyalut asal lemak seperti nanoliposom dan arkeosom mampu
memberikan perlindungan yang signifikan terhadap senyawa antioksidan
(Mozafari et al. 2006). Nanopropolis juga memiliki karakter yang lebih baik
dibanding propolis biasa terhadap peningkatan zona hambat terhadap Escherichia
coli (Prasetyorini 2011). Hal ini membuktikan bahwa kemampuan nanopropolis
sebagai antimikroba lebih kuat dibandingkan dengan propolis biasa.
Nanoemulsi memiliki luas permukaan dan energi bebas yang lebih besar,
kelebihan ini antara lain dapat mencegah terjadinya creaming, flokulasi, koalesen
dan sedimentasi. Selain itu, nanoemulsi juga dapat dibentuk dalam berbagai
formulasi, seperti busa, krim, cairan dan semprotan (Gupta et al. 2010). Oleh
sebab itu, pada penelitian ini dikembangkan inovasi teknologi sediaan temulawak
2

dalam bentuk nanoemulsi yang diharapkan mampu diserap tubuh lebih baik (100
%) dan kelarutan yang lebih baik. Hal ini diharapkan akan mengefisienkan
penggunaannya. Nanoemulsi yang dihasilkan dapat digunakan pada industri obat-
obatan, parfum, kosmetika, makanan-minuman, aromaterapi dan lain-lain. Pada
penelitian ini, pembuatan nanoemulsi ekstrak temulawak dilakukan menggunakan
metode homogenisasi. Proses homogenisasi untuk mengecilkan ukuran partikel
perlu dilakukan untuk mendapatkan emulsi yang stabil (Chiewchan et al. 2006).
Prinsip kerja homogenizer yaitu mengurangi ukuran butiran dengan cara
menggerus partikel besar, sehingga menghasilkan partikel berukuran lebih kecil
dari ukuran sebelumnya. Pada umumnya proses emulsifikasi secara mekanis dapat
meningkatkan stabilitas emulsi, namun kombinasi dengan bahan pengemulsi atau
penstabil akan menghasilkan ukuran butiran emulsi lebih kecil, sehingga lebih
stabil (Marie et al. 2002). Emulsi santan yang dihomogenisasi menggunakan
homogenizer mampu bertahan selama 24 jam pada suhu ruang (30o C) (Tanta dan
Pongsawatmanit 2004). Penambahan emulsifier dapat mencegah koalesen, yaitu
penggabungan irreversible dua atau lebih butiran menjadi unit yang lebih besar
dan mudah mengendap (Tangsuphoom at al. 2005). Pada penelitian ini digunakan
Tween 80 sebagai emulsifier karena mudah didapat, larut dalam air dan cocok
digunakan untuk emulsi minyak dalam air.
Peningkatan kestabilan emulsi dapat diperoleh dengan meningkatkan
viskositas karena semakin meningkatnya viskositas akan mengurangi kecepatan
pemisahan emulsi. Viskositas dapat meningkat dengan adanya penambahan bahan
pengental. Emulsi akan stabil apabila tidak cepat mengalami pengendapan (Ansel
1989). Penggunaan maltodekstrin sebagai bahan pengental dan penstabil
bertujuan untuk meningkatkan viskositas dan memperlambat proses pengendapan,
sehingga emulsi akan stabil. Maltodekstrin dipilih karena dapat meningkatkan
viskositas produk dan dapat larut dalam air (Deman 1993).

1.2 Perumusan Masalah

Perubahan ukuran senyawa aktif menjadi ukuran nano diketahui dapat


mengurangi jumlah zat yang dibutuhkan. Ukuran nano juga dapat meningkatkan
bioavailabilitas dan kelarutan (Huang dan Chang 2011). Pada proses pembuatan
nanoemulsi, senyawa aktif dalam jumlah dan ukuran yang berbeda dapat
direkayasa melalui pemilihan kondisi proses. Untuk itu perlu dilakukan pencarian
kondisi proses terbaik meliputi konsentrasi ekstrak temulawak, kecepatan dan
waktu pengadukan yang dapat mempertahankan kandungan kurkumin. Agar
emulsi dapat stabil, maka ditambahkan Tween 80 dan maltodekstrin sebagai
emulsifier dan penstabil.
Proses pembuatan nanoemulsi dilakukan dengan metode homogenisasi.
Menurut McClements (2004) beberapa faktor yang mempengaruhi ukuran butiran
yang dihasilkan oleh homogenisasi antara lain tipe emulsi yang digunakan, suhu,
karakter komponen fasa-fasanya, waktu homogenisasi dan kecepatan putaran
(McClements 2004).
3

Permasalahan dari proses yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah
1. Bagaimana kombinasi kecepatan dan lama pengadukan serta konsentrasi
ekstrak temulawak yang terbaik untuk menghasilkan nanoemulsi ekstrak
temulawak yang berkualitas tinggi
2. Bagaimana sifat fisikokimia nanoemulsi yang dihasilkan menggunakan metode
homogenisasi.

1.3 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk


1. Memperoleh kondisi terbaik pembuatan nanoemulsi ekstrak temulawak dengan
metode homogenisasi, meliputi :
- perlakuan secara fisik yaitu kecepatan dan waktu pengadukan, serta
- perlakuan secara kimia yaitu variasi konsentrasi ekstrak temulawak.
2. Mengkarakterisasikan nanoemulsi ekstrak temulawak yang dihasilkan meliputi
penentuan ukuran, viskositas, pH, kandungan kurkumin, kelarutan pada
beberapa macam pelarut dan bioavailibilitas.

1.4 Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini meliputi hal-hal berikut:


1. Proses ekstraksi temulawak dengan metode maserasi dalam pelarut etanol.
2. Produksi nanoemulsi ekstrak temulawak dilakukan dengan metode
homogenisasi dengan perlakuan kecepatan dan waktu pengadukan, serta variasi
konsentrasi ekstrak temulawak.
3. Karakterisasi nanoemulsi meliputi ukuran butiran, viskositas, pH, kandungan
kurkumin, kelarutan pada beberapa macam pelarut dan bioavailabilitas secara
in vitro.

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Temulawak (Curcuma xanthoriza Roxb)

Temulawak, sebagai obat tradisional berkhasiat untuk mengatasi gangguan


hati dan penyakit kuning, baik berupa air perasan ataupun rebusan. Ekstrak
temulawak berkhasiat sebagai antibakteri dan antijamur (Rukayadi dan Hwang
2007) serta sebagai antioksidan dan antiinflamasi (Lim et al. 2005). Penggunaan
temulawak dalam ramuan obat tradisional sebagai bahan utama (remedium
cardinale), bahan penunjang (remedium adjuvans), pemberi warna (corrigentia
4

coloris) dan pemberi aroma (corrigentia odoris) (Sidik et al. 1992). Kandungan
kimia rimpang temulawak dibedakan menjadi beberapa fraksi, yaitu fraksi pati,
kurkuminoid dan minyak atsiri (Sidik et al. 1992). Kadar masing-masing
kandungan bergantung pada umur rimpang yang dipanen, letak dan ketinggian
tempat tumbuh temulawak (Sidik 1985). Kandungan senyawa rimpang temulawak
tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi utama temulawak


Komponen senyawa Kadar (% bk)
Air 75,18
Pati 27,62
Lemak 5,38
Minyak Atsiri 10,96
Kurkumin 1,93
Protein 6,44
Abu 3,96
Sumber: Suwiah (1991).

2.2 Kurkumin

Kurkuminoid merupakan komponen yang dapat memberi warna kuning


dan digunakan sebagai zat warna dalam industri pangan dan kosmetik. Fraksi
kurkuminoid dalam rimpang temulawak terdiri atas kurkumin dan
desmetoksikurkumin (Basalmah 2006). Rimpang temulawak mengandung
kurkumin 1,4–4 % (Rismunandar 1988) dan 1,93% (Suwiah 1991).
Kurkumin memiliki rumus kimia C21H20O6 dan struktur kimia yang dapat
dilihat pada Gambar 1 serta bobot molekul 368,37 g/mol (Sidik et al. 1995).
Kurkumin berwarna kuning atau kuning jingga, dan mempunyai rasa pahit.
Kurkumin larut dalam pelarut aseton, etanol, asam asetat glasial, dan alkali
hidroksida, namun sangat rendah kelarutannya dalam air dan dietil eter. Aroma
kurkumin sangat khas dan tidak bersifat toksik (Sidik et al. 1995).
Kurkumin stabil pada pH 1-7, pada pH diatas 7 kurkumin mengalami
proses disosiasi dan mudah terdegradasi (Sidik et al 1995). Proses degradasi
kurkumin akan membentuk asam ferulat dan feruloilmetan. Degradasi ini terjadi
pada saat pH lingkungan 8.8-10. Senyawa feruloilmetan hasil degradasi akan
menyebabkan warna rimpang temulawak berubah dari kuning jingga menjadi
kuning coklat. Perubahan warna akibat degradasi ini menyebabkan warna
simplisia temulawak tidak memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan Materia
Medika Indonesia, yaitu berwarna kuning cerah (Sidik et al., 1995).
5

Gambar 1. Struktur kimia kurkumin


(Ravindran et al. 2007)

2.3 Ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu cara untuk memisahkan campuran beberapa zat


menjadi komponen yang terpisah (Winarno et al. 1973). Mutu dan rendemen
ekstrak dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya metode ekstraksi, kehalusan
bahan, jenis pelarut, lama ekstraksi, konsentrasi pelarut, nisbah bahan dengan
pelarut, proses penguapan pelarut, pemurnian dan pengeringan (Bombaderlli
1991; Vijesekera 1991). Pemilihan metode ekstraksi yang tepat tergantung pada
tekstur dan kandungan air dalam bahan yang diekstraksi dan jenis senyawa yang
diisolasi (Harborne 1996). Metode yang umum digunakan untuk ekstraksi yaitu
soksletasi, refluks, maserasi dan perkolasi. Ekstraksi temulawak dengan metode
refluks dinilai kurang praktis dan efisien karena membutuhkan peralatan khusus,
waktu yang relatif lama serta energi dan bahan kimia yang cukup banyak
(Farmakope Herbal Indonesia 2008). Oleh karena itu, diperlukan alternatif
ekstraksi yang lebih sederhana, cepat, efisien dan murah. Maserasi merupakan
cara yang sangat sederhana dan tidak membutuhkan peralatan khusus, sehingga
dapat diterapkan di laboratorium. Maserasi merupakan metode ekstraksi yang
dilakukan dengan merendam serbuk sampel dalam pelarut dan dalam jangka
waktu tertentu pada suhu kamar. Prinsip maserasi adalah pelarutan zat aktif
berdasarkan sifat kelarutannya dalam pelarut (like dissolved like) (Pasto 1992).
Maserasi memberi hasil yang lebih baik karena dapat mengurangi terjadinya
dekomposisi atau degradasi komponen karena pengaruh suhu (Sidik 1992).
Pelarut yang digunakan selama maserasi harus dapat mengekstrak
substansi yang diinginkan tanpa melarutkan material lainnya. Pemilihan jenis
pelarut dilakukan dengan melihat derajat kepolarannya. Untuk mendapatkan
ekstrak yang maksimal, pelarut harus memiliki polaritas yang sama dengan
senyawa yang akan diekstrak karena senyawa polar hanya dapat larut dengan baik
dalam pelarut yang polar, begitu juga dengan senyawa non polar (Pasto 1992 dan
Kurnia 2000).
Untuk memperoleh ekstrak temulawak, filtrat hasil maserasi dipekatkan
dengan menggunakan vacum rotary evaporator. Rotary evaporator ini
dihubungkan dengan pompa vakum mengakibatkan pelarut etanol mampu
menguap di bawah titik didih 60˚ C, sehingga senyawa yang akan dipisahkan dari
pelarutnya tidak rusak oleh suhu yang tinggi.
6

2.4 Emulsi

Berdasarkan fase terdispersinya, emulsi dibagi atas dua tipe yaitu tipe
minyak dalam air (O/W) dan tipe air dalam minyak (W/O) (Lissant 1974). Tipe
emulsi W/O adalah emulsi yang terdiri dari butiran air yang tersebar ke dalam
minyak, air berfungsi sebagai fase internal & minyak sebagai fase eksternal. Tipe
emulsi O/W adalah emulsi yang terdiri dari butiran minyak yang tersebar ke
dalam air (Ansel, 1989). Sistem emulsi pada dasarnya adalah suatu sistem yang
tidak stabil, karena masing-masing butiran mempunyai kecenderungan untuk
bergabung dengan butiran lainnya membentuk suatu agregat yang akhirnya dapat
mengakibatkan emulsi tersebut pecah (Suryani et al. 2000, Bergenstahl et al.
1990).
Kestabilan emulsi dapat disebabkan oleh banyak hal diantaranya adalah
rasio antar fase minyak dan air, jumlah dan pemilihan emulsifier yang tepat, suhu,
waktu dan kecepatan pencampuran yang tepat, ukuran butiran, perbedaan densitas
antara kedua fase partikel serta viskositas fase eksternal (Bennet 1996 dan Griffin
1954). McClements (2004) menjelaskan bahwa kerusakan atau destabilisasi
emulsi terjadi diantaranya melalui tiga mekanisme utama, yaitu creaming,
flokulasi dan koalesen. Creaming merupakan proses pemisahan yang terjadi
akibat gerakan-gerakan ke atas atau ke bawah. Apabila gerakan yang terjadi ke
atas maka akan terjadi creaming, sebaliknya, apabila gerakan yang terjadi ke
bawah, maka akan terjadi sedimentasi. Hal ini terjadi karena gaya gravitasi
terhadap fase-fase yang berbeda densitasnya. Flokulasi merupakan agregasi
butiran, namun tidak terjadi pemusatan film antar permukaan, sehingga jumlah
dan ukuran butiran tetap. Flokulasi akan mempercepat terjadinya creaming.
Koalesen adalah penggabungan butiran-butiran menjadi butiran yang berukuran
lebih besar karena terjadi pemusatan film antar permukaan, sehingga ukuran
butiran berubah. Jenis-jenis kerusakan emulsi dapat dilihat pada Gambar 2.

Phase
Kinetically inversion
Stable
Emulsion

Creaming Sedimentation Flocculation Coalescence

Gambar 2. Jenis-jenis kerusakan emulsi (McClements 2004)


7

2.5 Nanoemulsi

Nanoteknologi merupakan teknologi yang sedang marak dikembangkan


dalam dunia ilmu pengetahuan. Nanoteknologi adalah teknologi yang mampu
menyiapkan bahan aktif obat dalam partikel dengan ukuran nano (seperjuta meter)
dengan ketepatan lebih kecil dari satu nano mikrometer. Di Indonesia, teknologi
nanopartikel terutama untuk menghasilkan nanoherbal masih belum banyak
dikembangkan. Ukuran butiran sangat berpengaruh terhadap kelarutan,
penyerapan dan distribusi obat yang merupakan salah satu faktor menentukan
efektifitas obat. Efektifitas suatu obat akan tercapai setelah melalui proses
LADME (liberasi, absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi).
Nanoemulsi adalah sistem emulsi transparan atau bening dengan ukuran
butiran seragam dan sangat kecil (biasanya dalam kisaran 2-500 nm). Nanoemulsi
stabil secara kinetik membuat nanoemulsi menjadi unik (Tadros 2005; Solans
2003; Fast & Mecozzi 2009). Menurut Tadros (2005), nanoemulsi memiliki
keuntungan sebagai berikut :
1. Butiran berukuran sangat kecil, sehingga dapat mencegah terjadinya creaming
atau sedimentasi selama penyimpanan.
2. Cocok untuk penghantaran bahan aktif melalui kulit. Sistem nanoemulsi
memiliki luas permukaan yang besar, sehingga penetrasi zat aktif lebih cepat.
3. Ukuran butiran yang kecil memudahkan penyebaran dan penetrasi dapat
ditingkatkan karena tegangan permukaan dan tegangan antarmuka yang
rendah.
4. Berwarna transparan yang dapat memberikan estetika yang menarik dan
menyenangkan saat digunakan.

Berbagai metode telah dikembangkan untuk membuat nanoemulsi (Tabel


2). Metode tersebut dapat diklasifikasikan dengan penggunaan energi tinggi dan
energi rendah (Acosta 2009; Leong et al. 2009; Tadros et al. 2004). Pendekatan
energi tinggi memanfaatkan perangkat mekanik yang mampu menghasilkan
energi yang dapat mengecilkan ukuran butiran, misalnya, homogenizer tekanan
tinggi, microfluidizer dan metode sonikasi (Gutierrez et al. 2008; Leong et al.
2009; Velikov et al. 2008; Wooster et al. 2008). Di sisi lain, pendekatan energi
rendah bergantung pada pembentukan spontan butiran dalam campuran sistem
emulsi O/W ketika larutan atau kondisi lingkungan diubah (Anton et al. 2008;
Bouchemal et al. 2004; Chu et al. 2007; Freitas et al. 2005; Tadros et al. 2004;
Yin et al. 2008). Ukuran minimum butiran yang dapat diproduksi menggunakan
pendekatan masing-masing tergantung pada beberapa faktor yang berbeda.
Pengecilan ukuran partikel menggunakan pendekatan berenergi tinggi tergantung
pada jenis dan kondisi operasi homogenizer (misalnya intensitas energi, waktu
dan suhu), komposisi sampel (misalnya jenis dan konsentrasi minyak serta
emulsifier) dan sifat fisikokimia fase komponen (misalnya tegangan antarmuka
dan viskositas) (McClements 2011).
8

Tabel 2. Metode-metode pembuatan nano beserta ukuran yang dihasilkan


Metode Pelarut Emulsifier/ Bahan Ukuran Referensi
surfaktan Rata-
rata
(nm)
Rotor/stator Heksan Tween 20 β-karoten 150 Silva et al.
(Ultra Turax) 2011
Rotor/stator Kloroform Pektin Fraconazole 200-400 Burapapadh
(Ultra Turax) et al 2010
Homogenisasi Heksan Tween 20, β-karoten 132-178 Yuan et al.
Tekanan Tinggi 40, 60 & 80 2008
Homogenisasi Trigliserida Sodium α-tocoferol 391 Belkin 2008
Tekanan Tinggi rantai kaseinat
sedang
Lemak susu
dengan
kandungan
stearin
tinggi
Ultrasonikasi Larutan Poloksomer, 2-(butilamino)- 200-251 De arauju et
Etanol Tween 80, 1-Fenil-1-Asam al. 2009
dengan Span 80, Etanetiosulfur
Trigliserida lesitin (BphEA)
rantai
sedang 10%
(b/b)
Teknik Trigliserida Pluoric F8 Lipid E-80 185-208 Chaiz et al.
Penghilangan rantai 2003
Pelarut sedang &
lipid E-80
Emulsifikasi Minyak Minyak Karbarnazepin 150-212 Kelmann et
Spontan castrol / kedelai, al. 2007
Trigliserida lesitin &
rantai Tween 80
sedang
Emulsifikasi Etanol Telur Kuersetin/ 300 Fasolo et al.
Spontan metilkuersetin 2007

Penggunaan alat mekanis (homogenizer) dan penambahan emulsifier dapat


mempertahankan sistem agar tetap terdispersi (Bergenstahl dan Claesson, 1990).
Penggunaan emulsifier dapat menurunkan tegangan antarmuka dari kedua fase
cairan yang tidak saling bercampur, mengurangi gaya tolak antara cairan-cairan
tersebut dan mengurangi gaya tarik-menarik antar molekul dari masing-masing
cairan, sehingga mencegah terjadinya koalesen (Ansel 1989 dan Tangsuphoom et
al. 2005). Ukuran butiran menjadi lebih kecil jika pada saat proses emulsifikasi
dikombinasikan dengan penggunaan emulsifier (Marie et al. 2002). Emulsifier
bekerja dengan membentuk film di sekeliling butir-butir butiran yang terdispersi
sehingga mencegah koalesen dan terpisahnya fase terdispersi (Anief 1999).
9

sedangkan penstabil ditambahkan untuk menambah viskositas fase kontinyu


emulsi sehingga meningkatkan stabilitas emulsi dengan mencegah pergerakan
butiran emulsi (McClements 2004). Peningkatan viskositas dapat mengurangi
kecepatan pemisahan emulsi. Dengan demikian, penambahan bahan pengental
diperlukan untuk mempertahankan stabilitas emulsi. Penelitian yang dilakukan
oleh Tangsuphoom et al. (2007) menunjukkan bahwa penambahan
polyoxyethylene sorbitan monolaurate (Tween 20) sebagai emulsifier pada santan
yang dihomogenisasi dapat membantu mempercepat emulsifikasi. Pemberian
CMC sebagai penstabil pada santan membuat santan terlihat mengental dan
emulsi tetap stabil walaupun dipanaskan (Peamprasart et al. 2006).
Emulsifier yang digunakan pada pembuatan nanoemulsi ekstrak temulawak
adalah Tween 80 yang memiliki jumlah gugus hidrofilik 20 % dan gugus lipofilik
80 % dengan nilai keseimbangan gugus hidrofilik dan lipofilik (HLB) 8-16 dan
berfungsi menstabilkan sistem emulsi minyak dalam air (Jiang 2009). Daya kerja
emulsifier disebabkan oleh sifat molekul yang dapat terikat pada minyak dan air.
Parameter yang sering digunakan untuk pemilihan jenis emulsifier adalah
berdasarkan HLB (Hidrophilic Lipophilic Balance). Menurut Belitz and Grosch
(1987), nilai HLB yang besar mampu menurunkan tegangan muka antara minyak
dan air pada emulsi minyak dalam air, sedangkan nilai HLB yang lebih kecil
mampu menurunkan tegangan muka antara air dan minyak pada emulsi air dalam
minyak.
Selain Tween 80, maltodekstrin juga ditambahkan dalam pembuatan
nanoemulsi ekstrak temulawak. Maltodekstrin berfungsi sebagai penstabil dan
pengental yang dapat meningkatkan viskositas nanoemulsi, sehingga dapat
menghambat penggabungan butiran. Maltodekstrin merupakan produk hidrolisis
pati yang mengandung unit α-D-glukosa yang sebagian besar terikat melalui
ikatan 1,4 glikosidik dengan DE kurang dari 20. Maltodekstrin merupakan
campuran dari glukosa, maltosa, oligosakarida dan dekstrin. Maltodekstrin
biasanya dideskripsikan oleh DE (Dextrose Equivalent). Maltodekstrin dengan
DE yang rendah bersifat non-higroskopis, sedangkan maltodekstrin dengan DE
tinggi cenderung menyerap air. Maltodekstrin merupakan larutan terkonsentrasi
dari sakarida yang diperoleh dari hidrolisa pati dengan penambahan asam atau
enzim. Kelebihan maltodekstrin adalah mudah larut dalam air dingin. Sifat-sifat
yang dimiliki maltodekstrin antara lain memiliki daya larut pada air yang tinggi
dan membentuk film, sifat higroskopis yang rendah, kemampuan browning yang
rendah, mampu menghambat kristaslisasi dan memiliki daya ikat yang kuat
(Srihari et al. 2010).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan obat-obatan dalam
ukuran nanometer mampu meningkatkan kelarutan dan penyerapan oleh tubuh.
Selain itu, penggunaan obat-obatan dalam skala nano dapat mengurangi dosis obat
yang dapat mengakibatkan efek samping pada beberapa pasien. Penggunaan
nanopartikel dalam mendeteksi dan mengobati sel yang terkena kanker lebih
efektif dibanding obat kanker biasa (Sunderland et al. 2006).
10

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-November 2013. Pembuatan


ekstrak temulawak dilakukan di Laboratorium Teknik Kimia, Departemen
Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor. Pembuatan nanoemulsi ekstrak temulawak dan uji bioavailabilitas
dilakukan di Laboratorium Fisik, Departemen Kimia, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Farmasetika
non Steril, Universitas Indonesia. Pengukuran ukuran dengan PSA dilakukan di
Laboratorium Analisa Bahan, Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah temulawak


(Curcuma xanthorrhiza Roxb) berusia 9 bulan yang diperoleh dari Pusat Studi
Biofarmaka IPB, etanol 98%, maltodekstrin, NaOH, akuades, natrium hidrogen
fosfat dan Tween 80.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah disc mill (FFC 15),
rotary vacuum evaporator, homogenizer (Virtis 23), spektrofotometer U-2010,
alat uji PSA (Particle Size Analyzer) (VASCO), viscometer, refraktometer, pH-
meter, pompa vakum, ayakan 40 mesh, kertas saring, spatula, magnetic stirrer,
pipet, labu erlenmeyer (pyrex), pisau, talenan, gelas piala, timbangan digital dan
gelas ukur (pyrex).

3.3 Metode Penelitian

Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu dimulai dengan


pembuatan ekstrak temulawak dan dilanjutkan dengan pembuatan nanoemulsi
ekstrak temulawak menggunakan homogenizer. Diagram alir pembuatan ekstrak
temulawak dan nanoemulsi ekstrak temulawak dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.

Pembuatan Ekstrak Temulawak

Rimpang temulawak dicuci dan ditiriskan lalu diiris-iris setebal 6-7 mm.
Hasil irisan rimpang kemudian dikeringkan dengan dijemur selama 24 jam sampai
kadar airnya kurang dari 10 %. Setelah kering, simplisia kemudian digiling dan
11

diayak, sehingga diperoleh serbuk temulawak dengan ukuran 40 mesh.


Selanjutnya ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi (Basalmah 2006).
Serbuk temulawak dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer yang berisi etanol 98 %
dengan perbandingan 1:5 (b/v) dengan pengadukan 220 rpm pada suhu kamar
selama 4 jam. Setelah ekstraksi selesai, hasil ekstraksi disaring lalu dipekatkan
untuk mendapatkan ekstrak dengan rotary vacuum evaporator (rotavorator) pada
suhu 40o C sampai tidak ada distilat yang menetes. Analisis ekstrak temulawak
meliputi kadar air (SNI 01-3181-1992 yang dimodifikasi) dan abu (SNI 01-3187-
1992 yang dimodifikasi). Ekstrak temulawak yang dihasilkan dikarakterisasi
meliputi warna, aroma, bobot jenis (SNI 06-4085-1996), indeks bias (SNI 01-
4472-1998), pH (SNI 06-2413-1991), viskositas dan kandungan kurkumin.
Prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.

Pembuatan Nanoemulsi Ekstrak Temulawak

Formula nanoemulsi terdiri dari ekstrak temulawak, maltodekstrin dan


Tween 80 dalam beberapa konsentrasi. Komposisi masing-masing nanoemulsi
dapat dilihat pada Tabel 3. Homogenisasi dilakukan dengan kecepatan
pengadukan 20 000, 22 000 dan 24 000 rpm selama 20, 30 dan 40 menit. Analisis
nanoemulsi meliputi analisis kimia dengan menganalisis kandungan kurkumin
(AOAC 2005), viskositas dan pH (AOAC 1995). Analisis fisika yaitu analisis
ukuran butiran, uji kelarutan (Hermawati 2004) dan uji bioavailabilitas (Martin et
al. 1993). Prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.

Tabel 3. Komposisi bahan dalam nanoemulsi


Bahan Komposisi I Komposisi II
Ekstrak temulawak (ml) 20 30
Maltodekstrin (g) 20 30
Tween 80 (ml) 2 3
Buffer Fosfat (ml) 78 67
12

Temulawak
segar

Pencucian

Penirisan
Ekstraksi dengan maserasi
dalam etanol selama 4 jam
pada suhu 30oC
Pengirisan setebal
6-7 mm
Penyaringan
Pengeringan dengan
penjemuran sampai
Pemekatan dengan rotavapor
kadar air < 10%
40oC sampai tidak ada distilat
yang menetes

Penggilingan Karakterisasi : warna,


aroma, bobot jenis,
Ekstrak
indeks bias, pH,
temulawak
viskositas dan
Pengayakan dengan
kandungan kurkumin
ukuran 40 mesh

Serbuk
temulawak

Gambar 3. Diagram alir pembuatan ekstrak temulawak

Fase Minyak: Fase Air :


100 ml Ektrak Larutan Buffer Fosfat
temulawak dalam 1000 (pH 7)
ml etanol 98%

Pencampuran dengan
Tween 80 10% (v/v)
dan maltodekstrin 1:1
(b/v) dengan minyak

Pencampuran fasa minyak


20% dan 30% (v/v) dalam fasa
air

Pembuatan nanokurkumin dengan


homogenizer :
1. Kecepatan 20.000, 22.000 dan 24.000 rpm
2. Waktu pengadukan 20, 30 dan 40 menit

Karakterisasi ukuran
Nanoemulsi partikel, viskositas,
Ekstrak kandungan kurkumin,
Temulawak kelarutan dan uji
bioavailabilitas

Gambar 4. Diagram alir pembentukan nanoemulsi ekstrak temulawak


13

3.4 Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Analisis statistik yang digunakan dalam pengolahan data adalah


rancangan percobaan dua faktor dalam Rancangan Acak Lengkap. Faktor I adalah
kecepatan pengadukan pada homogenisasi dengan tiga taraf yaitu 20 000, 22
000 dan 24 000 rpm. Faktor II adalah waktu pada homogenisasi dengan tiga taraf
yaitu 20, 30 dan 40 menit. Berikut ini merupakan model rancangannya

Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij + εijk

Keterangan:
Yijk = Nilai pengamatan pada perlakuan kecepatan pengadukan taraf ke-i
dan perlakuan waktu pengadukan taraf ke-j
µ = Nilai tengah polulasi (rata-rata yang sesungguhnya)
Ai = Pengaruh perlakuan kecepatan pengadukan taraf ke-i
Bj = Pengaruh perlakuan waktu pengadukan taraf ke-j
(AB)ij = Interaksi dari kecepatan pengadukan dan waktu pengadukan
Ɛij = Galat (sisa) dari perlakuan
j = Kecepatan pengadukan
j = Waktu pengadukan

Data hasil pengamatan diolah menggunakan analisis sidik ragam


(ANOVA). Jika perlakuan berpengaruh nyata (P < 0,05) terhadap peubah yang
diukur maka akan dilanjutkan dengan uji Duncan (DMRT, Duncan’s Multiple
Range Test) untuk mengetahui perbedaan diantara perlakuan tersebut.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Ekstrak Temulawak

Kadar air serbuk temulawak yang dihasilkan sebesar 7,12 % dan telah
memenuhi mutu yang ditetapkan oleh Materia Medika Indonesia (MMI), yaitu
kurang dari 12 %. Penentuan kadar air ini penting untuk mengetahui masa simpan
serbuk kering sampel dan sebagai salah satu syarat bahan baku herbal, dengan
kadar air 10 % maka sampel dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama
(Depkes RI 1995). Suatu sampel dikatakan baik dan dapat disimpan dalam jangka
waktu yang lama apabila memiliki kadar air 10 %. Hal ini disebabkan karena pada
tingkat air tersebut sampel dapat terhindar dari pertumbuhan kapang yang cepat
(Harjadi 1986).
Kadar abu simplisia sebesar 3,24 %, nilai ini memenuhi standar mutu
kadar abu serbuk yaitu sebesar 3-7 %. Kadar kurkumin pada serbuk temulawak
yaitu 2,83 %. Hasil ini tidak berbeda jauh dari beberapa hasil penelitian lain yang
14

telah dilakukan Afif (2006) yang mendapatkan kadar kurkumin di dalam


temulawak sebesar 2,98 %, sementara hasil penelitian Aan (2004) sebesar 2,43 %.
Perbedaan hasil kadar kurkumin dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya
umur rimpang, tempat tumbuh, jenis tanah dan metode analisisnya. Penelitian
yang dilakukan oleh Afif (2006) menggunakan rimpang temulawak usia 9 bulan,
metode yang digunakan adalah ekstraksi cair-cair dan dianalisis menggunakan
sprektrofotometer 420 nm, sedangkan Aan (2004) menggunakan rimpang
temulawak usia yang sama 8 bulan, metode yang digunakan maserasi dan
dianalisis menggunakan HPLC.
Pelarut yang digunakan dalam proses maserasi adalah etanol. Etanol
memiliki keunggulan lain yaitu memiliki titik didih yang relatif rendah (78o C)
dan mudah menguap, sehingga memperkecil jumlah etanol yang terbawa dalam
ekstrak. Karakteristik ekstrak kurkumin hasil ekstraksi diberikan Tabel 4.
Rendemen ekstrak temulawak yang dihasilkan lebih tinggi (23,19 %) (Lampiran
2) dari hasil penelitian Ria (1989) dan Aan (2004) sebesar 10,01 %. Perbedaan
rendemen dengan Ria (1989) disebabkan karena perbedaan umur temulawak segar
yang digunakan sebagai bahan baku. Perbedaan umur rimpang mempengaruhi
kandungan kurkumin, minyak atsiri dan kadar air ekstrak yang dihasilkan.
Pemilihan pelarut juga mempengaruhi hasil ekstrak yang dihasilkan. Pelarut
etanol yang digunakan menghasilkan ekstrak lebih tinggi dibandingkan yang
digunakan oleh Aan (2004) yang menggunakan pelarut aseton.

Tabel 4. Karakteristik ekstrak temulawak


Karakteristik Nilai Standar
Warna Coklat Kuning Kuning-jingga sampai coklat kuning-
jingga
Bentuk Cairan kental Cairan kental
Aroma Khas Khas temulawak
temulawak
Bobot jenis 0,97 0,91
Indeks bias 1,65 1,50
Rendemen (%) 23,19 -
pH 5,22 -
Viskositas (cP) 84,10 -
Kurkumin (mg/L) 10 790 -
Desmetoksikurkumin (mg/L) 4 954 -

4.2 Karakterisasi Nanoemulsi ekstrak temulawak

Nanoemulsi ekstrak temulawak termasuk kategori emulsi O/W atau fase


minyak di dalam air, dimana fase minyak (organik) sebagai fase terdipersi dan
fase air sebagai fase pendispersi. Pada pembuatan nanoemulsi ekstrak temulawak
digunakan bahan tambahan yaitu Tween 80 dan maltodekstrin agar hasil yang
diperoleh lebih baik. Tween 80 merupakan molekul yang mengabsorbsi pada
permukaan butiran yang terbentuk selama homogenisasi dan membentuk
15

membran protektif yang menjaga butiran agar tidak terjadi agregasi sedangkan
penstabil ditambahkan untuk menambah viskositas fase kontinyu (air) sehingga
mencegah pergerakan butiran nanoemulsi dan akan meningkatkan stabilitas
emulsi. Tween 80 termasuk emulsifier nonionik yang bersifat tidak toksik,
hidrofilik dan mempunyai HLB 8-18 sehingga sangat cocok digunakan sebagai
emulsifier dalam pembuatan emulsi minyak dalam air mampu menstabilkan
sistem emulsi minyak dalam air. Di bidang farmasi, Tween 80 dapat membantu
dalam pelepasan obat atau agen dalam kemoterapi. Tween 80 dinyatakan aman
digunakan dalam produk makanan dan telah digunakan pada pembuatan es krim,
pengolahan vitamin/mineral serta produk makanan lainnya. Penambahan
maltodekstrin sebagai pengental dapat meningkatkan viskositas yang akan
mempengaruhi penurunan ukuran butiran. Maltodekstrin dipilih karena
merupakan gula yang tidak manis dan mudah larut dalam air. Maltodekstrin yang
digunakan memiliki nilai DE 15 yang tergolong DE tinggi. Maltodekstrin dengan
DE yang tinggi bersifat higroskopis sehingga dapat larut dalam air dan sesuai
digunakan sebagai pengental dalam emulsi W/O. Keunggulan lainnya yaitu dapat
melindungi zat aktif dari oksidasi, dapat meningkatkan kelarutan dan murah
(Sansone et al. 2011). Nanoemulsi ekstrak temulawak yang dihasilkan dapat
dilihat pada Lampiran 7.

Ukuran Butiran Nanoemulsi

Pembuatan nanoemulsi temulawak diawali dengan menggunakan metode


yang dilakukan oleh Zaenal (2011), dimana fase minyak (konsentrasi 30, 40 dan
50 %) dan fase air masing-masing dihomogenisasi dengan kecepatan 20 000, 22
000 dan 24 000 rpm. Fase minyak kemudian dicampur dengan fase air dan
dilanjutkan kembali dengan dihomogenisasi dengan kecepatan 20 000, 22 000 dan
24 000 rpm. Nanoemulsi yang dihasilkan tidak stabil, fase minyak dan air cepat
terpisah dalam waktu kurang dari 1 jam, sehingga metode ini tidak dilanjutkan.
Hal ini kemungkinan karena kurangnya kecepatan putar, sehingga emulsi yang
dihasilkan masih dalam ukuran besar dan tidak homogen. Hasil pengukuran
ukuran partikel dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Rata-rata ukuran partikel menggunakan metode Zaenal (2011)


Konsentrasi Ekstrak Kecepatan Waktu Putaran Rata-Rata Ukuran
Temulawak (%) Putaran (rpm) (menit) Partikel (nm)
30 24 000 20 273
30 24 000 30 244
30 24 000 40 109
30 20 000 20 169
30 20 000 30 140
30 20 000 40 135
40 20 000 20 268
40 24 000 40 185
50 20 000 20 176
50 24 000 40 162
16

Hasil sidik ragam dengan metode yang dilakukan (Lampiran 3)


menunjukkan bahwa kecepatan pengadukan homogenizer berpengaruh terhadap
rata-rata ukuran butiran nanoemulsi yang dihasilkan. Untuk melihat pengaruh
kecepatan pengadukan homogenizer terhadap rata-rata ukuran butiran nanoemulsi
yang dihasilkan, dilakukan uji lanjutan DNMRT (Duncan’s Multiple Range Test)
pada taraf nyata 5 %. Hasil uji lanjutan menunjukkan bahwa kecepatan
pengadukan 20 000 rpm menghasilkan rata-rata ukuran butiran yang berbeda
nyata dengan kecepatan pengadukan 22 000 dan 24 000 rpm (Lampiran 3a).
Kecepatan dan lama pengadukan berpengaruh terhadap ukuran butiran
nanoemulsi yang dihasilkan. Semakin tinggi kecepatan dan semakin lama
pengadukan, maka ukuran butiran yang dihasilkan semakin kecil (Gambar 5 dan
6). Ukuran butiran terkecil didapat pada nanoemulsi dengan konsentrasi 30 %,
kecepatan pengadukan 24 000 rpm dengan waktu pengadukan 40 menit (Gambar
6). Intensitas dan lama proses pencampuran tergantung waktu yang diperlukan
untuk melarutkan dan mendistribusikannya secara merata. Hal ini disebabkan
karena adanya tumbukan antar molekul, semakin cepat dan lama putaran akan
memperbesar intensitas bersentuhan antar molekul, sehingga menghasilkan
ukuran nanoemulsi yang kecil.
Ukuran butiran akan semakin kecil dengan peningkatan gaya yang diberikan
(Hanselmann 1996). Semakin tinggi kecepatan putar akan meningkatkan gaya
geser yang diterima oleh fluida, sehingga menyebabkan minyak terpecah menjadi
butiran yang semakin kecil. Menurut Lachman et al. (1994), jika pengadukan
terlalu lambat, maka bahan-bahan akan sulit untuk homogen karena kurangnya
intensitas tumbukan antar butiran. Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa pada
konsentrasi 30 % dengan kecepatan 22 000 rpm selama 20 menit telah
menghasilkan rata-rata ukuran butiran kurang dari 100 nm, sehingga kecepatan
dan waktu putaran tidak perlu ditingkatkan lagi.

Gambar 5. Rata-rata ukuran (nm) butiran nanoemulsi ekstrak temulawak dengan


konsentrasi ekstrak temulawak 20 %
17

Gambar 6. Rata-rata ukuran butiran (nm) nanoemulsi ekstrak temulawak dengan


konsentrasi ekstrak temulawak 30 %

Beberapa faktor yang mempengaruhi ukuran butiran yang dihasilkan pada


homogenisasi yaitu tipe emulsi yang digunakan, suhu dan energi (McClements
2004). Meningkatnya putaran akan sebanding dengan energi tumbukan yang
dikeluarkan. Peningkatan energi tumbukan ini berpengaruh secara langsung
terdapat ukuran butiran yang terbentuk (Muller-Fischer et al. 2006). Kecepatan
tinggi dalam pembuatan nanoemulsi dapat dikurangi dengan meningkatkan
konsentrasi emulsifier dan/atau menambah jenis emulsifier yang digunakan.
Nanoemulsi ekstrak temulawak dengan jumlah Tween 80 sebanyak 3 ml
menghasilkan ukuran butiran yang lebih kecil dibandingkan dengan penggunaan
Tween 80 sebanyak 2 ml. Pembuatan nanoemulsi glukosamin yang dilakukan
oleh Anggraeni (2012) menunjukkan bahwa kecepatan 1800 rpm selama 3 menit
dapat membentuk ukuran nano. Kecepatan yang tidak terlalu tinggi ini didukung
oleh penggunaan Tween 80 yang besar yaitu sebanyak 40 %. Hal ini juga
ditunjukkan oleh Utami (2012) yang membuat nanoemulsi gel kurkumin dengan
menggunakan kecepatan 500 rpm selama 5 menit. Nanoemulsi gel yang
dihasilkan 147 nm dengan menggunakan 3 jenis surfaktan dengan konsentrasi
tinggi yaitu Tween 80 sebanyak 36 %, asam oleat sebanyak 5 % dan karbopol
sebanyak 4 %.
Ukuran butiran dapat diperkecil dengan meningkatkan energi tumbukan,
selama masih tersedia emulsifier yang cukup untuk menyelimuti permukaan
butiran. Selain itu, semakin tingginya konsentrasi emulsifier juga dapat
menurunkan ukuran butiran. Hasil penelitian Mc Clements (2011) pada
pembuatan nanoemulsi minyak jagung dengan metode homogenisasi tekanan
tinggi menunjukkan ukuran diameter butiran menurun dari 131 nm menjadi 110
nm dengan peningkatan konsentrasi Tween 20 dari 1 % menjadi 10 %. Hal ini
disebabkan karena semakin tinggi konsentrasi emulsifier, maka permukaan
butiran yang terbentuk akan semakin dilindungi selama proses homogenisasi dan
permukaan butiran akan lebih cepat diselimuti oleh lapisan molekul emulsifier
selama proses homogenisasi.
18

Ukuran butiran yang kecil yang dihasilkan oleh proses homogenisasi dapat
meningkatkan fase terdispersi sehingga viskositas semakin meningkat dan
penyerapan emulsifier dapat meningkat. Ketidakcukupan emulsifier dalam
menyelubungi permukaan butiran-butiran akan menyebabkan koalesen.
Pengemulsian juga membutuhkan waktu homogenisasi yang tepat. Intensitas dan
lama proses pencampuran tergantung waktu yang diperlukan untuk melarutkan
dan mendistribusikannya secara merata.

Viskositas Nanoemulsi

Nanoemulsi dengan konsentrasi fase minyak 30 % yang mempunyai ukuran


partikel lebih kecil dan nilai viskositas lebih besar dibandingkan dengan
konsentrasi 20 %. Semakin besar konsentrasi ekstrak temulawak, maka viskositas
nanoemulsipun semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena semakin banyak
partikel yang terlarut maka gesekan antar partikel akan semakin tinggi dan
meningkatkan viskositas. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nguyen (2010) dan
Kartika (1990) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi viskositas suatu emulsi
antara lain viskositas medium dispersi, persentase volume terdispersi, ukuran
partikel fase terdispersi dan jenis serta konsentrasi emulsifier yang digunakan
Nguyen 2010 dan Kartika 1990). Viskositas berbanding lurus dengan konsentrasi
fase terdispersi, peningkatan konsentrasi fase terdispersi ditingkatkan akan diikuti
oleh peningkatan viskositas yang dihasilkan (Kim et al. 2003). Semakin tinggi
persentase medium dispersi, maka makin tinggi konsentrasi emulsifier/stabilizer
yang digunakan dan makin tinggi viskositas yang dihasilkan (Nguyen, 2010).
Peningkatan viskositas disebabkan karena semakin besar konsentrasi Tween 80
akan menurunkan ukuran diameter globul, sehingga akan meningkatkan luas
permukaan dan meningkatkan tahanan emulsi untuk mengalir dan meningkatkan
viskositas (Koocheki et al. 2011).
Hasil sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan bahwa pengaruh kecepatan
putaran homogenizer berpengaruh terhadap viskositas nanoemulsi yang
dihasilkan. Hasil uji lanjutan DNMRT (Duncan’s Multiple Range Test) (Lampiran
3b) pada taraf nyata 5 % dan menunjukkan bahwa kecepatan putaran 20 000 dan
22 000 rpm menghasilkan viskositas nanoemulsi yang berbeda nyata dengan
kecepatan putaran 24 000 rpm (Lampiran 4a).
Lama pengadukan mempengaruhi nilai viskositas yang dihasilkan. Gambar
7 dan 8 menunjukkan bahwa semakin lama pengadukan maka viskositas
nanoemulsi yang dihasilkan akan semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena
semakin lama pengadukan, maka ukuran akan semakin kecil sehingga dispersi
makin baik dan diikuti dengan viskositas yang semakin tinggi. Hasil sidik ragam
(Lampiran 4) menunjukkan bahwa lama pengadukan homogenizer berpengaruh
terhadap viskositas nanoemulsi yang dihasilkan. Hasil uji lanjutan DNMRT
(Duncan’s Multiple Range Test) (Lampiran 4a) pada taraf nyata 5 % dan
menunjukkan bahwa lama pengadukan 20 menit, 30 menit dan 40 menit
menghasilkan viskositas nanoemulsi yang berbeda nyata.
19

Gambar 7. Nilai viskositas (cP) nanoemulsi ekstrak temulawak dengan


konsentrasi ekstrak temulawak 20 %

Gambar 8. Nilai viskositas (cP) nanoemulsi ekstrak temulawak dengan


konsentrasi ekstrak temulawak 30 %

Semakin lama waktu homogenisasi, Tween 80 dan maltodekstrin akan


terdistribusi merata melindungi butiran. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya
interaksi yang kuat antara butiran dengan fase kontinyu, sehingga meningkatkan
viskositas. Semakin tinggi persentase fase terdispersi, maka makin tinggi
konsentrasi emulsifier yang digunakan dan makin tinggi viskositas yang
dihasilkan karena akan semakin meningkatkan luas permukaan dan meningkatkan
tahanan emulsi untuk mengalir (Nguyen 2010; Koocheki et al. 2011). Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dwisari (2012) dalam pembuatan
emulsi minyak biji jinten hitam menggunakan Tween 80 dengan konsentrasi 1 %
dan 2 %. Viskositas emulsi minyak biji jinten hitam dengan penambahan Tween
20

80 sebanyak 1 % (3.9 cP) lebih rendah dibandingkan dengan emulsi dengan


Tween 80 sebanyak 2 % (4 cP).
Kramer (1996) menyatakan bahwa viskositas diartikan sebagai resistensi
atau ketidakmauan suatu bahan untuk mengalir yang disebabkan karena adanya
gesekan atau perlawanan suatu bahan terhadap deformasi atau perubahan bentuk
apabila bahan tersebut dikenai gaya tertentu. Semakin tinggi kecepatan putar dan
semakin lama putaran akan memperkecil ukuran butiran. Kondisi tersebut
menyebabkan terjadinya interaksi yang kuat antara butiran fase terdispersi dengan
fase pendispersi, sehingga meningkatkan viskositas. Diameter butiran yang kecil
akan meningkatkan luas permukaan dan meningkatkan tahanan emulsi untuk
mengalir sehingga meningkatkan viskositas (Koocheki et al. 2011; Martin et al.
1993).
Interaksi antar variasi perlakuan (konsentrasi ekstrak temulawak, kecepatan
dan waktu pengadukan) tidak memberikan pengaruh terhadap viskositas
nanoemulsi. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak temulawak,
kecepatan dan waktu pengadukan memberikan pengaruh masing-masing dan tidak
saling bergantung sehingga hanya dengan menerapkan salah satu perlakuan akan
memberikan pengaruh terhadap viskositas nanoemulsi.
Nanoemulsi yang terbentuk menunjukkan sifat aliran dilatan yang termasuk
ke dalam cairan non Newtonian. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya
viskositas pada setiap kenaikan kecepatan putaran homogenizer. Sifat aliran
dilatan disebabkan karena adanya kandungan zat padat dalam emulsi, dalam hal
ini adanya maltodekstrin menyebabkan nanoemulsi bersifat dilatan. Sifat dilatan
membuat nanoemulsi ekstrak temulawak dapat diubah dalam bentuk salep. Dalam
bidang farmasi dan sejenisnya, pengukuran sifat aliran digunakan untuk
mengetahui kemudahan penuangan dari botol, penanganan produk sesudah
dikeluarkan dari wadah, aplikasi produk di atas atau ke dalam kulit dan
kemudahan memasukkan produk ke dalam wadah serta kemudahan dikeluarkan
dari jarum suntik.

Kestabilan Nanoemulsi ekstrak temulawak

Semakin kecil ukuran butiran, maka nanoemulsi yang terbentuk pun akan
lebih stabil. Kecepatan dan lama putaran sangat berpengaruh terhadap ukuran
butiran yang terbentuk. Kecepatan putar yang semakin tinggi akan menyebabkan
ukuran butiran yang semakin kecil. Setelah emulsi W/O terbentuk, butiran-butiran
akan bergabung satu sama lain melalui proses flokulasi yang diikuti oleh
koalensens. Ukuran butiran yang kecil akan relatif lebih stabil daripada butiran
yang berukuran lebih besar. Hal ini disebabkan karena butiran yang besar
memiliki tegangan muka yang lebih kecil bila dibandingkan dengan butiran yang
berukuran lebih kecil (Sullivan et al. 2002). Butiran berukuran besar ini akan
menarik butiran-butiran yang lebih kecil sehingga membentuk butiran yang lebih
besar. Pada sistem nanoemulsi tipe O/W, penambahan maltodekstrin akan
meningkatkan viskositas, sehingga dapat membentuk nanoemulsi yang lebih stabil
(Tabel 5).
21

Tabel 5. Kestabilan nanoemulsi ekstrak temulawak


Konsentrasi Kecepatan Lama Masa Simpan
ekstrak pengadukan Pengadukan 2 Minggu 4 Minggu
temulawak (%) (rpm) (menit)
20 + +
20 000 30 + +
40 + +
20 + +
20 22 000 30 + +
40 + +
20 + +
24 000 30 + +
40 + +
20 - +
20 000 30 - +
40 - +
20 - -
30 22 000 30 - -
40 - -
20 - -
24 000 30 - -
40 - -
Keterangan : + Terbentuk endapan
- Tidak terbentuk endapan

Nilai indeks polidispersitas (PDI) juga memberikan informasi mengenai


kestabilan emulsi. Menurut Ahmed et al., 2012, nanoemulsi dikatakan terbentuk
jika ukuran diameter partikel < 200 nm dengan nilai indeks polidispersitas
0,2<PDI<0,6 yang akan stabil dari kemungkinan terjadinya pertumbuhan partikel
dan pemisahan gravitasi. Nanoemulsi ekstrak temulawak mempunyai ukuran yang
relatif homogen serta dapat dikatakan stabil karena memiliki nilai 0,005<PDI<0,4
(Gambar 9). Hal ini senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Harimurti
(2012) yang menghasilkan nanoemulsi kurkumin menggunakan homogenisasi
tekanan tinggi dengan 0,22<PDI<0,32.
Konsentrasi ekstrak temulawak juga berpengaruh terhadap kestabilan
emulsi. Semakin besar konsentrasi ekstrak temulawak maka emulsi akan lebih
stabil sehingga jumlah air dan minyak yang terpisah semakin akan menghalangi
koalesens (Susanti 2011). Kenaikan konsentrasi ekstrak temulawak juga akan
menurunkan ukuran butiran emulsi yang berpengaruh terhadap kestabilan.
22

Gambar 9. Distribusi ukuran partikel nanoemulsi ekstrak temulawak

Kadar Kurkumin

Kadar kurkumin diukur secara kuantitatif menggunakan spektrofotometer


pada gelombang 530 nm. Kandungan kurkumin pada nanoemulsi dengan
konsentrasi fase minyak 20 % berkisar antara 140 – 216 ppm. Kandungan
kurkumin pada nanoemulsi dengan konsentrasi fase minyak 30 % berkisar antara
109 – 244 ppm. Ini menunjukkan bahwa proses homogenisasi tidak merusak
kurkumin.

Perubahan pH

Nilai pH nanoemulsi mengalami kenaikan dari pH awal ekstrak temulawak


sebesar 5,22 menjadi berkisar antara 6,81 – 7,05 (Lampiran 5).. Hasil analisa sidik
ragam (Lampiran 4a) menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak temulawak,
kecepatan pengadukan dan lama putaran homogenizer tidak memberikan
pengaruh terhadap pH nanoemulsi yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa
ukuran partikel dan viskositas nanoemulsi tidak mempengaruhi pH nanoemulsi
yang dihasilkan. Buffer fosfat dengan pH 7 yang digunakan dapat menjaga
kestabilan pH nanoemulsi yang dihasilkan.
Nanoemulsi ekstrak temulawak aman digunakan sebagai bahan dasar lotion,
krim atau salep. Hal ini disebabkan karena pH nanoemulsi sesuai dengan pH kulit
manusia yaitu sekitar 6,5-6,9 (Levin et al. 2007). Berdasarkan syarat SNI 16-
4954-1998, rentang pH krim yang aman untuk kulit adalah 3,5-8. Nilai pH yang
tidak sesuai akan menyebabkan perubahan pH dan kerusakan pada mantel kulit.
Rusaknya lapisan mantel kulit dapat menyebabkan kulit kehilangan keasamannya,
lebih mudah teriritasi dan rusak (Levin et al. 2007). Nilai pH nanoemulsi ekstrak
temulawak yang dihasilkan aman digunakan sebagai bahan dasar obat karena
23

sesuai dengan pH usus halus (7-7,4), dimana usus halus merupakan organ utama
penyerapan obat (Utami 2010).

Kelarutan Nanoemulsi Ekstrak Temulawak

Nanoemulsi yang digunakan dalam uji penetrasi kurkumin ini adalah


nanoemulsi dengan fase minyak 30 %, kecepatan putar 24 000 rpm dan waktu
pengadukan 30 menit dengan rata-rata ukuran butiran sebesar 84 nm. Nanoemulsi
ekstrak temulawak yang dihasilkan dapat larut dalam pelarut non polar yaitu
heksan dan aseton. Nanoemulsi ekstrak temulawak juga larut sempurna dalam
pelarut semi polar yaitu etanol dan metanol. Pelarut polar yaitu air dapat
melarutkan nanoemulsi ekstrak temulawak. Hasil kelarutan nanoemulsi ekstrak
temulawak menghasilkan warna yang berbeda-beda. Ekstrak temulawak hanya
larut dalam aseton dan etanol (Tabel 7). Kedua pelarut ini adalah jenis pelarut
yang dapat melarutkan kurkumin (Parthasarathy et al. 2008). Menurut Shargel et
al. (1999) ukuran butiran adalah salah satu sifat fisika zat yang mempengaruhi
kelarutan. Semakin kecil ukuran partikel, maka luas permukaan zat tersebut akan
semakin meningkat, sehingga akan mempercepat kelarutan suatu zat.
Meningkatnya luas permukaan memungkinkan interaksi antara solut dan pelarut
lebih besar. Ukuran yg kurang dari 100 nm membuat nanoemulsi lebih mudah
dilarutkan dibandingkan dengan emulsi dengan ukuran > 6 μm. Kelarutan
nanoemulsi ekstrak temulawak dapat dilihat pada Gambar 10.
Turunnya viskositas suatu pelarut, juga akan memperbesar kelarutan suatu
zat. Nanoemulsi mempunyai viskositas lebih rendah dibandingkan dengan ekstrak
temulawak sehingga nanoemulsi lebih mudah terpenetrasi. Pada uji kelarutan ini
dapat disimpulkan bahwa nanoemulsi dapat mengubah sifat kelarutan kurkumin.
Kemampuan air melarutkan nanoemulsi ekstrak temulawak membuat nanoemulsi
aman digunakan sebagai bahan obat karena dapat larut dalam air yang aman bagi
tubuh.

Tabel 7. Nilai kelarutan nanoemulsi ekstrak temulawak pada tingkat kepolaran


pelarut
Jenis pelarut Kepolaran* Kelarutan emulsi Kelarutan nanoemulsi
Heksan (C6H14) 0 - +
Aseton (CH3COCH3) 47 ++ ++
Etanol (C2H6O) 68 ++ ++
Metanol (CH3OH) 73 - ++
Air (H2O) 90 - +
*sumber: Hermawati, 2004 Keterangan : - Tidak larut
+ Larut
++ Larut sempurna
24

Gambar 10. Kelarutan nanoemulsi ekstrak temulawak terhadap pelarut heksan (a),
aseton (b), etanol (c), metanol (d) dan air (e)

Bioavailabilitas

Nanoemulsi yang digunakan dalam uji penetrasi kurkumin ini adalah


nanoemulsi dengan fase minyak 30 %, kecepatan putar 24 000 rpm dan lama
putaran 30 menit dengan rata-rata ukuran butiran sebesar 84 nm. Studi penetrasi
secara in vitro dilakukan untuk mengukur kecepatan dan jumlah senyawa yang
melewati sel yang bergantung pada jenis obat/zat aktif, bentuk sediaan, bahan
peningkat penetrasi dan variabel formulasi lainnya (Utami 2012).
Penetrasi emulsi ekstrak temulawak selama 120 menit sebesar 0,32 %,
sedangkan penetrasi nanoemulsi ekstrak temulawak jauh lebih tinggi yaitu sebesar
21,75 %. Hasil pengujian menunjukkan bahwa kemampuan penetrasi sediaan
nanoemulsi ekstrak temulawak lebih cepat dan lebih besar dibandingkan dengan
penetrasi emulsi ekstrak temulawak. Hal ini disebabkan karena ukuran partikel
nanoemulsi yang kecil memudahkan terpenetrasi dalam larutan. Ukuran butiran
nanoemulsi yang kecil membuat kurkumin lebih banyak dan cepat terpenetrasi.
Syukri (2002) menjelaskan bahwa ukuran partikel bentuk sediaan mempengaruhi
absorpsi obat. Makin kecil ukuran partikel, maka luas permukaan yang
bersinggungan dengan pelarut makin besar, sehingga kecepatan melarut obat
makin besar. Teori ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Baboota
et al. (2007) yang membandingkan penetrasi dari sediaan nanoemulsi dan
nanoemulsi gel. Hasilnya menunjukkan bahwa kemampuan penetrasi nanoemulsi
lebih besar karena memiliki ukuran butiran lebih kecil dibandingkan dengan
nanoemulsi gel.
Emulsi dengan ukuran nano (nanoemulsi) dapat meningkatkan absorbsi,
meningkatkan bioavailabilitas obat, membantu solubilisasi zat aktif yang bersifat
hidrofobik, serta memiliki efisiensi dan penetrasi yang cepat pada sebagian obat
(Devarajan dan Raichandran, 2011). Selain itu, nanoemulsi juga dapat menghemat
penggunaan temulawak. Selain ukurannya yang kecil, viskositas sediaan juga
berpengaruh terhadap pelepasan bahan aktif dari basis menuju permukaan
membran. Rendahnya viskositas nanoemulsi dibandingkan dengan emulsi akan
meningkatkan kecepatan penetrasi, sehingga meningkatkan mobilitas bahan aktif
25

menuju permukaan membran. Berdasarkan hasil pengukuran viskositas, emulsi


memiliki viskositas lebih tinggi (12,10 cP) dibandingkan nanoemulsi (3,90 cP),
sehingga kurkumin akan lebih sulit berdifusi ke dalam membran usus.

4.3 Perubahan Karakteristik Temulawak

Tabel 8 menunjukkan bahwa pengecilan ukuran butiran dapat merubah


karakteristik temulawak menjadi lebih baik. Hal ini dapat dilihat dari perubahan
warna, bentuk, ukuran, pH, viskositas, kelarutan dan bioavailabilitas yang lebih
baik dibandingkan dengan ekstrak temulawak.

Tabel 8. Karakteristik ekstrak temulawak dan nanoemulsi ekstrak temulawak


Karakteristik Emulsi ekstrak Nanoemulsi
temulawak ekstrak temulawak
Warna Coklat-Kuning Coklat-kuning
Bentuk Kental Encer dan transparan
Aroma Khas temulawak Khas temulawak
Indeks bias 1,65 1,64
Ukuran butiran > 6 µm 86 nm
pH 5,22 6,79
Viskositas (cP) 12,10 3,90
Kelarutan
Heksan - +
Aseton ++ ++
Etanol ++ ++
Metanol - ++
Air - +
Bioavailabilitas (%) 0,32 21,75

5 Simpulan dan Saran

Simpulan

Kondisi terbaik pembuatan nanoemulsi ekstrak temulawak diperoleh pada


homogenisasi dengan kecepatan 22 000 rpm selama 20 menit dengan fase minyak
30 %. Kondisi tersebut menghasilkan nanoemulsi dengan rata-rata ukuran butiran
95 nm dengan viskositas 3,23 cP, pH 6,79 dan kandungan kurkumin 244 ppm.
Kondisi ini dikatakan terbaik karena sudah menghasilkan nanoemulsi dengan
ukuran butiran < 100 nm.
Ukuran butiran yang kecil dapat mengubah karakteristik nanoemulsi
menjadi lebih baik. Ini dapat dilihat dari warna nanoemulsi yang transparan
26

sehingga memberikan estetika yang menarik. Nanoemulsi ekstrak temulawak


memiliki penetrasi yang lebih besar (21,75 %) dibandingkan ekstrak temulawak
(0,32 %) karena memiliki tegangan permukaan yang rendah. Nanoemulsi
memiliki kelarutan yang lebih baik pada pelarut heksan, metanol dan air serta
memiliki pH sesuai dengan kondisi tubuh manusia.

Saran

Perlu dicari pelarut lain pengganti etanol sebagai pelarut dalam pembuatan
nanoemulsi agar produk yang dihasilkan halal di konsumsi secara oral. Perlu
dilakukan uji konsentrasi kurkumin terlarut pada masing-masing nanoemulsi yang
telah dilarutkan ke berbagai pelarut. Selain itu juga perlu dicari jenis dan
komposisi emulsifier lain yang dapat menstabilkan nanoemulsi dengan
konsentrasi yang lebih kecil.

Ucapan Terima Kasih

Penelitian ini didanai oleh Kerjasama Kemitraan Penelitian dan


Pengembangan Pertanian Nasional 2013 (KKP3N 2013) dan LPPM IPB, oleh
karena itu kami mengucapkan terima kasih atas kepercayaan dan dana yang
diberikan untuk melakukan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Acosta E. (2009). Bioavailability of nanoparticles in nutrient and nutraceutical


delivery. Current Opinion in Colloid & Interface Science. 14(1): 3-15.
Afif KH. 2006. Peningkatan Kadar Kurkumin Ekstrak Etanol Temulawak dengan
Metode Cair-Cair [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Anief M. 1999. Sistem Dispersi, Formulasi Suspensi dan Emulsi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press. Hal: 56, 65-66, 71-79.
Ansel HC. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Ibrahim F, penerjemah.
Jakarta (ID): UI-Pr. Terjemahan dari Introduction to Pharmaceutical
Dosage Forms.
Anton N, Benoit JP, Saulnier P. (2008). Design and production of nanoparticles
formulated from nano-emulsion templates - a review. J Contr Rel. 128(3),
185199.
AOAC. 2005. Official Methods of Analysis of The Association of Official
Analytical Chemist. Virginia: AOAC.
27

Baboota S, Shakeel F, Ahuja A, Ali J, Shafiq S. 2007. Design, Development and


Evaluation of Novel Nanoemulsion Formulations For Transdermal Potential
of Celecoxib. Acta Pharm, 327-329.
Basalmah RS. 2006. Optimalisasi Kondisi Ekstraksi Kurkuminoid Temulawak:
waktu, suhu dan nisbah [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Beard PCW, Moran A, Ryan L. 2011. Stability of the total antioxidant capacity
and total polyphenol content of 23 commercially available vegetable juices
before and after in vitro digestion measured by FRAP, DPPH, ABTS and
Folin– Ciocalteu methods. Food Res Intern. 44: 217 –224.
Belitz HD, Grosch. 1987. Food Chemistry. Germany: Library of Congres
Cataloging in Publication Data.
Bennet H. 1996. Practical Emulsion. New York: Chemical Publishing Inc.
Bergenstahl BA, Claesson PM. 1990. Surface forces in emulsions. Di dalam:
Larsson K. dan Friberg SE, editor. Food Emulsions. New York: Marcell-
Dekker Inc.
Bombardelli E. 1991. Technologies for Processing of Medical Plants, in the
Medical Plant industry. CRC Press. Florida. USA. hlm 85-89.
Bouchemal K, Briancon S, Perrier E, Fessi H. 2004. Nano-emulsion formulation
using spontaneous emulsification: solvent, oil and surfactant optimisation.
Internat J Pharmac. 280(1-2): 241-251.
Chiewchan N, C. Phungamngeoen, Sriwattana Y. 2006. Effect of homogenizing
pressure and sterilizing condition on quality of canned high fat-coconut
milk. J. Food Eng. 73: 38-44.
Chu BS, Ichikawa S, Kanafusa S, Nakajima M. 2007. Preparation and
characterization of beta-carotene nanodispersions prepared by solvent
displacement technique. J Agricul and Food Chem. 55(16): 6754-6760.
Deman MJ. Kimia Makanan. Bandung: Institut Teknologi Bandung. hlm 190-195.
Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan RI. 2008. Farmakope Indonesia Edisi I. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
Dwisari SH. 2012. Stabilitas Fisik dan Aktivitas Antioksidan Emulsi Ganda Tipe
W/O/W Minyak Biji Jinten Hitam (Nigella sativa Linn.) Sebagai Sediaan
Nutrasetika [skripsi]. Depok: Universitas Indonesia.
Fast J P, Mecozzi S. 2009. Nanoemulsions for Intravenous Drug Delivery. Di
dalam: Villiers MM, Aramwit P, Kwon GS, editor. Nanotechnology in Drug
Delivery. New York: American Association of Pharmaceutical Scientist.
461, 463-465. December 20, 2010. Tersedia pada http://books.google.co.id.
Freitas S, Merkle HP, Gander B. 2005. Microencapsulation by solvent
extraction/evaporation: reviewing the state of the art of microsphere
preparation process technology. J Contr Release. 102(2): 313-332.
Griffin WC. 1954. Calculation of HLB values of non-ionic surfactants. J the Soc
Cosm Chem. 5: 249.
Gupta PK, Pandit, Kumar, Swaroop, Gupta S. 2010. Pharmaceutical
nanotechnology novel nanoemulsion-high energy emulsification
preparation, evaluation and application. The Pharm Res.
28

Gutierrez JM, Gonzalez C, Maestro A, Sole I, Pey CM, Nolla J. 2008.


Nanoemulsions: new applications and optimization of their preparation.
Current Opinion in Colloid & Interface Science. 13(4): 245-251.
Hanselmann W. 1996. Influence of Continuous Whipping Process Parameters on
Foam Structure and Stability. Ph.D [thesis]. ETH Zurich.
Harborne JB. 1996. Metode Fitokimia edisi kedua. Bandung (ID): Institut
Teknologi Bandung.
Harjadi. 1986. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta (ID): Erlangga
Hembing. 2007. Tanaman obat asli milik masyarakat bangsa dan negara RI
[Internet]. Jakarta [diunduh 1 Oktober 2011]. Tersedia pada:
www.health.okezone.com.
Huang S, Chang WH. Advantages of Nanotechnology-based chinese herb drugs
on biological activities. Curr Drug Metabol. 10(8):905-913.
Jiang. 2009. Enhancing anti-inflammation activity of curcumin through Oil in
Water Nanoemulsions. Elsivier.
Kammona O, Costas K. 2012. Recent advances in nanocarrier-based mucosal
delivery of biomolecules. Journal of Controlled Release. 161: 781-794.
Kartika. 1990. Viskositas. Makassar (ID): Universitas Hasanuddin.
Kim, Park. 1999. Preparation and evaluation of flurbiprofren-loaded
microemulsion for parenteral delivery. Intern J Pharm. 181: 173-179.
Kim YH, Koczo K, Wasan DT. 2003. Dynamic film and interfacial tensions in
emulsion and foam systems. J. Coll Interf Sci. 187: 29.
Koocheki, A, Kadkhodaee R. (2011). Effect of Alyssum homolocarpum seed gum,
Tween 80 and NaCl on butirans characteristics, flow properties and physical
stability of ultrasonically prepared corn Oil-in-Water emulsions. Food
Hydrocoll. 25: 1149-1157.
Kramer D. 1996. The Viscosity determination of waste-glass for characterization
of vitrification process. New York.
Kurnia R. 2000. Ekstraksi dengan Pelarut [Internet]. Tersedia pada:
http://lordbroken.wordpress.com. [20 Juni 2011].
Lachman L, Lieberman, Kanig. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri. S.
Suyatmi, penerjemah. Jakarta (ID): UI-Pr.
Lawrence, M. Jayne, Rees, Gareth D. 2000. Microemulsion-based media as novel
drug delivery dystems. Advan Drug Deliv Rev. 45:1:89-121.
Leong TSH. 2009. Minimising oil butiran size using ultrasonic emulsification.
Ultrason Sonochem. 16(6): 721-727.
Levin J, Maibach. 2007. Human skin buffering capacity. J Skin Res and Techn.
14: 121-126.
Lim CS, Jin DQ, Mok H. 2005. Antioxidant and antiinflammatory activities of
xhantorrizol in hippocampal neurons and primary cultured microglia. J
Neurosci Res. 82:831-838.
Lissant KJ. 1974. Emulsions and Emulsion Technology. Edisi ke-6. New York:
Marcel Dekker, Inc.
Marie PJM, Cornet P, P. Gervais. 2002. Influence of major parameters in
emulsification mechanisms using a high-pressure jet. J Food Engin. 53(1):
43-51.
Martin A, Swarbick J, Cammarata A. 1993. Farmasi Fisik: Dasar-Dasar Farmasi
Fisik dalam Ilmu Farmasetik. Yoshita, Penerjemah. Jakarta (ID): UI-Press.
29

MMI (Materia Medika Indonesia). 1979. Jilid III. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
McClements DJ. 2004. Food Emulsion Principles, Practices, and Techniques.
New York: CRC Pr.
McClements DJ. 2011. Formation of nanoemulsions stabilized by model food-
grade emulsifiers using high-pressure homogenization: Factors affecting
particle size. Food Hydrocoll. 25: 1000-1008.
Mozafari. 2006. Recent trends in the lipid-based nanoencapsulation of
antioxidants and their role in foods. J Sci Food Agric. 86: 2038–2045.
Muller-Fischer N, Suppiger D, Windhab EJ. 2006. Impact of static pressure and
volumetric energy input on the microstructure of food foam whipped in a
rotor-stator device. J. Food Engin. 80: 306-316
Nguyen T. 2010. Emulsi [Internet]. [3 Juni 2011]. Tersedia padaa:
http://crimoet.wordpress.com/2010/09/04/emulsi/.
Parthasarathy VA, Chempakam B, Zachariah TJ. 2008. Chemistry of Spices.
Oxford: CABI.
Pasto D, Johnson C, Miller M. 1992. Experiments and Techniquest in Organic
Chemistry. New Jersey: Prentice Hall Inc.
Peamprasart T, N. Chiewchan. 2006. Effect of fat content and prehat treatment on
the apparent viscosity of coconut milk after homogenization. J Food Eng.
77: 653-658.
Poulain N, Nakache E. 1998. Nanoparticles from vesicles polymerization II.
Evaluation of their encapsulation capacity. J Polym Sci. 36: 3035–3043.
Pramono S, (1995). Kontrol Efektifitas Berbagai Cara Pembuatan Ekstrak
temulawak Dilihat Dari Kandungan Kurkumin Dan Minyak Atsirinya
[skripsi]. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Prasetyorini. 2011. Penerapan Teknologi nanopartikel propolis trigona Spp asal
Bogor sebagai antibakteri Escherichia coli secara In vitro. Ekologia, 11(1):
36-43.
Ria EB. 1989. Pengaruh Jumlah Pelarut, Lama Ekstraksi, dan Ukuran Bahan
Terhadap Rendemen dan Mutu Oleoresin Temulawak [skripsi]. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Rismunandar. 1988. Rempah-rempah Komoditi Ekspor Indonesia. Bandung: Sinar
Baru.
Rukayadi Y, Hwang JK. 2007. In vitro antimycotic activity of xanthorrizhol
isolated from curcuma xanthorriza Roxb. againts opportunities filamentous
fungi. Phytother Res. 21:434-438.
Sansone F, Mencherini T, Picerno P, d’Amore, Aquino RP, Lauro MR. 2011.
Maltodextrin/pectin microparticles by spray drying as carrier for
nutraceutical extracts. J Food Eng. 105: 468–476.
Sembiring BB, Ma’mun, Ginting EI. 2006. Pengaruh kehalusan bahan dan lama
ekstraksi terhadap mutu ekstrak temulawak (curcuma xanthorriza Roxb).
Bul. Balitro. 17(2): 53-58.
Shargel L, Yu ABC. 1999. Applied Biopharmaceutics. Edisi ke-4. Stamford. hlm
325-352.
Sidik, Mulyono MW, Mutadi A. 1992. Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb).
Jakarta : Phytomedika.
30

Sidik, Moelyono MW, Ahmad Muhtadi, 1995. Temulawak (Curcuma


xanthoriza). Yayasan Pengembangan Obat Bahan Alam Phyto Medica. 200
hlm.
Solans, Conxita. 2003. Nanoemulsions Formation, Properties and Application. Di
dalam Mittal KL dan Shah DO, editor. Adsorption and Aggregation of
Surfactants in Solution. New York: Marcel Dekker. 472 hlm.
Srihari E, Lingganingrum FS, Hervita R, Wijaya H. 2010. Pengaruh penambahan
maltodekstrin pada pembuatan santan kelapa bubuk. Seminar Rekayasa
Kimia dan Proses. ISSN : 1411-4216. Universitas Diponegoro Semarang.
Sullivan AP, Kilpatrick PK. 2002. The effect of inorganic solid particles on water
and crude oil emulsion stability. Eng Che Res. 41: 3389-3404.
Suptijah P. 2009. Sumber Nano Kalsium Hewan Perairan. Di Dalam 101 Inovasi
Indonesia. Jakarta: Kementrian Negara, Risat dan Teknologi.
Suryani A, Sailah I, Hambali E. 2000. Teknologi Emulsi. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Susanti NL, Rahardian YA. 2011. Studi Karakteristik dan Kestabilan Emulsi
Minyak Mentah Indonesia [skripsi]. Semarang: Universitas Diponegoro.
Suwiah A. 1991. Pengaruh Perlakuan Bahan dan Jenis Pelarut yang Digunakan
pada Pembuatan Temulawak Instant Terhadap Rendemen dan Mutunya
[skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Syukri Y. (2002). Biofarmasetika. Yogyakarta: UII-Pr. hlm 12-15.
Tadros T, Izquierdo R, Esquena J, Solans C. 2004. Formation and stability of
nano-emulsions. Advances in Colloid and Interface Science. 108-109, 303-
318.
Tadros, Tharwat F. (Ed.). (2005). Applied Surfactants: Surfactans in
Nanoemulsions. Weinheim: Wiley-VCH. hlm 285-286.
Tamilvanan, S, Gursay RN, Benita S. 2002. Emulsion-based Delivery Systems for
Enhanced Drug Absorption. Business Briefing, Pharmatech. hlm 156-161.
Tangsuphoom N, JN Coupland. 2005. Effect of heating and homogenization on
the stability of coconut milk emulsions. J Food Sci. 70 (8): 466-470.
Tangsuphoom N, JN Coupland. 2007. Effect of surface-active penstabils on the
microstructure and stability of coconut milk emulsion. J Food Hydr. 22 (7):
1233-1242.
Tanta T, R Pungsawatmanit. 2004. Effect of homogenizer types and sodium
Chloride Concentrations on The physical properties of coconut Oil-in-Water
emulsion. J Natur Sci. 38(5): 1-7.
Utami SS. 2012. Formulasi dan Uji Penetrasi In Vitro Nanoemulsi, Nanoemulsi
Gel dan Gel Kurkumin [skripsi]. Depok: Universitas Indonesia.
Velikov KP, Pelan E. 2008. Colloidal delivery systems for micronutrients and
nutraceuticals. Soft Matter. 4(10): 1964-1980.
Versantvoort HM, Esther FA, Agnes GO. 2005. Consumer Product In Vitro
Digestion Model: Bioaccessibility of Contaminants and Its Application in
Risk Assessment. Regul Toxic and Pharm. 44(2): 161-171.
Vijesekera ROB. 1991. Plant Derived Medicines and Their Role In Global
Health, In the Medical Industry. CRC Press. Florida. USA. hlm 1-8.
Winarno FG, D. Fardiaz, S. Fardiaz. 1973. Ekstraksi, Kromatografi dan
Elektroforesis. Bogor (ID): Fakultas Teknologi Pertanian IPB.
31

Wirakartakusumah MA, Subarna, Arpah M, Syah D, dan Budiwati SI. 1992.


Peralatan dan Unit Proses Industri Pangan. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Wooster TJ, Golding M, Sanguansri P. 2008. Impact of oil type on nanoemulsion
formation and Ostwald ripening stability. Langmuir. 24(22): 12758-12765.
Yin, Chu, Kobayashi, Nakajima (2008). Performance of selected emulsifiers and
their combinations in the preparation of beta-carotene nanodispersions. In
9th International hydrocolloids conference. Singapore.
32

Lampiran 1. Karakterisasi Sifat Ekstrak Temulawak dan Nanoemulsi


Ekstrak Temulawak

a. Kadar Kurkuminoid Temulawak (AOAC 2005)


Pada tahap analisis kuantitatif kurkumin digunakan spektrofotometer
dengan panjang gelombang 530 nm. Analisis kuantitatif kurkumin dimulai dengan
pembuatan kurva standar kurkumin. Standar kurkumin dibuat dengan cara
melarutkan kurkumin ke dalam asam asetat dengan konsentrasi 100 ppm dan
kemudian dilakukan pengenceran sampai didapatkan konsentrasi 0, 1, 2, 3, dan 4
ppm. Analisis kurkumin dilakukan dengan cara memasukkan sampel sebanyak 5 –
10 gram ke dalam labu takar 50 ml. Setelah itu ditambahkan asam asetat sepertiga
volume labu takar kemudian dipanaskan selama 60 menit dan didinginkan.
Selanjutnya ditambahkan asam oksalat serbuk dipanaskan selama 30 menit dan
didinginkan kemudian ditambahkan asam borat dan diukur serapannya
menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 530 nm.

b. Analisis Kadar Air (AOAC 2005)


Analisis kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven.
Prinsipnya adalah menguapkan molekul air (H2O) bebas yang ada dalam sampel.
Kemudian sampel ditimbang sampai didapat bobot konstan yang diasumsikan
semua air yang terkandung dalam sampel sudah diuapkan. Selisih bobot sebelum
dan sesudah pengeringan merupakan banyaknya air yang diuapkan. Prosedur
analisis kadar air sebagai berikut: cawan yang akan digunakan dikeringkan
terlebih dahulu selama 30 menit pada suhu 100-105°C, kemudian didinginkan
dalam desikator untuk menghilangkan uap air dan ditimbang (A). Sampel
ditimbang sebanyak 2 g dalam cawan yang sudah dikeringkan (B) kemudian
dioven pada suhu 100-105°C selama 6 jam lalu didinginkan dalam desikator
selama 30 menit dan ditimbang (C). Tahap ini diulangi hingga dicapai bobot yang
konstan. Kadar air dihitung dengan rumus:

% Kadar Air = x 100%

c. Analisis Kadar Abu (AOAC 2005)


Analisis kadar abu dilakukan menggunakan metode oven. Prinsipnya
adalah pembakaran atau pengabuan bahan-bahan organik yang diuraikan menjadi
air (H2O) dan karbondioksida (CO2) tetapi zat anorganik tidak terbakar. Zat
anorganik ini disebut abu. Prosedur analisis kadar abu sebagai berikut: cawan
yang akan digunakan dioven terlebih dahulu selama 30 menit pada suhu 100-
105°C, kemudian didinginkan dalam desikator untuk menghilangkan uap air dan
ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak 2 g dalam cawan yang sudah
dikeringkan (B) kemudian dibakar di atas nyala pembakar sampai tidak berasap
dan dilanjutkan dengan pengabuan di dalam tanur bersuhu 550-600°C sampai
pengabuan sempurna. Sampel yang sudah diabukan kemudian didinginkan dalam
desikator dan ditimbang (C). Tahap pembakaran dalam tanur diulangi sampai
didapat bobot yang konstan. Kadar abu dihitung dengan rumus:

% Kadar Abu = x 100%


33

d. Perhitungan Rendemen
Rendemen nanoemulsi dihitung berdasarkan perbandingan antara
nanoemulsi yang diperoleh dengan bobot kering bahan dikalikan 100 persen.

Rendemen (%) = x 100%

e. Bobot Jenis
Piknometer kosong dikeringkan di dalam oven kemudian ditimbang. Lalu
piknometer diisi dengan akuades pada suhu 20oC kemudian disimpan dalam water
bath pada suhu 25oC selama 30 menit. Diusahakan tidak ada gelembung-
gelembung udara di dalam piknometer yang berisi akuades maupun ekstrak
temulawak. Piknometer kemudian diangkat, dikeringkan dan ditimbang. Berat
akuades diperoleh dari selisih berat piknometer berisi akuades dan berat
piknometer kosong. Pada tahap selanjutnya sampel minyak didinginkan sampai
suhu 20oC. Kemudian minyak dimasukkan ke dalam piknometer yang sebelumnya
telah dibersihkan dan dikeringkan hingga meluap dan tidak terbentuk gelembung
udara. Bagian luar piknometer dikeringkan dan piknometer ditempatkan di dalam
water bath pada suhu konstan 25oC selama 30 menit. Piknometer diangkat dari
water bath lalu dikeringkan dan ditimbang. Berat sampel diperoleh dengan
menghitung selisih berat piknometer berisi sampel dan berat piknometer kosong.
Bobot jenis dihitung dengan rumus :

d=

f. Indek Bias (SNI 01-4472-1998)


Kaca penutup refraktometer dibuka, kemudian permukaan prisma kaca
penutup dibersihkan dengan tissue sampai betul-betul kering. Ekstrak temulawak
diteteskan satu atau dua tetes diatas permukaan prisma. Kaca penutup
refraktometer ditutup secara hati-hati agar contoh merata keseluruh permukaan
prisma (tidak boleh ada rongga udara pada bidang pemandangan). Nilai brix yang
terukur kemudian dilihat. Bila pembacaan kabur, pengatur diputar sampai
pembacaan jelas. Setelah pengukuran selesai, kaca penutup dibuka dan
dibersihkan.

g. Analisis Ukuran Butiran dengan PSA (Particle Size Analyzer)


Analisis dispersi dan ukuran butiran nanoemulsi dilakukan dengan
menggunakan mikroskop digital Particulate Sisteme – Particle Size Analyzer
yang dapat mengukur distribusi ukuran dengan kisaran 2 nm hingga 7000 nm
menggunakan dynamic light scattering dan gerak Brown. Ukuran butiran dihitung
berdasarkan fungsi korelasi Stokes-Einstein dan gerak Brown yang ditetapkan
sebagai fungsi translasi. Keluaran yang dihasilkan merupakan sistem dari metode
statistik, commulant dan Laplace dimana masing-masing sistem menghasilkan
distribusi ukuran dalam intensitas, jumlah dan volume.

h. Viskositas
Sampel diukur dengan viscometer rotary pada suhu ruang (27± 0.2oC).
34

i. Kestabilan Nanoemulsi (Yunus 2013)


Uji stabilitas emulsi dilakukan dengan menyimpan nanoemulsi ekstrak
temulawak pada suhu ruang (28oC), kemudian nanemulsi diamati secara visual
atau kualitatif apakah terdapat endapan atau tidak. Adanya endapan diberi tanda
(+) dan tidak adanya endapan diberi tanda (-).

j. Pengukuran pH (SNI 06-2413-1991)


pH-meter dikalibrasi dengan larutan penyangga sesuai instruksi kerja alat
setiap kali akan melakukan pengukuran. Elektroda dikeringkan dengan kertas tisu
dan dibilas dengan air suling. Elektroda dicelupkan ke dalam ekstrak temulawak
sampai pH meter menunjukkan pembacaan yang tetap.

k. Uji Kelarutan (Hermawati, 2004)


Uji kelarutan nanoemulsi ekstrak temulawak dilakukan dengan
mencampur nanoemulsi dengan pelarut (1:1) dari berbagai tingkat polaritas yaitu
heksan, etil asetat, aseton, etanol, metanol dan air dengan nilai polaritas berturut-
turut : 0, 38, 47, 68, 73 dan 90 dalam gelas ukur 10 ml. Masing-masing campuran
diaduk kemudian diamati kelarutannnya setelah 6 jam.

l. Uji Bioavailabilitas secara in vitro (Martin et al. 1993)


Membran yang digunakan adalah usus kambing. Usus kambing disayat
dengan ketebalan 0.6 ± 0.1 mm. Kemudian usus kambing direndam dalam buffer
fosfat pH 7.4 selama 30 menit dan disimpan dalam suhu 4oC. Usus dapat
digunakan pada rentang waktu 24 jam. Uji penetrasi dilakukan menggunakan sel
difusi Franz dengan luas area difusi 1.389 cm2 dan volume kompartemen reseptor
13 ml. Kompartemen reseptor diisi dengan buffer fosfat pH 7.4 dan dijaga
suhunya sekitar 37 ± 0.5oC serta diaduk dengan stirrer kecepatan 300 rpm. Usus
kemudian diletakkan di antara kompartemen donor dengan kompartemen reseptor
dengan posisi menghadap ke atas.Sampel sebanyak 1 gram diaplikasikan pada
permukaan membran. Sampel diambil pada menit ke-120 sebanyak 3 ml dari
kompartemen reseptor menggunakan syringe. Sampel diukur serapannya pada
panjang gelombang 530 nm. Gambar alat sel difusi franz dilihat pada Lampiran 8.

Jumlah kurkumin yang terpenetrasi per luas area difusi (μg/cm2) dihitung
dengan rumus:

Q = {Cn.V + . S} /A

Keterangan:
Q = kurkumin yang terpenetrasi per luas area difusi (μg/cm2)
Cn = konsentrasi kurkumin (μg/ml) pada menit ke-120 = 1,592 μg/ml
V = volume sel difusi Franz = 13.0 ml
= jumlah konsentrasi kurkumin (μg/ml) pada sampling pertama = 0
S = volume sampling = 3 ml
A = luas area membran = 1.389 cm2
35

Lampiran 2. Analisa Rendemen Ekstrak Temulawak

Rendemen (%) = x 100%

Rendemen (%) = x 100% = 23%

Lampiran 3. Hasil Analisis Sidik Ragam terhadap Rata-rata Ukuran Butiran


Nanoemulsi

Sumber ragam Jumlah Derajat Kuadrat F hitung P


kuadrat bebas tengah
Konsentrasi 37355.556 1 37355.556 114.947 .000
Kecepatan 4980.333 2 2490.167 7.662 .007
Waktu 3332.333 2 1666.167 5.127 .025
Error 3899.778 12 324.981
Total 428018.000 18

Lampiran 3a. Uji Lanjutan Anova Pengaruh Konsentrasi Ekstrak


temulawak, Kecepatan dan Waktu Pengadukan Terhadap
Rata-rata Ukuran Butiran Nanoemulsi

Subset
Kecepatan (rpm) N
1 2
20 000 6 1.6683E2
22 000 6 1.4167E2
24 000 6 1.2650E2

Subset
Waktu (menit) N
1 2
20 6 1.5883E2
30 6 1.4967E2
40 6 1.2650E2
36

Lampiran 4. Hasil Analisis Sidik Ragam Terhadap Viskositas Nanoemulsi

Sumber ragam Jumlah Derajat Kuadrat F hitung P


kuadrat bebas tengah
Konsentrasi 8.107 1 8.107 328.293 .000
Kecepatan 1.440 2 .720 29.165 .000
Waktu .581 2 .291 11.765 .001
Error .296 12 .025
Total 132.521 18

Lampiran 4a. Uji Lanjutan Anova Pengaruh Konsentrasi Ekstrak


temulawak, Kecepatan dan Waktu Pengadukan Terhadap
Viskositas Nanoemulsi

Subset
Kecepatan (rpm) N
1 2
20 000 6 2.3150
22 000 6 2.5100
24 000 6 2.9883

Waktu Subset
N
(menit) 1 2 3
20 6 2.3817
30 6 2.6100
40 6 2.8217

Lampiran 5. Hasil Analisis Sidik Ragam Terhadap pH Nanoemulsi

Sumber ragam Jumlah Derajat Kuadrat F hitung P


kuadrat bebas tengah
Konsentrasi .053 1 .053 2.620 .132
Kecepatan .014 2 .007 .341 .718
Waktu .052 2 .026 1.282 .313
Error .244 12 .020
Total 868.419 18
37

Lampiran 6. Gambar Nanoemulsi dengan Konsentrasi Ekstrak Temulawak


20% (a) dan 30% (b)

a. b.

Lampiran 7. Gambar Alat Sel Difusi Franz


38

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada 19 Mei 1984 sebagai anak kedua dari
pasangan Nasrul dan Sumiarni. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknologi
Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Lampung, lulus pada Tahun 2007.
Pada Tahun 2011, penulis diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian pada
Program Pascasarjana IPB dengan Beasiswa Unggulan diperoleh dari Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti).
Selama mengikuti program S-2, penulis juga mengikuti presentasi hasil
penelitian dan masuk pada prosiding internasional yaitu :
1. September 2012, Karya ilmiah dengan judul “Study of The Use of Chitosan with
The Quality of Product Processed Fish Products During The Storage Room
Temperature” telah disajikan pada The 2nd International Seminar On Food &
Agricultural Sciences in Malaysia (ISFAS 2012).
2. September 2013, presentasi dengan judul “Utilization of Cacao (Theobroma
cacao L.) Pod’s Waste as a Natural Food Colorants” pada Summer Course
Program on “Sustainable Agriculture for Food Security”. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
3. Juli 2014, Sebuah artikel berjudul “Production of Nanocurcumin by
Homogenization” diterbitkan pada Jurnal Chemical and Process Engineering
Research International Instiute for Science, Technology and Education (IISTE)
ISSN 2224-7467 (Paper), ISSN 2225-0913 (Online).

Anda mungkin juga menyukai