Anda di halaman 1dari 31

UJI TETRAZOLIUM UNTUK KRITERIA

VIGOR BENIH CABAI (Capsicum annum)

USI EVILIANI

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Uji Tetrazolium untuk
Kriteria Vigor Benih Cabai (Capsicum annum) adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2016

Usi Eviliani
A24110095
ABSTRAK
USI EVILIANI. Uji Tetrazolium untuk Kriteria Vigor Benih Cabai (Capsicum
annum). Dibimbing oleh ENY WIDAJATI.

Ketersediaan benih cabai (Capsicum annum) unggul bermutu secara kontinyu


sangat penting untuk mendapatkan produksi tinggi dengan kualitas prima. Kriteria mutu
benih serta evaluasi yang tepat merupakan salah satu kunci utama. Penelitian ini
dilakukan untuk memperoleh informasi pola pewarnaan pada pengujian tetrazolium
untuk kriteria vigor benih cabai (Capsicum annum) secara cepat untuk menunjang
ketersediaan benih. Rancangan yang digunakan adalah rancangan kelompok lengkap
teracak dengan 3 ulangan. Konsentrasi tetrazolium yang digunakan 1%. Pengujian pola
pewarnaan tetrazolium pada benih cabai (Capsicum annum) menghasilkan 16 pola
pewarnaan, kemudian dikelompokkan menjadi 4 kelompok. Keempat kelompok ini
dijadikan standar pewarnaan untuk membedakan benih yang berpotensi tumbuh
menjadi kecambah normal kuat, kecambah normal kurang kuat, abnormal, dan mati.
Tolok ukur daya berkecambah dan berat kering kecambah normal memiliki nilai
korelasi tinggi dengan uji tetrazolium. Pola pewarnaan belum dapat digunakan untuk
pendugaan vigor benih cabai.

Kata kunci: pola, produksi, tolok ukur.

ABSTRACT

USI EVILIANI. Tetrazolium test for chili’s (Capsicum annum) vigour criteria.
Supervised by ENY WIDAJATI.

The continuous availability of superior quality chili seed (Capsicum annum) is


very important to get high productions with excellent quality. Criteria for seed
quality and proper evaluations are ones of the main keys. This research was
conducted to obtain informations on tetrazolium test’s staining pattern for chili
(Capsicum annum) seed’s vigor criteria quickly to support the availability of seed.
The design used was a complete group randomized design with 3 replications.
Tetrazolium concentration was used 1%. Tetrazolium test’s staining pattern on the
chili (Capsicum annum) seed produced 16 staining pattern, which then was grouped
into 4 groups. The four group was used as the standard coloring to distinguish the
seeds that have the potential to grow into a strong normal seedling, less strong
normal seedling, abnormal, and dead. Parameters germination potency and dry
weight of normal seedling have a high correlation value with tetrazolium test.
Staining patterns cannot be used yet to estimate chili seed’s vigor.

Keywords: parameter, patterns, production.


UJI TETRAZOLIUM UNTUK KRITERIA
VIGOR BENIH CABAI (Capsicum annum)

USI EVILIANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
//&3%,!+-3 "3 .,2*&/(3 /)./%3 , ., 3 *,3 )3 3    
(3 3 - 3 0')3
 3 3 

-./#/3 *&3

,3 ,3 3


*-)3 (()3

)&3 /&/-3   
 
PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang memberi kesehatan,
hidayah dan kekuatan sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik.
Karya ilmiah ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana.
Karya ilmiah dengan judul Uji Tetrazolium untuk Kriteria Vigor Benih Cabai
(Capsicum annum) secara khusus dilaksanakan memperoleh pola pewarnaan pada uji
tetrazolium untuk kriteria vigor benih cabai (Capsicum annum). Kegiatan penelitian
dilaksanakan mulai bulan Februari sampai bulan Juni 2015 di laboratorium Ilmu dan
Teknologi Benih Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Eny Widajati, MS selaku
dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama
kegiatan penyusunan skripsi. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir.
Faiza C. Suwarno dan Prof. Dr. Ir. Sobir MSi sebagai dosen penguji ujian sidang
tugas akhir yang telah memberikan saran terhadap karya ilmiah ini. Penulis juga
menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua dan teman-teman yang telah
memberikan doa, semangat, motivasi, kasih sayang yang tulus. Semoga karya ilmiah
ini bermanfaat dan menambah dunia ilmu pengetahuan.

Bogor, Januari 2016

Usi Eviliani
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
METODE PENELITIAN 5
Lokasi dan Waktu Penelitian 5
Bahan dan Alat 5
Analisis Data 5
Pelaksanaan Penelitian 6
Pengamatan 7
HASIL DAN PEMBAHASAN 8
Kondisi Umum Benih Cabai (Capsicum annum) 8
Pengujian tetrazolium 9
Pendugaan vigor benih melaui pola pewarnaan tetrazolium 14
Simpulan dan Saran 17
Simpulan 17
Saran 17
DAFTAR PUSTAKA 20
LAMPIRAN 20
DAFTAR TABEL

1 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh lot benih terhadap


parameter viabilitas benih 2
2 Rekapitulasi uji lanjut DMRT pada parameter viabilitas
benih cabai (Capsicum annum) 2
3 Rata-rata pola pewarnaan tetrazolium dengan konsentrasi
1% pada tingkatan viabilitas yang berbeda pada benih cabai
(Capsicum annum) 10
4 Pola pewarnaan tetrazolium pada benih cabai (Capsicum
annum) pada mikroskop dengan perbesaran 4 x 10 11
5 Pola pewarnaan dapat memperlihatkan keadaan embrio
benih cabai (Capsicum annum) dengan perbesaran 4 x 10 14
6 Nilai persamaan regresi, nilai korelasi (r) antara pengujian
langsung dan pengujian tetrazolium 15
7 Nilai persamaan regresi, nilai korelasi (r) antara pengujian
langsung dan pola kecambah normal kuat pengujian
tetrazolium 16

DAFTAR GAMBAR
1 Bagian benih cabai 6
2 Struktur benih cabai dengan perbesaran 4 x 10 9 9

DAFTAR LAMPIRAN
1 Struktur benih tomat (Lycopersicon esculentum) menurut
Bradford (2014) 20
2 Rekapitulasi sidik ragam regresi antara parameter viabilitas
dan uji tetrazolium 20 9
3 Riwayat Hidup 21
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Cabai (Capsicum annum) merupakan salah satu komoditi hortikultura yang
penting untuk dibudidayakan oleh petani Indonesia. Permintaan cabai di pasar
semakin meningkat seiring pertumbuhan penduduk Indonesia sehingga
produktivitas cabai harus ditingkatkan. Peningkatan produktivitas harus seimbang
antara peningkatan kualitas dan kuantitas dari cabai tersebut. Program pemerintah
tentang pengadaan benih yang bermutu diperlukan untuk menunjang peningkatan
kualitas dan kuantitas komoditas cabai di Indonesia.
Menurut data Badan Pusat Statistik (2014) produksi cabai rawit dengan
tangkai tahun 2014 sebesar 0.800 juta ton. Dibandingkan tahun 2013, terjadi
kenaikan produksi sebesar 86.98 ribu ton (12.19%). Kenaikan ini disebabkan oleh
kenaikan produktivitas sebesar 0.23 ton per hektar (4,04%) dan peningkatan luas
panen sebesar 9.76 ribu hektar (7.80%) dibandingkan tahun 2013.
Penggunaan benih bermutu merupakan salah satu faktor penting untuk
menunjang produksi yang dihasilkan tanaman cabai. Ketersediaan benih cabai
(Capsicum annum) unggul bermutu secara kontinyu sangat penting untuk
mendapatkan produksi tinggi dengan kualitas prima. Kriteria mutu benih serta
evaluasi yang tepat merupakan salah satu kunci utama. Mutu benih mencakup mutu
fisik, mutu genetik dan mutu fisiologis yang informasinya didapatkan melalui
pengujian.
Mutu fisiologis benih menggambarkan viabilitas benih. Viabilitas benih
merupakan kemampuan hidup benih untuk tumbuh menjadi kecambah normal
pada kondisi tertentu. Viabilitas benih dibedakan menjadi viabilitas pada kondisi
optimum dan sub optimum (vigor). Parameter viabilitas benih pada kondisi
optimum mencakup kemampuan daya berkecambah benih, berat kering kecambah
normal, potensi tumbuh maksimum. Viabilitas pada kondisi sub optimum (vigor)
mencakup kecepatan tumbuh benih, keserempakan tumbuh benih dan indeks vigor
benih.
Pengujian viabilitas benih dapat melalui uji fisiologi dan uji biokemis. Uji
fisiologi salah satunya dapat melalui uji daya berkecambah, namun metode
tersebut hanya menentukan presentase kecambah normal pada kondisi lingkungan
media perkecambahan yang optimum. Metode perkecambahan tersebut relatif
memerlukan waktu lama sehingga dapat menunda keputusan hasil pengujian
benih. Pengujian viabilitas benih secara biokemis dilakukan dengan menggunakan
larutan 2.3.5 trifenil tetrazolium klorida.
Uji viabilitas benih secara biokemis menggunakan tetrazolium merupakan
alternatif pengujian viabilitas benih secara cepat. Tetrazolium bekerja pada
jaringan hidup dengan melibatkan enzim dehidrogenase. Proses reduksi akan
terjadi ketika larutan tetrazolium diimbibisi oleh benih ke dalam sel-sel hidup
dengan bantuan enzim dehidrogenase sehingga akan terbentuk endapan formazan
berwarna merah. Endapan tersebut dapat mengindikasikan bahwa benih yang diuji
memiliki embrio yang hidup dan diprediksikan akan tumbuh menjadi kecambah
normal. Jaringan mati di dalam benih yang diuji tidak akan terjadi proses reduksi
sehingga warna jaringan benih yang diuji dengan tetrazolium tidak akan berubah
warna. Uji cepat tetrazolium memberikan informasi viabilitas benih sehingga
2

diharapkan menjadi alternatif pengujian untuk mendapatkan informasi viabilitas


benih cabai secara cepat.
Berdasarkan penelitian Dermawan (2007) uji tetrazolium pada benih buncis
(Phaseolus vulgaris L.) menghasilkan 40 kemungkinan warna dan dikategorikan
menjadi 4 kelompok yang menggambarkan kecambah normal kuat, normal lemah,
abnormal, dan mati. Konsentrasi larutan tetrazolium yang digunakan sebesar 1%.
Hasil analisis pengujian pola pewarnaan tetrazolium pada benih buncis yang
digunakan untuk mengindikasikan vigor benih (Vg) adalah pola 4, dan untuk
mengindikasikan viabilitas benih (Vp) adalah pola 2, serta viabilitas total adalah
pola 1.
Berdasarkan Dina et al. (2007) uji tetrazolium pada benih kedelai (Glycine
max) menghasilkan 10 pola pewarnaan dan pola topografi. Pola yang diperoleh
digunakan untuk pendugaan pertumbuhan benih di lapangan. Pola 1,2,3,4 dan
pola 1,2,3 pada pengujian tetrazolium mempunyai korelasi yang tinggi dengan
pertumbuhan tanaman dan hasil produksi. Pola 1,2,3,4 yaitu seluruh bagian benih
berwarna merah atau bergradasi merah muda sampai merah dengan ujung poros
embrio merah atau merah tua, menunjukkan benih viabel, sedangkan pola yang
lebih spesifik yaitu 1,2,3 dimana pewarnaan pada kotiledon terbentuk merata dan
poros embrio berwarna merah dengan atau tanpa merah tua di ujung radikula
dikategorikan sebagai pola vigor. Pola 1,2,3,4 dan pola 1,2,3 dapat digunakan
untuk mengestimasi pertumbuhan tanaman, tetapi pola 1,2,3 sebagai pola vigor
dapat mengestimasi ukuran pertumbuhan tanaman.

Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh pola pewarnaan pada uji
tetrazolium untuk kriteria vigor benih cabai (Capsicum annum).

TINJAUAN PUSTAKA

Viabilitas benih adalah kemampuan benih untuk dapat tumbuh normal pada
keadaan lingkungan tumbuh yang optimal. Viabilitas benih dibagi menjadi
viabilitas potensial dan vigor. Viabilitas potensial adalah kemampuan benih untuk
tumbuh normal dan berproduksi normal pada kondisi optimum. Vigor merupakan
kemampuan benih untuk tumbuh dan berproduksi normal pada kondisi sub
optimum. Vigor benih dibagi menjadi vigor kekuatan tumbuh benih yang
mencerminkan vigor benih apabila ditanam di lapang dan vigor daya simpan
benih yang menunjukkan kemampuan benih untuk berapa lama dapat disimpan.
Kecepatan tumbuh benih dan keserempakan tumbuh benih menjadi tolok ukur
vigor kekuatan tumbuh benih (Widajati et al. 2012).
Tinggi rendahnya viabilitas potensial bisa diukur dengan daya berkecambah
benih dan berat kering kecambah normal. Viabilitas dan vigor benih secara alami
akan menurun sejalan dengan meningkatnya suhu dan kadar air benih.
Peningkatan kandungan air berhubungan dengan aktivitas metabolik di dalam
benih yang melibatkan enzim untuk mengkatalisis cadangan energi di dalam benih
(Sadjad 1993).
Viabilitas benih dapat dideteksi melalui pengamatan dan pengujian secara
fisik, fisiologi, biokimiawi, anatomi, sitologi, dan matematika. Pengujian secara
fisik dengan melihat keseragaman bentuk dan ukuran benih serta kebersihan
3

benih. Pengujian fisiologis benih dengan mengamati proses pertumbuhan dan


metabolisme benih menjadi kecambah normal di dalam laboratorium dan di
lapang dengan keadaan lingkungan yang terkendali. Pengujian selanjutnya
menggunakan pengujian biokimiawi dengan mengamati reaksi kimia dengan
larutan kimia tertentu untuk mengetahui metabolit dalam benih, sel hidup dan sel
mati. Pengamatan anatomi dengan alat bantu mikroskop dengan perbesaran
tertentu untuk mengetahui struktur sel dan inti sel pada benih. Pengamatan
sitologi dengan mengamati pada organel sel normal kromosom tidak mengalami
aberasi. Pengamatan menggunakan pendekatan matematika benih yang ditentukan
oleh dimensi waktu periode viabilitas benih yang menunjukkan kecenderungan
garis viabilitas dengan fungsi persamaan diferensial (Sadjad 1990).
Faktor yang dapat mempengaruhi viabilitas benih adalah faktor genetik,
kerusakan mekanik pada bagian benih, kerusakan yang disebabkan
mikroorganisme selama masa penyimpanan benih, kondisi lingkungan seperti
suhu, kelembapan, air yang dapat mempengaruhi proses pertumbuhan benih
menjadi kecambah. Faktor-faktor tersebut menjadi penentu tingkat keberhasilan
pertanaman di lahan sehingga resiko kegagalan pertanaman dapat diminimalkan
(Copeland 1976).
Pengujian vigor benih menggunakan tetrazolium yang dilakukan terhadap
struktur penting embrio benih dapat memberikan informasi yang lebih lengkap.
Vigor benih yang didapat melalui pewarnaan tetrazolium menunjukkan kriteria
benih bervigor tinggi, benih bervigor sedang, serta benih bervigor dengan
indikator merata atau tidaknya pola pewarnaan endapan formazan. Pengujian
tetrazolium dilakukan untuk mengetahui potensi tumbuh maksimum, vigor benih,
dan viabilitas benih dari benih yang diuji. Pengujian tetrazolium untuk
mengetahui informasi vigor dilakukan dengan berdasarkan kriteria pengamatan
viabilitas benih yang lebih ketat dan menunjukkan struktur penting embrio benih
(Mugnisjah et al. 1994).
Berdasarkan Dina et al. (2007) kriteria pola dan topografi pewarnaan yang
dihasilkan dari pewarnaan tetrazolium yang mengindikasikan viabilitas benih
kedelai adalah pola 1 merah cerah pada poros embrio dan merah cerah pada
kotiledon, pola 2 merah dengan ujung merah tua pada embrio dan merah pada
kotiledon, pola 3 merah cerah dengan ujung merah tua pada embrio dan merah
cerah pada kotiledon, pola 4 merah cerah gradasi merah pada embrio merah muda
pada kotiledon. Penentuan pola topografi pewarnaan yang menunjukkan vigor
benih kedelai menggunakan penghitungan nilai Root Mean Square (RMS) antara
pengujian vigor benih di laboratorium meliputi accelerated aging test (AA),
indeks vigor (IV), kecepatan tumbuh relatif (KCT) dengan penghitungan laju
pertumbuhan kecambah (LPK) dengan hasil uji tetrazolium.
Menurut Budiarti (2002) pengujian benih menggunakan uji tetrazolium dan
konduktivitas daya hantar listrik (DHL), dan respirasi dapat dikembangkan untuk
pendugaan viabilitas dan vigor. Pengujian benih dengan tetrazolium dengan pola
dan intensitas pewarnaan pada embrio benih memiliki hubungan linier dengan
penentuan viabilitas dan vigor secara fisiologis. Pengujian tetrazolium memiliki
nilai koefisien korelasi dan determinasi tinggi. Komponen mutu benih yang dapat
diuji secara fisiologis maupun biokemis salah satunya adalah viabilitas benih. Uji
tersebut dapat dilakukan dengan metode perkecambahan yang memerlukan waktu
relatif lama dan tergantung dari jenis benih yang akan diuji viabilitasnya. Uji
4

viabilitas benih secara cepat dapat dilakukan dengan menggunakan tetrazolium.


Pengujian dengan tetrazolium ini belum banyak dikembangkan untuk pendugaan
vigor benih. Pola pewarnaan dan intensitas warna merah dari endapan formazan
pada bagian embrio benih menjadi acuan untuk menentukan viabilitas dan vigor
benih. Benih yang mempunyai viabilitas dan vigor tinggi akan menunjukkan pola
pewarnaan yang jelas pada embrio atau struktur penting pada benih yang
menentukan pertumbuhan. Benih yang memiliki vigor dan viabilitas rendah
ditunjukkan dengan pola pewarnaan yang tidak jelas pada struktur penting embrio
benih. Larutan tetrazolium dalam jaringan hidup dengan enzim dehidrogenase
akan direduksi oleh ion H+ yang berasal dari aktivitas respirasi menjadi triphenil
formazan yang berwarna merah dan tidak larut dalam air. Warna endapan
formazan semakin merah menunjukkan semakin banyak H2 yang terlibat dalam
reaksi kimia.
Uji tetrazolium untuk beberapa jenis benih seperti benih dengan testa keras
perlu perlakuan pendahuluan dengan merendam benih dalam akuades dan
dilakukan skarifikasi. Pengujian tetrazolium tidak boleh terkena sinar matahari
langsung karena dapat terjadi reduksi pada larutan tetrazolium sehingga akan
mengurangi efektivitas dari garam tetrazolium. Temperatur pewarnaan dalam uji
tetrazolium 20–40 0C, jika temperature optimum 30 0C tidak digunakan sebagai
acuan, maka penyesuaian lama waktu pewarnaan harus dibuat. Penambahan atau
pengurangan suhu 50 0C dari suhu optimum (30 0C) dapat mengurangi atau
menambah waktu menjadi satu setengah jam. Konsentrasi larutan tetrazolium
yang digunakan harus sesuai yang dianjurkan. Pewarnaan dengan garam
tetrazolium yang terlalu tinggi konsentrasinya dapat menyembunyikan perbedaan
pola pewarnaan seperti benih yang lemah dan kerusakan spesifik seperti embun
beku pada benih. Konsentrasi yang dianjurkan untuk benih cabai sebesar 1%.
Periode pewarnaan tidak bisa dinyatakan secara mutlak, karena bisa berbeda
berdasarkan kondisi benih yang diuji. Periode pewarnaan dapat berkelanjutan jika
benih belum selesai proses pewarnaannya. Hal tersebut dilakukan agar dapat
memeriksa kembali kekurangan pewarnaan karena pengambilan benih yang
lambat dari larutan garam tetrazolium akibat adanya indikasi kerusakan dalam
benih (ISTA 2014).
Bradford (2004) menyatakan bahwa dengan penambahan kriteria dalam
penilaian uji viabilitas dalam pengujian tetrazolium dapat digunakan untuk
pengujian vigor benih. Suatu kriteria dapat tidak penting pada viabilitas tetapi
menjadi penting dalam vigor. Uji tetrazolium dapat mendeteksi kerusakan paling
awal pada embrio dan menunjukkan deteriorasi benih yang merupakan indikator
untuk mendeteksi vigor benih. Benih dengan kondisi yang baik akan mengasorbsi
larutan tetrazolium secara perlahan sehingga endapan formazan yang terbentuk
akan terlihat lebih jelas dan memudahkan pengamatan struktur benih dengan
pengamatan visual atau dengan menggunakan alat bantu seperti mikroskop
tergantung dari ukuran benih yang diamati.
5

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Percobaan ini dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih


Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian
Bogor, mulai bulan Februari sampai dengan Juni 2015.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan untuk penelitian meliputi benih cabai varietas


Taruna. Benih cabai dengan tingkat viabilitas V1 = 71.33%, V2 = 64%, V3 =
58%, V4 = 46.67% yang di dapatkan melalui penurunan viabilitas secara alami
dengan penyimpanan yang diuji per bulan selama 4 bulan. Bahan kimia yang
digunakan yaitu larutan tetrazolium 1%. Bahan penunjang lainnya yaitu akuades,
plastik PE, alumunium foil.
Alat-alat yang digunakan adalah gelas ukur, gunting kuku, label, selotip,
cawan petri, gunting, sprayer, alat pengecambah benih APB tipe IPB 73-2A, silet,
oven, mikroskop, kamera, dan peralatan ATK.

Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah


menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) dengan satu faktor
yaitu tingkat viabilitas (V1, V2, V3, V4). Menurut Walpole (1992) model
rancangan percobaan yang digunakan adalah:
Yij = μ + αi + βj + εij
Keterangan:
Yij : Nilai pengaruh tingkat viabilitas benih pada taraf ke-i, kelompok (lot)
benih pada taraf ke-j
µ : Nilai rata-rata umum
αi : Pengaruh tingkat viabilitas benih ke-i
βj : Pengaruh kelompok (lot) benih ke-j
Εij : Pengaruh galat tingkat viabilitas benih pada taraf ke-i dan kelompok
(lot) benih pada taraf ke-j

Selain itu menggunakan analisis regresi linier sederhana untuk mengetahui


hubungan antara pengukuran vigor yang diamati dengan hasil uji tetrazolium.
Berdasarkan Walpole (1992) rancangan regresi menggunakan persamaan:

Y=a+bX
Keterangan: Y: nilai vigor yang diduga
a: titik potong garis dengan sumbu Y
b: kemiringan garis
X: nilai vigor yang diukur dengan tetrazolium
Pada penelitian ini menggunakan metode analisis korelasi regresi antara
nilai vigor yang diduga dengan nilai vigor yang diukur dengan tetrazolium.
Sebagai sumbu X adalah nilai vigor yang di ukur dengan tetrazolium sedangkan
6

sumbu Y adalah nilai vigor yang diduga. Nilai koefisien korelasi (r) digunakan
untuk melihat keeratan hubungan antara nilai vigor yang diduga dengan nilai
vigor yang diukur dengan tetrazolium. Nilai koefisien mendekati 1 (r  1)
menggambarkan adanya keeratan hubungan atau korelasi antara pola pada nilai
vigor yang diduga dengan nilai vigor yang diukur dengan tetrazolium.

Pelaksanaan Penelitian

Pembuatan larutan tetrazolium


Tetrazolium 1% diperoleh dengan mencampur 1 gram tetrazolium dengan
100 ml akuades dalam gelas ukur kemudian gelas ukur ditutup disimpan ke dalam
lemari pendingin dan dilapisi alumunium foil untuk menghindari terkena cahaya
langsung.

Pengujian tetrazolium
Pengujian tetrazolium ini dilakukan pada setiap lot benih dengan perlakuan
pendahuluan pelembaban. Pelembaban dilakukan dengan cara merendam benih
selama 18 jam dalam air dengan suhu 20 0C. Benih yang telah direndam kemudian
ditiriskan dan dikering anginkan di atas kertas. Proses selanjutnya dilakukan
skarifikasi yaitu dengan pelukaan benih dengan memotong bagian testa benih
antara radikula dan kotiledon (Gambar 1).

Radikula
Bagian yang
Kotiledon
dipotong

Gambar 1 Bagian benih cabai

Benih yang telah diskarifikasi direndam dengan menggunakan larutan


tetrazolium 1% pada suhu 30 0C selama kurang lebih 6 jam. Benih dibelah secara
membujur menjadi dua dan dilakukan pengamatan struktur pewarnaan tetrazolium
pada embrio benih dengan menggunakan mikroskop stereo dengan perbesaran 4 x
10.

Pengujian viabilitas dan vigor benih dengan indikasi langsung.


Tolok ukur yang diamati meliputi daya berkecambah (DB), berat kering
kecambah normal (BKKN), indeks vigor (IV), kecepatan tumbuh (KCT).
Pengamatan presentase benih berkecambah pertama pada hari ke-7 dan
pengamatan kedua pada hari ke-14 sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan
ISTA. Pengecambahan benih dilakukan dengan menggunakan metode uji di atas
kertas (UDK) setiap bulan selama 4 bulan dengan menggunakan alat
7

pengecambah benih IPB 73-2A. Jumlah benih yang ditanam sebanyak 50 butir
dengan 3 ulangan.
Pengamatan

Daya Berkecambah (DB)


Daya berkecambah adalah kemampuan benih untuk tumbuh menjadi
kecambah normal dalam lingkungan tumbuh yang optimum. Daya berkecambah
dihitung berdasarkan jumlah kecambah normal pada hitungan pertama yaitu hari
ke-7 dan hitungan kedua yaitu hari ke-14 setelah penanaman (ISTA 2014)

Keterangan :
KN 1 : Kecambah Normal pada hitungan I
KN 2 : Kecambah Normal pada hitungan II

Bobot Kering Kecambah Normal (BKKN)


Seluruh kecambah normal dibungkus dengan menggunakan kertas
kemudian di oven pada suhu 60 0C selama 3 x 24 jam. Selanjutnya kecambah
dimasukkan ke dalam desikator ± 30 menit dan ditimbang. Pengujian ini
dilakukan dua kali pengovenan kecambah normal pada pengamatan kecambah
normal umur 7 hari dan 14 hari.

Kecepatan Tumbuh (KCT)


Benih yang lebih cepat tumbuh menunjukkan benih tersebut memiliki vigor
yang lebih tinggi. Pengujian kecepatan tumbuh (KCT) dilakukan dengan
mengambil dan menghitung kecambah normal setiap etmal (24 jam) mulai dari
hari pertama penanaman hingga hari ke-14. Nilai KCT menunjukkan presentase
rata-rata kecambah yang tumbuh setiap hari. Semakin tinggi nilai KCT semakin
tinggi juga vigor lot benih tersebut. Menurut Sadjad (1999) rumus penghitungan
kecepatan tumbuh adalah

Keterangan:
KCT : kecepatan tumbuh (%KN/etmal)
N : presentase kecambah normal setiap waktu pengamatan
t : waktu pengamatan
tn : waktu akhir pengamatan

Indeks Vigor (IV)


Nilai Indeks Vigor merupakan data yang diperoleh pada pengamatan
pertama dalam pelaksanaan uji daya berkecambah benih cabai yaitu pada hari ke-
7 (ISTA 2014).
8

Pola pewarnaan tetrazolium


Pengamatan dilakukan berdasarkan intensitas dan lokasi pewarnaan yang
terbentuk pada benih cabai yang dihubungkan dengan struktur anatomi benih
cabai untuk mengetahui benih viabel dan non viabel. Topografi pewarnaan dilihat
dengan menggunakan mikroskop kemudian pengambilan gambar pola pewarnaan
dengan menggunakan kamera. Standar pewarnaan dibuat untuk membedakan
antara benih yang berpotensi tumbuh menjadi kecambah normal kuat, kecambah
normal kurang kuat, abnormal, dan mati.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Benih Cabai (Capsicum annum)

Benih cabai yang digunakan adalah benih cabai varietas Taruna yang
merupakan cabai rawit bersari bebas untuk dataran rendah sampai dataran tinggi.
Bentuk benih pipih, warna benih kuning, kulit benih tergolong benih keras
(impermeable). Berdasarkan rekapitulasi sidik ragam (Tabel 1) ulangan tidak
berpengaruh nyata terhadap tingkat viabilitas. Tingkat viabilitas benih
berpengaruh nyata terhadap parameter viabilitas benih yakni daya berkecambah,
kecepatan tumbuh benih, berat kering kecambah normal dan indeks vigor benih
pada taraf 5% dan selanjutnya dilakukan uji lanjut DMRT pada Tabel 2.

Tabel 1 Rekapitulasi sidik ragam pengaruh lot benih terhadap parameter viabilitas
benih

Parameter P
DB (%) 0.0172*
KCT (%) 0.0296*
BKKN (%) 0.0131*
IV (%) 0.0436*
Keterangan: * = berpengaruh nyata berdasarkan analisis ragam pada taraf 5%. DB: daya
berkecambah; KCT: kecepatan tumbuh benih; BKKN: berat kering kecambah
normal; IV: indeks vigor

Tabel 2 Rekapitulasi uji lanjut DMRT pada parameter viabilitas benih cabai
(Capsicum annum)

Parameter viabilitas
Lot benih DB BKKN KCT IV
V1 71.3a 62.7a 10.9a 32.0a
V2 64.0ab 62.0ab 10.7ab 32.0a
V3 58.0bc 58.7bc 10.2bc 21.3ab
V4 46.7c 48.0c 9.2c 14.0b
Angka-angka pada kolom yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji
DMRT pada taraf 5%. DB: daya berkecambah; KCT: kecepatan tumbuh benih; BKKN: berat kering
kecambah normal; IV: indeks vigor.
9

Berdasarkan rekapitulasi uji lanjut DMRT menunjukkan bahwa lot benih V1


merupakan hasil tertinggi, namun tidak berbeda dengan V2 tetapi berbeda dengan
V3 dan V4. Lot benih V4 merupakan lot yang terendah. Uji lanjut DMRT pada
parameter viabilitas daya berkecambah, kecepatan tumbuh benih, dan indeks vigor
benih menunjukkan hasil yang sama. Hasil uji lanjut DMRT parameter daya
berkecambah benih yang paling sensitif menunjukkan beda yang signifikan antar
lot benih pada tingkat viabilitas yang berbeda. Hasil uji lanjut DMRT pada
parameter daya berkecambah dapat menduga pertumbuhan benih di lapang jika
kondisi lapang optimum. Menurut pendapat Kulik dan Yaklich (1982) pendugaan
perkecambahan di lapangan dibedakan menjadi estimating potential field
emergence (E) dan predicting field emergence (P). Pada E ≥ 80% diperkirakan
benih akan berkecambah 80% atau lebih pada kondisi optimum, sedangkan P ≥
80% diperkirakan benih akan berkecambah 80% atau lebih pada kondisi sub
optimum.

Pengujian Tetrazolium

Struktur benih cabai (Gambar 2) merujuk pada struktur benih tomat


(Lycopersicon esculentum) Bradford (2004) (Lampiran 1) meliputi testa, kotiledon
dan embrio yang menjadi satu dengan endosperm benih. Bagian terpenting pada
embrio benih adalah radikula yang menentukan tumbuh atau tidaknya benih.
Jaringan keras terdapat pada kulit benih yang dapat menghalangi munculnya
radikula. Munculnya radikula pada proses perkecambahan benih ditentukan oleh
keseimbangan antara potensi pertumbuhan embrio dan ketahanan mekanik dari
endosperma. Endosperma juga merupakan bagian penting benih dalam
menentukan jumlah nutrisi yang masuk pada benih saat pertumbuhan embrio
setelah perkecambahan (Martinez et al. 2012)

Kotiledon
Testa

Radikula
Endosperma
Gambar 2 Struktur benih cabai dengan perbesaran 4 x 10

Pola pewarnaan yang terbentuk pada jaringan hidup benih cabai saat
pengujian merupakan aktivitas ion H+ mereduksi larutan tetrazolium menjadi
triphenyl formazan yang berwarna merah dan tidak larut dalam air. Pembentukan
pola pewarnaan pada benih didahului dengan proses imbibisi larutan tetrazolium
pada bagian benih. Waktu yang diperlukan imbibisi larutan pada benih tergantung
pada jenis benih yang diuji. Waktu perendaman benih cabai (Capsicum annum)
untuk imbibisi larutan tetrazolium mengacu pada Widajati et al. (2013). Menurut
Budiarti (2002) jika pola endapan formazan semakin jelas menunjukkan semakin
banyak H2 yang terlibat dalam reaksi kimia saat proses pewarnaan.
10

Pengujian tetrazolium pada benih cabai (Capsicum annum) menghasilkan


pewarnaan embrio dengan intensitas warna antara merah terang, merah muda, dan
putih. Pola pewarnaan diharapkan dapat mengindikasi dan menjadi tolok ukur
benih akan tumbuh menjadi kecambah normal kuat, kecambah normal lemah,
kecambah abnormal, dan mati. Pola-pola yang terbentuk dikelompokkan menjadi
benih viabel dan non viabel. Pengujian tetrazolium ini juga dapat memperlihatkan
struktur dan keadaan embrio benih cabai secara jelas dengan bantuan mikroskop
stereo perbesaran 4 x 10. Hasil pola pewarnaan tetrazolium benih cabai
(Capsicum annum) dengan konsentrasi 1% tertera pada Tabel 3. Pola pewarnaan
terbagi menjadi pola kecambah normal kuat, normal lemah, abnormal, mati dan
normal. Pola kecambah normal merupakan gabungan dari pola kecambah normal
kuat dan kecambah normal lemah. Potensi tumbuh maksimum merupakan
penambahan jumlah kecambah normal dengan jumlah kecambah abnormal dibagi
jumlah benih yang ditanam. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa hasil
pengamatan potensi tumbuh maksimum, kecambah normal dan kecambah normal
kuat berdasakan pengamatan tetrazolium tidak menunjukkan perbedaan pada
keempat lot benih yang diuji. Pola pewarnaan tetrazolium yang terbentuk pada
masing-masing lot benih berdasarkan standar pola yang dibentuk dideskripsikan
pada Tabel 4.
Tabel 3 Rata-rata pola pewarnaan tetrazolium dengan konsentrasi 1% pada
tingkatan viabilitas yang berbeda pada benih cabai (Capsicum annum)

Pola Pewarnaan
Viabilitas Ulangan PTM (%)
NK NL Ab M ∑N
V1 38.7 22.0 20.0 19.3 60.7 80.6
V2 38.7 21.3 7.3 36.0 60.0 67.4
V3 46.7 10.0 18.0 25.3 56.7 74.6
V4 28.7 17.3 16.7 37.3 46.0 62.6
Keterangan: V= viabilitas; PTM= potensi tumbuh maksimum NK= normal kuat; NL= normal
lemah; Ab= abnormal; M= mati; ∑N= jumlah kecambah normal; ∑b= jumlah benih
yang ditanam.

Berdasarkan lot benih cabai (Capsicum annum) yang disesuaikan dengan


standar pola pewarnaan menghasilkan 16 kemungkinan pola pewarnaan kemudian
digolongkan dalam kriteria kecambah normal kuat, normal lemah, abnormal dan
mati. Berdasarkan Glagliardi dan Filho (2011) pola pewarnaan tetrazolium dengan
konsentrasi 0.075% yang terbentuk pada benih paprika (Capsicum annuum L.)
terbagi menjadi 3 kelompok yakni pola viabel dan vigor, pola viable dan non
vigor, dan non viabel. Pola viabel dan vigor: pola yang terbentuk pada embrio dan
endosperma bewarna merah muda. Pola viabel dan non vigor: jaringan yang tidak
terwarnai kurang dari 50% pada kotiledon dan endosperma, ujung radikula tidak
terwarnai. Pola non viabel: tidak lebih dari 50% area dari kotiledon dan
endosperma tidak terwarnai, bewarna putih atau kekuning-kuningan, bagian dari
embrio dan endosperma kurang berwarna penuh.
11

Tabel 4 Pola pewarnaan tetrazolium pada benih cabai (Capsicum annum) pada
mikroskop dengan perbesaran 4 x 10

No Pola Pewarnaan Kelompok Keterangan


1. Normal kuat semua bagian embrio terwarnai
merah total, kotiledon berwarna
merah total, radikula berwarna
merah total, endosperma berwarna
merah total
2. Normal kuat semua bagian embrio terwarnai
merah total, ¼ bagian atas kotiledon
berwarna putih, endosperma
terwarnai merah total

3. Normal kuat semua bagian embrio berwarna


merah, radikula berwarna merah, ½
kotiledon berwarna merah,
endosperma berwarna merah total

4. Normal kuat embrio berwarna merah total,


radikula berwarna merah, ½
kotiledon terwarnai, endosperma
berwarna merah muda

5. Normal lemah semua bagian embrio berwarna


merah muda, radikula berwarna
merah muda, ½ kotiledon berwarna
merah, endosperma tidak terwarnai

6. Normal lemah semua bagian embrio berwarna


merah muda, radikula berwarna
merah, kotiledon tidak terwarnai,
endosperma tidak terwarnai

7. Normal lemah ½ embrio berwarna merah, ½


kotiledon berwarna merah, radikula
berwarna merah, endosperma tidak
terwarnai

8. Normal lemah ½ embrio berwarna merah, radikula


bewarna merah, endosperma tidak
terwarnai, ½ kotiledon terwarnai

9. Abnormal ½ embrio berwarna merah muda, ¼


kotiledon berwarna merah,
endosperma tidak terwarnai
12

Tabel 4 Pola pewarnaan tetrazolium pada benih cabai (Capsicum annum) pada
mikroskop dengan perbesaran 4 x 10 (Lanjutan)

10. Abnormal 1/3 embrio berwarna merah,


radikula tidak terwarnai, ½
kotiledon berwarna merah, ½
endosperma berwarna merah

11. Abnormal 1/3 embrio berwarna merah muda,


1/3 kotiledon berwarna merah
muda, radikula berwarna merah,
endosperma tidak terwarnai

12. Abnormal 1/3 embrio terwarnai, kotiledon


tidak terwarnai, ¼ embrio berwarna
merah muda, radikula berwarna
merah

13. Mati embrio tidak terwarnai, kotiledon


tidak terwarnai, endosperma tidak
terwarnai, ¼ ujung radikula
berwarna merah muda

14. Mati embrio tidak terwarnai, kotiledon


tidak terwarnai, endosperma
berwarna merah muda, radikula
tidak terwarnai
15. Mati embrio tidak terwarnai, radikula
tidak terwarnai, ½ endosperma
berwarna merah muda

16. Mati embrio tidak terwarnai, radikula


tidak terwarnai, kotiledon tidak
terwarnai

Hasil pewarnaan tetrazolium pada Tabel 5 pola pewarnaan nomor 1 dapat


memperlihatkan keadaan benih sehat yang dapat mengindikasikan benih dapat
tumbuh menjadi kecambah normal. Menurut Bradfort (2004) benih dengan
kondisi yang baik akan mengasorbsi larutan tetrazolium secara perlahan. Endapan
formazan yang terbentuk akan terlihat lebih jelas ketika larutan tetrazolium
terserap secara sempurna sehingga memudahkan pengamatan struktur benih
dengan pengamatan visual atau dengan menggunakan alat bantu seperti
mikroskop tergantung dari ukuran benih yang diamati.
Pewarnaan tetrazolium juga dapat memperlihatkan kerusakan pada embrio
benih Tabel 5 pola pewarnaan nomor 2 yang mengindikasikan bahwa benih
tersebut akan tumbuh menjadi kecambah abnormal atau benih tersebut tidak
13

tumbuh. Kerusakan yang terjadi pada bagian embrio benih tersebut dapat
disebabkan oleh serangan cendawan dikarenakan pada saat penyimpanan tidak
ada bahan pelapis kimia yang melindungi benih dari serangan cendawan atau
hama. Menurut Leist (2004) bagian kotiledon benih yang berdekatan dengan
bagian radikula merupakan bagian penting benih setelah embrio benih. Jika area
tersebut tidak terwarnai saat pengujian menggunakan tetrazolium
mengindikasikan bahwa benih yang diuji tersebut mengalami kerusakan dan
diasumsikan bahwa benih tersebut tidak akan tumbuh menjadi kecambah normal.
Pada saat pengamatan dapat diketahui kondisi benih sehat dan benih tidak sehat
melalui pewarnaan embrio benih dengan menggunakan tetrazolium.
Benih yang tidak terwarnai pada Tabel 5 pola pewarnaan nomor 3
mengindikasikan bahwa benih tidak dapat tumbuh menjadi kecambah atau mati.
Menurut Copeland (2001) larutan garam tetrazolium klorida tidak bereaksi dengan
enzim dehidrogenase pada jaringan yang mati sehingga pada saat benih yang mati
direndam dalam larutan tetrazolium tidak akan terjadi reaksi sehingga benih tetap
bewarna putih.
Pengujian tetrazolium dengan tiga ulangan juga menghasilkan pola dan
intensitas pewarnaan yang berbeda antar ulangan. Hal ini disebabkan oleh
kemampuan imbibisi larutan tetrazolium antar benih yang berbeda. Kemampuan
imbibisi ini dipengaruhi oleh testa benih yang keras dan pemotongan bagian benih
antara radikula dan kotiledon yang tidak seragam. Terlihat pada Tabel 5 pola
pewarnaan nomor 4 memperlihatkan pewarnaan tidak terjadi pada seluruh bagian
benih, pewarnaan formazan terdapat pada bagian penting benih seperti radikula
sehingga dapat mengindikasikan benih tersebut dapat tumbuh menjadi kecambah.
Menurut Widajati et al. (2013) luas dari bagian merah merupakan jaringan
hidup dan luas dari bagian benih yang tidak terwarnai merupakan jaringan mati
atau jaringan nekrotik serta daerah di mana jaringan nekrotik berada memberikan
informasi yang sangat menentukan untuk mengkategorikan apakah benih tersebut
hidup atau mati. Evaluasi yang dilakukan untuk penentuan daerah maksimum
yang tidak terwarnai tidak diberlakukan dalam uji tetrazolium pada famili
Solanaceae yaitu tomat (Lycopersicon esculentum), cabai (Capsicum annum),
terong (Solanum melongena).
Pengujian tetrazolium pada benih cabai (Capsicum annum) untuk
mengetahui pola pewarnaan yang mengindikasikan benih viabel dan non viabel.
Jumlah benih viabel dan non viabel pada pengujian tetrazolium dan pengujian
langsung akan sama dalam batas toleransi jika benih yang diuji tidak mengalami
dormansi, benih yang mempunyai testa keras telah diberi perlakuan pematahan
dormansi dengan melakukan skarifikasi, benih telah terinfeksi patogen atau belum
terinfeksi, benih tidak terkena serangan cendawan atau belum terkena serangan
cendawan, serta benih dikecambahkan pada kondisi optimum.
14

Tabel 5 Pola pewarnaan dapat memperlihatkan keadaan embrio benih cabai


(Capsicum annum) dengan perbesaran 4 x 10

No Pola pewarnaan Keterangan


1. benih mengalami kerusakan pada bagian embrio
dengan tidak terwarnai seluruh bagian embrio
sehingga dapat diduga bahwa benih tidak akan
tumbuh menjadi kecambah normal bahkan
menunjukkan benih tersebut mati

2. kondisi benih sehat dengan terwarnai seluruhnya


bagian benih mencakup embrio, kotiledon,
radikula, dan endosperma sehingga dapat diduga
bahwa benih tersebut akan tumbuh menjadi
kecambah normal
3. benih yang tidak terwarnai setelah benih direndam
kedalam larutan tetrazolium yang
mengindikasikan bahwa benih tersebut mati

4. bagian benih terwarnai sebagian namun benih


dapat diindikasikan dapat tumbuh menjadi
kecambah normal lemah karena bagian terpenting
benih yakni radikula dan bagian benih yang
berdekatan dengan radikula terwarnai

Pendugaan Vigor Benih melalui Pola Pewarnaan Tetrazolium

Pendekatan analisis korelasi regresi antara nilai vigor yang diduga dengan
nilai vigor yang diukur dengan tetrazolium. Sebagai sumbu X adalah nilai vigor
yang di ukur dengan tetrazolium sedangkan sumbu Y adalah nilai vigor yang
diduga. Nilai koefisien korelasi (r) digunakan untuk melihat keeratan hubungan
antara nilai vigor yang diduga dengan nilai vigor yang diukur dengan tetrazolium.
Nilai koefisien mendekati 1 (r  1) menggambarkan adanya keeratan hubungan
atau korelasi antara pola pada nilai vigor yang diduga dengan nilai vigor yang
diukur dengan tetrazolium (Mattjik 2002).
Analisis korelasi yang dilakukan pada masing-masing lot benih yang dibagi
berdasarkan vigor benih. Nilai koefisien korelasi yang mendekati 1 (r→1.00) pada
masing-masing lot vigor dianggap paling sesuai digunakan sebagai standar pola
pewarnaan. Nilai tersebut memiliki nilai kedekatan antara pengujian langsung dan
pengujian tidak langsung (tetrazolium). Nilai korelasi dan regresi yang didapatkan
antara parameter viabilitas benih dan pengujian tetrazolium tertera pada Tabel 6.
Rekapitulasi sidik ragam uji regresi telampir pada Lampiran 2.
Nilai koefisien korelasi berkisar antara -1 sampai +1. Berdasarkan Tabel 6
semua parameter viabilitas benih yang diamati diantaranya DB, KCT, BKKN, dan
15

IV mempunyai hubungan positif dengan pengujian tetrazolium. Parameter


viabilitas yang memiliki keeratan hubungan dengan pengujian tetrazolium
terdapat pada parameter daya berkecambah dan berat kering kecambah normal.
Nilai korelasi antara masing-masing parameter viabilitas benih dan pengujian
tetrazolium diperoleh nilai koefisien tertinggi untuk peubah vigor benih cabai
(Capsicum annum) terdapat pada parameter BKKN dengan nilai sebesar 0.699.
Nilai tersebut mendekati 1 sehingga menunjukkan hubungan positif dan p-value
menunjukkan nilai 0.01 ini berarti menunjukkan hubungan yang erat antara berat
kering kecambah normal pengujian langsung dan pengujian tetrazolium.
Berdasarkan Akbudak dan Bolkan (2010) nilai koefisien korelasi antara standar
perkecambahan untuk prediksi perkecambahan lot benih tomat dengan uji
tetrazolium sebesar 0.631. Uji tetrazolium dapat dijadikan standar perkecambahan
untuk memprediksi munculnya kecambah normal.

Tabel 6 Nilai persamaan regresi, nilai korelasi (r) antara pengujian langsung dan
pengujian tetrazolium

Parameter viabilitas Persamaan regresi r P


DB DB = 15.8 + 0.405 ttz 0.601 0.039*
BKKN BKKN = 22.6 + 167.9 ttz 0.699 0.011*
KCT KCT = 13.7 + 0.377 ttz 0.423 0.171tn
IV IV = 22.7 + 0.418 ttz 0.518 0.085tn
Keterangan: r= koefisien korelasi, *= berpengaruh nyata, tn = tidak berpengaruh nyata pada taraf
5%, angka pada kolom yang sama diperbandingkan secara vertikal. DB: daya
berkecambah; KCT: kecepatan tumbuh benih; BKKN: berat kering kecambah normal;
IV: indeks vigor.

Hasil uji korelasi antara pengujian langsung dan pola kecambah normal kuat
pengujian tetrazolium pada Tabel 7 menunjukkan tidak ada parameter yang
memiliki nilai korelasi tinggi. Nilai p-value > 0.05 dari semua parameter viabilitas
menunjukkan tidak adanya hubungan dari parameter viabilitas dengan uji
tetrazolium. Hal ini menunjukkan bahwa pada penelitian pola pewarnaan yang
dihasilkan dari uji tetrazolium belum dapat digunakan untuk pendugaan vigor
benih cabai (Capsicum annum). Menurut Dina et al. (2007) rendahnya hubungan
korelasi antara hasil uji tetrazolium benih kedelai dan accelerated aging test
diduga karena adanya benih keras. Menurut ISTA (2003) pengujian tertrazolium
menggunakan benih keras harus dilakukan pelukaan pada bagian kotiledon benih
dan dilakukan perendaman kembali pada larutan tetrazolium.
Hubungan korelasi yang rendah antara pengujian langsung dan pengujian
tetrazolium pada benih cabai (Capsicum annum) diduga karena kulit benih yang
bersifat impermeable dan temperatur yang digunakan saat perendaman 30 0C.
Selain itu tidak digunakannya larutan penyangga diduga dapat menurunkan
efektivitas kerja larutan tetrazolium. Larutan penyangga berfungsi sebagai
penyeimbang pH. Percobaan ini menggunakan lot benih yang sama untuk
pengujian langsung dan tidak langsung. Pola yang dihasilkan dari proses
pewarnaan hasilnya berbeda, kemungkinan keseragaman lot benih belum
terbentuk, sehingga menyebabkan rendahnya tingkat hubungan korelasi antara
pengujian langsung dan pengujian tidak langsung.
16

Menurut Patin dan Dadladi (2014) temperatur perendaman benih dalam


larutan tetrazolium pada suhu 20 0C sampai 40 0C tidak memiliki efek akurat uji
tetrazolium tetapi proses pewarnaan uji tetrazolium yang cepat pada temperatur
tinggi. Perbedaan pewarnaan antara benih normal dan abnormal sulit dibedakan.
Menurut Grancharova et al. (2011) famili Solanaceae mempunyai ukuran
embrio yang kecil. Terdapat placenta pada embrio benih sehingga larutan
tetrazolium tidak dapat terimbibisi secara optimal ke dalam embrio benih.
Pola kecambah normal kuat dapat menduga vigor benih. Hal ini
berhubungan dengan proses respirasi yang terdapat pada benih. Menurut Budiarti
(2002) respirasi benih dapat menggambarkan tingkat viabilitas dan vigor benih,
semakin tinggi tingkat respirasi benih maka semakin tinggi viabitas benih.
Viabilitas benih dapat diduga dari keadaan benih yang memiliki embrio sehat.
Benih yang sehat dapat mengimbibisi larutan tetrazolium secara sempurna yang
terlihat pada pola pewarnaan tetrazolium yang penuh pada bagian terpenting
benih. Pola pewarnaan kecambah normal kuat dengan warna formazan merah total
mendeskripsikan jaringan pada benih hidup.

Tabel 7 Nilai persamaan regresi, nilai korelasi (r) antara pengujian langsung dan
pola kecambah normal kuat pengujian tetrazolium

Parameter viabilitas Persamaan regresi r P


DB DB = 14.4 + 0.157 ttz 0.182 0.571tn
BKKN BKKN = 15.7+107 ttz 0.349 0.266 tn
KCT KCT = 18.4 + 0.018 ttz 0.016 0.960 tn
IV IV = 18.0 + 0.088 ttz 0.085 0.793 tn
Keterangan: r= koefisien korelasi, *= berpengaruh nyata, tn = tidak berpengaruh nyata pada taraf
5%, angka pada kolom yang sama diperbandingkan secara vertikal. DB: daya
berkecambah; KCT: kecepatan tumbuh benih; BKKN: berat kering kecambah normal;
IV: indeks vigor.

Pada jaringan hidup terdapat energi yang dihasilkan dari proses respirasi.
Proses respirasi melibatkan sel hidup untuk mengambil oksigen dari udara atau
air dan mempergunakannya dalam proses oksidasi sehingga energi yang
dihasilkan dalam bentuk panas. Proses respirasi benih menghasilkan ion H+,
semakin banyak ion H+ yang terlibat dalam proses pewarnaan tetrazolium
semakin jelas pola pewarnaan yang terbentuk. Benih yang sedang berkecambah
menggunakan karbohidrat untuk proses oksidasi dalam menghasilkan energi
(Byrd 1986). Energi yang dihasilkan tergantung dari cadangan makanan dalam
kotiledon benih. Energi tersebut digunakan benih untuk berkecambah sehingga
benih yang memiliki kotiledon, radikula, embrio, endosperma yang baik dapat
tumbuh menjadi kecambah normal. Keadaan benih tersebut dapat terlihat dari
proses pewarnaan benih menggunakan tetrazolium. Berdasarkan Black dan
Blewle (2006) benih menyerap oksigen reaktif yang dihasilkan dari molekul
oksigen yang sangat reaktif dan biasanya bersifat elektrofilik.
Hasil dari nilai persamaan regresi dan korelasi antara pengujian langsung
dan pengujian tetrazolium sesuai dengan Mattjik (2002) yakni pengujian pola
untuk menentukan tingkat viabilitas benih menggunakan pendekatan nilai
17

koefisien korelasi (r) dari persamaan antara tolok ukur pengujian tetrazolium
dengan tolok ukur pengujian langsung yang sama. Tolok ukur pengujian
tetrazolium sebagai sumbu X dan tolok ukur pengujian langsung menjadi sumbu
Y. Keeratan hubungan antara tolok ukur pengujian tetrazolium dengan tolok ukur
pengujian langsung diketahui dari nilai koefisien korelasi. Nilai koefisien korelasi
berkisar antara -1 dan +1. Signifikansi hubungan antara kedua peubah dinyatakan
dengan nilai p-value. Nilai p-value < 0.05 menunjukkan adanya hubungan yang
erat antar kedua peubah tersebut, yang arahnya ditunjukkan oleh tanda koefisien
korelasinya (positif: hubungan searah; negatif: hubungan berlawanan).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pengujian pola pewarnaan menggunakan tetrazolium dengan konsentrasi


1% pada benih cabai (Capsicum annum) menghasilkan 16 pola pewarnaan,
kemudian dikelompokkan menjadi 4 kelompok yang dijadikan standar pewarnaan
untuk membedakan benih yang berpotensi tumbuh menjadi kecambah normal
kuat, kecambah normal kurang kuat, abnormal, dan mati. Parameter yang
memiliki nilai korelasi tinggi dengan uji tetrazolium adalah daya berkecambah
dan berat kering kecambah normal. Pola pewarnaan belum dapat digunakan untuk
pendugaan vigor benih cabai.

Saran

Perlu dilakukan pelukaan benih secara tepat untuk mengoptimalkan proses


imbibisi larutan tetrazolium pada benih. Penelitian lanjutan disarankan
menggunakan larutan penyangga (buffer) dan pola yang lebih banyak terhadap
beragam varietas benih cabai yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

Akbudak N, Bolkan H. 2010. Diagnostic method for predicting tomato seedling


emergence. Journal of Food, Agriculture and Environtment. 8(1): 170-174.
Black M, Bewley JD, Halmer P. 2006. The Encyclopedia of Seeds. Science,
Tehcnology and Uses. Wallington (UK): CAB International Pr. 828 hlm.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Produksi Cabai Besar, Cabai Rawit dan
Bawang Merah Tahun 2014. [Internet]. [diakses pada tanggal 2 Desember
2015]. Tersedia pada: bps.go.id.
Bradford KJ. 2004. Seed Production an Quality. California (USA): University of
California Pr. 126 hlm.
Budiarti T. 2002. Kemungkinan pengembangan metode uji untuk penentuan
viabilitas benih secara tepat. Di dalam buku: Industri Benih di Indonesia.
Bogor (ID): IPB Pr. 200 hlm.
18

Byrd HW. 1986. Pedoman Teknologi Benih. Hamidin A, penerjemah. Jakarta


(ID): PT Pembimbing Masa. Terjemahan dari: Seed Technology Handbook.
26 hlm.
Copeland LO, McDonald MB. 2001. Principles of seed science and technology.
Fourth edition. London (Eng): Kluwer Academic Pr. 401 hlm.
Dermawan M. 2007. Studi pengujian tetrazolium sebagai peubah viabilitas benih
buncis (Phaseolus vulgaris L.) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Dina, Widajati E, Wirawan B, Ilyas S. 2007. Pola topografi pewarnaan
tetrazolium sebagai tolok ukur viabilitas dan vigor benih kedelai (Glycine
max L. Merr) Bul. Agron. (35) (2) 88-95.
Glagliardi B, Filho JM. 2011. Assesment of the physiological potential of bell
pepper seeds and relationship with seedling emergence. Revista Brasileira
de Sementes. 33(1): 162-170.
Grancharova PY, Tsvetkova EY, Baldjiev G, Barragan MC. 2011. Reproductive
biology of Atropa belladonna: embryological features, pollen and seed
viability. Phytologia Balcanica. 17 (1): 101 –112.
[ISTA] International Seed Testing Association. 2004. Seed Science and
Technology. International Rules for Seed Testing. Zurich: International Seed
Testing Association.
[ISTA] International Seed Testing Association. 2014. ISTA Working Sheets on
Tetrazolium Testing. Seed Science and Technology. Zurich : International
Seed Testing Association.
Kulik MM, Yaklich RW. 1982. Evaluation of vigor tests in soybean seeds:
relationship of accelerated aging, cold, sand bench, and speed of
germination tests to field performance. Crop Sci. 22: 766-770.
Leist N. 2004. Seed Vigour Determination by Means of the Topographical
Tetrazolium Test. Makalah dalam ISTA Seed Quality Assesment Training
Organised by APSA, Hanoi, Vietnam.
Martinez AC, Pluskota WE, Bassel GW, Asahina M, Pupel P, Nguyen TT,
Takeda KN, Toubiana D, Bai B, Gorecki RJ , Fait A, Yamaguchi S,
Nonogaki H. 2012. The mechanisms of hormonal regulation of endosperm
cap-specific gene expression in tomato seeds. Seed biology in the 21st
century: perspectives and new directions. The Plant Journal. 71, 575-586.
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS
dan Minitab Jilid I. Bogor (ID): IPB Pr. 350 hlm.
Mugnisjah WQ, Setiawan A, Suwarto, Santiwa C. 1994. Panduan Praktikum dan
Penelitian Bidang Ilmu dan Teknologi Benih. Jakarta (ID): RajaGrafindo
Persada. 201 hlm.
Patin VN, Dadladi M. 2014. Tetrazolium Test for Seed Viability and Vigour.
[Internet]. [diakses pada tanggal 7 November 2015]. Tersedia pada:
http//seednet. gov. In/Chapter%252014.pdf.
Sadjad S. 1993. Dari benih kepada benih. Jakarta (ID): Grasindo. 143 hlm.
Sadjad S, Murniati E, Ilyas S. 1990. Parameter pengujian vigor benih. Jakarta
(ID) Grasindo. 35 hlm.
Walpole RE. 1992. Pengantar Statistik Edisi ke-3. Bambang S, penerjemah.
Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Terjemah dari: Introduction to
Ststistic 3rd edition. 515 hlm.
19

Widajati E, Murniati E, Palupi ER, Kartika T, Suhartanto MR, Qadir A. 2013.


Dasar Ilmu dan Teknologi Benih. Bogor (ID): IPB Pr. 173 hlm.
20

LAMPIRAN

Lampiran 1 Struktur benih tomat (Lycopersicon esculentum) menurut


Bradford (2014)

Lampiran 2 Rekapitulasi sidik ragam regresi antara parameter viabilitas dan


uji tetrazolium

Parameter Viabilitas Sumber db KT F P


DB regresi 1 66.1 5.7 0.03
galat 10 11.7
KCT regresi 1 32.7 2.9 0.17
galat 10 15.0
BKKN regresi 1 89.3 9.5 0.01
galat 10 9.4
IV regresi 1 49.1 3.7 0.08
galat 10 13.4
Keterangan: DB= daya berkecambah; KCT= kecepatan tumbuh; BKKN= berat kering
kecambah normal; IV= indeks vigor.
21

Riwayat Hidup

Penulis dilahirkan di Kediri pada tanggal 8 Juni 1993 dari ayah Kuswari dan
ibu Djiati. Penulis adalah putri kedua dari lima bersaudara. Tahun 2011 penulis
lulus dari SMA Negeri 5 Kediri dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi
masuk Institut Pertanian Bogor dan diterima di Departemen Agronomi dan
Hortikultura, Fakultas Pertanian.
Selama menjadi mahasiswa, penulis menjadi sekretaris OMDA (organisasi
mahasiswa daerah) pada tahun 2011/2012 dan pada tahun 2012/2013. Penulis juga
aktif di beberapa kegiatan kepanitiaan di tingkat omda, departemen dan fakultas.
Pada bulan Mei tahun 2015 penulis mengikuti kegiatan magang di Indoflower
sebagai pengawas produksi tanaman dan quality control. Pada bulan September –
Oktober 2015, penulis mengikuti program pendampingan (UPSUS-PAJALE) dari
Kementan.

Anda mungkin juga menyukai