Anda di halaman 1dari 7

ABSTRAK

Epistaksis adalah keadaan darurat THT yang paling umum dan merupakan salah satu
gambaran klinis yang paling umum dalam keadaan darurat. Penatalaksanaannya dapat
menjadi rumit sesuai dengan sumber pendarahan dan adanya faktor – faktor pencetus. Jurnal
ini membahas mengenai faktor-faktor risiko yang terkait dengan epistaksis dan analisis kritis
serta mengevaluasi alur tatalaksana berdasarkan sumber literatur yang lebih tinggi.

Pengantar
Epistaksis, juga dikenal sebagai pendarahan pada hidung, dapat berasal dari pembuluh
darah pada rongga hidung anterior atau posterior. Rongga hidung memiliki pembuluh darah
yang sangat banyak dari cabang-cabang arteri karotis internal dan eksternal yang juga
bergabung membentuk pleksus anterior dan posterior. Mayoritas perdarahan dapat terlihat di
daerah anterior1.
Istilah epistaksis pertama kali digunakan dalam literatur medis pada tahun 18672.
Perdarahan berasal dari rongga hidung anterior ditatalaksana dengan memasukkan tampon ke
dalam lubang hidung. Pada perdarahan yang berasal dari rongga hidung posterior, tampon
diikatkan ke benang lalu masuk melalui lubang hidung untuk tamponade rongga hidung
posterior dan menghentikan pendarahan. Pada tahun 1901, McKenzie mulai menggunakan
adrenalin untuk menghentikan pendarahan pada kasus yang lebih parah. Penatalaksanaan
bedah epistaksis pertama kali dipaparkan pada pertengahan abad ke-19 untuk menghentikan
epistaksis posterior yang parah2-4.
Prinsip penatalaksanaan yang sama digunakan saat ini untuk tatalaksana epistaksis
sesuai dengan lokasi perdarahan, derajat keparahan dan kepatuhan pengobatan5. Tujuan dari
jurnal ini adalah untuk menilai dan menganalisis secara kritis etiologi epistaksis pada anak-
anak dan orang dewasa dan membahas perbedaan dari berbagai pilihan tatalaksana yang ada.
Jurnal ini akan mencakup tingkatan sumber literatur yang tertinggi. Randomized control trial
(RCT) dan systematic review (SR) disusun dengan cermat untuk menghasilkan hasil yang
tidak bias tanpa kesalahan sistematis.
Selanjutnya, hasilnya dapat digunakan oleh dokter untuk menunjang keputusan klinis
mereka6. Ketika penelitian semacam itu tidak tersedia, penelitian mengenai tingkatan literatur
yang lebih rendah akan disertakan dan kemungkinan adanya bentuk permasalahan dapat
menghasilkan adanya bias yang akan dianalisis.

Epidemiologi
Epistaksis adalah keadaan darurat THT yang paling umum dan salah satu gambaran
klinis yang paling umum dalam keadaan darurat6-9. Diperkirakan setidaknya satu episode
epistaksis terjadi pada lebih dari setengah populasi umum di seluruh dunia. Prevalensinya
adalah bimodal. Kejadian puncak tercatat yaitu pada anak-anak berusia kurang dari 10 tahun
dan pada orang dewasa berusia di atas 40 tahun8-9. Hanya sebagian kecil dari pasien ini yang
datang memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan dan pada lansia lebih sering membutuhkan
perawatan inap10.

Apa penyebabnya?
Ada banyak makalah tinjauan daftar penyebab potensial epistaksis pada anak-anak
dan orang dewasa11-13. Faktor risiko ini secara klasik dibagi menjadi lokal dan sistemik.
Trauma yang diakibatkan kebiasaan mengorek hidung telah dijelaskan sebagai penyebab
utama pendarahan yang terjadi pada anak-anak. Epistaksis yang terjadi bersamaan dengan
fraktur tulang hidung telah diduga sebagai penyebab utama perdarahan pada orang dewasa.
Mukosa hidung kering14 dan epistaksis disertai dengan infeksi saluran napas bagian atas juga
termasuk sebagai penyebab potensial. Epistaksis iatrogenik setelah dilakukannya
pembedahan pada organ hidung juga termasuk15.
Episode berulang dari epistaksis disebabkan oleh adanya penyakit pada nasofaring
atau sekitar hidung seperti polip dan lesi jinak atau ganas lainnya16. Kejadian angiofibroma
juvenile harus selalu dieksklusikan pada anak yang mengalami kejadian epistaksis berat yang
berulang17. Penggunaan obat tetes hidung atau semprotan; obat-obatan pengencer darah
dan steroid18,19 dan penyakit sistemik dapat mempengaruhi pembekuan darah dan keadaan
pembuluh darah juga diduga termasuk ke dalam faktor risiko yang mungkin20. Sebagian besar
faktor risiko tersebut didukung oleh sumber literatur tingkatan rendah, terutama studi
retrospektif dan laporan kasus serial. Hal ini membuat validitas hasil tersebut sangat
dipertanyakan karena pada studi ini terdapat insidensi yang tinggi dalam bias seleksi, bias
penampilan dan faktor perancu21.
Pencarian literatur dengan cermat mengungkap bahwa tidak adanya temuan RCT pada
dampak dari berbagai faktor yang berbeda saat insidensi epistaksis. Hal ini dapat dijelaskan
sesuai dengan hasil yang diharapkan. Sebuah uji coba acak dalam menilai faktor risiko
epistaksis akan membutuhkan persyaratan dari sejumlah besar subjek yang dipilih secara
tepat untuk memiliki karakteristik dasar yang sama. Setelah randomisasi, subjek sebaiknya
dikelola dalam jangka waktu yang lama hingga terjadi episode epistaksis. Subjek sebaiknya
juga dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, usia, suku, komorbiditas dan obat-obatan
yang berpotensi dapat memiliki efek aditif yang dapat berhubungan dengan kejadian
epistaksis. Selama periode tindak lanjut berkepanjangan, sebagian besar subjek dapat
memunculkan komorbiditas tambahan atau mengonsumsi obat baru atau hilang kontrol dalam
tindak lanjut dikarenakan pelemahan efek dari faktor utama yang telah diukur.
Satu SR terbukti menilai adanya hubungan antara epistaksis dan hipertensi. Sembilan
penelitian observasional retrospektif dipilih untuk disertakan dalam ulasan dan enam dari
penelitian tersebut menyimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan22. Namun demikian,
tercatat bahwa empat dari penelitian tersebut merupakan studi retrospektif tanpa kelompok
kontrol dan ukuran sampel kecil. Lima studi sisanya tidak memiliki kelompok kontrol yang
cocok tanpa alokasi acak. Pemantauan terhadap faktor perancu hanya tercatat dalam enam
studi.
Meta-analisis tidak dilakukan karena adanya heterogenitas yang tinggi dari studi
tersebut. SR dengan jelas menekankan fakta bahwa studi tersebut tidak membantu dalam
menjawab pertanyaan ulasan. Literatur yang tersedia terdiri dari studi retrospektif karenanya
dapat ditemukan bias recall dan bias seleksi sebagai hasil yang telah terjadi pada saat awal
dimulainya studi tersebut.
Hal ini memunculkan permasalahan dalam perekrutan dan pendaftaran kelompok
kontrol yang sesuai. Bias seleksi lebih kecil kemungkinannya terjadi pada RCT ini sebagai
hasil akhir yang tidak terjadi pada saat perekrutan.
Juga, dalam studi tanpa kelompok kontrol, data untuk perbandingan diperoleh dari
publikasi terdahulu, karenanya, menunjukkan bias kronologi dengan menggunakan kontrol
sejarah21. Smith et al. melakukan penelitian kohort prospektif untuk menilai efek pengobatan
antikoagulasi dan antiplatelet pada epistaksis. Mereka merekrut 290 pasien yang mengalami
epistaksis dengan periode lebih dari tujuh bulan tanpa menetapkan kriteria eksklusi. Pasien
dibagi menjadi empat kelompok berbeda: warfarin; aspirin; clopidogrel dan tidak menjalani
pengobatan. Mereka menemukan bahwa pasien pada kelompok warfarin dan antiplatelet
secara signifikan usianya lebih tua, membutuhkan periode rawat inap di rumah sakit lebih
lama dan lebih mungkin membutuhkan intervensi bedah meskipun tidak mencapai statistik
yang signifikan.
Keterbatasan utama dalam studi ini adalah bahwa mereka tidak mempertimbangkan
faktor perancu yang mungkin dapat memperpanjang masa rawat inap di rumah sakit pada
pasien di subkelompok ini24. Mereka seharusnya juga mempertimbangkan menggunakan uji
chi square dengan analisis post hoc berpasangan untuk menilai apakah kejadian epistaksis
dari empat subkelompok tersebut berbeda nyata secara statistik25 dari catatan, hasilnya mirip
dengan studi kohort prospektif sebelumnya yang menilai efek aspirin dalam kejadian
epistaksis berat. Pasien yang menggunakan aspirin kemungkinan secara statistik lebih tinggi
untuk mengalami epistaksis yang parah dan berulang26.
Makalah penelitian lain yang menarik dari Mayo Clinic mempelajari efek lebih dari
50 faktor risiko potensial terjadinya epistaksis dalam probabilitas bahwa pasien yang
mengalami kekambuhan. Ini merupakan studi kohort retrospektif sampel ukuran besar
dengan kontrol sesuai yang hanya mengalami satu episode epistaksis. Analisis regresi COX
dilakukan dan hazard ratio dihitung pada masing-masing demografi pasien, faktor risiko
lokal dan sistematis. Gagal jantung kongestif, anemia, diabetes, hipertensi dan warfarin
secara statistik merupakan prediktor signifikan dari kekambuhan epistaksis sedangkan faktor
klasik lainnya tidak menghasilkan statistik yang signifikan27.
Penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu bias recall karena pengumpulan data
retrospektif. Studi prospektif lebih lanjut menilai faktor-faktor risiko tersebut diperlukan
untuk mengurangi kemungkinan kesalahan sistematis dan memvalidasi hasil penelitian ini.
Alur penatalaksanaan
Setiap pasien dalam keadaan darurat dengan epistaksis harus dinilai keseluruhan dan
diresusitasi dengan tepat terkait dengan protokol airway, breathing dan circulation1.
Dilanjutkan dengan stabilisasi tanda-tanda vital pasien untuk menghentikan perdarahan yang
terjadi. Persiapan hidung sangat penting. Membersihkan rongga hidung dan memberikan
anestesi lokal memungkinkan visualisasi optimal dari kemungkinan sumber perdarahan.
Dapat di kauterisasi dengan menggunakan AgNO3 yang merupakan teknik kauterisasi paling
yang paling umum atau dengan menggunakan elektrokauter yang paling sering digunakan
dalam penatalaksanaan non-akut11.
Jika manuver ini gagal menghentikan pendarahan, pemasangan tampon di rongga
hidung anterior dengan atau kasa pita diolesi dengan vaseline atau pasta parafin bismuth
iodoform dapat dilakukan. Jika pendarahan masih berlanjut, pemasangan tampon posterior
lanjutan dapat dipertimbangkan. Hal ini dapat dilakukan dengan memasukkan balon atau kain
kasa di koana hidung posterior. Pemasangan tampon anterior atau posterior harus tetap
dipertahankan selama 24-48 jam dan pasien harus dipantau di lingkungan rumah sakit28.
Keberhasilan tatalaksana epistaksis dinilai setelah pengeluaran tampon. Sebagian
besar kasus epistaksis ditatalaksana dengan teknik yang telah dibahas di atas. Kasus refrakter
akan membutuhkan intervensi bedah menggunakan anestesi umum. Pilihan pembedahan
meliputi: diatermi; operasi septum; ligasi arteri sfenoplatina dan ligasi arteri etmoidalis
anterior dan/atau posterior.
Pada kasus yang lebih berat, ligasi arteri maksila atau arteri karotis eksternal dapat
dilakukan. Pilihan penatalaksanaan lain yang meliputi: embolisasi pembuluh darah dengan
hasil yang sangat baik dalam kasus refrakter29; aplikasi lem fibrin dan elektrokauter di bawah
pengaruh anestesi umum30,31. Akhir-akhir ini, penggunaan laser dan asam traneksamat yang
diinjeksi secara lokal telah terbukti untuk mengatasi kejadian epistaksis32,33. Pada sejumlah
kecil RCT dan SR ditemukan bahwa perbandingan antara keefektifan teknik yang disebutkan
sebelumnya.
Yang et al. melakukan SR untuk membandingkan keefektifan dari dua bahan tampon
hidung anterior yang sering dijumpai: Merocel dan Rapid rhino. Total dari empat RCT
dimasukkan dalam ulasan mereka. Meskipun percobaan independen ini memiliki ukuran
sampel kecil setelah meta-sintesis tidak tampak adanya heterogenitas. Ditemukan bahwa
rapid rhino lebih mudah ditoleransi pada pasien dengan skala analog ketidaknyamanan dan
nyeri yang lebih rendah.
Itu juga lebih mudah dalam prosedur dan cenderung menyebabkan nyeri dan
perdarahan saat dikeluarkan. Tidak ada perbedaan yang ditemukan dalam kemanjuran kontrol
perdarahan meskipun confidence interval (CI) 95% cukup besar dan trennya menunjukkan
bahwa tampon yang menggunakan rapid rhino menunjukkan hasil yang lebih baik dalam
menghentikan perdarahan34. Sebuah RCT dengan ukuran sampel yang lebih besar akan lebih
membantu dalam menjawab pertanyaan kemanjuran ini dengan memungkinkan evaluasi efek
tatalaksana dengan interval kepercayaan yang lebih sempit23.
SR terkini telah membandingkan efek dari beberapa pilihan penatalaksanaan yang
berbeda untuk menghentikan epistaksis berulang pada anak-anak35. Kriteria inklusi telah
dirancang dengan baik untuk menghilangkan bias. Studi mereka setidaknya memiliki 10
peserta di setiap kelompok dan peserta dengan data yang hilang di eksklusi. Mereka juga
menjaga populasi tetap homogen dengan hanya memasukkan anak-anak yang menderita
epistaksis berulang spontan dengan penyebab yang tidak diketahui serta mengeksklusi anak-
anak dengan angiofibroma juvenile yang akan membutuhkan pembedahan17.
Mereka menyimpulkan bahwa penggunaan krim antiseptik efektif dalam
mengendalikan perdarahan bila dibandingkan dengan kelompok yang tidak menerima
pengobatan. Terdapat perbedaan dengan SR sebelumnya yang tidak menemukan adanya
perbedaan antara dua kelompok36. Batasan dari SR kedua ini merupakan bukti bahwa tidak
terdapat keinginan untuk tetap memasukkan analisis dalam uji coba ini dan mereka memiliki
kriteria eksklusi yang kurang ketat serta memasukkan penelitian dengan ukuran sampel yang
kecil sehingga menimbulkan bias reporting dan meningkatkan kemungkinan terjadinya
kesalahan sistematis.
McGarry juga melihat perbedaan di antara aplikasi krim antiseptik versus kauterisasi
AgNO3. Dia memasukkan satu RCT dalam analisis subkelompok ini yang melaporkan tidak
ada perbedaan antara dua tatalaksana tersebut. Tercatat baik nilai p maupun interval
kepercayaan yang dikutip dalam RCT ini yang membuat analisis statistik sangat
dipertanyakan yang digunakan untuk mengukur efek pengobatan. Akhirnya, ketika dia
melihat efek dari krim antiseptik dengan kauter versus krim saja dia menemukan bahwa
pasien dengan pengobatan ganda tersebut mengalami kekambuhan yang lebih ringan dan
jarang35. Satu RCT dimasukkan dalam analisis ini yang memiliki jumlah pasien terbanyak
yang ditemukan di uji coba dari pertanyaan penelitian ini. Karena itu hasilnya lebih
cenderung menjadi sampel representatif dari populasi. Hal tersebut juga double blinded
sehingga membatasi kejadian bias penampilan37. Efektivitas krim antiseptik pada orang
dewasa belum diteliti dalam RCT.
Sebuah SR yang dilakukan satu dekade lalu menekankan fakta bahwa tidak ada studi
prospektif dan RCT untuk membandingkan berbagai penatalaksanaan bedah epistaksis. Hasil
dari studi retrospektif menunjukkan bahwa pasien tersebut memiliki pemulihan yang lebih
baik setelah ligasi dari arteri sfenopalatina dibandingkan dengan ligasi arteri maksilaris38.
Tidak ada penelitian lebih lanjut yang didapat sesuai dengan ulasan tersebut dan hal ini
mencerminkan fakta bahwa randomisasi dan pengumpulan data prospektif adalah hal yang
sulit ketika modalitas intervensi berbeda dinilai dalam keadaan darurat.

Kesimpulan:
Epistaksis adalah keadaan darurat THT yang paling umum ditemui. Banyak faktor telah
diduga untuk berkontribusi dalam kejadian epistaksis tetapi kualitas penelitian perlu
ditingkatkan, dengan lebih fokus pada sumber literatur tingkat 1. Pasien yang menjalani
terapi antikoagulasi dan mereka yang menderita penyakit sistemik dengan kecenderungan
peningkatan perdarahan telah terbukti menderita epistaksis yang lebih parah dan berulang.
Penatalaksanaan epistaksis disertai dengan pendekatan sistematis mulai dari resusitasi dasar
diikuti dengan teknik untuk menghentikan pendarahan. Pemasangan tampon dengan
menggunakan rapid rhino ditoleransi dengan baik oleh pasien dewasa. Terdapat bukti yang
bagus dalam menunjukkan manfaat krim antiseptik dalam tatalaksana epistaksis pada anak-
anak. Studi serupa kurang ditemui pada populasi orang dewasa. Dibutuhkannya RCT
multisenter yang luas untuk membandingkan berbagai penatalaksanaan pembedahan dan
konservatif serta kemanjurannya dalam teknik embolisasi.

Anda mungkin juga menyukai