Anda di halaman 1dari 33

EKSTRAKSI SENYAWA KURKUMIN DARI RIMPANG

TEMULAWAK DENGAN METODE MASERASI

SYARIFAH AINI

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Ekstraksi Kurkumin


dari Rimpang Temulawak dengan Metode Maserasi” adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2013

Syarifah Aini
NIM F34090032
ABSTRAK
SYARIFAH AINI. Ekstraksi Senyawa Kurkumin dari Rimpang Temulawak
dengan Metode Maserasi. Dibimbing oleh ERLIZA NOOR.

Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) banyak digunakan dalam


industri pangan, farmasi, dan kosmetika. Senyawa aktif yang berperan terhadap
penggunaan temulawak disebabkan adanya senyawa kurkumin. Penelitian ini
melakukan ekstraksi senyawa kurkumin menggunakan maserasi. Temulawak di
maserasi dengan pelarut etanol dan aseton dengan nisbah terhadap bahan baku 1:5
dan 1:7 selama 3, 5, dan 7 jam menggunakan pengadukan putaran 220 rpm.
Selanjutnya, kurkumin dianalisis dengan spektrofotometer. Konsentrasi kurkumin
tertinggi diperoleh sebesar 11.7% dengan penggunaan aseton nisbah 1:7 selama 7
jam. Persen terekstrak kurkumin tertinggi diperoleh dengan pelarut aseton sebesar
63.9%.

Kata kunci : Ekstraksi, kurkumin, temulawak

ABSTRACT

SYARIFAH AINI. Extraction Curcumin Compound of Temulawak Using


Maceration Method. Supervised by ERLIZA NOOR.

Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) used widely in the food,


pharmaceutical and cosmetics industry. Active compound that contribute to the
use of temulawak caused by the curcumin compound. This research conduct
extraction curcumin compound using maceration. Temulawak in maceration with
ethanol and acetone in the ratio of raw material 1:5 and 1:7 for 3, 5, and 7 hours
using 220 rpm strirring round. Furthermore, curcumin was analyzed with a
spectrophotometer. The highest concentration of curcumin was obtained for
11.7% with the use of acetone ratio of 1:7 for 7 hours. Obtained the highest
percent curcumin extracted with acetone solvent at 63.9%.

Keywords: Extraction, curcumin, temulawak


EKSTRAKSI SENYAWA KURKUMIN DARI RIMPANG
TEMULAWAK DENGAN METODE MASERASI

SYARIFAH AINI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Ekstraksi Senyawa Kurkumin dari Rimpang Temulawak dengan
Metode Maserasi
Nama : S yarifah Aini
NIM : F34090032

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Erliza Noor

Pembimbing

Tanggal Lulus :
Judul Skripsi : Ekstraksi Senyawa Kurkumin dari Rimpang Temulawak dengan
Metode Maserasi
Nama : Syarifah Aini
NIM : F34090032

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Erliza Noor


Pembimbing

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti


Ketua Departemen

Tanggal Lulus :
PRAKATA

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu


wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penyusunan skripsi dengan judul
“Esktraksi Senyawa Kurkumin dari Rimpang Temulawak dengan Metode
Maserasi” berhasil diselesaikan. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret 2013
sampai September 2013 di Laboratorium Dasar Ilmu Terapan dan Teknik Kimia
Departemen Teknologi Industri Pertanian.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih atas doa dan
dukungannya kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Erliza Noor selaku pembimbing yang selalu memberi arahan,
masukan, dan bimbingannya kepada penulis selama menyelesaikan skripsi.
2. Ayah dan Mama, serta adik-adikku tercinta atas doa, kasih sayang, dan
dukungannya.
3. Ibu Ega selaku laboran yang banyak membantu selama penelitian.
4. Teman-teman sebimbingan Fatia Tririzqi, Lisa Silvia, Nur Faizah, Nina
Jusnita, dan Liza Harni atas bantuan dan dukungannya selama penelitian.
5. Keluarga besar Senior Resident Asrama TPB IPB terima kasih atas
kekeluargaan dan kebahagiaan yang diberikan selama ini.
6. Keluarga besar TIN 46 terima kasih atas bantuan dan kebersamaan yang
diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan menjadi acuan para pembaca untuk
melakukan pengembangan penelitian selanjutnya.

Bogor, Desember 2013

Syarifah Aini
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii


DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 1
Manfaat Penelitian 1
Ruang Lingkup Penelitian 1
TINJAUAN PUSTAKA 2
Temulawak 2
Kandungan Kimia Temulawak 2
Ekstraksi 4
METODE 6
Waktu dan Tempat Penelitian 6
Bahan 6
Alat 6
Prosedur Penelitian 6
HASIL DAN PEMBAHASAN 7
Perlakuan Pendahuluan 7
Ekstraksi 8
Analisis Kuantitatif Kurkumin 10
Persen Terekstraksi 12
SIMPULAN DAN SARAN 13
Simpulan 13
Saran 13
DAFTAR PUSTAKA 14
LAMPIRAN 17
RIWAYAT HIDUP 20
DAFTAR TABEL

1 Sifat fisikokimia kurkuminoid 3


2 Karakteristik pelarut etanol, aseton, dan asam asetat 5
3 Perbandingan metode ekstraksi kurkumin temulawak 5
4 Kadar proksimat temulawak kering 7
5 Perbandingan hasil rendemen ekstrak kasar 10

DAFTAR GAMBAR

1 Struktur kurkuminoid dari rimpang temulawak 3


2 Rendemen ekstrak temulawak yang diperoleh dengan pelarut etanol dan
aseton 9
3 Kurva standar kurkumin 10
4 Konsentrasi kurkumin yang diperoleh dalam ekstrak temulawak dengan
pelarut etanol dan aseton 11
5 Persentasi kurkumin yang mampu terekstraksi dari kurkumin dalam
serbuk temulawak 13

DAFTAR LAMPIRAN

1 Diagram alir penelitian 6


2 Analisis proksimat 6
1
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Obat-obatan tradisional saat ini banyak digunakan seiring dengan


meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap dampak negatif penggunaan obat-
obatan kimia. Banyaknya jenis tanaman obat di Indonesia masih kurang
dioptimalkan dengan baik. Salah satunya yang digunakan sebagai bahan baku
obat-obatan dan mudah dibudidayakan adalah temulawak. Temulawak (Curcuma
xanthorriza Roxb.) dipercaya memiliki khasiat obat diantaranya mengatasi
gangguan aliran getah empedu, gangguan saluran cerna, sembelit, radang rahim,
kencing nanah, kurang nafsu makan, kelebihan berat badan, radang lambung,
cacar air, eksema, dan jerawat ( Sidik et al. 1995). Sebagai obat yang memiliki
banyak khasiat, temulawak mengandung komponen kimia utama yaitu
kurkuminoid dan minyak atsiri.
Kurkuminoid pada temulawak terdiri atas dua kandungan senyawa, yaitu
kurkumin dan desmetoksikurkumin. Khasiat temulawak dalam menyembuhkan
berbagai penyakit terutama disebabkan adanya senyawa kurkumin. Kurkumin
memiliki bau khas, tidak toksik, serbuk rasa pahit, dan memiliki dua bentuk
tautomer, keton dan enol.
Produksi temulawak Indonesia tahun 2012 mencapai 44 116 946 kg (BPS
2012) dan semakin banyak penggunaannya dalam industri pangan, obat-obatan,
dan komestik. Meningkatnya produksi juga sejalan dengan peningkatan konsumsi
sebagai obat tradisional pengganti obat kimia dikarenakan khasiatnya yang
banyak. Komponen bioaktif kurang optimal terserap oleh tubuh apabila hanya
digunakan secara tradisional, misal hanya direbus dengan air. Sebagai obat yang
memiliki banyak khasiat, diperlukan cara terbaik untuk mendapatkan kurkumin
dengan rendemen terbaik. Oleh karena itu ekstraksi kurkumin perlu
dikembangkan dikarenakan kebutuhan akan ekstrak temulawak yang terus
meningkat.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah memperoleh ekstrak kurkumin dari


temulawak dengan rendemen tertinggi dari berbagai variasi (pelarut, waktu, dan
nisbah bahan baku-pelarut).

Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk perbaikan proses ekstraksi yang


menghasilkan rendemen ekstrak kurkumin tertinggi dengan teknologi proses yang
sederhana.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini mencakup senyawa kurkumin dari rimpang


temulawak secara ekstraksi dengan metode maserasi menggunakan beberapa
2

variasi (pelarut, nisbah, dan waktu) yang berbeda untuk mendapatkan rendemen
kurkumin tertinggi.

TINJAUAN PUSTAKA

Temulawak

Temulawak yang merupakan famili Zingiberaceae mengandung minyak


atsiri dan kurkuminoid. Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) banyak
ditemukan di hutan-hutan tropis. Temulawak juga berkembang biak di tanah
tegalan sekitar pemukiman, terutama pada tanah gembur, sehingga buah
rimpangnya mudah berkembang menjadi besar. Bagian yang digunakan dari
tanaman temulawak yaitu rimpangnya. Rimpang ini baunya harum dan rasanya
pahit agak pedas. Secara tradisional rimpang temulawak dimanfaatkan untuk
tujuan perbaikan pencernaan, meningkatkan nafsu makan pada anak-anak, peluruh
batu empedu, pelancar ASI, pelancar pencernaan, penurun panas, peluruh batu
ginjal, dan penurun kolesterol (Sudarsono et al. 1985). Di Indonesia, temulawak
dikenal dengan berbagai nama daerah, misalnya koneng gede (sunda), temulawak
(Sumatra dan Jawa), dan temu lobak (Madura).
Menurut Sidik et al. (1995), produksi rimpang dipengaruhi oleh tempat
tumbuh. Pada daerah rendah (240 m di atas permukaan laut) produksi rimpang
lebih tinggi. Kadar pati di dataran rendah juga lebih tinggi dan kadar tersebut
semakin berkurang pada dataran tinggi. Sebaliknya kadar minyak atsiri tertinggi
diperoleh pada ketinggian 1200 m di atas permukaan laut. Pertumbuhan
temulawak dipengaruhi oleh iklim, media tanam, dan ketinggian tempat. Dengan
kondisi penanaman yang berbeda maka kandungan bahan aktif dari temulawak
dimungkinkan juga berbeda. Menurut Wahid dan Sudiarto (1985), mutu rimpang
temulawak sangat tergantung pada umur, tempat tumbuh, dan jenis tanah.

Kandungan Kimia Temulawak

Rimpang temulawak mengandung zat kuning kurkumin, minyak atsiri, pati,


protein, lemak, selulosa, dan mineral (Ketaren 1998). Metabolit yang terdapat
dalam rimpang temulawak yang menopang manfaat kesehatan antara lain
kurkuminoid dan minyak atsiri. Kurkuminoid terdiri atas senyawa berwarna
kuning kurkumin, desmetoksikurkumin (suatu zat warna kuning, turunan dari
heptanoid), dan bisdesmetoksikurkumin (Stankovic 2004). Menurut Kertia et al.
(2005) pada rimpang temulawak tidak ditemukan bisdemetoksikurkumin. Hanya
pada rimpang kunyit ditemukan bisdemetoksi di dalam kurkuminoid. Sedangkan
pada minyak atsiri komponen utama yaitu seskuiterpen antara lain xanthorrizol,
ar-turmeron, dan alpha-phelan-dren.
Menurut Sidik et al. (1995), kandungan utama temulawak digunakan
sebagai sumber bahan pangan, bahan baku industri, atau bahan baku obat yang
dapat dibedakan atas beberapa fraksi, yaitu fraksi pati, fraksi kurkuminoid, dan
fraksi minyak atsiri. Kandungan kurkuminoid dalam rimpang temulawak kering
3

berkisar 3.16%, sedangkan kurkumin dalam kurkuminoid rimpang temulawak


sekitar 58-71 % dan desmetoksi kurkumin berkisar 29-42 %. Berikut sifat
fisikokimia kurkuminoid (Tabel 1).

Tabel 1 Sifat fisikokimia kurkuminoid

Sifat Kimia Kurkumin Demetoksikurkumin Bisdemetoksikurkumin


Rumus molekul C21H20O6 C20H18O5 C19H16O4

Bobot molekul 368,385 338,395 308,333

Titik leleh 183°C 168°C 224°C

Kristal Jingga Jingga-kuning Kuning cerah

Kelarutan
- Tidak larut Air, heksana Air, heksana Air, heksana
- Larut sedang Benzena, eter, Benzena, eter, Benzena, eter,
- Sangat larut kloroform kloroform kloroform
Alkohol, Alkohol, aseton, Alkohol, aseton, asam
aseton, asam asam asetat glasial asetat glasial
asetat glasial

Reaksi dengan Warna merah Warna merah Warna merah


basa

Reaksi dengan Warna kuning Warna kuning cerah Warna kuning cerah
asam cerah

Sumber : Parthasarathy et al. (2008)

Kurkuminoid rimpang temulawak adalah suatu zat yang terdiri dari


campuran komponen senyawa kurkumin dan desmetoksikurkumin, mempunyai
warna kuning atau jingga, berbentuk serbuk dengan rasa sedikit pahit, larut dalam
aseton, alkohol, asam asetat, asam asetat glasial, dan alkali hidroksida.
Kurkuminoid tidak larut dalam air dan dietileter.

Gambar 1 Struktur kurkuminoid dari rimpang temulawak

Analisis kurkumin dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya


spektroskopi sinar tampak, titrasi volumetrik, dan kromatografi. Analisis
4

kuantitatif dengan spektroskopi sinar tampak dilakukan berdasarkan reaksi


pembentukan rubrokurkumin atau rososianin pada panjang gelombang 530 nm
(Sidik et al. 1995) atau berdasarkan metode yang dikeluarkan ASEAN (1993),
yaitu dengan pengukuran pada panjang gelombang 420 nm. Kurkumin ialah suatu
diferuloylmethane yang ada dalam ekstrak tanaman dan merupakan penyebab
warna kuning pada kunyit dan temulawak (Aggarwal et al. 2005). Kurkumin
mempunyai rumus molekul C21H2006 dengan BM 368.37 serta titik lebur 183°C,
tidak larut dalam air dan eter, larut dalam etil asetat, metanol, etanol, benzene,
asam asetat glasial, aseton, dan alkali hidroksida. Menurut Sinambela (1985),
kurkumin mempunyai sifat koleknesis yaitu dapat meningkatkan produksi dan
sekresi empedu. Kurkumin juga merupakan senyawa yang peka terhadap
lingkungan terutama karena pengaruh pH dan suhu, cahaya, serta radikal-radikal.

Ekstraksi

Ekstraksi merupakan salah satu metode pemisahan berdasarkan perbedaan


kelarutan. Ekstraksi secara umum didefenisikan sebagai proses pemisahan dan
isolasi zat dari suatu zat dengan penambahan pelarut tertentu untuk mengeluarkan
komponen campuran dari zat padat atau zat cair. Dalam hal ini fraksi padat yang
diinginkan bersifat larut dalam pelarut (solvent), sedangkan fraksi padat lainnya
tidak dapat larut. Proses tersebut akan menjadi sempurna jika solute dipisahkan
dari pelarutnya, misalnya dengan cara disitilasi/penguapan (Jeffery et al. 1989).
Metode ekstraksi tergantung pada polaritas senyawa yang akan diekstrak.
Mutu ekstrak dipengaruhi oleh teknik ekstraksi, kehalusan bahan, jenis pelarut,
lama ekstraksi, konsentrasi pelarut, proses penguapan pelarut, pemurnian, dan
pengeringan (Bombadelli 1991 ; Vijesekera 1991). Pemilihan metode ekstraksi
yang tepat tergantung pada tekstur dan kandungan air dalam bahan yang
diekstraksi dan jenis senyawa yang diisolasi (Harborne 1996). Menurut Harborne
(1996), ekstraksi terbagi atas dua yaitu ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus.
Ekstraksi sederhana terdiri dari maserasi, perkolasi, reperkolasi, dan dialokasi.
Sedangkan ekstraksi khusus terdiri atas soksletasi, arus balik, dan ultrasonik.
Masih terdapat beberapa cara lagi untuk ekstraksi yaitu dengan gas
karbondioksida superkritik, refluks, dan lainnya. Akan tetapi, metode yang umum
digunakan untuk ekstraksi yaitu soksletasi, refluks, maserasi, dan perkolasi.
Farmakope Herbal Indonesia (2008) menyebutkan bahwa ekstraksi
temulawak dengan refluks kurang praktis dan efisien karena membutuhkan
peralatan khusus, waktu yang relatif lebih lama, energi, dan bahan kimia yang
cukup banyak. Oleh karena itu, diperlukan alternatif ekstraksi yang lebih
sederhana, cepat, efisien, dan tidak mahal, namun tetap memenuhi kaidah-kaidah
analisis. Ekstraksi secara sonikasi sangat tepat diterapkan pada analisa dalam
jumlah massif dengan waktu yang terbatas. Sedangkan maserasi merupakan cara
yang sangat sederhana dan tidak membutuhkan peralatan khusus sehingga dapat
diterapkan di semua laboratorium. Selain itu, maserasi mungkin akan memberi
hasil yang lebih baik karena akan mengurangi terjadinya dekomposisi atau
degradasi komponen karena pengaruh suhu (Sidik 1992).
Pemilihan pelarut merupakan faktor yang menentukan dalam ekstraksi.
Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus dapat menarik komponen aktif dari
campuran. Hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut
5

adalah selektivitas, sifat pelarut, kemampuan untuk mengektraksi, tidak bersifat


racun, mudah diuapkan, dan harganya relatif lebih murah (Gamse 2002). Ekstraksi
dapat dilakukan menggunakan pelarut dengan polaritas yang berbeda untuk
memperoleh komponen terlarut pada kisaran yang luas (Cowan 1999). Sifat
komponen yang akan diekstrak bergantung pada polaritas, termostabilitas dan pH.
Sifat pelarut yang akan digunakan bergantung pada polaritas, toksisitas,
kemudahan terbakar, reaktivitas, ketersediaan dan harga. Karakteristik pelarut
yang dapat digunakan pada ekstraksi kurkumin temulawak (Tabel 2).

Tabel 2 Karakteristik pelarut etanol, aseton, dan asam asetat

Indeks Viskositas
Pelarut Td (°C) Kelarutan dalam air (%)
Polaritas (cP)
Etanol 78 100 5.2 1.20
Aseton 56.29 100 5.1 0.32
Asam asetat 118.1 100 6.2 1.26
Sumber : Sadek (2002)

Penelitian mengenai ekstraksi kurkumin temulawak sudah banyak dilakukan


oleh penelitian-penelitian sebelumnya dengan berbagai variasi yang digunakan.
Akan tetapi, hasil yang diperoleh berbeda-beda dikarenakan berbagai kondisi
proses dan metode yang digunakan. Berikut pada Tabel 3 perbedaan perbandingan
metode yang telah dilakukan sebelumnya.

Tabel 3 Perbandingan metode ekstraksi kurkumin temulawak

Rendemen
Nisbah Kadar
Ekstrak
Peneliti Waktu Bahan Kurkumin
Metode Pelarut Pengadukan Kasar
(tahun) (jam) Baku- Tertinggi
Tertinggi
Pelarut (%)
(%)
Ria (1989) maserasi 1, 3, 5 metanol 1:4, 1:6, skala 7 19.19 3.06
1:8
Suwiah refluks 3 aseton 1:5, 1:6, skala 7 66.74 1.94
(1991) 1:7
Aan maserasi 2, 6, aseton 1:5, 1:8 280 rpm 10.01 1.52
(2004) 12, 18,
24
Afif ekstraksi 10, 20, etanol 1:1, stirrer 1.96 17.71
(2006) cair-cair 30 1:2, 1:3
menit
Basalmah refluks 1, 2, 3, aseton 1:4, 100 rpm 16.26 20.30
(2006) 4 1:6, 1:8
6

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan April sampai September 2013 di


Laboratorium Department of Industrial Technology (DIT) dan Teknologi Proses,
Departemen Teknologi Industri Pertanian. Diagram alir penelitian dapat dilihat
pada Lampiran 1.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rimpang temulawak


(Curcuma xanthorriza Roxb.) usia 9 bulan dari Pusat Studi Biofarmaka IPB,
etanol 95%, aseton teknis, asam asetat, kertas saring, dan standar kurkumin.

Alat

Peralatan yang digunakan untuk maserasi adalah blender, labu erlenmeyer,


hotplate stirrer, magnet stirrer, neraca analitik, pompa vakum, dan rotary vacuum
evaporator. Peralatan yang digunakan untuk analisis konsentrasi senyawa
kurkumin adalah spektrofotometer U-2010.

Metode

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu perlakuan pendahuluan,


ekstraksi, dan penentuan konsentrasi kurkumin.

Prosedur Penelitian

Penelitian dilakukan dalam 3 tahap, yaitu tahap persiapan, tahap ekstraksi,


dan tahap analisis. Perlakuan pendahuluan sebelum ekstraksi penting dilakukan
agar proses ekstraksi menjadi lebih mudah. Perlakuan pendahuluan yang
dilakukan pada penelitian ini meliputi pencucian, pengirisan, pengeringan, dan
pengecilan ukuran rimpang. Pada tahap persiapan dimulai dengan persiapan
rimpang sampai sediaan serbuk temulawak. Rimpang temulawak dicuci bersih,
diiris tipis dengan ketebalan 5 – 7 mm, dikeringkan di green house selama 2 hari,
selanjutnya dihaluskan dengan blender hingga didapatkan serbuk temulawak
dengan ukuran 40 mesh. Rendemen temulawak kering dihitung berdasarkan
presentase antara bobot serbuk temulawak yang didapat dengan bobot rimpang
temulawak awal yang digunakan. Serbuk temulawak kering dilakukan analisis
proksimat menggunakan metode AOAC (2005) (Lampiran 2).

Ekstraksi

Tahap ekstraksi mengacu pada Aan (2004) dengan modifikasi pada nisbah
bahan dan pelarut, waktu ekstraksi, dan kecepatan putaran yang digunakan.
Serbuk temulawak sebanyak 50 gram diekstrak dengan metode maserasi
7

menggunakan dua pelarut yang berbeda, yaitu etanol dan aseton. Proses ekstraksi
dilakukan dengan variabel nisbah dan waktu. Nisbah yang digunakan 1:5 dan 1:7
dan tiga perlakuan waktu 3, 5, dan 7 jam. Proses ekstraksi dilakukan pada suhu
ruang dengan putaran 220 rpm. Hasil ekstraksi dipisahkan dari pelarutnya dengan
cara dipekatkan dengan penguap putar menggunakan alat rotary vacuum
evaporator. Hasil ekstrak ditimbang untuk dihitung rendemen ekstraknya.
Selanjutnya dilakukan analisis kandungan kurkumin dengan cara mengukur
serapannya dengan spektrofotometer sinar tampak pada panjang gelombang 530
nm.

Analisis Kuantitatif Kurkumin

Pada tahap analisis dilakukan pengujian kuantitatif kurkumin menggunakan


spektrofotometer dengan panjang gelombang 530 nm. Analisis kuantitatif
kurkumin dimulai dengan pembuatan kurva standar kurkumin. Standar kurkumin
dibuat dengan cara melarutkan standar kurkumin ke dalam asam asetat dengan
konsentrasi 100 ppm dan kemudian dilakukan pengenceran sampai didapatkan
konsentrasi 0, 1, 2, 3, dan 4 ppm. Setelah itu dilakukan pengukuran menggunakan
spektrofotometer sinar tampak pada panjang gelombang 530 nm. Analisis
kurkumin dilakukan dengan cara memasukkan sampel sebanyak 5 – 10 gram ke
dalam labu takar 50 ml. Setelah itu ditambahkan asam asetat sepertiga volume
labu takar kemudian dipanaskan selama 60 menit dan didinginkan. Selanjutnya
ditambahkan asam oksalat serbuk dipanaskan selama 30 menit dan didinginkan
kemudian ditambahkan asam borat, diencerkan menjadi 50 kalinya dan diukur
serapannya pada panjang gelombang 530 nm (AOAC 2005).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Perlakuan Pendahuluan

Ukuran serbuk yang dipilih untuk digunakan dalam penelitian ini berukuran
40 mesh. Hal ini berdasarkan penelitian Bargem et al. (2006), semakin halus
serbuk yang digunakan maka semakin kecil kadar kurkuminnya. Penelitiannya
membandingkan rendemen kurkumin berdasarkan perbedaan kehalusan serbuk
temulawak yaitu 40 dan 60 mesh, diperoleh hasil terbaik dengan kehalusan 40
mesh.
Analisis proksimat rimpang temulawak dilakukan untuk mengetahui
komposisi kimia temulawak yang digunakan diekstrak. Berikut hasil analisis
proksimat yang diperoleh (Tabel 4).

Tabel 4 Kadar proksimat temulawak kering

Komponen Senyawa Kadar (%)


Air 7.12
Abu 3.35
Protein 2.74
Lemak 9.30
Karbohidrat 77.49
8

.
Kurkuminoid pada temulawak terdiri dari dua kandungan yaitu kurkumin
dan desmetoksikurkumin. Hasil analisis kadar kurkumin yang terdapat dalam
serbuk temulawak sebesar 2.83%. Hasil ini tidak berbeda jauh dari beberapa hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh Afif (2006) mendapatkan kadar kurkumin di
dalam temulawak sebesar 2.98%, sementara hasil penelitian kadar kurkumin yang
dilakukan oleh Aan (2004) sebesar 2.43%.
Perbedaan hasil kadar kurkumin dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya umur rimpang, tempat tumbuh, jenis tanah, dan metode analisisnya.
Afif (2006) menggunakan rimpang temulawak usia 9 bulan, metode yang
digunakan adalah ekstraksi cair-cair dan analisisnya menggunakan
sprektrofotometer 420 nm, sedangkan Aan (2004) menggunakan rimpang
temulawak usia yang sama 9 bulan, metode yang digunakan maserasi dan
analisisnya menggunakan spektrofotometer.

Ekstraksi

Ekstraksi temulawak dilakukan dengan metode maserasi berpengaduk


menggunakan tiga variabel yaitu pelarut, waktu, dan nisbah bahan baku-pelarut.
Pelarut yang digunakan adalah etanol dan aseton dengan tiga faktor waktu, yaitu
3, 5, dan 7 jam, serta dua faktor nisbah bahan baku (g) per ml pelarut, yaitu 1:5
dan 1:7 menggunakan bantuan magnet stirrer dengan putaran 220 rpm. Metode
ini mengacu pada Aan (2004) yang melakukan ekstraksi menggunakan metode
maserasi dengan bantuan pengadukan kecepatan 280 rpm menggunakan pelarut
aseton untuk melihat pengaruh waktu, suhu, dan nisbah pelarut pada ekstraksi
kurkumin dengan modifikasi waktu, putaran pengadukan, dan nisbah.
Pemilihan metode maserasi dikarenakan pengerjaannya sangat sederhana,
tidak membutuhkan alat khusus dan lebih terjangkau. Pengadukan berfungsi
meningkatkan efektifitas ekstraksi. Penggunaan etanol dan aseton dikarenakan
sifat fisikokimia kurkuminoid sangat larut pada kedua pelarut tersebut. Selain itu,
dikarenakan kepolaran, toksisitas, dan penelitian-penelitian sebelumnya.
Kurkuminoid merupakan senyawa polar yang disebabkan oleh gugus –OH yang
terdapat pada struktur kurkuminoid. Kurkuminoid larut dalam pelarut-pelarut
yang mempunyai kepolaran yang hampir sama. Etanol dan aseton memiliki
kepolaran mirip kurkumin sehingga cocok digunakan untuk mengekstrak
kurkumin. Hasil penelitian Sidik et al. (1995) menunjukkan kadar kurkuminoid
terbesar yang terekstrak terdapat dalam pelarut aseton dan etanol. Pemilihan
nisbah 1:5 dan 1:7 berdasarkan penelitian sebelumnya. Aan (2004) melakukan
ekstraksi dengan nisbah pelarut yang digunakan 1:5 dan 1:8. Hasil penelitiannya
memperlihatkan perbedaan yang jauh antara 1:5 dan 1:8.
Suhu yang digunakan pada penelitian ini yaitu suhu ruang. Hal ini
berdasarkan penelitian yang dilakukan Nugroho et al.(2008) untuk melihat
pengaruh suhu ekstraksi terhadap kandungan kurkuminoid. Suhu yang digunakan
dalam penelitiannya adalah suhu 60°C, 70°C, 80°C, 90°C, dan 100°C dengan
metode soxhlet menggunakan pelarut aseton. Berdasarkan hasil analisis data
statistik penelitian yang dilakukan, kondisi suhu ekstraksi serbuk temulawak tidak
berpengaruh secara nyata terhadap nilai rata-rata kandungan kurkuminoid.
Penelitian ini juga tidak ditemukan suhu optimum untuk ekstraksi temulawak.
9

Rendemen ekstrak kasar tertinggi dari kondisi ekstraksi yang digunakan,


yaitu pada saat ekstraksi dengan variasi waktu 7 jam, nisbah bahan baku-pelarut
1:7 menggunakan pelarut etanol (Gambar 2). Rendemen yang dihasilkan untuk
berbagai kondisi ekstraksi (pelarut, waktu, nisbah bahan baku-pelarut) cenderung
meningkat selaras dengan peningkatan waktu dan banyaknya jumlah pelarut yang
digunakan. Hal ini disebabkan semakin lama waktu esktraksi yang dilakukan,
semakin lama juga terjadi kontak antara bahan baku dengan pelarut sehingga
semakin banyak senyawa yang berdifusi keluar sel. Hasil yang ditunjukkan pada
Gambar 2 memperlihatkan bahwa hasil rendemen ekstrak kasar dalam etanol
sebesar 40.8% (pada nisbah bahan baku-pelarut 1:7, waktu 7 jam) menghasilkan
rendemen yang lebih tinggi dibandingkan 29.3-36.4% (pada nisbah bahan baku-
pelarut 1:5, waktu 3, 5, dan 7 jam) dan 29.3-39.1% (pada nisbah bahan baku-
pelarut 1:7, waktu 3 dan 5 jam). Sedangkan rendemen ekstrak kasar dalam aseton
menghasilkan rendemen yang lebih kecil dibandingkan dengan rendemen ekstrak
dalam etanol. Hasil yang diperoleh dalam aseton sebesar 15.8-14.2% (pada nisbah
bahan baku-pelarut 1:5, waktu 3, 5, dan 7 jam) dan sebesar 15-15.4% (pada nisbah
bahan baku-pelarut 1:7, waktu 3, 5, dan 7 jam). Menurut Srijanto et al. (2005), hal
ini diduga pelarut etanol akan mengekstrak jenis senyawa yang lebih banyak
dibandingkan dengan pelarut aseton sehingga diperoleh rendemen ekstrak yang
lebih tinggi.
Variasi nisbah bahan baku-pelarut 1:7 menghasilkan rendemen ekstrak kasar
lebih tinggi dibandingkan nisbah 1:5. Hal ini dikarenakan semakin banyak jumlah
pelarut yang digunakan maka semakin besar kesetimbangan konsentrasi yang
terbentuk pada saat ekstraksi yang menyebabkan jumlah ekstrak yang diperoleh
juga semakin meningkat.

45 40.8
Rendemen ekstrak kasar (% b/b)

39.1
40 35.8 36.4
35
29.3 29.3
30
25
20 ETANOL
15.8 14.2 15 15.2 15.4
15 13.6 ASETON
10
5
0
A B C D E F
Waktu (jam)

Keterangan : A. Waktu 3 jam, nisbah 1:5 D. Waktu 3 jam. nisbah 1:7


B. Waktu 5 jam, nisbah 1:5 E. Waktu 5 jam, nisbah 1:7
C. Waktu 7 jam, nisbah 1:5 F. Waktu 7 jam, nisbha 1:7

Gambar 2 Rendemen ekstrak temulawak yang diperoleh dengan pelarut etanol


dan aseton
10

Hasil rendemen ekstrak kasar yang diperoleh dari penelitian ini lebih besar
dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dari penelitian sebelumnya. Berikut
perbedaan hasil rendemen ekstrak kasar (Tabel 5).

Tabel 5 Perbandingan hasil rendemen ekstrak kasar

Peneliti Tahun Hasil Rendemen Ekstrak Kasar


(%)
Suwiah 1991 21.81-66.74
Aan 2004 9.05-10.1
Basalmah 2006 11.99-16.26
Afif 2006 1.94-1.96
Aini 2013 40.8

Rendemen ekstrak penelitian ini masih lebih kecil dibandingkan dengan hasil
yang diperoleh Suwiah (1991) seperti yang terlihat pada Tabel 5. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya ukuran serbuk, metode ekstraksi,
jumlah pelarut, waktu ekstraksi, dan kecepatan pengadukan.

Analisis Kuantitatif Kurkumin

Pembuatan Kurva Standar Kurkumin

Kurva standar kurkumin dengan metode spektrofotometri diukur pada


panjang gelombang 530 nm. Hasil kurva standar kurkumin menunjukkan linieritas
yang tinggi dan ditunjukkan dengan nilai R² mendekati 1. Dari grafik diperoleh
persamaan garis y = 0.1731x - 0.0018 dengan R² = 0.997 (Gambar 3), yang
menunjukkan keragaman data.

0.800

0.700 y = 0.1731x - 0.0018


R² = 0.997
0.600

0.500
Absorbansi

0.400

0.300

0.200

0.100

0.000
0.000 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000
-0.100
Konsentrasi (ppm)

Gambar 3 Kurva standar kurkumin


11

Analisis Kurkumin Temulawak

Hasil kadar kurkumin dilihat secara kuantitatif menggunakan


sprektrofotometer pada gelombang 530 nm. Kadar kurkumin awal dalam serbuk
sebelum ekstraksi sebesar 2.83%, sedangkan kadar kurkumin dalam ekstrak etanol
dan aseton lebih besar dibandingkan awal sebelum ekstrak. Hal ini menunjukkan
bahwa pelarut etanol dan aseton mampu mengekstrak dengan baik kurkumin di
dalam temulawak (Gambar 4). Pada gambar terlihat bahwa konsentrasi kurkumin
tertinggi dari beberapa perlakuan ekstraksi diperoleh sebesar 117 300 ppm, yaitu
pada saat ekstraksi menggunakan pelarut aseton, nisbah bahan baku-pelarut 1:7,
dan waktu 7 jam.
Data analisis konsentrasi kurkumin yang terekstraksi sangat dipengaruhi
oleh jenis pelarut, waktu, dan nisbah bahan baku-pelarut (Gambar 4). Ekstrak
kurkumin setelah perlakuan ekstraksi menggunakan maserasi berpengaduk
menunjukkan bahwa untuk pelarut etanol dan aseton berpengaruh terhadap
konsentrasi kurkumin yang terekstraksi. Ekstraksi dengan pelarut aseton (117 300
ppm) menghasilkan konsentrasi kurkumin lebih besar dibandingkan dengan
pelarut etanol (35 600 ppm). Hal ini menunjukkan bahwa aseton memiliki
kemampuan mengekstrak lebih baik dibandingkan etanol dikarenakan perbedaan
kepolaran keduanya (Tabel 2). Hasil ini sesuai dengan yang dilakukan (Srijanto et
al. 2005) yang melakukan perbandingan ekstraksi kurkumin dari temulawak
dengan pelarut aseton dan etanol. Kondisi ekstraksi penelitian yang digunakan
adalah waktu ekstraksi 2, 6, 12, 18, dan 24 jam dengan perbandingan bahan baku-
pelarut 1:5 dan 1:8 pada suhu 35°C. Hasil penelitiannya menunjukkan kadar
kurkumin dalam ekstrak tertinggi pada ekstraksi dengan pelarut aseton pada
waktu 12 jam dan perbandingan bahan-baku pelarut 1:5.
140000
Konsentrasi kurkumin (ppm)

117300
120000

100000 92800
87500

80000

56400 ETANOL
60000 51100
43100
ASETON
40000 34500 35600
29606 30100 30900
24522
20000

0
A B C D E F
Waktu (jam)

Keterangan : A. Waktu 3 jam, nisbah 1:5 D. Waktu 3 jam. nisbah 1:7


B. Waktu 5 jam, nisbah 1:5 E. Waktu 5 jam, nisbah 1:7
C. Waktu 7 jam, nisbah 1:5 F. Waktu 7 jam, nisbha 1:7

Gambar 4 Konsentrasi kurkumin yang diperoleh dalam ekstrak temulawak


dengan pelarut etanol dan aseton
12

Variasi waktu ekstraksi 3, 5, dan 7 jam juga memberikan pengaruh


terhadap konsentrasi kurkumin. Konsentrasi kurkumin yang terekstrak meningkat
selaras dengan peningkatan waktu ekstraksi. Waktu ekstraksi 7 jam pada etanol
(35 600 ppm) dan aseton (117 300 ppm) menghasilkan kadar kurkumin lebih
tinggi dibanding dengan waktu ekstraksi 3 jam dan 5 jam. Semakin lama waktu
ekstraksi, semakin lama waktu kontak antara bahan baku dengan pelarut sehingga
semakin banyak senyawa yang keluar sel. Nisbah bahan baku-pelarut juga
mempengaruhi konsentrasi kurkumin ekstrak temulawak (Gambar 4). Nisbah
bahan baku-pelarut 1:7 mengekstrak lebih banyak kurkumin dibanding dengan
nisbah 1:5. Hasil uji menunjukkan konsentrasi kurkumin terbesar diperoleh
dengan pelarut aseton dengan waktu ekstraksi 7 jam dengan nisbah bahan baku-
pelarut 1:7. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis pelarut mempengaruhi
konsentrasi kurkumin temulawak. Selain itu, semakin lama waktu ekstraksi dan
semakin besar perbandingan bahan baku-pelarut yang digunakan maka semakin
besar kadar kurkumin yang didapat.
Konsentrasi kurkumin yang dihasilkan cukup tinggi jika dibandingkan
dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan. Hasil penelitian Aan (2004)
menghasilkan kadar kurkumin yang terekstrak 1.52%. Hal yang sama pada Ria
(1989) dan Suwiah (1991) berturut-turut menghasilkan kadar kurkumin 3.06%
dan 1.94%. Akan tetapi, hasil yang diperoleh masih lebih rendah dibandingkan
dengan kadar kurkuminoid hasil penelitian Basalmah (2006) yang melakukan
ekstraksi dengan refluks menggunakan pelarut aseton, yaitu sebesar 20.3%.

Persen Terekstraksi

Persen terekstraksi merupakan rendemen kurkumin yang terdapat di dalam


ekstrak dibandingkan dengan kurkumin yang terdapat di dalam serbuk temulawak
kering. Persen terekstrak tertinggi diperoleh pada ekstraksi menggunakan pelarut
aseton, waktu 7 jam, dan nisbah bahan baku-pelarut 1:7 sebesar 63.90% dari
kandungan awal kurkumin dalam serbuk temulawak sebanyak 28.3% (Gambar 5).
Persen terekstrak menggunakan pelarut etanol tertinggi pada kondisi waktu 7 jam
dengan nisbah bahan-baku pelarut 1:7 sebesar 51.38% dari kandungan awal
kurkumin dalam serbuk temulawak yang sama. Persen terekstrak dipengaruhi oleh
metode yang digunakan saat mengekstrak. Semakin tinggi persen kurkumin yang
terekstrak dari kandungan kurkumin awal di serbuk, maka semakin baik metode
yang digunakan untuk mengekstrak kurkumin.
13

70
63.90

60

Persen terekstrak (% b/b)


51.38
50 46.61 47.72 47.04

37.49 38.76
40
32.02
30
28.56 Etanol
27.13
25.41
22.87 Aseton
20

10

0
A B C D E F
Waktu (jam)

Keterangan : A. Waktu 3 jam, nisbah 1:5 D. Waktu 3 jam. nisbah 1:7


B. Waktu 5 jam, nisbah 1:5 E. Waktu 5 jam, nisbah 1:7
C. Waktu 7 jam, nisbah 1:5 F. Waktu 7 jam, nisbha 1:7

Gambar 5 Persentase kurkumin yang mampu terekstrak dari kurkumin dalam


serbuk temulawak

Rendemen ekstrak kasar berbanding terbalik dengan hasil konsentrasi


kurkumin dan persen terekstrak. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak
rendemen ekstrak kasar belum tentu menghasilkan konsentrasi dan persen
terkstrak kurkumin yang tinggi pula. Hasil penelitian ini menunjukkan sebaliknya,
hasil rendemen ekstrak kasar yang kecil pada aseton menghasilkan kosentrasi dan
persen terekstrak kurkumin yang lebih tinggi dibandingkan etanol.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Konsentrasi dan rendemen kurkumin tertinggi diperoleh dengan kondisi


ekstraksi menggunakan pelarut aseton pada nisbah 1:7 selama 7 jam berturut-turut
sebesar 117 300 ppm (11.7%) dan 63.9%.

Saran

Disarankan variasi waktu dan nisbah bahan baku-pelarut lebih banyak.


Penelitian juga dapat dilanjutkan dengan menganalisis mutu ekstrak dan kadar
kurkumin yang dihasilkan untuk mendukung karakteristiknya yang lebih spesifik.
14

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Farmakope Herbal Indonesia. Departemen Kesehatan RI, hal 150-
154, 162-166 dan 175.

Aan. 2004. Pengaruh waktu, suhu, dan nisbah bahan baku-pelarut pada ekstraksi
kurkumin dari temulawak dengan pelarut aseton [skripsi]. Bogor : Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Afif KH. 2006. Peningkatan Kadar Kurkumin Ekstrak Etanol Temulawak dengan
Metode Cair-Cair [skripsi]. Bogor : Departemen Kimia, Fakultas MIPA,
Institut Pertanian Bogor.

Aggarwal BB, Kumar MS, Aggarwal, dan Shishodia S. 2005. Curcumin derived
from turmeric (Curcuma longa): a spice for all seasons. in
phytopharmaceuticals in cancer chemoprevention. CRC
Press. LLC. p.249-387.

AOAC. 2005. Official Methods of Analysis of The Association of Official


Analytical Chemist. Virginia: AOAC Incorporation.

[ASEAN] Association of South East Asian Nation. 1993. Standard of ASEAN


Herbal Medicine Vol 1. Jakarta: Aksara Buana Printing.

Bargem S, Ma’mun, Imanuel E. 2006. Pengaruh Kehalusan dan Lama Ekstraksi


terhadap Mutu Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.). Balitro,
Vol XVII No.2. p 53-58.

Basalmah RS. 2006. Optimalisasi Kondisi Ekstraksi Kurkuminoid Temulawak :


Waktu, Suhu, dan Nisbah [skripsi]. Bogor : Departemen Kimia, Fakultas
MIPA, Institut Pertanian Bogor.

Bombadelli E. 1991. Technologies for Processing of Medicinal Plants, in the


Medicinal Plant Industry. USA : CRC Press, Florida

[BPS] Badan Pusat Statisik. 2012. Produksi tanaman obat-obatan menurut


provinsi. Jakarta (ID).
Cowan MM. 1999. Plant product as antimicrobial agents. Clinical Microbiology
Reviews 12 (4): 564-568.
Gamse T. 2002. Liquid-Liquid Extraction and Solid-Liquid Extraction. Graz
University of Technology.

Jeffery GH, et al. 1989. Vogel’s Textbook Of Quantitative Chemical Analysis, 5th
ed. John Wiley & Sons. Inc.
15

Harborne JB. 1996. Metode Fitokimia. K Padmawinata, penerjemah. Bandung:


ITB Press.

Kertia N, Sudarsono. 2007. Kontroversi Penggunaan Temulawak Sebagai Obat


Asli Indonesia Untuk Menangani Masalah Kesehatan Khususnya
Osteoartritis, dalam Seminar Nasional Tanaman Obat dan Obat
Tradisional : Obat Tradisional Yang Aman, Berkhasiat Dan Bermutu
Mendukung Pelayanan Kesehatan Masyarakat.

Ketaren. 1998. Penentuan Utama Komponen Minyak Atsiri Temulawak (Curcuma


xanthorriza Roxb.) [Tesis]. Bandung : FMIPA, ITB.

Nugroho B, Malau DP, Rokhmanto F, Laili N. 2008. Pengaruh Suhu Ekstraksi


Terhadap Kandungan Kurkuminoid dan Air Serbuk Temulawak. LIPI,
Diklat Metode Penelitian Percobaan dan Pengolahan Data.

Parthasarathy VA, Chempakam B, Zachariah TJ. 2008. Chemistry of Spices.


Oxford: CABI.

Ria EB. 1989. Pengaruh Jumlah Pelarut, Lama Ekstraksi, dan Ukuran Bahan
Terhadap Rendemen dan Mutu Oleoresin Temulawak [skripsi]. Bogor :
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Sadek P. 2002. Solvent Miscibility and Vicosity Chart. Interscience, The HPLC
Solvent Guide.

Sidik, Mulyono MW, Mutadi A. 1992. Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb).


Jakarta : Phytomedika.

Sidik, Mulyono M, Mutadi A. 1995. Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb).


Jakarta : Phytomedika.

Sinambella, James. 1985. Fitoterapi, Fitostandar dari Temulawak. Prosiding


Symposium Nasional Temulawak. Bandung : Universitas Padjajaran. 238
hal.

Srijanto B, Rosidah I, Rismana E, Syahbirin G, Yusro AK, dan Aan. 2005.


Perbandingan Ekstraksi Kurkumin dari Temulawak (Curcuma xanthorriza
Roxb.) dengan Pelarut Aseton dan Etanol. Prosiding Seminar Nasional
Penggalian Potensi Sembilan Tanaman Obat Unggulan Indonesia.
Purwokerto : Universitas Muhammadiyah Purwokerto. hal 91-96.

Stankovic, I. 2004. Curcumin. Chemical and Technical Assessment (CTA).


FAO. p.1-8.

Sudarsono, Ngatidjan, Subagus W, Diedik G, Sudrajat. 1985. Tumbuhan Obat I.


Yogyakarta : UGM, Pusat Studi Obat Tradisional.
16

Suwiah A. 1991. Pengaruh Perlakuan Bahan dan Jenis Pelarut yang Digunakan
pada Pembuatan Temulawak Instant Terhadap Rendemen dan Mutunya
[skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Wahid P, Sudiarto. 1985. Pembudidayaan Tanaman Temulawak. Prosiding


Symposium Nasional Temulawak. Bandung : Lembaga Penelitian
Universitas Padjajaran.
17

Lampiran 1. Diagram Alir Penelitian


Pembuatan serbuk temulawak
Rimpang temulawak segar

Pencucian

Penirisan

Pengirisan 5-7 mm

Pengeringan di green house

Penggilingan

Pengayakan 40 mesh

Serbuk temulawak kering

Pembuatan ekstrak temulawak dalam pelarut etanol dan aseton


50 gr temulawak kering

Maserasi
(etanol dan aseton)

Penyaringan

Filtrat

Pemekatan dengan rotavapour

Ekstrak temulawak dalam etanol dan Dihitung rendemen ekstrak


aseton kasar
18

Lampiran 2. Prosedur Pengujian Analisis Proksimat Serbuk


Temulawak Kering

a) Kadar Air (SNI 01-3181-1992 yang dimodifikasi)


Labu didih dan tabung Bidwell-Sterling dikeringkan dalam oven bersuhu
105°C sebelum digunakan dan didinginkan dalam desikator. Bubuk
temulawak ditimbang sebanyak 5 gram dan dimasukkan ke dalam labu didih
yang telah dikeringkan dan ditambakan 60-80 ml toluena. Setelah alat
dirangkai, refluks pada suhu rendah selama 45 menit kemudian suhunya
dinaikkan dan dipanaskan selama 60-90 menit. Volume yang terdestilasi
dibaca. Penetapan faktor destilasi diperoleh dengan mengganti sampel
ekstrak temulawak dengan air (4 gram). Kadar air bahan dihitung dengan
rumus sebagai berikut
s
Kadar air 00
s
Keterangan: Ws = massa contoh (g)
Vs = volume air yang didestilasi dari contoh (ml)
FD = faktor destilasi (g/ml)
Faktor destilasi dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan: W = massa air yang akan didestilasi (g)


V = volume air yang terdestilasi (ml)

b) Kadar Abu (SNI 01-3187-1992 yang dimodifikasi)


Cawan dikeringkan dalam oven bersuhu 105°C sebelum digunakan dan
didinginkan dalam desikator. Bubuk temulawak ditimbang sebanyak 1.5
gram. Sebanyak 2 ml etanol dituang ke dalam cawan dan dibakar sampai
etanol habis terbakar. Cawan dipanaskan menggunakan nyala api kecil lalu
dipijarkan dalam tanur pada suhu 600°C selama 2 jam. Abu didinginkan dan
dibasahi dengan beberapa tetes air, dikisatkan dan dipanaskan kembali
dalam tanur selama satu jam pada suhu 600°C. Bila pada pembasahan
ternyata abu telah bebas karbon, cawan dipindahkan ke dalam desikator dan
dibiarkan dingin dan ditimbang.
Bila pada pembasahan masih terlihat adanya karbon, pembasahan dan
pemanasan diulangi sampai tidak terlihat lagi bintik-bintik karbon, lalu
cawan dipijarkan kembali dalam tanur selama satu jam.Bila masih terlihat
adanya karbon, abu diaduk dengan air panas, disaring dengan kertas saring.
Kertas saring dicuci dengan sempurna lalu kertas saring serta isinya
dipindahkan ke dalam cawan untuk pengabuan. Cawan dikeringkan dan
dipijarkan pada tanur dengan suhu 600°C selama satu jam sampai abu
menjadi putih.
Cawan didinginkan, ditambah filtrat, dikisatkan sampai kering pada
penangas air. Cawan dipanaskan lagi selama satu jam dalam tanur dengan
19

suhu 600°C, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar abu contoh
dihitung dengan rumus sebagai berikut
00 00
Kadar u M 2 M0
M M0 00
Keterangan: M0 = massa cawan kosong (g)
M1 = massa cawan dan contoh (g)
M2 = massa cawan dan abu (g)
H = kadar air contoh (%)

c) Kadar Protein (AOAC 2005)


Penentuan kadar protein dilakukan dengan metode mikro-kjeldahl. Sampel
dihomogenkan, kemudian sampel seberat 0.1 gram dimasukkan ke dalam
labu kjeldahl 100 ml lalu ditambahkan katalis (CuSO4 dan Na2SO4) dan 2.5
ml H2SO4 pekat 98%. Selanjutnya sampel didekstruksi selama 30-40 menit
sampai berwarna hijau bening. Setelah didinginkan, sampel ditambahkan
dengan air suling hingga tanda tera. Sebanyak 5 ml larutan hasil
pengenceran ditambahkan dengan 10 ml NaOH 40%, disuling selama 5
menit. Hasil penyulingan ditampung dalam erlenmeyer yang berisi 10 ml
asam borat (2%) dan 0.1 ml campuran indikator hijau bromkresol 0,1%
dengan merah metal 0,1% (5:1), kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0.1
N sampai berwarna merah muda. Kadar protein dihitung dengan rumus
sebagai berikut

l .000
Kadar 00
s

Keterangan: A = selisih volume HCl yang digunakan untuk menitrasi


blanko dan contoh (ml)
N = normalitas larutan HCl
Ws = berat contoh (mg)

d) Kadar Lemak (AOAC 2005)


Sebanyak 2 gram contoh bebas air diekstraksi dengan pelarut organik
heksana dalam alat soxhlet selama 6 jam. Contoh hasil ekstraksi diuapkan
dengan cara diangin-anginkan dalam over bersuhu 105°C. Contoh
didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga diperoleh bobot tetap.

o ot lemak
Kadar lemak 00
o ot onto

e) Kadar Karbohidrat (by difference)


Pada analisis bahan baku, kadar karbohidrat dihitung dengan cara by
different, yaitu pengurangan jumlah komponen bahan total dengan jumlah
kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein dan kadar serat. Kadar
karbohidrat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Kadar kar o idrat 00 K ir K u K emak K rotein K serat


20

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan, Sumatera Utara pada tanggal 4 Maret 1991


dari Bapak Bakri dan Ibu Siti Jaiyah. Penulis merupakan anak pertama dari empat
bersaudara (Taufiq Ismail 21 tahun, M. Iqbal trinaldi 16 tahun, dan Faisal Amri
Dewantara 12 tahun). Penulis menyelesaikaN pendidikan akademik di SDN
060929 Medan Johor, SMPN 2 Medan, SMAN 2 Medan, dan diterima di IPB
melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) 2009 pada program Studi
Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.
Selama perkuliahan penulis aktif dalam berbagai organisasi mahasiswa.
Kegiatan tersebut diantaranya adalah Ketua Musholla Putri Asrama TPB IPB
tahun 2009, Sekretaris departemen Minat dan Bakat Mahasiwa Badan Eksekutif
Mahasiwa (BEM) Fakultas Teknologi Pertanian, Senior Resident Asrama Putri
TPB IPB selama 3 tahun sebagai Koordinator Pembina Klub Asrama Putri,
Bendahara Senior Resident, dan Tim Pembina Mental dan Spiritual. Penulis juga
bendahara kelas di Departemen Teknologi Industri Pertanian Angkatan 46.
Penulis mengikuti kegiatan praktik lapangan di PT. Sinar Sosro Tbk Medan pada
bulan Juli-Agustus 2012.
Penulis banyak mengikuti pelatihan diantaranya, Leadership Training, ESQ,
Pendidikan Duta Anti Narkoba, Kajian Pangan Halal, Pengembangan Softskill
Membentuk Senior Resident yang Berkarakter, Strategi Peningkatan Peran
Perempuan dalam Meningkatkan Ketahanan Pangan, dan Pendidikan Berkarakter
untuk Mahasiswa. Penulis mendapatkan prestasi selama menjalankan akademik
yaitu penerima beasiswa Yamaha, Staff Terbaik Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM) Fakultas Teknologi Pertanian, Penerima dana PKM (Pekan Karya Ilmiah)
dari DIKTI, Penerima Beasiswa sebagai Senior Resident, Asisten Praktikum
Teknologi Penyimpanan dan Penggudangan di Departemen Teknologi Industri
Pertanian, Asisten Praktikum Teknologi Bahan Penyegar di Departemen
Teknologi Industri Pertanian, dan Asisten Dosen Pendidikan Agama Islam (PAI)
untuk mahasiwa Tingkat Persiapan Bersama (TPB).
Penulis menyelesaikan tugas akhir dalam pendidikan tinggi di Institut
Pertanian Bogor untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian berjudul
Ekstraksi Senyawa Kurkumin dari Rimpang Temulawak dengan Metode
Maserasi. Penulis mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing dan kedua
orangtua yang selama ini mendukung pendidikan penulis dalam segala hal.

Anda mungkin juga menyukai