Anda di halaman 1dari 30

JOURNAL READING

Disusun Oleh:

Ariane N. Rahmadhani 1102011042

Cindy Aulia Maessy 1102011066

Dewi Arika Hapsari 1102011075

Farasila Rashofa 1102011098

Reza Rahmana Putra 1102010239

Pembimbing:

dr. Fahmi Attaufany, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK THT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSUD SOREANG
2016
1
JOURNAL READING
Surgical Treatment of Nasal
Packing Refractory Epistaxis

Disusun Oleh:
Ariane Nurul Rahmadhani
110.2011.042

Pembimbing:
dr. Fahmi Attaufany, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN THT


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SOREANG
AGUSTUS - SEPTEMBER 2016

2
PENGOBATAN BEDAH PADA HIDUNG
DENGAN EPISTAKSIS REFRAKTORI

ABSTRAK

Epistaksis merupakan kegawatdaruratan pada otorinolaringologi dan merupakan kasus yang


parah, dapat menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik dan dapat mengancam hidup.

Tujuan : untuk mengevaluasi faktor yang berpengaruh dalam pengobatan epistaksis yang
resisten sehingga memerlukan terapi yang lain sebaik terapi post pembedahan.

Materi dan metode : penelitian retrospekstif yang dilakukan pada Januari 2002 sampao
Agustus 2007. 40 konsekutif pasien yang menjalani terapi pembedahan sebagai prosedur,
memerlukan darah transfusi, dan mengevaluasi rekurensi.

Hasil : komplikasi post operasi ororhinolaringology (37.5%), tekanan darah tinggi (30%), dan
koagulopati (15%) merupakan faktor utama yang berpengaruh pada terjadinya epistaksis.
50% pasien dengan ketidak stabilan hemodinamik dimana 90% dari mereka memerlukan
tranfusi darah. Elektrokauterisasi pada perdarahan sudah cukup pada 35% dari pasien ini,
dimana 65% memerlukan kauterisasi dan atau ligasi pembuluh darah. Lima pasien (12.5%)
yang memiliki perdarahan berulang, dimana memerlukan operasi ulang.

Kesimpulan : indikasi awal pada terapi pembedahan untuk kontrol keparahan dan epistaksis
refraktori dengan terapi konvensional, khusus dalam populasi dengan resiko tinggi seperti
perdarahan dan koagulopati pada terapi post operasi, memungkinkan menurunkan transfusi
darah.

PENGENALAN

Epistaksis merupakan penyakit yang sering ditemui di kejadian sehari-hari, dan hal itu
dianggap sebagai hal yang darurat. Penelitian ini menunjukkan bahwa 60% dari populasi
pernah mengalami epistaksis selama masa hidup mereka. Pada kasus kebanyakan perdarahan
yang dialami sedikit dan sembuh sendiri, namun pada beberapa kasus gawat epistaksis dapat
menyebabkan ketidakstabilannya hemodinamik dan dapat menyebabkan resiko kematian.

Penyebab epistaksis bisa disebabkan dari lokal atau sistemik. Lokasi perdarahan, tingkat
keparahan, dan evolusi pasien yang biasanya tidak tahu mengenai tentang terapi dan
pencegahannya. Pada kasus epistaksis yang parah, dimana sumbatan hidung gagal
menghentikan perdarahan atau perdarahan berulang setelah sumbatan hidung dilepas, terapi
pembedahan diperlukan. Prosedur pembedahan diantaranya elektrikal atau kauterisasi kimia

3
pada lokasi perdarahan atau ligasi pembuluh darah pada arteri sfenopalatina arteri
ethmoidalis atau cabang dari arteri sfenopalatina dimana perdarahan menyebar.

Dalam rangka memperbaiki karakter populasi pasien, menilai tingkat resiko, dan evaluasi
usulan terapi pembedahan yang efektif, kami memutuskan untuk melihat kondisi individual
yang berkesinambungan dari terapi epistaksis refraktori sampai konvensional dan hasil post
operatif.

OBJEKTIF

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa aspek klinik dan faktor yang berkesinambungan
pada penyebabnya, sebagaimana keefektifan kauterisasi dan atau ligasi pembuluh darah pada
kasus epistaksis refraktori sampai terapi konvensional.

MATERIALS AND METHOD

Penelitian ini telah di konfirmasi oleh Komite Penelitian Etik di Rumah Sakit Faculdade de
Medicina de Ribeirao Preto dibawah izin 1292/2006. Penelitian ini merupakan penelitian
retrospektif cross-sectional dimana 40 pasien yang membutuhkan terapi pembedahan untuk
kasus epistaksis pada bulan Januari 2002 sampa Agustus 2007. Pelayanan di Rumah Sakit
Clinicas de Ribeirao Preto – Universitas de Sao Paulo. Mereka telah melakukan terapi awal
pada epistaksis anterior dan atau posterior untuk mengatasi epistaksis, sebagai diktat disain
penelitian. Tidak pengecualian pada pasien.

Selama keberadaan mereka di rumah sakit, pasien telah diuji hemoglobin, volume sel darah
merah, hitung jumlah platelet, protombin time, activated partial thromboplastin time (APTT),
fungsi hati dengan suspek penyakit hati, dan tanda vital. Semua prosedur pembedahan
memakai anestesi umum dan visualisasi endoskopi dengan 0* dan 45* dalam diameter 4mm.
Pasien juga dianalisa sesuai jenis kelaminnya, umur, presentasi dari kormobiditas darah
tinggi, penyakit hati, diskrasia darah, keperluan transfusi, prosedur pembedahan, relapse, dan
komplikasi post operatif lainnya.

Kauterisasi elektrik merupakan pilihan prosedur untuk beberapa situasi perdarahan pada
lokasi yang sudah pasti. Saat perdarahan tidak dapat diketahui lokasi pastinya atau pada
perdarahan berat, ligasi pembuluh darah dilakukan untuk topografi perdarahan. Dilakukan
pencabutan flap 1 centimeter mucoperiosteal anterior ke bagian yang paling kaudal dari
konka sampai foramen sfenopalatina menutupi puncak ethmoidal merupakan bagian dari
prosedur ligasi cabang arteri sfenopalatina. Saat cabang arteri telah diidentifikasi dan
diekspos, arteri di klem dan di kauterisasi dengan forceps bipolar. Beberapa kasus dimana
perdarahan utama dapat diketahui lokasinya, kami memilih untuk melakukan ligasi di arteri
ethmoidalis anterior dengan insisi eksternal via Lynch’s.

4
HASIL

Pasien

40 pasien – 27 (67.5%) perempuan dan 13 (32.5%) perempuan – telah terdaftar dalam


penelitian. Jarak usia diantara 4 sampai 78 tahun (40 -+ 20tahun, rata-rata -+ SD).

Predisposisi

Dalam 15 pasien (37.5%) gejala epistaksis muncul pada komplikasi post operatif dengan
prosedur pembedahan ENT (septoplasti yang dikombinasikan maupun tidak dikombinasikan
dengan turbinektomi, adenotonsilektomi, rhinoplasti, atau pembedehana endoskopi sinus
paranasal). Delapan pasien (53%) mengalami perdarahan postoperatif (<48 jam) dan semua
episode perdarahan terjadi setelah 48 jam pertama. Hanya satu pasien yang mengalami
trauma hidung baru (2.5%).

Penggunaan terbaru dari antikoagulan atau non-hormonal obat anti-inflamasi diamati pada
dua pasien. Enam pasien (15%) memiliki riwayat penyalahgunaan alkohol, tetapi tak satu pun
dari mereka disajikan fungsi hati atau tes koagulasi hasil berubah. Hanya satu pasien
memiliki gangguan koagulasi (tromboastenia Glanzmann). Dua belas pasien (30%) memiliki
riwayat beberapa episode perdarahan hidung. Tujuh pasien (17,5%) tidak memiliki faktor
predisposisi jelas untuk epistaksis.

5
Prosedur Pembedahan

Enam belas (40%) dari 40 yang pasien diperlukan pendekatan bedah bilateral, sedangkan
sisanya 24 (60%) memerlukan pendekatan bedahnunilateral.

Kauterisasi dari perdarahan dilakukan pada 14 (35%) pasien; 11 dari mereka dirawat pasca
operasi setelah operasi hidung. Tempat perdarahan yang paling sering dibakar adalah turbinat
rendah (n = 6), yang rhinopharynx (n = 3) dan daerah kecil (n = 2). Dalam kelompok pasien,
12 (86%) dari 14 kasus yang berhasil diobati. Salah satu pasien kambuh diobati dengan
operasi, sementara yang lain ditawari tampon anterior (Tabel 1).

Dilakukan kauterisasi pada arteri cabang sfenopalatina pada 26 (65%) pasien; 18 pasien
diperlakukan secara sepihak dan bilateral. Ligasi arteri ethmoidalis anterior dilakukan pada 5
(12.5%) pasien yang dikombinasikan dengan arteri cabang sfenopalatina pada 10 (25%)
pasien. Tiga (11.6%) pasien yang diobati dengan ligasi arteri kambuh. Ulasan bedah
mengungkapkan ligasi yang lengkap dengan sisa cabang terminal atau adanya perdarahan
pada topografi pembuluh darah lainnya (Tabel 1).

Tidak ada pasien yang memiliki komplain berarti atau komplikasi yang terkait dengan
prosedur kauterisasi ligasi pembuluh darah.

Ketidak Stabilan Hemodinamik

Variasi tingkat hemoglobin yang ditemukan pada pasien antara waktu mereka tiba di rumah
sakit dan sampai operasi adalah -2,24 g / l (11,8 ± 1,9 x 8,9 ± 2,6; median ± SD). Beberapa
kasus yang cukup parah, dan 20 (50%) pasien hemodinamycally stabil. Sembilan belas yang
diberi transfusi darah dengan sel darah merah. Satu diberi ekspander volume untuk alasan
agama.

DISKUSI

Menurut literatur, trauma lokal merupakan penyebab utama epistaxis. Namun, 37,5% kasus
epistaksis yang terhubung ke komplikasi pasca operasi prosedur bedah THT. Prevalensi
tinggi seperti kasus pasca operasi adalah merupakan fakta bahwa kebanyakan pasien trauma
eksternal atau beberapa tidak disebut atau dirawat di layanan THT kami, tapi oleh tim trauma.
Yang menjelaskan peningkatan proporsional dalam tingkat prevalensi epistaksis terhubung
dengan penyebab lainnya. Selanjutnya, perawatan tersier sangat terfokus pada operasi dan
dilengkapi dengan layanan pelatihan untuk dokter residen. Sebagian besar kasus epistaksis
pasca operasi terjadi setelah turbinectomy parsial rendah (40%), mungkin karena kauterisasi
lengkap dari konka rendah hidung yang tersisa.

Hipertensi sistemik telah secara luas dibahas sebagai penyebab epistaksis. Studi terbaru
menunjukkan sedikit korelasi antara hipertensi sistemik dan epistaxis. Meskipun 30% dari
pasien kami memiliki sejarah positif hipertensi sistemik, kebanyakan dari mereka tidak

6
memiliki tingkat tekanan darah tinggi selama pendarahan yang bisa menjelaskan keparahan
epistaksis episode mereka.

Penyalahgunaan alkohol umumnya dikaitkan dengan gizi buruk dan vitamin C dan defisiensi
K. proses penyembuhan dan produksi faktor koagulasi (faktor II, V, VII dan IX dan
fibrinogen dan protrombin lebih khusus) yang akibatnya gangguan, sehingga meningkatkan
perdarahan. Tanda-tanda gagal hati tidak ditemukan pada pasien kami, bahkan di orang-orang
dengan riwayat penyalahgunaan alkohol.

Penggunaan obat-obatan yang mempengaruhi koagulasi (asam asetilsalisilat, antikoagulan


dan obat anti-inflamasi non-hormonal) harus diselidiki dalam etiologi epistaksis dan
dipertimbangkan dalam rendering diagnosis diferensial. Hanya sebagian kecil dari pasien
dalam kelompok kami (10%) mengalami epistaksis terkait dengan penggunaan kategori obat
ini.

Satu pasien memiliki tromboastenia Glanzmann, orang dengan resesif syndrome hemoragik
langka yang memperkenalkan defisit kuantitatif dan / atau kualitatif pada kompleks membran
platelet glikoprotein sehingga mengurangi adhesi platelet dan agregasi. Kami memilih untuk
melakukan ligasi arteri bilateral pada pasien ini, sebagai seorang anak yang memerlukan sel
darah dan trombosit transfusi merah karena pendarahan sering dan berlimpah. Sebuah
penurunan yang signifikan pada kedua frekuensi dan tingkat keparahan episode perdarahan
diamati setelah operasi.

Dalam prakteknya kami mencoba untuk memandu pengelolaan epistaksis oleh topografi
lokasi perdarahan. Ketika perdarahan dapat ditentukan, sebuah kauterisasi listrik sederhana
dilakukan, seperti yang terlihat terutama dalam peristiwa epistaksis pasca operasi segera.
Ketika perdarahan lebih banyak dan menyebar, dan tempat perdarahan tidak dapat
ditemukan, rongga hidung arteri irigasi terminal (seperti cabang sphenopalatina dan anterior
arteri etmoidalis) yang diikat. Pilihan antara kliping dan kauterisasi berdasarkan keakraban
dokter bedah dengan prosedur dan visualisasi dari cabang yang akan tersumbat. Tidak ada
bukti yang jelas dalam literatur menyatakan bahwa baik lebih effective. Hasil kami
menunjukkan bahwa dalam 88,4% kasus epistaksis benar-benar berhasil setelah ligasi arteri.
Dua kasus di mana epistaksis kambuh setelah ligasi sphenopalatina arteri yang akhirnya
diselesaikan setelah prosedur peninjauan dilakukan dan cabang-cabang terminal yang tersisa
dari arteri dan arteri etmoidalis anterior yang diikat.

Kekambuhan setelah ligasi arteri jarang terjadi, tetapi bisa terjadi karena beberapa alasan:
kegagalan untuk mengidentifikasi lokasi perdarahan, kegagalan untuk mengidentifikasi
foramen sfenopalatina, kegagalan untuk ligasi semua cabang arteri sfenopalatina, dan
gangguan koagulasi.

Pasien dalam kelompok kami dilakukan terapi operasi untuk epistaksis sudah disajikan kadar
serum hemoglobin berkurang pada pengakuan mereka, dan pengurangan lebih lanjut diamati
karena mereka menawarkan pengobatan konvensional, yang terbukti tidak efektif. Barlow
telah menunjukkan hubungan yang kuat antara operasi untuk epistaksis dan perlu transfusi
darah. Demikian juga, Voegels melaporkan tingkat yang sama dari transfusi darah (45,5%)

7
pada pasien diserahkan kepada sphenopalatina ligasi arteri. Temuan ini mendukung gagasan
bahwa, pada kasus yang berat dan pasien pada risiko instabilitas hemodinamik, operasi
sebelumnya dapat mengurangi kebutuhan untuk transfusi darah. Tidak ada pasien yang
memiliki keluhan atau komplikasi terhubung ke prosedur bedah dilakukan untuk mengelola
epistaksis mereka, membuktikan keamanan metode.

KESIMPULAN

Operasi untuk penatalaksanaan epistaksis tahan api untuk tampon hidung sangat efektif,
aman, dan memberikan tingkat komplikasi yang rendah. Ketika ditawarkan kepada pasien
dengan faktor predisposisi perdarahan dan risiko tinggi ketidakstabilan hemodinamik, operasi
dini dapat mengurangi kebutuhan untuk transfusi darah.

8
JOURNAL READING
Effectiveness of Powered Intracapsular Tonsillectomy in Children
With Severe Obstructive Sleep Apnea

Disusun Oleh:
Cindy Aulia Maessy
110.2011.066

Pembimbing:
dr. Fahmi Attaufany, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN THT


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SOREANG
AGUSTUS - SEPTEMBER 2016

9
EFEKTIVITAS POWERED INTRACAPSULAR TONSILEKTOMI PADA ANAK
DENGAN OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA BERAT

PENTING Powered intrakapsular tonsilektomi dan adenoidektomi (PITA) adalah prosedur


pada anak yang semakin umum dilakukan. Beberapa studi telah meneliti keefektivitasannya
pada anak dengan Obstructive Sleep Apnea (OSA) berat.

TUJUAN untuk menilai efektivitas PITA pada pasien dengan OSA berat yang dibuktikan
dengan perubahan parameter polisomnografi.

DESAIN, SETTING DAN PESERTA peneliti melakukan studi kasus serial dengan ulasan
rekam medis dari 70 anak dengan OSA berat yang menjalani PITA pada perawatan tingkat
tersier rumah sakit anak dari 1 Januarti 2010 sampai dengan 31 Desember 2014.

HASIL UTAMA DAN TINDAKAN parameter polisomnografi pada pra operasi dan pasca
operasi.

HASIL dari 70 anak – anak dengan OSA berat yang menjalani PITA, 39 (56%) adalah laki-
laki dan usia rata-rata di operasi adalah 3,7 tahun. Ada nilai signifikan (SD) menurun pada
indeks apnea-hypopnea pasca operasi (32.4[28.4 vs 5.8[9.7], P<.001]), indeks obstruksi
apnea (20.4 [17.97] vs 2.55 [5.9]), indeks obstruksi apnea-hypopnea (25.5 [22.4] vs 3.9 [7.3],
P < .001), indeks arousal (53.7 [33.9] vs 27.4 [22.6], P < .001), presentase total waktu tidur
dengan dengkuran (28.6 [30.5] vs 13.6 [20.8], P = .001), dan indeks desaturasi oksigen 4%
atau lebih (22.9 [26.4] vs 4.5 [9.9], P < .001). Nilai (SD) saturasi oksigen (96.8 [2.0] vs 98.2
[1.3], P < .001) dan saturasi oksigen nadir (75.5 [13.1] vs 88.4 [8.1], P < .001) meningkat
signifikan. Penurunan yang signifikan dalam waktu yang diamati dengan akhir tidal karbon
dioksida lebih besar dari 55 mmHg (49.67 [97.5] vs 19.1 [73.9] menit, P = .01).

KESIMPULAN DAN RELEVANSI Powered intracapsular tonsilektomi dan adenoidektomi


meningkat OSA pada pasien anak dengan menurunkan obstruksi apnea dan hypopnea,
desaturase oksigen, indeks arousal, level karbondioksida, dan dengkuran, serta meningkatkan
saturasi oksigen nadir. Hasil yang sebanding dengan dijelaskan untuk teknik tradisional
elektrokauter tonsilektomi dan mendukung penggunaan PITA untuk pengobatan OSA berat
pada anak dengan pembesaran adenotonsilar.

10
Gangguan napas sat tidur sering terjadi pada populasi anak-anak, yang mempengaruhi sekitar
12% dari anak-anak. Gangguan ini didefinisikan berdasarkan pola pernapasan abnormal
selama tidur dan termasuk kelianan spevtrum mulai dari pernapasan mulut dan dengkuran
untuk obstructive sleep apnea (OSA). Pembesaran adenotonsilar merupakan faktor risiko
tersering yang berhubungan dengan OSA pada anak. Faktor risiko lain termasuk obesitas,
sindrom craniofacial dan kelainan neuromuscular. OSA yang tidak diterapi dapat berkaitan
dengan berbagai komorbiditas, termasuk gangguan neurokognitif, masalah perilaku,
gangguan kardiovaskular, gagal tumbuh dan inflamasi sistemik.

Polisomnografi dianggap sebagai kriteria standar untuk mendiagnosa dan mengukur OSA
pada anak-anak. Keparahan OSA dinilai berdasarkan indeks apnea-hypopnea (AHI) dan
saturasi oksigen nadir. OSA ringan didefinisikan sebagai AHI lebih besar dari 1, <5, OSA
moderat dengan AHI lebih besar dari 5, <10, dan OSA berat dengan AHI lebih besar dari 10
atau saturasi oksigen nadir kurang dari 80%. Disfungsi pada kontrol neuromotor diduga
menjadi penyebab kolaps saluran pernapasan saat tidur, tetapi lebih diperburuk oleh
penyempitan saluran napas terkait pembesaran adenotonsilar.

The American Academy of Pediatrics merekomendasikan adenotonsilektomi sebagai terapi


lini pertama untuk OSA pada anak dengan pembesaran adenotonsilar.

Tonsilektomi dilakukan dengan menggunakan berbagai teknik. Tonsilektomi tradisional


dilakukan melalui diseksi tajam atau elektrokauter monopolar untuk memisahkan tonsil
dengan kapsul sekitarnya. Powered intracapsular tonsillectomy and adenoidectomy (PITA)
adalah teknik yang efektif untuk pengobatan OSA pada anak-anak. Studi mengungkapkan
penurunan AHI pasca operasi disertai nyeri pasca operasi yang lebih sedikit dan dimulainya
kembali lebih cepat dari diet dan aktivitas normal, dibandingkan tonsilektomi tradisional
menggunakan teknik elektrokauter. Anak – anak yag menjalani PITA mengalami perdarahan
pasca operasi yang lebih rendah dan penerimaan kembali untuk dehidrasi dibandingkan
dengan mereka yang menjalani tonsilektomi tradisional.

Tujuan penelitian ini untuk menilai efektivitas PITA pada pasien dengan OSA berat yang
dibuktikan dengan perubahan parameter polisomnografi.

11
METODE

Studi kohort restrospektif ini menerima persetujuan Nemours Institutional Review Board
sebelum dilakukan. Sampel dari anak-anak yang menjalani adenotonsilektomi intrakapsular
untuk OSA berat dari tanggal 1 Januari 2010 hingga 31 Desember 2014, telah diperiksa. Data
anak-anak yang menjalani polisomnografi dicari bagi mereka yang memiliki OSA berat
didiagnosis dengan polisomnografi pra operasi, menjalani PITA, dan menjalani
polisomnografi pasca operasi. Tonsilektomi intrakapsular menghapis sekitar 90% dari
jaringan tonsil melalui microdebrider, meninggalkan kapsul utuh. Elektrocauter kemudian
digunakan ntuk mengikis sisa jaringan dan untuk mendapatkan hemostatis.

Data demografi dikumpulkan termasuk usia pada saat operasi, jenis kelamin, komorbiditas,
dan indeks massa tubuh. Penilaian parameter polisomnografi dikumpulkan sebelum operasi
dan pasca operasi: AHI, indeks obstruksi apnea (OAI), obstruksi AHI (OAHI), indeks
arousal, level rata-rata dan nadir saturasi oksigen, indeks desaturase oksigen 4% atau lebih,
rata-rata dan nilai maksimal level end-tidal karbondioksida (ETCO2), persentasi waktu tidur
total (TST) dengan ETCO2 dari 50 mmHg atau lebih, dan presentase TST dengan dengkuran.

HASIL

Dari 70 anak, 31 (44%) adalah perempuan dan 39 (56%) adalah lak-laki. Komposisi rasial
dari sampel adalah 45,7% putih, 41,4% Afrika Amerika, dan 12,9% lainnya. Usia rata-rata
pada operasi adalah 3,7 tahun, dimana sebagai rata – rata tindak lanjut adalah 0,7 tahun.
interval rata-rata antara opeasi dan polisomnografi pasca operasi adalah 5 bulan (kisaran 2-84
bulan). Penyakit penyerta pasien termasuk penyakit reaktif jalan napas, asma, penyakit
refluks gastroesofageal, penyakit jantung, penyakit neuromuskuler, keterlembatan
perkembangan, sindrom Down, kelainan kraniofasial, gangguan hematologi dan obesitas
(tabel 1).

Ada penurunan yang signifikan dalam mean AHI, OAI, OAHI, indeks arousal, presentase
TST dengan dengkuran, dan indeks desaturase oksigen dari 4% atau lebih pada
polisomnografi pasca operasi. Ada peningkatan signifikan dalam mean saturasi oksigen dan
mean oksigen nadir. Peneliti juga mencatat penurunan yang signifikan dalam waktu dengan
tingkat ETCO2 lebih besar dari 55 mmHg (tabel 2).

Obesitasi pre opreatif dikaitkan dengan peningkatan yang lebih besar dalam mean saturasi
oksigen pasca operasi (P=0.04). Parameter tidur pasca operatif tidak terpengaruh oleh

12
demografi pasien atau penyakit penyerta termasuk AHI, OAI, OAHI, tingkat ETCO2,
persentase TST dengan tingkat ETCO2 dari 50 mmHg atau lebih, dan presentase TST dengan
dengkuran.

Lima puluh pasien (71%) mencapai OAI dari 1 atau kurang pada polisomnografi pasca
operasi. Dua puluh satu pasien (30%) mencapai AHI pasca operasi dari 1 atau kurang, 36
pasien (51%) mencapai AHI pasca operasi dari 2 atau kurang, dan 30 (43%) mencapai AHI
lebih besar dari 1 tapi 5 atau kurang, dengan keseluruhan 51 (73%) mencapai AHI
pascaoperasi dari 5 atau kurang. Selain itu, 20 pasien (29%) memiliki OAI pasca operasi
lebih besar dari 1, dan 19 pasien (27%) memiliki AHI pasca operasi lebih besar dari 5. Rerata
pra operasi OAI adalah 20.0 dan 21.6 untuk pasien dengan OAIS pasca operasi dari 1 atau
kurang vs lebih besar dari 1, masing-masing. Perbedaan antara rata-rata OAIS pra operasi
secara tidak signifikan berbeda antar kelompok (P=0.72). Mean AHI pra operasi untuk pasien
dengan AHI pascaoperasi dari 1 atau kurang, 2 atau kurang, 5 atau kurang, atau 5 atau lebih
besar adalah 31.1, 35.2, 31.3, dan 35.2. AHI pra operasi tidak signifikan berbeda antara
kelompok AHI pasca operasi (P=0.83).

DISKUSI

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai penggunaan PITA sebagai teknik yang efektif
untuk mengobati OSA berat pada pasien yang sehat dan orang – orang dengan penyakit
penyerta. Penelitian ini merupakan kelompok terbesar dari pasien dengan OSA berat (n=70)
dan merupakan satu-satunya studi, untuk pengetahuan kita, yang mencakup pasien dengan
komorbiditas yang menjalani PITA untuk OSA. Penurunan yang signifikan dalam AHI pasca
operasi, OAI, OAHI, indeks arousal, presentase TST dengan tingkat ETCO2 dari 55 mmHg
atau lebih ditemukan, serta peningkatan signifikan dalam mean saturasi oksigen dan nadir
saturasi oksigen.

Adenotonsilektomi direkomdenasikan sebagai lini pertama pengobatan untuk OSA anak dan
anak-anak dengan pembesaran adenotonsillar. Namun, OSA persisten dilaporkan sekitar
20% sampai 40% kasus. Ketika tingkat penyembuhan didefinisikan sebagai AHI kurang dari
1, keberhasilan pengobatan adalah 59.8%. Jika didefinisikan sebagai AHI kurang dari 5,
tingkat penyembuhan adalah 66.2%. Pada pasien dengan obesitas, usia muda, dan/atau OSA
berat, rata-rata tingkat penyembuhan adalah 38,7%. Secara keselurahan, mean AHI
pascaoperasi secara signifikan menurun dari tingkat pra operasi. Jenis adenotonsilektomi
yang digunakan tidak dijelaskan, dan anak-anak dengan penyakit penyerta selain dari obesitas

13
dikeluarkan dari meta-analisis. Peningkatan AHI pra operasi dan keparahan OSA, usia
pasien, indeks massa tubuh dan obesitas, asma, lidah posusu III atau IV menurut Friedman,
skor Mallampati dari 3 sampai 4, hidung septum deviasi, dan pembesaran konka telah
dilaporkan sebagai predictor signifikan dari OSA persisten setelah adenotonsilektomi. Secara
keseluruhan, studi menilai hasil polisomnografi setelah tonsilektomi intrakapasular memiliki
ukuran sampel yang kecil dan penilaian yang kurang pada anak dengan penyakit penyerta.

Penelitian ini menemukan rata-rata (SD) AHI pasca operasi 5.8 (9.7), yang meningkat dari
rata- rata (SD) nilai pra operasi dari 32.4 (28.4). Literatur tonsilektomi tradisional dan
intrakapsular sama mendukung hubungan antara AHI pra opreasi yang tinggi dan terus-
menerus pasca operasi OSA.

Menurut Reilly et al, didefinisikan resolusi OSA setelah tonsilektomi intracapsular sebagai
AHI kurang dari 1 dan menemukan bahwa 56% dari pasien dengan pra operasi OSA berat
(AHI ≥ 10) memiliki OSA ringan persisten pasca operasi. Resolusi OSA didefisikian oleh
resolusi lengkap dari gejala dicapai pada 75% pada anak-anak tersebut, meninggalkan 25%
anak-anak dengan perisisten OSA. Penyebab OSA persisten mungki multifactorial dengan
vairabilitas dari pasien ke pasien. Namun, yang paling umum, tambahan dan/atau multilevel
obstruksi tetap ada di saluran napas bagian atas, dan berkontribusi terhadap persisten OSA.

KESIMPULAN

PITA adalah lini pertama pengobatan bedah yang efektif untuk anak-anak dengan OSA berat
dan hipertrofi adenotonsilar. PITA meningkatkan OSA pada pasien anak dengan menurunkan
obstruksi apnea dan hypopnea, desaturase oksigen, indeks arousal, level karbon dioksida, dan
dengkuran dan meningkatkan saturasi oksigen nadir. Hasil yang sebanding dengan yang
dijelaskan untuk tonsilektomi elektrokauter tradisional dan mendukung penggunaan PITA
untuk pengobatan OSA berat pada anak dengan pembesaran adenotonsilar.

14
15
JOURNAL READING

HUBUNGAN ANTARA EPISTAKSIS DAN HIPERTENSI :


PENELITIAN TERHADAP PASIEN DI UNIT DARURAT
PADA DUA RUMAH SAKIT DI NIGERIA

Di Susun Oleh:

Dewi Arika Hapsari (1102011075)

Pembimbing:

Dr. Fahmi A., Sp.THT

KEPANITERAAN ILMU THT

RSUD SOREANG

2016

16
HUBUNGAN ANTARA EPISTAKSIS DAN HIPERTENSI :
PENELITIAN TERHADAP PASIEN DI UNIT DARURAT
PADA DUA RUMAH SAKIT DI NIGERIA

ABSTRAK
Latar Belakang : Epistaksis dan hipertensi, keduanya sering terjadi di populasi umum.

Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk menentukan prevalensi hipertensi pada


penderita epistaksis, dan hubungan antara epistaksis dengan hipertensi.

Metode : Analisis Retrospektif dari 62 pasien dewasa, yang terdiri dari 31 pria dan
31 wanita dengan usia rata-rata 41.4 ± 16.6 tahun (rentang: 18-90 tahun)
yang berada di dua unit darurat yang dilaksanakan lebih dari 11 tahun.
Hasil penilaian utama adalah prevalensi hipertensi pada penderita
epistaksis. Usia dan jenis kelamin dicocokan dengan perdarahan dari situs
lain selain hidung dengan catatan tidak ada epistaksis yang dipilih secara
acak sederhana sebagai kontrol.

Hasil : Puncak prevalensi epistaksis terjadi selama bulan Januari dan Maret.
Dibandingkan dengan kontrol, pasien epistaksis memiliki tekanan darah
secara signifikan yang lebih tinggi (146,1 ± 40,7 mmHg dibandingkan
132,2 ± 16,3 mmHg sistolik, P=0,001), dan proporsi lebih tinggi pada
pasien dengan riwayat hipertensi (32,3 % berbanding 7,9 %; P<0,001)
dan riwayat keluarga hipertensi (12,9 % berbanding 2,6 %; P<0,02).
Proporsi subjek dengan peningkatan tekanan darah pada presentasi yang
tetap berkelanjutan secara signifikan lebih tinggi diantara epistaksis
daripada yang non-epistaksis (87,5 % berbanding 46,6 %, = 8,1,
P=0,005). Penderita epistaksis secara signifikan memiliki prevalensi
hipertensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan non-epistaksis
(OR=5,4, 95 % CI 1,3-12,5, P=0,02). Pada analisis multivariat
menggunakan regresi logistik hubungan antara epistaksis dan hipertensi
yang menetap, setelah disesuaikan dengan usia, jenis kelamin, musim,
dan penyebab epistaksis.

Kesimpulan : Temuan yang didapatkan mendukung hubungan antara epistaksis dengan


hipertensi pada populasi penelitian.

Kata Kunci : Epistaxis, Hypertension.

PENDAHULUAN

Epistaksis dan hipertensi, keduanya sering terjadi di populasi umum. Meskipun data survei
dari menunjukkan bahwa 10-15% dari Nigeria adalah penderita hipertensi (laporan terakhir

17
menyatakan bahwa tingkat prevalensi hipertensi sekitar 20-25%). Sebuah penelitian
berdasarkan rumah sakit di wilayah Nigeria menunjukkan bahwa 1,9 % dan 46,5 % dari total
jumlah pasien THT. Prevalensi hipertensi pada penderita epistaksis berkisar 17-67 %.

METODE

Data dari 73 pasien dewasa yang berusia 18 tahun ke atas yang dirawat di rumah sakit antara
bulan Januari 1995 dan Mei 2006 yang menderita epistaksis di dua unit darurat pada rumah
sakit di Nigeria (Usmanu Danfodiyo University Teaching Hospital, di Sokoto, Nigeria Utara
dan University oh Ilorin Teaching Hospital, di sabuk tengah Nigeria). Data yang
dikumpulkan terdiri dari usia, jenis kelamin, pekerjaan, penyebab, durasi, bulan munculnya
epistaksis, riwayat dahulu dan keluarga. Terdapat 11 pasien dengan data yang tidak lengkap,
tidak diikutsertakan dalam penelitian. Semua pasien dengan epistaksis dana tau hipertensi
telah dilihat oleh dokter THT yang ditetapkan.

Epistaksis didefinisikan sebagai perdarahan dari lubang hidung. Diagnosa hipertensi dibuat
berdasarkan tekanan darah 140 mmHg sistolik dan atau 90 mmHg diastolic atau pengguna
obat anti hipertensi. Pasien tanpa riwayat hipertensi yang tekanan darahnya meningkat saat
masuk rumah sakit, namun normal tanpa pemberian obat anti hipertensi selama di rawat inap
di rumah sakit, tidak dianggap sebagai hipertensi.

Pasien yang dirawat di unit darurat selama periode yang sama dengan perdarahan dari situs
lain selain hidung dan dengan tidak memiliki riwayat epistaksis dipilih secara sampel acak
sederhana sebagai kontrol.

ANALISIS STATISTIK

Data yang masuk dan dilakukan analisis dengan menggunakan software SPSS. Variabel
kontinu dan kategoris disajikan sebagai rata-rata ditambah atau standar dikurangi deviasi dan
persentase masing-masing. Sarana antara tiga atau lebih kelompok dibandingkan dengan
menggunakan varian analisis (ANOVA). Uji Chi square dan uji exact fisher, tepat
dipergunakan dalam membandingkan proporsi. Hubungan antara epistaksis dengan hipertensi
ditentukan dengan menggunakan analisis univariate dan multivariate. Nilai P < 0,05 dianggap
signifikan secara statistik.

HASIL

Karakteristik pasien dengan epistaksis dan kontrol ditujukan pada tabel 1. Penyakit yang
diidentifikasi yang terdapat pada pasien epistaksis ditujukan pada tabel 2. Puncak prevalensi
epistaksis terjadi pada bulan Januari dan Maret. Tekanan darah berkisar 100-160 mmHg
sistolik dan 60-100 mmHg diastolik terdapat pada pasien epistaksis, dan 90-160 mmHg
sistolik dan 60-100 diastolik terdapat pada pasien non-epistaksis. Pasien dengan epistaksis
secara signifikan memilik tekanan darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan non-
epistaksis. Dari 28 pasien epistaksi hipertensi, terdapat 8 pasien yang sebelumnya tidak
menyadari diagnosa hipertensi. Hipertensi dan normotensi dengan epistaksis dibandingkan
pada tabel 3. Perbedaan pada hipertensi dan normotensi secara statistik tidak signifikan.

18
Normotensi memiliki proporsi yang jauh lebih tinggi pada pasien dengan riwayat epistaksis
dibandingkan pada pasien hipertensi dengan riwayat epistaksis.

Analisis univariate menunjukkan hubungan antara epistaksis dan hipertensi, musim, dan usia.
Pada analisis multivariate menggunakan regresi logistic (tabel 4), hubungan antara epistaksis
dan hipertensi setelah disesuaikan dengan usia, jenis kelamin, musim, dan penyebab
epistaksis.

DISKUSI

Usia, musim dan penyakit diidentifikasi pada pasien dengan epistaksis dalam laporan saat ini,
sama dengan yang ditemukan dalam penelitian yang dilaporkan sebelumnya. Pasien dengan
epistaksis lebih mungkin muncul pada musim Harmattan (November-Maret) di sebagian
Nigeria, karena musim ini ditandai dengan suhu yang rendah yang dapat mempengaruhi
individu untuk penurunan gerakan silia hidung, kerusakan mukosa, pendarahan hidung. Salah
satu keterbatasan penelitian berbasis populasi adalah ketergantungan dari diagnosis epistaksis
pada sukarela, atau mengingat riwayat perdarahan hidung yang tidak akurat.

Peningkatan tekanan darah pada pasien epistaksis tidak dapat dijelaskan sepenuhnya. Hal ini
dibuktikan dalam laporan saat ini dengan proporsi signifikan lebih tinggi dari pasien dengan
peningkatan tekanan darah awal yang menjadi hipertensi dengan epistaksis dibandingkan
dengan perdarah dari lokasi lain. Etiologi hipertensi pada epistaksis tidak pasti. Ada
kemungkinan bahwa hipertensi menyebabkan perubahan pembuluh darah hidung
arteriosklerotik yang mempengaruhi peningkatan kerentanan pembuluh darah terhadap
terjadinya epistaksis. Pada pemeriksaan funduskopi, ditemukan terdapat arteriosclerosis
retina yang merupakan indeks dari perubahan arteriosklerotik di bagian tubuh lainnya.
Demikian pula, hubungan antara durasi hipertensi dan hipertrofi ventrikel kiri dan
pembesaran arteri hidung ditentunkan oleh rinoskopi.

Kesimpulannya, dari penelitian yang dilakukan, didapatkan bahwa hipertensi mendukung


terjadinya epistaksis pada penderita dengan riwayat epistaksis.

19
20
Journal Reading
Comparison of Three Techniques in Pediatric Tonsillectomy

Disusun oleh:
Farasila Rashofa
1102011098

Pembimbing :
dr. Fahmi Attaufany, Sp.THT - KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN THT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSUD SOREANG
2016

21
Comparison of Three Techniques in Pediatric Tonsillectomy
-Perbandingan Tiga Teknik Tonsilektomi pada Anak-

Mahmut Ozkiris
Department of Otolaryngology, Head and Neck Surgery
Tekden Medical Center, Kayseri, Turkey

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan prosedur tonsilektomi dengan teknik thermal
welding (TWT), diseksi klasik (CD), dan diseksi kauter bipolar (BCD) sebagai terapi
tonsilektomi untuk anak. Sebanyak 305 anak dengan tonsillitis kronik dan/atau obstruksi
saluran napas atas dikelompokkan masing-masing dalam grup tonsilektomi TWT, CD, atau
BCD. Hal-hal yang akan di evaluasi adalah usia, jenis kelamin, lama operasi, jumlah
perdarahan intraoperatif, nyeri pascaoperasi, rentang waktu untuk dapat menjalani diet
normal pascaoperasi, dan penyembuhan fossa tonsilaris pada hari ke-10 pascaoperasi.

 Jumlah perdarahan intraoperatif pada tonsilektomi dengan teknik TWT dan BCD secara
signifikan lebih rendah (p<0.001).
 Perbedaan antara lama operasi TWT dibandingkan dengan BCD tidak jauh berbeda
(p>0.001). Perbedaan antara lama operasi kedua grup diatas dibandingkan dengan
kelompok CD secara signifikan berbeda (p < 0.001).
 Tidak ada perbedaan signifikan yang ditemukan mengenai perdarahan intraoperatif ketiga
grup tersebut (p>0.001).
 Jumlah skor nyeri pascaoperasi 6 jam sampai 7 hari pascaoperasi adalah 4.8±1.2 (median
5, rata-rata 4-6) pada kelompok TWT, 8.3±1.3 (median 8, rata-rata 7-10) pada kelompok
BCD, dan 5.1±1.2 (median 5, rata-rata 4-7) pada kelompok CD. Perbedaan skor nyeri
pascaoperasi antara TWT dan CD tidak signifikan (p>0.001), sementara perbedaan skor
nyeri kedua grup tersebut dibandingkan dengan BCD berbeda secara signifikan
(p<0.001).

Hasil menunjukkan bahwa TWT sebagai prosedur terbaru tonsilektomi memiliki beberapa
keunggulan seperti waktu operasi yang lebih singkat dan perdarahan intraoperatif yang lebih
minimal sehingga memberikan kenyamanan yang lebih baik untuk pasien. Saat
membandingkan TWT dengan teknik CD dan BPC, ditemukan bahwa TWT merupakan
prosedur tonsilektomi terbaru yang inovatif kaarena meminimalisasi jumlah perdarahan
intraoperatif secara signifikan, mempersingkat waktu operasi, tanpa meningkatkan nyeri
pascaoperasi.

Keywords Thermal welding technique, Classic dissection, Bipolar cautery dissection,


Tonsilectomy

Pendahuluan

22
Tonsilektomi merupakan salah satu prosedur operasi yang paling sering dilakukan dan paling
tua dalam ilmu otorinolaringologi. Bermacam-macam teknik operasi digunakan untuk
melakukan tonsilektomi, seperti diseksi klasik, eksisi guillotine, elektrokauter, kriosurgeri,
teknik koblasi, ultrasonik, laser, diseksi monopolar dan bipolar, tonsilektomi thermal
welding, dan tonsilektomi ligature.

Tujuan utama dari bermacam-macam teknik tonsilektomi ini adalah untuk mengurangi
terjadinya komplikasi dengan cara mempersingkat waktu operasi dan meningkatkan
keamanan dan kenyamanan bagi pasien. TWT, yang merupakan prosedur terbaru untuk
tonsilektomi, memiliki beberapa perbedaan dibandingkan dengan prosedur elektrik lainnya,
termasuk dengan menggunakan pemanasan suhu pada jaringan untuk mendapatkan efek
denaturasi protein yang diinginkan. Prosedur ini menggunakan ujung forsep bayonet yang
dihantarkan dengan listrik bertegangan rendah.

Material dan Metode

Penelitian ini menggunakan studi retrospektif dengan peserta penelitian sebanyak 305 anak
yang akan dilakukan tonsilektomi dan adenoidektomi dari Bulan Januari 2008 sampai Bulan
Maret 2010. Masing-masing anak dikelompokkan dalam kelompok operasi dengan prosedur
CD, TWT, atau BCD. Orangtua pasien tidak diberi tahu prosedur operasi apa yang akan
diaplikasikan untuk anaknya (metode blinded).

Kriteria inklusinya adalah anak dengan tonsillitis kronik dan/atau obstruksi saluran napas atas
(248 pasien tonsillitis kronik dan 57 pasien dengan obstruksi saluran napas atas). Anak yang
lebih muda dari 3 tahun dan lebih tua dari 12 tahun yang memiliki riwayat tonsillitis selama 3
minggu, dengan gejala obstruksi saluran napas atas, abses peritonsiler, dan penyakit kelainan
darah disingkirkan dari penelitian. Semua bentuk prosedur dikerjakan oleh dokter yang sama
dengan narkose umum melalui intubasi endotrakeal. Setiap pasien diposisikan dengan posisi
“Rose position” dan menggunakan Davis Boyle mouth gag untuk menyangga mulut.
Retraktor lidah digunakan dengan ukuran sesuai usia pasien.

Pertama, adenoidektomi dilakukan, setelah itu tonsil ditarik dengan lembut kearah medial
menggunakan forsep tonsil. Prosedur TWT menggunakan suplai listrik dengan forsep
bayonet dan pedal kaki. Tanpa insisi, kedua tonsil ditarik ke medial dan plika anterior di jepit
dengan forsep bayonet dan dibakar dengan daya panas (thermal). Diseksi dilakukan terus
sampai ke kutub bawah dengan daya panas level 8. Dengan menggunakan daya panas yang
lebih rendah, tonsil diekstraksi. Perawatan perdarahan menggunakan daya panas level 3-4.

Pada prosedur CD, tonsil dijepit dan ditarik kearah medial dengan klem allis. Setelah insisi di
plika anterior, tonsil dipisahkkan dari kutub superior dengan sendok diseksi ke kutub inferior.
Perawatan perdarahan menggunakan tampon pada fossa, lakukan hal yang sama pada tonsil
berikutnya. Lakukan penjahitan untuk menghentikan perdarahan.

Pada prosedur BCD, mesin yang digunakan adalah mesin diatermi berkekuatan 30 W. Setelah
penarikan tonsil kearah medial untuk mengidentifikasi sumbu yang akan di diseksi, insisi

23
palatoglosal dilakukan dengan menggunakan forsep kauter bipolar. Diseksi perikapsular
dilakukan dengan hati-hati dari kutub superior ke kutub inferior. Sebagian besar diseksi ini
merupakan diseksi tumpul, kecuali jika terdapat pembuluh darah. Setelah pengambilan tonsil
selesai, dilakukan perawatan perdarahan.

Pada hari pertama pascaoperasi, hal-hal yang dinilai adalah ada atau tidaknya perdarahan,
bekuan darah atau jaringan sisa di lokasi operasi dan ada atau tidaknya sekret. Parasetamol
diberikan untuk mengurangi rasa nyeri. Antibiotik (amoksisilin/asam klavulanat) diberikan
secara rutin sesuai dengan dosis anak.

Rasa nyeri anak dinilai menggunakan Visual Analog Scale (VAS) dengan skala 0-10 pada
hari ke 1, 4. 7, dan 10 pascaoperasi sebelum pemberian analgetik. Orangtua diperbolehkan
memberikan makan non-diet tonsil pada hari ke 7 pascaoperasi. Jika pasien belum dapat
makan makanan normal, pasien diperbolehkan melanjutkan diet lunak. 10 hari kemudian,
dokter lain akan memvisit pasien-pasien ini tanpa diberitahu prosedur operasi apa yang
dilakukan kepada pasien. Jika pada penilaian fossa tonsilaris pada hari ke 10 pascaoperasi
tidak ditemukan slough, maka dinyatakan penyembuhan operasi baik. Data dianalisis
menggunakan uji Chi-square, uji student’s t, uji Kolmogorov-Smirnov, dan uji Mann-
Whitney U menggunakan software SPSS 11.5. Penelitian telah disetujui oleh komite etika
lokal dan seluruh peserta penelitian telah diberikan informed consent dan menyutujuinya
secara tertulis.

Hasil

Sebanyak 305 peserta penelitian telah dilakukan tonsilektomi bilateral. 104 pasien (50 laki-
laki, 54 perempuan) dengan rentang usia 4-12 tahun (rata-rata 8.24 tahun) dilakukan prosedur
TWT, 99 pasien (45 laki-laki, 44 perempuan) dengan rentang usia 4-13 tahun (rata-rata 7.77
tahun) dilakukan prosedur DC, dan sebanyak 102 pasien (54 laki-laki, 48 perempuan) dengan
rentang usia 4-13 tahun (rata-rata 7.21 tahun) dilakukan prosedur BCD. Tidak ada perbedaan
signifikan mengenai usia dan jenis kelamin. Juga tidak ada kejadian tidak diharapkan
(adverse events) saat operasi.

 Lama operasi
TWT: 13.92±3.66 menit. BCD: 13.13±2.98 menit. CD: 25.75±12.10 menit.
Didapatkan hasil signifikan terhadap perbedaan lama operasi antara dua kelompok
(TWT dan BCD) dengan CD (p<0.001).

 Perdarahan intraoperatif
TWT: 3.77±3.04 ml. BCD 3.41±3.79 ml. CD 32.08±12.05 ml.
Didapatkan hasil signifikan terhadap perbedaan banyaknya perdarahan intraoperatif
antara dua kelompok (TWT dan BCD) dengan CD (p<0.001).

24
 Perdarahan pascaoperasi
Tidak ditemukan perdarahan primer pada ketiga kelompok prosedur. Perdarahan
sekunder ditemukan pada 5 pasien dengan prosedur TWT, 6 pasien dengan prosedur
BCD, dan 2 pasien dengan prosedur CD. Tidak ditemukan perbedaan yang signifikan
mengenai kejadian perdarahan pascaoperasi pada ketiga prosedur tersebut (p>0.001).

 Mual dan muntah pascaoperasi


Tidak didapatkan pasien yang membutuhkan perawatan rawat inap atau infus cairan
selama lebih dari 24 jam.

 Nyeri pascaoperasi
Skor nyeri 6 jam sampai 7 hari pascaoperasi pada prosedur TWT 4.8±1.2, prosedur
BCD 8.3±1.3, dan prosedur CD 5.1±1.2.
Didapatkan hasil signifikan terhadap perbedaan nyeri pascaoperasi antara dua
kelompok (TWT dan CD) dengan BCD (p<0.001).

25
 Rentang pemulihan utnuk diet normal
Skor nyeri 6 jam sampai 7 hari pascaoperasi pada prosedur TWT 7.3±0.7, prosedur
BCD 9.3±1.7, dan prosedur CD 7.0±1.5.
Didapatkan hasil signifikan terhadap perbedaan lama rentang waktu untuk diet normal
antara dua kelompok (TWT dan CD) dengan BCD (p<0.001).

Diskusi

Tonsilektomi merupakan salah satu prosedur yang paling umum dan sering dikerjakan
di seluruh dunia. Setiap prosedur memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Meskipun begitu, tujuan utama pemeilihan prosedur adalah untuk mempersingkat waktu
operasi, meminimalisasi resiko perdarahan intra/pascaoperasi, mengurangi komplikasi, dan
untuk kenyamanan pasien. Thermal welding technique berbeda dengan teknik bedah elektrik
lainnya karena teknik ini lebih menggunakan energi panas dibandingkan dengan energy
listrik itu sendiri. Cedera jaringan lebih ringan dengan prosedur TWT, oleh karena itu
prosedur ini cocok sebagai prosedur tonsilektomi.

Lamanya waktu penyembuhan dengan teknik thermal welding lebih cepat jika
dibandingkan dengan CD teknik. Pada penelitian ini ditemukan jumlah penyembuhan
mukosa pada fossa tonsilaris lebih banyak terjadi pada kelompok TWT dan CD dibandingkan
dengan teknik BDC. Komplikasi yang paling umum dan paling serius pada tonsilektomi
adalah perdarahan lambat pascaoperasi, yang terjadi pada sekitar 2-4% pasien. Kebanyakan
merupakan perdarahan primer, sementara perdarahan sekunder dapat terjadi pada 2 minggu
pertama pascaoperasi.Namun pada ketiga prosedur ini tidak ditemukan perdarahan primer
dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan mengenai kejadian perdarahan sekunder.
Mengenai perdarahan intraoperatif dan lamanya waktu operasi, walaupun ditemukan
perbedaan yang signifikan antara TWT dan BCD dengan CD, namun secara klinis masih
dapat ditoleransi.

Saat tonsilektomi, jaringan sekitar yang mengalami trauma mekanik atau panas akan
menghasilkan nyeri berat akibat inflamasi, spasme otot faringeal, dan iritasi saraf. Pada
penelitian ini didapatkan TWT memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan kedua
prosedur lainnya. Forsep yang digunakan untuk prosedur thermal juga hanya sekali pakai
sehingga prosedur ini memiliki risiko yang sangat rendah untuk penyebaran virus. Beberapa
kelebihan yang dimiliki prosedur TWT membuat biaya untuk prosedur ini lebih mahal
dibandingkan dua prosedur lainnya.

Kesimpulan

Thermal welding technique merupakan prosedur baru tonsilektomi yang memiliki beberapa
keunggulan seperti waktu operasi yang lebih singkat dan perdarahan intraoperatif yang lebih
minimal sehingga memberikan kenyamanan yang lebih baik bagi pasien anak. Saat TWT
dibandingkan dengan CD dan BCD, didapatkan tonsilektomi TWT sebagai prosedur yang
26
inovatif karena secara signifikan meminimalisasi perdarahan yang terjadi dan mempersingkat
waktu operasi tanpa meningkatkan nyeri pascaoperasi. Penelitian ini menunjukkan TWT
merupakan prosedur yang sangat baik untuk tonsilektomi, namun penelitian ini juga memiliki
keterbatasan mengenai jumlah peserta penelitian.

Keterangan

TWT: Thermal Welding Technique

CD: Cold Dissection

BCD: Bipolar Cautery Dissection

Journal Reading
Allergic Rhinitis

27
Disusun oleh:
Reza Rahmana Putra
1102010239

Pembimbing :
dr. Fahmi Attaufany, Sp.THT - KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN THT


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSUD SOREANG
2016

JURNAL RHINITIS ALERGI

Abstrak

28
Rhinitis alergi adalah gangguan umum yang sangat terkait dengan asma dan
konjungtivitis. Hal ini biasanya berlangsung lama Kondisi yang sering kali tidak terdeteksi
dalam pengaturan perawatan primer. Gejala klasik dari gangguan adalah hidung tersumbat,
gatal hidung, rhinorrhea dan bersin. Sejarah menyeluruh, pemeriksaan fisik dan alergen
pengujian kulit yang penting untuk menegakkan diagnosis rinitis alergi. antihistamin oral
yang generasi kedua dan kortikosteroid intranasal adalah andalan pengobatan. Imunoterapi
alergen adalah immunemodulating efektif pengobatan yang harus dianjurkan jika terapi
farmakologis untuk rinitis alergi tidak efektif atau tidak ditoleransi. Artikel ini memberikan
gambaran patofisiologi, diagnosis, dan manajemen yang tepat dari gangguan ini.

Patofisiologi

Pada rhinitis alergi, banyak sel-sel inflamasi, termasuk sel mast, CD4-positif sel T, sel
B, makrofag, dan eosinofil, menyusup ke lapisan hidung pada paparan alergen menghasut
(paling sering di udara tungau debu partikel kotoran, residu kecoa, hewan ketombe, cetakan,
dan serbuk sari). Sel-sel T infiltrasi mukosa hidung didominasi T helper(Th) 2 di alam dan
melepaskan sitokin (misalnya, interleukin [IL] -3, IL-4, IL-5, dan IL-13) yang
mempromosikan imunoglobulin E (IgE) produksi oleh sel plasma. produksi IgE, pada
gilirannya, memicu pelepasan mediator, seperti histamin dan leukotrien, yang bertanggung
jawab untuk arteriol pelebaran, peningkatan permeabilitas pembuluh darah, gatal-gatal,
rhinorrhea (hidung meler), sekresi lendir, dan kontraksi otot polos. Mediator dan sitokin
dilepaskan selama fase awal dari suatu kekebalan tubuh respon terhadap alergen menghasut,
memicu seluler lanjut respon inflamasi selama 4 sampai 8 jam berikutnya (latephase
inflamasi respon) yang menghasilkan berulang gejala (biasanya hidung tersumbat).

Klasifikasi

Rhinitis diklasifikasikan ke dalam salah satu kategori berikut menurut etiologi: IgE-mediated
(alergi), otonom, menular dan idiopatik (tidak diketahui). Meskipun fokus dari artikel ini
adalah alergi rhinitis, singkat deskripsi bentuk lain dari rhinitis. Secara tradisional, rhinitis
alergi telah dikategorikan sebagai musiman (terjadi selama musim tertentu) atau abadi
(Terjadi sepanjang tahun). Namun, tidak semua pasien masuk ke dalam skema klasifikasi ini.
Sebagai contoh, beberapa pemicu alergi, seperti serbuk sari, mungkin musiman di iklim
dingin, tapi abadi di iklim hangat, dan pasien dengan beberapa "musiman" alergi mungkin
memiliki gejala hampir sepanjang tahun . Karena itu, rhinitis alergi sekarang diklasifikasikan
menurut gejala Durasi (intermiten atau terus-menerus) dan beratnya (ringan,
sedang atau berat) (lihat Gambar 1) . Rhinitis dianggap intermiten ketika total durasi episode
peradangan kurang dari 6 minggu, dan persisten bila gejala terus berlanjut sepanjang tahun.
Gejala diklasifikasikan sebagai ringan bila pasien umumnya bisa tidur normal dan melakukan

29
yang normal kegiatan (termasuk kerja atau sekolah); gejala ringan yang biasanya berselang.
Gejala dikategorikan sebagai moderat / berat jika mereka secara signifikan mempengaruhi
tidur dan kegiatan hidup sehari-hari dan / atau jika mereka dianggap menyusahkan. Hal ini
penting untuk mengklasifikasikan tingkat keparahan dan durasi gejala seperti ini akan
memandu manajemen Pendekatan untuk pasien individu .

Pengobatan

Tujuan pengobatan untuk rhinitis alergi adalah menghilangkan gejala. Pilihan terapi yang
tersedia untuk mencapai tujuan ini mencakup langkah-langkah penghindaran, antihistamin
lisan, intranasal kortikosteroid, antagonis reseptor leukotrien, dan imunoterapi alergen (lihat
Gambar 2). Lain terapi yang mungkin berguna pada pasien tertentu termasuk dekongestan
dan kortikosteroid oral. Jika pasien gejala bertahan meskipun pengobatan yang tepat, rujukan
untuk ahli alergi harus dipertimbangkan. Seperti disebutkan sebelumnya, rhinitis alergi dan
asma muncul untuk mewakili dikombinasikan saluran napas penyakit inflamasi dan, karena
itu, pengobatan asma juga merupakan pertimbangan penting pada pasien dengan rhinitis
alergi.

Kesimpulan
rhinitis alergi adalah gangguan umum yang secara signifikan dapat dampak kualitas hidup
pasien. Diagnosis dilakukan melalui sejarah yang komprehensif dan fisik pemeriksaan. tes
diagnostik lebih lanjut dengan menggunakan kulit-tusukan tes atau tes IgE alergen tertentu
biasanya diperlukan untuk mengkonfirmasi bahwa alergi yang mendasari menyebabkan
rhinitis tersebut. Itu Pilihan terapi yang tersedia untuk pengobatan alergi rhinitis efektif dalam
mengelola gejala dan umumnya aman dan ditoleransi dengan baik. Generasi kedua lisan
antihistamin dan kortikosteroid intranasal adalah andalan pengobatan untuk gangguan ini.
imunoterapi alergen serta obat lain seperti dekongestan dan kortikosteroid oral mungkin
berguna dalam pilih kasus.

30

Anda mungkin juga menyukai