Anda di halaman 1dari 49

Proposal Skripsi

UJI ANTIFERTILITAS EKSTRAK ETIL ASETAT BIJI JARAK PAGAR


(Jatropha curcas) TERHADAP KADAR TESTOSTERON DAN
PENURUNAN LIBIDO PADA TIKUS PUTIH JANTAN

Untuk melengkapi syarat-syarat guna memperoleh gelar Sarjana


Farmasi

Oleh:

Cresensia Doy
1504015073

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI DAN SAINS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA
2020
Proposal Skripsi

UJI ANTIFERTILITAS EKSTRAK ETIL ASETAT BIJI JARAK PAGAR


(Jatropha curcas) TERHADAP KADAR TESTOSTERON DAN
PENURUNAN LIBIDO PADA TIKUS PUTIH JANTAN

Yang diajukan oleh :

Cresensia Doy
1504015073

Telah disetujui :

Pembimbing 1

Ema Dewanti, M. Si Tanggal:

Pembimbing II

Dr. Siska, M. Farm., Apt Tanggal:

Mengetahui:

Ketua Program Studi Farmasi

Kori Yati, M. Farm., Apt Tanggal:

ii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR GAMBAR iv
BAB 1 PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Permasalahan 3
C. Tujuan Penelitian 4
D. Manfaat Penelitian 4
BAB II TINJAUN PUSTAKA 5
A. Landasan Teori 5
1. Tanaman Jarak Pagar 5
2. Simplisia dan Ekstrak 8
3. Ekstraksi 9
4. Tinjauan Hewan Percobaan 11
5. Metode ELISA 21
B. Kerangka Pemikiran 23
C. Hipotesis 23
BAB III METEODOLOGI PENELITIAN 24
A. Tempat dan Jadwal Penelitian 24
B. Populasi, Sampel dan Kelompok Perlakuan 25
C. Pola Penelitian 27
D. Cara Penelitian 27
E. Analisis Data 34
DAFTAR PUSTAKA 35

iii
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) 5


Gambar 2 Tikus Putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley 11
Gambar 3 Anatomi Sitem Reproduksi Tikus Putih Jantan 14
Gambar 4 Spermatozoa Tikus 15
Gambar 5 Tahapan Dari Siklus Sel Spermatogenesis PadaTtikus 16
Gambar 6 Proses Hipotalamus 18

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peningkatan populasi dapat menyebabkan masalah kesehatan yang
mempengaruhi kehidupan manusia. Peningkatan ini dilihat dari tingginya jumlah
penduduk serta angka kelahiran yang meningkat (Indraswari & Yuhan, 2017).
Pada tahun 2018, jumlah penduduk Indonesia menurut Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) mencapai 266,79 juta jiwa (United Nation Population Division
2017).
Selain jumlah penduduk yang meningkat, Total Fertility Rate (TFR)
Indonesia masih berada pada angka 2,6 di tahun 2012. Menurut data United
Nations (UN), angka TFR Indonesia tersebut tergolong tinggi. Meskipun pada
tahun 2015 sudah mengalami sedikit penurunan menjadi sebesar 2,5, tetapi TFR
tersebut masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara lain.
Kondisi TFR di atas dapat menyebabkan angka kelahiran meningkat
sehingga jumlah penduduk semakin tinggi. Hal ini yang dapat mempengaruhi
perkembangan sosial, ekonomi dan teknologi sehingga menyebabkan kemiskinan
dan polusi di negara-negara berkembang seperti di Indonesia (Singh et al. 2018).
Upaya pemerintah untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk dilakukan
melalui program keluarga berencana (Bernadus dkk. 2013). Salah satu kebijakan
program KB adalah memberikan pelayanan kontrasepsi yang berkualitas, agar
dapat meningkatkan kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual penggunanya
(Handayani dkk. 2012). Namun, metode kontrasepsi yang ideal yang ditawarkan
pemerintah baik untuk wanita maupun pria belum ideal dan optimal. Hal ini
dikarenakan keikutsertaan pria dalam ber-KB masih sangat rendah sebab belum
tersedianya sarana KB yang benar-benar aman dan nyaman bagi pria. Upaya
peningkatan keikutsertaan pria dalam ber KB perlu dilakukan melalui penelitian
obat antifertilitas yang dapat digunakan oleh kaum pria (Delfita 2014).
Salah satu tanaman tradisional yang dapat dijadikan antifertilitas adalah
tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas). Tanaman jarak (Jatropha curcas)

v
merupakan tanaman yang termasuk famili Euphorbiaceae. Tanaman ini memiliki
nilai ekonomis tinggi karena biji yang dihasilkan dapat bermanfaat untuk bahan
baku obat dan penghasil minyak. Menurut Sharma et al. (2012) tanaman jarak
pagar (Jatropha curcas) memiliki berbagai aktivitas farmakologi diantaranya biji
tanaman jarak digunakan untuk pengobatan arthritis, asam urat dan sebagai
kontrasepsi pada tikus betina. Selain itu, biji dari tanaman jarak pagar juga
mampu mengecilkan testis, diameter tubulus seminiferus, dan menurunan jumlah
spermatogenia (Barros et al. 2015). Buah dari tanaman jarak pagar juga mampu
menurunkan motilitas dan jumlah sperma serta memiliki aktivitas sebagai
abortivum (Shweta et al. 2011).
Menurut Cavalcante et al. (2020) kandungan kimia yang terdapat pada biji
jarak pagar adalah flavonoid, alkaloid, triterpenoid, kumarin, monoterpenoid,
diterpenoid. Menurut Wiratmini (2010), Flavonoid mampu merangsang
pembentukan estrogen dalam tubuh yang akan meningkatkan kadar estrogen.
Kadar estrogen akan memberikan umpan balik negatif ke hipofisis anterior, yaitu
tidak melepaskan FSH dan LH. Penurunan kadar LH menyebabkan gangguan
terhadap sekresi testosteron oleh sel leydig. Dengan adanya gangguan terhadap
sekresi testosteron maka motilitas spermatozoa menjadi terganggu. Hormon
testoteron memiliki korelasi dengan tingkat libido yaitu semakin tinggi kadar
hormon testoteron maka diikuti semakin tinggi tingkat libido (Rachmawati dkk.
2014). Kandungan kimia yang terkandung dalam biji jarak pagar adalah asam
lemak, sterol, campesterol, stigmasterol, beta-sitosterol, delta5- avenasterol. Beta-
sitosterol merupakan komponen terbesar yang terkandung dalam biji jarak pagar
(Debnath & Bisen 2008). Senyawa beta-sitosterol termasuk dalam golongan
senyawa sterol pada tumbuhan/fitosterol. Senyawa sterol merupakan turunan dari
senyawa steroid.
Aktivitas antifertilitas dari ekstrak etanol 70% biji jarak (Jatropha curcas)
terbukti dapat menurunkan spermatozoa, bobot testis, diameter tubulus
seminiferus, spermatosit pakiten dan sel sertoli secara bermakna jika
dibandingkan dengan hewan kontrol (Arini 2012) . Eksplorasi aktivitas kemudian
dikembangkan dengan menggunakan ekstrak dengan pelarut etil asetat dan n-
heksan. Pemberian ekstrak etil asetat biji jarak pagar dengan dosis 5 mg/kg BB,

vi
25 mg/kg BB, dan 50 mg/kg BB selama 48 hari pada tikus jantan dapat
menurunkan spermatozoa, bobot testis dan diameter tubulus seminiferus secara
bermakna secara statistik jika dibandingkan dengan hewan kontrol. Selain itu
pemberian ekstrak dengan dosis 5 mg/kg BB, 25 mg/kg BB, dan 50 mg/kg BB
selama 48 hari pada tikus jantan juga mempengaruhi proses spermatogenesis yang
diindikasikan dengan penurunan jumlah spermatosit dan jumlah sel sertoli
(Larasaty 2013). Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Maula (2014) yang
menggunakan ekstrak n-heksan biji jarak pagar (Jatropha curcas).
Dari penelitian tersebut dikemukakan bahwa biji jarak pagar dapat
menyebabkan infertilitas pada tikus jantan. Semakin besar dosis yang diberikan,
maka semakin besar pula pengaruhnya terhadap penurunan konsentrasi
spermatozoa, bobot testis, diameter tubulus seminiferus. Selain itu, mempengaruhi
proses spermatogenesis yang diindikasikan dengan penurunan jumlah spermatosit
dan jumlah sel sertoli. Aktivitas dari ekstrak biji jarak pagar yang diekstraksi
menggunakan etil asetat sebagai pelarutnya menunjukkan aktivitas yang lebih
baik dalam beberapa parameter jika dibandingkan dengan pelarut etanol dan n-
heksan yaitu berat testis dan ...... spermatosit parkiten (Arini 2012; Larasaty 2013;
Maula 2014).  JANGAN DITAMPILKAN DALAM BENTUK TABEL TAPI
CERITA DALAM BENTUK PARAGRAF SECARA SINGKAT.
PEMBANDINGNYA HARUS DG DOSIS YG SAMA
Berikut tabel perbandingan hasil dari ketiga pelarut tersebut:

Parameter Etanol 70% N-Heksan Etil Asetat

Berat Testis 1,7230 (Dₒ = 50 1,450 (Dₒ = 50 1,3255 (Dₒ = 25


mg/kgBB) mg/kgBB) mg/kgBB)

Konsentrasi 43 (Dₒ = 50 36 (Dₒ = 25 38,37 (Dₒ = 25


Spermatozoa mg/kgBB) mg/kgBB) mg/kgBB)

Diameter Tubulus 160,38 (Dₒ = 50 160,38 (Dₒ = 50 161,08 (Dₒ = 50


Seminiferus mg/kgBB) mg/kgBB) mg/kgBB)

Spermatosit Parkiten 43,27 (Dₒ = 25 865,40 (Dₒ = 25 43,47 (Dₒ = 25


mg/kgBB) mg/kgBB) mg/kgBB)

Sel Sertoli 7,25 (Dₒ = 5 - 7,25 (Dₒ = 5


mg/kgBB) mg/kgBB)

vii
Hal ini melatarbelakangi penulis melakukan penelitian lebih lanjut
mengenai pengaruh aktivitas antifertilitas ekstrak etil asetat biji jarak pagar
(Jatropha curcas) terhadap kadar hormonal testoteron dan libido pada tikus putih
jantan.

B. Permasalahan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat
diambil rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apakah ada pengaruh pemberian ekstrak etil asetat biji jarak pagar (Jatropha
curcas) terhadap kadar testosteron pada tikus putih jantan?
2. Apakah ada pengaruh pemberian ekstrak etil asetat biji jarak pagar (Jatropha
curcas) terhadap penurunan libido pada tikus putih jantan?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian uji antifertilitas ekstrak etil asetat biji jarak pagar (Jatropha
curcas) pada tikus putih jantan galur Sprague-Dawley bertujuan untuk :
1. Menguji aktivitas ekstrak etil asetat dari biji jarak pagar (Jatropha curcas)
terhadap kadar testosteron pada tikus jantan galur Sprague-Dawley.
2. Menguji aktivitas ekstrak etil asetat dari biji jarak pagar (Jatropha curcas)
terhadap penurunan libido pada tikus jantan galur Sprague-Dawley.

D. Manfaat Penelitian
Dapat memperoleh bahan antifertilitas alami yang bersumber dari biji
jarak pagar dan dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam menata tumbuhan
obat dari bahan alam.

viii
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori
1. Tanaman Jarak Pagar
a. Morfologi
Tanaman jarak pagar (Jatropha curcas) merupakan tanaman perdu
tahunan dengan tinggi 1-2 meter, berbatang tegak, berkayu, bulat, bekas
menempel daun tampak jelas, percabangan simpodial, berwarna hijau. Daun
tunggal, tersebar, lonjong, tepi bertoreh, ujung runcing, pangkal membulat, lebar
20-26 cm, panjang 25-30 cm, pertulangan menyirip, berwarna hijau. Bunga
majemuk, bentuk karang, berkelamin dua, kelopak bercangap, benang sari
delapan, bunga betina berdiri sendiri, tangkai putik tiga, berwarna merah. Buah
kendaga, masih muda hijau setelah tua hitam. Biji keras berbentuk ginjal berwarna
putih kehijauan. Akar tunggang berwarna putih kotor (Widyaningrum 2019).

Gambar 1 Tanaman Jarak Pagar (kiri), buah (tengah) dan biji


(kanan) (Bambang Santoso 2010)

b. Sistematika Tumbuhan
Tanaman jarak pagar memiliki sistematik sebagai berikut : (USDA 2015):
Kingdom : Plantae

ix
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida - Dicotyledons
Sub kelas : Rosidae
Ordo : Euphorbiales
Familia : Euphorbiaceae / Spurge
Genus : Jatropha L.
Spesies : Jatropha curcas L.
c. Habitat
Tanaman jarak pagar menjadi pilihan yang layak karena tanaman jarak
pagar dapat hidup di lahan kritis. Keberadaan lahan kritis mencapai enam juta
hektar di wilayah Indonesia Timur dapat digunakan untuk pengembangan jarak
pagar. Tanaman jarak pagar mudah ditanam dan dapat tumbuh pada hampir semua
jenis tanah. Tanaman jarak pagar juga mudah diperbanyak, tidak disukai ternak
sehingga penanaman di lapangan tidak terganggu oleh hewan ternak (Santoso
2010).
Tanaman biji jarak pagar ditanam penduduk sebagai tanaman pagar.
Tanaman jarak pagar tumbuh sangat baik di daerah tanah yang tidak begitu subur
atau daerah gersang mempunyai iklim sangat panas sehingga tumbuhan tanaman
jarak pagar bisa tumbuh dengan baik. Menurut Mahmud (2006) menyatakan jarak
pagar dapat tumbuh pada tanah dengan ketersediaan air dan unsur hara yang
terbatas (marjinal), bahkan jika kondisi perakarannya telah berkembang dengan
baik, jarak pagar dapat tumbuh (toleran) pada lahan yang masam. Jarak pagar juga
dapat ditanam pada daerah berbatu, berlereng, dan berbukit, atau sepanjang
saluran air dan batas kebun (Retnowati & Surahman 2013).
d. Budidaya Tanaman Jarak Pagar
Sebagai tanaman tahunan yang menghasilkan biji dan dapat hidup hingga
lebih dari 50 tahun, tanaman jarak pagar sangat sensitive terhadap perubahan
lingkungan termasuk iklim sehingga mengakibatkan produksinya berfluktuasi
mengikuti perubahan lingkungan (Hadi 2019). Syarat tumbuh, teknik budidaya

x
serta iklim yang sesuai perlu diketahui dengan baik sebab dapat mempengaruhi
produktivitas yang diperoleh.
Tanaman ini dapat tumbuh pada curah hujan 200-1500 mm/tahun dengan
curah hujan optimum 625 mm/tahun. Tanaman jarak pagar dapat tumbuh pada
berbagai jenis tanah, antara lain di tanah berbatu, tanah berpasir, tanah liat,
bahkan di tanah yang kurang subur (Syah 2006). Kisaran suhu yang sesuai untuk
menanam jarak adalah 20-26 °C. Pada daerah dengan suhu terlalu tinggi (di atas
35 °C) atau terlalu rendah (di bawah 15°C) akan menghambat pertumbuhan serta
mengurangi kadar minyak dalam biji dan mengubah komposisinya (Hambali
2007).
Jarak pagar dapat tumbuh di daerah yang beriklim tropik maupun sub-
tropik. Suhu yang tinggi maupun rendah tidak akan mematikan tanaman ini.
Kebutuhan air untuk pertumbuhannya sangat rendah dan dapat terus tumbuh pada
kondisi kekeringan yang cukup lama dengan cara menggugurkan daunnya untuk
beradaptasi. Walaupun tanaman jarak pagar dapat tumbuh dimana saja,
pertumbuhan dan perkembangan maksimal yang memberikan hasil (produksi biji)
yang maksimal tentunya membutuhkan kondisi lingkungan yang cocok. Wilayah
pengembangan jarak pagar sesuai dengan kondisi iklim yang ada di Indonesia
menjadi tiga yaitu daerah basah sampai sangat basah, sedang dan daerah kering
sampai sangat kering. Daerah basah sampai sangat basah adalah daerah dimana
bulan basah (curah hujan ≥ 100 mm/bulan) terjadi selama ≥ 10 bulan berturut-
turut, daerah sedang dengan bulan basah 6-9 bulan berturut-turut, dan daerah
kering sampai sangat kering bulan basah ≤ 5 bulan (Santoso 2010).
e. Kandungan Kimia Tanaman Jarak Pagar
Beberapa komponen kimia yang terkandung dalam tanaman jarak pagar
(Jatropha curcas) yaitu minyak, protein, mineral, fenolik, dan asam lemak dalam
biji jarak pagar (Salih & Yahia 2019). Isolasi dari bagian tanaman jarak pagar
menemukan kandungan alkaloid, peptida siklik, terpenoid (Sabandar et al. 2013).
Selain itu, biji jarak mengandung Jatrophone, flavonoid, dan alkaloid (Wahyu
dkk. 2016). Pada ekstrak etanol biji jarak pagar terbukti mengandung alkaloid,
flavonoid, tanin dan saponim (Alexander et al. 2016). Pada ekstrak etil asetat biji
jarak pagar terbukti mengandung alkaloid, steroid, dan saponin (Larasaty 2013).

xi
Getahnya mengandung alkaloid Jatrophine yang berkhasiat anti kanker.
Selain itu, jarak pagar mengandung saponin, flavonoid, dan polifenol. Menurut
penelitian (Nurmillah 2009), kandungan kimia dari tumbuhan jarak pagar yaitu
pada daun mengandung saponin, flavonoida, tannin dan senyawa polifenol.
Batang mengandung saponin, flavonoid, tannin dan senyawa-senyawa polifenol.
Getahnya mengandung tannin, flavonoid dan saponin. Bijinya mengandung
berbagai senyawa alkaloida, saponin, dan sejenis protein beracun yang disebut
curcin. Biji mengandung 35–45% minyak lemak, yang terdiri dari berbagai
trigliserida asam palmitat, stearat, dan kurkanolat.
f. Manfaat Tanaman Jarak Pagar
Olahan dari beberapa bagian tanaman jarak pagar baik itu biji, daun, kulit
kayu dapat digunakan sebagai obat tradisional. Daun segar jarak pagar dapat
mengobati bengkak, gatal-gatal, eksema, jamur, lepra, borok, penyubur rambut
dan mengobati rheumatic. Dalam farmakologi Cina dan pengobatan tradisional
lain disebutkan bahwa tanaman ini memiliki sifat rasa pahit, astringens, sejuk,
beracun (Widyaningrum 2019). Dengan menggunakan ekstrak biji jarak pagar
dapat mengobati penyakit atritis, gout, penyakit kuning, kejang, konstipasi, diare,
demam, dan inflamasi (Alexander et al. 2016).
Beberapa bagian tanaman jarak pagar mempunyai banyak manfaat. Bijinya
sebagai bahan pembuat biodiesel, sabun dan pestisida. Bagian daun dapat
digunakan sebagai makanan ulat sutra, atau insektisida. Ekstrak daun juga
mengandung antiseptik. Tanaman jarak pagar juga memiliki multi fungsi. Tidak
hanya sebagai bahan bakar, tanaman ini juga dapat berfungsi sebagai bahan obat,
bahan pewarna, bahan penyamak. Selain itu, hasil sampingan (by product)
pengusahaan tanaman ini sebagai bahan bakar dapat dimanfaatkan sebagai bahan
pakan ternak, bahan pupuk (kompos), dan juga bahan bakar berbentuk briket
(Santoso 2010).
Pada penelitian Wahyu (2016) dilaporkan bahwa tanaman jarak pagar
terbukti dapat menurunkan jumlah spermatozoa, spermatozoa motil, berat testis,
dana diameter testis pada mencit jantan (Mus musculus) dengan dosis yang
berbeda selama 36 hari.

2. Simplisia dan Ekstrak

xii
a. Simplisia
Simplisia tumbuhan obat merupakan bahan baku proses pembuatan
ekstrak, baik sebagai bahan obat atau produk. Dalam buku Materia Medika
Indonesia ditetapkan definisi bahwa simplisia adalah bahan alamiah yang
dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan
kecuali dikatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan.
Simplisia dibedakan menjadi simplisia nabati, simplisia hewani, dan
simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa
tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan
ialah isi sel yang secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel yang dengan
cara tertentu dikeluarkan dari selnya atau senyawa nabati lainnya yang dengan
cara tertentu dipisahkan dari tumbuhannya dan belum berupa senyawa kimia
murni (Anonim 2000).
b. Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi
senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut
yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau
serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah
ditetapkan (Anonim 2000).
Ada beberapa jenis ekstrak yakni ekstrak cair, ekstrak kental dan ekstrak
kering. Ekstrak cair adalah sediaan dari simplisia nabati yang mengandung etanol
sebagai pelarut atau sebagai pengawet. Jika tidak dinyatakan lain pada masing-
masing monografi tiap ml ekstrak mengandung senyawa aktif dari 1 g simplisia
yang memenuhi syarat. Ekstrak cair jika hasil ekstraksi masih bisa dituang
biasanya kadar air lebih 30%. Ekstrak kental jika memiliki kadar air antara 5-
30%. Ekstrak kering jika mengandung kadar air kurang dari 5% (Saifudin dkk.
2011).

3. Ekstraksi
Ekstraksi merupakan salah teknik pemisahan kimia untuk memisahkan
atau menarik satu atau lebih komponen atau senyawa-senyawa (analit) dari suatu
sampel dengan menggunakan pelarut tertentu yang sesuai. Pada ekstraksi ini
prinsip pemisahan didasarkan pada kemampuan atau daya larut analit dalam

xiii
pelarut tertentu. Dengan demikian palarut yang digunakan harus mampu menarik
komponen analit dari sampel secara maksimal (Leba 2017). Metode ekstraksi
berdasarkan ada tidaknya proses pemanasan dapat dibagi menjadi dua macam
yaitu ekstraksi cara dingin dan ekstraksi cara panas :
a. Ekstraksi cara dingin
1.) Maserasi atau dispersi
Maserasi merupakan metode ekstraksi dengan menggunakan
pelarut diam atau dengan adanya pengadukan beberapa kali pada suhu
ruangan dengan merendamkan bahan dan sekali-sekali dilakukan
pengadukan. Kelebihan dari metode ini yaitu efektif unutk senyawa yang
tidak tahan panas, sederhana, murah, dan mudah didapat. Namun metode
ini juga memiliki kelemahan yaitu waktu ekstraksi lama, volume pelarut
yang tinggi, kelarutan yang rendah dalam suhu ruangan (Sarker et al.
2006).
2.) Perkolasi
Merupakan metode ekstraksi dengan bahan yang disusun secara
unggun dengan menggunakan pelarut yang selalu baru sampai prosesnya
sempurna dan umumnya dilakukan pada suhu ruangan. Kelebihan dari
metode ini yaitu tidak diperlukan proses tambahan untuk memisahkan
padatan dengan ekstrak, sedangkan kelemahan metode ini adalah jumlah
pelarut yang dibutuhkan cukup banyak dan proses juga memerlukan
waktu yang cukup lama, serta tidak meratanya kontak antara padatan
dengan pelarut (Sarker et al. 2006).

b. Ekstraksi cara panas


1.) Refluks
Merupakan metode ekstraksi yang dilakukan pada titik didih
pelarut tersebut, selama waktu dan sejumlah pelarut tertentu dengan
adanya pendingin balik (kondensor). Kelebihannya adalah padatan yang
memiliki tekstur kasar dan tahan terhadap pemanasan langsung dapat
diekstrak dengan metode ini. Kelemahan metode ini adalah
membutuhkan jumlah pelarut yang banyak (Irawan 2010).
2.) Soxhlet

xiv
Merupakan ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru, umumnya
dilakukan menggunakan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi konstan
dengan adanya pendingin balik (kondensor) sedangkan yang dipanaskan
hanyalah pelarutnya. Kelebihan adalah proses ekstraksi berlangsung
secara kontinu, memerlukan waktu ekstraksi yang lebih sebentar dan
jumlah pelarut yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan metode
maserasi atau perkolasi. Kelemahannya dari metode ini adalah dapat
menyebabkan rusaknya solute atau komponen lainnya yang tidak tahan
panas karena pemansan ekstrak yang dilakukan secara terus menerus
(Sarker et al. 2006; Tiwari et al. 2011).

4. Tinjauan Hewan Percobaan


a. Klasifikasi Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Klasifikasi tikus putih adalah sebagai berikut : (Akbar 2010)
Regnum : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Bangsa : Rodentia
Keluarga : Muridae
Anak keluarga : Murinae
Marga : Rattus
Jenis : Rattus norvegicus L

Gambar 2 Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Sprague


Dawley (Akbar 2010)

xv
b. Biologi Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Keberadaan hewan model (hewan coba) sangat dibutuhkan untuk
menjawab permasalahan permasalahan tersebut melalui penelitian in vivo
(Ihedioha et al. 2012).
Tikus putih memiliki beberapa sifat yang menguntungkan sebagai hewan
uji penelitian di antaranya perkembangbiakan cepat, mempunyai ukuran yang
lebih besar dari mencit, mudah dipelihara dalam jumlah yang banyak. Tikus putih
juga memiliki ciri-ciri morfologis seperti albino, kepala kecil, dan ekor yang lebih
panjang dibandingkan badannya, pertumbuhannya cepat, temperamennya baik,
kemampuan laktasi tinggi, dan tahan terhadap arsenik tiroksid. Tikus termasuk
hewan yang bersifat poliestrus, memiliki siklus reproduksi yang sangat pendek.
Setiap siklus lamanya berkisar antara 4-5 hari. Ovulasi sendiri berlangsung 8-11
jam sesudah dimulainya tahap estrus. Folikel yang sudah kehilangan telur akibat
ovulasi akan berubah menjadi korpus luteum (KL), yang akan menghasilkan
progesteron atas rangsangan LH. Progesteron bertanggung jawab dalam
menyiapkan endometrium uterus agar reseptif terhadap implantasi embrio (Akbar
2010).
c. Galur Sprague dawley
Tikus Sprague dawley merupakan jenis tikus albino yang digunakan
secara ekstensif dalam riset medis. Jenis tikus dengan galur ini merupakan hewan
yang representatif karena peredaran darah, kelengkapan organ, sistem reproduksi,
kebutuhan nutrisi, pernapasan, metabolisme biokimia, dan sistem ekskresinya
menyerupai manusia. Ciri-ciri galur ini adaah kepala yang sempit dan bertubuh
panjang, mata tikus berwarna merah, ekor yang panjang, rambut halus, serta
telinganya yang pendek dan tebal (Akhtar 2013). Keuntungan utamanya adalah
ketenangan dan kemudahan penanganannya (Kusumawati 2004).
Ciri-ciri galur Sprague-Dawley yaitu bertubuh panjang dengan kepala
lebih sempit, telinga yang tebal dan pendek dengan rambut halus. Mata tikus putih
berwarna merah dan ciri yang paling terlihat adalah ekornya yang lebih panjang
dari tubuhnya. Tikus memiliki lama hidup berkisar antara 4-5 tahun dengan berat
badan umum tikus jantan berkisar antara 267-500 gram dan betina 225-325 gram

xvi
(Sirois 2005). Galur ini memiliki pertumbuhan yang cepat, tempramen yang baik
dan kemampuan laktasi yang tinggi (Carere & Maestripieri 2013).
d. Sistem Reproduksi Tikus Putih Jantan
Testis merupakan kelenjar utama dalam sistem reproduksi jantan yang
bertanggung jawab terhadap produksi gamet jantan atau spermatozoa
(spermatogenesis) dan sintesis hormon jantan atau androgen (steroidogenesis).
Testis berjumlah sepasang, terletak di inguinal, tersimpan dalam kantung skrotum.
Pada mammal, testis turun dan keluar dari rongga abdomen (peritoneal) menuju
posisi ekstrakorporeal dan akhirnya masuk ke dalam skrotum (inguinoskrotal).
Proses ini dikenal sebagai descensus testiculorum yang dikendalikan oleh
androgen. Dengan posisi ini temperatur testis menjadi lebih rendah daripada
temperatur tubuh (sekitar 2–4 0C) yang diperlukan untuk spermato-genesis
(Hughes & Acerini 2008). Testis terdiri dari tubulus seminiferus yang panjang dan
berkelok-kelok, yang pada epitelnya merupakan tempat berlangsung
spermatogenesis. Ujung dari tubulus semineferus ini kemudian bermuara menuju
epididimis. Diantara tubulus seminiferus di dalam testis terdapat sel Leydig yang
merupakan sel interstisial berfungsi mensekresikan testoteron ke dalam pembuluh
darah (Barret et al. 2010).
Selain testis, terdapat kelenjar-kelenjar kelamin pelengkap (accessory sex
glands), yaitu: vesikula seminalis, kelenjar koagulasi, prostat, bulbouretralis
(kelenjar Cowper), dan ampula. Kelenjar-kelenjar ini menghasilkan berbagai
sekret yang berperan dalam transportasi spermatozoa, buffer, suplai nutrien dan
substrat metabolik untuk kehidupan spermatozoa terutama motilitas dan fertilitas,
fungsi lubrikasi, dan membentuk vaginal plug. Sekret yang dihasilkan accessory
sex glands bersama-sama dengan spermatozoa dan sekret epididimis disebut
semen (Chughtai et al. 2005; Gofur et al. 2014).

xvii
Gambar 3 Anatomi sistem reproduksi tikus jantan (Suckow 2006)

Pada hewan yang melakukan fertilisasi secara internal organ


reproduksinya dilengkapi dengan adanya organ kopulatori, yaitu suatu organ yang
berfungsi menyalurkan spermatozoa dari organisme jantan ke betina. Peranan
hewan jantan dalam hal reproduksi terutama adalah memproduksi spermatozoa
dan sejumlah kecil cairan untuk memungkinkan sel spermatozoa masuk menuju
rahim (William 2005).
Spermatogenesis berlangsung di dalam tubuli seminiferi testis.
Spermatogonia, sperma-tosit, dan spermatid berasosiasi secara spesifik
membentuk siklus spermatogenik atau staging yang bervariasi antarspecies.
Spermatogenesis meliputi beberapa fase, yaitu: mitosis, meiosis, spermiogenesis,
golgi, capping, acrosomal, dan maturasi (Hess & Franca 2008). Spermatozoa
sebagai produk spermatogenesis mengalami migrasi dari tubuli seminiferi testis
menuju epididimis untuk maturasi dan disimpan sementara. Stimulasi
menyebabkan sebagian spermatozoa dialirkan melalui vas deferens menuju
ampula untuk ditambahkan cairan dari accessory sex glands membentuk semen
yang siap diejakulasikan (OECD 2008).
e. Produksi Sperma

xviii
Produksi sperma tiap hari per testis pada tikus adalah 35,4 x 10 6/mL, tidak
berbeda signifikan dengan manusia yakni sebesar 45,5 x 10 6/mL. Tubulus
seminiferus tikus lebih tebal dari manusia yakni 347 ± 5 µm vs 262 ± 9 µm, tetapi
pembatas tubulus pada tikus lebih jauh tipis dibandingkan manusia (1,4 ± 1 µm vs
15,9 ± 3,4 µm). Epitel seminiferus tikus mengandung 40% lebih sel
spermatogenik dari volumenya, dua kali lebih banyak dari epitel seminiferus
manusia (Ilyas 2007).
Spermatozoa pada tikus lebih panjang dibandingkan dengan spesies
mamalia lainnya, termasuk manusia dan hewan lainnya dan biasanya panjangnya
sekitar 150-2000 mm. Kepala sperma pada tikus berbentuk kail hal ini sama
seperti hewan pengerat lainnya (Muhammad 2019).

Gambar 4 Spermatozoa tikus (Rouge 2004)

f. Spermatogenesis Pada Tikus


Spermatozoa merupakan hasil dari proses spermatogenesis yang terjadi di
dalam tubulus seminiferus pada testis. Proses spermatogenesis dipengaruhi oleh
hormon testosteron (Susetyarini 2011).
Spermatogenesis adalah proses terbentuknya spermatozoa dari
spermatogonium, melalui perkembangan yang kompleks dan teratur.
Spermatogenesis terjadi di dalam tubulus seminiferus testis, melalui beberapa
proses, yaiu proliferasi, deferensiasi dan transformasi. Pada tubulus seminiferus
terdapat beberapa kelompok sel yang mempunyai sel germinal yang menyusun
beberapa lapisan, setiap lapisan menunjukkan perbedaan generasi. Bagian lamina
basalis sampai lumen tubulus seminiferus akan terlihat lapisan spermatogonia,

xix
spermatosit, spermatid dan spermatozoa yang dekat dengan lumen (Widotama
2008).
Jumlah sel spermatogenik adalah jumlah sel spermatogonia, spermatosit
primer, spermatosit sekunder, spermatid dan spermatozoa yang terletak pada
tubulus seminiferus yang menandakan adanya proses spermatogenesis yang
terjadi di dalam testis. Jumlah sel spermiogenesis adalah jumlah sel spermatid dan
spermatozoa. Waktu yang diperlukan untuk pembentukan spermatogonia 3 hari,
spermatosit primer selama 16 hari, spermatosit II 26 hari, spermatid 36 hari dan
spermatozoa 49 hari (Susetyarini 2011). Spermatozoa yang terbentuk di dalam
testis disalurkan ke saluran epididimis untuk mengalami proses pematangan.

Gambar 5 Tahapan dari siklus sel spermatogenesis pada tikus,


(Krinke 2000)

Dari gambar diatas menunjukkan tahapan spermatogenesis pada tikus yang


prosesnya dimulai dari kiri bawah searah jarum jam. A, tipe spermatogonium A;
In, spermatogonium tipe intemediet; B, tipe spermatogonium B; R, spermatosit
primer resting; L, spermatosit leptotene; Z, spermatosit zygotene; P(I), P(VII),
P(XII), awal, pertengahan dan akhir spermatosit pachytene. Angka romawi
menunjukkan tahap siklus di amna mereka ditemukan; Di, diplotene; II,
spermatosit sekunder, 1-19, tahap spermiogenesis. Tabel di tengah memberikan

xx
komposisi selular dari tahapan siklus pada epitel seminferus (1-XIV). Penulisan m
menunjukkan terjadinya mitosis. Gambar di atas juga terlihat pada stage II
spermatid yang telah berekor yaitu spermatid yang telah mengalami maturase.
Sedangkan spermatozoa hanya ditemukan pada stage VII dan pada stage XII tidak
ditemukannya lagi spermatid yang matur (tidak berekor) (Krinke 2000).
Pada tikus, 14 tahapan siklus spermatogenesis terjadi di dalam tubulus
seminiferus. Tubulus memiliki susunan ruas, dan setiap potongan melintang
tubulus menunjukkan tahapan yang seragam yang melibatkan empat atau lima
generasi di sel germinal dengan sesuai. Tubulus seminiferus di tikus
dikarakterisasi oleh struktur ruas, sedangkan pada manusia dan hewan domestik
lain biasanya menunjukkan pola mosaik di beberapa tahap. Pada tikus, dibutuhkan
12 hari untuk menyelesaikan satu siklus yang terdiri dari 14 tahap.
Spermatogenesis tikus membutuhkan empat siklus sampai akhirnya membentuk
spermatozoa, sehingga diperlukan 48 hari unutk menyelesaikan seluruh tahap
spermatogenesis (Krinke 2000).
g. Hormon Yang Mempengaruhi Spermatogenesis
Spermatogenesis adalah proses kompleks yang dikontrol oleh endokrin
dan regulatory factors lainnya (Lucas et al. 2011). Spermatogenesis difasilitasi
oleh keberadaan hormon-hormon. Androgen adalah hormon yang disintesis dari
kolesterol oleh sel-sel leydig testis (Brinkmann 2009) dan berperan dalam
mengatur spermatogenesis dengan cara berikatan dengan Androgen Reseptor
Intraseluler. Bansal et al. (2015) melaporkan bahwa AR berperan sangat penting
pada proses diferensiasi seksual pejantan. Terdapat dua hormon androgen utama
yaitu testosteron dan 5α-dihydrotestosteron. Testosteron dan 5α-dihidrotestosteron
berperan dalam inisiasi, pemeliharaan dan restorasi spermatogenesis (Hasbi &
Gustina 2018). Spermatogenesis difasilitasi oleh keberadaan hormon-hormon
yang lain, tetapi hanya hormon testosteron yang berperan sangat penting dalam
memelihara dan menjaga spermatogenesis. Testosteron disintesis oleh sel Leydig
testis sebagai respon terhadap stimulasi LH dan berperan penting untuk
memelihara spermatogenesis (Smith & Walker 2014). Hal ini menunjukkan
bahwa keberadaan hormon androgen sangat penting untuk keberlangsungan
spermatogenesis secara normal. Hormon androgen dihasilkan di sel-sel Leydig

xxi
testis dan fungsi utamanya dalam regulasi spermatogenesis (Wang et al. 2009;
Ivell et al. 2013).

Gambar 6 Poros hipotalamus – hipofisi – gonad dari WHO (World


Health Organization) 2002 (Ankley & Johnson 2004)

Spermatogenesis dimulai pada saat pubertas karena adanya peningkatan


sekresi gonadotropin (FSH dan LH) dari hipofisis anterior. FSH dianggap
hormone penting unutk induksi spermatogenesis dan merangsang secara langsung
pada tubulus seminiferous, karena spermatogenesis lengkap pada tikus
hypophysectomies dipulihkan oleh pemberian FSH dalam kombinasi dengan LH
dan testosteron. Di sisi lain, efek spermatogenesis dari LH, kadang-kadang
disebut Interstitial Cell Stimulating Hormone (ICSH) pada pria, karena tindakan
androgenic pada sel-sel Leydig di interstitial, dianggap dimediasi oleh androgen,
setidaknya pada tikus. Dalam hal ini, sekresi LH juga merangsang sintesis
testosterone di sel Leydig pada testis (Krinke 2000).
Di bawah ini, akan dijelaskan hormon-hormon yang mempengaruhi
spermatogenesis sebagai berikut :
1.) Testosteron
Testosteron merupakan salah satu hormon steroid. Semua hormon
steroid mamalia dibentuk dari kolesterol lewat pregnenolon melalui
serangkaian reaksi yang terjadi di dalam mitokondria atau retikulum

xxii
endoplasma sel adrenal. Turunnya kadar kolesterol dalam darah
menyebabkan berkurangnya bahan pembentuk hormon steroid, salah
satunya adalah testosteron. Testosteron dan follicle stimulating hormone
(FSH) berperan dalam proses spermatogenesis yang terjadi pada tubulus
seminiferus testis. Adanya penurunan testosteron memberikan pengaruh
terhadap struktur testis antara lain diameter tubulus seminiferus dan sel-sel
spermatogenik (Setyawati dkk. 2017).
Testosteron adalah androgen dalam testis yang bertanggung jawab
untuk mendukung spermatogenesis. Dengan tidak adanya testosteron atau
reseptor androgen fungsional (AR), laki-laki akan mengalami infertil karena
spermatogenesis kurang berkembang pada proses meiosis. Testosteron
diproduksi oleh sel Leydig di interstitial testis (Walker 2011).
Hormon testosteron diperlukan untuk memulai proses meiosis sel-sel
spermatosit. Testosteron berperan pada pembelahan profase meiosis pertama
tahap diakinesis, yaitu pada saat dimulainya pembelahan metafase (Elpiana
2011). Testosteron merupakan hormon androgen terpenting yang memicu
pembentukan sel-sel spermatozoa fungsional, memelihara kelenjar-kelenjar
asesori sistem reproduksi jantan, menstimulasi pertumbuhan serta
mendeterminasi karakteristik seksual sekunder jantan. Testosteron adalah
hormon vital untuk mengatur distribusi lemak tubuh, massa otot, densitas
tulang, serta kadar glukosa darah (Yahaya & Ajuogu 2014). Testosteron
merupakan hormon yang terlibat dengan sexual desire (libido) yang
memberikan stimulus seksual untuk mendorong aktivitas seksual khususnya
pada hewan jantan (Setyawati dkk. 2017).
Penurunan testosteron dapat menyebabkan turunnya nafsu seksual
(libido), spermatogenesis, dan diameter tubulus seminiferus. Bila kadar
testosteron tinggi atau rendah (di bawah ambang normal) akan berakibat
umpan balik negatif ke hipotalamus yang mengakibatkan proses
spermatogenesis terganggu. Sebaliknya apabila kadar testosteron normal,
maka akan menggertak testis untuk melakukan proses spermatogenesis
(Walker & Cheng 2015; Nurliani et al. 2005).

xxiii
2.) LH (Lutropine Hormon)
LH (lutropin atau lutrophin disekresikan oleh hipofisis anterior sel
gonadotropik. Pada pria, LH juga bisa disebut sebagai hormon perangsang
sel interstisial karena aksinya pada sel Leydig interstitial untuk membantu
steroidogenesis dan produksi testosteron. Tindakannya bersinergi dengan
tindakan FSH pada Sel Sertoli dan berperan dalam regulasi spermatogenesis
dan konsistensi dalam kualitas semen (Dutta et al. 2019).
3.) FSH (Folicle Stimulating Hormon)
FSH adalah salah satu gonadotropin hipofisis anterior yang dipicu
oleh GnRH hipotalamus frekuensi rendah. FSH dalam sinergisme dengan
testosteron bertindak untuk merangsang spermatogenik. Efek FSH pada sel
spermatogonial yang sedang berkembang adalah mediasi pada reseptor FSH
pada sel Sertoli. Reseptor FSH diaktifkan melalui disosiasi protein Gs -
subunit-linked (Dutta et al. 2019).
FSH Dihasilkan oleh sel basofil lobus anterior hipofise. Pada testis,
hormon ini mengakibatkan terpacunya Adenly cylase di dalam sel sertoli
yang berperan dalam meningkatkan produksi cyclic AMP, memacu produksi
Androgen Binding Protein (ABP) di dalam tubuli seminiferus. Hormon ini
secara tidak langsung membantu pembentukan spermatogonium menjadi
spermatid mature melalui ikatannya denga receptor pada membrane sel
Sertoli. FSH berperan penting dalam penentuan jumlah sel sertoli sehingga
mampu mempertahankan spermatogenesis (Oduwole et al. 2018).
h. Korelasi Antara Hormon Testoteron dan Libido
Testosteron adalah hormon yang terlibat dengan sexual desire (libido)
yang memberikan stimulus seksual untuk mendorong aktivitas seksual khususnya
pada hewan jantan (Rachmadi 2008). Ketersediaan testosteron yang cukup akan
menyebabkan peningkatan akumulasi testosteron, akibatnya daerah yang
mengaktifkan metabolisme otak dan mengatur libido menjadi aktif (Indrayanto
2011).
Potensi reproduksi pejantan ditentukan dari kemampuan untuk mengawini
betina dan kemampuan untuk menghasilkan sperma. Pengamatan tingkah laku
kawin sangat diperlukan untuk menentukan tingkat libido seekor pejantan.

xxiv
Peningkatan libido serta proses spermatogenesis dikendalikan oleh hormon
testosteron. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Rachmawati dkk. (2014)
mengatakan bahwa terdapat korelasi antara kadar hormon testosteron terhadap
tingkat libido dan kualitas sperma yaitu semakin tinggi kadar hormon testosteron
maka diikuti semakin tinggi tingkat libido sehingga semakin baik kualitas sperma.
Penurunan hormon testosteron menyebabkan berbagai keluhan pada laki-
laki. Keluhan dan perubahan fisik serta psikis seperti terjadinya osteoporosis,
berkurangnya massa otot, menurunnya libido, dan hilangnya mood (Widhiantara
& Rosiana 2015). Penurunan hormon juga dipengaruhi oleh penggunaan alat
kontrasepsi untuk menurunkan kesuburan alat reproduksi. Kontrasepsi yang
sering mempengaruhi adalah kontrasepsi hormonal. Kontrasepsi hormonal
memiliki efek samping positif dan efek samping negatif, dimana salah satu efek
samping negatif yang ditimbulkan adalah disfungsi seksual. Disfungsi seksual ini
termasuk gangguan hasrat, gairah seksual, lubrikasi, orgasme, dan rasa nyeri saat
bersenggama (Ramadhani dkk. 2018).
United State National Health and Social Life Survey (NHSLS)
memperkirakan bahwa sekitar 31% pria menderita disfungsi seksual seumur hidup
mereka. Keluhan yang paling sering yang dialami pasien pria dengan disfungsi
seksual adalah disfungsi ereksi dan ejakulasi dini (Ramlachan & Campbell 2014).
Disfungsi ereksi adalah ketidakmampuan yang bersifat persisten untuk mencapai
dan mempertahankan keadaan ereksi penis dalam mencapai kepuasan seksual
(Kurz 2013).

5. Metode ELISA
ELISA merupakan salah satu metode yang selama ini banyak digunakan
untuk deteksi antibodi berdasarkan prinsip ikatan antigen-antibodi spesifik
(Mufidah dkk. 2015). Prinsip kerja dari teknik ELISA berdasarkan reaksi spesifik
antara antibody dan antigen dengan menggunakan enzim sebagai penanda
(marker). Enzim tersebut akan memberikan suatu tanda terdapatnya suatu antigen
jika antigen tersebut sudah bereaksi dengan antibodi. Reaksi tersebut memerlukan
antibody spesifik yang berikatan dengan antigen.
Teknik pengujian dengan metoda ELISA dapat dilakukan dengan beberapa
metode, pemilihan tergantung dari besar molekul yang akan dideteksi, serta

xxv
tingkat sensitifitas dan spesifitas yang dikehendaki. Beberapa metode tersebut
diantaranya (Walker & Ralph 2008):
a. Direct ELISA
ELISA secara langsung adalah bentuk paling sederhana dari ELISA.
Teknik ini seringkali digunakan untuk mendeteksi dan mengukur konsentrasi
antigen pada sampel. ELISA ini menggunakan suatu antibodi spesifik
(monoklonal) untuk mendeteksi keberadaan antigen yang diinginkan pada sampel
yang diuji. Dimana antigen pasif melekat pada fase padat pada periode inkubasi.
Fase padat yang paling umum digunakan adalah sumuran plat mikrotiter. Setelah
dilakukan pencucian, antigen terdeteksi oleh penambahan antibodi yang berikatan
kovalen dengan enzim. Kemudian diinkubasi dan ditambahkan kromogen/substrat
dimana adanya aktifitas enzim akan menghasilkan warna. Semakin besar jumlah
enzim maka semakin cepat perubahan warna. Kemudian intensitas warna dibaca
dengan spektrofotometer.
b. Indirect ELISA
Pada metoda ini menunjukan bahwa warna yang ditimbulkan tidak
langsung disebabkan oleh antigen dan antibodi yang bereaksi. Dibutuhkan suatu
antibodi antispesies yang dilabel dengan enzim. Antigen secara pasif melekat pada
sumuran kemudian di inkubasi. Setelah melakukan pencucian, antibodi spesifik
diinkubasi dengan antigen. Kemudian sumuran dicuci dan setiap antibodi yang
terikat akan terdeteksi dengan penambahan antibodi antispesies yang berikatan
secara kovalen dengan enzim. Antibodi tersebut adalah antibodi yang spesifik
untuk spesies tertentu.

Metode ELISA ini memiliki keuntungan dan kelemahan sebagai berikut :


(Sakamoto et al. 2018)
Keuntungan dari metode ELISA ini adalah :
a. Prosedur sederhana
b. Spesifitas dan sensitivitas tinggi, karena reaksi antigen-antibodinya
c. Tinggi efisiensi, karena analisis simultan dapat dilakukan tanpa sampel pra-
perawatan yang rumit
d. Umumnya aman dan ramah lingkungan, karena zat radioaktif dan sejumlah
besar pelarut organik tidak diperlukan

xxvi
e. Biaya efektif, karena reagen yang digunakan murah.
Kelemahan dari metode ELISA ini adalah :
a. intensif dan mahal dalam menyiapkan antibodi karena teknik yang digunakan
canggih, dan media sel biakan yang diperlukan untuk mendapatkan antibodi
spesifik sangat mahal
b. Kemungkinan tinggi hasil positif atau negatif palsu karena tidak cukupnya
pemblokiran permukaan mikrotiter piring diimobilisasi dengan antigen.
c. Ketidakstabilan antibodi karena antibodi adalah protein yang perlu
didinginkan transportasi dan penyimpanan.

B. Kerangka Konsep
Kerangka konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

Variabel Bebas : Pemberian


Variabel Terikat : Penurunan
ekstrak biji jarak pagar
hormon testosteron dan
dengan variasi dosis yang
penurunan libido
berbeda secara peroral

Gambar 7 Kerangka konsep efek pemberian ekstrak etil asetat biji jarak
pagar (Jatropha curcas) secara oral terhadap penurunan
hormon testoteron dan penurunan libido pada tikus putih
(Rattus norvegicus) galur Sprague dawley

C. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah diuraiakan maka hipotesis
penelitian ini sebagai berikut:
H0 = Tidak terdapat pengaruh pemberian ekstrak etil asetat biji jarak pagar
(Jatropha curcas) terhadap kadar testoteron dan penurunan libido pada tikus putih
jantan.
H1 = Terdapat pengaruh pemberian ekstrak etil asetat biji jarak pagar (Jatropha
curcas) terhadap kadar testoteron dan penurunan libido pada tikus putih jantan

xxvii
BAB III
METEODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Jadwal Penelitian


Tempat penelitian yang dilakukan di Fakultas Farmasi dan Sains
Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka Jakarta, pengamatan kadar
hormonal dilakukan di Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor, pengamatan kawin
pada tikus jantan dan betina dilkukan di Laboratorium Farmakologi Fakultas
Farmasi dan Sains UHAMKA, dan ekstraksi dilakukan di Laboratorium Fitokimia
Fakultas Farmasi dan Sains Uhamka. Waktu pelaksanaan penelitian dimulai dari
Juni – Oktober.

Tabel 1 Jadwal Penelitian

No. Uraian Bulan Bulan Bulan Bulan Bulan


Kegiatan ke I ke II ke III ke IV ke V
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Telaah pustaka X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X
2 Konsultasi X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X
3 Penyusunan X X X X X X X
proposal
4 Seminar X
proposal
5 Pengajuan X
ke komisi etik
6 Pelaksanaan X X
orientasi
7 Pengumpulan X X X
data
8 Pengolahan X
data
9 Penulisan X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X
skripsi
10 Ujian X

xxviii
B. Populasi, Sampel Penelitian dan Kelompok Perlakuan
1. Populasi
Tikus putih jantan dan betina dengan galur Sprague dawley berusia 9
minggu dengan bobot 250-350 gram yang diperoleh dari Institut Pertanian Bogor
(IPB).
2. Sampel Penelitian
Sampel adalah bagian (subset) dari populasi yang dipilih dengan cara
tertentu sehingga dapat dianggap mewakili populasinya. Sampel penelitian adalah
darah tikus putih jantan (Rattus novergicus) galur Sprague dawley dan tikus
betina dengan kondisi estrus (siap kawin) . Besar sampel dihitung dengan metode
rancangan acak lengkap dapat menggunakan rumus Frederer (1977) :

(n-1) x (t-1) ≥ 15

Berdasarkan perhitungan menggunakan rumus Federer, hewan percobaan


yang digunakan dalam penelitian ini adalah 24 ekor tikus yang dibagi menjadi 4
kelompok.

3. Kelompok Perlakuan
Penelitian ini merupakan eksperimen dengan menggunakan Rancangan
Acak Lengkap (RAL) dengan beberapa kondisi.
Perlakuan di kelompokkan menjadi 4 kelompok yang terdiri dari
kelompok kontrol, kelompok ekstrak biji jarak pagar dengan dosis 5 mg/kgBB,
kelompok ekstrak biji jarak pagar dengan dosis 25 mg/kgBB, kelompok ekstrak
biji jarak pagar dengan dosis 50 mg/kgBB. Masing-masing kelompok terdiri dari
6 ekor tikus yang didalamnya terdapat 1 ekor tikus jantan dan 5 ekor tikus betina.

xxix
Tabel 2 Kelompok Perlakuan

No Kelompok Perlakuan

1. Kelompok Kelompok pembanding tanpa perlakuan


Kontrol I sebanyak 6 ekor tikus yang diberi
pembawa (Na CMC 1%) sebanyak 1 mL
serta makan dan minum

2. Kelompok Kelompok perlakuan sebanyak 6 ekor


Perlakuan II tikus yang suspensi ekstrak biji jarak
pagar (Jatropha curcas) dengan dosis
rendah yaitu 5 mg/kg BB, makan dan
minum

3. Kelompok Kelompok perlakuan sebanyak 6 ekor


Perlakuan III tikus yang suspensi ekstrak biji jarak
pagar (Jatropha curcas) dengan dosis
rendah yaitu 25 mg/kg BB, makan dan
minum

4. Keompok IV Kelompok perlakuan sebanyak 6 ekor


tikus yang suspensi ekstrak biji jarak
pagar (Jatropha curcas) dengan dosis
rendah yaitu 50 mg/kg BB, makan dan
minum

xxx
C. Pola Penelitian

Aklimatisasi Hewan Coba Hewan coba sesuai kriteria

Pengamatan kadar hormon


Perlakuan Hewan Coba
dan kawin tikus

Pengambilan data Analisis Data

D. Cara Penelitian
1. Alat
Blender biji (PHILLIPS/ Indonesia) , kertas saring (Whatman/ USA),
vaccum rotatory evaporator (EYELA/ Jepang), oven (Memmert), labu erlemeyer
(IWAKI/ Indonesia), gelas ukur (Pyrex/ Indonesia), pipet ukur, ayakan mesh 40,
timbangan analitik (AND GH-202/ USA), mortir, tabung reaksi, cawan penguap,
hot plate, corong, batang pegaduk, kandang tikus, tempat makan dan minum tikus,
timbangan hewan (Ohauss/ China), sonde tikus, centrifuge (Hettich/ Jerman),
tabung Eppendorf (Onemed) yang diisi antikoagulan berupa heparin, mikropipet
(Eppendorf Reasearch plus/ Jerman), Kit ELISA (Biozatix) dan ELISA reader
(Biotek).
2. Bahan
Biji tanaman jarak pagar (Jatropha curcas) yang di peroleh dari
BALITRO (Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat), etil asetat. Sebelum
dilakukan peneltian, tanaman di detirminasi terlebih dahulu di Herbarium
Bogoriense Botani Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor, pereaksi untuk penapisan
fitokimia (kloroform-amoniak, H2SO4, pereaksi mayer, HCl, air panas, amil

xxxi
alkohol, FeCl3, etanol), tikus Putih (Rattus norvegicus) jantan dan betina galur
Sprague dawley, pakan tikus, air minum tikus, sekam untuk kandang tikus,
NaCMC 0,1%, Progynova® sebagai penginduksi hormon esterogen bagi tikus
betina yang diperoleh dari RSPAD Gatot Soebroto , antikoagulan berupa heparin,
kit testosteron ELISA.
3. Variabel Penelitian
a. Variabel bebas
Variabel bebas pada penelitian ini adalah ekstrak biji jarak pagar
(Jatropha curcas)
b. Variabel terikat
Variabel terikat pada penelitan ini adalah pengaruh hormon testoteron dan
penurunan libido
c. Variabel Perantara
1) Variabel perantara yang dapat dikendalikan adalah jenis tikus, umur
tikus, makanan tikus, minuman tikus, dan dosis ekstrak biji jarak pagar.
2) Variabel perantara yang tidak dapat dikendalikan adalah absorbsi ekstrak
biji jarak pagar pada tikus.

4. Prosedur Penelitian
a. Pemeriksaan Simplisia
Sebelum dilakukan penelitian, biji jarak pagar terlebih dahulu di
determinasi di Herbarium Bogoriense Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi-
LIPI Bogor guna untuk memastikan kebenaran simplisia.
b. Penyiapan Simplisia
Biji jarak pagar diperoleh dari Balitro dikeringkan di bawah sinar matahari
dengan ditutupi plastik hitam untuk mencegah kerusakan senyawa-senyawa aktif
yang terdapat pada biji jarak pagar. Biji jarak pagar yang telah dikeringkan
kemudian ditumbuk. Kemudian dilakukan pengayakan menggunakan ayakan
mesh 40 sehingga dihasilkan serbuk simplisia biji jarak pagar. Serbuk simplisia
yang didapat di simpan di wadah yang kering, tertutup rapat, dan terlindung dari
cahaya.
c. Pembuatan Ekstrak

xxxii
Pada pembuatan ekstrak biji jarak pagar digunakan metode ekstraksi cara
dingin yaitu maserasi dengan menggunakan etil asetat sebagai pelarut.
Serbuk simplisia yang didapat, ditimbang kemudian dilakukan maserasi
dengan pelarut etil asetat hingga semua sampel terendam dan sekali-kali di
lakukan pengadukan. Pelarut diganti setiap 3 hari sekali. Hasil maserat disaring
sehingga diperoleh filtrat. Proses maserasi ini dilakukan hingga dihasilkan
maserat yang berwarna bening di bandingkan maserat awal, kemudian dipekatkan
dengan menggunakan rottary evaporator vaccum sampai diperoleh ekstrak kental.
Setelah jadi ekstrak kental dilakukan pengujian organoleptis, penghitungan
rendemen, kadar air, kadar debu,ABU dan penapisan fitokimia.
d. Organoleptis
Penggunaan panca indera mendeskripsikan bentuk, warna, bau, rasa
sebagai berikut :
1) Bentuk : padat, serbuk-kering, kental, cair.
2) Warna : kuning, coklat
3) Bau : aromatik, tidak berbau.
4) Rasa : pahit, manis, kelat.
e. Rendemen
Setelah melakukan pengamatan organoleptik terhadap ekstrak, hitung
rendemen ekstrak yang diperoleh menggunakan rumus sebagai berikut :
Berat ekstrak kental yang didapat
% Rendeman = x 100 %
Berat serbuk simplisia yang di ekstrak
f. Kadar air
Masukkan ekstrak dan timbang seksama dalam wadah yang telah ditara.
Keringkan kemudian ditimbang. Lanjutkan pengeringan lalu timbang kembali
sampai perbedaan dua penimbangan berturut-turut tidak lebih dari 0,25%.
g. Kadar abu
Lebih kurang 2 g sampai 3 g ekstrak yang telah digerus dan ditimbang
secara seksama dimasukkan ke dalam krus silikat yang telah dipijarkan dan ditara,
ratakan. Pijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, dinginkan timbang. Jika cara
ini arang tidak dapat dihilangkan, tambahkan air panas, saring melalui kertas
saring bebas abu. Pijarkan sisa kertas dan kertas saring dalam krus yang sama.
Masukkan filtrat ke dalam krus, uapkan, pijarkan hingga bobot tetap, timbang.

xxxiii
Hitung kadar abu terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes RI
2000).

h. Penapisan Fitokimia
Pada percobaan fitokimia dilakukan pemeriksaan terhadap kandungan
golongan senyawa kimia dari ekstrak etil asetat biji jarak pagar seperti alkaloid,
flavonoid, saponin, tanin, dan steroid/terpenoid.
1.) Golongan Alkaloid
Masukkan 5 mL larutan A dalam tabung reaksi, kemudian tambahkan
HCl 2%. Larutan dibagi 3 sama banyak dalam tabung reaksi :
a) Tabung I untuk pembanding
b) Tabung II ditambahkan 2-4 tetes reagen Dragendorff menunjukkan
adanya kekeruhan atau endapan cokelat
c) Tabung III ditambahkan 2-4 tetes reagen Meyer menunjukkan adanya
endapan putih kekuningan.
d) PEREAKSI BOUCHARDAT
2.) Golongan Flavonoid
Ekstrak kental dilarutkan terlebih dahulu dengan metanol. Kemudian,
dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan Mg. Setelah itu,
ditambahkan HCl pekat sebanyak 1 mL ke dalam tabung reaksi. Perubahan
warna larutan menjadi warna kuning, jingga, merah dan hijau menandakan
adanya flavonoid (Depkes RI 1979).
3.) Golongan Saponin
Ekstrak kental dilarutkan terlebih dahulu dengan air hangat. Setelah itu,
dimasukkan sedikit ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 10 mL
air, setelah itu didinginkan dan dikocok secara kuat sehingga terbentuk buih.
Buih setinggi 1 cm yang terbentuk menunjukkan adanya saponin (Harbone
1996).
4.) Golongan Tanin
Ekstrak kental dilarutkan terlebih dahulu dengan metanol dimasukkan ke
dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 3 tetes FeCl 3 5%. Terbentuknya warna
hijau kehitaman atau biru tua menunjukkan adanya tanin (Depkes RI 1979).
Penambahan larutan uji dengan larutan gelatin 0,5 % pada volume yang sama,

xxxiv
dan beberapa tetes larutan NaCl 10% akan memberikan adanya endapan
(Robinson 1995; Harbone 1996).

5.) Golongan Steroid dan Terpenoid


Ekstrak kental dilarutkan terlebih dahulu dengan n-heksan. Setelah itu,
dimasukkan sedikit ke dalam tabung reaksi yang kemudian ditambahkan 1
mL CH3COOH glasial dan 1 mL larutan H2SO4 pekat. Jika terdapat cincin
coklat kemerahan di antara dua pelarut menunjukkan adanya terpenoid,
sedangkan jika terbentuk cincin biru atau hijau, maka menandakan adanya
kelompok senyawa steroid (Depkes RI 1979).

i. Pembuatan Sediaan Uji dan Pembanding


1.) Pembuatan Sediaan Uji Ekstrak Etil Asetat Biji Jarak Pagar
Sediaan uji ekstrak etil asetat biji jarak pagar dibuat dengan cara
mensuspensikan dengan Na-CMC 1% dan dicukupkan dengan aquadest
hingga volume 100 ml. Volume pemberian zat pada tikus per oral yaitu 1 mL/
kgBB tikus.
2.) Pembuatan Sediaan Estradiol
Sediaan penginduksi yang digunakan untuk artrifisial estrus adalah
Estradiol valerate. Sebanyak 5 mg estradiol ditimbang kemudian ditambahkan
dengan Na CMC 1% dan digerus sampai homogen. Selanjutnya aquadest
panas ditambahkan sedikit demi sedikit sambil diaduk kemudian dicukupkan
sampai 100 mL. Volume pemberian zat pada tikus per oral yaitu 1 mL/kgBB
tikus.

j. Persiapan Hewan Coba


Sebelum percobaan, dilakukan uji fertilitas pada tikus putih jantan dengan
cara mengawinkan seluruh tikus putih jantan umur 9 minggu (umur siap kawin)
denga tikus betina. Jika pada tikus betina mengalami kehamilan maka tikus putih
jantan yang digunakan dalam kondisi fertil sehingga dapat diujikan.
Hewan coba yang akan digunakan adalah tikus putih jantan. Aklamatisasi
tikus putih jantan dilakukan di pet house Fakultas Farmasi dan Sains UHAMKA
selama 7 hari. Tikus putih di tempatkan secara acak dalam 6 tempat dengan

xxxv
masing masing tempat berisi 1 ekor tikus putih jantan dan 5 ekor tikus betina.
Dilakukan penimbangan dan penandaan pada tikus putih (Mustofa et al. 2014).
Tikus ditempatkan pada kandang dengan ukuran 40 x 30 x 20 cm yang
terbuat dari bahan plastik dan tutup berupa kawat besi. Tikus diberi makan sesuai
10% berat badan, yaitu sekitar 25-35 gram/ekor/hari. Pakan diberikan pada pagi
hari pukul 07.00 dan sore hari pukul 16.00. Air minum diberikan secara ad
libitum. Kebersihan kandang dilakukan dengan cara penggantian sekam setiap 3
hari (Garber et al 2011; Widiartini dkk. 2013).
1.) Pemberian Perlakuan
Penelitian ini menggunakan 24 ekor tikus putih jantan dan betina galur
Sprague Dawley yang diberikan 4 perlakuan yang berbeda. Masing-masing
perlakuan terdiri atas 1 ekor tikus putih jantan dan 5 ekor tikus betina.
Ekstrak etil asetat biji jarak pagar yang diperoleh disuspensikan dalam
pembawa (NaCMC 1%) dengan dosis yang telah ditentukan, diberikan secara
oral (Ahirwar et al. 2010). Pemberian ekstrak diberikan peroral satu hari
sekali setiap pagi hari dan dilakukan selama 48 hari sesuai dengan siklus
spermatogenesisi (Krinke 2000).
2.) Pengamatan Perilaku Kawin
Setelah dikelompokkan, tikus selanjutnya diaklimatisasi selama 7 hari.
Selama proses aklimatisasi, tikus diberi pakan standar berupa pelet dan
aquadest. Pada tahap ini dilakukan penimbangan berat badan setiap hari. Pada
aklimatisasi hari ke-6, tikus betina diberikan estradiol valerat pada pukul
16.00 WIB. Kemudian pada hari ke-1 sampai ke-7, tikus jantan diberi
perlakuan bahan uji per oral dan dilakukan pengamatan pada hari ke- 1, 2, 4
dan 6. Tikus jantan dimasukkan ke dalam kandang yang berisikan 5 tikus
betina yang telah diberi estradiol valerate 48 jam sebelum pengamatan secara
oral dan dibiarkan hingga terjadi introduction dan climbing.
Batasan aktivitas climbing yang diamati pada penelitian ini adalah saat
tikus jantan menunggangi tikus betina dari belakang. Sedangkan batasan
introduction yang diamati pada penelitian ini adalah saat tikus jantan
mencium atau menjilat alat kelamin tikus betina. Pengamatan dilakukan
dalam 1 jam pada 4 kali pengamatan yaitu pada hari ke-1, 2, 4 dan 6.

xxxvi
Kemudian diamati dan dihitung berapa kali terjadinya climbing dan
introduction) (Rusdi dkk. 2018).
3.) Kadar Hormon Testosteron
Selama 48 hari tikus diberikan perlakuan dengan cara memberikan
ekstrak etil asetat biji jarak pagar secara oral. Pada hari ke 0 dan 49 dilakukan
pengambilan darah melalui ekor (lateral tail vein) sebanyak ±1 mL kemudian
dimasukkan ke dalam tube. Darah dalam tube disentrifugasi dengan
kecepatan 3.000 rpm untuk memisahkan serum yang akan digunakan untuk
mengukur kadar testosteron tikus. Serum tersebut disimpan dalam freezer
suhu -200C sampai hari pengukuran (Akmal dkk. 2010).
Pengukuran kadar hormon testosteron serum dilakukan di Pusat
Penelitian Biologi-LIPI Bogor dengan menggunakan kit ELISA Testosteron
dari DRG International. Kadar hormon minimal yang dapat terdeteksi pada
kit ini adalah 0,083 ng/mL. Prosedur pengukuran hormon dilakukan
berdasarkan instruksi manual yang disertakan dalam kit. Pertama-tama setiap
25 µL dari masing-masing standar, kontrol dan sampel dimasukkan ke dalam
sumuran pada plat. Dua ratusmikro liter Enzyme Conjugate dimasukkan ke
dalam setiap sumuran dan campur secara menyeluruh selama 10 detik. Plat
diinkubasi selama 60 menit pada suhu ruang (tanpa menutup plat). Dengan
cepat isi dalam sumuran ditumpahkan kemudian masing-masing sumuran
dicuci dengan Wash Solution (400 µL setiap sumuran), proses tersebut
diulangi sebanyak tiga kali, lalu plat dibenturkan pada kertas penyerap untuk
menghilangkan sisa tetesan pada sumuran. Sebanyak 200 µL Substrate
Solution ditambahkan kedalam setiap sumuran lalu inkubasi selama 15 menit
pada suhu ruang. Reaksi enzimatik dihentikan dengan menambahkan 100 µL
Stop Solution kedalam setiap sumuran. Absorban dari tiap sumuran
ditentukan dengan menggunakan microtiter plate ELISA reader pada panjang
gelombang 450 ±10nm. Pembacaan sumuran sebaiknya dilakukan dalam 10
menit setelah penambahan Stop Solution..

xxxvii
E. Analisis Data
Data jumlah climbing dan introduction serta kadar testosteron dianalisis
secara statistika. Analisis data yang diperoleh diolah dengan menggunakan
program pengolahan data statistik SPSS 16 yang meliputi uji normalitas dan
homogenitas. Jika data terdistribusi normal dan homogen, dilanjutkan dengan uji
One Way Anova untuk mengetahui perbedaan antar kelompok kontrol dan
perlakuan dengan taraf signifikansi 95% (α = 0,05). Bila terdapat perbedaan
bermakna dilanjutkan dengan uji LSD melalui Post Hoc Test untuk mengetahui
perbedaan antara kelompok perlakuan.

xxxviii
DAFTAR PUSTAKA

Ahirwar, D., Ahirwar B., and Kharya, M. D. 2010. Effect of Ethanolic Extract of
Jatropha curcas Seeds on Estrus Cycle of Female Albino Rats. Jurnal.
Der Pharmacia Lettre, 2(6): 146-150.

Akbar, B. 2010. Tumbuahan Dengan Kandungan Senyawa Aktif Yang Berpotensi


Sebagai Bahan Antifertilitas. Adabia Press, Jakarta.

Akhtar, A. 2013. The Need to Include Animal Protection in Public Health


Policies. Journal of Public Health Policy. Oxford Centre for Animal
Ethics, England, UK. Hlm. 549–559.

Akmal, Muslim., Chanif Mahdi dan Aulanni’am. 2010. Peningkatan Konsentrasi


Testosteron pada Tikus Akibat Paparan Ekstrak Air Biji Pinang. Jurnal.
Laboratorium Embriologi dan Histologi Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh Darussalam. Hlm. 1411 - 8327.

Alexander, Z. H., Rommel, Z. H., Sergio, G. L., Ernesto, Z. F., Jorge, G. B.,
Angel, C. S., Carlos, P. M., & Alberto, S. G. 2016. Study on
Inflammation and The Nervous System of Ethanol Extract of Jatropha
curcas Seed. Pharmacognosy Journal. FMH-USMP, PERU. Hlm. 335–
340.

Ankley, G. T., & Johnson, R. D. 2004. Small Fish Models for Identifying and
Assessing the Effects of Endocrine-disrupting Chemicals. ILAR Journal.
Mid-Continent Ecology Di- vision, Duluth, Minnesota. Hlm. 471.

Anonim. 2000. Informasi Obat Nasional Indonesia, Direktorat Jendral


Pengawasan Obat dan Makanan. Depertemen Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.

Arini, W. D. W. I. 2012. Uji Antifertilitas Ekstrak Etil Asetat Biji Jarak Pagar (
Jatropha curcas L. ) Pada Tikus Jantan Galur Sprague Dawley Secara In
Vivo. Skripsi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta.

Bansal, N., Pathak, D., Uppal, V., Anuradha, & Singh, I. 2015. Androgen receptor
in buffalo testis during prenatal life: An immunohistochemical study.

xxxix
Indian J Vet Anat. Department of Veterinary Anatomy, College of
Veterinary Science, Ludhiana. Hlm. 6–8.

Barros, C. R., Rodrigues, M. A. M., Nunes, F. M., Kasuya, M. C. M., da Luz, J.


M. R., Alves, A., Ferreira, L. M. M., Pinheiro, V., & Mourão, J. L. 2015.
The Effect of Jatropha curcas Seed Meal on Growth Performance and
Internal Organs Development and Lesions in Broiler Chickens. Brazilian
Journal of Poultry Science. Universidade Federal de Viçosa, Department
of Microbiology, Campus Universitário, Viçosa, MG, Brazil. Hlm. 1–6.

Bernadus, J. D., Madianung, A., & Masi, G. 2013. Faktor-Faktor Yang


Berhubungan Dengan Pemilihan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim
(AKDR) Bagi Akseptor KB di Puskesmas Jailolo. Jurnal. Fakultas
Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Manado. Hlm. 1–10.

Brinkmann, AO. 2009. Androgen physiology: Receptor and metabolic disorders.


Rotterdam (Netherlands). University Medical Center Rotterdam.

Carere, C., & Maestripieri, D. 2013. Animal Personalities: Behavior, Physiology,


and Evolution. Chicago (USA): University of Chicago Pr.

Cavalcante, N. B., Diego da Conceição Santos, A., & Guedes da Silva Almeida, J.
R. 2020. The Genus Jatropha (Euphorbiaceae): A review on Secondary
Chemical Metabolites and Biological Aspects. Chemico-Biological
Interactions. Federal University of San Francisco Valley, Brazil. Hlm. 1-
52.

Chughtai, B., A. Sawas, R. L. O'Malley., R. R. Naik., S. A. Khan., and S.


Pentyala. 2005. A neglected gland: A review of Cowper's gland.
International Journal of Andrology. 28(2): 74–77.

Debnath, M., & Bisen, P. 2008. Jatropha Curcas L., A Multipurpose Stress
Resistant Plant with a Potential for Ethnomedicine and Renewable
Energy. Current Pharmaceutical Biotechnology. Federal University of
San Francisco Valley Petrolina-PE, Brazil. Hlm. 288–306.

Delfita, R. 2014. Potensi Antifertilitas Ekstrak Teh Hitam Pada Mencit (Mus

xl
musculus L.) Jantan. Jurnal Sainstek. Jurusan Tarbiyah STAIN,
Batusangkar. Hlm. 181–188.

Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Direktorat
Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta. Hal: 3-5, 10-12.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1979. Materia Medika Indonesia.


Jilid III. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Dutta, S., Sengupta, P., & Muhamad, S. 2019. Male Reproductive Hormones and
Semen Quality. Asian Pacific Journal of Reproduction. MAHSA
University, Malaysia. Hlm. 189–194.

Elpiana. 2011. Pengaruh Monosodium Glutamat Terhadap Kadar Hormon


Testosteron dan Berat Testis Pada Tikus Putih Jantan (Rattus
norvegicus). Tesis. Universitas Andalas, Padang.

Federer, W. T. 1977. Experimental Design Theory And Application, Third


Edition. Oxford and IBH Publishing Co, New Delhi Bombay Calcuta.

Mojab F., M. Kamalinejad, N. Ghaderi, H. V. 2003. Phytochemical Screening of


Some Species of Iranian Plants Faraz. The Central African Journal of
Medicine. School of Pharmacy, Shaheed Beheshti University of Medical
Sciences and Health Services, Tehran, Iran. Hlm. 77–82.

Hadi, R. A. 2019. Keragaan Pertumbuhan Tanaman Jarak Pagar (Jatropha


curcass) di Pembibitan Akibat Pemberian Mikoriza di Dua Lokasi
Berbeda Berdasarkan Ketinggian Tempat. Jurnal Pertanian. Fakultas
Pertanian, Universitas Winaya Mukti, Sumedang. Hlm. 43.

Hambali. 2007. Jarak Pagar, Tanaman Penghasil Biodiesel. Jurnal. Penebar


Swadaya, Jakarta.

Handayani, L., Suharmiati, S., Hariastuti, I., & Latifah, C. 2012. Peningkatan
Informasi Tentang KB: Hak Kesehatan Reproduksi Yang Perlu
Diperhatikan oleh Program Pelayanan Keluarga Berencana. Buletin
Penelitian Sistem Kesehatan. Peneliti Pusat Humaniora Kebijakan
Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Surabaya. Hlm. 289–297.

xli
Harborne, J. 1996. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Cetakan kedua. Penerjemah: Padmawinata, K. dan I. Soediro.
Penerbit ITB. Bandung.

Hasbi, H., & Gustina, S. 2018. Regulasi Androgen dalam Spermatogenesis untuk
Meningkatkan Fertilitas Ternak Jantan. Jurnal Wartazoa. Fakultas
Peternakan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Hlm. 13–22.

Hess, R. A., & Franca, L. R. De. 2008. Spermatogenesis and Cycle of the
Seminiferous Epithelium. Molecular Mechanisms in Spermatogenesis.
Department of Veterinary Biosciences, University of Illinois, Urbana.
Hlm. 1–15.

Hughes, I. A., & Acerini, C. L. 2008. Factors Controlling Testis Descent.


European Journal of Endocrinology. University of Cambridge,
Cambridge. Hlm. 75–82.

Garber, JC., Wayne, B., Bielitzki, J., Ann, L., Hendriksen, C. 2011. Guide for The
Car and Use of Laboratory Animals Eight. National Resesarch Council.
Washington D.C.

Gofur M. R, K. M. M. Hossain, R. Khaton, and M. R. Hasan. 2014. Effect of


Testosterone on Physio-Biochemical Parameters and Male Accessory
Sex Glands of Black Bengal Goat. IJETAE 4(9): 456–465

Ihedioha, J. I., Ugawuja, J. I., Moel-Uneke, O., Udeani, I. J., & Daniel-Igawe, G.
2012. Reference Values fot the Haematology Profile of Conventional
Grade Outbred Mice (Mus musculus) in Nsukka< Eastern Nigeria.
Animal Research International. University of Agriculture, Umudike,
Abia State, Nigeria. Hlm. 1601–1612.

Ilyas, S. 2007. Azoospermia dan Pemulihannya Melaui Regulasi Apoptosis Sel


Spermatogenik Tikus (Rattus sp) Pada Penyuntikan Kombinasi TU &
MPA. Disertasi. Program doktor Ilmu Biomedik FKUI. Jakarta.

Indraswari, R. R., & Yuhan, R. J. 2017. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi


Penundaan Kelahiran Anak Pertama Di Wilayah Perdesaan Indonesia:
Analisis Data Sdki 2012. Jurnal Kependudukan Indonesia. Sekolah

xlii
Tinggi Ilmu Statistik, Jakarta. Hlm. 1-12.

Indrayanto, Y. 2011. Andropause. Tesis. Fakultas Kedokteran, Universitas


Sebelas Maret, Surakarta.

Irawan, B. 2010. Peningkatan Mutu Minyak Nilam Dengan Ekstraksi Dan


Destilasi Pada Berbagai Komposisi Pelarut. Tesis. Universitas
Diponegoro, Semarang.

Ivell, R., Wade, J. D., Anand, Ivell R. 2013. INSL3 as a biomarker of Leydig cell
functionality. Biol Reprod. 88:1-8.

Kurz, M. 2013. Sexual dysfunctions: Erectile dysfunction and premature


ejaculation. Journal fur Urologie und Urogynakologie. European
Association of Urology. Hlm. 6 (Vol. 20, Issue 1).

Kusumawati, D. 2004. Bersahabat Dengan Hewan Coba. Fakultas Kedokteran


Hewan, Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Krinke, G. J. 2000. The Laboratory Rat. CA: Academic Press. San Diego. Hal :
150-152.

Larasaty, W. 2013. Uji Antiinfertilitas Ekstrak Etil Asetat Biji Jarak Pagar
(Jatropha curcas L.) Pada Tikus Putih Jantan (Rattus novergicus) Galur
Sparague Dawley.Skripsi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Leba, Maria Aloisia Uron. 2017. Ekstraksi dan Real Kromatografi, Edisi 1. CV
Budi Utama. Yogyakarta. Hal: 1. Di akses pada tanggal 21 April 2020.

Lucas, T. F. G., Pimenta, M. T., Pisolato, R., Lazari, M. F. M., & Porto, C. S.
2011. 17β-Estradiol Signaling and Regulation of Sertoli Cell Function.
Journal Spermatogenesis. Universidade Federal de São Paulo; São Paulo,
Brazil. Hlm. 318–324.

Mahmud, Z. 2006. Budidaya Jarak Pagar Untuk Sumber Energi Masa Depan.
Buletin Warta Pengembangan dan Penelitian Pertanian 28(4):2.

Maula, I. F. 2014. Uji Antifertilitas Ekstrak N-Heksana Biji Jarak Pagar (Jatropha
curcas L.) Pada Tikus Putih Jantan (Rattus novergicus) Galur Sprague
Dawley Secara In Vivo. Skripsi. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

xliii
UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Mojab, Faraz., Kamalinejad, Mohammad., Ghaderi, Naysaneh., Vahidipour,


Hamid Reza. 2003. Phytochemical Screening of Some Species of Iranian
Plants. Iranian Journal of Pharmaceutical Research. Department of
Pharmacognosy, School of Pharmacy, Shaheed Beheshti University of
Medical Sciences and Health Services, Tehran, Iran. Hlm. 77-82.

Mufidah, T., Wibowo, H., & Subekti, D. T. 2015. Pengembangan Metode ELISA
Dan Teknik Deteksi Cepat Dengan Imunostik Terhadap Antibodi Anti
Aeromonas hydrophila Pada Ikan Mas (Cyprinid carpio). Jurnal Riset
Akuakultur. Balai Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya Air
Tawar, Bogor. Hlm. 553-565.

Muhammad, A. 2019. Uji Spermatozoa pada Tikus Putih ( Rattus Norvegicus ).


September. Jurnal. Laboratorium Biokimia Jurusan Biologi Fakultas
Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri, Walisongo. Hlm. 0–7.

Mustofa, S., Anindito, A., Putri, A., Maulana, M. 2014. The Influence of Piper
retrofractum Vahl (Java’s chili) Extract Towards Lipid Profile and
Histology of Rats Coronary Artery With High-fat Diet. Jurnal. Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung, Lampung. Hlm. 52-59.

Nurliani, A., Rusmiati R., Santoso, H. B. 2005. Perkembangan Sel Spermatogenik


Mencit (Mus musculus L.) Setelah Pemberian Ekstrak Kulit Kayu Durian
(Durio zibethinus). Jurnal Penelitian Hayati. Program Studi Biologi
FMIPA Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru, Kalimantan
Selatan.

Nurmillah, O. Y. 2009. Kajian Aktivitas Antioksidan dan Antimikroba Ekstrak


Biji, Kulit Buah, Batang dan Daun Tanaman Jarak Pagar (Jatropha
curcas L.). Skripsi. Fakultas TeknologiI Pertanian Institut Pertanian
Bogor, Bogor.

Oduwole, O. O., Peltoketo, H., & Huhtaniemi, I. T. 2018. Role of Follicle-


Stimulating Hormone in Spermatogenesis. Journal in Endocrinology
Biocenter. Department of Physiology, University of Turku, Turku,

xliv
Finland. Hlm. 1–11.

OECD. 2008. Male Reproductive System. In: Endocrine Disruption: A Guidance


Document for Histologic Evaluation of Endocrine and Reproductive
Tests.. European Society of Toxicologic Pathology http://
www.eurotoxpath.org/guidelines/index.php?id=teststr. Diakses tanggal
21 April 2020.

Rachmadi, A. 2008. Kadar Gula Darah dan Kadar Hormon Testosteron Pada Pria
Penderita Diabetes Melitus. Tesis. Fakultas Kedokteran, Universitas
Diponegoro, Semarang.

Rachmawati, L., Ismaya, I., & Astuti, P. 2014. Korelasi Antara Hormon
Testosteron, Libido, Dan Kualitas Sperma Pada Kambing Bligon,
Kejobong, Dan Peranakan Etawah. Buletin Peternakan. Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta. Hlm. 8-15.

Ramadhani, Hanifa Salma, Sutyarso., Susianti. 2018. Perbandingan Domain


Disfungsi Seksual Pada Wanita Akseptor Kontrasepsi Hormonal di
Puskesmas Gisting Kabupaten Tanggamus. Jurnal. Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung, Lampung.

Ramlachan, P., & Campbell, M. M. 2014. Male sexual dysfunction. South African
Medical Journal. Faculty of Health Sciences, University of Cape Town,
South Africa. Hlm. 447.

Retnowati, I., & Surahman, M. 2013. Pertumbuhan dan Potensi Produksi


Beberapa Genotipe Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) di Tanah Masam.
Buletin Agrohorti. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hlm. 23-33.

Robinson, T. (1995). Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Terjemahan:


Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB. Bandung.
Rouge, M. 2004. Sperm Morphology. Available at:
http://www.vivo.colostate.edu/hbooks/pathphys/reprod/semeneval/morph
.html. Diakses tanggal 22 April 2020.

Rusdi, N. K., Hikmawanti, N. P. E., Maifitrianti, Ulfah, Y. S., & Annisa,


Ayyoehan T. 2018. Aktivitas Afrodisiaka Fraksi dari Ekstrak Etanol 70
% Daun Katuk ( Sauropus androgynus ( L ). Merr ) Pada Tikus Putih

xlv
Jantan. Journal Of Pharmaceutical and Research. Fakultas Farmasi dan
Sains UHAMKA, Jakarta. Hlm. 123–132.

Sabandar, C. W., Ahmat, N., Jaafar, F. M., & Sahidin, I. 2013. Medicinal
Property, Phytochemistry and Pharmacology of Several Jatropha Species
(Euphorbiaceae): A Review. Phytochemistry. Faculty of Applied
Sciences, Universiti Teknologi MARA (UiTM) Selangor, Malaysia. Hlm.
7–29.

Sakamoto, S., Putalun, W., Vimolmangkang, S., Phoolcharoen, W., Shoyama, Y.,
Tanaka, H., & Morimoto, S. 2018. Enzyme-linked Immunosorbent Assay
for the Quantitative/ Qualitative Analysis of Plant Secondary Metabolites
Journal of Natural Medicines. Kyushu University, Japan, Hlm. 32–42.

Salih, M. N. K.-E., & Yahia, E. M. 2019. Phytochemical Characterization of


Naturalized Sudanese Jatropha curcas Seed Kernels. Asian Journal of
Applied Chemistry Research. Facultad de Ciencias Naturales,
Universidad Autónoma de Querétaro, Mexico. Hlm. 1–6.

Santoso, B. Bambang. 2010. Deskripsi Botani Jarak Pagar (Jatropha curcas L.).
Arga Puji Press, Mataram, Lombok.

Saifuddin., A. Rahayu., Yuda Hilwan. 2011. Standarisasi Bahan Obat Alam.


Graha Ilmu, Yogyakarta.

Sarker, S. D., Latif Z., & Gray A. I. 2006. Natural Products Isolation. In: Sarker
SD, Latif Z., & Gray A. I, editors. Natural Products Isolation. 2nd ed.
Totowa (New Jersey).

Setyawati, I., Putra, I. G. N. A. D., & Roni, N. G. K. 2017. Histologi Tubulus


Seminiferus dan Kadar Testosteron Tikus yang Diberi Pakan Imbuhan
Tepung Daun Kaliandra dan Kulit Nanas. Jurnal Veteriner. Universitas
Udayana, Bali. Hlm. 369-377.

Shivani, Sharma., , Hitesh K.D., Bharat P., 2012. Jatropha curcas : A review.
Asian Journal Res. Phar. Sci. 2012; Vol 2, Pg 107-111.

Shweta, G., Chetna, R., Jinkal, S., Nancy, S., & Hitesh, J. 2011. Review Article

xlvi
Herbal Plants Used as Contraceptives. International Journal of Current
Pharmaceutical Review and Research. Sigma Institute of Pharmacy,
Baroda, Gujarat, India. Hlm. 47–53.

Smith, L. B., Walker, W. H. 2014. The regulation of spermatogenesis by


androgens. Semin Cell Dev Biol. 30:2-13.

Singh, R., Satinder Kakar, Manisha Shah, R. J. 2018. Some Medicinal Plants with
Anti-Fertility Potential: A Current Status. Asian Pacific Journal of
Tropical Biomedicine. Department of Pharmacy, Himachal Institute of
Pharmacy, Paonta Sahib, Himachal Pradesh, India. Hlm. 413–418.

Sirois, M. 2005. Laboratory Animal Medicine : Principles and Procedures.


United States of America: Mosby Inc.

Suckow. 2006. The Laboratory Rat. 2nd Ed.

Susetyarini, E. 2011. Jumlah sel spermiogenesis tikus putih yang diberi tanin daun
beluntas (Pluchea indica) sebagai sumber belajar. Jurnal Biologi, Sains,
Lingkungan, Dan Pembelajarannya. Jurusan Biologi FKIP Universitas
Muhammadiyah Malang, Malang. Hlm. 562–466.

Syah, Alam AN. 2006. Biodiesel Jarak Pagar bahan bakar alternatif yang ramah
lingkungan. Jurnal. PT. Agromedia Pustaka, Jakarta.

Tiwari, P., Kumar B., Kaur M., Kaur G. & Kaur H. 2011. Phytochemical
Screening and Extraction: A Review. International Pharmaceutica
Sciencia. Department of Pharmaceutical Sciences, Lovely School of
Pharmaceutical Sciences, Phagwara, Punjab. Hlm. 98-106.

USDA-NRCS. 2015. The PLANTS Database. National Plant Data Center.


https://plants.sc.egov.usda.gov/java/ClassificationServlet?
source=display&classid=JACU2. Baton Rouge. USA. Diakses pada
tanggal 21 April 2020.

Wahyu, H., Herman, R. B., & Amir, A. 2016. Pengaruh Perbedaan Dosis Ekstrak
Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas) terhadap Jumlah Spermatozoa,
Spermatozoa Motil, Berat Testis, dan Diameter Testis pada Mencit
Jantan (Mus Musculus). Jurnal Kesehatan Andalas. Fakultas Kedokteran

xlvii
Universitas Andalas, Padang. Hlm. 462–469.

Walker, John M., & Ralph, Rapley. 2008. Handbook of Molecular Biomethods.
Second Edition. Humana Press. Page 657- 677.

Walker, W. H & Cheng J. 2015. FSH and Testosterone Signaling in Sertoli Cells.
Reproduction 130(1): 15-28.

Walker, W. H. 2011. Testosterone signaling and the regulation of


spermatogenesis. Journal. University of Pittsburgh, PA USA. Hlm. 116–
120.

Wang, R. S., Yeh, S., Tzeng, C. R., Chang, C. 2009. Androgen receptor roles in
spermatogenesis and fertility: Lessons from testicular cell-specific
androgen receptor knockout mice. Endocr Rev. 30:119-132.

Widhiantara, I Gede, & Rosiana, I W. 2015. Terapi Testosteon dan LH


(Luteinizing Hormone) Meningkatkan Jumlah Sel Leydig Mencit (Mus
musculus) Yang Menurun Akibat Paparan Asap Rokok. Jurnal. Program
Studi Biologi, FIKST, Universitas Dhyana Pura, Bali. Hlm. 54–67.

Widiartini, W., Siswati, E., Setiawan, A., Rohmah, IM., & Prasetyo, E. 2013.
Pengembangan Usaha Produksi Tikus Putih (Rattus norvegicus)
Tersertifikasi Dalam Upaya Memenuhi Kebutuhan Hewan Laboratorium.
Jurnal. Universitas Diponegoro, Semarang. Hlm. 1-8.

Widotama, I G. B. Gupta. 2008. Pengaruh Isolat Herba Vernonia cinerea


Terhadap Spermatogenesis Tikus Putih. Jurnal Kimia. Instalasi Farmasi
RSUP Sanglah,Denpasar. Hlm. 117–124.

Widyaningrum, Herlina. 2019. Kitab Tanaman Obat Nusantara. Media Presindo.


Yogyakarta. Hal : 271.

William, O. R. 2005. Functional Anatomy and Physiology of Domestic Animals.


Third Edition Baltimore, Maryland. Male Reproduction chapter 13. USA.
Hal 379-399.

Wiratmini, I. 2010. Motilitas Dan Viabilitas Spermatozoa Mencit (Mus musculus


L.) Setelah Pemberian Ekstrak Temu Putih (Curcuma zedoaria (Berg.)
Roscoe.). Jurnal Biologi. Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Udayana,

xlviii
Bali. Hlm. 20-23.

Yahaya, M., & Ajuogu, P. 2014. Respose of Rabbit’s Testosterone and Estrogen
Status to Graded Levels of White Mangrove Plant (Laguncularia
racemosa). International Journal of Science & Nature. ,Faculty of
Agriculture, University of Port Harcourt, Nigeria. Hlm. 196–198.

xlix

Anda mungkin juga menyukai