Anda di halaman 1dari 84

BUKTI ACC LAPORAN

ASLAB

DOSEN
LAPORAN RESMI
PRAKTIKUM BIOPROSES

Materi :
Isolasi Enzim

Group :
5 - Selasa

Anggota : 1. Ardeliana (NIM. 21030120140138)


2. Azlya Luke Nur Ahlina (NIM. 21030120120023)
3. Hasan Mustafa Widayat (NIM. 21030120130082)

LABORATORIUM BIOPROSES
DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2022
HALAMAN PENGESAHAN
LABORATORIUM BIOPROSES
TEKNIK KIMIA UNIVERSITAS DIPONEGORO

Laporan resmi praktikum Isolasi Enzim yang disusun oleh:


Kelompok : 5 - Selasa
Anggota : 1. Ardeliana (NIM. 21030120140138)
2. Azlya Luke Nur Ahlina (NIM. 21030120120023)
3. Hasan Mustafa Widayat (NIM. 21030120130082)

Telah diterima dan disetujui oleh Prof. Ir. Abdullah M.S., Ph.D. selaku dosen
pengampu pada:
Hari : SENIN
Tanggal : 25 APRIL 2022

Semarang,
Mengetahui,
Dosen Pengampu

Prof. Ir. Abdullah M.S., Ph.D.


NIP. 195512311983031014
RINGKASAN

Enzim merupakan biokatalisator yang berperan sebagai katalis yaitu


mempercepat reaksi suatu senyawa kimiawi didalam sel tanpa habis bereaksi. Saat ini,
enzim banyak digunakan di bidang industri, terutama industri bioteknologi.
Diharapkan dari praktikum ini mahasiswa mampu mengisolasi enzim dari sekam padi
dengan metode fermentasi media, menghitung aktiviitas enzim selulase, dan mampu
mebandingkan aktivitas enzim terhadap waktu inkubasi, penambahan volume starter,
dan rasio sampel dengan air.
Mekanisme isolasi enzim ada 3 yaitu ekstraksi, dialisi, dan fraksinasi dengan
metode salting out. Penggolongan enzim didasarkan pada fungsinya dan tempat
bekerjanya. Faktor faktor yang mempengaruhi aktivitas enzim adalah suhu, PH,
konsentrasi enzim, dan konsentrasi substrat. Kinetika reaksi enzimatis setelah
mencapai kecepatan maksimum, maka penambahan konsentrasi substrat tidak
berpengaruh signifikan.
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini: serbuk gergaji 300 gram, 86,4
gram NaOH 0,6 M, Aspergillus niger, 1,5 glukosa, 0,255 gram MgSO4, 0,3 gram
KH2PO4, 0,03 gram CaCl2, o,15 gram NaCl, 0,5 gram urea , aquades, 1 gram CMC
. Sedangkan alat yang digunakan antara lain; beaker glass, corong buchner, kuvet,
kertas saring, kompor listrik, buret, statif dan klem, pompa vakum, termometer, gelas
ukur, pengaduk, timbangan, erlenmeyer penghisap, indikator PH, dan inkubator.
Proses yang dilakukan dalam praktikum meliputi persiapan bahan baku, starter,
fermentasi, panen, uji kadar glukosa, dan analisis data.
Hasil percobaan yang didapat adalah mengkaji pengaruh waktu inkubasi
terhadap aktivitas enzim, pengaruh rasio serbuk gergaji/air terhadap aktivitas enzim,
dan pengaruh volume starter terhadap aktivitas enzim. Pengaruh waktu inkubasi
terhadap aktivitas enzim berbanding lurus hingga titik maksimal waktu tertentu,
semakin lama waktu inkubasinya, maka aktivitas enzim akan meningkat. Pengaruh
rasio serbuk gergaji/air terhadap aktivitas enzim adalah semakin besar konsentrasi
substrat, reaksi akan berjalan cepat dan aktivitas enzim akan semakin tinggi. Namun,
saat sisi aktif enzim sudah terisi seluruhnya, maka penambahan konsentrasi substrat
tidak akan mempengaruhi pertumbuhan aktivitas enzim. Pengaruh volume starter
terhadap aktivitas enzim adalah semakin banyak volume starter yang ditambahkan
maka akan dihasilkan enzim selulase yang tinggi karena tingginya aktivitas enzim.
Saran yang dapat diberikan untuk praktikum ini diantaranya memperkecil luas
permukaan serbuk gergaji agar hasil yang didapatkan lebih maksimal, pastikan bahan
baku telah dikeringkan dan tidak mengandung air lagi, dan melakukan penimbangan
secara cermat agar hasil yang diperoleh lebih akurat dan tidak terjadi galat saat
perhitungan.
PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya penulis
dapat menyelesaikan Laporan resmi Praktikum Bioproses berjudul Isolasi Enzim
dengan lancar dan tepat waktu. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan
dan kerja sama dari berbagai pihak, maka laporan ini tidak dapat terselesaikan.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Dr. Aprilina Purbasari, S.T., M.T. selaku penanggung jawab Laboratorium
Mikrobiologi Industri Teknik Kimia Universitas Diponegoro.
2. Bapak Prof. Ir. Abdullah M.S., Ph.D. selaku dosen pengampu materi Bakteri Asam
Laktat.
3. Ibu Jufriyah, S.T. selaku pranata laboratorium pendidikan Laboratorium
Mikrobiologi Industri.
4. Ayu Puspita Dewi selaku Koordinator Asisten Laboratorium Mikrobiologi Industri
Teknik Kimia Universitas Diponegoro.
5. Wakhyu Nur Afni dan Alfan Fatir Fatikah selaku asisten pengampu materi Isolasi
Enzim di Laboratorium Mikrobiologi Industri Teknik Kimia Universitas
Diponegoro.
6. Seluruh asisten Laboratorium Mikrobiologi Industri Teknik Kimia Universitas
Diponegoro.
7. Teman - teman yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung
Demikianlah proposal praktikum ini dibuat. Meskipun telah berusaha untuk
menghindarkan kesalahan, penulis menyadari bahwa laporan ini masih memilik
kekurangan. Karena itu, penulis berharap agar pembaca berkenan menyampaikan kritik
dan saran. Akhir kata, laporan ini diharapkan dapat bermanfaat dan menambah
wawasan bagi pembaca.

Semarang,

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Enzim merupakan produk yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan telah
menjadi alat praktis yang penting karena sangat diperlukan untuk menunjang
berbagai proses dalam industri pangan maupun non pangan (Darwis dan Sukara,
1990 dalam Murni et al., 2011). Contoh pemanfaatan enzim yaitu pada proses
industri untuk hidrolisis lemak/minyak menjadi asam lemak dan gliserol. Asam
lemak dan gliserol merupakan produk oleokimia dasar yang sangat diperlukan oleh
industri kosmetik, plastik, cat, deterjen, dan sabun. Dewasa ini proses tersebut
beroperasi pada suhu 240 – 250 C dan tekanan 45 – 50 atm (Murni et al., 2011).
Serbuk gergaji kayu sebenarnya memiliki sifat yang sama dengan kayu,
hanya saja wujudnya yang berbeda. Kayu adalah sesuatu bahan yang diperoleh dari
hasil pemotongan pohon – pohon dihutan, yang merupakan bagian dari pohon
tersebut dan dilakukan pemungutan, setelah diperhitungkan bagian – bagian mana
yang lebih banyak dapat dimanfaatkan untuk sesuatu tujuan penggunaan. Tanaman
kayu dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok besar yaitu kelompok
Gymnospora, yaitu yang biasa disebut dengan Softwood dan kelompok Angiospora
yang dikenal dengan Hardwood (Windyasari, 2004 dalam Billah, 2009).
Isolasi enzim bertujuan memekatkan enzim hasil fermentasi. Proses
ekstraksi enzim dapat dijalankan melalui 4 langkah proses, yaitu: (1)
menghilangkan bahan-bahan terlarut dari bahan baku, (2) mengisolasi produk dari
larutan encer yang dihasilkan untuk menghasilkan lebih larutan pekat, (3)
memurnikan produk, menghilangkan spesies lain yang mungkin mirip, dan (4)
pemurnian akhir, yang disebut dengan polishing (Murni et al., 2011). Fermentasi
secara umum dibagi menjadi 2 model utama yaitu fermentasi media padat (solid
state fermentation) dan fermentasi media cair (submerged fermentation) (Khasanah
et al., 2014).
A.niger merupakan jamur yang dapat menghasilkan protease. Protease dari
cendawan Aspergillus memiliki lebih banyak keuntungan daripada protease bakteri
dalam pemisahan enzim karena miselium dapat dihapus hanya dengan filtrasi.
Protease yang dihasilkan oleh A. niger lebih baik karena menghasilkan protease
yang lebih tinggi, waktu produksinya lebih singkat dan biayanya relatif murah. Di
beberapa negara Asia, genus Aspergillus banyak digunakan untuk memproduksi
makanan fermentasi tradisional (Indratiningsih dkk., 2013 dalam Irma, 2015).

1
1.2 Rumusan Masalah
Akhir-akhir ini, penelitian tentang isolasi enzim sangat menarik perhatian
karena kaitannya dengan pengembangan industri. Hingga saat ini sebagian besar
enzim yang digunakan dalam industri di Indonesia masih mengandalkan impor.
Keadaan ini tentunya sangat merugikan jika ditinjau secara ekonomi, padahal
Indonesia merupakan negara tropis yang kaya akan sumber alam hayati, terutama
mikroba penghasil enzim.
Melihat kondisi ini sangatlah penting untuk mengembangkan teknik
produksi, pemurnian dan teknik untuk meningkatkan kestabilan enzim, sehingga
dapat memenuhi tuntutan industri agar tidak selalu tergantung pada sumber dari
luar negeri. Salah satu solusi untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan
melakukan praktikum mengenai isolasi enzim dengan bahan baku limbah alam
yaitu serbuk gergaji. Pada praktikum ini akan menganalisis waktu inkubasi, rasio
sampel, dan volume starter.

1.3 Tujuan Praktikum


1. Mengisolasi enzim selulase dari Aspergillus niger dengan substrat serbuk
gergaji menggunakan metode fermentasi media.
2. Menghitung aktivitas enzim selulase dari Aspergillus niger dengan substrat
serbuk gergaji.
3. Mengetahui pengaruh waktu inkubasi, rasio serbuk gergaji/air dan penambahan
volume starter terhadap aktivitas enzim.

1.4 Manfaat Praktikum


1. Mahasiswa mampu mendapatkan enzim dengan murah
2. Mahasiswa mampu mengetahui cara menaikkan nilai dari serbuk gergaji
3. Mahasiswa mampu menghitung aktivitas enzim selulase

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Enzim
Enzim merupakan kelompok protein yang bersifat katalis dan mengatur
perubahan senyawa kimia dalam sistem biologis. Enzim dapat dihasilkan oleh
hewan, tumbuhan dan mikroorganisme. Secara katalitik, enzim menjalankan
fungsinya dalam berbagai reaksi seperti hidrolisis, oksidasi, reduksi, isomerasi,
adisi, transfer gugus, dan kadang-kadang pemutusan rantai karbon (Sumardjo, 2006
dalam Sulistyowati dkk., 2016). Enzim telah banyak digunakan dalam berbagai
proses kimiawi, baik dalam bidang industri maupun dalam bidang bioteknologi.
Seiring dengan peningkatan penggunaan enzim, berbagai eksplorasi penelitian
tentang enzim telah banyak dilakukan (Falch, 1991 dalam Sulistyowati dkk., 2016).

2.2 Enzim Selulase


Enzim selulase adalah enzim yang mampu mendegradasi selulosa dengan
produk utamanya yakni glukosa, selobiosa dan selooligosakarida. Selulase
memiliki sistem enzim yang terdiri dari endo-1,4-β-glukanase, ekso-1,4-β-
glukanase dan β-D-glukosidase. Ketiga enzim ini bekerja secara sinergis
mendegradasi selulosa dan melepaskan gula pereduksi sebagai produk akhirnya.
Endo-1,4- β-glukanase memotong ikatan rantai dalam selulosa menghasilkan
molekul selulosa yang lebih pendek, ekso-1,4-β-glukanase memotong ujung rantai
selulosa menghasilkan molekul selobiosa, sedangkan β-D-glukosidase memotong
molekul selobiosa menjadi dua molekul glukosa (Kim, 2001 dalam Parkan dkk.,
2016).

2.3 Serbuk Gergaji

Gambar 2.1 Serbuk gergaji

Tabel 2.1 Komposisi Serbuk Gergaji

3
(Mursalim dkk., 2019)

Serbuk gergaji kayu sebenarnya memiliki sifat yang sama dengan kayu, hanya
saja wujudnya yang berbeda. Kayu adalah sesuatu bahan yang diperoleh dari hasil
pemotongan pohon – pohon dihutan, yang merupakan bagian dari pohon tersebut
dan dilakukan pemungutan, setelah diperhitungkan bagian – bagian mana yang
lebih banyak dapat dimanfaatkan untuk sesuatu tujuan penggunaan. Tanaman kayu
dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok besar yaitu kelompok Gymnospora,
yaitu yang biasa disebut dengan Softwood dan kelompok Angiospora yang dikenal
dengan Hardwood (Windyasari, 2004 dalam Billah, 2009). Di Indonesia ada tiga
macam industri kayu yang secara dominan mengkonsumsi kayu dalam jumlah
yang relatif besar, yaitu : penggergajian, vinir atau kayu lapis, dan

pulp atau kertas. Sejauh ini, limbah biomassa dari industri tersebut telah
dimanfaatkan kembali dalam proses pengolahannya sebagai bahan bakar guna
melengkapi kebutuhan energinya (Billah dkk., 2009). Kandungan kimia yang
terdapat dalam serbuk gergaji kayu antara lain sellulosa, hemisellulosa dan lignin.
(Dumanauw.J.F, 2002 dalam Ansori, 2017)

2.4 Aspergillus niger


Aspergillus merupakan salah satu marga tertua jamur (Raper dan Fennel,
1965) membagi Aspergillus mejadi delapan belas kelompok yaitu, Aspergillus
clavatus, Aspergillus glaucus, Aspergillus restrictus, Aspergillus fumigatus,
Aspergillus ochraceus, Aspergillus niger, Aspergillus candidus, Aspergillus flavus,
Aspergillus wentii, Aspergillus cremeus, Aspergillus sparsus, Aspergillus
versicolor, Aspergillus nidulans, Aspergillus ustus, Aspergillus flavipes dan
Aspergillus terreus (Irma, 2015).

4
Gambar 2.2 Koloni Aspergillus Niger (Sumber : (Noverita, 2009 dalam Irma,
2015))
Aspergillus niger adalah kapang anggota genus Aspergillus, famili
Monoliaceae, ordo Monoliales, kelas Deuteromycetes, dan divisi Eumycetes
(Hardjo dkk, 1989 dalam Irma, 2015).
A.niger merupakan jamur yang dapat menghasilkan protease. Protease dari
cendawan Aspergillus memiliki lebih banyak keuntungan daripada protease bakteri
dalam pemisahan enzim karena miselium dapat dihapus hanya dengan filtrasi.
Protease yang dihasilkan oleh A. niger lebih baik karena menghasilkan protease
yang lebih tinggi, waktu produksinya lebih singkat dan biayanya relatif murah. Di
beberapa negara Asia, genus Aspergillus banyak digunakan untuk memproduksi

5
makanan fermentasi tradisional (Indratiningsih dkk., 2013 dalam Irma, 2015).

2.5 Metode Pembuatan Enzim


1. Pengaruh pH
Pengaruh pH Derajat keasaman (pH) menjadi faktor yang
mempengaruhi aktivitas enzim (Purkan et al. 2016 dalam Elawati dkk., 2018).
Aktivitas maksimum enzim kitinase dicapai pada buffer sitrat fosfat pH 5

karena menunjukkan absorbansi yang terbesar dibanding yang lain dengan


aktivitas enzim 1,15 (U/mL). Hasil ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh
Karthik et al. (2014) dalam Elawati dkk., (2018), secara umum jamur bekerja
pada pH asam untuk memproduksi kitinase yaitu dibawah pH 6. Lebih lanjut
penelitian oleh Wang et al. (2015) dalam Elawati dkk., (2018) melaporkan
bahwa enzim kitinase stabil pada pH 5 dengan aktivitas enzim residu sebesar
70%. Aktivitas kitinase yang tinggi pada pH optimum disebabkan oleh
terjadinya ionisasi asam-asam amino pada sisi aktif enzim, sehingga terjadi
interaksi yang optimum antara enzim dengan substrat (Rahmawati 2016 dalam
Elawati dkk., 2018).
2. Pengaruh Suhu
Pengaruh suhu setiap enzim memiliki kisaran suhu tertentu untuk
mencapai aktivitas yang optimum. Rentang suhu yang diujikan dimulai dari
25ºC sampai 60ºC selama 30 menit. Aktivitas kitinase mengalami penurunan
setelah mendapatkan kondisi suhu optimum yaitu suhu 40ºC. Hal ini terjadi
karena enzim merupakan jenis protein yang dapat mengalami denaturasi pada
suhu tinggi. Denaturasi ini menyebabkan perubahan pada konformasi enzim
akibat adanya perenggangan ikatan hidrogen yang bersifat reversibel sehingga
dapat mempengaruhi sisi aktif enzim untuk berikatan dengan substrat (Haedar
et al. 2017 dalam Elawati dkk., 2018). Penelitian Wang et al. (2015) dalam
Elawati dkk., (2018) melaporkan bahwa kisaran suhu optimal untuk aktivitas
kitinase kisaran 40 – 85ºC (Elawati dkk., 2018).
3. Pengaruh Waktu Inkubasi
Semua enzim memiliki kemampuan untuk mempertahankan stabilitas
sisi aktifnya dalam waktu tertentu. Kemampuan ini bersifat spesifik dan
berbeda antara enzim satu dengan enzim yang lain (Noviendri et al. 2008 dalam
Elawati dkk., 2018). Pengujian stabilitas waktu inkubasi terhadap aktivitas
enzim kitinase dilakukan dari rentang waktu inkubasi 15 hingga 120 menit
dengan pH 5 dan suhu 40ºC yang merupakan pH dan suhu optimum (Elawati
dkk., 2018).
4. Kinetika Enzim
6
Aktivitas enzim juga dipengaruhi oleh konsentrasi substrat yang digunakan.
Semakin tinggi konsentrasi substrat yang digunakan, maka semakin tinggi
aktivitas enzim atau semakin tinggi kecepatan reaksi yang dikatalisis oleh
enzim tersebut. Namun pada suatu titik tertentu, yaitu kecepatan maksimum
(Vmaks), penambahan konsentrasi substrat dalam jumlah tertentu tidak akan
dapat meningkatkan kecepatan reaksi enzim, melainkan dapat menurunkan
aktivitas enzim atau kecepatan reaksi. Dalam hal ini, substrat yangditambahkan
tersebut akan menjadi inhibitor dalam reaksi enzimatik (Noviendri et al. 2008
dalam Elawati dkk., 2018).

2.6 Perhitungan Aktivitas Enzim

Pengujian aktivitas enzim amilase kasar dilakukan dengan cara mengkultur bakteri
B. cepacia pada mediam MSM cair yang ditambahkan 0,5% substrat daun papaya
sebagai sumber karbohidrat. Persamaan regresi kurva kalibrasi yang diperoleh
yaitu y = 0,0003x – 0,081 (Gambar 2). Perhitungan aktivitas enzim dilakukan
dengan mensubtitusikan absorbansi larutan yang diperoleh pada pengujian
aktivitas enzim ke dalam persamaan regresi kurva kalibrasi larutan standar
glukosa (Tabel 1). Aktivitas enzim dari ekstrak kasar enzim yaitu 101,853 Unit
dengan konsentrasi glukosa sebesar 6111,18 µmol. Suarni dan Patong (2007)
menyatakan bahwa 1 unit enzim amilase sama dengan besarnya aktivitas enzim
yang dibutuhkan untuk membebaskan 1 µmol glukosa per menit per mL enzim
(Melisha dkk., 2016).
Tabel 2. Data Pengukuran Standar Glukosa
Konsentrasi (ppm) Absorbansi
250 0,0210
700 0,0870
750 0,1520
1250 0,3410
1500 0,4440

7
Gambar 2.3 Grafik absorbansi larutan kurva standar larutan glukosa

2.7 Cara-Cara Mengisolasi Enzim


1. Fraksinasi dengan Garam Amonium Sulfat
2. Kromatografi penukaran kation CM-Sephandex C-50
3. Kromatografi kolom penyaringan molekul sephadex G-100
(Yandri dkk., 2007)

2.8 Perbedaan Fermentasi Padat dan Cair


Dalam menjaga kondisi proses fermentasi sesuai dengan apa yang diinginkan seperti pH,
aerasi, kehomogenan media, fermentasi dengan media cair lebih menguntungkan, tetapi biaya
operasional dan alat yang digunakan lebih mahal. Fermentasi dengan media padat
mempunyai keunggulan lebih sederhana dalam pelaksanaannya, biaya operasional dan
peralatan fermentasi lebih murah, tetapi untuk menjaga kondisi fermentasi sesuai dengan apa
yang diinginkan seperti kehomogenan media, aerasi sangat sulit untuk dilakukan
(Ramachandran et al. 2013 dalam Suryanto & Marasabessy, 2016). Dalam aplikasinya
fermentasi dengan media padat dapat memanfaatkan limbah pertanian seperti limbah teh
(Kapilan 2015 dalam Suryanto & Marasabessy, 2016), limbah kopra (Castro dan Sato 2015;
Mrudula dan Murugammal 2011 dalam Suryanto & Marasabessy, 2016), dan limbah dari
proses pengolahan pati (Kiran et al. 2014; Sindhu et al. 2015 dalam Suryanto & Marasabessy,
2016).

8
BAB III
METODE PERCOBAAN

3.1. Rancangan Praktikum


3.4.1. Skema Rancangan Percobaan

Serbuk gergaji
300 gram

Gambar 3.1 Skema rancangan percobaan


((Murtius et al., 2017)
3.4.2. Variabel Operasi
1. Variabel Tetap
a. Serbuk gergaji 300 gram
b. Konsentrasi NaOH 0,6 M
c. Rasio eceng gondok (gr) : NaOH (ml) = 1:12
d. Waktu inkubasi 1 malam
e. Aspergillus niger
f. Rasio sampel air

9
g. Starter (basis 150 ml) (anaerob)
Tabel 3.1 Starter
Glukosa NaCl KH2PO4 CaCl2 MgSo4
10 gr 1 gr/L 2 gr/L 0,2 gr/L 1,7 gr/L
h. Rasio volume filtrat : CMC = 1:1 (basis 50 ml)
i. Sentrifugasi dengan 2500 rpm selama 20 menit
2. Variabel Bebas
a. Fermentasi (basis 100 ml, aerob)
Tabel 3.2 Fermentasi
Variabel 1 2 3 4
Rasio 15%b/V 10%b/V 15%b/V 15%b/V
sampel/air
Volume 10% 10% 15% 10%
starter
b. T uji kadar glukosa (15, 30, 45, 60) menit
3. Variabel Terikat
a. Aktivitas enzim
b. Volume dan konsentrasi titran
c. Volume starter

3.2. Bahan dan Alat


3.4.1. Bahan
1. Serbuk gergaji 300 gr 7. KH2PO4
2. NaOH 8. CaCl2
3. HCl 9. NaCl
4. Aspergillus niger 10. Urea
5. Glukosa 11. Aquadest
6. MgSO4 12. CMC
3.4.2. Alat
1. Beaker glass 9. Buret
2. Termometer 10. Statif dan klem
3. Gelas ukur 11. Kuvet
4. Pengaduk 12. Kertas saring
5. Inkubator 13. Corong bucher
6. Timbangan 14. Shaker
7. Indikator pH 15. Pompa vakum
8. Kompor listrik 16. Erlenmeyer penghisap

10
3.3. Gambar Alat
Tabel 3.3 Gambar alat praktikum
No. Nama Alat Gambar Alat

1. Beaker Glass

2. Corong buchner

3. Kuvet

4. Kertas saring

5. Kompor listrik

6. Buret

7. Statif dan klem

10
8. Pompa vakum

9. Shaker

10. Termometer

11. Gelas Ukur

12. Inkubator

13. Timbangan

14. Erlenmeyer penghisap

3.4. Prosedur Praktikum


3.4.1. Persiapan Bahan Baku
1. Haluskan bahan baku, lalu timbang sesuai yang dibutuhkan, yaitu
serbuk gergaji sebanyak 300 gram,
2. Masukkan bahan baku ke dalam larutan NaOH atau HCl normalitas

11
dan volume 150ml,
3. Campuran dipanaskan pada suhu konstan 90oC selama 1 jam, sambil
diaduk,
4. Keringkan bahan baku menggunakan oven pada suhu 110oC selama 1
malam.
3.4.2. Pembuatan Starter
1. Media inokulum dibuat dengan menyiapkan larutan media volume
tertentu dalam erlenmeyer. Media terdiri dari 10 gr/L glukosa, 1 gr/ml
NaCl, 2 gr/L KH2PO4, 0,2 gr/L CaCl2, 1,7 gr/L MgSO4. Setelah itu
tambahkan Aspergillus niger ke dalam campuran. Tutup erlenmeyer
menggunakan alumunium foil,
2. Starter diinkubasi menggunakan shaker pada temperatur ruangan
selama 1 malam.
3.4.3. Fermentasi
1. Sampel dicampur menggunakan air dengan rasio sampel-air untuk
variable 1,3, dan 4 sebesar 15%b/V dan variable 2 sebesar 10%b/V,
kemudian diaduk,
2. Atur pH masing-masing variabel sampai dengan 7,
3. Tambahkan ke dalam larutan urea dan starter dengan 100 ml,
4. Fermentasi dilakukan secara aerob selama 1 malam.
3.4.4. Panen
1. Hasil dari fermentasi disentrifugasi pada kecepatan 2500rpm dan waktu
20 menit,
2. Setelah sentrifugasi, cairan disaring menggunakan pompa vakum,
untuk diperoleh filtratnya (crude enzyme),
3. Filtrat yang diperoleh, dicampur CMC dengan perbandingan 1:1,
4. Campuran diinkubasi selama waktu 1 malam,
5. Sebelum dan sesudah inkubasi, dilakukan uji kadar glukosa pada
sampel.
3.4.5. Uji Kadar Glukosa
1. Membuat larutan glukosa standar dengan melarutkan 1,25 gram
glukosa dalam 500 ml aquades. Ambil 5 ml glukosa standar, kemudian
diencerkan sampai 25 ml dan diambil 5 ml, setelah itu pH dinetralkan.
Lakukan standarisasi glukosa dengan mencampurkan 5 ml glukosa
encer, 5 ml fehling A, dan 5 fehling B. Campuran ini dipanaskan sampai
60oC, dan dititrasi dengan larutan glukosa standar sampai warna biru
hampir hilang. Tambahkan dua tetes indikator MB. Lanjutkan titrasi

12
sampai warna merah bata yang tidak hilang setelah pengocokan. Catat
kebutuhan titran (F).
2. Ambil 5 ml sampel, lalu diencerkan hingga 25 ml. Ambil 5 ml sampel
encer, dan dinetralkan pHnya, setelah itu tambahkan 5 ml fehling A, 5
ml fehling B, serta 5 ml glukosa standar. Atur pH campuran hingga
netral. Kemudian lakukan pemanasan campuran sampai 60oC dan titrasi
dengan larutan glukosa standar sampai warna biru hampir hilang.
Tambahkan dua tetes indikator MB. Lanjutkan titrasi sampai warna
merah bata yang tidak hilang setelah pengocokan. Catat kebutuhan
titran (M).

(𝐹 − 𝑀)𝑥 𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑥 𝑉 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛


𝐶= 𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑉 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑏𝑖𝑙 𝑥 2,5
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
Glukosa standar = 2,5 gram dalam 1 liter = 2,5 mg/mL
Semua satuan volume memakai mL
3.4.6. Analisis Data
1. Aktivitas Enzim
Setelah mendapatkan C (konsentrasi glukosa) dalam satuan mg/mL.
Kemudian masukkan ke dalam rumus:
𝐶 1000 1 𝑢𝑛𝑖𝑡
𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 𝐸𝑛𝑧𝑖𝑚 = 𝑥 𝑥( )
𝑇 𝐵𝑀 1 𝜇𝑚𝑜𝑙
Dimana:
C = konsentrasi glukosa per mL ekstrak enzim
T = waktu inkubasi (menit)
Yaitu lamanya waktu inkubasi (Tn)
1 unit enzim : yaitu besarnya aktivitas enzim yang dibutuhkan untuk
membebaskan 1 μmol glukosa per menil per ml enzim.
(Nurkhotimah dkk., 2017)

13
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengaruh Waktu Inkubasi terhadap Aktivitas Enzim


Pada percobaan yang dilakukan, setiap variabel diuji aktivitas enzimnya
pada waktu inkubasi yang berbeda-beda, yaitu 10, 20, 30, dan 40 menit. Sehingga
setiap variabel ditinjau pengaruh waktu inkubasi terhadap aktivitas enzim.
Pengaruh waktu inkubasi terhadap aktivitas enzim disajikan pada Tabel 4.1 dan
Gambar 4.1
Tabel 4.1 Pengaruh Waktu Inkubasi Terhadap Aktivitas Enzim

Variabel Aktivitas Enzim (unit enzim/ml.menit)

T1 (10 menit) T2 (20 menit) T3 (30 menit) T4 (40 menit)

1 8,472 5,27 4,398 3,4372

2 1,527 0,83 1,018 1,1

3 6,111 3,541 2,592 1,909

4 2,083 2,291 2,176 2,257

9
8,5
8
7,5
7
6,5
Aktivitas Enzim

6
5,5
5 Variabel 1
4,5
4 Variabel 2
3,5
3 Variabel 3
2,5
2 Variabel 4
1,5
1
0,5
0
0 10 20 30 40
Waktu (Menit)

Gambar 4.1 Grafik hubungan pengaruh waktu inkubasi terhadap aktivitas enzim

Tabel 4.1 dan Gambar 4.1 menunjukkan aktivitas enzim untuk


perhitungan kadar glukosa pada semua variable. Variabel 1 saat menit ke-
10 sebesar 8,472 unit enzim/ml.menit, menit ke-20 sebesar 5,27 unit
enzim/ml.menit, menit ke-30 sebesar 4,398 unit enzim/ml.menit, dan menit ke-40
sebesar 3,4372 unit enzim/ml.menit. Aktivitas enzim untuk variabel 2 saat menit
14
ke- 10 sebesar 1,527 unit enzim/ml.menit, menit ke-20 sebesar 0,83 unit
enzim/ml.menit, menit ke-30 sebesar 1,018 unit enzim/ml.menit, dan menit ke-40
sebesar 1,1 unit enzim/ml.menit. Aktivitas enzim untuk variabel 3 saat menit
ke- 10 sebesar 6,111 unit enzim/ml.menit, menit ke-20 sebesar 3,541 unit
enzim/ml.menit, menit ke-30 sebesar 2,592 unit enzim/ml.menit, dan menit ke-40
sebesar 1,909 unit enzim/ml.menit. Aktivitas enzim untuk variabel 4 saat menit
ke- 10 sebesar 2,083 unit enzim/ml.menit, menit ke-20 sebesar 2,291 unit
enzim/ml.menit, menit ke-30 sebesar 2,176 unit enzim/ml.menit, dan menit ke-40
sebesar 2,257 unit enzim/ml.menit.
Dari hasil percobaan, didapatkan data pada variabel 1 dan 3 semakin lama
waktu inkubasi maka semakin rendah nilai aktivitas enzimnya. Sedangkan pada
variabel 4 pada menit ke-20, aktivitas enzim mengalami kenaikan. Namun pada
menit ke-30 aktivitas enzim mengalami penurunan. Pada variabel 2 pada menit ke-
30 aktivitas enzim mengalami penurunan. Namun pada menit ke-40 aktivitas enzim
mengalami kenaikan. Hal ini terjadi karena perbedaan nutrisi yang diberikan untuk
variabel 2 dan variabel 4. Fase yang dialami oleh mikroorganisme ada beberapa
tahap yaitu Fase Lag (fase penyesuaian), Fase Eksponensial (Fase Pertumbuhan),
Fase Stasioner (Fasedimana mulai adanya kematian mikroorganisme), dan terakhir
Fase Kematian (Gao et al., 2014).
Aktivitas enzim nilainya akan berbanding lurus seiring lamanya waktu
inkubasi dan berbanding terbalik ketika sudah mencapai waktu optimum inkubasi.
Hal ini karena konsentrasi substrat lama kelamaan akan mencapai titikoptimum dan
aktivitas enzim akan berbanding terbalik. Hasil percobaan tidak sesuai teori
dikarenakan enzim merupakan protein yang sensitif terhadap perubahan
konsentrasi ion hydrogen atau pH. Enzim mungkin didenaturasi oleh tingkat ion
hidrogen baik tinggi maupun rendah. Pada beberapa protein, denaturasi terjadi pada
kenaikan suhu karena pada enzim bersuhu tinggi aktivitas enzim semakin tidak
stabil (Anonymous, 2022).

4.2 Pengaruh Rasio Sampel Terhadap Pengaruh Aktivitas Enzim


Pada praktiku4m yang telah dilakukan, rasio sampel yang dijadikan
pembanding pada aktivitas enzim adalah variable 1 & variable 2. Dimana pada
variable 1 diberikan rasio sebesar 15%b/V dan variable 2 diberikan rasio sebesar
10%b/V. Data tersebut terdapat pada grafik dibawah ini.

15
9
8,5
8
7,5
7

Aktivitas Enzim
6,5
6
5,5
5
4,5
4 Variabel 1
3,5
3
2,5 Variabel 2
2
1,5
1
0,5
0
0 10 20 30 40
Waktu (Menit)

Gambar 4.2 Pengaruh Rasio Sampel Banding Air Terhadap Aktivitas Enzim
Dari grafik diatas, untuk variable 1 dengan rasio sebesar 15%b/V
didapatkan data berturut-turut yaitu 8,472; 5,27; 4,398; 3,4372. Dari data tersebut
didapatkan grafik yang cenderung turun. Sementara, untuk variable 2 dengan rasio
sebesar 10%b/V didapatkan data berturut-turut yaitu 1,527; 0,83; 1,018; 1,1
didapatkan grafik yang fluktuatif.
Berdasarkan teori yang kami dapat, air dapat meningkatkan polaritas
pelarut. Di sisi lain, untuk menetukan jumlah air yang optimal ini perlu
mempertimbangkan seperti jenis reaksi dan media reaksi, jenis enzim pendukung,
sifat reaktan dan produk dari reaksi, serta kondisi oiperasional seperti tekanan dan
suhu. Konsentrasi air terendah ada pada aktivitas enzim tertinggi dan konsentrasi
air tertinggi ada pada aktivitas enzim terendah. Semakin besar konsentrasi yang
ditambahkan maka semakin cepat reaksi pada enzim. Disisi lain, rasio sampel
banding yang besar juga akan mempercepat sisi aktif enzim (Rezaei dkk., 2007).
Dari penjelasan tersebut, rasio sampel banding air bebrarti memliki arti
yang sama dengan konsentrasi substrat. Sehingga, variable 2 memiliki rasio
sampel banding air lebih kecil dari variable 1. Hal ini karena semakin besar
konsentrasi substrat, reaksi akan berjalan cepat dan aktivitas enzim akan semakin
tinggi. Namun, saat sisi aktif enzim sudah terisi seluruhnya, maka penambahan
konsentrasi substrat tidak akan mempengaruhi pertumbuhan aktivitas enzim.

4.3 Pengaruh Volume Starter terhadap Aktivitas Enzim


Pada praktikum isolasi enzim yang telah dilakukan, diberikan perbedaan
perlakuan dalam penambahan volume starter di mana pada variabel 3 ditambahkan
volume starter sebanyak 15%V (15 ml) dan pada variabel 4 sebanyak 10%V (10
ml). Perbedaan perlakuan ini berpengaruh terhadap aktivitas enzim seperti yang

16
terlihat pada gambar 4.3 berikut.

6,5
6
5,5
5
4,5
Aktivitas Enzim

4
3,5
3 Variabel 3
2,5
Variabel 4
2
1,5
1
0,5
0
0 10 20 30 40
Waktu (Menit)

Gambar 4.3 Hubungan Penambahan Starter terhadap Aktivitas Enzim


Berdasarkan grafik pada gambar 4.3, dapat dilihat bahwa nilai aktivitas
enzim pada variabel 3 dengan penambahan volume starter sebanyak 15 ml lebih
besar daripada nilai aktivitas enzim pada variabel 4 dengan penambahan volume
starter sebanyak 10 ml, tetapi pada saat 40 menit fermentasi nilai aktivitas enzim
pada variabel 4 lebih besar daripada variabel 3. Adapun pada variable 3 didapatkan
data nilai aktivitas enzim pada waktu 10, 20, 30, dan 40 menit berturut-turut adalah
6,111 unit/ml menit, 3,541 unit/ml menit, 2,592 unit/ml menit, dan 1,909 unit/ml
menit. Pada variabel 4 didapatkan data nilai aktivitas enzim pada waktu 10, 20, 30,
dan 40menit berturut-turut adalah 2,083 unit/ml menit, 2,291 unit/ml menit, 2,176
unit/ml menit, dan 2,257 unit/ml menit.
Starter pada praktikum ini adalah Aspergillus niger dan nutrien-nutrien
yang dibutuhkan adalah glukosa, NaCl, KH2PO4, CaCl2, dan MgSO4. Keberadaan
Aspergillus niger pada kondisi pertumbuhan dari enzim selulase sangat
dibutuhkan. Aspergillus niger dapat memproduksi enzim selulosa yang dapat
membantu proses fermentasi (Pawestri dan Fitri, 2019). Dari teori diatas dapat
disimpulkan semakin banyak volume Aspergillus niger yang ditambahkan,
semakin tinggi pula aktivitas enzimnya. Fase terakhir dari pertumbuhan mikroba
adalah fase kematian, yang ditandai dengan kematian mikroba (Maier et al., 2000).
Fase ini ditandai dengan penurunan aktivitas enzim selulase.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa variabel 3 yang mana
memiliki volume starter lebih besar dari pada variabel 4 memiliki aktivitas enzim
yang lebih besar pada waktu 10, 20, dan 30 menit, hal ini sesuai dengan teori
bahwa semakin banyak volume starter yang ditambahkan maka akan dihasilkan

17
enzim selulase yang tinggi karena tingginya aktivitas enzim tersebut. Namum,
aktivitas enzim yang dihasilkan pada waktu 40 menit dari variabel 3 lebih kecil
daripada variabel 4, Penurunan ini disebabkan pertumbuhan enzim selulase
mengalami fase kematian yang ditandai dengan penurunan aktivitas enzim.

18
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Isolasi enzim selulase menggunakan Aspergillus niger dengan substrat serbuk
gergaji melalui proses fermentasi.

19
2. Aktivitas enzim pada variabel 1 dengan waktu inkubasi 10 menit, 20 menit, 30
menit, dan 40 menit berturut-turut 8,472 mg/ml menit, 5,27 mg/ml menit, 4,398
mg/ml menit, dan 3,4375 mg/ml menit. Aktivitas enzim pada variabel 2 dengan
waktu inkubasi 10 menit, 20 menit, 30 menit, dan 40 menit berturut-turut 1,527
mg/ml menit, 0,83 mg/ml menit, 1,018 mg/ml menit, dan 1,111 mg/ml menit.
Aktivitas enzim pada variabel 3 dengan waktu inkubasi 10 menit, 20 menit, 30
menit, dan 40 menit berturut-turut 6,111 mg/ml menit , 3,541 mg/ml menit,
2,592 mg/ml menit, dan 1,909 mg/ml menit. Aktivitas enzim pada variabel 4
dengan waktu inkubasi 10 menit, 20 menit, 30 menit, dan 40 menit berturut-
turut 2,083 mg/ml menit, 2,291 mg/ml menit, 2,176 mg/ml menit, dan 2,256
mg/ml menit.
3. Aktivitas enzim dipengaruhi oleh lamanya waktu inkubasi, rasio serbuk
gergaji/air, dan penambahan volume starter. Pengaruh waktu inkubasi terhadap
aktivitas enzim berbanding lurus hingga titik maksimal waktu tertentu, semakin
lama waktu inkubasi maka aktivitas enzim yang dihasilkan semakin besar.
Pengaruh rasio serbuk gergaji/air terhadap aktivitas enzim adalah semakin
besar konsentrasi substrat, reaksi akan berjalan cepat dan aktivitas enzim akan
semakin tinggi. Namun, saat sisi aktif enzim sudah terisi seluruhnya, maka
penambahan konsentrasi substrat tidak akan mempengaruhi pertumbuhan
aktivitas enzim. Pengaruh volume starter terhadap aktivitas enzim adalah
semakin banyak volume starter yang ditambahkan maka akan dihasilkan enzim
selulase yang tinggi karena tingginya aktivitas enzim.

5.2 Saran
1. Memperkecil luas permukaan serbuk gergaji agar hasil yang didapatkan lebih
maksimal.
2. Pastikan bahan baku telah dikeringkan dan tidak mengandung air lagi.
3. Melakukan penimbangan secara cermat agar hasil yang diperoleh lebih akurat
dan tidak terjadi galat saat perhitungan.

20
DAFTAR PUSTAKA

Ansori, A. (2017). Pemanfaatan Serbuk Gergaji Kayu Sengon (Albizia falcataria) dan
Kotoran Kambing Sebagai Bahan Baku Pupuk Organik Cair dengan
Penambahan EFFECTIVE MICROORGANISM-4 (EM4). Skripsi. Program
Studi Pendidikan Biologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.
Anonymous. (2022). Enzyme Activity. Available at :
https://chem.libretexts.org/@go/page/16022 [Accessed April 11, 2022]
Billah, M. (2009). Bahan Bakar Alternatif Padat (BBAP) Serbuk Gergaji Kayu.
Cetakan 1. Surabaya : UPN Press.
Dhillon, A., Sharma, K., Rajulapati, V., Goyal, A. (2017). Proteolytic Enzymes 7.1-2.
Elawati, N, E., Pujiyanto, S., Kusditantini, E. (2018). Karakteristik dan Sifat Kinetika
Enzim Kitinase Asal Jamur Entomopatogen Beauveria bassiana,5 (1).
Gao, S., Lewis, G, D., Ashokkumar, M., Hemar, Y. (2014). Inactivation of
microorganism by low-frequency high-power ultrasound : 1. Effect of growth
phase and capsule properties of the bacteria (21) 446-453
Indah Rahmawati. (2016). Laporan Praktikum Biokimia 1. Laporan Praktikum.
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Lampung. Bandar
Lampung.
Irma. (2015). Optimasi Media Pertumbuhan Aspergillus niger Dengan Menggunakan
Tepung Singkong. Skripsi. Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi. UIN
Alauddin Makassar, Makassar.
Khasanah, L. U., Utami, R., Anandhito, B. K., & Nugraheni, A. E. (2014). Pengaruh
perlakuan pendahuluan fermentasi padat dan fermentasi cair terhadap rendemen
dan karakteristik mutu minyak atsiri daun kayu manis. agriTECH, 34(1), 36-42.
Maier, Raina M., Ian L. Pepper, and Charles P. Gerba. 2000. Environmental
microbiology. New Delhi: Elsevier.
Melisha., Harpeni, E., Supono. (2016). Produksi dan Pengujian Aktivitas Amilase
Burkholderia cepacian Terhadap Substrat yang Berbeda, 5(1).
Murni, S. W., Kholisoh, S. D., DL, T., & EM, P. (2011, February). Produksi,
karakterisasi, dan isolasi lipase dari Aspergillus niger. In Prosiding Seminar
Nasional Teknik Kimia “Kejuangan” 2011.
Mursalim., Munir., Fitriani., & Novieta, I, D. (2019). Kandungan Selulosa,
Hemiselulosa dan Lignin Serbuk Gergaji Kayu Jati (Tectona grandits L.F) dan
Daun Murbei (Morus alba) yang Dikombinasikan Sebagai Pakan Ternak (2).
Pawestri, A. M., & Fitri, N. (2019). Effect of Adding Aspergillus niger Mushroom on
Patchouli Fermentation Process. EKSAKTA: Journal of Sciences and Data
Analysis, 19(1), 15-25.
21
Purkan., Purnama, H, D., Sumarsih, S. (2015). Produksi Enzim Selulase dari
aspergillus niger Menggunakan Sekam Padi dan Ampas Tebu sebagai Induser,16
(2). 95-102.
Renge, V. C., Khedkar, S. V., Nandurkar, N. R. (2012). Enzyme Fermentation Method.
A Review. 2(6), 585-590.
Rezaei, K., Jenab, E., Temelli, F. (2007). Effects of Water on Enzyme Performance with
Emphasis on The Reaction in Supercritical Fluids, (27). 183-195. DOI :
10.1080/07388550701775901
Sunaryanto, R & Marasabessy, A. (2016). Optimalisasi Media Produksi
Amiloglukosidase Menggunakan Fermentasi Media Padat (3). 1.
Sulistyowati, E., Salirawati, D., Amantie. (2016). Karakterisasi Beberapa Ion Logam
Terhadap Aktivitas Enzim Tripsin, 21(2).
Yandri, A.S. Herasari, D., Suhartati, T. (2007). Isolasi, Pemurnian dan Karakterisasi Enzim
Proeatasi Termostabil dari Bakteri Isolat Lokal Bacillus subtilist ITBCCB148 (13). 2.
100-106

22
LAPORAN SEMENTARA
PRAKTIKUM BIOPROSES

Materi :

Isolasi Enzim

Group :

5 - Selasa

Anggota : 1. Ardeliana NIM. 21030120140138


2. Azlya Luke Nur Ahlina NIM. 21030120120023
3. Hasan Mustafa Widayat NIM. 21030120130082

LABORATORIUM BIOPROSES
DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2022

A-1
I. TUJUAN PERCOBAAN
1. Mengisolasi enzim selulase dari serbuk gergaji menggunakan aspergillus miger
2. Mengetahui pengaruh waktu inkubasi terhadap aktivitas enzim di serbuk
gergaji
3. Mengetahui pengaruh rasio serbuk gergaji/air terhadap aktivitas enzim

II. PERCOBAAN
2.1 Bahan yang Digunakan
1. Serbuk gergaji 300 gram 7. KH2PO4
2. NaOH` 8. CaCl2
3. HCl 9. NaCl
4. Aspergillus niger 10. Urea
5. Glukosa 11. Aquadest
6. MgSO4 12. CMC
2.2 Alat yang Dipakai
1. Beaker glass 9. Buret
2. Termometer 10. Statif dan klem
3. Gelas Ukur 11. Kuvet
4. Pengaduk 12. Kertas Saring
5. Inkubator 13. Corong Bucher
6. Timbangan 14. Shaker
7. Indikator pH 15. Pompa vakum
8. Kompor Listrik 16. Erlenmeyer penghisap
2.3 Cara Kerja
2.3.1 Persiapan Bahan Baku
1. Haluskan bahan baku, lalu timbang sesuai yang dibutuhkan, yaitu
serbuk gergaji sebanyak 300 gram
2. Masukkan bahan baku ke dalam larutan NaOH atau HCl normalitas
dan volume 150ml,
3. Campuran dipanaskan pada suhu konstan 90oC selama 1 jam,
sambil diaduk,
4. Keringkan bahan baku menggunakan oven pada suhu 110oC selama
1 malam.
2.3.2 Pembuatan Starter
1. Media inokulum dibuat dengan menyiapkan larutan media volume
tertentu dalam erlenmeyer. Media terdiri dari 10 gr/L glukosa, 1 gr/L
NaCl, 2 gr/L KH2PO4, 0,2 gr/L CaCl2, 1,7 gr/L MgSO4. Setelah itu

A-2
tambahkan Aspergillus niger ke dalam campuran. Tutup erlenmeyer
menggunakan alumunium foil,
2. Starter diinkubasi menggunakan shaker pada temperatur ruangan
selama 1 malam.
2.3.3 Fermentasi
1. Sampel dicampur menggunakan air dengan rasio sampel-air tertentu
untuk variable 1,3, dan 4 sebesar 15%b/V dan variable 2 sebesar
10%b/V, kemudian diaduk,
2. Atur pH masing-masing variabel sampai dengan 7,
3. Tambahkan ke dalam larutan urea dan starter dengan 100ml,
4. Fermentasi dilakukan secara aerob selama 1 malam.
2.3.4 Panen
1. Hasil dari fermentasi disentrifugasi pada kecepatan 2500rpm dan
waktu 20 menit,
2. Setelah sentrifugasi, cairan disaring menggunakan pompa vakum,
untuk diperoleh filtratnya (crude enzyme),
3. Filtrat yang diperoleh, dicampur CMC dengan perbandingan 1:1,
4. Campuran diinkubasi selama waktu 1 malam,
5. Sebelum dan sesudah inkubasi, dilakukan uji kadar glukosa pada
sampel.
2.3.4 Uji Kadar Glukosa
1. Membuat larutan glukosa standar dengan melarutkan 1,25 gram
glukosa dalam 500 ml aquades. Ambil 5 ml glukosa standar,
kemudian diencerkan sampai 25 ml dan diambil 5 ml, setelah itu pH
dinetralkan. Lakukan standarisasi glukosa dengan mencampurkan 5
ml glukosa encer, 5 ml fehling A, dan 5 fehling B. Campuran ini
dipanaskan sampai 60oC, dan dititrasi dengan larutan glukosa
standar sampai warna biru hampir hilang. Tambahkan dua tetes
indikator MB. Lanjutkan titrasi sampai warna merah bata yang tidak
hilang setelah pengocokan. Catat kebutuhan titran (F).
2. Ambil 5 ml sampel, lalu diencerkan hingga 25 ml. Ambil 5 ml
sampel encer, dan dinetralkan pHnya, setelah itu tambahkan 5 ml
fehling A, 5 ml fehling B, serta 5 ml glukosa standar. Atur pH
campuran hingga netral. Kemudian lakukan pemanasan campuran
sampai 60oC dan titrasi dengan larutan glukosa standar sampai
warna biru hampir hilang. Tambahkan dua tetes indikator MB.
Lanjutkan titrasi sampai warna merah bata yang tidak hilang setelah

A-3
pengocokan. Catat kebutuhan titran (M).

(𝐹 − 𝑀)𝑥 𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑥 𝑉 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛


𝐶= 𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑉 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑏𝑖𝑙 𝑥 2,5
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
Glukosa standar = 2,5 gram dalam 1 liter = 2,5 mg/mL
Semua satuan volume memakai mL
2.4.5 Analisis Data
1. Aktivitas Enzim
Setelah mendapatkan C (konsentrasi glukosa) dalam satuan mg/mL.
Kemudian masukkan ke dalam rumus:
𝐶 1000 1 𝑢𝑛𝑖𝑡
𝐴𝑘𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑎𝑠 𝐸𝑛𝑧𝑖𝑚 = 𝑥 𝑥( )
𝑇 𝐵𝑀 1 𝜇𝑚𝑜𝑙
Dimana:
C = konsentrasi glukosa per mL ekstrak enzim
T = waktu inkubasi (menit)
Yaitu lamanya waktu inkubasi (Tn)
1 unit enzim : yaitu besarnya aktivitas enzim yang dibutuhkan untuk
membebaskan 1 μmol glukosa per menil per ml enzim.
(Nurkhotimah dkk., 2017)
2.4 Hasil Percobaan
A) Hari ke- 3
F= 25,5 mL

Data analisis
Sebelum inkubasi T0
M 24
Variabel 1 C 2,5
M 21,2
Variabel 2 C 9,5
M 22,6
Variabel 3 C 6
M 23,3
Variabel 4 C 6,75

B) Hari ke 4
F = 28 mL

A-4
Data
Analisis
Setelah Inkubasi T1 T2 T3 T4
M 20.9 19,4 17,8 17,1
Variabel 1
C 17,75 21,5 4,389 3,472
M 23,1 23 22 21
Variabel 2
C 12,2 12,5 15 17,5
5
M 21,2 20,5 20 20,1
Variabel 3
C 17 18,75 20 19,75
M 24,8 23 21,6 19,8
Variabel 4
C 8 12,5 16 20,5

13 Mei 2022
Semarang, 13
PRAKTIKAN ASISTEN
April

Ardeliana Azlya Luke Nur Ahlina Hasan Mustafa Widayat Wakhyu Nur Afni
NIM. 21030120140066 NIM. 21030120130094 NIM. 21030120140182 NIM. 21030118120038

A-5
LEMBAR PERHITUNGAN

• Sebelum inkubasi
Perhitungan Kadar Glukosa (C)
1. Variabel 1
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑉 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
𝐹−𝑀 × ×
𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑉 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑏𝑖𝑙
C= 𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 × 2,5
20 𝑚𝑙 25 𝑚𝑙
(25−24)𝑚𝑙 × ×
5 𝑚𝑙 5 𝑚𝑙
C= 20 𝑚𝑙 × 2,5
C = 2,5 𝑚𝑔
𝑚𝑙

2. Variabel 2
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑉 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
𝐹−𝑀 ×
× 𝑉 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑏𝑖𝑙
C= 𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 × 2,5
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
20 𝑚𝑙 25 𝑚𝑙
(25−21,2)𝑚𝑙 × ×
5 𝑚𝑙 5 𝑚𝑙
C= 20 𝑚𝑙 × 2,5
C = 9,5 𝑚𝑔
𝑚𝑙

3. Variabel 3
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑉 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
𝐹−𝑀 × ×
𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑉 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑏𝑖𝑙
C= 𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 × 2,5
20 𝑚𝑙 25 𝑚𝑙
(25−22,6)𝑚𝑙 × ×
5 𝑚𝑙 5 𝑚𝑙
C= 20 𝑚𝑙 × 2,5
C = 6 𝑚𝑔
𝑚𝑙

4. Variabel 4
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑉 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
𝐹−𝑀 × ×
𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑉 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑏𝑖𝑙
C= 𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 × 2,5
20 𝑚𝑙 25 𝑚𝑙
(25−22,3)𝑚𝑙 × ×
5 𝑚𝑙 5 𝑚𝑙
C= 20 𝑚𝑙 × 2,5
C = 6,75 𝑚𝑔
𝑚𝑙

• Setelah Inkubasi
1. Variabel 1
a. t = 10 menit
Perhitungan Kadar Glukosa (C)
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑉 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
𝐹−𝑀 ×
× 𝑉 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑏𝑖𝑙
C= 𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 × 2,5
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
20 𝑚𝑙 25 𝑚𝑙
(28−20,9)𝑚𝑙 × ×
5 𝑚𝑙 5 𝑚𝑙
C= 20 𝑚𝑙 × 2,5
C = 17,75 𝑚𝑔
𝑚𝑙

Perhitungan Aktivitas Enzim (AE)


∆𝐶 1000 1 𝑢𝑛𝑖𝑡
AE = × ×
𝑇 𝐵𝑀 𝐺𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 1𝜇𝑚𝑜𝑙
(17,75−2,5)𝑚𝑔/𝑚𝑙 1000 1 𝑢𝑛𝑖𝑡
AE = × ×
10 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 180 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙 1𝜇𝑚𝑜𝑙

B-1
AE = 8,472 unit/ml.menit
b. t = 20 menit
Perhitungan Kadar Glukosa (C)
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑉 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
𝐹−𝑀 ×
× 𝑉 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑏𝑖𝑙
C= 𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 × 2,5
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
20 𝑚𝑙 25 𝑚𝑙
(28−19,4)𝑚𝑙 × ×
5 𝑚𝑙 5 𝑚𝑙
C= 20 𝑚𝑙 × 2,5
C = 21,5 𝑚𝑔
𝑚𝑙

Perhitungan Aktivitas Enzim (AE)


∆𝐶 1000 1 𝑢𝑛𝑖𝑡
AE = × ×
𝑇 𝐵𝑀 𝐺𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 1𝜇𝑚𝑜𝑙
(21,5−2,5)𝑚𝑔/𝑚𝑙 1000 1 𝑢𝑛𝑖𝑡
AE = × ×
20 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 180 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙 1𝜇𝑚𝑜𝑙

AE = 5,27 unit/ml.menit
c. t = 30 menit
Perhitungan Kadar Glukosa (C)
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑉 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
𝐹−𝑀 ×
× 𝑉 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑏𝑖𝑙
C= 𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 × 2,5
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
20 𝑚𝑙 25 𝑚𝑙
(28−17,8)𝑚𝑙 × ×
5 𝑚𝑙 5 𝑚𝑙
C= 20 𝑚𝑙 × 2,5
C = 25,5 𝑚𝑔
𝑚𝑙

Perhitungan Aktivitas Enzim (AE)


∆𝐶 1000 1 𝑢𝑛𝑖𝑡
AE = × ×
𝑇 𝐵𝑀 𝐺𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 1𝜇𝑚𝑜𝑙
(25,5−2,5)𝑚𝑔/𝑚𝑙 1000 1 𝑢𝑛𝑖𝑡
AE = × ×
30 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 180 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙 1𝜇𝑚𝑜𝑙

AE = 4,398 unit/ml.menit
d. t = 40 menit
Perhitungan Kadar Glukosa (C)
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑉 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
𝐹−𝑀 ×
× 𝑉 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑏𝑖𝑙
C= 𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 × 2,5
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
20 𝑚𝑙 25 𝑚𝑙
(28−17,1)𝑚𝑙 × ×
5 𝑚𝑙 5 𝑚𝑙
C= 20 𝑚𝑙 × 2,5
C = 27,25 𝑚𝑔
𝑚𝑙

Perhitungan Aktivitas Enzim (AE)


∆𝐶 1000 1 𝑢𝑛𝑖𝑡
AE = × ×
𝑇 𝐵𝑀 𝐺𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 1𝜇𝑚𝑜𝑙
(27,25−2,5)𝑚𝑔/𝑚𝑙 1000 1 𝑢𝑛𝑖𝑡
AE = × ×
40 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 180 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙 1𝜇𝑚𝑜𝑙

AE = 3,472 unit/ml.menit
2. Variabel 2
a. t = 10 menit
Perhitungan Kadar Glukosa (C)

B-2
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑉 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
𝐹−𝑀 ×
× 𝑉 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑏𝑖𝑙
C= 𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 × 2,5
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
20 𝑚𝑙 25 𝑚𝑙
(28−23,1)𝑚𝑙 × ×
5 𝑚𝑙 5 𝑚𝑙
C= 20 𝑚𝑙 × 2,5
C = 12,25 𝑚𝑔
𝑚𝑙

Perhitungan Aktivitas Enzim (AE)


∆𝐶 1000 1 𝑢𝑛𝑖𝑡
AE = × ×
𝑇 𝐵𝑀 𝐺𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 1𝜇𝑚𝑜𝑙
(12,25−9,5)𝑚𝑔/𝑚𝑙 1000 1 𝑢𝑛𝑖𝑡
AE = × ×
10 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 180 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙 1𝜇𝑚𝑜𝑙

AE = 1,527 unit/ml.menit
b. t = 20 menit
Perhitungan Kadar Glukosa (C)
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑉 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
𝐹−𝑀 ×
× 𝑉 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑏𝑖𝑙
C= 𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 × 2,5
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
20 𝑚𝑙 25 𝑚𝑙
(28−23,)𝑚𝑙 × ×
5 𝑚𝑙 5 𝑚𝑙
C= 20 𝑚𝑙 × 2,5
C = 12,5 𝑚𝑔
𝑚𝑙

Perhitungan Aktivitas Enzim (AE)


∆𝐶 1000 1 𝑢𝑛𝑖𝑡
AE = × ×
𝑇 𝐵𝑀 𝐺𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 1𝜇𝑚𝑜𝑙
(12,5−9,5)𝑚𝑔/𝑚𝑙 1000 1 𝑢𝑛𝑖𝑡
AE = × ×
20 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 180 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙 1𝜇𝑚𝑜𝑙

AE = 0,83 unit/ml.menit
c. t = 30 menit
Perhitungan Kadar Glukosa (C)
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑉 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
𝐹−𝑀 ×
× 𝑉 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑏𝑖𝑙
C= 𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 × 2,5
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
20 𝑚𝑙 25 𝑚𝑙
(28−22)𝑚𝑙 × ×
5 𝑚𝑙 5 𝑚𝑙
C= 20 𝑚𝑙 × 2,5
C = 15 𝑚𝑔
𝑚𝑙

Perhitungan Aktivitas Enzim (AE)


∆𝐶 1000 1 𝑢𝑛𝑖𝑡
AE = × ×
𝑇 𝐵𝑀 𝐺𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 1𝜇𝑚𝑜𝑙
(15−9,5)𝑚𝑔/𝑚𝑙 1000 1 𝑢𝑛𝑖𝑡
AE = × ×
30 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 180 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙 1𝜇𝑚𝑜𝑙

AE = 1,018 unit/ml.menit
d. t = 40 menit
Perhitungan Kadar Glukosa (C)
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑉 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
𝐹−𝑀 ×
× 𝑉 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑏𝑖𝑙
C= 𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 × 2,5
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
20 𝑚𝑙 25 𝑚𝑙
(28−21)𝑚𝑙 × ×
5 𝑚𝑙 5 𝑚𝑙
C= 20 𝑚𝑙 × 2,5
C = `17,5 𝑚𝑔
𝑚𝑙

B-3
Perhitungan Aktivitas Enzim (AE)
∆𝐶 1000 1 𝑢𝑛𝑖𝑡
AE = × ×
𝑇 𝐵𝑀 𝐺𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 1𝜇𝑚𝑜𝑙
(17,5−9,5)𝑚𝑔/𝑚𝑙 1000 1 𝑢𝑛𝑖𝑡
AE = × ×
40 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 180 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙 1𝜇𝑚𝑜𝑙

AE = 1,1 unit/ml.menit
3. Variabel 3
a. t = 10 menit
Perhitungan Kadar Glukosa (C)
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑉 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
𝐹−𝑀 ×
× 𝑉 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑏𝑖𝑙
C= 𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 × 2,5
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
20 𝑚𝑙 25 𝑚𝑙
(28−21,2)𝑚𝑙 × ×
5 𝑚𝑙 5 𝑚𝑙
C= 20 𝑚𝑙 × 2,5
C = 17 𝑚𝑔
𝑚𝑙

Perhitungan Aktivitas Enzim (AE)


∆𝐶 1000 1 𝑢𝑛𝑖𝑡
AE = × ×
𝑇 𝐵𝑀 𝐺𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 1𝜇𝑚𝑜𝑙
(17−6)𝑚𝑔/𝑚𝑙 1000 1 𝑢𝑛𝑖𝑡
AE = × ×
10 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 180 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙 1𝜇𝑚𝑜𝑙

AE = 6,111 unit/ml.menit
b. t = 20 menit
Perhitungan Kadar Glukosa (C)
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑉 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
𝐹−𝑀 ×
× 𝑉 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑏𝑖𝑙
C= 𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 × 2,5
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
20 𝑚𝑙 25 𝑚𝑙
(28−20,5)𝑚𝑙 × ×
5 𝑚𝑙 5 𝑚𝑙
C= 20 𝑚𝑙 × 2,5
C = 18,75 𝑚𝑔
𝑚𝑙

Perhitungan Aktivitas Enzim (AE)


∆𝐶 1000 1 𝑢𝑛𝑖𝑡
AE = × ×
𝑇 𝐵𝑀 𝐺𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 1𝜇𝑚𝑜𝑙
(18,75−6)𝑚𝑔/𝑚𝑙 1000 1 𝑢𝑛𝑖𝑡
AE = × ×
20 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 180 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙 1𝜇𝑚𝑜𝑙

AE = 3,541unit/ml.menit
c. t = 30 menit
Perhitungan Kadar Glukosa (C)
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑉 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
𝐹−𝑀 ×
× 𝑉 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑏𝑖𝑙
C= 𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 × 2,5
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
20 𝑚𝑙 25 𝑚𝑙
(28−20)𝑚𝑙 × ×
5 𝑚𝑙 5 𝑚𝑙
C= 20 𝑚𝑙 × 2,5
C = 20 𝑚𝑔
𝑚𝑙

Perhitungan Aktivitas Enzim (AE)


∆𝐶 1000 1 𝑢𝑛𝑖𝑡
AE = × ×
𝑇 𝐵𝑀 𝐺𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 1𝜇𝑚𝑜𝑙
(20−6)𝑚𝑔/𝑚𝑙 1000 1 𝑢𝑛𝑖𝑡
AE = × ×
30 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 180 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙 1𝜇𝑚𝑜𝑙

B-4
AE = 2,592 unit/ml.menit
d. t = 40 menit
Perhitungan Kadar Glukosa (C)
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑉 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
𝐹−𝑀 ×
× 𝑉 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑏𝑖𝑙
C= 𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 × 2,5
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
20 𝑚𝑙 25 𝑚𝑙
(28−20,1)𝑚𝑙 × ×
5 𝑚𝑙 5 𝑚𝑙
C= 20 𝑚𝑙 × 2,5
C = 19,75 𝑚𝑔
𝑚𝑙

Perhitungan Aktivitas Enzim (AE)


∆𝐶 1000 1 𝑢𝑛𝑖𝑡
AE = × ×
𝑇 𝐵𝑀 𝐺𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 1𝜇𝑚𝑜𝑙
(12,25−6)𝑚𝑔/𝑚𝑙 1000 1 𝑢𝑛𝑖𝑡
AE = × ×
40 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 180 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙 1𝜇𝑚𝑜𝑙

AE = 1,909 unit/ml.menit
4. Variabel 4
e. t = 10 menit
Perhitungan Kadar Glukosa (C)
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑉 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
𝐹−𝑀 ×
× 𝑉 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑏𝑖𝑙
C= 𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 × 2,5
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
20 𝑚𝑙 25 𝑚𝑙
(28−24,8)𝑚𝑙 × ×
5 𝑚𝑙 5 𝑚𝑙
C= 20 𝑚𝑙 × 2,5
C = 8 𝑚𝑔
𝑚𝑙

Perhitungan Aktivitas Enzim (AE)


∆𝐶 1000 1 𝑢𝑛𝑖𝑡
AE = × ×
𝑇 𝐵𝑀 𝐺𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 1𝜇𝑚𝑜𝑙
(8−4,25)𝑚𝑔/𝑚𝑙 1000 1 𝑢𝑛𝑖𝑡
AE = × ×
10 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 180 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙 1𝜇𝑚𝑜𝑙

AE = 2,083 unit/ml.menit
f. t = 20 menit
Perhitungan Kadar Glukosa (C)
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑉 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
𝐹−𝑀 ×
× 𝑉 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑏𝑖𝑙
C= 𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 × 2,5
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
20 𝑚𝑙 25 𝑚𝑙
(28−23)𝑚𝑙 × ×
5 𝑚𝑙 5 𝑚𝑙
C= 20 𝑚𝑙 × 2,5
C = 12,5 𝑚𝑔
𝑚𝑙

Perhitungan Aktivitas Enzim (AE)


∆𝐶 1000 1 𝑢𝑛𝑖𝑡
AE = × ×
𝑇 𝐵𝑀 𝐺𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 1𝜇𝑚𝑜𝑙
(12,5−4,25)𝑚𝑔/𝑚𝑙 1000 1 𝑢𝑛𝑖𝑡
AE = × ×
20 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 180 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙 1𝜇𝑚𝑜𝑙

AE = 2,291 unit/ml.menit
g. t = 30 menit
Perhitungan Kadar Glukosa (C)

B-5
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑉 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
𝐹−𝑀 ×
× 𝑉 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑏𝑖𝑙
C= 𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 × 2,5
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
20 𝑚𝑙 25 𝑚𝑙
(28−21,6)𝑚𝑙 × ×
5 𝑚𝑙 5 𝑚𝑙
C= 20 𝑚𝑙 × 2,5
C = 16 𝑚𝑔
𝑚𝑙

Perhitungan Aktivitas Enzim (AE)


∆𝐶 1000 1 𝑢𝑛𝑖𝑡
AE = × ×
𝑇 𝐵𝑀 𝐺𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 1𝜇𝑚𝑜𝑙
(16−4,25)𝑚𝑔/𝑚𝑙 1000 1 𝑢𝑛𝑖𝑡
AE = × ×
30 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 180 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙 1𝜇𝑚𝑜𝑙

AE = 2,176 unit/ml.menit
h. t = 40 menit
Perhitungan Kadar Glukosa (C)
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑉 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛
𝐹−𝑀 ×
× 𝑉 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑏𝑖𝑙
C= 𝑉 𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 × 2,5
𝑉 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
20 𝑚𝑙 25 𝑚𝑙
(28−19,8)𝑚𝑙 × ×
5 𝑚𝑙 5 𝑚𝑙
C= 20 𝑚𝑙 × 2,5
C = 20,5 𝑚𝑔
𝑚𝑙

Perhitungan Aktivitas Enzim (AE)


∆𝐶 1000 1 𝑢𝑛𝑖𝑡
AE = × ×
𝑇 𝐵𝑀 𝐺𝑙𝑢𝑘𝑜𝑠𝑎 1𝜇𝑚𝑜𝑙
(20,5−4,25)𝑚𝑔/𝑚𝑙 1000 1 𝑢𝑛𝑖𝑡
AE = × ×
40 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡 180 𝑔𝑟/𝑚𝑜𝑙 1𝜇𝑚𝑜𝑙

AE = 2,257 unit/ml.menit

B-6
D-1
in the reaction rate, due to denaturation of the protein structure and disruption of the active site (part (a) of Figure 18.7.2). For
many proteins, denaturation occurs between 45°C and 55°C. Furthermore, even though an enzyme may appear to have a maximum
reaction rate between 40°C and 50°C, most biochemical reactions are carried out at lower temperatures because enzymes are not
stable at these higher temperatures and will denature after a few minutes.

Figure 18.7.2: Temperature and pH versus Concentration. (a) This graph depicts the effect of temperature on the rate of a reaction
that is catalyzed by a fixed amount of enzyme. (b) This graph depicts the effect of pH on the rate of a reaction that is cata lyzed by a
fixed amount of enzyme.
At 0°C and 100°C, the rate of enzyme-catalyzed reactions is nearly zero. This fact has several practical applications. We sterilize
objects by placing them in boiling water, which denatures the enzymes of any bacteria that may be in or on them. We preserve our
food by refrigerating or freezing it, which slows enzyme activity. When animals go into hibernation in winter, their body
temperature drops, decreasing the rates of their metabolic processes to levels that can be maintained by the amount of energy stored
in the fat reserves in the animals’ tissues.

Hydrogen Ion Concentration (pH)


Because most enzymes are proteins, they are sensitive to changes in the hydrogen ion concentration or pH. Enzymes may be
denatured by extreme levels of hydrogen ions (whether high or low); any change in pH, even a small one, alters the degree of
ionization of an enzyme’s acidic and basic side groups and the substrate components as well. Ionizable side groups located in the
active site must have a certain charge for the enzyme to bind its substrate. Neutralization of even one of these charges alters an
enzyme’s catalytic activity.
An enzyme exhibits maximum activity over the narrow pH range in which a molecule exists in its properly charged form. The
median value of this pH range is called the optimum pH of the enzyme (part (b) of Figure 18.7.2). With the notable exception of
gastric juice (the fluids secreted in the stomach), most body fluids have pH values between 6 and 8. Not surprisingly, most enzymes
exhibit optimal activity in this pH range. However, a few enzymes have optimum pH values outside this range. For example, the
optimum pH for pepsin, an enzyme that is active in the stomach, is 2.0.

Summary
Initially, an increase in substrate concentration leads to an increase in the rate of an enzyme-catalyzed reaction. As the enzyme
molecules become saturated with substrate, this increase in reaction rate levels off. The rate of an enzyme-catalyzed reaction
increases with an increase in the concentration of an enzyme. At low temperatures, an increase in temperature increases the rate of
an enzyme-catalyzed reaction. At higher temperatures, the protein is denatured, and the rate of the reaction dramatically decreases.
An enzyme has an optimum pH range in which it exhibits maximum activity.

Concept Review Exercises


1. The concentration of substrate X is low. What happens to the rate of the enzyme-catalyzed reaction if the concentration of X is
doubled?
2. What effect does an increase in the enzyme concentration have on the rate of an enzyme-catalyzed reaction?

E-1

Anonymous 18.7.2 4/10/2022 https://chem.libretexts.org/@go/page/16022


E-2
E-3
E-4
E-5
E-6
VOLUME 5 NOMOR 1 JUNI 2018 ISSN 2548 – 611X

JURNAL
BIOTEKNOLOGI & BIOSAINS INDONESIA

Homepage Jurnal: http://ejurnal.bppt.go.id/index.php/JBB I

KARAKTERISTIK DAN SIFAT KINETIKA ENZIM KITINASE ASAL


JAMUR ENTOMOPATOGEN Beauveria bassiana
Characteristics and Kinetics of Chitinase Enzyme from Entomopathogenic
Fungus Beauveria bassiana
Nunung Eni Elawati*, Sri Pujiyanto, Endang Kusdiyantini
Departemen Biologi, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Diponegoro
Jl. Prof. Soedharto, SH, Tembalang, Semarang 50275, Indonesia
*E-mail: nunungenie@gmail.com

ABSTRACT
Beauveria bassiana is one of the entomopathogenic fungi that produces chitinase when
infecting the host. Chitinase is widely used as biocontrol agents because it can degrade
chitin into an environmentally friendly product. This study aims to characterize and test the
kinetics of chitinase from B. bassiana. This characterization includes determination of pH and
optimum temperature, enzyme stability and enzyme kinetics test by determining Km and Vmax
value with Lineweaver-Burk equations. The result of experiment showed that the chitinase B.
bassiana had pH and optimum temperature of 5 and 40ºC respectively. This enzyme was
stable until 90 minutes incubation at 40ºC. The Km and Vmax values were 0.181 mg/L and
0.022 mg/L.sec respectively. The Km value is higher than Vmax, which means the affinity of
the enzyme to the lower substrate requiring high substrate concentration to increase the
reaction rate. It can be concluded that the chitinase activity of B. bassiana is still low.

Keywords: Beauveria bassiana, characteristics and kinetics, chitinase enzyme,


entomopathogenic, Lineweaver-Burk

ABSTRAK
Beauveria bassiana merupakan salah satu jamur entomopatogen yang memproduksi
kitinase saat menginfeksi inangnya. Enzim kitinase saat ini banyak digunakan sebagai agen
biokontrol karena dapat mendegradasi kitin menjadi produk yang ramah lingkungan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi dan menguji kinetika enzim kitinase asal
jamur B. bassiana. Metode yang digunakan dalam karakterisasi ini mencakup penentuan pH
dan suhu optimum, kestabilan enzim pada suhu optimumnya, dan uji kinetika enzim yang
mencakup penentuan nilai Km dan Vmaks dengan persamaan Lineweaver-Burk. Hasil
penelitian karakterisasi menunjukkan bahwa enzim kitinase B. bassiana mempunyai pH dan
suhu optimum masing-masing 5 dan 40ºC. Enzim ini stabil sampai pada 90 menit inkubasi
pada suhu 40ºC. Nilai Km diperoleh 0,181 mg/L dan V maks sebesar 0,022 mg/L.detik. Nilai Km
lebih tinggi daripada Vmaks, yang artinya afinitas enzim terhadap substrat rendah sehingga
membutuhkan konsentrasi substrat yang tinggi untuk meningkatkan kecepatan reaksi, maka
dapat disimpulkan bahwa aktivitas kitinase dari B. bassiana masih tergolong rendah.

Kata kunci: Beauveria bassiana, entomopatogen, enzim kitinase, karakteristik dan kinetik,
Lineweaver-Burk

E-7
Received: 12 January 2018 Accepted: 16 March 2018 Published: 05 June 2018

Karakteristik Dan Sifat Kinetika Enzim Kitinase... Elawati et al.

(2015), ciri-ciri B. bassiana secara morfologi menjadi berkurang yang mengakibatkan


koloni berwarna putih, tekstur lembut seperti turunnya aktivitas enzim secara bertahap
serbuk. Karakter mikroskopis B. bassiana (Suryadi et al. 2013).
memiliki miselium yang bersekat dan Hasil analisis statistik ANOVA
berwarna putih, konidiofor bercabang dan menunjukkan bahwa perlakuan pH
berpola zig-zag. Spora berbentuk bulat, berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap
bening (hialin), bersel satu tanpa sekat. aktivitas enzim kitinase dari B. bassiana.
Spora muncul dari setiap percabangan Setelah dilakukan uji Duncan dengan taraf
konidiofor. nyata α 0,05 terhadap pH menunjukkan
bahwa pada pH 5 aktivitas kitinase berbeda
Pengaruh pH nyata terhadap perlakuan pH lain yang
Derajat keasaman (pH) menjadi faktor diujikan. Hal ini dibuktikan dengan nilai p-
yang mempengaruhi aktivitas enzim (Purkan value >0.05.
et al. 2016). Pengaruh pH terhadap aktivitas
enzim dapat dilihat pada Gambar 2. Pengaruh suhu
Aktivitas maksimum enzim kitinase Setiap enzim memiliki kisaran suhu
dicapai pada buffer sitrat fosfat pH 5 karena tertentu untuk mencapai aktivitas yang
menunjukkan absorbansi yang terbesar optimum. Rentang suhu yang diujikan
dibanding yang lain dengan aktivitas enzim dimulai dari 25ºC sampai 60ºC selama 30
1,15 (U/mL). Hasil ini sejalan dengan yang menit. Hasil pengaruh suhu terhadap
dikemukakan oleh Karthik et al. (2014), aktivitas kitinase disajikan pada Gambar 3.
secara umum jamur bekerja pada pH asam Aktivitas kitinase mengalami
untuk memproduksi kitinase yaitu dibawah penurunan setelah mendapatkan kondisi
pH 6. Lebih lanjut penelitian oleh Wang et al. suhu optimum yaitu suhu 40ºC. Hal ini terjadi
(2015) melaporkan bahwa enzim kitinase karena enzim merupakan jenis protein yang
stabil pada pH 5 dengan aktivitas enzim dapat mengalami denaturasi pada suhu
residu sebesar 70%. Aktivitas kitinase yang tinggi. Denaturasi ini menyebabkan
tinggi pada pH optimum disebabkan oleh perubahan pada konformasi enzim akibat
terjadinya ionisasi asam-asam amino pada adanya perenggangan ikatan hidrogen yang
sisi aktif enzim, sehingga terjadi interaksi bersifat reversibel sehingga dapat
yang optimum antara enzim dengan substrat mempengaruhi sisi aktif enzim untuk
(Rahmawati 2016). berikatan dengan substrat (Haedar et al.
Aktivitas kitinase setelah pH optimum 2017). Penelitian Wang et al. (2015)
mengalami penurunan, hal ini disebabkan melaporkan bahwa kisaran suhu optimal
adanya perubahan muatan ion pada rantai untuk aktivitas kitinase kisaran 40 – 85ºC.
samping yang terionisasi sehingga Aktivitas enzim kitinase menurun
mengakibatkan terjadinya denaturasi enzim setelah suhu 40ºC, sampai dengan suhu
yang disertai hilangnya aktivitas katalitik 50ºC kemudian pada suhu 55ºC kembali
enzim. Adanya perubahan struktur tersier meningkat sedikit, hal ini diduga adanya
menyebabkan kelompok hidrofobik kontak peningkatan suhu inaktivasi yang meningkat,
dengan air sehingga solubilitas enzim sehingga aktivitasnya masih terlihat

1.,4 4 Buffer sitrat 0.,40


Aktivitas enzim (U/mL)

e
Aktivitas enzim (U/mL)

1.,2 d
6 Buffer fosfat 0.,30
1.,0 c
0.,8 9 Buffer glisin b.c b.c
0.,20 b
0.,6 d
c a
0.,4 b 0.,10 a
a
0.,2 a a
0.,00
0.,0 25 30 35 40 45 50 55 60
4 5 6 7 8 9 aktivitas kitinase
pH
Gambar 2. Grafik pengaruh berbagai pH terhadap
E-8
Gambar 3. Grafik pengaruh suhu terhadap aktivitas
Suh kitinase
u
(°C)

E-9
J Bioteknol Biosains Indones – Vol 5 No 1 Thn 2018

meningkat. Meskipun demikian, berdasarkan yang dihasilkan.


pengujian statistik dengan Duncan, pada Berdasarkan analisis statistik ANOVA
suhu 50ºC, 55ºC, dan 60ºC tidak memiliki tampak bahwa perlakuan waktu inkubasi
perbedaan yang nyata, sehingga dapat berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap
diartikan perlakuan ketiga suhu tersebut aktivitas kitinase dari B. bassiana. Uji
sama dan tidak berpengaruh terhadap naik Duncan dengan taraf nyata α 0,05
turunnya aktivitas enzim. menunjukkan bahwa pada waktu inkubasi 90
Analisis statistik ANOVA menunjukkan menit aktivitas kitinase berbeda nyata
bahwa perlakuan suhu berpengaruh nyata terhadap perlakuan waktu inkubasi lain yang
(P<0,05) terhadap aktivitas enzim kitinase diujikan. Hal ini dibuktikan dengan nilai p-
dari B. bassiana. Setelah dilakukan uji value >0,05.
Duncan dengan taraf nyata α 0,05 terhadap
suhu, menunjukkan bahwa pada suhu 40ºC Kinetika enzim
aktivitas kitinase berbeda nyata terhadap Aktivitas enzim juga dipengaruhi oleh
perlakuan suhu lain yang diujikan. Hal ini konsentrasi substrat yang digunakan.
dibuktikan dengan nilai p-value >0,05. Semakin tinggi konsentrasi substrat yang
digunakan, maka semakin tinggi aktivitas
Pengaruh waktu inkubasi enzim atau semakin tinggi kecepatan reaksi
Semua enzim memiliki kemampuan yang dikatalisis oleh enzim tersebut. Namun
untuk mempertahankan stabilitas sisi pada suatu titik tertentu, yaitu kecepatan
aktifnya dalam waktu tertentu. Kemampuan maksimum (Vmaks), penambahan konsentrasi
ini bersifat spesifik dan berbeda antara substrat dalam jumlah tertentu tidak akan
enzim satu dengan enzim yang lain dapat meningkatkan kecepatan reaksi
(Noviendri et al. 2008). Pengujian stabilitas enzim, melainkan dapat menurunkan
waktu inkubasi terhadap aktivitas enzim aktivitas enzim atau kecepatan reaksi.
kitinase dilakukan dari rentang waktu Dalam ha l ini, su bstrat yang ditam bahkan
inkubasi 15 hingga 120 menit dengan pH 5 tersebut akan men jadi inhibitor dalam reaksi
dan suhu 40ºC yang merupakan pH dan enzimatik (Noviendri et al. 2008).
suhu optimum. Hasil uji stabilitas enzim Kinetika enzim dapat diketahui dengan
kitinase terhadap waktu inkubasi disajikan menentukan nilai Km dan Vmaks. Penelitian ini
pada Gambar 4. menggunakan persamaan Lineweaver-Burk
Aktivitas enzim kitinase tertinggi untuk menentukan nilai Km dan Vmaks.
dicapai pada waktu inkubasi 90 menit Penggunaan persamaan Lineweaver-Burk
dengan aktivitas enzim kitinase sebesar memiliki keuntungan karena lebih mudah
0,096 U/mL. Aktivitas enzim meningkat sejak secara matematis. Hasil penentuan kinetika
15 menit inkubasi hingga mencapai aktivitas enzim kitinase disajikan dalam bentuk kurva
optimum pada 90 menit inkubasi. Aktivitas double reciprocal Lineweaver-Burk pada
kitinase menurun setelah waktu inkubasi Gambar 5.
optimum yaitu pada waktu inkubasi 120 Penentuan nilai Km dan Vmaks diperoleh
menit dengan aktivitas enzim sebesar dari persamaan linier y=8,216x+45,194.
0,064 U/mL. Waktu inkubasi berpengaruh Persamaan ini dihitung berdasarkan
terhadap jumlah produk hidrolisis enzim pengukuran konsentrasi N-asetilglukosamin
140
0.,12
1/V

120
Aktivitas enzim (U/mL)

0.,10 b 100
0.,08 b
a.b 80 Slope=
a c
0.,06 60 Km/Vma

0.,04 40
1/Km 20
0.,02 1/Vmaks
0 1/S
0.,00 -10 -5 -20 0 5 10 15
15 30 60 90 120
-40
Waktu inkubasi (menit)

Gambar 4. Grafik pengaruh waktu inkubasi terhadap Gambar 5. Kurva double reciprocal Lineweaver-Burk
aktivitas kitinase

E-10
E-11
E-12
E-13
E-14
E-15
E-16
OPTIMASI MEDIA PERTUMBUHAN Aspergillus niger DENGAN
MENGGUNAKAN TEPUNG SINGKONG

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana Sains Jurusan
Biologi pada Fakultas Sains dan Teknologi
UIN Alauddin Makassar

Oleh :

IRMA
NIM. 60300111022

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI


UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2015

E-17
BAB II

TINJAUAN TEORETIS

A. Tinjuan Umum tentang Aspergillus sp

Aspergillus merupakan salah satu marga tertua jamur (Raper dan Fennel,

1965) membagi Aspergillus mejadi delapan belas kelompok yaitu, Aspergillus

clavatus, Aspergillus glaucus, Aspergillus restrictus, Aspergillus fumigatus,

Aspergillus ochraceus, Aspergillus niger, Aspergillus candidus, Aspergillus flavus,

Aspergillus wentii, Aspergillus cremeus, Aspergillus sparsus, Aspergillus versicolor,

Aspergillus nidulans, Aspergillus ustus, Aspergillus flavipes dan Aspergillus terreus.

Aspergillus niger adalah kapang anggota genus Aspergillus, famili

Monoliaceae, ordo Monoliales, kelas Deuteromycetes, dan divisi Eumycetes

(Hardjo dkk, 1989).

1. Karakteristik Aspergillus niger

Ciri-ciri spesifik Aspergillus adalah hifanya bersepta dan miseliumnya

bercabang, biasanya tidak bewarna, yang terdapat di permukaan merupakan hifa

vegetatif, sedangkan yang muncul diatas permukaan umumnya merupakan hifa

fertile, koloni kompak, konidiofora septa, atau nonsepta, muncul dari “foot cell”

(yaitu miselium yang membengkok dan tebal), konidiofornya membengkak menjadi

vesikel pada ujungnya dan membentuk stigmata dimana tumbuh konidia, sterigmata

biasanya sederhana, bewarna atau tidak bewarna, konidia membentuk rantai yang

E-18
10

dimanfaatkan untuk memproduksi asam oksalat dan asam glukonat (Rymowicz and

lenart, 2003).

A. niger mempunyai fungsi utama untuk proses saccharifikasi zat pati beras.

Namun beberapa spesies digunakan untuk fermentasi produk-produk tradisional

seperti kecap asin, miso (tauco) dan untuk industri fermentasi seperti industri

sake (Debby et al.,2003).

A.niger merupakan jamur yang dapat menghasilkan protease. Protease dari

cendawan Aspergillus memiliki lebih banyak keuntungan daripada protease bakteri

dalam pemisahan enzim karena miselium dapat dihapus hanya dengan filtrasi.

Protease yang dihasilkan oleh A. niger lebih baik karena menghasilkan protease

yang lebih tinggi, waktu produksinya lebih singkat dan biayanya relatif murah. Di

beberapa negara Asia, genus Aspergillus banyak digunakan untuk memproduksi

makanan fermentasi tradisional (Indratiningsih et al., 2013).

A. niger dalam pertumbuhannya berhubungan langsung dengan zat

makanan yang terdapat dalam substrat, molekul sederhana yang terdapat

disekeliling hifa dapat langsung diserap sedangkan molekul yang lebih kompleks

harus dipecah dahulu sebelum diserap ke dalam sel, dengan menghasilkan

beberapa enzim ekstra seluler seperti protease, amilase, mananase, dan α-

glaktosidase. Bahan organik dari substrat digunakan oleh A. niger untuk

aktivitas transport molekul, pemeliharaan struktur sel dan mobilitas sel. A. niger

bersifat toleran terhadap aktivitas air rendah, mampu tumbuh pada substrat dengan

E-19
E-20
E-21
E-22
E-23
e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan
Volume V No 1 Oktober 2016
ISSN: 2302-3600

PRODUKSI DAN PENGUJIAN AKTIVITAS AMILASE


Burkholderia cepacia TERHADAP SUBSTRAT YANG BERBEDA

Melisha*†, Esti Harpeni‡, Supono²

ABSTRAK
Pati atau amilum merupakan bahan utama yang dihasilkan oleh tumbuhan untuk
menyimpan kelebihan glukosa sebagai produk fotosintesis. Burkholderia cepacia
merupakan bakteri yang mampu menghidrolisis pati, karena bakteri tersebut
memiliki enzim amilase. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
pemberian substrat yang berbeda terhadap pertumbuhan, indeks amilolitik dan
aktivitas enzim amilase bakteri B. cepacia. Penelitian ini menggunakan rancangan
acak lengkap dengan 3 perlakuan (substrat daun singkong, daun pepaya dan sente)
dengan 3 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bakteri B. cepacia mampu
hidup dengan baik pada substrat daun pepaya. Pemberian substrat daun sente
memberikan pengaruh terhadap indeks amilolitik yang ditunjukkan dengan adanya
zona bening sebesar 9,8 mm. Aktivitas enzim amilase pada penelitan ini adalah
101,8 unit dan konsentrasi protein sebesar 0,094 mg/ml.

Kata kunci: Burkholderia cepacia, Pati, Enzim, Amilase, Protein

Pendahuluan yang menghidrolisis molekul pati untuk


Ikan gurame mempunyai sifat memberikan produk yang bervariasi
omnivora yang berkecenderungan termasuk dekstrin dan polimer-polimer
herbivora sehingga pada kecil yang tersusun dari unit-unit
pembudidayaannya biasanya diberikan glukosa (Windish dan Mhatre, 1965).
asupan makanan bukan hanya dari Salah satu mikroorganisme yang
pakan pellet tetapi dari dedaunan hijau dapat menghasilkan enzim amilase
yang mempunyai kandungan adalah bakteri amilolitik. Bakteri
karbohidrat tinggi (Kusumah, 2010) amilolitik merupakan bakteri yang
seperti daun keladi, singkong dan daun memproduksi enzim amilase dan
pepaya (Susanto, 2001). Kemampuan memecah pati (Frazier dan Westhoff,
ikan untuk memanfaatkan karbohidrat 1988). Burkholderia cepacia
bergantung pada kemampuannya untuk merupakan mikroorganisme berupa
menghasilkan enzim amilase (Mujiman, bakteri yang dapat menghidrolisis
1991). Karbohidrat merupakan salah substrat karbohidrat yang dibuktikan
satu komponen sumber energi dalam dengan adanya zona bening di sekitar
pakan. Selain itu berperan dalam isolat. Hal ini dapat diasumsikan bahwa
menghemat penggunaan protein sebagai B. cepacia mengandung enzim amilase
sumber energi (Afrianto dan Liviawaty, yang mempunyai kemampuan
2005). Enzim amilase merupakan enzim menghidrolisis karbohidrat menjadi

*
Mahasiswa Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung

e-mail: melisha035@gmail.com

Dosen Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung

E-24
Melisha, Esti Harpeni dan Supono 563

mm untuk substrat daun singkong Aktivitas enzim tersebut ditentukan


(Tabel 4). oleh konsentrasi enzim, konformasi
Daya amilolitik bakteri B. cepacia enzim, urutan asam amino pembentuk
terhadap ketiga substrat dapat dikatakan enzim dan macam asam amino
memiliki potensi yang rendah, hal ini pembentuk enzim (Agustien, 2005).
sesuai dengan pernyataan Ochoa– Indeks amilolitik tertinggi tidak
Solano dan Olmos–Soto (2006) bahwa selalu berbanding lurus dengan aktivitas
isolat bakteri yang menghasilkan enzim yang tinggi karena tidak selalu
diameter zona bening dua atau tiga kali ada hubungan antara diameter zona
diameter koloni merupakan produsen bening pada medium agar-agar dengan
enzim yang potensial. kemampuan mikroorganisme
Analisis Anova menunjukkan memproduksi amilase pada kultur
bahwa hasil indeks amiloltik memiliki terendam (Ward, 1983). Hal ini karena
nilai signfikan sebesar 0,048 pada taraf nilai aktivitas enzim amilase
nyata 95% (α=0,05). Murdiyanto (2005) ditunjukkan dengan semakin lebar zona
menyatakan bahwa, apabila nilai taraf bening tetapi besarnya aktivitas enzim
nyata (α=0,05) lebih kecil dari nilai amilase yang berperan merombak pati
signifikannya maka H1 diterima, dalam medium padat tidak dapat
sehingga dapat dikatakan bahwa diketahui. Indeks amilolitik merupakan
penambahan substrat yang berbeda seleksi awal secara kualitatif untuk
berpengaruh nyata terhadap indeks menentukan adanya aktivitas enzim
amilolitik. Hasil uji sidik ragam amilase. Hal ini sesuai dengan yang
memperlihatkan adanya perbedaan dinyatakan oleh Winarno (1983) yaitu
secara signifikan sehingga dilakukan uji pembentukan zona bening
lanjut BNT dengan tingkat kepercayaan menunjukkan bahwa pati yang terdapat
95%. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam media, dihidrolisis oleh enzim
perlakuan substrat daun singkong dan amilase.
substrat daun pepaya tidak memberikan
pengaruh pada indeks amilolitik, Pengujian Aktivitas Enzim Amilase
sedangkan pemberian substrat daun Kasar
sente memberikan pengaruh pada Pengujian aktivitas enzim amilase
indeks amilolitik secara signifikan kasar dilakukan dengan cara
dibanding substrat daun singkong dan mengkultur bakteri B. cepacia pada
daun pepaya. mediam MSM cair yang ditambahkan
Alfin et al. (2014) menyatakan 0,5% substrat daun pepaya sebagai
bahwa bakteri B. cepacia yang berasal sumber karbohidrat.
dari usus ikan gurame juga diketahui Persamaan regresi kurva kalibrasi
dapat menghidrolisis karbohidrat pada yang diperoleh yaitu y = 0,0003x –
media yang ditambahkan 10% tepung 0,081 (Gambar 2). Perhitungan aktivitas
terigu dengan diameter zona bening enzim dilakukan dengan
yang diperoleh sebesar 4 mm. Adanya mensubtitusikan absorbansi larutan
perbedaan zona bening pada masing- yang diperoleh pada pengujian aktivitas
masing media disebabkan oleh jumlah enzim ke dalam persamaan regresi
dan aktivitas enzim dari bakteri yang kurva kalibrasi larutan standar glukosa
disekresikan pada media berbeda. (Tabel 1). Aktivitas enzim dari ekstrak

© e-JRTBP Volume 5 No 1 Oktober 2016

E-25
564 Pengujian Aktivitas Amilase pada Substrat yang Berbeda

kasar enzim yaitu 101,853 Unit dengan enzim amilase dilakukan dengan
konsentrasi glukosa sebesar 6111,18 mensubtitusikan absorbansi larutan
µmol. Suarni dan Patong (2007) yang diperoleh pada penentuan kadar
menyatakan bahwa 1 unit enzim amilase protein enzim ke dalam persamaan
sama dengan besarnya aktivitas enzim regresi kurva kalibrasi larutan standar
yang dibutuhkan untuk membebaskan 1 protein (Tabel 2). Kadar protein enzim
µmol glukosa per menit per mL enzim. yang diperoleh dari kurva tersebut,
selanjutnya digunakan untuk
menentukan aktivitas spesifik enzim.
Tabel 1. Data Pengukuran Standar
Ekstrak kasar enzim amilase B. cepacia
Glukosa
memiliki konsentrasi protein sebesar
Konsentrasi (ppm) Absorbansi
250 0,0210 0,0948 mg/ml dan aktivitas spesifiknya
500 0,0870 sebesar 537,199 U/mg.
750 0,1520
1 250 0,3410 Tabel 2. Data Pengukuran Larutan
1500 0,4440 Standar BSA dan Larutan Enzim
Penentuan Kadar Protein Enzim Konsentrasi BSA Absorbansi
(mg/ml)
Amilase 0,02 0,086
Pengukuran kadar protein dalam 0,04 0,198
0,06 0,284
enzim ditentukan dengan menggunakan 0,08 0,399
metode Lowry dan larutan standar BSA 0,10 0,456
(Bovine Serum Albumin) dengan Sampel Enzim 0,448
variasi konsentrasi standar yang diukur
pada panjang gelombang maksimum
750 nm sehingga diperoleh kurva Uji Proksimat
standar. Dari kurva standar ini Analisis proksimat dilakukan
kemudian dibuat persamaan garis lurus untuk mengetahui komponen utama dari
untuk menghitung kadar protein suatu bahan seperti air, abu, protein,
amilase. karbohidrat, dan lemak yang terkandung
pada daun tersebut. Uji proksimat
dilakukan pada ketiga substrat yaitu
daun singkong, daun pepaya dan daun
sente yang menjadi sumber karbohidrat
bagi bakteri B. cepacia (Tabel 3).

Gambar 2. Grafik Absorbansi Larutan


Kurva Standar Glukosa

Persamaan regresi kurva kalibrasi


yang diperoleh yaitu y = 4,705x + 0,002
(Gambar 2). Perhitungan kadar protein Gambar 3. Kurva Konsentrasi Larutan
Standar BSA

E-26
E-27
E-28
E-29
E-30
E-31
Jurnal ILMU DASAR Vol. 16 No. 2, Juli 2015 : 95 – 102 95

Produksi Enzim Selulase dari aspergillus niger Menggunakan Sekam Padi


dan Ampas Tebu sebagai Induser.

Production of Cellulase Enzyme from aspergilus niger using Rice Husk and
Bagasse as Inducer

Purkan*, Purnama HD, dan Sumarsih S


Departemen Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga
Kampus C, Jl. Mulyorejo, Surabaya
*)
Email : purkan@fst.unair.ac.id

ABSTRACT

Aspergillus niger is fungi can produce cellulase enzyme with agriculture waste as natural inducers.
The purpose of this study was to compare the natural inducers potential between rice husk and
bagasse to produce cellulase enzyme from Aspergillus niger. Production of cellulase enzyme was
done with variety of inducers such as CMC, rice husk, and bagasse. The optimization of enzyme
production includes optimum production time, inducer type, and optimum concentration of
inducer. Furthermore, the enzyme also was characterized in pH and temperature. Enzyme activity
test using the DNS method with CMC as substrate. According of this test result show that highest
cellulase enzyme activity has production time for 108 hours with rice husk as inducer. The
optimum rice husk concentration was needed of 2.5%. The cellulase enzyme was induced by rice
husk has optimum activity at pH 4 and 50°C of 0.709 IU/mL.

Keywords : cellulase enzymes, aspergillusniger, inducers, ricehusk, bagasse.

PENDAHULUAN niger menghasilkan enzim selulase yang cukup


tinggi juga dilaporkan oleh Adri et-al (2013)
Enzim selulase adalah enzim yang mampu dengan memanfaatkan jerami padi dan CMC
mendegradasi selulosa dengan produk (Carboxyl Methyl Cellulose) sebagai induser.
utamanya yakni glukosa, selobiosa dan Enzim selulase merupakan enzim yang
selooligosakarida. Selulase memiliki sistem bersifat induktif. Produksi enzim selulase oleh
enzim yang terdiri dari endo-1,4-β-glukanase, mikroba membutuhkan adanya induser dalam
ekso-1,4-β-glukanase dan β-D-glukosidase. medium fermentasinya. Induser tersebut yang
Ketiga enzim ini bekerja secara sinergis akan menginduksi pembentukan enzim selulase
mendegradasi selulosa dan melepaskan gula pada sel mikroba. Jumlah enzim yang ada di
pereduksi sebagai produk akhirnya. Endo-1,4- dalam sel tidak tetap, bergantung indusernya.
β-glukanase memotong ikatan rantai dalam Jumlahnya akan bertambah beberapa kali lipat
selulosa menghasilkan molekul selulosa yang apabila dalam medium mengandung substrat
lebih pendek, ekso-1,4-β-glukanase memotong yang menginduksi. Senyawa induser yang
ujung rantai selulosa menghasilkan molekul diperlukan umumnya berupa substrat enzim
selobiosa, sedangkan β-D-glukosidase tersebut (Adri et al., 2013).
memotong molekul selobiosa menjadi dua Induser yang sering digunakan untuk
molekul glukosa (Kim, 2001). memproduksi enzim selulase dari Aspergillus
Selama ini telah banyak penelitian yang niger adalah CMC (Carboxyl Methyl
dilakukan tentang produksi enzim selulase dari Cellulose) yang merupakan senyawa turunan
berbagai jenis mikroba baik bakteri maupun dari selulosa. Namun penggunaan induser
kapang. Menurut Astutik et al. (2010), tersebut dirasakan kurang efektif karena
beberapa jenis kapang yang mampu hanganya cukup mahal, sehingga banyak
menghasilkan enzim selulase cukup tinggi penelitian yang dilakukan untuk menggantikan
adalah Penicillium sp.1, Penicillium sp.2, peran CMC tersebut.
Penicillium sp.3, Aspergillus niger, dan Pada saat ini, penelitian tentang
Paecylomyces sp.1. Kemampuan Aspergillus penggunaan induser alami terus berkembang.

E-32
E-33
E-34
Critical Reviews in Biotechnology, 27:183–195, 2007
Copyright Ⓧ
c Informa Healthcare USA, Inc.
ISSN: 0738-8551 print / 1549-7801 online
DOI: 10.1080/07388550701775901

Effects of Water on Enzyme Performance


with an Emphasis on the Reactions in
Supercritical Fluids
K. Rezaei
Department of Food Science ABSTRACT Enzymes require a certain level of water in their structures in
and Engineering, Faculty of order to maintain their natural conformation, allowing them to deliver their
Biosystem Engineering, The full functionality. Furthermore, as a modifier of the solvent, up to a certain
University of Tehran, Karaj, Iran
level, water can modify the solvent properties such as polarity/polarizability as
E. Jenab well as the solubility of the reactants and the products. In addition, depending
Department of Food Science on the type of the reaction, water can be a substrate (e.g., in hydrolysis) or a
and Engineering, Faculty of product (e.g., in esterolysis) of the enzymatic reaction, influencing the enzyme
Biosystem Engineering, The turnover in different ways. It is found that regardless of the type of reaction,
University of Tehran, Karaj,
the functionality of enzyme itself is maximum at an optimum level of water,
Iran, and Department of Food
Science and Technology, beyond which the enzyme performance is declined due to the loss in enzyme
Faculty of Nutritional and Food stability. Furthermore, mass transfer limitations caused by pathway blockage
Science, Shahid Beheshti and/or by reduced solubilities of the reactants and/or products can also affect
Medical University, Tehran, Iran the enzyme performance at higher water levels. Controlling water content of
ingoing CO2 and substrates as well as precise management of enzyme support
F. Temelli
Department of Agricultural, and salt hydrates are important strategies to adjust water level in reaction media,
Food and Nutritional Science, especially in supercritical environments.
University of Alberta,
Edmonton, Alberta, Canad
KEYWORDS biocatalysis, enzyme support, esterification, hydrolysis, lipids, salt hydrate,
supercritical

krezaee@ut.ac.ir

Address correspondence to Dr.


Karamatollah Rezaei, Department of
Food Science and Engineering, Faculty
of Biosystem Engineering, The
University of Tehran, P.O. Box
31587-78659, Karaj, Iran. E-mail:

E-35
I
N
T
R
O
D
U
C
T
I
O
N
Although organic solvents have
been used quite extensively in the
processing of biomaterials,
concerns over their use in the food
industry as well as environ- mental
issues related to their use in
industrial and analytical
applications are also growing
(Ikeda, 1992; Lusas and Gregory,
1996; Snyder, King and Jackson,
1996). For this reason, during the
last two decades there has been
growing at- tention to the use of
compressed gases, in particular
supercritical or near-critical fluids
(Figure 1). Their adjustable solvent
power and the possibility to
eliminate solvent residues when
using these fluids make them more
advantageous than organic
solvents for biocatalysis (Almeida
et al., 1998). The lower viscosity
and the higher diffusivity of
supercritical fluids (SCFs) result in
easier transport of substrates
within the pores of enzyme
support and easier access to the
enzyme
183

E-36
800

700

600
Number of pubications

500

400

300

200

100

0
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Publication year

FIGURE 1 The growth pattern of the number of articles published on the use of supercritical fluids from 1990 through 2006 (according
to “Science Citation Index Expanded”).

sites leading to a higher level of reaction rates in SCFs To determine the optimal amount of water for en-
than in organic solvents (Cernia, Palocci and Soro, zymatic reactions, such parameters as type of the re-
1998; Lin, Chen and Chang, 2006; Romero et al., 2005; action and the reaction medium, type of the enzyme
Srivastava, Madras and Modak, 2003). support, the nature of the reactants and the products of
The finding that enzymes can maintain their activi- the reaction as well as the operational conditions (pres-
ties at high pressures (e.g., that of a SCF) has encour- sure and temperature) have to be considered. Several
aged their use as catalysts for their specific reactions reviews have been published on different aspects of en-
under supercritical conditions. However, to retain their zymatic reactions in SCFs, introducing various param-
activities, enzymes require certain amounts of bound eters influencing the reaction rate in SCFs (Aaltonen
water within their structures. For example, in the trans- and Rantakyla, 1991; Ballesteros et al., 1995; Kamat,
esterification of butanol and ethyl butyrate, optimum Beckman and Russell, 1995; Knez and Habulin, 2002;
water activities for lipases obtained from five different Matsuda et al., 2005; Mesiano, Beckman and Russell,
sources ranged from 0.3 to 0.5 (Chowdary and Prapulla, 1999; Rezaei, Temelli and Jenab, 2007). However, de-
2002). Moreover, regardless of its optimum level for the spite the significant importance of water in enzymatic
enzyme performance, water is one of the reactants in reactions in SCFs, there has not been a recent review
hydrolytic reactions and as a result its presence is of publication focusing specifically on this aspect of enzy-
vital importance to the reaction kinetics. Furthermore, matic reactions. Therefore, the objectives of this review
water can act as a modifier of the SCF and, therefore, were to study the effects of water on the enzymatic
it can improve the polarity of the solvent and thus the reactions with a perspective in those reactions in super-
solubility of the reactants as well as those of the prod- critical fluid media.
ucts. On the other hand, reactions such as esterification
result in water accumulation in the reaction medium, WATER ACTIVITY AS RELATED
which has a retarding influence on the reaction kinetics. TO THE TYPE OF REACTIONS
Therefore, considering such opposite effects, an opti-
mum level of water has to be supplied in each type of To perform their functionalities, enzymes require
reaction (Figure 2). certain levels of water to sustain their conformational

E-37
120 70
Esterification reaction
Hydrolysis reaction 60
100

50

velocity (%)
80

( ) Conversion (%)
40
(•) Relative 60
30

40
20

20 10

0 0
0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35

Water in SCCO2 (Vol.%)

FIGURE 2 Effect of water on the rate of myristic acid esterification with ethanol using an immobilized lipase from Mucor miehei (Turner
et al., 2001) and on the conversion of retinylpalmitate (Dumont et al., 1992) in hydrolysis reaction using the same enzyme in SCCO 2.

structures. In the acidolysis of triolein with stearic acid solvent with Candida antarctica lipase type B (CALB),
in a continuous reactor at 29.4 MPa and 50 ◦ C with dif- Humeau et al. (1998) showed that the drop in the ini-
ferent residence times (22, 45 and 91 s) in the presence tial rate of ascorbyl palmitate production by increas-
of Lipozyme IM 20, Nakamura (1994) reported that ing the initial water activity level might be explained
the reaction reached to the equilibrium when the resi- by a hydrolysis side-reaction favored at the above con-
dence time was 45 s and the concentration of water was ditions. The enantioselective esterification of racemic
higher than 16 Mm. They showed that the formation of 1-phenyl ethanol with vinyl acetate was studied using
mono- and di-substituted triglycerides increased when
crystallized enzyme of CALB in SCCO2 at 40◦ C and
water level was increased up to 4 Mm for a residence 90 bar in a continuous operation with a fixed residence
times of 45 and 91 s. They also reported that the change time of 13 min was studied by Dijkstra et al. (2006).
of residence time from 91 s to 22 s caused the optimum They found that the highest enzyme activity was ob-
water concentration level to shift from 4 Mm to 12 tained at the lowest water concentration (0.05 g/L) and
Mm. Therefore, they concluded that the higher water as water concentration increased (up to 2 g/L), the en-
concentration was favorable to promote the reaction zyme activity was decreased. Furthermore, in the same
of the short residence times. Also, Chi, Nakamura and study when substrates were used with 0.05 g/L water
Yano (1988) reported an increase in the initial rate of the concentration and CO2 as the reaction medium was
lipase-catalyzed acidolysis of triolein with stearic acid dried before its introduction to the reaction chamber,
and hydrolysis of triolein with an increase in water con- enzyme activity decreased within 9 days to about one
tent in both n-hexane and supercritical CO2 (SCCO2). third of the initial value because of the CO2 strip-
They reported that water had 100-fold higher solubility ping effect of essential water from the enzyme struc-
in SCCO2 than in n-hexane. ture. Such results emphasize the need for optimal water
In the esterification of myristic acid with ethanol, concentration to assure the best performance for the
Dumont et al. (1992) showed that the initial rate could enzyme.
be increased by a factor of 2–3 just by changing water However, the water produced during an esterifica-
level. The maximum initial rates were obtained at 25–55 tion reaction could lower the esterification rate, unless
mM concentration of water in SCCO2 and at 1.1 mM the produced water can be continuously removed from
concentration of water in n-hexane, above which initial the reaction environment to rectify the problem. Nage-
rates decreased substantially. Also, in the transesterifi- sha, Manohar and Sankar (2004) used this approach for
cation production of ascorbyl palmitate in an organic
E-38
the esterification of free fatty acids of hydrolyzed soy

E-39
water content around the enzyme, leading to similar re- pounds are also higher and therefore it was not unusual
sults as those reported by Hampson and Foglia (1999). to have an increased partition coefficient as observed
At the higher CO2 flow rate (3.9 L/min), however, the above. The unusual part of their results, however, was
monolayer of water surrounding the enzyme can be that a higher partition of water between the support and
more easily stripped away from the enzyme sites, re- the solvent was also observed at higher pressures, which
sulting in a lack of water around the enzyme, which was not consistent with the effect of pressure on the
in turn results in reduced functionality of the enzyme. vapor pressure of the compounds In fact, they found
Hampson and Foglia (1999) reported that the immo- that the increase in the water level at higher pressures
bilized lipase from Candida antarctica lost 2–6% of its due to the increased solvating power of the supercriti-
water content per hour in SCCO 2 at 27 MPa and 60◦ C cal medium at higher pressures exceeded the reduction
with 0.5 or 1 L/min CO2 flow rate. For the on-line expected by the influence on water’s vapor pressure.
extraction-reaction of canola oil, Martinez, Rezaei and Yu, Rizvi and Zollweg (1992) observed that adding
Temelli (2002) found that excessive water had a nega- 1 mL water to 1 g immobilized C. cylindracea lipase at
tive effect on the hydrolysis of extracted oil from a 3.0 13.6 MPa and 40 ◦ C resulted in a maximum conversion
g batch of canola flakes at 24.0 MPa and 35◦ C. They of 30% for the esterification of ethanol and oleic acid to
reported a maximum conversion of 97% (based on TG produce ethyl oleate. Relying on their previous experi-
consumption) when a water flow rate of 0.002 mL/min ments with methyl oleate, Yu, Rizvi and Zollweg (1992)
was applied. concluded that the enzyme support adsorbed some wa-
In the enzymatic esterification of 1-octanol with oleic ter because of its hydrophilic nature, in which case, a
acid using Lipozyme RM IM in SCCO2 as reaction hydrolysis (of ethyl oleate to ethanol and oleic acid)
medium, Laudani et al. (2007) reported that an opti- was also possible with the presence of extra water on
mum water level was necessary for sufficient enzyme the immobilized lipase.
hydration, resulting in the accessibility of enzyme’s ac- Vidinha et al. (2003) studied the transesterification
tive sites. But, they demonstrated that water concentra- of vinyl butyrate and 2-phenyl-1-propanol catalyzed by
tion above such level resulted in a decrease in enzyme Fusarium solani pisi cutinase immobilized on the zeo-
activity due to the formation of a hydrophilic barrier lites NaA and NaY and on Accurel PA-6 in acetonitrile
around the enzyme and also due to shifting the equi- as an organic solvent. They observed that with any of
librium towards the ester hydrolysis. They reported that the enzyme supports used in their experiments, initial
enzyme denaturation could also occur in this case. rates of the transesterification were higher at water ac-
tivity of 0.2 than those observed at water activity of 0.7,
WATER ACTIVITY AS RELATED TO but for the hydrolysis reaction the opposite trends were
observed. When using Accurel, the most hydrophobic
THE TYPE OF ENZYME SUPPORT
enzyme support, at aw=0.2, the transesterification re-
The type of enzyme support used for the immobiliza- action was promoted to a higher extent than when using
tion of the enzyme has also been shown to influence the the two zeolite supports NaA and NaY. In agreement
optimum water level for the reaction. The matrix, pore with Vidinha et al. (2003), Valivety et al. (1994) reported
size, surface area and the hydrophobicity of the enzyme that in the synthesis of dodecyl decanoate when using
support are among the factors controlling water parti- lipase from Candida rugosa on the hydrophobic porous
tion between the enzyme or support and the solvent. glass support the relative reaction rate decreased at all aw
As a consequence, these factors can influence all water- except at the highest level of aw=1.0). Similarly, lipase
dependent properties of the reaction system. A negative from Rhizomucor miehei immobilized on the hydropho-
temperature effect was reported by Marty, Chulalak- bic porous glass and on a polyamide support showed
sananukul and Condoret (1992) on the adsorption of significantly different activity/a w profiles compared to
water to the enzymatic solid support, macroporous an- other supports used (polypropylene, anion-exchange
ionic resin beads. They justified such a loss of water resin and celite), which exhibited similar activity/a w pro-
from the enzyme support to be due to the increased files. Valivety et al. (1994) speculated that those differ-
partition coefficient of water between the supercritical ences in the synthesis of dodecyl decanoate catalyzed
phase and the solid support at higher temperatures. At by Rhizomucor miehei and Candida rugosa lipase immo-
higher temperatures, the vapor pressures of the com- bilized on the above supports might be related to the

E-40
KARAKTERISASI BEBERAPA ION LOGAM
TERHADAP AKTIVITAS ENZIM TRIPSIN

(THE CHARACTERIZATION OF SEVERAL METAL IONS


TOWARDS THE ENZYME TRYPSIN ACTIVITY)

Eddy Sulistyowati, Das Salirawati, dan Amanatie


Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Yogyakarta
Jl. Colombo No. 1 Yogyakarta
e-mail: eddy_sulistyowati@uny.ac.id

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kondisi optimum enzim tripsin dan
mengetahui pengaruh penambahan ion logam Ag+ (dalam bentuk senyawa AgNO3 ),
ion logam Cu2+ (dalam bentuk senyawa CuCl 2), ion logam K+ (dalam bentuk senyawa
KHPO ), dan ion logam Zn2+ (dalam bentuk senyawa ZnSO ) dalam berbagai
4 4
variasi konsentrasi terhadap aktivitas enzim tripsin dengan substrat kasein. Aktivitas
enzim tripsin dengan substrat kasein ditentukan dengan metode Anson pada kondisi
optimum. Analisis data secara deskriptif kualitatif. Hasil yang diperoleh menunjukkan
aktivitas enzim tripsin dengan substrat kasein 10 mg/mL pada kondisi optimum pada
pH 8,37°C, waktu inkubasi 20 menit dengan penambahan ion logam (Ag+, Cu2+, Zn2+,
K+) pada berbagai variasi konsentrasi. Berdasarkan hasil penelitian terbukti secara
empiris adanya kecenderungan ion logam Ag+ dan Cu2+ bersifat inhibitor dan ion
logam Zn2+ dan K+ bersifat aktivator terhadap aktivitas enzim tripsin pada substrat
kasein.

Kata kunci: ion logam, kasein, tripsin, aktivator, inhibitor

Abstract
This study was aimed at determining the optimal conditions of the trypsine enzyme
and the effect of metal ion Ag+(in the form of AgNO3 ), metal ion Cu2+ (in the form
of CuCl2), K+ metal ions (in the form of KHPO4), and ion Metal Zn2+ (in the form
of ZnSO4) in various concentrations towards trypsin enzyme activity using casein
substrate. The activity of trypsin enzyme was determined by Anson method in
optimum conditions. The data were analyzed using qualitative descriptive. The
results show that the activity of trypsin enzyme with substrate casein 10mg/mL
in pH 8.37°C, incubation time of 20 minutes with the additional of ion (Ag +, Cu2+,
Zn2+, K+) at various concentrations. Based on the research results, it was empirically
proven that they were tendency of Ag+ dan Cu2+ to act as inhibitors and metal ions
Zn2+ and K+ to act as activators to trypsine enzyme activity at casein substrat.

Keywords: metal ions, casein, trypsin, activators, inhibitors

E-41
Jurnal Penelitian Saintek, Vol. 21, Nomor 2, Oktober 2016

PENDAHULUAN
Enzim merupakan kelompok protein
yang bersifat katalis dan mengatur perubahan
senyawa kimia dalam sistem biologis. Enzim
dapat dihasilkan oleh hewan, tumbuhan dan
mikroorganisme. Secara katalitik, enzim
menjalankan fungsinya dalam berbagai
reaksi seperti hidrolisis, oksidasi, reduksi,
isomerasi, adisi, transfer gugus, dan
kadang-kadang pemutusan rantai karbon
(Sumardjo, 2006). Enzim telah banyak
digunakan dalam berbagai proses kimiawi,
baik dalam bidang industri maupun dalam
bidang bioteknologi. Seiring dengan
peningkatan penggunaan enzim, berbagai
eksplorasi penelitian tentang enzim telah
banyak dilakukan (Falch, 1991).
Enzim tripsin merupakan salah satu
enzim yang termasuk dalam golongan
enzim proteolitik atau protease serin. Enzim
ini mengkatalisis reaksi pemecahan protein
dengan menghidrolisis ikatan peptidanya
menjadi senyawa-senyawa yang lebih
sederhana. Tripsin dalam tubuh diproduksi
di dalam pankreas. Situmorang (2014) me-
maparkan aktivitas enzim dipengaruhi oleh
konsentrasi enzim dan konsentrasi substrat.
Pengaruh aktivator, inhibitor, dan kofaktor
dalam beberapa keadaan juga merupakan
faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas
enzim. Bailey dan Ollis (1988) menjelaskan
salah satu karakteristik aktivitas enzim
E-42
koordinasi logam menyebabkan logam
adalah memerlukan kofaktor,
dapat ikut serta dalam pengikatan substrat
yaitu gugusnon protein dari
atau koenzim ke enzim dan menimbulkan
enzim yang menentukanaktivitas
polarisasi gugus reaktif di tempat aktif. Ion
katalitiknya. Kofaktor dapat
logam dapat mendukung efisiensi katalitik
berupakoenzim yang tidak terikat
enzim. Ion logam dapat membantu reaksi
kuat dalam enzimyang biasanya
katalitik dengan cara mengikat substrat pada
berupa molekul organik, dan
sisi pemotongan. Selain berperan dalam
gugus prostetik yang terikat kuat
pengikatan enzim dengan substrat, beberapa
dalamenzim yang biasanya berupa molekulanorganik (ion-ion logam), seperti ion logamFe2+, Mn2+, Zn2+ d
ion logam juga dapat mengikat enzim secara
menghambat aktivitas enzim
langsung untuk menstabilkan konformasi
disebut inhibitor enzim
aktifnya atau menginduksi formasi situs
(Sumardjo, 2006).Kemampuan
pengikatan atau situs aktif suatu enzim
logam tertentu untuk berikatan
(Baehaki, Rinto, & Budiman, 2011).
dengan banyak ligan
dalam bidang

108

E-43
LEMBAR ASISTENSI

DIPERIKSA
KETERANGAN TANDA TANGAN
NO TANGGAL
1. 15/3/2022 Pengumpulan proposal
2. 25/3/2022 Pengumpulan P0
3. 10/04/2022 Pengumpulan P1
4. 11/04/2022 Pengumpulan P2
5. 13/04/2022 Pengumpulan laporan
ke dosen
66. 13/04/2022
25/04/2022 ACC laporan
Pengumpulan revisi ke
dosen

F-1

Anda mungkin juga menyukai