Laras Wahyu S
NIM F34090149
ABSTRAK
LARAS WAHYU SETYANINGRUM. Ekstraksi Oleoresin Capsaicin dari Cabai
Merah, Cabai Keriting, dan Cabai Rawit. Dibimbing oleh CHILWAN PANDJI.
Cabai memiliki berbagai kandungan yang berguna bagi tubuh. Zat aktif
pada cabai disebut capsaicin. Zat ini yang berperan utama dalam memberi rasa
pedas pada cabai. Dalam penelitian ini dilakukan pengolahan cabai dalam bentuk
oleoresin. Ekstraksi dilakukan pada tiga jenis cabai dan tiga perlakuan. Yaitu
cabai merah, cabai keriting, dan cabai rawit dengan perlakuan perulangan
ekstraksi sebanyak satu kali, dua kali, dan tiga kali pada masing-masing cabai.
Sebanyak 100 gram bahan ditambahkan kedalam pelarut etanol dengan
perbandingan 1:5. Ekstraksi dilakukan dengan metode maserasi berpengaduk
dengan kecepatan pengadukan 200 rpm, suhu 50oC, selama 4 jam. Analisis yang
dilakukan adalah pengujian mutu oleoresin cabai yaitu penghitungan rendemen,
kadar capsaicin, kadar sisa pelarut, tingkat kepedasan dan nilai warna. Hasil
penelitan menunjukan bahwa interaksi antara jenis cabai dan jumlah perulangan
ekstraksi tidak berpengaruh nyata terhadap hasil yang diperoleh. Namun cabai
rawit menunjukan tingkat kepedasan, kadar capsaicin, dan rendemen yang sesuai
dengan ketentuan yang telah ditentukan oleh EOA.
ABSTRACT
The chili has a variety of content that is useful to the body. The active
substance in chili peppers called capsaicin. This substance that plays a key role in
giving a sense of the spicy. In this research, in the form of oleoresin chili
processing. Extraction performed on three types of chili and three treatments. Red
chili, curly chili, and cayenne pepper with looping leaching treatment, one-time,
two times, and three times on each chili. Material preparation is done before the
study began. Chili washed, then dried to achieve moisture content of 8-10%.
Peppers that have been dried in the ground, and sieved with a sieve of 50 mesh.
The study begins with the proximate test to determine the content of the chili.
Extraction is done by using 96% ethanol. A total of 100 grams of material was
added into ethanol with a ratio of 1:5. Extraction is done by maceration method
stirred with a stirring speed of 200 rpm, temperature 50 C, for 4 hours. Results
maceration then filtered and the filtrate evaporated by using a rotary evaporation
at 70 C to form a viscous liquid. Analysis is conducted quality testing of chilli
oleoresin is counting yield, capsaicin content, residual solvent levels, the level of
spiciness and color values.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian
Disetujui oleh
Pembimbing
L)
Tanggal Lulus:
Judul Skripsi : Ekstraksi Oleoresin Capsaicin dari Cabai Merah, Cabai Keriting,
dan Cabai Rawit
Nama : Laras Wahyu S
NIM : F34090149
Disetujui oleh
Diketahui oleh
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia
dan limpahan rahmat-Nya, sehingga penyusunan skripsi berjudul Ekstraksi
Oleoresin Capsaicin dari Cabai Merah, Cabai Keriting, dan Cabai Rawit berhasil
diselesaikan. Tema yang diangkat dalam penelitian yang dilaksanakan selama Mei
sampai Agustus 2013 ini adalah proses ekstraksi oleoresin.
Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan teristimewa kepada:
1. Drs Chilwan Pandji Apt MSc selaku Pembimbing Akademik atas perhatian
dan bimbingannya selama penelitian dan penyelesaian skripsi
2. Dr Endang Warsiki STP MSi dan Dr Dwi Setyaningsih STP MSi selaku
dosen penguji
3. Ibu Rini Purnawati STP MSi selaku laboran yang telah banyak membantu
4. Seluruh keluarga besar atas doa, semangat, dan kasih sayangnya
5. Keluarga besar TIN 46 atas keceriaan dan kenangan indah tak terlupakan
6. Seluruh sanak dan kerabat yang tidak bisa disebutkan satu-persatu
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Laras Wahyu
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
Ruang Lingkup Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Oleoresin 2
Capsaicin 4
METODE 4
Waktu dan Tempat 4
Bahan 5
Alat 5
Metode Penelitian 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 7
Uji Proksimat 7
Rendemen Oleoresin 8
Kadar Sisa Pelarut 9
Tingkat Kepedasan 10
Nilai Warna 11
Analisis Kandungan Capsaicin 12
DAFTAR GAMBAR
1 Struktur Kimia Capsaicin 4
2 Diagram alir proses ekstraksi oleoresin (modifikasi dari: Dewi 2012) 6
3 Hubungan jenis cabai dan pengulangan ekstraksi terhadap rendemen 8
4 Hubungan jenis cabai dan pengulangan ekstraksi terhadap kadar sisa 9
pelarut
5 Hubungan jenis cabai dan pengulangan ekstraksi terhadap tingkat 11
kepedasan
6 Hubungan jenis cabai dan pengulangan ekstraksi terhadap nilai warna 12
DAFTAR LAMPIRAN
1 Metodologi analisis proksimat serbuk cabai 16
2 Metodologi analisis kualitas mutu oleoresin 18
3 Data hasil penelitian 20
4 Foto Hasil Ekstraksi Oleoresin 21
5 Tabel anova respon rendemen oleoresin ( = 1%) 22
6 Tabel anova respon kadar sisa pelarut ( = 1%) 24
7 Tabel anova respon nilai warna ( = 1%) 26
8 Contoh tabel uji tingkat kepedasan 28
9 Hasil uji Kandungan Capsaicin dengan metode GCMS 29
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cabai (Capsicum sp.) merupakan salah satu bahan pangan yang mudah
ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Cabai berasal dari Peru, namun
penyebarannya bermula dari Benua Amerika, kemudian ke Benua Asia, Afrika,
dan Eropa. Cabai merah merupakan salah satu jenis tanaman dari suku terung-
terungan (Solanaceae atau Nightshade). Tanaman ini merupakan tanaman
semusim yang mudah tumbuh di dataran rendah maupun di dataran tinggi.
Kebutuhan akan cabai ini semakin meningkat setiap tahunnya. Pada umumnya
masyarakat luas menggunakan cabai sebagai bahan masakan yang dapat
memberikan rasa pedas dan pembangkit selera makan. Selain sebagai bahan
pangan, cabai dapat pula dijadikan sebagai baahan baku pembuatan herbal. Sejak
dahulu cabai telah dimanfaatkan sebagai obat-obatan di seluruh dunia.
Tingginya kebutuhan akan cabai ini menyebabkan harga cabai melambung
pada saat-saat tertentu. Hal ini disebabkan oleh ketersediaan bahan rempah
tersebut yang terbatas di luar musim panen. Sedangkan ketika musim panen tiba,
kelebihan pasokan menyebabkan harga jual cabai jatuh. Selain itu kerusakan juga
banyak terjadi pada cabai-cabai yang tidak terjual. Sejauh ini sudah terdapat
beberapa teknologi untuk menambah umur simpan komoditas cabai. Salah
satunya adalah dengan mengolah rempah segar menjadi serbuk. Dengan proses
pengolahan tersebut, cabai segar dikeringkan hingga kadar air tertentu kemudian
dihaluskan menjadi serbuk. Dengan dilakukan pengolahan ini maka penyimpanan
cabai tidak akan memakan banyak tempat. Selain itu kadar air yang rendah akan
menyebabkan mikroorganisme yang menyebabkan kerusakan pada cabai tidak
tumbuh. Namun kelemahan sistem penyimpanan berupa serbuk adalah stabilitas
kelembaban ruang penyimpanan yang dapat menyebabkan perubahan kadar air
pada serbuk cabai dan menyebabkan tumbuhya mikroorganisme perusak.
Capsaisin adalah zat utama yang mengakibatkan rasa pedas pada cabai.
Capsaisin yang telah diekstraksi dari cabai akan diperoleh dalam bentuk oleoresin.
Oleoresin adalah suatu ekstrak berbentuk gel atau pasta yang memiliki kandungan
utama dari bahan yang diekstrak. Selain digunakan sebagai bahan pangan yaitu
sebagai flavour, oleoresin capsaicin juga dapat dimanfaatkan dibidang farmasi
dalam pembuatan berbagai obat-obatan. Penggunaan oleoresin dapat mengurangi
biaya transportasi karena volum per satuan berat akan berkurang dan
penyimpanannya lebih mudah. Sehingga dalam kurun satu tahun terjadi
peningkatan permintaan oleoresin dalam jumlah tinggi di berbagai negara
termasuk di Eropa dan Amerika Serikat. Sebagai negara agraris yang memiliki
jumlah produksi cabai tinggi, potensi pengolahan cabai menjadi oleoresin perlu
ditindak lajuti. Oleh sebab itu diperlukan suatu penelitian untuk menemukan
bahan serta metode terbaik untuk dapat menghasilkan oleoresin cabai sesuai
dengan standar yang telah ditetapkan oleh EOA (The Essential Oil Association).
2
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis cabai serta metode
terbaik untuk menghasilkan rendemen oleoresin tertinggi. Selain itu juga untuk
mengetahui kualitas mutu oleoresin yang dihasilkan disesuakan dengan standar
mutu yang telah ditentukan oleh EOA.
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Oleoresin
Oleoresin ini berwujud cairan kental yang mengandung kadar minyak atsiri 15-
30% (Abubakar 2005).
Oleoresin rempah-rempah memiliki banyak manfaat. Misalnya saja dalam
industri makanan, kosmetik, dan farmasi. Semakin meluasnya penggunaan
oleoresin maka dibutuhkan proses produksi yang terus meningkat. Menurut
Somaatmadja, kelebihan penggunaan oleoresin adalah:
1. Kualitas makanan yang tercampur oleoresin lebih terkontrol, hal ini terjadi
karena kandungan kimia yang ada di oleoresin tidak terlalu banyak dibanding
kandungan bahan aslinya.
2. Penggunaan oleoresin lebih ekonomis, karena oleoresin merupakan ekstrak
dari rempah-rempah. Sehingga untuk mendapatkan rasa yang diinginkan akan
memerlukan lebih sedikit oleoresin dibanding serbuk rempah-rempah aslinya.
Selain itu dibandingkan dengan minyak atsiri, oleoresin memiliki
kelebihan yaitu tahan panas. Pada proses ekstraksi, pada umumnya dibutuhkan
proses pemanasan. Zat volatil yang banyak terkandung dalam minyak atsiri akan
menguap dan hilang pada suhu tinggi. Sedangkan oleoresin mengandung bahan
tidak menguap dalam jumlah besar dan akan terus memberikan rasa, walaupun
minyak atsirinya sudah menguap (Cripps 1973).
Komposisi bahan yang terlarut dalam oleoresin berbeda tergantung jenis
pelarut yang digunakan dalam ekstraksi dan tergantung jenis bahan yang diekstrak
(Farrel 1985). Disamping mengandung resin dan minyak sebagai komponen
utama, oleoresin terdiri atas campuran kompleks senyawa organik yang dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Terpen yaitu senyawa hidrokarbon yang dibangun oleh dua atau lebih unit
ispropen. Meskipun jumlahnya signifikan, namun terpen hanya memiliki nilai
citarasa yang kecil bila dibandingkan dengan oxygenated derivates.
2. Turunan terpen teroksidasi (oxygenated derivates) yaitu alkohol, aldehidehid,
keton, dan ester. Senyawa tersebut memberikan kontribusi besar pada
perbedaan citarasa.
3. Senyawa aromatic dengan gugus fungsi yang bervariasi.
4. Senyawa yang mengandung nitrogen atau sulfur.
Menurut Purseglove et al. (1981), EOA telah mengeluarkan standar
perdagangan oleoresin yang meliputi :
Capsaicin
METODE
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu cabai merah, cabai
keriting, dan cabai rawit.. Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut
etanol teknis 96%. Sedangkan bahan yang digunakan untuk pengujian adalah
aseron teknis dan sirup gula.
Alat
Metode Penelitian
Cabai
Segar
Pengadukan
4 jam, 200 rpm, 50oC
Penyaringan Ampas
Filtrat
Penyaringan
Oleoresin
Dari hasil ektraksi, tiap sampel oleoresin yang diperoleh diuji kualitas
mutunya sesuai dengan standar perdagangan amerika atau EOA. Uji kualitas mutu
yang dilakukan adalah uji rendemen, uji kadar sisa pelarut, uji nilai warna, uji
tingkat kepedasan, dan uji analisa dengan menggunakan metode GCMS. Metode
uji kualitas mutu dilampirkan pada Lampiran 2.
Respon yang diamati pada penelitian ini meliputi hasil rendemen, kadar sisa
pelarut, nilai warna, tingkat kepedasan dan analisis kandungan. Hasil rendemen
disajikan dalam satuan persen (%). Setelah melalui proses ekstraksi pemisahan,
hasil oleoresin ditimbang. Bobot total oleoresin dibagi bobot kering jumlah bahan
yang digunakan. Kadar sisa pelarut diukur dengan menimbang sejumlah bahan
kemudian memanaskan dalam oven bersuhu 50oC hingga dicapai bobot tetap.
Jumlah bobot yang hilang dihitung sebagai jumlah etanol tersisa. Nilai warna
dihitung dengan metode spektrofotometri dengan panjang gelombang 640 nm.
Tingkat kepedasan diuji dengan uji organoleptik ambang batas rasa sesuai
modifikasi yang dilakukan Farrel (1985). Analisis kandungan oleoresin diuji
dengan menggunakan metode GCMS dengan pelarut methanol. Metode pengujian
secara lengkap terlampir (Lampiran 2).
Rancangan percobaan yang digunakan untuk analisis data hasil ekstraksi
oleoresin adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan dua kali ulangan.
Faktor yang diamati terdiri atas dua faktor yang masing-masing faktor terdiri atas
7
tiga taraf, yaitu (A) jenis cabai (merah, keriting, rawit) dan (B) perulangan
ekstraksi (satu kali, dua kali, tiga kali). Model matematika RAL Faktorial dapat
dirumuskan sebagai berikut :
dengan : Yijk nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i faktor B taraf ke-j
dan ulangan ke k
nilai rata-rata yang sesungguhnya (rata-rata populasi)
Ai pengaruh aditif taraf ke-i dari faktor A
Bj pengaruh aditif taraf ke-j dari faktor B
(AB)ij pengaruh aditif taraf ke-i dari faktor A dan taraf ke-j dari
faktor B
kij pengaruh acak dari satuan percobaan ke-k yang
memperoleh kombinasi perlakuan ij.
Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis ragam (anova) dan analisis
deskriptif. Apabila hasil analisis ragam berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan
uji Duncan.
Uji Proksimat
Bahan baku berupa serbuk cabai diuji kandungan bahan bakunya dengan uji
proksimat sesuai dengan standar SNI tahun 1992 (Lampiran 1). Uji yang
dilakukan adalah uji kadar air, uji kadar lemak, uji kadar serat, uji kadar abu, uji
kadar protein, dann uji kadar karbohidrat by difference. Hasil uji proksimat
disajikan pada tabel 1.
Rendemen Oleoresin
Oleoresin mudah mengalami kerusakan pada suhu 90o sedangkan titik didih
etanol pada tekanan 1 atm mencapai 80oC. Untuk menghindari kerusakan
oleoresin, pemisahan pelarut dilakukan dalam kondisi vakum dimana dalam
tekanan dalam sistem menjadi lebih rendah dibanding tekanan pada atmosfer,
sehingga pelarut etanol dapat tertarik keluar pada suhu 70 oC.
Nilai kadar pelarut terkecil dimiliki oleh sampel cabai keriting dengan
ekstraksi satu kali yaitu 6,4%. Kadar sisa pelarut yang diperoleh masih jauh
melampaui batas yang ditetapkan oleh FDA yaitu sebesar 30 ppm yang setara
dengan 0,03%. Tingginya kadar sisa pelarut ini disebabkan oleh adanya
kandungan triterpenoid yang merupakan saponin dalam tumbuhan dikotil
(Hardiansyah, 2010). Menurut Szabo (1970), oleoresin cabai mengandung
komponen yang dapat tersabunkan. Yaitu lemak, lilin, dan phospatides.
Keberadaan komponen tersebut menyebabkan terjadinya saponifikasi yang
menghasilkan gelembung yang stabil sehingga titik pemberhentian proses
evaporasi sangat sulit dilakukan karena tidak terdapatnya perbedaan yang
signifikan secara visual ketika oleoresin mulai berbentuk pasta.
Salah satu solusi yang dapat digunakan untuk menurunkan kandungan sisa
pelarut oleoresin adalah dengan melewatkan gas nitrogen yang akan mengikat
etanol yang tersisa dalam sampel oleoresin (Dewi 2012)
Tingkat Kepedasan
rawit dan cabai keriting memenuhi mutu yang ditetapkan oleh EOA. Interaksi
jenis cabai dan pengulangan ekstraksi terhadap tingkat kepedasan dapat dilihat
pada Gambar 5.
Tingkat kepedasan pada cabai dipengaruhi oleh berbagai faktor. Antara lain,
tingkat kematangan saat pemanenan, cuaca, penanganan pasca panen, serta
kultivar cabai tersebut (purseglove et al. 1985). Komponen yang mempengaruhi
kepedasan pada cabai adalah kandungan capsinoid yang terdiri atas 12 analogi.
Komponen capsinoid yang umum adalah capsaicin, dihidrocapsaicin,
nordihidrocapsaicin, homodihidrocapsaicin, homocapsaicin, dan decanoic.
Kandungan kapsinoid pada bahan meningkat seiring kematangan cabai.
Nilai Warna
Gambar 6. Hubungan jenis cabai dan pengulangan ekstraksi terhadap nilai warna
Standar yang ditentukan oleh EOA adalah sebesar 4000 ASTA. Hasil
analisa uji ragam (anova) pada =0,1 menunjukan nilai F hitung yang lebih kecil
daripada F tabel (Lampiran 7). Yang artinya tidak ada pengaruh terhadap
perlakuan dan interaksi yang diberikan. Karena tidak adanya perbedaan nyata dari
interaksi perlakuan, makan uji Duncan tidak dilanjutkan.
Pada sampel oleoresin cabai merah dengan tiga kali pencucian, nilai warna
yang diperoleh adalah sebesar 3379,22 ASTA. Dimana nilai tersebut telah sesuai
dengan ketentuan perdagangan FDA yaitu dibawah 4000 ASTA. Sedang kan
untuk cabai keriting, nilai yang diperoleh masih cukup jauh. Namun hasil yang
sangat berbeda ditunjukan oleh nilai warna dari cabai rawit. Pada sampel
oleoresin cabai rawit pencucian satu kali, nilai warna diperoleh sebesar 776,48
ASTA. Rendahnya nilai warna ini diduga akibat kematangan yang tidak
menyeluruh. Beberapa bahan cabai rawit yag digunakan masih berwarna hijau,
sehingga adanya pingmen warna lain dapat mempengaruhi nilai warna oleoresin
yang dihasilkan.
Pigmen warna yang berpengaruh pada buah cabai adalah klorofil dan
karotenoid. Pada buah cabai yang masih muda, pigmen klorofil lebih
mendominasi sehingga warna cabai akan hijau. Sedangkan ketika buah cabai
sudah mulai menua, perlahan klorofil akan berkurang dan digantikan oleh
karotenoid.
Selain itu, jenis pelarut juga berpengaruh pada warna oleoresin yang
dihasilkan. Menurut Purseglove (1981), etanol merupakan pelarut yang tidak
efisien dalam melarutkan warna. Sehingga penggunaan etanol dalam ekstraksi
tidak dapat melarutkan semua pigmen wana yang terkandung dalam bahan.
larut bebas dalam methanol, asetonitril, diklorometana, etanol, etil asetat, methanol,
2-propanol dan metal atil keton.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat kromatografi
gas type Unican series 204 dengan recorder type PN-8250. Kondisi yang digunakan
adalah sebagai berikut : kolom gelas dengan panjang 2 meter dan diameter dalam 4
mm; isi kolom Porapak Q; suhu 150oC isothermal; suhu injektor 200oC, suhu detektor
200oC; detektor jenis FID; gas pembawa N2 dengan kecepatan alir 40ml/menit;
kecepatan alir gas H250 ml/menit; kecepatan alir udara tekan 500 ml/menit; dan
ukuran contoh 2,5 ml.
Capsaicin merupakan komponen senyawa nonvolatil yang memberikan
karakteristik rasa pedas pada cabai. Capsaicin juga merupakan komponen
penyusun utama dari oleoresin cabai. Untuk mengetahui kadar capsaicin pada
oleoresin digunakan uji dengan metode GCMS.
Pengujian GCMS dilakukan pada masing-masing jenis cabai dengan
perulangan pencucian tiga kali. Dimana pada perulangan pencucian tiga kali
diperoleh nilai rendemen, warna, dan rasa teringgi dari masing-masing perlakuan
pengulangan pencucian.
Hasil analisis GCMS terhadap ketiga sampel sampel oleoresin dengan
perulangan pencucian tiga kali dapat dilihat pada Lampiran 9. Pada pelaksanaan
analisa dengan menggunakan GCMS, oleoresin memiliki konsistensi yang sangat
kental sehingga harus dilakukan pengenceran sebelum analisis dilaksanakan.
Pengenceran dilakukan sebanyak 10 kali dengan menggunakan pelarut metanol.
Pada hasil analisis GCMS untuk sampel oleoresin cabai merah diperoleh
kandungan capsaicin pada menit ke-17,893. Pada sampel cabai keriting dengan
pencucian tiga kali, capsaicin terdeteksi pada menit ke-17,884. Uji analisa juga
dilakukan pada sampel cabai rawit. Hasil analisa menunjukan adanya kandungan
capsaicin yang terdeteksi pada menit ke-17,95.
Capsaicin yang terkandung dalam capsinoid akan diproduksi pada hari ke-
20 setelah pembungaan. Produksi capsinoid ini akan terus meningkat hingga 30-
40 hari setelah pembungaan. Setelah periode tersebut, kandungan capsinoid
dalam cabai akan menurun.
Selain kandungan capsaicin, dalam hasil uji analisa kandungan oleoresin
dengan menggunakan metode GCMS juga menganalisis beberapa kandungan lain
yang terdapat dalam oleoresin. Hasil analisa terhadap ketiga sampel menunjukan
hasil yang sama untuk kandungan tertingginya yaitu metil ester. Pada sampel
oleoresin cabai merah, metil ester muncul pada menit ke-13,764 dengan
presentase sebesar. Sedangkan untuk sampel oleoresin cabai keriting, metil ester
terdeteksi pada menit ke-13,755 dengan presentase sebesar. Demikian pula pada
sampel oleoresin cabai rawit, dimana metil ester muncul pada menit ke-13,781
dengan presentase sebesar. Metil ester yang terdapat pada oleoresin dalam jumlah
tinggi merupakan hasil esterifikasi methanol yang digunakan sebagai pengencer.
Disamping metil ester, pada ketiga bahan juga terdeteksi kandungan vitamin
E yang tinggi. Walaupun tidak termasuk dalam sumber vitamin E unggul, namun
cabai memiliki kandungan vitamin E yang patut diperhitungkan. Vitamin E larut
dalam lemak dengan nama generic tokoverol ini dibutuhkan tubuh dalam berbagai
macam aktivitas fisiologi dan metabolisme tubuh.
Secara umum paprika mengandung vitamin E lebih banyak daripada cabai
pedas. Semakin tua, kandungan vitamin E akan meningkat semakin tinggi.
Vitamin E pada cabai terkonsentrasi pada bagian biji. Ketika cabai mencapai
14
tingkat kematangan sempurna, maka kandungan vitamin dalam biji akan ikut
mencapai jumlah optimum.
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
1. Kadar Air
Sebanyak 5 g bahan dimasukkan ke dalam labu asah 250 ml kemudian
ditambahkan 200 ml toluen. Labu suling dipanaskan perlahan-lahan sampai toluen
mendidih. Jika jumlah air tidak bertambah lagi, penyulingan dilanjutkan selama
15 menit. Selanjutnya penyulingan dihentikan dan alat dibiarkan dingin. Jika air
dan toluen telah terpisah secara sempurna, volume dan persentase air dalam bahan
dihitung.
2. Kadar Abu
Bahan sebanyak 2 g atau 3 g yang telah digerus dan ditimbang, dimasukkan dalam
cawan porselin yang telah dipijarkan dan ditera kemudian diratakan. Zat
kemudian dipijarkan perlahan-lahan sampai arang habis kemudian didinginkan
dan ditimbang. Jika dengan cara ini arang tidak dapat dihilangkan, maka
ditambahkan air panas dan disaring melalui kertas saring bebas abu. Sisa zat dan
kertas saring dipijarkan kembali dalam cawan yang sama. Filtrat dimasukkan
dalam cawan dan diuapkan kemudian dipijarkan hingga bobot tetap dan
ditimbang. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.
3. Kadar Lemak
Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu 105-110oC,
didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel dalam bentuk tepung
ditimbang sebanyak 5 g dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke
dalam alat ekstraksi yang telah berisi pelarut (heksana). Reflux dilakukan selama
5 jam dan pelarut yang ada dalam labu lemak didistilasi. Selanjutnya labu lemak
yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC sampai
beratnya konstan, didinginkan dalam desikator dan ditimbang.
4. Kadar Protein
Sebanyak 0.1-0.5 g sampel dimasukkan ke dalam labu kjedahl dan ditambahkan
1.9 g K2SO4, 40 mg HgO dan 2 ml H2SO4. Sampel didihkan selama 1-1.5 jam
sampai cairan menjadi jernih. Sampel didinginkan dan ditambah sejumlah kecil
air secara perlahan-lahan. Isi tabung dipindahkan ke alat destilat dan labu dibilas
5-6 kali dengan 1-2 ml air. Air cucian dipindahkan ke labu destilat dan didestilasi
sampai diperoleh 15 ml destilat yang berwarna hijau. Destilasi dilakukan
dengan meletakkan erlenmeyer berisi 5 ml larutan H3BO3 dan 2 tetes indikator
17
(campuran 2 bagian merah methil 0.2% dalam alkohol dan 1 bagian metilen blue
0.2% dalam alkohol) dan ditambahkan NaOH-Na2S2O3 sebanyak 8-10 ml. Isi
erlenmeyer diencerkan sampai kira-kira 50 ml kemudian dititrasi dengan HCl 0,02
N sampai terjadi perubahan warna. Penetapan untuk blanko juga dilakukan.
1. Rendemen Oleoresin
berat oleoresin yang dapat diperoleh dari setiap satuan berat bahan bubuk rimpang
temulawak yang diekstrak.
Perhitungan :
Keterangan :
BK : Berat kering
Ka : Kadar air
Tingkat pengenceran dan nilai scoville Heat Unit pada uji kepedasan oleoresin
cabai
4. Sisa Pelarut
Oleoresin sebanyak 1 gram ditempatkan pada cawan aluminium yang sudah
diketahui bobotnya, kemudian dimasukan kedalam oven vakum. Oven
dioperasikan pada suhu 40oC dan tekanan 0,75 ATM selama 3 jam. Setelah
penguapan, bahan dalam cawan detmpatkan dalam desikator selama 15 menit.
Bobot akhir ditimbang dengan menggunakan neraca analitik.
Perhitungan :
Keterangan :
ba = Bobot akhir (g)
c = bobot cawan
bo = Bobot oleoresin
20
(a) Hasil ekstraksi oleoresin cabai keriting pencucian satu kali, dua kali dan tiga
kali
(b) Hasil ekstraksi oleoresin cabai merah pencucian satu kali, dua kali dan tiga
kali
(c) Hasil ekstraksi oleoresin cabai rawit pencucian satu kali, dua kali dan tiga kali
22
Analisis Ragam
Rancangan Acak Lengkap Faktorial
Ei
Vj Cabai Cabai Cabai Tj
Merah Keriting Rawit
19,93 15,43 14,03
Pencucian Satu
20,07 16,62 14,18
Kali
40,00 32,05 28,21 100,26
26,91 21,36 23,66
Pencucian Dua
19,97 22,40 25,73
Kali
46,88 43,76 49,39 140,03
28,77 25,88 25,54
Pencucian Tiga
21,64 23,69 33,95
Kali
50,41 49,57 59,49 159,47
137,29 125,38 137,09 399,76
SUMMARY
Cabai Merah Cabai Keriting Cabai Rawit Total
Pencucian satu kali
Count 2,0000 2,0000 2,0000 6,0000
Sum 40,0000 32,0500 28,2100 100,2600
Average 20,0000 16,0250 14,1050 16,7100
Variance 0,0098 0,7081 0,0113 7,3776
Pencucian dua kali
Count 2,0000 2,0000 2,0000 6,0000
Sum 46,8800 43,7600 49,3900 140,0300
Average 23,4400 21,8800 24,6950 23,3383
Variance 24,0818 0,5408 2,1425 6,9441
Pencucian tiga kali
Count 2,0000 2,0000 2,0000 6,0000
Sum 50,4100 49,5700 59,4900 159,4700
Average 25,2050 24,7850 29,7450 26,5783
Variance 25,4185 2,3981 35,3640 18,6881
Total
Count 6,0000 6,0000 6,0000
Sum 137,2900 125,3800 137,0900
Average 22,8817 20,8967 22,8483
Variance 15,5075 16,6571 58,4716
23
ANOVA
Source of Variation SS df MS F P-value F crit
Sample 303,6328 2,0000 151,8164 15,0687 0,0013 3,0065
Columns 15,5007 2,0000 7,7503 0,7693 0,4916 3,0065
Interaction 58,8730 4,0000 14,7182 1,4609 0,2917 2,6927
Within 90,6747 9,0000 10,0750
Analisis Ragam
Rancangan Acak Lengkap Faktorial
Ei
Vj Tj
Cabai Keriting Cabai Merah Cabai Rawit
7,7 10,28 6,65
Pencucian Satu
8,17 5,81 7,78
Kali
15,87 16,09 14,43 46,39
10 7,48 5,65
Pencucian Dua
Kali 6 5,31 10,42
16,00 12,79 16,07 44,86
6,42 6,75 4,92
Pencucian Tiga
5,3 6,25 9,08
Kali
11,72 13,00 14,00 38,72
43,59 41,88 44,50 129,97
ANOVA
Source of P- F
SS df MS F
Variation value crit
Sample 5.49 2.00 2.75 0.59 0.57 3.01
Columns 0.59 2.00 0.29 0.06 0.94 3.01
Interaction 5.04 4.00 1.26 0.27 0.89 2.69
Within 41.88 9.00 4.65
Analisis Ragam
ANOVA
Ei
Vj Tj
Cabai Keriting Cabai Merah Cabai Rawit
135.69 333.83 81.32
Pencucian Satu
135.37 331.89 73.97
Kali
271.06 665.72 155.30 1092.08
549.01 285.31 83.39
Pencucian Dua
496.21 283.65 80.17
Kali
1045.21 568.96 163.56 1777.73
218.89 336.86 206.45
Pencucian Tiga
220.64 338.99 205.69
Kali
439.53 675.84 412.14 1527.51
Total 1755.79 1910.52 731.00 4397.31
ANOVA
Source of P- F
SS df MS F
Variation value crit
Sample 40129.37 2.00 20064.68 125.97 2.63 3.01
Columns 136968.74 2.00 68484.37 429.95 1.17 3.01
Interaction 150415.53 4.00 37603.88 236.08 4.21 2.69
Within 1433.56 9.00 159.28
Nama :
No Hp :
1 2 3 4 5 6 7 8 9
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
29
RIWAYAT HIDUP