Anda di halaman 1dari 89

STUDI PEMBUATAN KERUPUK REBUNG

SKRIPSI

OLEH:

DIKI WIRANANDA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2011

Universitas Sumatera Utara


STUDI PEMBUATAN KERUPUK REBUNG

SKRIPSI

OLEH:

DIKI WIRANANDA
060305024/TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2011

Universitas Sumatera Utara


STUDI PEMBUATAN KERUPUK REBUNG

SKRIPSI

OLEH:

DIKI WIRANANDA
060305024/TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh


Gelar Sarjana Teknologi Pertanian di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2011

Universitas Sumatera Utara


Judul Skripsi : Studi Pembuatan Kerupuk Rebung
Nama : Diki Wirananda
NIM : 060305024
Departemen : Teknologi Pertanian
Program Studi : Teknologi Hasil Pertanian

Disetujui Oleh,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Zulkifli Lubis, M.App. Ir. Sentosa Ginting, Mp.
Ketua Anggota

Mengetahui,

Dr. Ir. Herla Rusmarillin, M.S.


Ketua Jurusan

Tanggal Lulus: 21 Maret 2011

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK
DIKI WIRANANDA : Studi Pembuatan Kerupuk Rebung. Dibimbing oleh ZULKIFLI LUBIS
dan SENTOSA GINTING.
Awalnya rebung untuk sayuran sehingga perlu pengolahan agar meningkatkan
nilai tambah. Makanan yang bisa dibuat dari bahan dasar rebung antara lain acar,
asinan, tepung, cuka, serta kerupuk. Rebung bermanfaat bagi tubuh untuk mengobati
sirosis hati, batuk berdahak, demam, dan dapat mengurangi resiko stroke. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit dan jumlah bubur
rebung. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 2 faktor yaitu
konsentrasi natrium metabisulfit (K) : (0, 200, 400 dan 600 ppm) dan jumlah bubur
rebung (R) : (40%, 60%, 80% dan 100%). Parameter yang dianalisa adalah kadar air,
kadar serat kasar, residu sulfit, organoleptik warna (sebelum dan sesudah penggorengan),
kerenyahan dan rasa.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsentrasi natrium metabisulfit
memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kadar air, kadar serat kasar, residu
sulfit, nilai organoleptik warna (sebelum dan sesudah penggorengan), kerenyahan, dan
rasa. Jumlah bubur rebung memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kadar
air, kadar serat kasar, nilai organoleptik warna sesudah penggorengan, kerenyahan, rasa
dan berbeda nyata terhadap residu sulfit, nilai organoleptik warna sebelum penggorengan.
Interaksi konsentrasi natrium metabisulfit dan jumlah bubur rebung memberikan
pengaruh berbeda sangat nyata terhadap nilai organoleptik warna sesudah penggorengan,
berbeda nyata terhadap kerenyahan dan berbeda tidak nyata terhadap kadar air, kadar
serat kasar, residu sulfit, nilai organoleptik warna sebelum penggorengan dan rasa.
Penambahan konsentrasi natrium metabisulfit 1000 ppm dengan jumlah bubur rebung
60% yang lebih baik dan dapat diterima.
Kata Kunci : Rebung, natrium metabisulfit.

ABSTRACT
DIKI WIRANANDA : Study on the Making of Bamboo shoot Chip. Under the supervison
of ZULKIFLI LUBIS and SENTOSA GINTING.
At first the oyster mushrooms is to be vegetables, therefore processing is needed
to increase the value added. Food that can be made from bamboo shoot among others
are pickle, salted vegetable, flour,vinegar and chip. Bamboo shoot is good for body for
treat of liver sirosis, cough, fever and can alleviate stroke risk. The aim of this research
was to know the effect of sodium metabisulfite concentration and amount of bamboo
shoot porridge on the quality of chip produced. The research had been performed using
completely randomized design (CRD) with 2 factors, i.e : sodium metabisulfite
concentration (K) : (0 , 200 , 400 and 600 ppm) and amount of bamboo shoot porridge
(R) : (40%, 60%, 80% and 100%). Parameters analyzed were moisture content, fiber
content, sulfite residue, organoleptic value of color (before and after frying), texture and
taste.
The results showed that sodium metabisulfite concentration had highly
significant effect on the moisture content, fiber content, sulfite residue, organoleptic value
of color (before and after frying), texture and taste. The amount of bamboo shoot
porridge had highly significant effect on the moisture content, fiber content, color after
frying, texture, taste and had significant effect on sulfite residue and color before frying.
The interaction of sodium metabisulfite concentration and amount of bamboo shoot
porridge had significant effect on color after frying, had significant effect on taste and
had no significant effect on the moisture content, fiber content, sulfite residue, color
before frying and taste. The 1000 ppm of sodium metabisulfite and the 60% of bamboo
shoot porridge produced better and more acceptable quality of chip.
Keywords : Bamboo shoot, sodium metabisulfite.

i
Universitas Sumatera Utara
RIWAYAT HIDUP

DIKI WIRANANDA dilahirkan di Surian pada tanggal 12 Juni 1988 dari

ayahanda Amril dan ibunda Warniati. Penulis merupakan putra pertama dari dua

bersaudara.

Tahun 2006 penulis lulus dari SMA N 1 Pantai Cermin, Kab. Solok, Prov.

Sumatera Barat dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas

Sumatera Utara melalui jalur PMDK. Penulis memilih program studi Teknologi

Hasil Pertanian Departemen Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif sebagai pengurus Himpunan

Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat FP USU pada tahun 2007-2010, dan juga

tercatat sebagai anggota Ikatan Mahasiswa Teknologi Hasil Pertanian (IMTHP)

FP USU dan Agriculture Technology Moslem (ATM) FP USU. Selain itu penulis

juga aktif sebagai relawan di Waroeng saHIVa (Sadar HIV Aids) USU.

Penulis melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL) di Pabrik Teh

Bahbutong PTPN IV dari tanggal 12 juni sampai 12 juli 2009.

ii

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul Studi Pembuatan Kerupuk Rebung .

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-

besarnya kepada kedua orang tua tercinta atas doa dan dukungan yang tiada henti-

hentinya selama ini. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Prof. Dr.

Ir. Zulkifli Lubis, M. App. Sc dan Ir. Sentosa Ginting, Mp selaku ketua dan

anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan memberi berbagai

masukan berharga kepada penulis mulai menetapkan judul sampai melakukan

penelitian sehingga penulis dapat menyelesaikan skrpsi ini

Disamping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua staf

pengajar dan pegawai di Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Departemen

Teknologi Pertanian, serta semua rekan mahasiswa terutama teman-teman

stambuk 2006 THP yang membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga skripsi ini

bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Medan, Februari 2011

Penulis

iii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Hal
ABSTRAK ........................................................................................................ i

ABSTRACT ........................................................................................................ i

RIWAYAT HIDUP ........................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ...................................................................................... iii

DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv

DAFTAR TABEL ............................................................................................. vii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ ix

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xi

PENDAHULUAN
Latar Belakang .......................................................................................... 1
Tujuan Penelitian ...................................................................................... 3
Kegunaan Penelitian .................................................................................. 3
Hipotesis Penelitian ................................................................................... 3

TINJAUAN PUSTAKA
Sekilas tentang rebung ............................................................................ 4
Komposisi kimia rebung ........................................................................ 5
Sekilas tentang kerupuk .......................................................................... 6
Tepung terigu ........................................................................................... 6
Tepung tapioka ....................................................................................... 7
Blanching ................................................................................................. 8
Reaksi pencoklatan ................................................................................... 9
Natrium metabisulfit ................................................................................ 11
Kontrol pencoklatan ................................................................................. 13
Pengeringan .............................................................................................. 13
Perubahan kimiawi bahan akibat pengeringan ......................................... 15

BAHAN DAN METODA


Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................. 16
Bahan Penelitian ...................................................................................... 16
Bahan Kimia ............................................................................................. 16
Alat Penelitian ......................................................................................... 16
Metode Penelitian .................................................................................... 17
Model Rancangan .................................................................................... 18
Pelaksanaan Penelitian ............................................................................ 18

iv

Universitas Sumatera Utara


v

Parameter Penelitian
Penentuan kadar air ........................................................................... 19
Penentuan kadar serat kasar .............................................................. 20
Penentuan konsetrasi residu sulfit ..................................................... 20
Penentuan uji organoleptik warna ..................................................... 20
Penentuan uji organoleptik (kerenyahan dan rasa) ........................... 21

SKEMA PEMBUATAN KERUPUK REBUNG .............................................. 23

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit terhadap parameter yang
diamati ....................................................................................................... 25
Pengaruh jumlah bubur rebung terhadap parameter yang diamati ............ 26
Kadar air (% bk)
Pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit terhadap kadar air
(% bk)........................................................................................... 28
Pengaruh jumlah bubur rebung terhadap kadar air (% bk) ......... 29
Pengaruh interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit
dan jumlah bubur rebung terhadap kadar air (% bk).................... 31
Kadar serat kasar (% bk)
Pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit terhadap kadar
serat kasar (% bk)......................................................................... 31
Pengaruh jumlah bubur rebung terhadap kadar serat kasar
(% bk)........................................................................................... 33
Pengaruh interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit
dan jumlah bubur rebung terhadap kadar serat kasar (% bk) ...... 34
Residu sulfit (ppm)
Pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit terhadap residu
sulfit (ppm)................................................................................... 34
Pengaruh jumlah bubur rebung terhadap residu sulfit (ppm)....... 36
Pengaruh interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit
dan jumlah bubur rebung terhadap residu sulfit (ppm)................ 38
Uji organoleptik warna sebelum penggorengan (numerik)
Pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit terhadap uji
organoleptik warna sebelum penggorengan (numerik)................ 38
Pengaruh jumlah bubur rebung terhadap uji organoleptik
warna sebelum penggorengan (numerik) ..................................... 40
Pengaruh interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit
dan jumlah bubur rebung terhadap uji organoleptik warna
sebelum penggorengan (numerik)................................................ 42
Uji organoleptik warna sesudah penggorengan (numerik)
Pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit terhadap uji
organoleptik warna sesudah penggorengan (numerik) ................ 42
Pengaruh jumlah bubur rebung terhadap uji organoleptik
warna sesudah penggorengan (numerik)...................................... 44
Pengaruh interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit
dan jumlah bubur rebung terhadap uji organoleptik warna
sebelum penggorengan (numerik)................................................ 45

Universitas Sumatera Utara


vi

Uji organoleptik kerenyahan (numerik)


Pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit terhadap uji
organoleptik kerenyahan (numerik) ............................................. 48
Pengaruh jumlah bubur rebung terhadap uji organoleptik
kerenyahan (numerik) .................................................................. 50
Pengaruh interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit
dan jumlah bubur rebung terhadap uji organoleptik
kerenyahan (numerik) .................................................................. 51
Uji organoleptik rasa (numerik)
Pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit terhadap uji
organoleptik rasa (numerik) ......................................................... 54
Pengaruh jumlah bubur rebung terhadap uji organoleptik
rasa (numerik) .............................................................................. 55
Pengaruh interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit
dan jumlah bubur rebung terhadap uji organoleptik rasa
(numerik)...................................................................................... 57

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan ............................................................................................... 58
Saran .......................................................................................................... 59

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 60

LAMPIRAN ...................................................................................................... 63

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

Hal
1. Komposisi kimia rebung per 100 gram bahan ........................................... 5

2. Komposisi kimia kerupuk per 100 gram bahan .......................................... 6

3. Komposisi kimia tepung terigu per 100 gram bahan .................................. 7

4. Komposisi kimia tepung tapioka per 100 gram bahan ................................ 8

5. Skala uji hedonik terhadap warna sebelum penggorengan ......................... 21

6. Skala uji hedonik terhadap warna sesudah penggorengan .......................... 21

7. Skala uji hedonik terhadap kerenyahan ...................................................... 21

8. Skala uji hedonik terhadap rasa .................................................................. 22

9. Pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit terhadap parameter


yang diamati ................................................................................................ 25

10. Pengaruh jumlah bubur rebung terhadap parameter yang diamati .............. 27

11. Uji LSR efek utama pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit


terhadap kadar air (% bk) ........................................................................... 28

12. Uji LSR efek utama pengaruh jumlah bubur rebung terhadap
kadar air (% bk) .......................................................................................... 30

13. Uji LSR efek utama pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit


terhadap kadar serat kasar (% bk) .............................................................. 31

14. Uji LSR efek utama pengaruh jumlah bubur rebung terhadap
kadar serat kasar (% bk) ............................................................................. 33

15. Uji LSR efek utama pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit


terhadap residu sulfit (ppm) ....................................................................... 35

16. Uji LSR efek utama pengaruh jumlah bubur rebung terhadap
residu sulfit (ppm) ...................................................................................... 36

17. Uji LSR efek utama pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit


Terhadap uji organoleptik warna sebelum penggorengan (numerik) ........ 38

18. Uji LSR efek utama pengaruh jumlah bubur rebung terhadap
uji organoleptik warna sebelum penggorengan (numerik) ......................... 40

vii

Universitas Sumatera Utara


viii

19. Uji LSR efek utama pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit


terhadap uji organoleptik warna sesudah penggorengan (numerik) .......... 42

20. Uji LSR efek utama pengaruh jumlah bubur rebung terhadap
uji organoleptik warna sesudah penggorengan (numerik) ......................... 44

21. Uji LSR efek utama pengaruh interaksi konsentrasi natrium metabisulfit
dan jumlah bubur rebung terhadap uji organoleptik warna sesudah
penggorengan (numerik) ............................................................................ 46

22. Uji LSR efek utama pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit


terhadap uji organoleptik kerenyahan (numerik) ....................................... 48

23. Uji LSR efek utama pengaruh jumlah bubur rebung terhadap
uji organoleptik kerenyahan (numerik) ...................................................... 50

24. Uji LSR efek utama pengaruh interaksi konsentrasi natrium metabisulfit
dan jumlah bubur rebung terhadap uji organoleptik kerenyahan
(numerik) .................................................................................................... 52

25. Uji LSR efek utama pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit


terhadap uji organoleptik rasa (numerik) ................................................... 54

26. Uji LSR efek utama pengaruh jumlah bubur rebung terhadap
uji organoleptik rasa (numerik) .................................................................. 56

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR GAMBAR

Hal

1. Skema pembuatan kerupuk rebung ............................................................. 23

2. Hubungan konsentrasi natrium metabisulfit terhadap kadar air (% bk) ..... 29

3. Hubungan jumlah bubur rebung terhadap kadar air (% bk) ........................ 30

4. Hubungan konsentrasi natrium metabisulfit terhadap kadar serat


kasar (% bk) ................................................................................................ 32

5. Hubungan jumlah bubur rebung terhadap kadar serat kasar (% bk) ........... 34

6. Hubungan konsentrasi natrium metabisulfit terhadap residu sulfit (ppm) .. 35

7. Hubungan jumlah bubur rebung terhadap residu sulfit (ppm) .................... 37

8. Hubungan konsentrasi natrium metabisulfit terhadap uji organoleptik


warna sebelum penggorengan (numerik) .................................................... 39

9. Hubungan jumlah bubur rebung terhadap uji organoleptik


warna sebelum penggorengan (numerik) .................................................... 41

10. Hubungan konsentrasi natrium metabisulfit terhadap uji organoleptik


warna sesudah penggorengan (numerik) ..................................................... 43

11. Hubungan jumlah bubur rebung terhadap uji organoleptik


warna sesudah penggorengan (numerik) ..................................................... 45

12. Hubungan interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit dan


jumlah bubur rebung terhadap uji organoleptik warna sesudah
penggorengan (numerik) ............................................................................. 47

13. Hubungan konsentrasi natrium metabisulfit terhadap uji organoleptik


kerenyahan (numerik) ................................................................................. 49

14. Hubungan jumlah bubur rebung terhadap uji organoleptik


kerenyahan (numerik) ................................................................................. 51

15. Hubungan interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit dan


jumlah bubur rebung terhadap uji organoleptik kerenyahan
(numerik) ..................................................................................................... 53

16. Hubungan konsentrasi natrium metabisulfit terhadap uji organoleptik


rasa (numerik) ............................................................................................. 55

ix

Universitas Sumatera Utara


x

17. Hubungan jumlah bubur rebung terhadap uji organoleptik rasa


(numerik) ..................................................................................................... 57

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR LAMPIRAN

Hal

1. Data pengamatan kadar air (%) ................................................................... 59

2. Daftar sidik ragam kadar air (%) ................................................................. 59

3. Data pengamatan kadar serat kasar (%) ...................................................... 60

4. Daftar sidik ragam kadar serat kasar (%) .................................................... 60

5. Data pengamatan residu sulfit (ppm) .......................................................... 61

6. Daftar sidik ragam residu sulfit (ppm) ........................................................ 61

7. Data pengamatan uji organoleptik warna sebelum


penggorengan (numerik) ............................................................................. 62

8. Daftar sidik ragam uji organoleptik warna sebelum


penggorengan (numerik) ............................................................................. 62

9. Data pengamatan uji organoleptik warna sesudah


penggorengan (numerik) ............................................................................. 63

10. Daftar sidik ragam uji organoleptik warna sesudah


penggorengan (numerik) ............................................................................. 63

11. Data pengamatan uji organoleptik kerenyahan (numerik) .......................... 64

12. Daftar sidik ragam uji organoleptik kerenyahan (numerik) ........................ 64

13. Data pengamatan uji organoleptik rasa (numerik) ...................................... 65

14. Daftar sidik ragam uji organoleptik tekstur (numerik) ............................... 65

15. Foto kerupuk rebung sebelum penggorengan ............................................. 66

16. Foto kerupuk rebung sesudah penggorengan .............................................. 68

xi

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK
DIKI WIRANANDA : Studi Pembuatan Kerupuk Rebung. Dibimbing oleh ZULKIFLI LUBIS
dan SENTOSA GINTING.
Awalnya rebung untuk sayuran sehingga perlu pengolahan agar meningkatkan
nilai tambah. Makanan yang bisa dibuat dari bahan dasar rebung antara lain acar,
asinan, tepung, cuka, serta kerupuk. Rebung bermanfaat bagi tubuh untuk mengobati
sirosis hati, batuk berdahak, demam, dan dapat mengurangi resiko stroke. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit dan jumlah bubur
rebung. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 2 faktor yaitu
konsentrasi natrium metabisulfit (K) : (0, 200, 400 dan 600 ppm) dan jumlah bubur
rebung (R) : (40%, 60%, 80% dan 100%). Parameter yang dianalisa adalah kadar air,
kadar serat kasar, residu sulfit, organoleptik warna (sebelum dan sesudah penggorengan),
kerenyahan dan rasa.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsentrasi natrium metabisulfit
memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kadar air, kadar serat kasar, residu
sulfit, nilai organoleptik warna (sebelum dan sesudah penggorengan), kerenyahan, dan
rasa. Jumlah bubur rebung memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap kadar
air, kadar serat kasar, nilai organoleptik warna sesudah penggorengan, kerenyahan, rasa
dan berbeda nyata terhadap residu sulfit, nilai organoleptik warna sebelum penggorengan.
Interaksi konsentrasi natrium metabisulfit dan jumlah bubur rebung memberikan
pengaruh berbeda sangat nyata terhadap nilai organoleptik warna sesudah penggorengan,
berbeda nyata terhadap kerenyahan dan berbeda tidak nyata terhadap kadar air, kadar
serat kasar, residu sulfit, nilai organoleptik warna sebelum penggorengan dan rasa.
Penambahan konsentrasi natrium metabisulfit 1000 ppm dengan jumlah bubur rebung
60% yang lebih baik dan dapat diterima.
Kata Kunci : Rebung, natrium metabisulfit.

ABSTRACT
DIKI WIRANANDA : Study on the Making of Bamboo shoot Chip. Under the supervison
of ZULKIFLI LUBIS and SENTOSA GINTING.
At first the oyster mushrooms is to be vegetables, therefore processing is needed
to increase the value added. Food that can be made from bamboo shoot among others
are pickle, salted vegetable, flour,vinegar and chip. Bamboo shoot is good for body for
treat of liver sirosis, cough, fever and can alleviate stroke risk. The aim of this research
was to know the effect of sodium metabisulfite concentration and amount of bamboo
shoot porridge on the quality of chip produced. The research had been performed using
completely randomized design (CRD) with 2 factors, i.e : sodium metabisulfite
concentration (K) : (0 , 200 , 400 and 600 ppm) and amount of bamboo shoot porridge
(R) : (40%, 60%, 80% and 100%). Parameters analyzed were moisture content, fiber
content, sulfite residue, organoleptic value of color (before and after frying), texture and
taste.
The results showed that sodium metabisulfite concentration had highly
significant effect on the moisture content, fiber content, sulfite residue, organoleptic value
of color (before and after frying), texture and taste. The amount of bamboo shoot
porridge had highly significant effect on the moisture content, fiber content, color after
frying, texture, taste and had significant effect on sulfite residue and color before frying.
The interaction of sodium metabisulfite concentration and amount of bamboo shoot
porridge had significant effect on color after frying, had significant effect on taste and
had no significant effect on the moisture content, fiber content, sulfite residue, color
before frying and taste. The 1000 ppm of sodium metabisulfite and the 60% of bamboo
shoot porridge produced better and more acceptable quality of chip.
Keywords : Bamboo shoot, sodium metabisulfite.

i
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rebung merupakan tunas muda tanaman bambu yang muncul di

permukaan dasar rumpun. Tunas muda bambu tersebut enak dimakan, sehingga

digolongkan ke dalam sayuran. Rebung tumbuh dibagian pangkal rumpun bambu

dan biasanya dipenuhi oleh glugut (rambut bambu) yang gatal. Morfologi rebung

berbentuk kerucut, setiap ujung glugut memiliki bagian seperti ujung daun bambu,

tetapi warnanya coklat.

Makanan yang bisa dibuat dari bahan dasar rebung antara lain acar, asinan,

tepung, cuka, serta kerupuk. Rebung mempunyai khasiat yang sangat bermanfaat

bagi tubuh. Pada pengobatan tradisional, rebung kuning diyakini dapat digunakan

untuk mengobati penyakit sirosis hati. Rebung juga telah digunakan untuk

mengobati penyakit batuk berdahak dan demam. Rebung dapat dimakan sebagai

sayuran tunggal atau digunakan sebagai bahan pencampur sayuran dalam masakan

lainnya.

Kandungan senyawa utama di dalam rebung mentah adalah air, yaitu

sekitar 85,63 %. Di samping itu, rebung mengandung protein, karbohidrat, lemak,

vitamin A, thiamin, riboflavin, vitamin C, serta mineral lain seperti kalsium,

fosfor, besi dan kalium. Bila dibandingkan dengan sayuran lainnya, kandungan

protein, lemak dan karbohidrat pada rebung, tidak berbeda jauh. Rebung juga

mempunyai kandungan kalium serta serat yang cukup tinggi. Kadar kalium per

100 gram rebung adalah 533 mg. Makanan yang sarat kalium minimal nya saja

400 mg sudah dapat mengurangi resiko stroke.

Universitas Sumatera Utara


2

Pada penelitian ini digunakan natrium metabisulfit yang bertujuan untuk

menghambat reaksi pencoklatan, sebagai anti mikroba, memperpanjang masa

simpan bahan pangan sebagai zat pengawet. Natrium metabisulfit adalah bahan

sulfitasi yang tidak karsinogenik dan telah mendapat predikat GRAS (Generally

Recognized As Save) dari Food and Drug Administration (FDA). Bahan

pengawet ini aman untuk digunakan pada bahan pangan sesuai dengan batas

konsentrasi maksimal yang diizinkan yaitu sampai 3000 ppm.

Penambahan tepung terigu digunakan untuk meningkatkan zat gizi yaitu

protein. Tepung terigu juga ditambahkan sebagai bahan pengisi, dimana bahan

pengisi tersebut berguna menarik air dan membentuk tekstur adonan yang padat

sehingga mempermudah dalam proses pengolahan selanjutnya.

Rata-rata konsumsi serat pangan penduduk Indonesia adalah 10,5 gram per

harinya. Angka ini menunjukkan bahwa penduduk Indonesia baru memenuhi

kebutuhan serat sekitar sepertiga dari kebutuhan ideal sebesar 30 gram setiap hari.

Karena hal tersebut, untuk dapat memenuhi kebutuhan serat di dalam tubuh

manusia, penulis berinisiatif untuk memanfaatkan rebung dengan cara diolah

menjadi berbagai bahan makanan awetan lain yang lebih baru seperti kerupuk.

Dimana kandungan serat pangan pada rebung adalah 2,56 % lebih tinggi

dibandingkan jenis sayuran tropis lainnya, seperti kecambah kedelai 1,27 %,

ketimun 0,61 % dan sawi 1,01 %.

Hal inilah yang mendasari penulis untuk melakukan penelitian tentang

Studi Pembuatan Kerupuk Rebung .

Universitas Sumatera Utara


3

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh konsentrasi natrium

metabisulfit dan jumlah bubur rebung terhadap mutu kerupuk rebung.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini berguna untuk mendapatkan data penyusunan skripsi sebagai

salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana Teknologi Pertanian di Fakultas

Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dan diharapkan dapat pula berguna

sebagai sumber informasi untuk pihak-pihak yang berkepentingan dalam industri

kerupuk rebung.

Hipotesis Penelitian

Ada pengaruh nyata pada konsentrasi natrium metabisulfit, jumlah bubur

rebung dan interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit dan jumlah bubur

rebung terhadap mutu kerupuk rebung.

Universitas Sumatera Utara


TINJAUAN PUSTAKA

Rebung
Rebung adalah tunas muda dari pohon bambu yang tumbuh dari akar

pohon bambu. Rebung tumbuh dibagian pangkal rumpun bambu dan biasanya

dipenuhi oleh glugut (rambut bambu) yang gatal. Morfologi rebung berbentuk

keucut, setiap ujung glugut memiliki bagian seperti ujung daun bambu, tetapi

warnanya coklat.

Menurut klasifikasi botani, tanaman bambu termasuk Monocotyledoneae,

sebagaimana penggolongan dari tingkat kingdom hingga species sebagai berikut.

- Kingdom : Plantae

- Division : Spermatophyta

- Class : Monocotyledoneae

- Order : Liliales

- Familiy : Liliaceae

- Genus : Asparagus

- Species : Asparagus officinalis L.

Bambu banyak ditanam didaerah tropis Asia. Tanaman ini dapat tumbuh

di daratan rendah sampai ditempat dengan ketinggian 2.000 meter di atas

permukaan laut. Tidak semua jenis bambu memiliki rebung yang enak dimakan.

Beberapa jenis bambu memiliki rebung yang rasanya pahit. Rebung yang biasa

dibuat masakan merupakan rebung pilihan.

Rebung dari bambu betung memiliki rasa yang paling enak. Rebung

betung berwarna merah kecoklatan dan ujung kelopaknya berwarna ungu. Setiap

jenis rebung dilindungi kelopak-kelopak kuat yang berbulu halus.

Universitas Sumatera Utara


5

Senyawa utama di dalam rebung mentah adalah air, yaitu sekitar 85,63 %.

Di samping itu, rebung mengandung protein, karbohidrat, lemak, vitamin A,

thiamin, riboflavin, vitamin C serta mineral lain seperti kalsium, fosfor, besi dan

kalium. Bila dibandingkan dengan sayuran lainnya kandungan protein, lemak dan

karbohidrat pada rebung tidak berbeda jauh.

Komposisi kimia rebung

Kandungan serat pangan pada rebung cukup tinggi yaitu sekitar 2,56 %,

lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis sayuran tropis lainnya, seperti

kecambah kedelai 1,27 %, ketimun 0,61 % dan sawi 1,01 %. Oleh sebab itu

rebung cukup baik untuk dimanfaatkan menjadi jenis bahan makanan olahan

lainnya.

Tabel 1. Komposisi kimia rebung per 100 gram bahan

Komposisi Jumlah

Air (g) 85,63


Protein (g) 2,50
Lemak (g) 0,20
Glukosa (g) 2,00
Serat (g) 9,10
Fosfor (mg) 50,00
Kalsium (mg) 28,00
Vitamin A (mg) 0,10
Vitamin B1 (mg) 1,74
Vitamin B2 (mg) 0,08
Vitamin C (mg) 7,00

Sumber : Andoko (2003).

Universitas Sumatera Utara


6

Kerupuk

Kerupuk merupakan makanan khas Indonesia dan sudah sangat dikenal

oleh masyarakat. Kerupuk sangat beragam dalam bentuk, ukuran, warna, bau,

rasa, kerenyahan, ketebalan ataupun nilai gizinya.

Kerupuk adalah salah satu jenis produk makanan kering khas Indonesia.

Kerupuk disukai baik sebagai lauk pauk maupun makanan ringan. Kerupuk sangat

beragam baik dalam bentuk, ukuran, kenampakan, cita rasa, warna, ketebalan dan

nilai gizinya (Praptiningsih, et al., 2003).

Bahan dasar kerupuk adalah pati dengan kandungan amilopektin

menentukan daya kembang kerupuk. Semakin tinggi kandungan amilopektin pati

maka kerupuk yang dihasilkan akan mempunyai daya kembang yang semakin

besar. Pada pembuatan kerupuk sering ditambahkan bahan-bahan lain untuk

memperbaiki cita rasa dan nilai nutrisi seperti udang, ikan, telur dan lain-lain

(Praptiningsih, et al., 2003).

Tabel 2. Komposisi kimia kerupuk per 100 gram bahan


Komposisi Jumlah

Protein (g) 5,64


Lemak (g) 0,85
Karbohidrat (g) 84,38
Air (g) 9,12
Abu (g) 0,65

Sumber : B.P.P.I., (2004).

Tepung terigu

Tepung terigu mengandung pati 65 % - 70 % dengan rasio amilosa-

amilopektin 74 % dan 26 %. Tergantung jenisnya, gandum mengandung protein

sebesar 6-13 % (Praptiningsih, et al., 2003).

Universitas Sumatera Utara


7

Protein dalam gandum yang berupa gliadin dan glutenin membantu proses

pengikatan air dalam adonan kerupuk. Dengan demikian penambahan tepung

gandum dalam pembuatan kerupuk akan meningkatkan kadar air adonan,

sehingga akan mempengaruhi proses glatinisasi dan lama pemasakan adonan

(Praptiningsih, et al., 2003).

Proporsi penggunaan terigu untuk industri pengolahan bahan pangan di

Indonesia relatif besar. Oleh kerena itu, pemanfaatan tepung tapioka sebagai

pensubsitusi (mengurangi penggunaan) terigu dalam pembuatan produk olahan

diharapkan memberi keuntungan yang cukup besar (Astawan, 2003).

Tabel 3. Komposisi kimia tepung terigu per 100 gram bahan

Komposisi Jumlah

Kalori (Kal) 365,00


Protein (g) 8,90
Lemak (g) 1,30
Karbohidrat (g) 77,30
Air (g) 12,00
P (mg) 106,00
Kalsium (mg) 16,00
Fe (mg) 1,20
Bdd 100,00

Sumber : Departemen Kesehatan R.I., (1996).

Tepung tapioka

Tepung tapioka adalah pati yang diperoleh dari ekstraksi ubi kayu melalui

proses pemarutan, pemerasan penyaringan, pengendapan pati dan pengeringan.

Dalam pembuatan tapioka ditambahkan natrium metabisulfit untuk memperbaiki

warna sehingga tapioka menjadi putih bersih (0,1 %) (Radiyati dan Agusto, 2003).

Tepung tapioka dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku ataupun campuran

pada berbagai macam produk antara lain kerupuk dan kue kering lainnya. Selain

Universitas Sumatera Utara


8

itu tepung tapioka dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengental (thickener), bahan

pengisi, bahan pengikat pada industri makanan olahan (Astawan, 2003).

Tabel 4. Komposisi kimia tepung tapioka per 100 gram bahan

Komposisi Jumlah

Kalori (Kal) 362,00


Protein (g) 0,50
Lemak (g) 0,30
Karbohidrat (g) 86,90
Air (g) 12,00
Bdd 100,00

Sumber : Departemen Kesehatan R.I., (1996).

Blanching

Blanching adalah proses pemanasan pendahuluan yang dilakukan terhadap

buah dan sayuran sebelum bahan tersebut dikeringkan, dengan tujuan

menonaktifkan enzim, membunuh mikroorganisme, mempercepat pengeringan

serta dapat mempertahankan dari kerusakan karena oksidasi selama pengeringan

maupun penyimpanan (Woodroof dan Luh, 1975).

Blanching dapat membuat produk hasil penggorengan menjadi lebih

seragam, absorbsi minyak oleh produk dapat berkurang karena adanya glatinisasi

pati, mengurangi waktu penggorengan dan dapat memperbaiki tekstur hasil

penggorengan (Fuetsel dan Kueneman, 1975). Komersial blanching dapat

dilakukan pada temperatur 87,7 oC 93,3 oC selama 18,5 menit tergantung

kondisi dari bahan (Harris dan Loseqke, 1973).

Proses pencetakan dimaksudkan untuk memperoleh bentuk dan ukuran

yang lebih seragam dan lebih menarik. Keseragaman ukuran penting untuk

memperoleh penampakan dan penetrasi panas yang merata sehingga memudahkan

Universitas Sumatera Utara


9

proses penggorengan dan menghasilkan produk garing dengan warna yang lebih

seragam (Muchtadi et al., 1979).

Reaksi pencoklatan

Reaksi pencoklatan adalah perubahan wana menjadi kecoklatan pada saat

diolah atau selama penyimpanan yang terjadi pada bahan dan produk pangan,

pembentukan warna coklat tersebut dapat dipicu oleh aktivitas enzim atau reaksi

kimia. Reaksi pencoklatan terdiri dari reaksi pencoklatan enzimatis dan nom

enzimatis (Feri, 2010).

1. Reaksi pencoklatan enzimatis

Pembentukan warna coklat ini dipicu oleh reaksi oksidasi yang dikatalisis

oleh enzim fenol oksidase atau polifenol oksidase. Kedua enzim ini dapat

mengkatalis reaksi oksidasi senyawa fenol (misalnya katekol) yang dapat

menyebabkan perubahan warna menjadi coklat. Dalam bahan pangan, seperti

apel, pisang dan kentang kelompok enzim oksidase tersebut dan senyawa fenol

tersedia secara alami. Enzim oksidase akan reaktif dengan adanya oksigen, ketika

bahan pangan tersebut terkelupas atau terpotong, maka bagian dalam permukaan

akan terpapar oleh oksigen, sehingga akan memicu reaksi oksidasi senyawa fenol

dan merubah permukaan bahan pangan menjadi coklat (Feri, 2010).

2. Reaksi non enzimatis

Pada umumnya ada tiga jenis reaksi pencoklatan non-enzimatis, yaitu

reaksi maillard, karamelisasi dan pencoklatan akibat oksidasi dari vitamin C

(Winarno, 2002).

Universitas Sumatera Utara


10

a. Reaksi maillard

Reaksi antara gula pereduksi dan gugus amin dikenal sebagai reaksi

Maillard. Warna coklat dalam reaksi maillard disebabkan oleh pembentukan

melanoidin, yang merupakan kompleks molekul berberat molekul besar. Reaksi

ini diawali reaksi antara grup aldehid atau keton pada molekul gula dengan grup

amino bebas pada molekul protein atau asam amino membentuk glucosyl amine.

Senyawa ini kemudian melalui amadori rearrangement membentuk amino-deoxy-

ketose. Produk-produk amadori tidak stabil dan setelah melalui serangkaian reaksi

yang kompleks menghasilkan komponen aroma dan flavor, serta pigmen coklat

melanoidin (Eskin et al., 1971).

b. Karamelisasi

Gula dalam larutan sangat stabil pada pH 3 - 7. Pencairan gula atau

pemanasan larutan gula dengan keberadaan katalis asam atau basa dapat

menyebabkan gula mengalami karamelisasi. Karamelisasi menghasilkan warna

coklat dan aroma yang disukai. Warna karamel banyak digunakan untuk

mewarnai minuman cola dan makanan lain (Eskin et al., 1971).

c. Oksidasi dari vitamin C

Vitamin C merupakan suatu senyawa reduktor yang juga dapat bertindak

sebagai precursor untuk pencoklatan non-enzimatis. Asam- asam askorbat berada

dalam keseimbangan dengan asam dehidroaskorbat. Dalam suasana asam, cincin

lakton asam dehidroaskorbat terurai secara irreversibel dengan membentuk suatu

senyawa diketoglukonat (Winarno, 2002).

Universitas Sumatera Utara


11

Natrium metabisulfit

Sulfitasi merupakan salah satu perlakuan pendahuluan pada pengolahan

kerupuk. Tujuan utama dari sulfitasi adalah untuk mengurangi pencoklatan pada

waktu pengolahan dan penyimpanan berikutnya. SO2 tidak dapat secara mutlak

menghentikan reaksi pencoklatan tetapi memperlambat reaksi tersebut

(Hulme, 1991).

Salah satu aplikasi yang digunakan sebagai sumber sulfur dioksida adalah

natrium metabisulfit. Merupakan bahan pengawet yang digolongkan ke dalam

garam-garam sulfit. Natrium metabisulfit biasa digunakan pada bahan pangan

untuk mencegah pencoklatan enzimatis maupun non enzimatis, sebagai pemutih,

penghambat bakteri, kapang, dan khamir (Desrosier, 1988).

Natrium metabisulfit berbentuk serbuk bewarna putih mudah larut dalam

air, sedikit larut dalam alkohol dan berbau khas seperti gas sulfur dioksida,

mempunyai rasa asam dan asin. Pada konsentrasi 200 ppm bahan pengawet ini

dapat menghambat pertumbuhan bakteri, kapang dan khamir

(Chicester et al., 1975).

Mekanisme menghambat pertumbuhan mikroba oleh senyawa sulfur

adalah dengan merusak sel mikroba, mereduksi ikatan sulfit, bereaksi dengan

gugus karbonil. Molekul asam sulfit yang tidak terdisosiasi akan masuk kedalam

sel mikrobia. Karena sel mikrobia pH nya netral, asam sulfit akan terdisosiasi

sehingga dalam sel mikroba banyak terdapat ion H+ yang menyebapkan pH sel

menjadi rendah, keadaan ini menyebabkan organ-organ sel mikroba rusak

(Winarno dan Betty, 1974).

Universitas Sumatera Utara


12

Natrium metabisulfit bersifat mengikat air dimana natrium metabiuslfit

akan berikatan dengan air dimana reaksinya adalah :

Na2S2O5 + H2O 2NaHSO3

Sipayung (1982) menyebutkan bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium

metabisulfit yang digunakan untuk mengawetkan bahan pangan kering akan

cenderung mengakibatkan kadar air rendah pada bahan tersebut.

Natrium metabisulfit adalah bahan sulfitasi yang tidak karsinogenik dan

telah mendapat predikat GRAS (Generally Recognized As Save) dari Food and

Drugs Administration (FDA) sejak Agustus 1959. Artinya bahan pengawet ini

aman untuk digunakan pada bahan pangan sesuai dengan batas konsentrasi yang

diizinkan. Batas maksimum penggunaan sulfur dioksida dalam bahan makanan

yang dikeringkan di Amerika Serikat yang ditetapkan FDA yaitu 200 ppm sampai

3000 ppm (Barnet, 1985).

Reaksi penguraian garam sulfit menjadi ion-ion sebagaimana tersebut

dibawah digambarkan oleh (Frazier 1976) sebagai berikut :

Na2S2O5 + H2O 2NaHSO3

NaHSO3 + Na+ + HSO3-

HSO3- + H+ H2SO3

H2SO3- + H+ SO2 + H2O

Natrium metabisulfit yang diperdagangkan berbentuk kristal.

Pemakaiannya dalam pengolahan bahan pangan bertujuan untuk mencegah proses

pencoklatan pada buah sebelum diolah, menghilangkan bau dan rasa getir

serta untuk mempertahankan warna agar tetap menarik. Natrium metabisulfit yang

berlebihan akan hilang sewaktu pengeringan (Deman, 1980).

Universitas Sumatera Utara


13

Kontrol pencoklatan

Natrium metabisulfit yang diberikan selain bertujuan mengikat air juga

untuk mengontrol pencoklatan yang terjadi pada bahan, karena bahan

mengandung juga gula pereduksi. Dimana gula reduksi ini bila bereaksi dengan

asam amino selama pengolahan akan menimbulkan warna coklat. Bisulfit juga

dapat menghambat proses pencoklatan dimana sulfit bereaksi dengan gugus

aldehid atau keton sehingga reaksi antara gula reduksi dengan asam amino tidak

terjadi (Apandi, 1984).

Pengeringan

Pengeringan adalah suatu metoda untuk mengeluarkan atau

menghilangkan sebagian air dari bahan dengan cara menguapkan air tersebut

dengan menggunakan energi panas. Biasanya kandungan air dikurangi sampai

batas agar mikroba tidak dapat tumbuh lagi di dalamnya (Winarno et al., 1980).

Pengeringan bahan makanan dilakukan manusia sebagai usaha pengawetan

dalam tahapan proses rekayasa pengolahan pangan. Pengeringan ditujukan untuk

menurunkan kadar air dalam bahan pangan, sekaligus menurunkan aktivitas air.

Dengan menurunnya jumlah air bebas hingga mendekati nol, maka pertumbuhan

mikroorganisme, aktivitas enzim dan reaksi kimia dalam bahan makanan akan

terhenti. Dampaknya, umur simpan bahan pangan akan lebih panjang

(Taib et al., 1988).

Keuntungan pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet dan volume

bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang

pengepakan dan pengangkutan, dengan demikian diharapkan biaya produksi

menjadi lebih murah (Winarno, 2002).

Universitas Sumatera Utara


14

Pengecilan ukuran akan meningkatkan luas permukaan bahan sehingga

akan mempercepat proses pengeluaran air. Sebelum dikeringkan, bahan pangan

sebaiknya diblansir untuk menginaktifkan enzim yang dapat menyebabkan

perubahan warna pangan menjadi coklat (Buckle et al., 2010).

Mekanisme pengeringan hasil pertanian adalah dengan pemanfaatan

panas, berlangsung sebagai akibat konveksi, radiasi dan konduksi. Pada batas-

batas tertentu, kandungan air dapat diturunkan sehingga kualitas dari produk

pertanian tersebut tetap memenuhi persyaratan seperti yang direncanakan

sebelumnya. Dengan adanya pengeringan ini maka diharapkan akan menimbulkan

keuntungan-keuntungan (Matondang, 1999).

Banyaknya kandungan air dalam bahan pangan merupakan salah satu

faktor yang mempengaruhi kecepatan dan aktivitas enzim, aktivitas mikroba dan

aktivitas kimiawi, yaitu terjadi ketengikan dan reaksi non enzimatis, sehingga

menimbulkan sifat-sifat organoleptik, penampakan, tekstur dan cita rasa serta nilai

gizi yang berubah, dimana kadar air pada bahan pangan dapat diukur dengan

berbagai cara. Metoda yang umum digunakan untuk pengukuran kadar air di

laboratorium adalah dengan cara pemanasan dalam oven atau dengan cara

destilasi (Syarief dan Hariyadi, 1993).

Pada waktu pengeringan masih berlangsung proses enzimatis. Pengeringan

dengan oven lebih baik ditinjau dari segi kecepatan pengeringan dan bahaya

serangan jamur pada waktu pengeringan (Tjiptadi, 1982).

Pengeringan dengan alat mekanis (pengeringan buatan) yang

menggunakan tambahan panas memberikan keuntungan diantaranya, tidak

tergantung cuaca, kapasitas pengeringan dapat dipilih sesuai dengan yang

Universitas Sumatera Utara


15

diperlukan, tidak memerlukan tempat yang luas, serta kondisi pengeringan dapat

dikontrol. Penegeringan ini memerlukan energi untuk memanaskan alat

pengering, mengimbangi radiasi panas yang keluar dari alat dan memanaskan

bahan (Kartasapoetra, 1994).

Perubahan kimiawi bahan akibat pengeringan

Pada umumnya bahan pangan yang dikeringkan berubah warnanya

menjadi coklat. Ini disebabkan oleh reaksi browning non enzimatis antara asam

organik dengan gula pereduksi dan antara asam amino dengan gula pereduksi.

Reaksi asam amino dengan gula pereduksi dapat menurunkan nilai gizi yang

terkandung didalamnya. Case hardening dapat disebabkan oleh adanya

perubahan-perubahan kimia tertentu, misalnya terjadi penggumpalan protein pada

permukaan karena panas atau terbentuknya dekstrin dari pati

(Winarno et al., 1980).

Air dalam bahan pangan berperan sebagai pelarut dari berbagai komponen

di samping ikut sebagai bahan pereaksi. Bentuk air dapat ditemukan sebagai air

terikat dan air bebas. Air bebas dapat mudah hilang apabila terjadi penguapan atau

pengeringan, sedangkan air terikat apabila terjadi penguapan atau pengeringan

tetap menempel pada bahan pangan tersebut (Purnomo, 1995).

Universitas Sumatera Utara


BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober November 2010 di

Laboratorium Mikrobiologi Departemen Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara, Medan.

Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rebung yang dibeli dari

pasar sore Padang Bulan, Medan. Bahan tambahan yang digunakan berupa tepung

terigu, tepung tapioka dan bumbu-bumbu yang terdiri dari bawang putih, bawang

merah, garam dan ketumbar.

Bahan Kimia

Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah natrium

metabisulfit. Bahan kimia yang digunakan untuk analisa dalam penelitian ini

adalah asam sulfat, larutan natrium hidroksida 0,1 N, kalium sulfat, asam klorida,

natrium thiosulfat, larutan pati, larutan iodin dan alkohol.

Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan, desikator,

tabung reaksi, gelas ukur, erlenmeyer, pendingin balik, labu Kjeldal, kukusan,

pipet tetes, blender dan oven.

16

Universitas Sumatera Utara


17

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode rancangan acak

lengkap (RAL), yang terdiri dari dua faktor, yaitu:

Faktor I : Konsentrasi natrium metabisulfit (K), yaitu:

K1 = 0 ppm

K2 = 500 ppm

K3 = 1000 ppm

K4 = 1500 ppm

Faktor II : Jumlah bubur rebung yang digunakan (R), yaitu:

R1 = 20 % dari jumlah adonan

R2 = 40 % dari jumlah adonan

R3 = 60 % dari jumlah adonan

R4 = 80 % dari jumlah adonan

Banyaknya kombinasi perlakuan atau Treatment Combination (Tc) adalah

4 x 4 = 16, maka jumlah ulangan (n) minimum adalah sebagai berikut:

Tc (n-1) 15

16 (n-1) 15

16 n 30

n 1,93.................dibulatkan menjadi 2

Jadi, untuk ketelitian dalam penelitian ini dilakukan ulangan sebanyak 2 kali.

Universitas Sumatera Utara


18

Model Rancangan

Penelitian ini dilakukan dengan model rancangan acak lengkap (RAL)

dua faktorial dengan model sebagai berikut:

ijk = µ + i + j + ( )ij + ijk

dimana:

ijk : Hasil pengamatan dari faktor K pada taraf ke-i dan faktor R pada taraf

ke-j dengan ulangan ke-R

µ : Efek nilai tengah

i : Efek faktor K pada taraf ke-i

j : Efek faktor R pada taraf ke-j

( )ij : Efek interaksi faktor K pada taraf ke-i dan faktor R pada taraf ke-j

ijk : Efek galat dari faktor K pada taraf ke-i dan faktor R pada taraf ke-j

dalam ulangan ke-k

Apabila diperoleh hasil yang berbeda nyata dan sangat nyata maka uji

dilanjutkan dengan uji beda rataan, menggunakan uji Least Significant Range

(LSR).

Pelaksanaan Penelitian

Diambil rebung 100 gram dicuci dan dibersihkan, di blanching rebung

tersebut pada suhu 80 0C selama 15 menit. Direndam dengan Na2S2O5 selama 15

menit sesuai dengan perlakuan. Kemudian ditiriskan dan diblender sampai halus

(bubur). Ditimbang bubur rebung sesuai dengan perlakuan. Ditambahkan

campuran tepung terigu dan tapioka (40 : 60) sampai total adonan berjumlah 100

g, juga ditambahkan bumbu-bumbu seperti bawang merah, bawang putih dan

ketumbar (2 %), garam (2,5 %), NaHCO3 (0,03 %), gula (10 %), baking powder

Universitas Sumatera Utara


19

(2 %). Dilakukan pengadonan sampai semua campuran bahan menyatu (kalis).

Dibentuk adonan seperti dodolan kemudian dikukus selama 45 menit atau sampai

berubah warna, kemudian digunting dodolan berbentuk kerupuk. Dikeringkan

dalam oven pada suhu 60 0C selama 8 jam sampai kerupuk dapat dipatahkan.

Parameter Penelitian

Penentuan Kadar Air (% bk) (Dengan Metode Oven) (AOAC, 1970)

Ditimbang bahan sebanyak 5 gram di dalam aluminium foil yang telah

diketahui berat kosongnya. Kemudian bahan tersebut dikeringkan dalam oven

dengan suhu 105 oC selama 5 jam, selanjutnya didinginkan di dalam desikator

selama 15 menit lalu ditimbang kembali. Setelah itu, bahan dipanaskan kembali di

dalam oven selama 30 menit, kemudian didinginkan kembali dengan desikator

selama 15 menit lalu ditimbang. Perlakuan ini diulangi sampai diperoleh berat

yang konstan.

berat awal  berat akhir


Kadar air (% bk) = x 100 %
berat akhir

Penentuan Kadar Serat Kasar (% bk) (Sudarmadji, et al., 1997)

Ditimbang 2 gram bahan kering yang telah dihaluskan, dipindahkan ke

dalam erlenmeyer 600 ml. Tambahkan H2SO4 mendidih dan tutuplah dengan

pendingin balik, didihkan selama 30 menit dengan kadangkala digoyang-goyang.

Disaring suspensi melalui kertas saring dan residu yang tertinggal dalam

erlenmeyer dicuci dengan aquadest mendidih. Dicuci residu dalam kertas saring

sampai air cucian tidak bersifat asam lagi (uji dengan kertas lakmus).

Dipindahkan secara kuantitatif residu dari kertas saring ke dalam erlenmeyer

Universitas Sumatera Utara


20

kembali dengan spatula dan sisanya dicuci dengan larutan NaOH mendidih (0,313

N NaOH) sebanyak 200 ml sampai semua residu masuk ke dalam erlenmeyer.

Didihkan dengan pendingin balik sampai kadangkala digoyang-goyang selama 30

menit. Disaring melalui kertas saring yang diketahui beratnya, sambil dicuci

dengan larutan K2SO4 10 %. Dicuci lagi residu dengan aquadest mendidih dan

kemudian dengan 15 ml alkohol 95 %. Dikeringkan kertas saring pada 110 0C

sampai berat konstan (1 - 2 jam), dinginkan dalam desikator dan ditimbang.

Berat residu = Berat serat kasar (% bk)

Penentuan konsentrasi residu sulfit (Ranggana, 1977)

Ditimbang 0,2 gram sampel yang telah dihaluskan lalu ditambahkan 50 ml

0,01 N iodin dalam beaker glass, dibiarkan selama 5 menit lalu ditambahkan 100

ml HCl pekat 5 ml. Dititrasi kelebihan iodin dengan natrium thiosulfit dengan

ditambahkan pati 1 % sebagai indikator hingga putih. Tiap 0,01 N iodin = 0,4753

mg, natrium metabisulfit = 0,3203 mg sulfur dioksida dengan rumus :

(ml 0,01 N iodin ml 0,1 N Na2S2O3) x 0,3203 x 1000


SO2 (ppm) =
Berat contoh

Penentuan uji organoleptik warna (Soekarto, 1981)

Penentuan uji organoleptik warna dilakukan dengan uji kesukaan atau uji

hedonik untuk mengetahui nilai warna dari kerupuk yang dihasilkan. Uji ini

dilakukan sebelum dan sesudah penggorengan. Penilaian dilakukan berdasarkan

kriteria sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara


21

Tabel 5. Skala uji hedonik terhadap warna sebelum penggorengan

Skala hedonik Skala numerik

Kuning kecoklatan 4
Agak coklat 3
Coklat 2
Sangat kecoklatan 1

Tabel 6. Skala uji hedonik terhadap warna sesudah penggorengan


Skala hedonik Skala numerik

Sangat kuning 4
Kuning 3
Agak kuning 2
Kuning kecoklatan 1

Penentuan uji organoleptik (kerenyahan dan rasa)

Penentuan uji organoleptik kerenyahan dilakukan untuk mendapatkan

kerenyahan dari tekstur kerupuk, sedangkan penentuan uji organoleptik rasa

dilakukan dengan uji kesukaan atau uji hedonik untuk mengetahui nilai rasa dari

kerupuk yang dihasilkan. Uji ini dilakukan sesudah penggorengan. Penilaian

dilakukan berdasarkan kriteria sebagai berikut :

Tabel 7. Skala uji hedonik terhadap kerenyahan

Skala hedonik Skala numerik

Sangat renyah 4
Renyah 3
Agak renyah 2
Tidak renyah 1

Universitas Sumatera Utara


22

Tabel 8. Skala uji hedonik terhadap rasa

Skala hedonik Skala numerik

Sangat suka 4
Suka 3
Agak suka 2
Tidak suka 1

Universitas Sumatera Utara


SKEMA PEMBUATAN KERUPUK REBUNG

Rebung 100 g

Pencucian dan pembersihan

Blanching
(80 0C 15 menit)

Perendaman Na2S2O5 :
Perendaman dalam Na2S2O5 K1 = 0 ppm
selama (15 menit) K2 = 500 ppm
K3 = 1000 ppm
K4 = 1500 ppm

Penghalusan dengan blender


selama (15 menit)
Penimbangan bubur rebung dari
total 100 g adonan:
R1 = 20 % dari jumlah adonan
Bubur rebung R2 = 40 % dari jumlah adonan
R3 = 60 % dari jumlah adonan
R4 = 80 % dari jumlah adonan

Penambahan tepung terigu dan tepung tapioka (40


: 60), bumbu-bumbu bawang merah, bawang putih
dan ketumbar (2 %), garam (2,5 %), NaHCO3
(0,03 %), gula (10 %) dan baking powder (2 %).

Pengadukan adonan sampai kalis

Pencetakan adonan berbentuk


dodolan

23

Universitas Sumatera Utara


24

Pengukusan selama 45 menit

Pemotongan kerupuk
berbentuk persegi

Pengeringan dengan suhu 60 oC selama 8 jam


( sampai kerupuk mudah dipatahkan)

Analisa

Sebelum dan sesudah Sesudah penggorengan : Tanpa Penggorengan :


penggorengan : 1. Organoleptik kerenyahan 1. Kadar air
1. Organoleptik warna 2. Organoleptik rasa 2. Kadar serat kasar
3. Residu sulfit

Gambar 1. Skema pembuatan kerupuk rebung

Universitas Sumatera Utara


HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi natrium metabisulfit dan

jumlah bubur rebung memberikan pengaruh terhadap parameter yang diamati.

Pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit dan jumlah bubur rebung terhadap

parameter yang diamati dapat dijelaskan di bawah ini

Pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit terhadap parameter yang


diamati

Dari hasil penelitian dan analisis yang dilakukan, secara umum

menunjukkan bahwa konsentrasi natrium metabisulfit memberikan pengaruh

terhadap kadar air, kadar serat kasar, residu sulfit dan nilai organoleptik warna

sebelum dan sesudah penggorengan, nilai organoleptik kerenyahan dan nilai

organoleptik rasa, seperti terlihat pada Tabel 9 berikut.

Tabel 9. Pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit terhadap parameter yang


diamati
Konsentrasi Kadar Kadar Residu Warna Kerenyahan Rasa
natrium air serat sulfit I II II II
metabisulfit kasar
(ppm) (% bk) (% bk) (ppm) (numerik) (numerik) (numerik)
K1 = 0 3,89 6,82 98,76 2,73 2,61 2,91 2,84
K2 = 500 3,64 7,58 202,42 2,93 2,63 3,07 2,97
K3 = 1000 3,22 8,19 291,39 2,94 2,94 3,10 3,04
K4 = 1500 2,73 9,15 328,17 3,11 3,26 3,15 3,19
Ket : I = Sebelum penggorengan, II = Sesudah penggorengan.

Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa semakin besar konsentrasi natrium

metabisulfit maka, kadar serat kasar, residu sulfit, nilai organoleptik warna

(sebelum dan sesudah penggorengan), kerenyahan dan rasa semakin meningkat

sedangkan kadar air semakin menurun seiring dengan bertambahnya konsentrasi

natrium metabisulfit.

25
Universitas Sumatera Utara
26

Kadar air tertinggi diperoleh pada perlakuan K1 (0 ppm) yaitu sebesar 3,89

% dan terendah diperoleh pada perlakuan K4 (1500 ppm) yaitu sebesar 2,73 %.

Kadar serat kasar tertinggi diperoleh pada perlakuan K4 (1500 ppm) yaitu sebesar

9,15 % dan terendah pada perlakuan K1 (0 ppm) yaitu sebesar 6,82 %. Residu

sulfit tertinggi diperoleh pada perlakuan K4 (1500 ppm) yaitu sebesar 328,17 ppm

dan terendah pada perlakuan K1 (0 ppm) yaitu sebesar 98,76 ppm. Nilai

organoleptik warna sebelum penggorengan tertinggi diperoleh pada perlakuan K4

(1500 ppm) yaitu sebesar 3,11 dan terendah pada perlakuan K1 (0 ppm) yaitu

sebesar 2,73. Nilai organoleptik warna sesudah penggorengan tertinggi diperoleh

pada perlakuan K4 (1500 ppm) yaitu sebesar 3,26 dan terendah pada perlakuan K4

(1500 ppm) yaitu sebesar 2,61. Nilai organoleptik kerenyahan tertinggi diperoleh

pada perlakuan K4 (1500 ppm) yaitu sebesar 3,15 dan terendah pada perlakuan K1

(0 ppm) yaitu sebesar 2,91. Nilai organoleptik rasa tertinggi diperoleh pada

perlakuan K4 (1500 ppm) yaitu sebesar 3,19 dan terendah pada perlakuan K1 (0

ppm) yaitu sebesar 2,84.

Pengaruh jumlah bubur rebung terhadap parameter yang diamati

Jumlah bubur rebung juga memberi pengaruh terhadap kadar air, kadar

serat kasar, residu sulfit, nilai organoleptik warna sebelum dan sesudah

penggorengan, nilai organoleptik kerenyahan dan nilai organoleptik rasa seperti

terlihat pada Tabel 10 berikut.

Universitas Sumatera Utara


27

Tabel 10. Pengaruh jumlah bubur rebung terhadap parameter yang diamati
Jumlah Kadar Kadar Residu Warna Kerenyahan Rasa
bubur air serat sulfit I II II II
rebung kasar
(%) (% bk) (% bk) (ppm) (numerik) (numerik) (numerik)
R1 = 20 2,94 7,56 237,69 3,04 3,01 3,23 2,88
R2 = 40 3,26 7,85 234,21 2,95 3,00 3,12 2,93
R3 = 60 3,51 8,01 222,87 2,92 2,81 3,01 3,02
R4 = 80 3,77 8,31 212,59 2,80 2,64 2,89 3,19
Ket : I = Sebelum penggorengan, II = Sesudah penggorengan.

Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa semakin banyak jumlah bubur rebung

maka, kadar air, kadar serat kasar dan nilai organoleptik rasa semakin meningkat,

sedangkan residu sulfit, nilai organoleptik warna (sebelum dan sesudah

penggorengan) dan kerenyahan semakin menurun seiring dengan bertambahnya

jumlah bubur rebung.

Kadar air tertinggi diperoleh pada perlakuan R4 (80 %) yaitu sebesar 3,77

% dan terendah diperoleh pada perlakuan R4 (20 %) yaitu sebesar 2,94 %. Kadar

serat kasar tertinggi diperoleh pada perlakuan R4 (80 %) yaitu sebesar 8,31 % dan

terendah pada perlakuan R1 (20 %) yaitu sebesar 7,56 %. Residu sulfit tertinggi

diperoleh pada perlakuan R1 (20 %) yaitu sebesar 237,69 ppm dan terendah pada

perlakuan R4 (80 %) yaitu sebesar 212,59 ppm. Nilai organoleptik warna sebelum

penggorengan tertinggi diperoleh pada perlakuan R1 (20 %) yaitu sebesar 3,04 dan

terendah pada perlakuan R4 (80 %) yaitu sebesar 2,80. Nilai organoleptik warna

sesudah penggorengan tertinggi diperoleh pada perlakuan R1 (20 %) yaitu sebesar

3,01 dan terendah pada perlakuan R4 (80 %) yaitu sebesar 2,64. Nilai organoleptik

kerenyahan tertinggi diperoleh pada perlakuan R1 (20 %) yaitu sebesar 3,23 dan

terendah pada perlakuan R4 (80 %) yaitu sebesar 2,89. Nilai organoleptik rasa

tertinggi diperoleh pada perlakuan R4 (80 %) yaitu sebesar 3,19 dan terendah pada

perlakuan R1 (20 %) yaitu sebesar 2,88.

Universitas Sumatera Utara


28

Kadar air (% bk)

Pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit terhadap kadar air (% bk)

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 2 dapat dilihat bahwa

konsentrasi natrium metabisulfit memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata

(P<0,01) terhadap kadar air. Hasil pengujian dengan Least Significant Range

(LSR) menunjukkan pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit terhadap kadar air

untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 11 berikut.

Tabel 11. Uji LSR efek utama pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit
terhadap kadar air (% bk)
LSR Konsentrasi Notasi
Jarak Rataan
0,05 0,01 natrium metabisulfit (ppm) 0,05 0,01
- - - K1 = 0 3,89 a A
2 0,174 0,240 K2 = 500 3,64 b A
3 0,183 0,252 K3 = 1000 3,22 c B
4 0,187 0,258 K4 = 1500 2,73 d C
Keterangan: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5 %
dan berbeda sangat nyata pada taraf 1 %

Dari Tabel 11 dapat dilihat bahwa perlakuan K1 (0 ppm) berbeda nyata

dengan perlakuan K2 (500 ppm) dan berbeda sangat nyata dengan perlakuan K3

(1000 ppm) dan K4 (1500 ppm). Perlakuan K2 (500 ppm) berbeda sangat nyata

dengan perlakuan K3 (1000 ppm) dan K4 (1500 ppm). Perlakuan K3 (1000 ppm)

berbeda sangat nyata dengan perlakuan K4 (1500 ppm). Kadar air tertinggi

diperoleh pada perlakuan K1 (0 ppm) yaitu sebesar 3,89 % dan kadar air terendah

diperoleh pada perlakuan K4 (1500 ppm) yaitu sebesar 2,73 %.

Hubungan antara konsentrasi natrium metabsiulfit dengan kadar air

mengikuti garis regresi linear seperti terlihat pada Gambar 2 berikut.

Universitas Sumatera Utara


29

Gambar 2. Hubungan konsentrasi natrium metabisulfit terhadap kadar air (% bk)

Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium

metabisulfit yang ditambahkan maka kadar air kerupuk rebung akan semakin

rendah. Hal ini disebabkan karena natrium metabisulfit bersifat mengikat air

dimana natrium metabisulfit akan berikatan dengan air dimana reaksinya adalah :

Na2S2O5 + H2O 2NaHSO3

Hal ini sesuai dengan pernyataan (Sipayung 1982) menyebutkan bahwa dengan

larutan natrium metabisulfit lebih banyak mereduksi O2, sehingga proses oksidasi

yang berlangsung semakin kecil. Kadar air yang rendah akan mempermudah

penyimpanan, karena kerupuk pada kondisi ini tidak mudah diserang

mikroorganisme dan dapat disimpan dalam waktu yang lama.

Pengaruh jumlah bubur rebung terhadap kadar air (% bk)

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 2 dapat dilihat bahwa

pengaruh jumlah bubur rebung memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata

(P<0,01) terhadap kadar air. Hasil pengujian dengan Least Significant Range

Universitas Sumatera Utara


30

(LSR) menunjukkan bahwa pengaruh jumlah bubur rebung terhadap kadar air

untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 12 berikut.

Tabel 12. Uji LSR efek utama pengaruh jumlah bubur rebung terhadap
kadar air (% bk)
LSR Jumlah bubur Notasi
Jarak Rataan
0,05 0,01 rebung (%) 0,05 0,01
- - - R1 = 20 2,94 d C
2 0,174 0,240 R2 = 40 3,26 c B
3 0,183 0,252 R3 = 60 3,51 b B
4 0,187 0,258 R4 = 80 3,77 a A
Keterangan: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5 %
dan berbeda sangat nyata pada taraf 1 %

Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa perlakuan R1 (20 %) berbeda sangat

nyata dengan perlakuan R2 (40 %), R3 (60 %) dan R4 (80 %). Perlakuan R2 (40 %)

berbeda nyata dengan perlakuan R3 (60 %) dan berbeda sangat nyata dengan

perlakuan R4 (80 %). Perlakuan R3 (60 %) berbeda sangat nyata dengan perlakuan

R4 (80 %). Kadar air tertinggi diperoleh pada perlakuan R1 (20 %) yaitu sebesar

3,77 % dan kadar air terendah diperoleh pada perlakuan R4 (80 %) yaitu sebesar

2,94 %.

Hubungan antara jumlah bubur rebung dengan kadar air mengikuti garis

regresi linear seperti terlihat pada Gambar 3 berikut.

Gambar 3. Pengaruh jumlah bubur rebung terhadap kadar air (% bk)

Universitas Sumatera Utara


31

Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa semakin banyak jumlah bubur rebung

yang ditambahkan maka kadar air kerupuk rebung akan semakin meningkat. Hal

ini disebabkan karena semakin banyak jumlah bubur rebung yang ditambahkan

maka jumlah tepungnya semakin sedikit, dimana kadar air dari rebung lebih tinggi

dibandingkan dengan kadar air dari tepung.

Pengaruh interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit dan jumlah


bubur rebung terhadap kadar air (% bk)

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 2 dapat dilihat bahwa

interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit dan jumlah bubur rebung tidak

nyata (P>0,05) terhadap kadar air sehingga uji LSR tidak dilanjutkan.

Kadar serat kasar (% bk)

Pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit terhadap kadar serat kasar


(% bk)

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 4 konsentrasi natrium

metabisulfit memberi pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap kadar

serat kasar yang dihasilkan. Hasil pengujian dengan Least Significant Range

(LSR) menunjukkan pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit terhadap kadar

serat kasar untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 13 berikut.

Tabel 13. Uji LSR efek utama pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit
terhadap kadar serat kasar (% bk)
LSR Kosentrasi Notasi
Jarak Rataan
0,05 0,01 natrium metabisulfit (ppm) 0,05 0,01
- - - K1 = 0 6,82 d D
2 0,094 0,130 K2 = 500 7,58 c C
3 0,099 0,137 K3 = 1000 8,19 b B
4 0,102 0,140 K4 = 1500 9,15 a A
Keterangan: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf dan
berbeda sangat nyata pada taraf 1 %

Universitas Sumatera Utara


32

Dari Tabel 13 dapat dilihat bahwa perlakuan K1 (0 ppm) berbeda sangat

nyata dengan perlakuan K2 (500 ppm), K3 (1000 ppm) dan K4 (1500 ppm).

Perlakuan K2 (500 ppm) berbeda sangat nyata dengan perlakuan K3 (1000 ppm)

dan K4 (1500 ppm). Perlakuan K3 (1000 ppm) berbeda sangat nyata dengan

perlakuan K4.(1500 ppm) . Kadar serat kasar tertinggi diperoleh pada perlakuan K4

(1500 ppm) yaitu sebesar 9,15 % dan kadar serat terendah diperoleh pada

perlakuan K1 (0 ppm) yaitu sebesar 6,82 %.

Hubungan antara konsentrasi natrium metabisulfit dengan kadar serat

kasar mengikuti garis regresi linear seperti terlihat pada Gambar 4 berikut.

Gambar 4. Hubungan konsentrasi natrium metabisulfit terhadap kadar serat


kasar (% bk)

Dari Gambar 4 dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium

metabisulfit yang ditambahkan maka kadar serat kasar akan semakin tinggi. Hal

ini disebabkan karena natrium metabisulfit bersifat mengikat air, menurut

(Aditiya, 2010) semakin banyaknya air yang diikat oleh natrium metabisulfit

maka kadar air pada bahan akan semakin berkurang sehingga jumlah kadar serat

Universitas Sumatera Utara


33

yang dapat terlarut dalam air dapat berkurang seiring menurunnya air di dalam

bahan tersebut

Pengaruh jumlah bubur rebung terhadap kadar serat kasar (% bk)

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 4 dapat dilihat bahwa

jumlah bubur rebung memberi pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap

kadar serat kasar yang dihasilkan. Hasil pengujian dengan Least Significant Range

(LSR) menunjukkan pengaruh jumlah bubur rebung terhadap kadar serat kasar

untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 14 berikut.

Tabel 14. Uji LSR efek utama pengaruh jumlah bubur rebung terhadap kadar
serat kasar (% bk)
LSR Jumlah bubur Notasi
Jarak Rataan
0,05 0,01 rebung (%) 0,05 0,01
- - - R1 = 20 7,56 d D
2 0,094 0,130 R2 = 40 7,85 c C
3 0,099 0,137 R3 = 60 8,01 b B
4 0,102 0,140 R4 = 80 8,31 a A
Keterangan: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5 %
dan berbeda sangat nyata pada taraf 1 %

Dari Tabel 14 dapat dilihat bahwa perlakuan R1 (20 %) berbeda nyata

dengan perlakuan R2 (40 %), R3 (60 %) dan R4 (80 %). Perlakuan R2 (40 %)

berbeda sangat nyata dengan perlakuan R3 (60 %) dan R4 (80 %). Perlakuan R3 (60

%) berbeda sangat nyata dengan perlakuan R4 (80 %). Kadar serat kasar tertinggi

diperoleh pada perlakuan R4 (80 %) yaitu sebesar 8,31 % dan kadar serat kasar

terendah diperoleh pada perlakuan R1 (20 %) yaitu sebesar 7,56 %.

Hubungan antara jumlah bubur rebung dengan kadar serat kasar mengikuti

garis regresi linear seperti terlihat pada Gambar 5 berikut.

Universitas Sumatera Utara


34

Gambar 5. Hubungan jumlah bubur rebung terhadap kadar serat kasar (% bk)

Dari Gambar 5 dapat dilihat bahwa semakin banyak jumlah bubur rebung

yang ditambahkan maka kadar serat kasar akan semakin meningkat. Hal ini

disebabkan karena penambahan bubur rebung akan seiring dapat meningkatkan

konsentrasi kadar serat kasar dalam kerupuk itu sendiri.

Pengaruh interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit dan jumlah


bubur rebung terhadap kadar serat kasar (% bk)

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 4 dapat dilihat bahwa

interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit dan jumlah bubur rebung

berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap kadar serat kasar sehingga uji LSR

tidak dilanjutkan.

Residu sulfit (ppm)

Pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit terhadap residu sulfit (ppm)

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 6 menunjukkan bahwa

konsentrasi natrium metasiulfit memberi pengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap

residu sulfit. Hasil pengujian dengan Least Significant Range (LSR) menunjukkan

Universitas Sumatera Utara


35

pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit terhadap residu sulfit untuk tiap-tiap

perlakuan dapat dilihat pada Tabel 15 berikut.

Tabel 15. Uji LSR efek utama pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit
terhadap residu sulfit (ppm)
LSR Konsentrasi Notasi
Jarak Rataan
0,05 0,01 natrium metabisulfit (ppm) 0,05 0,01
- - - K1 = 0 98,76 d C
2 17,291 23,803 K2 = 500 202,42 c B
3 18,155 25,014 K3 = 1000 291,39 b A
4 19,616 25,648 K4 = 1500 314,80 a A
Keterangan: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5 %
dan berbeda sangat nyata pada taraf 1 %

Dari Tabel 15 dapat dilihat bahwa perlakuan K1 (0 ppm) berbeda sangat

nyata dengan perlakuan K2 (500 ppm), K3 (1000 ppm) dan K4 (1500 ppm).

Perlakuan K2 (500 ppm) berbeda sangat nyata dengan perlakuan K3 (1000 ppm)

dan K4 (1500 ppm). Perlakuan K3 (1000 ppm) berbeda nyata dengan perlakuan

K4.(1500 ppm). Kadar residu sulfit tertinggi diperoleh pada perlakuan K4 (1500

ppm) yaitu sebesar 314,80 ppm dan kadar serat terendah diperoleh pada perlakuan

K1 (0 ppm) yaitu sebesar 98,76 ppm.

Hubungan antara konsentrasi natrium metabisulfit dengan residu sulfit

mengikuti garis regresi linear seperti terlihat pada Gambar 6 berikut.

Gambar 6. Hubungan konsentrasi natrium metabisulfit terhadap residu sulfit (ppm)

Universitas Sumatera Utara


36

Dari Gambar 6 dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium

metabisulfit yang ditambahkan maka residu sulfit akan semakin meningkat. Hal

ini disebabkan dikarenakan residu sulfit yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh

konsentrasi natrium metabisulfit yang ditambahkan. Menurut Deman (1980)

semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit yang ditambahkan maka semakin

banyak pula sulfit yang meresap ke dalam bahan. Natrium metabisulfit yang

meresap di dalam bahan akan sulit keluar dari bahan.

Pengaruh jumlah bubur rebung terhadap residu sulfit (ppm)

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 6 dapat dilihat bahwa

jumlah bubur rebung memberi pengaruh berbeda nyata (P>0,01) terhadap residu

sulfit yang dihasilkan. Hasil pengujian dengan Least Significant Range (LSR)

menunjukkan pengaruh jumlah bubur rebung terhadap residu sulfit untuk tiap-tiap

perlakuan dapat dilihat pada Tabel 16 berikut.

Tabel 16. Uji LSR efek utama pengaruh jumlah bubur rebung terhadap residu
sulfit (ppm)
LSR Jumlah bubur Notasi
Jarak Rataan
0,05 0,01 rebung (%) 0,05 0,01
- - - R1 = 20 237,69 a A
2 17,291 23,803 R2 = 40 234,21 a A
3 18,155 25,014 R3 = 60 222,87 ab A
4 18,616 25,648 R4 = 80 212,59 a A
Keterangan: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5 %
dan berbeda sangat nyata pada taraf 1 %

Dari Tabel 16 dapat dilihat bahwa perlakuan R1 (20 %) berbeda tidak nyata

dengan perlakuan R2 (40 %) dan R4 (80 %) dan berbeda nyata dengan perlakuan

R3 (60 %). Perlakuan R2 (40 %) berbeda nyata dengan perlakuan R3 (60 %) dan

berbeda tidak nyata dengan perlakuan R4 (80 %). Perlakuan R3 (60 %) berbeda

Universitas Sumatera Utara


37

37

nyata dengan perlakuan R4 (80 %). Residu sulfit tertinggi diperoleh pada

perlakuan R1 (20 %) yaitu sebesar 237,69 ppm dan kadar serat kasar terendah

diperoleh pada perlakuan R4 (80 %) yaitu sebesar 212,59 ppm.

Hubungan antara jumlah bubur rebung dengan residu sulfit mengikuti

garis regresi linear seperti terlihat pada Gambar 7 berikut.

Gambar 7. Hubungan jumlah bubur rebung terhadap residu sulfit (ppm)

Dari Gambar 7 dapat dilihat bahwa semakin banyak jumlah bubur rebung

yang ditambahkan maka kadar residu sulfit akan semakin menurun. Hal ini

disebabkan karena penambahan jumlah bubur rebung akan mengurangi jumlah

perbandingan tepung tapioka pada kerupuk. Menurut (Radiyati dan Agusto, 2003)

dalam pembuatan tepung tapioka ditambahkan natrium metabisulfit, sehingga

dengan berkurangnya penggunaan tepung tapioka pada bahan akan dapat

mengurangi kadar residu sulfit dari kerupuk itu sendiri secara keseluruhan.

Universitas Sumatera Utara


38

Pengaruh interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit dan jumlah


bubur rebung terhadap residu sulfit (ppm)

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 6 dapat dilihat bahwa

interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit dan jumlah bubur rebung

berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap residu sulfit sehingga uji LSR tidak

dilanjutkan.

Uji organoleptik warna sebelum penggorengan (numerik)

Pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit terhadap uji organoleptik warna


sebelum penggorengan (numerik)

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 8 menunjukkan bahwa

konsentrasi natrium metabisulfit memberi pengaruh berbeda sangat nyata

(P<0,01) terhadap uji organoleptik warna sebelum penggorengan. Hasil pengujian

dengan Least Significant Range (LSR) menunjukkan pengaruh konsentrasi

natrium metabisulfit terhadap uji organoleptik warna sebelum penggorengan

untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 17 berikut.

Tabel 17. Uji LSR efek utama pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit
terhadap uji organoleptik warna sebelum penggorengan (numerik)
LSR Konsentrasi Notasi
Jarak Rataan
0,05 0,01 natrium metabisulfit (ppm) 0,05 0,01
- - - K1 = 0 2,73 c B
2 0,147 0,202 K2 = 500 2,93 b AB
3 0,154 0,213 K3 = 1000 2,94 b AB
4 0,158 0,218 K4 = 1500 3,11 a A
Keterangan: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5 %
dan berbeda sangat nyata pada taraf 1 %

Dari Tabel 17 dapat dilihat bahwa perlakuan K1 (0 ppm) berbeda nyata

dengan perlakuan K2 (500 ppm), K3 (1000 ppm) dan berbeda sangat nyata dengan

perlakuan K4 (1500 ppm). Perlakuan K2 (500 ppm) berbeda tidak nyata dengan

Universitas Sumatera Utara


39

perlakuan K3 (1000 ppm) dan berbeda nyata dengan K4 (1500 ppm). Perlakuan K3

(1000 ppm) berbeda nyata dengan perlakuan K4 (1500 ppm). Uji organoleptik

warna sebelum penggorengan tertinggi diperoleh pada perlakuan K4 (1500 ppm)

yaitu sebesar 3,11 (kuning kecoklatan) dan uji organoleptik warna sebelum

penggorengan terendah diperoleh pada perlakuan K1 (0 ppm) yaitu sebesar 2,73

(sangat kecoklatan).

Hubungan antara konsentrasi natrium metabisulfit dengan uji organoleptik

warna sebelum penggorengan mengikuti garis regresi linear seperti terlihat pada

Gambar 8 berikut.

Gambar 8. Hubungan konsentrasi natrium metabisulfit terhadap uji organoleptik


warna sebelum penggorengan (numerik)

Dari Gambar 8 dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium

metabisulfit yang ditambahkan maka uji organoleptik warna sebelum

penggorengan akan semakin tinggi (kuning kecoklatan). Hal ini disebabkan

karena dihambatnya reaksi pencoklatan selama pengolahan. Di mana terjadi reaksi

antara gugus aldehid atau keton dari gula pereduksi dengan Na2S2O5 yang

membentuk senyawa hidroksi sulfonat sehingga kesempatan bagi gula-gula

Universitas Sumatera Utara


40

40

pereduksi untuk bereaksi dengan gugus asam amino (reaksi maillard) menjadi bisa

dapat dihambat (Eskin, et al., 1971), dengan demikian semakin meningkatnya

konsentrasi natrium metabisulfit yang digunakan maka akan lebih efektif

menghambat terjadinya reaksi browning sehingga warna kerupuk rebung menjadi

lebih disukai (kuning kecoklatan).

Pengaruh jumlah bubur rebung terhadap uji organoleptik warna sebelum


penggorengan (numerik)

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 8 menunjukkan bahwa

jumlah bubur rebung memberi pengaruh berbeda nyata (P<0,05) terhadap uji

organoleptik warna sebelum penggorengan. Hasil pengujian dengan Least

Significant Range (LSR) menunjukkan pengaruh jumlah bubur rebung terhadap

uji organoleptik warna sebelum penggorengan untuk tiap-tiap perlakuan dapat

dilihat pada Tabel 18 berikut.

Tabel 18. Uji LSR efek utama pengaruh jumlah bubur rebung terhadap uji
organoleptik warna sebelum penggorengan (numerik)
LSR Jumlah bubur Notasi
Jarak Rataan
0,05 0,01 rebung (%) 0,05 0,01
- - - R1 = 20 3,04 a A
2 0,147 0,202 R2 = 40 2,95 ab AB
3 0,154 0,213 R3 = 60 2,92 ab AB
4 0,158 0,218 R4 = 80 2,80 b B
Keterangan: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5 %
dan berbeda sangat nyata pada taraf 1 %

Dari Tabel 18 dapat dilihat bahwa perlakuan R1 (20 %) berbeda nyata

dengan perlakuan R2 (40 %) dan R3 (60 %) dan berbeda sangat nyata dengan

perlakuan R4 (80 %). Perlakuan R2 (40 %) berbeda tidak nyata dengan perlakuan

R3 (60 %) dan berbeda nyata dengan perlakuan R4 (80 %). Perlakuan R3 (60 %)

berbeda nyata dengan perlakuan R4 (80 %). Uji organoleptik warna sebelum

Universitas Sumatera Utara


41

penggorengan tertinggi diperoleh pada perlakuan R1 (20 %) yaitu sebesar 3,04

(kuning kecoklatan) dan uji organoleptik warna sebelum penggorengan terendah

diperoleh pada perlakuan R4 (80 %) yaitu sebesar 2,80 (sangat coklat).

Hubungan antara konsentrasi jumlah bubur rebung dengan uji organoleptik

warna sebelum penggorengan mengikuti garis regresi linear seperti terlihat pada

Gambar 9 berikut.

Gambar 9. Hubungan jumlah bubur rebung terhadap uji organoleptik warna


sebelum penggorengan (numerik)

Dari Gambar 9 dapat dilihat bahwa semakin tinggi jumlah bubur rebung

maka uji organoleptik warna sebelum penggorengan akan semakin menurun

(sangat coklat). Hal ini disebabkan karena semakin tinggi jumlah bubur rebung

yang digunakan maka penggunaan tepung akan semakin sedikit, dimana tepung

memiliki warna yang lebih putih dari pada bubur rebung sehingga semakin

banyak bubur rebung maka warna kerupuk akan semakin menurun (sangat coklat).

Universitas Sumatera Utara


42

Pengaruh interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit dan jumlah


bubur rebung terhadap uji organoleptik warna sebelum penggorengan
(numerik)

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 8 dapat dilihat bahwa

interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit dan jumlah bubur rebung

memberi pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap uji organoleptik warna

sebelum penggorengan sehingga uji LSR tidak dilanjutkan.

Uji organoleptik warna sesudah penggorengan (numerik)

Pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit terhadap uji organoleptik warna


sesudah penggorengan (numerik)

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 10 menunjukkan bahwa

konsentrasi natrium metabisulfit memberi pengaruh berbeda sangat nyata

(P<0,01) terhadap uji organoleptik warna sesudah penggorengan. Hasil pengujian

dengan Least Significant Range (LSR) menunjukkan pengaruh konsentrasi

natrium metabisulfit terhadap uji organoleptik warna sesudah penggorengan untuk

tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 19 berikut.

Tabel 19. Uji LSR efek utama pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit
terhadap uji organoleptik warna sesudah penggorengan (numerik)
LSR Konsentrasi Notasi
Jarak Rataan
0,05 0,01 natrium metabisulfit (ppm) 0,05 0,01
- - - K1 = 0 2,61 c C
2 0,128 0,177 K2 = 500 2,63 c C
3 0,135 0,186 K3 = 1000 2,96 b B
4 0,138 0,190 K4 = 1500 3,26 a A
Keterangan: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5 %
dan berbeda sangat nyata pada taraf 1 %

Dari Tabel 19 dapat dilihat bahwa perlakuan K1 (0 ppm) berbeda tidak

nyata dengan perlakuan K2 (500 ppm) dan berbeda sangat nyata dengan perlakuan

K3 (1000 ppm) dan K4 (1500 ppm). Perlakuan K2 (500 ppm) berbeda sangat nyata

Universitas Sumatera Utara


43

dengan perlakuan K3 (1000 ppm) dan K4 (1500 ppm). Perlakuan K3 (1000 ppm)

berbeda sangat nyata dengan perlakuan K4.(1500 ppm). Uji organoleptik warna

sesudah penggorengan tertinggi diperoleh pada perlakuan K4 (1500 ppm) yaitu

sebesar 3,26 (sangat kuning) dan uji organoleptik warna sesudah penggorengan

terendah diperoleh pada perlakuan K1 (0 ppm) yaitu sebesar 2,61 (kuning

kecoklatan).

Hubungan antara konsentrasi natrium metabisulfit dengan uji organoleptik

warna sesudah penggorengan mengikuti garis regresi linear seperti terlihat pada

Gambar 10 berikut.

Gambar 10. Hubungan konsentrasi natrium metabisulfit terhadap uji organoleptik


warna sesudah penggorengan (numerik)

Dari Gambar 10 dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium

metabisulfit maka uji organoleptik warna sesudah penggorengan akan semakin

meningkat (sangat kuning). Hal ini disebabkan karena dihambatnya reaksi

pencoklatan selama penggorengan. Dimana terjadi reaksi antara gugus

aldehid/keton dari gula pereduksi dengan Na2S2O5 yang membentuk senyawa

hidroksi sulfonat sehingga kesempatan gula-gula pereduksi untuk bereaksi dengan

Universitas Sumatera Utara


44

gugus asam amino (reaksi maillard) menjadi dihambat (Eskin, et al., 1971) dengan

demikian semakin meningkatnya konsentrasi natrium metabisulfit yang digunakan

maka akan lebih efektif menghambat terjadinya reaksi browning sehingga warna

kerupuk rebung menjadi lebih cerah.

Pengaruh jumlah bubur rebung terhadap uji organoleptik warna sesudah


penggorengan (numerik)

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 10 menunjukkan bahwa

jumlah bubur rebung memberi pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap

uji organoleptik warna sesudah penggorengan. Hasil pengujian dengan Least

Significant Range (LSR) menunjukkan pengaruh jumlah bubur rebung terhadap

uji organoleptik warna sesudah penggorengan untuk tiap-tiap perlakuan dapat

dilihat pada Tabel 20 berikut.

Tabel 20. Uji LSR efek utama pengaruh jumlah bubur rebung terhadap uji
organoleptik warna sesudah penggorengan (numerik)
LSR Jumlah bubur Notasi
Jarak Rataan
0,05 0,01 rebung (%) 0,05 0,01
- - - R1 = 20 3,01 a A
2 0,128 0,177 R2 = 40 3,00 a A
3 0,135 0,186 R3 = 60 2,81 b B
4 0,138 0,190 R4 = 80 2,64 c B
Keterangan: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5 %
dan berbeda sangat nyata pada taraf 1 %

Dari Tabel 20 dapat dilihat bahwa perlakuan R1 (20 %) berbeda tidak nyata

dengan perlakuan R2 (40 %) dan berbeda sangat nyata dengan perlakuan R3 (60 %)

dan R4 (80 %). Perlakuan R2 (40 %) berbeda sangat nyata dengan perlakuan R3 (60

%) dan R4 (80 %). Perlakuan R3 (60 %) berbeda nyata dengan perlakuan R4 (80

%). Uji organoleptik warna sesudah penggorengan tertinggi diperoleh pada

perlakuan R1 (20 %) yaitu sebesar 3,01 (sangat kuning) dan uji organoleptik warna

Universitas Sumatera Utara


45

sesudah penggorengan terendah diperoleh pada perlakuan R4 (80 %) yaitu sebesar

2,64 (kuning kecoklatan).

Hubungan antara konsentrasi jumlah bubur rebung dengan uji organoleptik

warna sesudah penggorengan mengikuti garis regresi linear seperti terlihat pada

Gambar 11 berikut.

Gambar 11. Hubungan jumlah bubur rebung terhadap uji organoleptik warna
sesudah penggorengan (numerik)

Dari Gambar 11 dapat dilihat bahwa semakin tinggi jumlah bubur rebung

maka uji organoleptik warna sesudah penggorengan akan semakin menurun

(kuning kecoklatan). Hal ini disebabkan karena semakin tinggi jumlah bubur

rebung yang digunakan maka penggunaan tepung akan semakin sedikit, dimana

tepung memiliki warna yang lebih putih dari pada bubur rebung sehingga semakin

banyak bubur rebung maka warna kerupuk saat digoreng akan semakin gelap.

Pengaruh interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit dan jumlah


bubur rebung terhadap uji organoleptik warna sesudah penggorengan
(numerik)

Dari hasil analisis sidik ragam Lampiran 10 menunjukkan bahwa interaksi

antara konsentrasi natrium metabisulfit dan jumlah bubur rebung terhadap uji

Universitas Sumatera Utara


46

organoleptik warna sesudah penggorengan memberikan pengaruh berbeda sangat

nyata (P<0,01) terhadap uji organoleptik warna sesudah penggorengan, dapat

dilihat pada Tabel 21.

Tabel 21. Uji LSR efek utama pengaruh interaksi konsentrasi natrium metabisulfit
dan jumlah bubur rebung terhadap uji organoleptik warna sesudah
penggorengan (numerik)
LSR Perlakuan Notasi
Jarak Rataan
0,05 0,01 0,05 0,01
- - - K1R1 2,90 def CDEF
2 0,257 0,353 K1R2 2,93 cdef BCDEF
3 0,270 0,371 K1R3 2,43 hi HI
4 0,276 0,381 K1R4 2,20 i I
5 0,282 0,388 K2R1 2,70 fgh EFGH
6 0,286 0,394 K2R2 2,83 ef CDEFG
7 0,288 0,400 K2R3 2,53 gh FGHI
8 0,290 0,404 K2R4 2,45 hi GHI
9 0,292 0,407 K3R1 2,93 cdef BCDEF
10 0,293 0,410 K3R2 2,93 cdef BCDEF
11 0,293 0,412 K3R3 3,20 bc ABC
12 0,294 0,414 K3R4 2,78 fg DEFGH
13 0,294 0,416 K4R1 3,50 a A
14 0,295 0,418 K4R2 3,33 ab AB
15 0,295 0,419 K4R3 3,10 bcde ABCDE
16 0,296 0,420 K4R4 3,13 bcd ABCD
Keterangan: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5 %
dan berbeda sangat nyata pada taraf 1 %

Dari Tabel 21 dapat dilihat bahwa uji organoleptik warna sesudah

penggorengan tertinggi terdapat pada kombinasi perlakuan K4R1 (1500 ppm dan

20 %) yaitu sebesar 3,50 (sangat kuning) dan terendah terdapat pada kombinasi

perlakuan K1R4 (0 ppm dan 80 %), yaitu sebesar 2,20 (kuning kecoklatan).

Hubungan interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit dan jumlah

bubur rebung terhadap uji organoleptik warna sesudah penggorengan dapat dilihat

pada Gambar 12 berikut ini.

Universitas Sumatera Utara


47

Gambar 12. Hubungan interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit dan jumlah
bubur rebung terhadap uji organoleptik warna sesudah penggorengan
(numerik)

Dari Gambar 12 dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium

metabisulfit dan jumlah bubur rebung memberikan interaksi terhadap uji

organoleptik warna sesudah penggorengan. Semakin tinggi konsentrasi natrium

metabisulfit untuk setiap jumlah bubur rebung maka uji organoleptik warna

sesudah penggorengan akan semakin meningkat (sangat kuning). Hal ini

disebabkan karena dihambatnya reaksi pencoklatan selama penggorengan.

Dimana terjadi reaksi antara gugus aldehid/keton dari gula pereduksi dengan

Na2S2O5 yang membentuk senyawa hidroksi sulfonat sehingga kesempatan gula-

gula pereduksi untuk bereaksi dengan gugus asam amino (reaksi maillard)

menjadi dihambat (Eskin, et al., 1971) dan semakin banyak jumlah bubur rebung

yang digunakan maka uji organoleptik warna sesudah penggorengan dari kerupuk

akan semakin menurun (kuning kecoklatan). Hal ini disebabkan karena semakin

tinggi jumlah bubur rebung yang digunakan maka penggunaan tepung akan

semakin sedikit, dimana tepung memiliki warna yang lebih putih dari pada bubur

Universitas Sumatera Utara


48

rebung sehingga semakin banyak bubur rebung maka warna kerupuk saat

digoreng akan semakin gelap.

Uji organoleptik kerenyahan (numerik)

Pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit terhadap uji organoleptik


kerenyahan (numerik)

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 12 menunjukkan bahwa

konsentrasi natrium metabisulfit memberi pengaruh berbeda sangat nyata

(P<0,01) terhadap uji organoleptik kerenyahan. Hasil pengujian dengan Least

Significant Range (LSR) menunjukkan pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit

terhadap uji organoleptik kerenyahan untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat

pada Tabel 22 berikut.

Tabel 22. Uji LSR efek utama pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit
terhadap uji organoleptik kerenyahan (numerik)
LSR Konsentrasi Notasi
Jarak Rataan
0,05 0,01 natrium metabisulfit (ppm) 0,05 0,01
- - - K1 = 0 2,91 c C
2 0,037 0,051 K2 = 500 3,08 b B
3 0,039 0,053 K3 = 1000 3,10 b AB
4 0,040 0,055 K4 = 1500 3,15 a A
Keterangan: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5 %
dan berbeda sangat nyata pada taraf 1 %

Dari Tabel 22 dapat dilihat bahwa perlakuan K1 (0 ppm) berbeda sangat

nyata dengan perlakuan K2 (500 ppm), K3 (1000 ppm) dan K4 (1500 ppm).

Perlakuan K2 (500 ppm) berbeda nyata dengan perlakuan K3 (1000 ppm) dan

berbeda sangat nyata terhadap perlakuan K4 (1500 ppm). Perlakuan K3 (1000

ppm) berbeda nyata dengan perlakuan K4 (1500 ppm). Uji organoleptik

kerenyahan tertinggi diperoleh pada perlakuan K4 (1500 ppm) yaitu sebesar 3,15

Universitas Sumatera Utara


49

(sangat renyah) dan uji organoleptik kerenyahan terendah diperoleh pada

perlakuan K1 (0 ppm) yaitu sebesar 2,91 (tidak renyah).

Hubungan antara konsentrasi natrium metabisulfit dengan uji organoleptik

kerenyahan mengikuti garis regresi linear seperti terlihat pada Gambar 13 berikut.

Gambar 13. Hubungan konsentrasi natrium metabisulfit terhadap uji organoleptik


kerenyahan (numerik)

Dari Gambar 13 dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium

metabisulfit maka uji organoleptik kerenyahan semakin tinggi (sangat renyah).

Hal ini disebabkan karena semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit yang

digunakan dapat membantu mempercepat penurunan kadar kadar air pada bahan

sehingga akan mempercepat proses kerapuhan bahan. Sipayung (1982)

menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit yang

digunakan untuk mengawetkan bahan pangan kering cendrung mengakibatkan

kadar air rendah pada bahan pangan tersebut, sehingga menghasilkan tekstur

kerupuk yang disukai.

Universitas Sumatera Utara


50

Pengaruh jumlah bubur rebung terhadap uji organoleptik kerenyahan


(numerik)

Dari hasil sidik ragam pada Lampiran 12 menunjukkan bahwa jumlah

bubur rebung memberi pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap uji

organoleptik kerenyahan. Hasil pengujian dengan Least Significant Range (LSR)

menunjukkan pengaruh jumlah bubur rebung terhadap uji organoleptik

kerenyahan untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 23 berikut.

Tabel 23. Uji LSR efek utama pengaruh jumlah bubur rebung terhadap uji
organoleptik kerenyahan (numerik)
LSR Jumlah bubur Notasi
Jarak Rataan
0,05 0,01 rebung (%) 0,05 0,01
- - - R1 = 20 3,23 a A
2 0,037 0,051 R2 = 40 3,12 b B
3 0,039 0,053 R3 = 60 3,01 c C
4 0,040 0,055 R4 = 80 2,89 d D
Keterangan: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5 %
dan berbeda sangat nyata pada taraf 1 %

Dari Tabel 23 dapat dilihat bahwa perlakuan R1 (20 %) berbeda sangat

nyata dengan perlakuan R2 (40 %), R3 (60 %) dan R4 (80 %). Perlakuan R2 (40 %)

berbeda sangat nyata dengan perlakuan R3 (60 %) dan R4 (80 %). Perlakuan R3 (60

%) berbeda sangat nyata dengan perlakuan R4 (80 %). Uji organoleptik

kerenyahan tertinggi diperoleh pada perlakuan R1 (20 %) yaitu sebesar 3,23

(sangat renyah) dan uji organoleptik kerenyahan terendah diperoleh pada

perlakuan R4 (80 %) yaitu sebesar 2,89 (tidak renyah).

Hubungan antara konsentrasi jumlah bubur rebung dengan uji organoleptik

kerenyahan mengikuti garis regresi linear seperti terlihat pada Gambar 14 berikut.

Universitas Sumatera Utara


51

Gambar 14. Pengaruh jumlah bubur rebung terhadap uji organoleptik kerenyahan
(numerik)

Dari Gambar 14 dapat dilihat bahwa semakin banyak jumlah bubur rebung

yang digunakan maka uji organoleptik kerenyahan semakin menurun (tidak

renyah). Hal ini disebabkan karena semakin banyak jumlah bubur rebung yang

digunakan maka penggunaan tepung akan semakin sedikit, dimana tepung

mengandung amilopektin yang mempunyai daya lenting oleh adanya panas

sehingga akan meningkatkan kerenyahan kerupuk. Sehingga semakin banyak

bubur rebung yang digunakan maka kerenyahan kerupuk akan semakin berkurang.

Pengaruh interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit dan jumlah


bubur rebung terhadap uji organoleptik kerenyahan (numerik)

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 12 menunjukkan bahwa

interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit dan jumlah bubur rebung

terhadap uji organoleptik kerenyahan memberikan pengaruh berbeda nyata

(P<0,05) terhadap uji organoleptik kerenyahan, dapat dilihat pada Tabel 24.

Universitas Sumatera Utara


52

Tabel 24. Uji LSR efek utama pengaruh interaksi konsentrasi natrium metabisulfit
dan jumlah bubur rebung terhadap uji organoleptik kerenyahan (numerik)
LSR Perlakuan Notasi
Jarak Rataan
0,05 0,01 0,05 0,01
- - - K1R1 3,05 ef DEF
2 0,074 0,101 K1R2 2,97 fgh FG
3 0,077 0,106 K1R3 2,93 gh G
4 0,079 0,109 K1R4 2,72 i H
5 0,081 0,111 K2R1 3,24 bc AB
6 0,082 0,113 K2R2 3,17 cd CD
7 0,083 0,115 K2R3 3,00 fgh FG
8 0,083 0,116 K2R4 2,92 h G
9 0,084 0,117 K3R1 3,33 a A
10 0,084 0,117 K3R2 3,17 cd C
11 0,084 0,118 K3R3 3,00 fgh FG
12 0,084 0,119 K3R4 2,93 gh G
13 0,084 0,119 K4R1 3,31 ab A
14 0,085 0,120 K4R2 3,18 cd BC
15 0,085 0,120 K4R3 3,12 de CDE
16 0,085 0,120 K4R4 3,01 fg EFG
Keterangan: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5 %
dan berbeda sangat nyata pada taraf 1 %

Dari Tabel 24 dapat dilihat bahwa uji organoleptik kerenyaham tertinggi

terdapat pada kombinasi perlakuan K3R1 (1000 ppm dan 20 %) yaitu sebesar 3,33

(sangat renyah) dan terendah terdapat pada kombinasi perlakuan K1R4 (0 ppm dan

80 %), yaitu sebesar 2,72 (tidak renyah).

Hubungan interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit dan jumlah

bubur rebung terhadap uji organoleptik kerenyahan dapat dilihat pada Gambar 15

berikut ini.

Universitas Sumatera Utara


53

Gambar 15. Hubungan interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit dan jumlah
bubur rebung terhadap uji organoleptik kerenyahan (numerik)

Dari Gambar 15 dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium

metabisulfit dan jumlah bubur rebung memberikan interaksi terhadap uji

organoleptik kerenyahan. Semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit untuk

setiap jumlah bubur rebung maka uji organoleptik kerenyahan akan semakin

meningkat (sangat renyah). Hal ini disebabkan karena semakin tinggi konsentrasi

natrium metabisulfit yang digunakan dapat membantu mempercepat penurunan

kadar kadar air pada bahan sehingga akan mempercepat proses kerapuhan bahan.

Sipayung (1982) menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium

metabisulfit yang digunakan untuk mengawetkan bahan pangan kering cendrung

mengakibatkan kadar air rendah pada bahan pangan tersebut dan semakin banyak

jumlah bubur rebung yang digunakan maka uji organoleptik kerenyahan dari

kerupuk akan semakin menurun (tidak renyah). Hal ini disebabkan karena

semakin banyak jumlah bubur rebung yang digunakan maka penggunaan tepung

akan semakin sedikit, dimana tepung mengandung amilopektin yang mempunyai

daya lenting oleh adanya panas sehingga akan meningkatkan kerenyahan kerupuk.

Universitas Sumatera Utara


54

sehingga semakin banyak bubur rebung yang digunakan maka kerenyahan

kerupuk akan semakin berkurang.

Uji organoleptik rasa (numerik)

Pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit terhadap uji organoleptik rasa


(numerik)

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 14 menunjukkan bahwa

konsentrasi natrium metabisulfit memberi pengaruh berbeda sangat nyata

(P<0,01) terhadap uji organoleptik rasa. Hasil pengujian dengan Least Significant

Range (LSR) menunjukkan pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit terhadap

uji organoleptik rasa untuk tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 25 berikut.

Tabel 25. Uji LSR efek utama pengaruh konsentrasi natrium metabisulfit
terhadap uji organoleptik rasa (numerik)
LSR Konsentrasi Notasi
Jarak Rataan
0,05 0,01 natrium metabisulfit (ppm) 0,05 0,01
- - - K1 = 0 2,84 c C
2 0,115 0,158 K2 = 500 2,97 b BC
3 0,121 0,166 K3 = 1000 3,04 b AB
4 0,124 0,171 K4 = 1500 3,17 a A
Keterangan: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5 %
dan berbeda sangat nyata pada taraf 1 %

Dari Tabel 25 dapat dilihat bahwa perlakuan K1 (0 ppm) berbeda nyata

dengan perlakuan K2 (500 ppm) dan berbeda sangat nyata terhadap perlakuan K3

(1000 ppm) dan K4 (1500 ppm). Perlakuan K2 (500 ppm) berbeda nyata dengan

perlakuan K3 (1000 ppm) dan berbeda sangat nyata dengan perlakuan K4 (1500

ppm). Perlakuan K3 (1000 ppm) berbeda nyata dengan perlakuan K4 (1500 ppm).

Uji organoleptik rasa tertinggi diperoleh pada perlakuan K4 (1500 ppm) yaitu

sebesar 3,17 (sangat suka) dan uji organoleptik kerenyahan terendah diperoleh

pada perlakuan K1 (0 ppm) yaitu sebesar 2,91 (tidak suka).

Universitas Sumatera Utara


55

Hubungan antara konsentrasi natrium metabisulfit dengan uji organoleptik

rasa mengikuti garis regresi linear seperti terlihat pada Gambar 16 berikut.

Gambar 16. Hubungan konsentrasi natrium metabisulfit terhadap uji organoleptik


rasa (numerik)

Dari Gambar 16 dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium

metabisulfit maka uji organoleptik rasa semakin tinggi (sangat suka). Hal ini

disebabkan karena semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit yang

digunakan dapat membantu mempercepat penurunan kadar kadar air pada bahan

sehingga akan mempercepat proses kerapuhan bahan. Sipayung (1982)

menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit yang

digunakan untuk mengawetkan bahan pangan kering cenderung mengakibatkan

kadar air rendah pada bahan pangan tersebut, sehingga menghasilkan rasa kerupuk

yang disukai.

Pengaruh jumlah bubur rebung terhadap uji organoleptik rasa (numerik)

Dari hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 14 menunjukkan bahwa

jumlah bubur rebung memberi pengaruh berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap

uji organoleptik rasa. Hasil pengujian dengan Least Significant Range (LSR)

Universitas Sumatera Utara


56

menunjukkan pengaruh jumlah bubur rebung terhadap uji organoleptik rasa untuk

tiap-tiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 26 berikut.

Tabel 26. Uji LSR efek utama pengaruh jumlah bubur rebung terhadap uji
organoleptik rasa (numerik)
LSR Jumlah bubur Notasi
Jarak Rataan
0,05 0,01 rebung (%) 0,05 0,01
- - - R1 = 20 2,88 c B
2 0,115 0,158 R2 = 40 2,93 bc B
3 0,121 0,166 R3 = 60 3,02 b AB
4 0,124 0,171 R4 = 80 3,19 a A
Keterangan: Notasi huruf yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf 5 %
dan berbeda sangat nyata pada taraf 1 %

Dari Tabel 26 dapat dilihat bahwa perlakuan R1 (20 %) berbeda nyata

dengan perlakuan R2 (40 %), R3 (60%) dan berbeda sangat nyata terhadap

perlakuan R4 (80 %). Perlakuan R2 (40 %) berbeda nyata dengan perlakuan R3 (60

%) dan berbeda sangat nyata dengan perlakuan R4 (80 %). Perlakuan R3 (60 %)

berbeda nyata dengan perlakuan R4 (80 %). Uji organoleptik rasa tertinggi

diperoleh pada perlakuan R4 (80 %) yaitu sebesar 3,19 (sangat suka) dan uji

organoleptik rasa terendah diperoleh pada perlakuan R4 (20 %) yaitu sebesar 2,89

(tidak suka).

Hubungan antara jumlah bubur rebung dengan uji organoleptik rasa

mengikuti garis regresi linier seperti terlihat pada Gambar 17 berikut.

Universitas Sumatera Utara


57

Gambar 17. Hubungan jumlah bubur rebung terhadap uji organoleptik rasa
(numerik)

Dari Gambar 17 dapat dilihat bahwa semakin tinggi jumlah bubur rebung

maka nilai organoleptik rasa semakin meningkat (sangat suka). Hal ini disebabkan

karena semakin banyak bubur rebung yang digunakan maka aroma dan rasaa dari

kerupuk rebung itu sendiri akan semakin kuat.

Pengaruh interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit dan jumlah


bubur rebung terhadap organoleptik rasa (numerik)

Dari hasil analisis sidik ragam lampiran 7 menunjukkan bahwa interaksi

antara konsentrasi natrium metabisulfit dan jumlah bubur rebung terhadap

organoleptik rasa memberikan pengaruh berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap

organoleptik rasa sehingga uji LSR tidak dilanjutkan.

Universitas Sumatera Utara


KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil penelitian studi pembuatan kerupuk rebung terhadap parameter

yang diamati dapat diambil kesimpulan:

1. Konsentrasi natrium metabisulfit memberi pengaruh yang berbeda sangat

nyata (P<0,01) terhadap kadar air (% bk), kadar serat kasar (% bk), residu

sulfit (ppm), uji organoleptik warna sebelum dan sesudah penggorengan

(numerik), uji organoleptik kerenyahan (numerik), dan uji organoleptik rasa

(numerik).

2. Jumlah bubur rebung memberi pengaruh yang berbeda sangat nyata (P<0,01)

terhadap kadar air (% bk), kadar serat kasar (% bk), uji organoleptik warna

sesudah penggorengan (numerik) dan uji organoleptik rasa (numerik) serta

memberi pengaruh nyata (P<0,05) terhadap residu sulfit (ppm) dan uji

organoleptik warna sebelum penggorengan (numerik).

3. Interaksi antara konsentrasi natrium metabisulfit dengan jumlah bubur rebung

memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap uji

organoletik warna sesudah penggorengan (numerik) dan memberi pengaruh

yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap uji organoleptik kerenyahan (numerik),

serta berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap kadar air (% bk), kadar serat kasar

(% bk), residu sulfit (ppm), uji organoleptik warna sebelum penggorengan

(numerik) dan uji organoleptik rasa (numerik).

58

Universitas Sumatera Utara


59

Saran

1. Untuk menghasilkan kerupuk rebung dengan mutu yang lebih baik,

sebaiknya digunakan konsentrasi natrium metabisulfit 1000 ppm dan

jumlah bubur rebung 60 % dari jumlah tepung yang digunakan karena

menghasilkan kerupuk dengan kerenyahan dan rasa yang cukup baik serta

kandungan residu sulfit yang tidak terlalu tinggi.

2. Perlu diteliti lebih lanjut penggunaan bumbu dan bahan-bahan tambahan

lain untuk menghasilkan mutu kerupuk rebung yang lebih baik dan sesuai

dengan selera.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

Aditiya, 2010. Dasar Pengawetan Makanan. http://www.aditya.com.


[2 Maret 20011]

Andoko, A., 2003. Budidaya Bambu Rebung. Kanisius, Yogyakarta.

AOAC, 1970. Official Methods of Analysis of the Association of Analytical


Chemists. Washington D.C.

Apandi, M., 1984. Teknologi Buah dan Sayur. Alumni, Bandung.

Astawan, M., 2004. Membuat Mie dan Bihun. Penebar Swadaya, Jakarta.

Bangun, M. K., 1991. Perancangan Percobaan untuk Menganalisa Data. Bagian


Biometri. Fakultas Pertanian, USU.

Barnet, D., 1985. Sulphites in Foods in Their Chemistry and Analysis, J., Food
Technologgy in Australia, Vol. 37. Australian Food Technology
Asociation, Sydney.

B.P.P.I., 2004. Komposisi Kimia Kerupuk. http://www.bppi.depperin.go.id.


[20 Agustus 2010].

Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet dan M. Wootton, 1987. Ilmu Pangan.


Penerjemah H. Purnomo dan Adiono. UI - Press, Jakarta.

Chicester, C. G., E. M. Mark dan G. F. Sterart, 1975. Advance in Food Research.


Academic Press, New York.

Deman, J.M., 1980. Kimia Makanan. Penerjemah : K. Padmawinata. ITB Press,


Bandung.

Desrosier, N.W., 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Penerjemah


M. Muljoharjo. UI-Press, Jakarta.

Departemen Kesehatan R.I., 1996. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bhratara


Karya Aksara, Jakarta.

Eskin, H. A. M., Henderson, H. M., and Towsend, R. J., 1971. Biochemistry of


Food. Academic Press, Inc., Orlando, Florida.

Feri, W. A. P., 2010. Penyimpanan Produk Pangan. Trubus Agrisarana, Surabaya.

Frazier, W.S.G., 1976. Food Microbiology, Third Edition, Mc Graw-Hill


Publishing Co. Limited, New Delhi.

60

Universitas Sumatera Utara


61

Fuetsel, T. C and R. W. Kueneman, 1975. Frozen Fries and Fruit Production,


Storing and Processing. 2nd Edition. AVI Publishing Co, West Port.

Haris, K. dan Loseqke, T., 1973. Regulation of Enzyme Activity. Marcel Dekker,
New York.

Hulme, C., 1991. Food Additive Guide. Jhon Willey and Sons, New York.

Kartasapoetra, A. G., 1994. Teknologi Penanganan Pasca Panen. Rineka Cipta,


Jakarta.

Matondang, S., 1999. Pengeringan Biji-bijian Hasil Pertanian. FP USU, Medan.

Muchtadi, D. dan E. Gumbira, T., 1979. Pengolahan Hasil Pertanian II Nabati.


IPB Press, Bogor.

Praptiningsih, Y., Tamtarin dan S. Djulaikah, 2003. Pengaruh Proporsi Tapioka-


Tepung Gandum dan Lama Perebusan Terhadap Sifat-sifat Kerupuk Tahu.
Jurnal FTP. Universitas Jember, Jember.

Purnomo, H., 1995. Aktivitas Air dan Perananya Dalam Pengawetan Pangan.
UI-Press, Jakarta.

Radiyati, S dan Agusto, 2003. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius,


Yogyakarta.

Ranggana, S., 1977. Manual of Analysis of Fruit and Vegetable Products. Mc


Graw Hill Publishing, New Delhi.

Sipayung, R., 1982. Pengaruh Varietas Pisang, Konsentrasi Natrium Metabisulfit


terhadap Mutu Pisang Sale Selama Penyimpanan. Tesis Sarjana, FP-
USU, Medan.

Soedarmadji, S., B. Haryono. Dan Suhardi, 1997. Prosedur Analisa Untuk Bahan
Makanan dan Pertanian. Liberty, Yogyakarta.

Syarief, R dan Haryadi, 1993. Pengetahuan Bahan untuk Industri Pertanian.


Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta.

Taib, G., Said dan S. Miraatmaja, 1988. Operasi Pengeringan pada Pengolahan
Hasil Pertanian. Medyatama Sarana Perkasa, Jakarta.

Tjiptadi, G. H. B., 1982. Penelitian dan Pengembangan Pengolahan Panili. Balai


Besar Industri Hasil Pertanian, Bogor.

Winarno, F. G. dan S. L. Betty, 1974. Dasar Pengawetan, Sanitasi dan Keracunan.


Fatemeta IPB, Bogor.

Universitas Sumatera Utara


62

Winarno, F.G., 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Sastra Hudaya, Jakarta.

Winarno, F. G. dan D Fardiaz, 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia


Pustaka Utama, Jakarta.

Woodrof, J. G. dan Luh, B. S., 1975. Commercial Fruit Processing. The Avi
Publishing. Westport.

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 1. Data pengamatan analisis kadar air (% bk)
Ulangan
Perlakuan Total Rataan
I II
K1R1 3,59 3,24 6,83 3,42
K1R2 3.71 3,76 7,47 3,74
K1R3 3,92 4,16 8,08 4,04
K1R4 4,23 4,48 8,71 4,36

K2R1 3,30 2,90 6,20 3,10


K2R2 3,52 3,68 7,20 3,60
K2R3 3,74 3,80 7,54 3,77
K2R4 3,95 4,24 8,19 4,10

K3R1 2,80 2,79 5,59 2,80


K3R2 3,06 3,12 6,18 3,09
K3R3 3,28 3,54 6,82 3,41
K3R4 3,43 3,72 7,15 3,58

K4R1 2,30 2,56 4,86 2,43


K4R2 2,52 2,72 5,24 2,62
K4R3 2,75 2,90 5,65 2,83
K4R4 2,94 3,18 6,12 3,06
Total 107,83
Rataan 3,37

Lampiran 2. Daftar analisis sidik ragam kadar air (% bk)


SK db JK KT F hit. F.05 F.01
Perlakuan 15 9,3153 0,6210 23,0676 ** 2,35 3,41
K 3 6,1453 2,0484 76,0879 ** 3,63 5,29
K Lin 1 6,0256 6,0256 223,8195 ** 4,49 8,53
K Kuad 1 0,1140 0,1140 4,2346 tn 4,49 8,53
K Kub 1 0,0056 0,0056 0,2095 tn 4,49 8,53
R 3 3,0560 1,0187 37,8383 ** 3,63 5,29
T Lin 1 3,0443 3,0443 113,0783 ** 4,49 8,53
T Kuad 1 0,0088 0,0088 0,3261 tn 4,49 8,53
T Kub 1 0,0030 0,0030 0,1105 tn 4,49 8,53
KxR 9 0,1140 0,0127 0,4706 tn 2,54 3,78
Galat 16 0,4307 0,0269
Total 31 9,7461
Keteranga:
FK = 363,35
K KK= 4,869%
** = Sangat nyata
tn = tidak nyata

63

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 3. Data pengamatan analisis kadar serat kasar (% bk)
Ulangan
Perlakuan Total Rataan
I II
K1R1 6,45 6,44 12,89 6,45
K1R2 6,87 6,52 13,39 6,70
K1R3 6,90 6,80 13,70 6,85
K1R4 7,32 7,22 14,54 7,27

K2R1 7,35 7,29 14,64 7,32


K2R2 7,48 7,44 14,92 7,46
K2R3 7,70 7,62 15,32 7,66
K2R4 7,90 7,86 15,76 7,88

K3R1 7,84 7,69 15,53 7,77


K3R2 8,06 8,02 16,08 8,04
K3R3 8,36 8,25 16,61 8,31
K3R4 8,67 8,65 17,32 8,66

K4R1 8,80 8,64 17,44 8,72


K4R2 9,25 9,12 18,37 9,19
K4R3 9,28 9,20 18,48 9,24
K4R4 9,49 9,38 18,87 9,44
Total 253,86
Rataan 7,93

Lampiran 4. Daftar analisis sidik ragam kadar serat kasar (% bk)


SK db JK KT F hit. F.05 F.01
Perlakuan 15 25,7876 1,7192 217,105 ** 2,35 3,41
K 3 23,2865 7,7622 980,2278 ** 3,63 5,29
K Lin 1 23,1192 23,1192 2919,5520 ** 4,49 8,53
K Kuad 1 0,0703 0,0703 8,8792 ** 4,49 8,53
K Kub 1 0,0970 0,0970 12,2522 ** 4,49 8,53
R 3 2,3569 0,7856 99,2102 ** 3,63 5,29
T Lin 1 2,3329 2,3329 294,6033 ** 4,49 8,53
T Kuad 1 0,0005 0,0005 0,0568 tn 4,49 8,53
T Kub 1 0,0235 0,0235 2,9705 tn 4,49 8,53
KxR 9 0,1442 0,0160 2,0232 tn 2,54 3,78
Galat 16 0,1267 0,0079
Total 31 25,9143
Keteranga:
FK = 2.013,90
K KK= 1,122%
** = Sangat nyata
tn = tidak nyata

64
Universitas Sumatera Utara
Ulangan
Perlakuan Total Rataan
I II
K1R1 99,95 104,60 204,55 102,28
K1R2 99,70 94,42 194,12 97,06
K1R3 98,31 98,18 196,49 98,25
K1R4 97,45 97,48 194,93 97,47

K2R1 203,50 206,36 409,86 204,93


K2R2 199,47 213,84 413,31 206,66
K2R3 199,61 208,75 408,36 204,18
K2R4 197,42 190,43 387,85 193,93

K3R1 307,31 307,94 615,25 307,63


K3R2 306,58 306,09 612,67 306,34
K3R3 297,89 287,71 585,60 292,80
K3R4 253,25 264,32 517,57 258,79

K4R1 372,20 299,68 671,88 335,94


K4R2 352,26 301,34 653,60 326,80
K4R3 298,62 293,86 592,48 296,24
K4R4 301,40 299,00 600,40 300,20
Total 7258,92
Rataan 226,84

Lampiran 6. Daftar analisis sidik ragam residu sulfit (ppm)


SK db JK KT F hit. F.05 F.01
Perlakuan 15 236855,8890 15790,3926 59,4195 ** 2,35 3,41
K 3 231221,4473 77073,8158 290,0298 ** 3,63 5,29
K Lin 1 217305,9295 217305,9257 817,7251 ** 4,49 8,53
K Kuad 1 12880,9257 12880,9275 48,4711 ** 4,49 8,53
K Kub 1 1034,5941 1034,5941 3,8932 tn 4,49 8,53
R 3 3127,0147 1042,3382 3,9223 * 3,63 5,29
T Lin 1 3002,7691 3002,7691 11,2995 ** 4,49 8,53
T Kuad 1 92,2761 92,2761 0,3472 tn 4,49 8,53
T Kub 1 31,9694 31,9694 0,1203 tn 4,49 8,53
KxR 9 2507,4269 278,6030 1,0484 tn 2,54 3,78
Galat 16 4251,9118 265,7445
Total 31 241107,8008
Keteranga:
FK = 1.646.622,49
K KK= 7,186%
** = sangat nyata
* = nyata
tn = tidak nyata
65

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 7. Data pengamatan analisis organoleptik warna sebelum
penggorengan (numerik)
Ulangan
Perlakuan Total Rataan
I II
K1R1 2,80 2,90 5,70 2,85
K1R2 2,65 2,80 5,45 2,73
K1R3 2,60 2,75 5,35 2,68
K1R4 2,50 2,85 5,35 2,68
K2R1 3,00 3,10 6,10 3,05
K2R2 2,95 3,00 5,95 2,98
K2R3 2,90 3,20 6,10 3,05
K2R4 2,60 2,70 5,30 2,65
K3R1 3,10 3,05 6,15 3,08
K3R2 2,90 3,00 5,90 2,95
K3R3 2,70 2,90 5,60 2,80
K3R4 2,90 3,00 5,90 2,95
K4R1 3,40 3,00 6,40 3,20
K4R2 3,20 3,10 6,30 3,15
K4R3 3,00 3,30 6,30 3,15
K4R4 2,90 2,95 5,85 2,93
Total 93,70
Rataan 2,93

Lampiran 8. Daftar analisis sidik ragam organoleptik warna


sebelum penggorengan (numerik)
SK db JK KT F hit. F.05 F.01
Perlakuan 15 0,9922 0,0661 3,4417 ** 2,35 3,41
K 3 0,5659 0,1886 9,8157 ** 3,63 5,29
K Lin 1 0,5176 0,5176 26,9301 ** 4,49 8,53
K Kuad 1 0,0028 0,0028 0,1463 tn 4,49 8,53
K Kub 1 0,0456 0,0456 2,3707 tn 4,49 8,53
R 3 0,2428 0,0809 4,2114 * 3,63 5,29
T Lin 1 0,2326 0,2326 12,1008 ** 4,49 8,53
T Kuad 1 0,0012 0,0012 0,0650 tn 4,49 8,53
T Kub 1 0,0090 0,0090 0,4683 tn 4,49 8,53
KxR 9 0,1834 0,0204 1,0605 tn 2,54 3,78
Galat 16 0,3075 0,0192
Total 31 1,2997
Keteranga:
FK = 274,37
K KK= 4,734%
** = sangat nyata
* = nyata
tn = tidak nyata

66

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 9. Data pengamatan analisis organoleptik warna
sesudah penggorengan (numerik)
Ulangan
Perlakuan Total Rataan
I II
K1R1 3,00 2,80 5,80 2,90
K1R2 2,95 2,90 5,85 2,93
K1R3 2,50 2,35 4,85 2,43
K1R4 2,40 2,00 4,40 2,20

K2R1 2,80 2,60 5,40 2,70


K2R2 2,85 2,80 5,65 2,83
K2R3 2,50 2,55 5,05 2,53
K2R4 2,40 2,50 4,90 2,45

K3R1 2,85 3,00 5,85 2,93


K3R2 2,90 2,95 5,85 2,93
K3R3 3,29 3,10 6,39 3,20
K3R4 2,85 2,70 5,55 2,78

K4R1 3,50 3,50 7,00 3,50


K4R2 3,45 3,20 6,65 3,33
K4R3 3,20 3,00 6,20 3,10
K4R4 3,15 3,10 6,25 3,13
Total 91,64
Rataan 2,86

Lampiran 10. Daftar analisis sidik ragam orgnoleptik warna sesudah


penggorengan (numerik)
SK db JK KT F hit. F.05 F.01
Perlakuan 15 3,6383 0,2426 16,5634 ** 2,35 3,41
K 3 2,2996 0,7665 52,3466 ** 3,63 5,29
K Lin 1 2,0794 2,0749 141,9964 ** 4,49 8,53
K Kuad 1 0,1741 0,1741 11,8856 ** 4,49 8,53
K Kub 1 0,0462 0,0462 3,1577 tn 4,49 8,53
3 R 0,7425 0,2475 16,9020 ** 3,63 5,29
T Lin 1 0,6708 0,6708 45,8086 ** 4,49 8,53
T Kuad 1 0,0561 0,0561 3,8318 tn 4,49 8,53
T Kub 1 0,0156 0,0156 1,0655 tn 4,49 8,53
KxR 9 0,5961 0,0662 4,5228 ** 2,54 3,78
Galat 16 0,2343 0,0146
Total 31 3,8725
Keterangan:
FK = 262,43
KK = 4,226 %
** = Sangat nyata
* = Nyata
tn = Tidak nyata

67
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 11. Data pengamatan analisis organoleptik
kerenyahan (numerik)
Ulangan
Perlakuan Total Rataan
I II
K1R1 3,00 3,10 6,10 3,05
K1R2 2,95 2,98 5,93 2,97
K1R3 2,90 2,95 5,85 2,93
K1R4 2,70 2,73 5,43 2,72

K2R1 3,20 3,28 6,48 3,24


K2R2 3,15 3,19 6,34 3,17
K2R3 2,97 3,02 5,99 3,00
K2R4 2,90 2,94 5,84 2,92

K3R1 3,32 3,33 6,65 3,33


K3R2 3.15 3,18 6,33 3,17
K3R3 2,97 3,02 5,99 3,00
K3R4 2,90 2,95 5,85 2,93

K4R1 3,30 3,32 6,62 3,31


K4R2 3,16 3,20 6,36 3,18
K4R3 3,10 3,14 6,24 3,12
K4R4 2,98 3,03 6,01 3,01
Total 98.01
Rataan 3,06

Lampiran 12. Daftar analisis sidik ragam organoleptik kerenyahan (numerik)


SK Db JK KT F hit. F.05 F.01
Perlakuan 15 0,8036 0,0536 44,5283 ** 2,35 3,41
K 3 0,2592 0,0864 71,8225 ** 3,63 5,29
K Lin 1 0,2198 0,2198 182,6748 ** 4,49 8,53
K Kuad 1 0,0270 0,0270 22,4649 ** 4,49 8,53
K Kub 1 0,0124 0,0124 10,3278 ** 4,49 8,53
R 3 0,5120 0,1707 141,8485 ** 3,63 5,29
T Lin 1 0,5119 0,5119 425,4675 ** 4,49 8,53
T Kuad 1 0,0001 0,0001 0,0649 tn 4,49 8,53
T Kub 1 0,0000 0,0000 0,0130 tn 4,49 8,53
KxR 9 0,0324 0,0036 2,9902 * 2,54 3,78
Galat 16 0,0193 0,0012
Total 31 0,8228
Keterangan:
FK = 300,19
KK = 1,132 %
** = sangat nyata
* = nyata
tn = tidak nyata

68
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 13. Data pengamatan analisis organoleptik rasa
(numerik)
Ulangan
Perlakuan Total Rataan
I II
K1R1 2,80 2,76 5,56 2,78
K1R2 2,73 2,79 5,52 2,76
K1R3 2,68 2,90 5,58 2,79
K1R4 3,05 3,00 6,05 3,03

K2R1 2,82 2,90 5,72 2,86


K2R2 2,85 3,00 5,85 2,93
K2R3 2,90 3,06 5,96 2,98
K2R4 3,02 3,20 6,22 3,11

K3R1 2,88 3,00 5,88 2,94


K3R2 2,92 3,04 5,96 2,98
K3R3 3,06 2,98 6,04 3,02
K3R4 3,15 3,30 6,45 3,23

K4R1 2,89 3,00 5,89 2,95


K4R2 3,00 3,14 6,14 3,07
K4R3 3,23 3,35 6,58 3,29
K4R4 3,56 3,20 6,76 3,38
Total 96,16
Rataan 3,01

Lampiran 14. Daftar analisis sidik ragam organoleptik rasa (numerik)


SK Db JK KT F hit. F.05 F.01
Perlakuan 15 0,9590 0,0639 5,4354 ** 2,35 3,41
K 3 0,4632 0,1544 13,1279 ** 3,63 5,29
K Lin 1 0,4580 0,4580 38,9339 ** 4,49 8,53
K Kuad 1 0,0000 0,0000 0,0000 tn 4,49 8,53
K Kub 1 0,0053 0,0053 0,4497 tn 4,49 8,53
R 3 0,4241 0,1414 12,0191 ** 3,63 5,29
T Lin 1 0,3980 0,3980 33,8366 ** 4,49 8,53
T Kuad 1 0,0253 0,0253 2,1520 tn 4,49 8,53
T Kub 1 0,0008 0,0008 0,0689 tn 4,49 8,53
KxR 9 0,0716 0,0080 0,6766 tn 2,54 3,78
Galat 16 0,1882 0,0118
Total 31 1,1472
Keterangan:
FK = 288,96
KK = 3,609%
** = Sangat nyata
tn = Tidak nyata
69

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 15. Foto kerupuk rebung sebelum penggorengan

K1R1 K1R2 K1R3

K1R4 K2R1 K2R2

K2R3 K2R4 K3R1

70

Universitas Sumatera Utara


71
K3R2 K3R2 K3R4

K4R1 K4R2 K4R3

K4R4

Universitas Sumatera Utara


Lampiran 16. Foto kerupuk rebung sesudah penggorengan

K1R1 K1R2 K1R3

K1R4 K2R1 K2R2

K2R3 K2R4 K3R1

72
Universitas Sumatera Utara
73

K3R2 K3R3 K3R4

K4R1 K4R2 K4R3

K4R4

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai