Anda di halaman 1dari 45

POLA PEWARNAAN PADA UJI TETRAZOLIUM UNTUK

DETEKSI VIGOR BENIH BAWANG MERAH


(Allium ascalonicum L.)

MUHAMMAD ABDULLAH
A24130198

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pola Pewarnaan pada
Uji Tetrazolium untuk Deteksi Vigor Benih Bawang Merah (Allium ascalonicum
L.) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2017

Muhammad Abdullah
NIM A24130198
ABSTRAK

MUHAMMAD ABDULLAH. Pola Pewarnaan pada Uji Tetrazolium untuk


Deteksi Vigor Benih Bawang Merah (Allium ascalonicum L.). Dibimbing oleh
ENY WIDAJATI.
Penggunaan benih bermutu merupakan salah satu faktor penting untuk
menunjang produksi yang dihasilkan tanaman bawang merah. Informasi mengenai
mutu benih dapat diperoleh melalui uji tetrazolium yang merupakan uji cepat untuk
mengetahui viabilitas benih. Pengujian tetrazolium pada benih bawang merah
menghasilkan pola pewarnaan untuk memprediksi; kecambah normal kuat
sejumlah 5 pola, kecambah normal lemah sejumlah 7 pola, kecambah abnormal
sejumlah 5 pola, dan benih mati sejumlah 9 pola. Uji tetrazolium kriteria normal
kuat memiliki nilai koefisien korelasi (r) yang tinggi dengan parameter indeks vigor
(r = 0,769), daya berkecambah (r = 0,742), berat kering kecambah normal
(r = 0,727), dan kecepatan tumbuh (r = 0,725) pada uji fisiologis. Pola pewarnaan
kriteria normal kuat pada uji tetrazolium dapat digunakan sebagai parameter vigor
benih bawang merah.
Kata kunci: mutu benih, uji cepat, uji fisiologis, viabilitas benih

ABSTRACT

MUHAMMAD ABDULLAH. Staining Pattern on Tetrazolium Test for Shallot


Seed (Allium ascalonicum L.) Vigor Detection. Supervised by ENY WIDAJATI.
Using high quality seed is one of the main factors to support shallot
production. Information of quality seed are obtained from tetrazolium test, that
include of seed quality rapid test to find out the seed viability. Tetrazolium test of
shallot seed produce patterns of staining for predict; high seedling vigor are 5
patterns, low seedling vigor are 7 patterns, abnormal seedling are 5 patterns, and
death seed are 9 patterns. High seedling vigor criteria in tetrazolium test had big
correlation with vigor index parameter (r = 0,769), percentage of germination (r =
0,742), normal seedling dry weight (r = 0,727), and seed growth rate (r = 0,725) in
physiologic test. The staining pattern of tetrazolium test that is indicated high
seedling vigor criteria, can be use as vigor parameter of shallot seed.
Keywords: physiological test, rapid test, seed quality, seed viability
POLA PEWARNAAN PADA UJI TETRAZOLIUM UNTUK
DETEKSI VIGOR BENIH BAWANG MERAH
(Allium ascalonicum L.)

MUHAMMAD ABDULLAH
A24130198

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA


FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan karya ilmiah dengan judul
Pola Pewarnaan pada Uji Tetrazolium untuk Deteksi Vigor Benih Bawang Merah
(Allium ascalonicum L.) dapat diselesaikan dengan baik. Karya ilmiah ini
merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana. Karya ilmiah ini
secara khusus bertujuan untuk memperoleh pola pewarnaan pada uji tetrazolium
untuk kriteria vigor benih bawang merah (Allium ascalonicum L.). Kegiatan
penelitian dilaksanakan pada bulan November 2016 hingga bulan Mei 2017 di
Laboratorium Penyimpanan dan Pengujian Mutu benih serta Laboratorium Biologi
Reproduksi dan Biofisik Benih Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Eny Widajati, M.S. selaku
pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama kegiatan
penyusunan skripsi. Terimakasih juga kepada Dr. Dewi Sukma, S.P., M.Si. selaku
dosen pembimbing akademik yang telah memberikan pengarahan dan nasihat
selama penyusunan skripsi, serta kepada Dr. Ir. Ketty Suketi, M.Si., Ir. Winarso
Drajad Widodo, M.S., Ph.D., Dr. Ir. Ni Made Armini Wiendi, M.S. dan Juang Gema
Kartika, S.P., M.Si. selaku dosen teknik penulisan ilmiah yang telah membimbing
penulis. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, kakak, adik dan
seluruh kerabat Agronomi dan Hortikultura 50 yang telah memberikan doa, kasih
sayang serta semangat sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan dapat menjadi acuan dalam perkembangan
ilmu pengetahuan di masa depan.

Bogor, Agustus 2017

Muhammad Abdullah
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan 2
Hipotesis 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Budidaya Bawang Merah 2
Anatomi Benih Bawang Merah 3
Mutu Benih 3
Kemampuan Tumbuh Benih 3
Pengujian Mutu Benih 4
Uji Tetrazolium 4
METODE 5
Tempat dan Waktu Penelitian 5
Bahan dan Alat 5
Rancangan Percobaan 5
Prosedur Percobaan 6
Pengamatan Percobaan 9
Analisis Data 10
HASIL DAN PEMBAHASAN 11
Pengujian Fisiologi Benih 11
Pengujian Tetrazolium 11
Evaluasi Vigor Benih melalui Pola Pewarnaan Tetrazolium 20
KESIMPULAN DAN SARAN 21
Kesimpulan 21
Saran 22
DAFTAR PUSTAKA 22
LAMPIRAN 25
RIWAYAT HIDUP 29
DAFTAR TABEL
1. Hasil sidik ragam pengaruh lot benih terhadap parameter viabilitas 11
2. Pengaruh viabilitas benih terhadap beberapa parameter viabilitas 11
melalui uji fisiologi
3. Pola pewarnaan uji tetrazolium kriteria normal kuat 12
4. Pola pewarnaan uji tetrazolium kriteria normal lemah 13
5. Pola pewarnaan uji tetrazolium kriteria abnormal 15
6. Pola pewarnaan uji tetrazolium kriteria mati 16
7. Perbandingan uji tetrazolium dengan uji fisiologi 19
8. Hasil sidik ragam pengaruh tingkat viabilitas terhadap parameter 19
kriteria pola pewarnaan uji tetrazolium
9. Pengaruh viabilitas benih terhadap pola pewarnaan normal kuat 20
10. Nilai persamaan regresi, nilai korelasi (r) antar pengujian langsung 21
dan pola kecambah normal kuat (NK), normal (N), dan TZ (NK +
NL + Ab) pada pengujian tetrazolium

DAFTAR GAMBAR
1. Hasil pewarnaan pada beberapa periode perendaman akuades dan 7
perendaman tetrazolium
2. Skarifikasi bagian testa di sisi lengkung kotiledon 7
3. Skarifikasi pelubangan daerah di sisi radikula dan kotiledon 7
4. Skarifikasi bagian testa di sisi lengkung kotiledon serta pelubangan 8
daerah di sisi radikula dan kotiledon
5. Struktur benih bawang merah dengan perbesaran 2 x 10 12

DAFTAR LAMPIRAN
1. Hasil daya berkecambah pada 5 lot benih bawang merah 27
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Produksi bawang merah nasional menurut data kementerian pertanian pada


tahun 2014 menunjukkan adanya peningkatan sebesar 22,08% dari tahun 2013
menjadi 1.233.989 ton selaras dengan peningkatan luas panennya dari 98.933
hektar pada tahun 2013 menjadi 120.704 hektar pada tahun 2014, sedangkan pada
tahun 2015 produksinya mengalami penurunan sebesar 0,4% menjadi 1.229.189
ton tidak sebanding dengan peningkatan luas panennya dari 120.704 hektar pada
tahun 2014 menjadi 122.126 hektar pada tahun 2015 (Kementan, 2016). Penurunan
tersebut disebabkan oleh penggunaan umbi sebagai bahan tanam yang masih
digemari oleh petani untuk kegiatan budidaya bawang merah.
Kelemahan penggunaan umbi sebagai bahan tanam diantaranya
memerlukan biaya yang tinggi mencapai 40% dari total biaya produksi (Suherman
dan Basuki, 1990). Kelemahan lainnya yaitu memerlukan gudang penyimpanan dan
transportasi khusus, tidak dapat disimpan lama, dan dapat membawa penyakit dari
pertanaman sebelumnya (Permadi, 1995).
Salah satu alternatif yang potensial untuk dikembangkan dalam
memecahkan masalah perbenihan bawang merah adalah penggunaan true shallot
seed (TSS). Kelebihan penggunaan TSS adalah dapat menghasilkan tanaman
dengan produktivitas tinggi serta bebas dari penyakit dan virus, dapat
meningkatkan produksi umbi bawang merah sampai dua kali lipat dibandingkan
dengan penggunaan bahan tanam umbi (Basuki, 2009). Kebutuhan TSS lebih
sedikit dibandingkan dengan bahan tanam umbi sehingga dapat mengurangi biaya
pembelian bahan tanam dan pengangkutan yang lebih mudah (Ridwan et al.,1989;
Permadi dan Putrasamedja, 1991). Keuntungan lainnya adalah TSS dapat disimpan
lama hingga 1-2 tahun (Copeland dan McDonald, 2001).
Penggunaan benih bermutu merupakan salah satu faktor penting untuk
menunjang produksi yang dihasilkan tanaman bawang merah. Ketersediaan benih
bermutu secara kontinyu sangat penting untuk mendapatkan produksi tinggi dengan
kualitas yang prima. Kriteria mutu benih serta evaluasi yang tepat merupakan salah
satu kunci utama (Widajati et al., 2013).
Metode pengujian benih terdiri dari metode pengujian langsung dan tidak
langsung. Metode uji langsung dilakukan dengan mengamati masing-masing
individu benih, sedangkan metode uji tidak langsung dilakukan dengan cara
mengamati sekelompok benih sekaligus. Indikasi viabilitas benih terdiri dari
indikasi langsung apabila yang diamati gejala pertumbuhan seperti pada pengujian
daya berkecambah, dan indikasi tidak langsung apabila viabilitas benih
ditunjukkan melalui gejala metabolisme seperti pada uji tetrazolium (Widajati et
al., 2013).
Pengujian viabilitas benih dengan parameter daya berkecambah yang
dilakukan pada kondisi optimum seringkali belum berkorelasi dengan kemampuan
tumbuhnya di lapangan. Hal ini disebabkan adanya informasi mutu fisiologi yang
selalu dirujuk terhadap suatu standar perwujudan kecambah. Guna melengkapi
informasi mutu benih, maka uji vigor benih perlu dilakukan untuk mengetahui
kemampuan benih di lapangan yang kondisinya sub optimum (Sadjad, 1993).
Keunggulan uji tetrazolium adalah mampu memberikan informasi viabilitas
lebih cepat dibandingkan dengan uji daya berkecambah. Uji tetrazolium lebih
mudah dibandingkan dengan uji daya berkecambah karena pada uji daya
berkecambah untuk benih tertentu terkadang memerlukan perlakuan, media, dan
lingkungan tertentu. Menurut McDonald (1998), uji tetrazolium juga dapat
mendeteksi kerusakan struktur pada embrio sehingga dapat menunjukkan
kemunduran benih lebih dini.
Prinsip dasar uji tetrazolium adalah aktivitas enzim dehidrogenase yang
berperan dalam respirasi benih. Aktivitas enzim dehidrogenase akan melepaskan
ion H+ dan bereaksi dengan larutan tetrazolium sehingga membentuk endapan
formazan yang berwarna merah, stabil, dan tidak larut dalam air (ISTA, 2014).
Endapan tersebut digunakan untuk mengindikasikan bahwa benih yang diuji
memiliki embrio yang hidup dan diprediksikan dapat tumbuh menjadi kecambah
normal. Jaringan mati di dalam benih yang diuji tidak akan terjadi proses reduksi
sehingga tidak akan terjadi perubahan warna (Chapman dan Lark, 2005).
Studi pola pewarnaan uji tetrazolium diharapkan dapat menjadi parameter
vigor benih. Pola pewarnaan yang terbentuk dapat digunakan untuk mengevaluasi
vigor benih bawang merah secara cepat.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan memperoleh pola pewarnaan pada uji tetrazolium


untuk kriteria vigor benih bawang merah.

Hipotesis

1. Terdapat korelasi yang tinggi antara pengujian fisiologi dan uji tetrazolium,
sehingga pengujian tetrazolium dapat dijadikan indikator uji cepat vigor pada
benih bawang merah.
2. Dihasilkan pola pewarnaan yang dapat dikelompokkan sebagai standar untuk
membedakan benih yang berpotensi tumbuh menjadi kecambah normal kuat,
kecambah normal lemah, abnormal, dan mati.

TINJAUAN PUSTAKA

Budidaya Bawang Merah

Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan salah satu komoditas


sayur unggulan yang telah lama diusahakan oleh petani secara intensif. Bawang
merah pada dasarnya dapat dibudidayakan dengan dua teknik perbanyakan yaitu
dengan cara vegetatif (umbi) dan generatif (true shallot seed) (Brewster, 2008).
Petani lebih menyukai teknik perbanyakan vegetatif dengan menggunakan
umbi sebagai bahan tanam karena penanamannya lebih mudah dan waktu panen
lebih cepat yaitu sekitar 53-60 hari tergantung varietasnya. Kelemahan
perbanyakan vegetatif dengan menggunakan umbi sebagai bahan tanam
diantaranya kebutuhan umbi bibit tinggi yaitu 1-1,5 ton ha-1, rentan tertular
penyakit terutama virus, biaya transportasi tinggi, membutuhkan gudang atau
3

tempat penyimpanan khusus karena jumlahnya yang besar dan produktivitas rendah
(Sumanaratne dan Palipane, 2002).
Bahan tanam dengan cara generatif yaitu menggunakan biji botani atau true
shallot seed (TSS) yang memiliki beberapa keuntungan diantaranya kebutuhan
TSS sedikit berkisar 3-7,5 kg ha-1, biaya penyediaan lebih murah, penyimpanan
benih lebih mudah tidak diperlukan bangunan atau ruang yang besar untuk
penyimpanan benih karena ukuran TSS lebih kecil dibandingkan dengan umbi,
umur simpan benih lama, dapat ditanam saat dibutuhkan, mudah, dan murah untuk
didistribusikan, variasi mutu benih rendah dan produktivitas tinggi (Permadi,
1993). Penggunaan TSS sebagai bahan tanam mempunyai kelemahan yaitu harus
melewati masa pembibitan sehingga memerlukan biaya pembibitan dan waktu
panen yang lebih lama yaitu 121 hari setelah pindah tanam (Sumarni et al., 2005).

Anatomi Benih Bawang Merah

Struktur benih bawang merah terdiri atas embrio, endosperma sebagai


jaringan cadangan makanan, dan pelindung biji (testa). Ketiga komponen benih
tersebut merupakan faktor penentu dalam penilaian kriteria benih hidup dan mati
pada pengujian mutu benih (Brewster, 2008).

Mutu Benih

Mutu benih meliputi mutu genetik, fisik, dan fisiologi (Rahayu dan
Widajati, 2007). Mutu benih mencakup semua hal yang berkaitan dengan atribut
fisik, biologis, patologis dan genetis yang akan menentukan produksi tanaman.
Mutu benih sangat penting dan perlu diperhatikan karena berkaitan dengan
produktivitas tanaman di lapangan. Kemurnian secara genetik mencerminkan benih
dengan mutu genetik tertentu yang telah dideskripsikan oleh pemulia tanaman.
Mutu fisiologis benih ditentukan oleh viabilitas benih, sehingga mampu
menghasilkan tanaman yang normal (Hasanah, 2002). Mutu fisik benih berkaitan
dengan kondisi benih yang secara fisik normal dan seragam serta bebas dari
berbagai macam kotoran benih.

Kemampuan Tumbuh Benih

Viabilitas benih adalah daya tumbuh benih yang dibagi menjadi viabilitas
potensial dan vigor. Viabilitas potensial adalah kemampuan benih untuk tumbuh
normal dan berproduksi normal pada kondisi optimum. Vigor merupakan
kemampuan benih untuk tumbuh dan berproduksi normal pada kondisi sub
optimum (Widajati et al., 2013).
Faktor yang dapat mempengaruhi viabilitas benih adalah faktor genetik,
kerusakan mekanik pada bagian benih, kerusakan yang disebabkan
mikroorganisme selama masa penyimpanan benih, kondisi lingkungan seperti suhu,
kelembapan, air yang dapat mempengaruhi proses pertumbuhan benih menjadi
kecambah. Faktor-faktor tersebut menjadi penentu tingkat keberhasilan pertanaman
4

di lahan sehingga resiko kegagalan pertanaman dapat diminimalkan (Copeland dan


McDonald, 2001).

Pengujian Mutu Benih

Benih bermutu dan bersertifikat diperoleh dari hasil pengujian mutu benih.
Menurut Dermawan (2007), pengujian benih bertujuan untuk mengetahui mutu
benih suatu kelompok benih. Mutu benih dicirikan oleh viabilitas atau daya hidup
benih tersebut. Viabilitas atau daya hidup benih meliputi keterangan daya
berkecambah dan kekuatan tumbuh yang dapat ditunjukkan melalui gejala
metabolisme benih atau gejala pertumbuhan benih. Menurut Widajati et al. (2013),
daya berkecambah benih adalah parameter bagi kemampuan benih untuk tumbuh
normal dan berproduksi normal pada kondisi yang optimum. Vigor benih dilihat
dari kemampuannya berkecambah serta tumbuh dan berkembang secara normal
pada kondisi yang sub optimum.
Metode pengujian benih terdiri dari metode pengujian langsung dan tidak
langsung. Metode uji langsung dilakukan dengan mengamati kepada masing-
masing individu benih, sedangkan metode uji tidak langsung dilakukan dengan cara
mengamati sekelompok benih sekaligus. Indikasi viabilitas benih terdiri dari
indikasi langsung bila yang diamati gejala pertumbuhan seperti pengujian daya
berkecambah dan indikasi tidak langsung jika viabilitas benih ditunjukkan melalui
gejala metabolisme, bentuk fisik yang semuanya tidak menunjukkan gejala
pertumbuhan seperti uji tetrazolium (Widajati et al., 2013).

Uji Tetrazolium

Pengujian tetrazolium telah dilakukan sebagai salah satu metode uji cepat
yang cukup tepat untuk menduga viabilitas benih, sehingga dengan menggunakan
metode ini dalam waktu kurang lebih 24 jam viabilitas dari suatu lot benih dapat
diduga. Menurut Sadjad (1980), metode tetrazolium dapat mengindikasikan
viabilitas berdasarkan mati atau hidupnya sel-sel pada jaringan embrio bukan
berdasarkan perkecambahan atau perrtumbuhan benih.
Proses pada uji tetrazolium merupakan pengujian biokimia dengan
menggunakan larutan 2,3,5-trifeniltetrazolium klorida yang tidak berwarna.
Senyawa tersebut diimbibisi oleh benih dan di dalam jaringan benih yang hidup dan
akan bereaksi dengan proses reduksi dalam respirasi. Aktivitas enzim
dehidrogenase akan melepaskan ion H+ dan bereaksi dengan larutan tetrazolium
membentuk endapan formazan yang berwarna merah, stabil, dan tidak larut air.
Letak dan ukuran daerah yang terwarnai serta intensitas pewarnaan (disebut pola
topografi) menentukan klasifikasi benih viabel atau nonviabel (ISTA, 2014).
Pengamatan pola topografi dilakukan pada struktur esensial embrio yaitu plumula,
radikula dan kotiledon (Dina et al., 2007). Prinsip kerja uji tetrazolium adalah
berdasarkan perbedaan warna dari benih setelah direndam dalam larutan
tetrazolium. Jaringan dalam benih hidup akan menghasilkan suatu reaksi pada
benih dengan menimbulkan warna merah, sedangkan jika tidak menimbulkan
warna menunjukan bahwa benih sudah mati (Chapman dan Lark, 2005).
METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Percobaan dilakukan di Laboratorium Penyimpanan dan Pengujian Mutu


Benih serta Laboratorium Biologi Reproduksi dan Biofisik Benih Departemen
Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, mulai dari
bulan November 2016 hingga bulan Mei 2017.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan untuk penelitian meliputi benih bawang merah


varietas Tuk tuk yang terdiri atas beberapa lot berdasarkan waktu kadaluarsa benih.
Tingkat viabilitas 1 (V1) merupakan lot benih dengan waktu kadaluarsa April 2018
dengan daya berkecmbah 95%, tingkat viabilitas 2 (V2) merupakan lot benih
dengan waktu kadaluarsa Januari 2017 dengan daya berkecambah 73,3%, dan
tingkat viabilitas 3 (V3) merupakan lot benih dengan waktu kadaluarsa Januari
2016 dengan daya berkecambah 71,7%. Bahan lain yang digunakan dalam
penelitian ini adalah tetrazolium, larutan buffer phosphate, kertas merang, dan
akuades. Alat-alat yang digunakan adalah gelas ukur, label, cawan petri, gunting,
sprayer, alat pengecambah benih tipe IPB 73-2A, jarum, cutter, oven, mikroskop,
kamera, dan timbangan analitik.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah


menggunakan rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) dengan faktor tunggal
yaitu tingkat viabilitas (V1= 95,0%, V2= 73,3%, V3= 71,7%) yang diperoleh dari
uji daya berkecambah berdasarkan waktu kadaluarsa yang berbeda. Percobaan
dilakukan sebanyak 3 ulangan sebagai kelompok, sehingga terdapat 9 satuan
percobaan. Peubah yang di amati sebanyak 6 peubah, setiap peubah dilakukan 3
kali ulangan dengan setiap ulangan digunakan 100 benih benih setiap lotnya
sehingga benih yang dibutuhkan sebanyak 5.400 benih. Bobot 1.000 butir untuk
benih bawang merah varietas Tuk tuk adalah 2,7 g sehingga bobot benih yang
dibutuhkan setelah dikonversi ke dalam bobot 1.000 butir sebanyak 14,58 g.
Menurut Walpole (1992), model rancangan percobaan yang digunakan adalah:

Yij = μ + αi + βj + εij
Keterangan :

Yij : Nilai pengaruh tingkat viabilitas benih pada taraf ke-i (i = 1, 2, 3) dan
kelompok (lot) benih pada taraf ke-j (j = 1, 2, 3)
μ : Nilai rata-rata umum
αi : Pengaruh tingkat viabilitas benih ke-i
βj : Pengaruh kelompok (lot) benih ke-j
ɛij : Pengaruh galat tingkat viabilitas benih pada taraf ke-i dan kelompok (lot)
benih pada taraf ke-j
6

Prosedur Percobaan

Percobaan dilaksanakan dengan terlebih dahulu melakukan beberapa pre-


experiment. Dimulai dari pre-experiment untuk mengetahui viabilitas dari lot benih
yang akan digunakan sebagai bahan penelitian, waktu perendaman benih dengan
menggunakan akuades yang efektif untuk pengujian tetrazolium, serta teknik
skarifikasi benih dan waktu perendaman larutan tetrazolium yang efektif. Hasil dari
pre-experiment digunakan sebagai dasar dalam pengujian tetrazolium dan
dilakukan pengujian fisiologi benih untuk melihat korelasi antara uji fisiologis dan
uji biokimiawi.
Pre-experiment untuk Mengetahui Viabilitas Lot Benih sebagai Lot Uji
Lot benih bawang merah yang digunakan adalah 5 lot benih yang dibedakan
berdasarkan waktu kadaluarsa benih. Hasil uji daya berkecambah masing-masing
lot (lampiran 1) dengan waktu kadaluarsa Maret 2018 = 88,3%, waktu kadaluarsa
April 2018 = 95,0%, waktu kadaluarsa Januari 2017 = 73,3%, waktu kadaluarsa
Januari 2016 = 71,7%, dan waktu kadaluarsa Maret 2016 = 73,3%. Hal tersebut
menunjukkan bahwa lot benih dengan waktu kadaluarsa yang sama memiliki daya
berkecambah yang berdekatan. Lot benih yang digunakan sebagai bahan penelitian
adalah lot benih dengan tingkat viabilitas dan waktu kadaluarsa yang berbeda,
sehingga lot benih yang digunakan sebagai bahan penelitian adalah waktu
kadaluarsa April 2018 sebagai V1 = 95,0%, waktu kadaluarsa Januari 2017 sebagai
V2= 73,3% dan waktu kadaluarsa Januari 2016 sebagai V3 = 71,7%.

Pre-experiment Waktu Pelembaban, Teknik Skarifikasi, dan Waktu


Perendaman Larutan Tetrazolium
Lot benih yang digunakan adalah lot benih dengan tingkat viabilitas
tertinggi yaitu V1= 95,0%. Pre-experiment untuk mengetahui waktu perendaman
dengan akuades dan waktu perendaman tetrazolium. Digunakan 3 metode yaitu
perendaman selama 15 jam dengan akuades serta 6 jam perendaman dengan larutan
tetrazolium setelah dilakukan skarifikasi, perendaman selama 16 jam dengan
akuades serta 7 jam perendaman dengan larutan tetrazolium setelah dilakukan
skarifikasi, dan perendaman selama 17 jam dengan akuades serta 8 jam perendaman
dengan larutan tetrazolium setelah skarifikasi. Waktu perendaman dengan
menggunakan akuades tersebut diperoleh dari pengamatan pemunculan radikula
saat direndam dalam akuades. Benih bawang merah mengeluarkan radikula pada
saat 18 jam perendaman, sehingga metode untuk mendapatkan waktu perendaman
akuades dimulai dari perendaman 15 jam, 16 jam, dan 17 jam. Perendaman dengan
menggunakan akuades dilakukan pada ruang inkubasi dengan suhu 200C,
sedangkan perendaman dengan larutan tetrazolium dilakukan pada ruang inkubasi
dengan suhu 300C (ISTA, 2014).
Pre-experiment teknik skarifikasi menggunakan 3 metode yaitu
pemotongan bagian testa di sisi lengkung kotiledon, pelubangan daerah disisi
radikula dan kotiledon, dan pemotongan bagian testa di sisi lengkung kotiledon
serta pelubangan daerah di sisi radikula dan kotiledon. Teknik skarifikasi
pemotongan bagian testa di sisi lengkung kotiledon merujuk pada penelitian
Glagliardi dan Filho (2011) pada uji tetrazolium benih paprika. Alat untuk
pemotongan testa digunakan cutter, sedangkan untuk pelubangan digunakan jarum.
7

Lama perendaman dengan akuades dan perendaman dengan larutan


tetrazolium yang paling efektif berdasarkan pola pewarnaan yang dihasilkan adalah
perendaman selama 16 jam dengan akuades serta 7 jam perendaman dengan larutan
tetrazolium. Hasil pewarnaan dari perendaman dengan akuades dan perendaman
dengan larutan tetrazolium dapat dilihat pada Gambar 1.
Teknik skarifikasi yang paling efektif adalah dengan memotongan bagian
testa di sisi lengkung kotiledon serta pelubangan daerah di sisi radikula dan
kotiledon. Teknik skarifikasi dan pola pewarnaan yang terbentuk untuk teknik
skarifikasi bagian testa di sisi lengkung kotiledon dapat dilihat pada Gambar 2,
teknik skarifikasi pelubangan daerah di sisi radikula dan kotiledon dapat dilihat
pada Gambar 3, teknik skarifikasi bagian testa di sisi lengkung kotiledon serta
pelubangan daerah di sisi radikula dan kotiledon dapat dilihat pada Gambar 4.

(a) (b) (c)

a. Perendaman 15 jam akuades; perendaman TTZ 6 jam


b. Perendaman 16 jam akuades; perendaman TTZ 7 jam
c. Perendaman 17 jam akuades; perendaman TTZ 8 jam
Gambar 1. Hasil pewarnaan pada beberapa periode perendaman akuades dan
perendaman tetrazolium

Gambar 2. Skarifikasi bagian testa di sisi lengkung kotiledon

Gambar 3. Skarifikasi pelubangan daerah di isisi radikula dan kotiledon


8

Gambar 4. Skarifikasi bagian testa di sisi lengkung kotiledon serta pelubangan


daerah di sisi radikula dan kotiledon

Pembuatan Larutan Tetrazolium


Larutan garam tetrazolium dibuat dengan terlebih dahulu membuuat laruan
penyangga. Larutan penyangga dibuat dengan melarutkan 9,078 g KH2PO4 dalam
1.000 ml akuades (larutan 1), melarutkan 9,427 g Na2HPO4 dalam 1.000 ml akuades
(larutan 2). Larutan 1 dan larutan 2 dicampur dengan perbandingan 2:3, kemudian
pH ditera untuk menghasilkan pH 6,5-7,5. Pembuatan larutan tetrazolium dengan
konsentrasi 1% dilakukan dengan melarutkan 1 g tetrazolium ke dalam 100 ml
larutan penyangga. Larutan tetrazolium harus disimpan terhindar dari sinar
matahari. Larutan tersebut kemudian disimpan dalam botol kaca yang dibungkus
alumunium foil (ISTA, 2014).
Berdasarkan literatur ISTA (2014), dibuatlah larutan tetrazolium dengan
melarutkan 1 g tetrazolium kedalam 100 ml larutan buffer phosphate, sehingga
diperoleh larutan tetrazolium dengan konsentrasi 1% dan disimpan pada botol kaca
yang dibungkus alumunium foil.

Pengujian Tetrazolium
Pengujian tetrazolium ini dilakukan pada setiap lot benih sebanyak 100
benih dan di ulang sebanyak 3 kali, dengan perlakuan pendahuluan pelembaban.
Pelembaban dilakukan dengan cara merendam benih selama 16 jam dalam akuades
dengan suhu 200C. Benih yang telah direndam kemudian ditiriskan dan dikering
anginkan di atas kertas. Proses selanjutnya dilakukan skarifikasi yaitu dengan
skarifikasi pemotongan testa di sisi lengkung kotiledon serta pelubangan bagian di
sisi radikula dan kotiledon.
Benih yang telah diskarifikasi kemudian direndam dengan menggunakan
larutan tetrazolium 1% pada suhu 300C selama 7 jam dalam kondisi gelap. Benih
dibelah secara melintang dan dilakukan pengamatan struktur pewarnaan
tetrazolium pada embrio benih dengan menggunakan mikroskop stereo pada
perbesaran 2 x 10.
Pengujian Viabilitas dan Vigor Benih dengan Indikasi Langsung
(Uji Fisiologi)
Parameter yang diamati meliputi daya berkecambah (DB), berat kering
kecambah normal (BKKN), indeks vigor (IV), dan kecepatan tumbuh (KCT).
Pengamatan persentase benih berkecambah pertama pada hari ke-6 dan pengamatan
kedua pada hari ke-12 (ISTA, 2014). Pengecambahan benih dilakukan dengan
menggunakan metode uji di atas kertas (UDK) dengan menggunakan alat
pengecambah benih tipe IPB 73-2A. Jumlah benih yang ditanam sebanyak 100 butir
dengan 3 ulangan.
9

Pengamatan Percobaan

Daya Berkecambah (DB)


Daya berkecambah adalah kemampuan benih untuk tumbuh menjadi
kecambah normal dalam lingkungan tumbuh yang optimum. Daya berkecambah
dihitung berdasarkan jumlah kecambah normal pada hitungan pertama yaitu hari
ke-6 dan hitungan kedua yaitu hari ke-12 setelah dikecambahkan (ISTA, 2014).
Daya berkecambah dapat dihitung dengan rumus:
∑ (KN1+KN 2 )
DB (%) = x 100%
∑ Benih yang ditanam

Keterangan :
KN 1 : Kecambah normal pada hitungan 1
KN 2 : Kecambah normal pada hitungan 2

Potensi Tumbuh Maksimum (PTM)


Potensi tumbuh maksimum adalah persentase semua benih yang hidup atau
menunjukkan gejala hidup, baik menghasilkan kecambah normal maupun
abnormal. Potensi tumbuh maksimum dihitung berdasarkan jumlah kecambah
normal pada umur 12 hari setelah dikecambahkan. Potensi tumbuh maksimum
dapat dihitung dengan rumus:
(∑kecambah normal+ ∑Kecambah abnormal )
PTM (%) = x100%
∑ Benih yang ditanam

Berat Kering Kecambah Normal (BKKN)


Seluruh kecambah normal dibungkus dengan menggunakan kertas
kemudian di oven pada suhu 600C selama 3 x 24 jam. Selanjutnya kecambah
dimasukkan ke dalam desikator ± 30 menit dan ditimbang. Pengujian ini dilakukan
pada pengamatan kecambah normal umur 12 hari setelah dikecambahkan.

Kecepatan Tumbuh (KCT)


Benih yang lebih cepat tumbuh menunjukkan benih tersebut memiliki vigor
yang lebih tinggi. Pengujian kecepatan tumbuh (KCT) dilakukan dengan mengambil
dan menghitung kecambah normal setiap etmal (24 jam) mulai dari hari pertama
penanaman hingga hari ke-12. Nilai KCT menunjukkan persentase rata-rata
kecambah yang tumbuh setiap hari. Semakin tinggi nilai KCT semakin tinggi juga
vigor lot benih tersebut. Menurut Sadjad (1993), rumus penghitungan kecepatan
tumbuh adalah:
𝑵
KCT = ∑𝒕𝒏
𝟎 𝒕
Keterangan :
KCT : Kecepatan tumbuh
N : Presentasi kecambah normal setiap waktu pengamatan
t : Waktu pengamatan
tn : Waktu akhir pengamatan
10

Indeks Vigor (IV)


Nilai indeks vigor merupakan data yang diperoleh pada pengamatan
pertama dalam pelaksanaan uji daya berkecambah benih bawang merah yaitu pada
hari ke - 6 (ISTA 2014). Indeks vigor dapat dihitung dengan rumus:
∑Kecambah normal hitungan 1
IV (%) = x100%
∑ Benih yang ditanam

Pola Pewarnaan Tetrazolium


Pengamatan dilakukan berdasarkan intensitas dan lokasi pewarnaan yang
terbentuk pada benih bawang merah yang dihubungkan dengan struktur anatomi
benih bawang merah untuk mengetahui benih viabel dan non viabel. Topografi
pewarnaan dilihat dengan menggunakan mikroskop kemudian pengambilan
gambar pola pewarnaan dengan menggunakan kamera. Standar pewarnaan dibuat
untuk membedakan antara benih yang berpotensi tumbuh menjadi kecambah
normal kuat, kecambah normal lemah, abnormal, dan mati.

Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan menguji hipotesisnya menggunakan


analysis of variance (ANOVA) dengan program SAS. Apabila hasil yang terdapat
pada ANOVA adalah Fhit > Ftabel dalam signifikasi 5% maupun 1%, maka perlakuan
yang berpengaruh nyata diuji dengan duncan multiple range test (DMRT).
Analisis regresi linier sederhana digunakan untuk mengetahui hubungan
antara pengukuran vigor berdasarkan uji fisiologi dengan hasil uji tetrazolium.
Menurut Walpole (1992), rancangan regresi menggunakan persamaan:

Y=a+bX

Keterangan :
Y : Nilai vigor berdasarkan uji fisiologi
A : Titik potong garis dengan sumbu Y
B : Kemiringan garis
X : Nilai vigor yang diukur dengan tetrazolium
Penelitian ini menggunakan metode analisis korelasi regresi antara nilai
vigor berdasarkan uji fisiologi dengan nilai vigor yang diukur dengan tetrazolium.
Sebagai sumbu X adalah nilai vigor yang di ukur dengan tetrazolium sedangkan
sumbu Y adalah nilai vigor berdasarkan uji fisiologi. Nilai koefisien korelasi (r)
digunakan untuk melihat keeratan hubungan antara nilai vigor yang berdasarkan uji
fisiologi dengan nilai vigor yang diukur dengan tetrazolium. Nilai koefisien
korelasi mendekati 1 (r→1) menggambarkan adanya keeratan hubungan atau
korelasi antara nilai vigor berdasarkan uji fisiologi dengan nilai vigor yang diukur
dengan tetrazolium.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian Fisiologis Benih

Hasil sidik ragam pada Tabel 1 menunjukkan bahwa tingkat viabilitas benih
berpengaruh sangat nyata terhadap seluruh parameter viabilitas benih yang di uji
yaitu DB, IV, PTM, KCT, dan BKKN. Uji lanjut pada Tabel 2 menunjukkan bahwa
DB, IV, PTM, KCT, dan BKKN pada uji fisiologis dapat membedakan tingkat
viabilitas. Tingkat viabilitas V1 nyata lebih tinggi dibandingkan dengan V2 dan V3
berdasarkan parameter DB, IV, PTM, KCT, dan BKKN. Tingkat viabilitas V2 nyata
lebih tinggi dibandingkan dengan V3 berdasarkan parameter DB dan PTM. Tingkat
viabilitas V2 dan V3 sama berdasarkan parameter IV, KCT, dan BKKN. Parameter
DB dan PTM menunjukkan sensitivitas tinggi untuk mengevaluasi viabilitas benih,
karena dapat membedakan 3 kriteria tingkat viabilitas pada hasil uji lanjut DMRT.

Tabel 1. Hasil sidik ragam pengaruh lot benih terhadap parameter viabilitas
Parameter viabilitas P-value
DB (%) 0,0002**
IV (%) <0,0001**
PTM (%) 0,0001**
-1
KCT (% etmal ) 0,0047**
BKKN (g) 0,0020**
Keterangan: **= berpengaruh sangat nyata berdasarkan analisis ragam pada taraf 5%, DB=
daya berkecambah, IV= indeks vigor, PTM= potensi tumbuh maksimum,
KCT= kecepatan tumbuh, BKKN= berat kering kecambah normal.

Tabel 2. Pengaruh viabilitas benih terhadap beberapa parameter viabilitas melalui


uji fisiologi
Tingkat viabilitas Parameter viabilitas
berdasarkan % DB DB (%) IV (%) PTM (%) KCT (% etmal-1) BKKN (g)
V1 (90) 90,0a 77,7a 92,0a 17,4a 0,127a
V2 (73) 72,0b 54,0b 78,3b 13,7b 0,066b
V3 (72) 67,0c 50,0b 71,7c 12,3b 0,052b
Keterangan: angka-angka pada kolom yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda
nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%, DB= daya berkecambah, IV= indeks
vigor, PTM= potensi tumbuh maksimum, KCT= kecepatan tumbuh, BKKN=
berat kering kecambah normal

Pengujian Tetrazolium

Struktur benih bawang merah (Gambar 5) meliputi testa, kotiledon,


endosperma, hipokotil, dan radikula. Bagian terpenting pada embrio benih adalah
radikula yang menentukan tumbuh atau tidaknya benih. Jaringan keras terdapat
pada kulit benih yang dapat menghalangi munculnya radikula. Munculnya radikula
pada proses perkecambahan benih ditentukan oleh keseimbangan antara potensi
pertumbuhan embrio dan ketahanan mekanik dari endosperma. Endosperma juga
12

merupakan bagian penting benih dalam menentukan jumlah nutrisi yang masuk
pada benih saat pertumbuhan embrio setelah perkecambahan (Brewster, 2008).

Hipokotil
Radikula
Endosperma
Testa
Kotiledon

Gambar 5. Struktur benih bawang merah dengan perbesaran 2 x 10


Pengujian tetrazolium pada TSS menghasilkan pola pewarnaan embrio
dengan intensitas warna antara merah terang, merah muda, merah kehitaman dan
putih. Pengamatan pola pewarnaan pada uji tetrazolium dibagi menjadi 4 kriteria,
yaitu normal kuat (NK), normal lemah (NL), abnormal (Ab), dan mati (M).
Penelitian ini menghasilkan sebanyak 26 pola pewarnaan tetrazolium pada TSS,
yaitu 5 pola kriteria NK (Tabel 3), 7 pola kriteria NL (Tabel 4), 5 pola kriteria Ab
(Tabel 5), dan 9 pola kriteria M (Tabel 6).

Tabel 3. Pola pewarnaan uji tetrazolium kriteria normal kuat


No Pola pewarnaan Keterangan
1 Radikula, hipokotil dan kotiledon
berwarna merah; endosperma berwarna
merah muda

2 Radikula, hipokotil, kotiledon dan


endosperma berwarna merah
13

Tabel 3. Pola pewarnaan uji tetrazolium kriteria normal kuat (lanjutan)


3 Radikula dan endosperma berwarna
merah; hipokotil dan kotiledon berwaarna
merah dengan sedikit bercak berwarna
merah muda

4 Radikula, hipokotil dan endosperma


berwarna merah; kotiledon berwarna
merah dengan 1/3 bagian berwarna merah
muda

5 Radikula dan hipokotil berwarna merah;


kotiledon berwarna merah dengan 1/3
bagian berwarna merah muda; endosperma
berwarna merah muda

Keterangan: Pengamatan pada mikroskop stereo dengan perbesaran 2 x 10

Tabel 4. Pola pewarnaan uji tetrazolium kriteria normal lemah


No Pola pewarnaan Keterangan
1 Radikula dan hipokotil berwarna merah;
kotiledon dan endosperma berwarna merah
muda

2 Radikula dan hipokotil berwarna merah;


1/2 kotiledon dan endosperma berwarna
merah muda
14

Tabel 4. Pola pewarnaan uji tetrazolium kriteria normal lemah (lanjutan)


3 Radikula, hipokotil, kotiledon dan
endosperma berwarna merah muda

4 Radikula dan kotiledon berwarna merah


muda; hipokotil dan endosperma berwarna
merah

5 Radikula dan hipokotil berwarna merah;


1/3 kotiledon berwarna putih dan
endosperma berwarna merah muda

6 Radikula, hipokotil dan endosperma


berwarna merah; kotiledon berwarna
merah muda

7 Radikula berwarna merah muda; hipokotil


dan endosperma berwarna merah muda;
1/3 kotiledon berwarna merah muda

Keterangan: Pengamatan pada mikroskop stereo dengan perbesaran 2 x 10


15

Tabel 5. Pola pewarnaan uji tetrazolium kriteria abnormal


No Pola pewarnaan Keterangan
1 Radikula, hipokotil dan endosperma
berwarna merah; 1/2 kotiledon berwarna
putih dengan 1/2 bagiannya berwarna
merah muda

2 Radikula berwarna merah; 1/2 hipokotil


dan 1/2 kotiledon berwarna putih
endosperma berwarna merah

3 Radikula dan hipokotil berwarna merah;


kotiledon berwarna putih; endosperma
berwarna merah muda

4 Radikula dan endosperma berwarna merah


kehitaman; hipokotil dan kotiledon
berwarna merah

5 Radikula berwarna putih; hipokotil,


kotiledon dan endosperma berwarna merah

Keterangan: Pengamatan pada mikroskop stereo dengan perbesaran 2 x 10


16

Tabel 6. Pola pewarnaan uji tetrazolium kriteria mati


No Pola pewarnaan Keterangan
1 Radikula dan hipokotil berwarna merah
dengan sedikit bercak putih; endosperma
dan kotiledon berwarna putih

2 Radikula, kotiledon dan endosperma


berwarna putih; 1/2 bagian hipokotil
berwarna merah muda

3 Radikula, kotiledon dan endosperma


berwarna putih; kurang dari 1/2 bagian
hipokotil berwarna merah muda

4 Radikula berwarna putih; hipokoti dan


endosperma berwarna merah muda;
kotiledon berwarna putih sedikit bercak
merah

5 Radikula berwarna putih; hipokotil dan


endosperma berwarna merah; 1/2
kotiledon berwarna putih
17

Tabel 6. Pola pewarnaan uji tetrazolium kriteria mati (lanjutan)

6 Radikula dan endosperma berwarna putih;


1/2 hipokotil dan kotiledon berwarna
merah

7 Radikula, hipokotil, kotiledon berwarna


putih; endosperma berwarna merah

8 Radikula berwarna merah; hipokotil dan


kotiledon berwarna putih; endosperma
berwarna merah muda

9 Radikula, hipokotil, endosperma, dan


kotiledon berwarna putih

Keterangan: Pengamatan pada mikroskop stereo dengan perbesaran 2 x 10

Glagliardi dan Filho (2011) menyatakan bahwa pola pewarnaan tetrazolium


pada benih paprika terbagi menjadi 3 kelompok yaitu pola viabel dan vigor, pola
viabel dan non vigor, dan non viabel. Pola viabel dan vigor adalah pola yang
terbentuk pada embrio dan endosperma bewarna merah muda. Pola viabel dan non
vigor adalah jaringan yang tidak terwarnai kurang dari 50% pada kotiledon dan
endosperma, ujung radikula tidak terwarnai. Pola non viabel adalah pola yang
terbentuk dengan tidak lebih dari 50% area dari kotiledon dan endosperma bewarna
putih, bagian dari embrio dan endosperma kurang berwarna penuh.
18

Tabel 3 menunjukkan pola pewarnaan normal kuat, diduga bahwa benih


dapat tumbuh menjadi kecambah normal kuat. Menurut Ilyas dan Widajati (2015),
adanya pola-pola merah pada bagian-bagian penting pada embrio mengindikasikan
benih mampu menumbuhkan embrio menjadi kecambah normal. Menurut Budiarti
(2002), pola endapan formazan yang semakin jelas menunjukkan bahwa semakin
banyak H+ yang terlibat dalam reaksi kimia saat proses pewarnaan. Shrivastava
(2013) menjelaskan bahwa benih tetap dikategorikan viabel apabila bagian poros
embrio dan sebagian kotiledon terwarnai. Batasan benih dikatakan viabel yaitu
selain poros embrio yang terwarnai, minimal setengah bagian kotiledon juga harus
terwarnai. Apabila pola pewarnaan menunjukkan bagian kotiledon di sekitar daerah
pemunculan radikula pada poros embrio tidak terwarnai, maka benih tersebut
dikategorikan non-viabel. Bagian kotiledon di sekitar daerah radikula penting
terkait transpor cadangan makanan untuk proses perkecambahan.
Tabel 4 menunjukkan pola normal lemah, diduga bahwa benih dapat
tumbuh menjadi kecambah normal lemah. Pola pewarnaan pada Tabel 4 nomor 3
merujuk pada penelitian Putri (2016) tentang uji tetrazolium pada benih tomat
apabila bagian endosperma, radikula, hipokotil dan kotiledon berwarna merah
muda maka pola pewarnaannya dikelompokan pada pola normal lemah. Menurut
Sadjad (1993), enzim dehidrogenase dalam sel-sel hidup bermetabolisme dan
melepaskan ion-ion H+. Sel yang mati tidak berpotensi dalam proses ini sehingga
tidak terjadi pelepasan ion H+. Ion H+ bereaksi dengan 2,3,5-triphenyl tetrazolium
chloride maka terjadi endapan formazan yang berwarna merah. Sel mati pada benih
yang di uji, reaksi tidak akan terjadi sehingga endapan formazan tidak terbentuk
dan sel-sel yang mati tersebut berwarna putih. Sel mati pada daerah struktur yang
penting seperti di sekitar perakaran, maka akan didapatkan gejala akar yang tidak
tumbuh atau tidak normal.
Tabel 5 menunjukkan pola abnormal, diduga bahwa benih dapat tumbuh
menjadi kecambah abnormal. Pola pewarnaan pada Tabel 5 nomor 4
diklasifikasikan dalam pola pewarnaan abnormal karena terdapat warna merah
kehitaman pada bagian radikula dan endosperma. Hasil Subantoro dan Prabowo
(2013), pada benih kedelai dan jagung menunjukkan adanya sebagian benih telah
mengalami pembusukan saat uji tetrazolium yang ditandai adanya kotiledon dan
endosperma yang berwarna merah kehitam-hitaman serta axis embrionya berwarna
coklat kehitaman. Benih tersebut umumnya tidak bisa lagi berkecambah atau
apabila masih mampu berkecambah, pertumbuhannya lambat dan abnormal, dan
bahkan pertumbuhan yang demikian sering berakhir dengan kematian. Neto et al.
(1998) menjelaskan bahwa benih yang vigor akan terwarnai merah cerah
sempurna, akan tetapi warna merah yang sangat intensif menunjukkan bahwa
kondisi benih tersebut lemah. Hal ini disebabkan karena tingkat difusi larutan
tetrazolium yang intensif melalui membran sel yang rusak ke dalam jaringan benih.
Warna merah kehitaman yang terdapat pada begian esensial benih terutama pada
bagian radikula dan plumula mengindikasikan bahwa benih tersebut tidak akan
tumbuh menjadi kecambah. Pola pewarnaan pada Tabel 5 nomor 2 diklasifikasikan
pada kriteria abnormal karena 1/2 bagian dari hipokotil berwarna putih yang
terletak berdekatan dengan radikula yang merupakan bagian penting dari
pertumbuhan benih bawang merah untuk tumbuh menjadi kecambah normal.
Menurut Leist (2004), bagian kotiledon yang berdekatan dengan bagian radikula
merupakan bagian penting benih setelah embrio benih. Area yang tidak terwarnai
19

saat pengujian tetrazolium mengindikasikan bahwa benih yang diuji tersebut


mengalami kerusakan dan diasumsikan bahwa benih tersebut tidak akan tumbuh
menjadi kecambah normal.
Pola pewarnaan pada Tabel 6 merupakan benih yang tidak terwarnai merah,
yang mengindikasikan bahwa benih tidak dapat tumbuh menjadi kecambah atau
mati. Menurut Copeland dan McDonald (2001), larutan garam tetrazolium klorida
tidak bereaksi dengan enzim dehidrogenase pada jaringan yang mati sehingga pada
saat benih yang mati direndam dalam larutan tetrazolium tidak akan terjadi reaksi
sehingga benih tetap bewarna putih. Menurut Widajati et al. (2013), luas dari bagian
merah merupakan jaringan hidup dan luas dari bagian benih yang tidak terwarnai
merupakan jaringan mati atau jaringan nekrotik.
Tabel 7 merupakan perbandingan antara uji tetrazolium dengan uji
fisiologis. Uji tetrazolium hanya kriteria pola pewarnaan normal kuat yang dapat
membedakan tingkat viabilitas, sedangkan pada uji fisiologi seluruh parameter
viabilitas dapat membedakan tingkat viabilitas benih. V1 nyata lebih tinggi
dibandingkan dengan V3 pada kriteria normal kuat pada uji tetrazolium dan seluruh
parameter viabilitas benih. Sidik ragam pada Tabel 8 menjelaskan bahwa kriteria
pola pewarnaan NK pada uji tetrazolium berpengaruh nyata terhadap tingkat
viabilitas.
Tabel 7. Perbandingan uji tetrazolium dengan uji fisiologi
Pola pewarnaan (%) Parameter viabilitas
Tingkat
DB IV PTM KCT (% BKKN
viabilitas NK NL ∑N
(%) (%) (%) etmal-1 (g)
V1 85,3a 9,3 94,7 90,0a 77,7a 92,0a 17,4a 0,127a
V2 77,3ab 14,3 91,7 72,0b 54,0b 78,3b 13,7b 0,066b
V3 64,7b 17,7 82,7 67,0c 50,0b 71,7c 12,3b 0,052b
Keterangan: angka-angka pada kolom yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda
nyata menurut uji DMRT pada taraf α = 5%, V= tingkat viabilitas, NK=
normal kuat, NL= normal lemah, ∑N= jumlah kecambah normal (NK+NL),
DB= daya berkecambah, IV= indeks vigor, PTM= potensi tumbuh maksimum,
KCT= kecepatan tumbuh, BKKN= berat kering kecambah normal

Tabel 8. Hasil sidik ragam pengaruh tingkat viabilitas terhadap parameter kriteria
pola pewarnaan uji tetrazolium
Pola pewarnaan (%) P-value
NK 0,0481*
NL 0,2706tn
∑N 0,1051tn
Ab 0,3791tn
M 0,0968tn
Keterangan: NK= normal kuat, NL= normal lemah, Ab= abnormal, M= mati, ∑N= jumlah
kecambah normal (NK+NL)

Uji lanjut pada Tabel 9 menunjukkan bahwa pola pewarnaan kriteria normal
kuat dapat membedakan tingkat viabilitas. Tingkat viabilitas V1 dan V2, serta V2
20

dan V3 memiliki viabilitas yang sama berdasarkan pola pewarnaan normal kuat,
sedangkan V1 berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan dengan V3.
Tabel 9. Pengaruh viabilitas benih terhadap pola pewarnaan normal kuat
Tingkat viabilitas %NK
V1 85,3a
V2 77,3ab
V3 64,7b
Keterangan: angka-angka pada kolom yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda
nyata menurut uji DMRT pada taraf α = 5%, V= tingkat viabilitas, %NK=
persentase pola pewarnaan normal kuat

Evaluasi Vigor Benih melalui Pola Pewarnaan Tetrazolium

Analisis statistika yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis


regresi dan korelasi. Nilai dari persamaan regresi yang diperoleh tersebut dapat
digunakan untuk meramalkan nilai-nilai suatu peubah tak bebas (Y) dari nilai-nilai
satu atau lebih peubah bebas (X) (Walpole, 1992). Pendekatan analisis regresi dan
korelasi dalam penelitian ini adalah antara nilai vigor yang diduga (sumbu Y)
dengan nilai vigor yang diukur dengan uji tetrazolium (sumbu X). Nilai koefisien
korelasi (r) digunakan untuk mengetahui hubungan antara peubah X dan Y. Nilai
koefisien korelasi yang mendekati 1 (r→1) menunjukan adanya keeratan hubungan
antara nilai vigor yang diduga dengan nilai vigor yang diukur dengan uji
tetrazolium.
Parameter viabilitas benih yang diamati dari pengujian fisiologis (DB, IV,
PTM, BKKN, dan KCT) dikorelasikan dengan uji tetrazolium. Semua parameter
tingkat viabilitas kecuali PTM dikorelasikan dengan kriteria NK dan N. Parameter
PTM dikorelasikan dengan persentase benih viabel (NK, NL, Ab) Karena pada uji
fisiologis perhitungan PTM dilakukan dengan menghitung persentase kecambah
normal dan abnormal.
Hasil analisis pada Tabel 10 menunjukkan adanya hubungan yang positif
antara pengujian fisiologi dengan pengujian tetrazolium. Uji tetrazolium kriteria
NK memiliki nilai koefisien korelasi (r) yang tinggi dengan parameter IV (r =
0,769), DB (r = 0,742), BKKN (r = 0,727), dan KCT (r = 0,725) pada uji fisiologis.
Hal ini menunjukkan bahwa pola pewarnaan kriteria NK pada uji tetrazolium dapat
digunakan sebagai parameter vigor dan viabilitas potensial benih bawang merah.
Pola pewarnaan NK dapat digunakan sebagai indikasi nilai IV, DB, BKKN, dan
KCT suatu lot benih bawang merah yang menunjukkan bahwa semakin tinggi
persentase NK pada pengujian tetrazolium, maka diduga nilai IV, DB, BKKN, dan
KCT lot tersebut juga tinggi.
Nilai koefisien korelasi antara parameter tingkat viabilitas DB dengan NK
lebih rendah dibandingkan dengan nilai korelasi antara IV dengan NK. Hal ini
diduga karena nilai daya berkecambah merupakan hasil dari penjumlahan
kecambah normal hitungan pertama dan hitungan kedua pada uji fisiologis. Benih
yang tumbuh menjadi kecambah normal pada hitungan pertama menunjukkan
bahwa benih tersebut memiliki vigor yang tinggi. Benih yang tumbuh menjadi
kecambah normal setelah hitungan kedua menunjukkan bahwa benih tersebut
memiliki vigor yang lebih rendah walupun benih tersebut mampu tumbuh menjadi
kecambah normal. Kolasinka et al. (2011) menyatakan bahwa persentase kecambah
normal pada pengamatan pertama berhubungan erat dengan kemampuan benih
berkecambah di lapang, dibandingkan dengan persentase kecambah normal pada
akhir pengamatan.
Tabel 10. Nilai persamaan regresi, nilai korelasi (r) antar pengujian langsung dan
pola kecambah normal kuat (NK), normal (N), dan TZ (NK + NL + Ab)
pada pengujian tetrazolium
Parameter viabilitas Persamaan regresi r P-value
IV (%) IV = -10,6 + 0,938 NK 0,769 0,015*
IV (%) IV = - 44,4 + 1,17 N 0,627 0,071tn
DB (%) DB = 19,1 + 0,752 NK 0,742 0,022*
DB (%) DB = -7,8 + 0,937 N 0,603 0,086tn
PTM (%) PTM = -67,2 + 1,54 TZ 0,625 0,072tn
BKKN (g) BKKN = -0,104 + 0,00245 NK 0,727 0,026*
BKKN (g) BKKN = -0,210 + 0,00326 N 0,632 0,068tn
KCT (% etmal-1) KCT = 1,92 + 0,165 NK 0,725 0,027*
KCT (% etmal-1) KCT = -5,65 + 0,224 N 0,642 0,062tn
Keterangan : r = koefisien korelasi, * = berpengaruh nyata, tn = tidak berpengaruh nyata
pada taraf α = 5%, IV = indeks vigor, DB = daya berkecambah, PTM = potensi
tumbuh maksimum, BKKN = berat kering kecambah normal, K CT =
kecepatan tumbuh
Nilai r antara DB dengan N lebih rendah dibandingkan dengan nilai r antara
DB dengan NK, serta nilai r antara BKKN dengan N lebih rendah dibandingkan
dengan nilai r antara BKKN dengan NK, begitu juga terjadi pada nilai r antara KCT
dengan N lebih rendah dibandingkan dengan nilai r antara KCT dengan NK.
Diketahui bahwa pola kriteria N merupakan hasil penjumlahan NK dan NL yang
mengindikasikan nilai daya berkecambah dalam uji fisiologis.
Nilai koefisien korelasi antara parameter tingkat viabilitas IV dengan NK,
DB dengan NK, BKKN dengan NK, serta KCT dengan NK menunjukkan terdapat
hubungan yang erat dan positif. Nilai p-value 0,01 ≥ p ≤ 0,05 menunjukkan keeratan
hubungan yang tinggi dengan pengujian tetrazolium pola pewarnaan NK. Nilai r
antara parameter IV dan N, DB dan N, PTM dengan TZ (NK + NL + Ab), BKKN
dengan N serta KCT dengan N menunjukkan keeratan hubungan yang lemah dengan
pengujian tetrazolium. Nilai koefisien korelasi dengan nilai p-value > 0,05
menunjukkan bahwa keeratan hubungan antara uji fisiologis dengan uji tetrazolium
tidak nyata.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Pengujian tetrazolium pada benih bawang merah (Allium ascalonicum L.)


menghasilkan pola pewarnaan untuk memprediksi; kecambah normal kuat
sejumlah 5 pola, kecambah normal lemah sejumlah 7 pola, kecambah abnormal
sejumlah 5 pola, dan benih mati sejumlah 9 pola. Uji tetrazolium kriteria normal
kuat memiliki nilai koefisien korelasi (r) yang tinggi dengan parameter indeks vigor
(r = 0,769), daya berkecambah (r = 0,742), berat kering kecambah normal
(r = 0,727), dan kecepatan tumbuh (r = 0,725) pada uji fisiologis. Pola pewarnaan
kriteria normal kuat pada uji tetrazolium dapat digunakan sebagai parameter vigor
benih bawang merah.

Saran

Perlu dilakukan pengujian tetrazolium pada lot benih yang beragam mulai
dari tingkat viabilitas tinggi hingga rendah, dapat dilakukan dengan cara
pengusangan secara fisik maupun kimia sehingga dihasilkan pola pewarnaan yang
lebih beragam. Penelitian lanjutan mengenai teknik skarifikasi dan pemotongan
pada benih bawang merah perlu dikembangkan sehingga dapat mengurangi tingkat
kegagalan saat pemotongan pada tahap evaluasi benih bawang merah.

DAFTAR PUSTAKA

Basuki R.S. 2009. Analisis kelayakan teknis dan ekonomis teknologi budidaya
bawang merah dengan benih biji botani dan benih umbi tradisional. J. Hort.
19(3):5-8.
Brewster J.L. 2008. Onion and Other Vegetable Alliums. Crop Production Science
in Horticulture, London.
Budiarti T. 2002. Kemungkinan Pengembangan Metode Uji untuk Penentuan
Viabilitas Benih Secara Tepat. Industri Benih di Indonesia. IPB Press,
Bogor.
Chapman S.R. and Lark P.C. 2005. Crop Production Principle and Practise. W.H.
Freeman Co., San Fransisco.
Copeland L.O and McDonald M.B. 2001. Principles of Seed Science and
Technology. Chapman and Hall, New York.
Dermawan M. 2007. Studi pengujian tetrazolium sebagai peubah viabilitas benih
buncis (Phaseolus vulgaris L.). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Dina, Widajati E., Wirawan B. dan Ilyas S. 2007. Pola topografi pewarnaan
tetrazolium sebagai tolok ukur viabilitas dan vigor benih kedelai (Glycine
max L) untuk pendugaan pertumbuhan tanaman di lapangan. J. Agron.
Indonesia. 32(2): 88-95.
Glagliardi B. and Filho J.M. 2011. Assesment of the physiological potential of bell
pepper seeds and relationship with seedling emergence. Revista Brasileira
de Sementes. 33(1): 162-170.
Hasanah M. 2002. Peran mutu fisiologik benih dan pengembangan industri benih
tanaman industri. Jurnal Litbang Pertanian. 21: 84-91.
Ilyas S. dan Widajati E. 2015. Teknik dan Prosedur Pengujian Mutu Benih. IPB
Press, Bogor.
[ISTA] International Seed Testing Association. 2014. International Rules for Seed
Testing. International Seed Testing Association, Zurich.
23

[Kementan] Kementerian Pertanian. 2016. Produksi dan luas panen bawang merah
nasional tahun 2013-2015. http://www.pertanian.go.id/Data5tahun/HortiA
SEM2016(pdf)/L.%20Panen%20Bawang%20Merah.pdf [ 20 Juli 2017].
Kolasinka K., Szyrmer J. and Dul S. 2011. Relationship between laboratory seed
quality test and field emergence of common bean seed. Crop Sci. 40: 470-
475.
Leist N. 2004. Seed Vigour Determination by Means of the Topographical
Tetrazolium Test. Makalah dalam ISTA Seed Quality Assesment Training
Organised by APSA, Hanoi, Vietnam.
McDonald M.B. 1998. Seed quality assessment. J. Seed Sci. 8: 265-275.
Neto J.B.F., Krzyzanowski F.C. and Costa N.P. 1998. The Tetrazolium Test for
Soybean Seeds. Embrapa, Londrina.
Permadi A.H. 1993. Growing shallot from true seed. Research Result and Probelm
Onion Newslatter from The Tropics. 5: 35-38.
Permadi A.H. 1995. Pemuliaan bawang merah. Dalam: Sunarjono H., Suwandi,
Permadi A.H., Bahar F.A., Sulihantini S. dan Broto W. Editor. Teknologi
Produksi Bawang Merah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikutura.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Permadi A.H. dan Putrasamedja S. 1991. Penelitian pendahuluan variasi sifat-sifat
bawang merah yang berasal dari biji. Bul. Penel Hort. 20(4):120-134.
Putri P.W. 2016. Uji tetrazolium untuk evaluasi viabilitas pada benih tomat
(Solanum lycopersicum L.). Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rahayu E. dan Widajati E. 2007. Pengaruh kemasan, kondisi ruang simpan dan
periode simpan terhadap viabilitas benih caisin (Brassica cinensis L.). Bul.
Agron. 35: 191-196.
Ridwan H., Sutapradja H. dan Margono. 1989. Daya produksi dan harga pokok
benih/biji bawang merah. Bul. Penel Hort. 17(4):1989.
Sadjad S. 1993. Dari Benih Kepada Benih. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia,
Jakarta.
Sadjad S. 1980. Panduan Pembinaan Mutu Benih Tanaman Kehutanan di
Indonesia. Lembaga Afilisi IPB, Bogor.
Shrivastava M. 2013. 2,3,5 triphenyl tetrazolium chloride as an indicator of the
viability and vigor in deed of Acacia catechu Willd. Indian J. Applied &
Pure Bio. 28(2): 245-250.
Subantoro R. dan Prabowo R. 2013. Pengkajian viabilitas benih dengan
tetrazolium test pada jagung dan kedelai. Mediagro. 9(2):1-8.
Suherman R. dan Basuki R.S. 1990. Strategi pengembangan luas usahatani bawang
merah di Jawa Barat, tinjauan dari segi biaya usahatani terendah. Bul. Penel
Hort. 18(1):11-18.
Sumanaratne J.P. and Palipane W.M.U. 2002. Feasibility of small onion (Allium
cepa L. Aggregatum Group) cultivation from true seeds. Annals of the Sri
Lanka Departement of Agriculture. 4 : 39-46
Sumarni N., Sumiati E. dan Suwandi. 2005. Pengaruh kerapatan tanaman dan
aplikasi zat pengatur tumbuh terhadap prosuksi umbi bibit bawang merah
asal biji kultivar Bima. J. Hort. 15(3) : 208-214.
Walpole R.E. 1992. Pengantar Statistik. Bambang S. penerjemah. Introduction to
Ststistic 3rd Edition. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
24

Widajati E., Murniati E., Palupi E.R., Kartika T., Suhartanto M.R. dan Qadir A.
2013. Dasar Ilmu dan Teknologi Benih. IPB Pr., Bogor.
LAMPIRAN
27

Lampiran 1. Hasil daya berkecambah pada 5 lot benih bawang merah


Lot Ulangan KN 1 KN 2 Ab M DB (%)
1 1 14 0 1 5 70
(2016) 2 12 1 1 6 65
Januari 3 16 0 2 2 80
Rata-rata 71,7
2 1 14 1 3 2 75
(2016) 2 13 3 2 2 80
Maret 3 11 1 5 3 65
Rata-rata 73,3
3 1 13 3 1 3 80
(2017) 2 12 1 1 6 65
Januari 3 15 0 2 3 75
Rata-rata 73,3
4 1 17 1 0 2 90
(2018) 2 16 0 1 3 80
Maret 3 17 2 0 1 95
Rata-rata 88,3
5 1 18 1 0 1 95
(2018) 2 18 2 0 0 100
April 3 15 3 0 2 90
Rata-rata 95,0
Keterangan: KN 1 = kecambah normal hitungan ke-1, KN 2 = kecambah normal hitungan
ke-2, Ab = abnormal, M = mati, DB = daya berkecambah
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pandeglang pada tanggal 04 Juni 1994 dari ayah


BADRI dan ibu IYAM MARYAM. Penulis adalah anak ke enam dari delapan
bersaudara. Tahun 2013 penulis lulus SMA Negeri 1 Pandeglang dan pada tahun
yang sama penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur
Ujian Talenta Masuk IPB (UTM – IPB) dan diterima di Departemen Agronomi dan
Hortikultura, Fakultas Pertanian.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai sebagai staf Internal
HIMAGRON periode 2013/2014 dan periode berikutnya sebagai staf PSDM
HIMAGRON 2014/2015. Penulis sebagai anggota tim PKM-Kewirausahaan
dengan judul “NECOPY: Neck Eco-Pillow Aromatherapy” meraih peringkat 1
(emas) bidang poster pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) ke
XXVIII pada tahun 2014.

Anda mungkin juga menyukai