Anda di halaman 1dari 57

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Epistaksis merupakan pendarahan yang keluar dari rongga hidung dan

nasofaring, sumber pendarahan biasanya berasal dari bagian anterior dan posterior

hidung. Penyakit ini disebabkan oleh kelainan lokal misalnya trauma,kelainan

anatomi, dan tumor, maupun sistemik, pendarahan yang paling sering adalah dari

pleksus Kiessel-bach’s. Epistaksis bukan merupakan suatu penyakit melainkan

gejala dari suatu kelainan yang mana hampir 90% dapat berhenti sendiri.1,8

World Health Organization (WHO) menyampaikan bahwa epistaksis

terbanyak dijumpai pada usia anak 2-10 tahun dan dewasa 50-80 tahun, epistaksis

juga cenderung lebih sering terjadi pada laki-laki yaitu sebesar 58% dibandingkan

dengan perempuan sebesar 42%. Di Amerika Serikat, angka kejadian epistaksis

dijumpai 1 dari 7 penduduk. Epistaksis bagian anterior sangat umum dijumpai

pada anak dan dewasa, sementara epistaksis posterior sering pada orang tua

dengan riwayat penyakit hipertensi atau arteriosklerosis.1,2

Pada peneitian yang dilakukan oleh Adnan Meteb Mohamed Almezani

yang dilakukan di Arab Saudi pada Oktober 2018 dengan menggunakan metode

penelitian cross sectional pada prevalensi epistaksis, ditemukan 45,4% adalah

laki-lakisan 54,6%adaah perempuan, dan didapati bahwa 52,6% antara usia 20

sampai 30 tahun. Mengenai pasienyang mengalami epistaksis, 27% dari peserta

1
2

memiliki perdarahan hidungdan 73% tidak memiliki perdarahan hidung.pada

pasien epistaksis 17,4% mencari bantuan medis dan 16,3% mencoba obat

tradisional untukmenghentikan perdarahan, 5,6% menggunakan antikoagulan,

49% memiliki riwayat keluarga yang positif perdarahan hidung dan 9,4%

memiliki penyakit kronis.27

Penelitian yang sama juga dilakukan diArab Saudi yang dilakukan oleh

Mohammed Sami Alhaddad pada tahun 2017 dengan menggunakan metode

penelitian cross-sectionaldari 1.114 peserta yang dilakukan di Kerajaan Arab

Saudi, dan data yang terkumpul dengan menggunakan SPSS didapati 209

(18,7%) berada pada kelompok usia 1-20 tahun, 539 peserta (48,3%) yang

mewakili keompok usia 21-34,dan 241 (21,6%) kelompokusia 35-50, sementara

150 (13,4%) peserta mewakili kelompok usia 51-60 dan 23 (2%) peserta dengan

usia 60 tahun. Mengenai rentang usia pasien epistaksis dalamjumlah studi sample

103 (62,2%) berada pada kelompok usia 1-20 tahun, sedangkan 265 (49,2%)

berada pada usia 21-34 tahun, 241 (43,6%) usia 35-50 tahun dan 49 (39,2%)

merupakan epistaksis pasien diatas 50 tahun. Berdasarkan jenis kelamin laki-laki

lebih sering mengalami epistaksis dengan prevalensi 100% dan perempuan

43,6%. Berdasarkan tempat tinggal 496 (48,1 %) peserta adalah warga perkotaan

lebihrentanterkena epistaksis dari pada pedesaan dengajumlah peserta 53

(63,9%).28

Penelitian prevalensi epistaksis di Arab Saudi meneiti bahwa 149 (27,2%)

pasien epistaksis dengan memiliki kondisi medis yang kronis, dan 99 (18%) yang

mengalami hipertensi, sedangkan 37 (7%) pasien epistaksis menderita anemia.28


3

Pada Januari 2002 sampai Agustus 2007 berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh Etnic Comitte of Hospital Clinicals, Faculty of Medicine in Brazill

tercatat 40 pasien yang terdiagnosis dengna epistaksis dimana 27 pasien (67,5%)

adalah perempuan dan 13 pasien (32,5%) laki-laki. Usia berkisar antara 4 sampai

78 tahun, tetapi rata-rata terjadi pada usia 20-40 tahun, dan usia anak SD. Faktor

predisposisi dimana 15 pasien (37,5%) epistaksis muncul sebagai komplikasi

paska operasi dalam prosedur bedah THT (septoplasty dikombinasikan atau tidak

dengan turbinectomy, adenotonsilectomy, rhinoplasty, atau bedah sinus paranasal

endoskopi), 24 pasien (53%) mengalami perdarahan paska operasi.26

Berdasarkan penelitian dari Delovia Stasya, ditemukan bahwa epistaksi

paling sering terjadi pada anak-anak.5 Pada penelitian dari Bidasari Lubis, Rina A

C Saragih , ditemukan bahwa epistaksis sering dijumpai pada 60% dari populasi

umum dan insiden terbanyak pada usia kurang dari 10 tahun dan lebih dari 50

tahun.1 kemudian penelitian Bestari J Budiman, Al Hafi, mengatakan bahwa

hubungan epistaksis dan hipertensi ada kecendrungan peningkatan yang terjadi

pada pasien dengan hipertensi lama.4

Berdasarkan penelitian Merry P Limen, Ora P, Ronny T, Kandou Manado

Periode Januari 2010 – Desember 2012”, mengatakan dengan penelitian deskriptif

restrospektif, ditemukan 1048 penderita epistaksis dari 12.981 pasien.

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada tahun 2010 menunjukan distribusi

frekuensi penderita terbanyak pada bulan Juli 36 kasus (8,16%), sedangkan pada

bulan Desember 10 kasus (5,15%) . pada tahun 2011, bulan oktober terjadi 50

kasus (13,74%), sedangkan bulan februari 20 kasus (5,49%). Tahun 2012 hsil
4

yang didapat terbanyak pada bulan oktober 37 kasus (9,87%) sedangkan pada

bulan desember 11 kasus (2,98%). Distribusi jenis kelamin yang didapat pada

penelitian ini adalah penderita laki-laki lebih banyak dari pada penderita penderita

perempuan walaupun tidak ada perbedaan yang terlalu jauh pada jumlah penderita

laki-laki dan perempuan. 533 pasien laki-laki dengan presentase 50,86% dan

perempuan 525 pasien dengan presentase 49,14% dari total 1048 penderita selama

periode januari 2010 sampai desember 2012.26

Pada penelitian ini distribusi berdasarkan penyebab epistaksis yang terbanyak

adalah penyebab sistemik yaitu 613 penderita (58,49%). Epistaksis dengan

penyebab sistemik ini sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi,

perdarahan biasanya lebih hebat dan jarang berhenti sendiri. Kemudian disusul

dengan penyebab lokal dengan jumlah penderita sebanyak 387 orang (36,93%).26

Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai tingkatan epistaksis RSUD dr. M. Haulussy Ambon.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dari penelitian

iniadalah mengetahui prevalensi epistaksis berdasarkan usia, jenis kelamin, dan

penyebab yang dirawat di RSUD Dr.M. Haulussy Ambon, tahun 2019.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari pemelitian ini adalah unuk mengetahui Prevalensi

Epistaksis di RSUD. M. Haulussy Ambon, Tahun 2019.


5

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui prevalensi epistaksis berdasarkan jenis kelamin.

b. Untuk mengetahui prevalensi epistaksis berdasarkan usia.

c. Untuk mengetahui prevalensi epistaksis berdasarkan faktor penyebab.

d. Untuk mengetahui prevalensi epistaksis berdasarkan tempat tinggal.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Bagi Masyarakat

Sebagai tolak ukur tingkat pengetahuan dan bahan informasi mengenai

gejala serta pencegahan dari epistaksis bagi masyarakat umum.

1.4.2. Bagi Institusi

Sebagai tambahan data mengenai prevalensi kasus epistaksis serta bahan

referensi bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian serupa.

1.4.3. Bagi Peneliti

Sebagai tambahan pengetahuan bagi peneliti mengenai prevalensi

epistaksis.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Anatomi Nasal

Hidung terdiri atas hidung luar dan cavum nasi. Cavum nasi dibagi oleh

septum nasi menjadi dua bagian, kanan dan kiri.9

2.1.1.1. Hidung Luar

Bagian luar hidung berbentuk seperti piramid, dan terdapat beberapa

bagian yang membentuk luar hidung pangkal hidung (bidge), bagian hidung

mulai dari radiks sampai apeks nasi disebut dorsum nasi. Lubang hidung (nares

anterior) kanan dan kiri dipisahkan oleh sekat yang disebut (kolumela). Disebelah

lateral dibatasi oleh ala nasi kanan dan kiri.25 Pinggir lateral, ala nasi, berbentuk

bulat dan dapat digerakkan. Rangka hidung luar dibentuk oleh os nasale,

processus frontalis maxillaris, dan pars nasalis ossis frontalis. Rangka hidung

dibentuk oleh lempeng-lempeng tulang rawan hialin.9

6
7

Gambar 2.1. Bagian luar hidung


Sumber : Limen P M, Palandeng O, Tumbel R. Epistaksis Diplomatik THT-KL Blu RSUP
Prof. DR. D. Kandou Manado Priode Januari 2010- Desember 2012. Jurnal e-Biomedik
(eBM). Vol 1. No 1. Maret 2013, Hal.478-483

Gambar 2.2. Hidung luar tampak anterolateral


Sumber : Nagel Patrick dan Gurkov Robet. 2012. Dasar-dasar Ilmu THT. Edisi ke-
12. Jakarta: EGC
8

Gambar 2. Hidung luar tampak inferior


Sumber : Nagel Patrick dan Gurkov Robet. 2012. Dasar-dasar Ilmu THT. Edisi ke-12.
Jakarta: EGC

2.1.1.2. Cavum Nasi

Cavum nasi terbentang dari nares di depan sampai ke apertura nasalis

posterior atau choanae di belakang, di mana hidung bermuara ke dalam

nasopharynx. Vestibulum nasi adalah area di dalam cavum nasi yang terletak tepat

di belakang nares. Cavum nasi dibagi menjadi dua bagian kiri dan kanan oleh

septum nasi. Septum nasi dibentuk oleh cartilago septi nasi, lamina verticalis osis

ethmoidalis, dan vomer.9

2.1.1.3. Dinding Cavum Nasi


9

Setiap belahan cavum nasi mempunyai dasar, atap, dinding lateral dan

dinding medial atau dinding septum.9

Gambar 2.4. Tulang penyusun cavum nasi


Sumber : Nagel Patrick dan Gurkov Robet. 2012. Dasar-dasar Ilmu THT. Edisi ke-12.
Jakarta: EGC

A. Dasar

Dasar dibentuk oleh processus palatinus Os. maxilla dan lamina

horizontalis ossis palatini.9,11

B. Atap

Atap sempit dan dibentuk di sebelah anterior mulai dari bagian bawah

batang hidung oleh Os. nasale dan Os. frontale, di tengah oleh lamina

cribrosa ossis ethmoidalis, terletak di bawah fossa cranii anterior, dan di

sebelah posterior oleh bagian miring ke bawah corpus ossis

sphenoidalis.9,11
10

C. Dinding Lateral

Dinding lateral juga mempunyai tiga tonjolan tulang yang disebut dengan

concha nasalis superior, media, dan inferior. Area dibawah setiap concha

disebut meatus nasi.9,11

Gambar 2.5. Conchadan meatus nasalis

Sumber : Schuke M, Schulte E, Schumcher U. Prometheus Atlas Anatomi Manusia

Kepala Leher dan Neuroanatomi. Ed 3. Germany: EGC; 2018

D. Recessus Sphenoethmoidalis

Recessus sphenoethmoidalis adalah sebuah daerah kecil yang terletak di

atas concha nasalis superior. Di daerah ini terdapat muara sinus

sphenoidalis.9

E. Meatus Nasi Superior


11

Meatus nasi superior terletak di bawah concha nasalis superior. Disini

terdapat muara sinus ethmoidales posterior.9

F. Meatus Nasi Media

Meatus nasi media terletak di bawah concha nasalis media. Meatus ini

mempunyai tonjolan bulat disebut bulla ethmoidalis, yang dibentuk oleh

sinus ethmoidalis medii yang bermuara pada pinggir atasnya. Sebuah celah

melengkung, disebut hiatus semilunaris, terletak tepat dibawah bulla.

Ujung anterior hiatus yang menuju kedalam sebuah saluan berbentuk

corong disebut infundibulum, yang akan berhubungan dengan sinus

frontalis. Sinus maxillaris bermuara ke dalam meatus nasi media melalui

hiatus semiulnaris. 9

G. Meatus Nasi Inferior

Meatus nasi inferior terletak dibawah concha nasalis inferior dan

merupakan tempat muara dari ujung bawah ductus nasolacrimalis.9

H. Dinding Medial

Dinding medial dibentuk oleh septum nasi. Bagian atas dibentuk oleh

larnina verticalis ossis ethmoidalis dan os. vomer bagian anterior dibentuk

oleh cartilago septalis. Septum ini jarang terletak pada bidang median,

sehingga belahan cavum nasi yang satu lebih besar dari belahan sisi

lainnya.9

2.1.1.4. Membrana Mucosa Cavum Nasi


12

Vestibulum dilapisi oleh kulit yang telah mengalami modifikasi dan

mempunvai rambut yang kasar. Area di atas concha nasalis superior dilapisi

membrana mucosa olfactorius dan berisi ujung – ujung saraf sensitif reseptor

penghidu Bagian bawah cavurm nasi dilapisi oleh membrana mucosa

respiratorius. Di daerah respiratorius terdapat sebuah anyaman vena yang besar di

dalam submucosa jaringan ikat.9,10

2.1.1.5. Persarafan Cavum Nasi

Nervus olfactorius yang berasal dari membrana mucosa olfactorius

berjalan ke atas melalui lamina cribrosa os. ethmoidale menuju ke bulbus

olfactorius. Saraf untuk sensasi umum merupakan cabang-cabang nervus

ophthalmicus (N.V1) dan nervus maxillaris (N.V2) divisi nervus trigeminus. 9,10

Gambar 2.6 . PersarafanCavum Nasi


Sumber : Netter FH. Atlas Of Human Antony. Ed 6. Philadelphia: Elsevier; 2014

2.1.1.6. Vaskularisasi Cavum Nasi


13

Vaskularisasi cavum nasi berasal dari cabang-cabang arteria maxillaris,

yang merupakan salah satu cabang terminal arteria carotis externa. Cabang yang

terpenting adalah arteria sphenopalatina. Arteria sphenopalatina beranastomosis

dengan ramus septalis arteria labialis superior yang merupakan cabang dari arteria

facialis di daerah vestibulum. Darah di dalam anyaman vena submucosa dialirkan

oleh vena-vena yang menyertai arteri.9 Pada bagian depan septum terdapat sebuah

area kaya pembuluh darah, yaitu Locus Kieselbachi (tonjolan berwarna), tempat

ini merupakan sumber perdarahan pada mimisan (epistaksis).10

Gambar 2.7 . Vaskularisasi CavumNasi


Sumber : Netter FH. Atlas Of Human Antony. Ed 6. Philadelphia: Elsevier; 2014

2.1.1.7. Fungsi Hidung


14

Fungsi hidung yaitu untuk jalan nafas, alat pengukur kondisi udara,

penyaring udara, sebagai indra penghidung, untuk resonasi suara, membantu

proses bicaradan refleks nasal.25

1. Sebgai jalan nafas pada inspirasi, untuk masuk melalui nares anterior, lalu

naik ke atas setinggi konka media kemudian turun ke bawah ke arah

nasofaring, sehingga aliran udara berbentuk lengkungan atau arkus. Pada

ekspirasi, udara masuk melalui konka dan kemudian mengikuti jalan yang

sama seperti udara inspirasi, akan tetapi dibagian depan aliran udara

memecah, sebagian akan melalui nares anterior dan sebagian lain akan

kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran

udara.25

2. Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk mempersiapkan

udara yang akan masuk ke dalam alveolus paru. Fungsi ini dilakukan dengan

cara mengatur kelembapan udara, dan dilakukan oleh palut lendir. Mengatur

suhu fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh darah di bawah

epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas, sehingga radiasi

dapat berlangsung secra optimal, dengan demikian suhu udara kurang lebih

37ºC.25

3. Sebagai penyaringan dan perlindungan berguna untuk membersihkan udara

inspirasi dari debu dilakukan oleh rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi,

silia, selaput lendir (mucous blankel). Debu dan bakteri akan lengket pada

selaput lendir dan partikel besar dikeluarkan melalui refleks bersin. Selaput
15

lendir ini akan dialirkan ke nasofaring dan oleh gerakan silia. Enzim yang

dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri disebut lyspzime.25

4. Hidung juga berkerja sebagai indra penghidung dengan adanya mukosa

olfaltorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas

septum. Partikel bau bisa mencapai daerah ini dengan cara defusi dengan

selaput lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.25

5. Resonasi suara oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan

menyanyi. Sumbatan di hidung menyebabkan resonasi suara berkurang atau

hilang, sehingga terdengar suara sangau. Hidung membantu proses

pembentukan kata-kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir dan palatum mole.

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan

saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan.25.

2.1.2. Epistaksis

2.1.2.1. Defenisi

Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung atau

nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari penyakit lain

yang kebanyakan ringan dan dapat berhenti sendiri. Walaupun jarang, epistaksis

yang berat merupakan masalah kegawatdaruratan yang dapat berakibat fatal bila

tidak segera ditangani.14,15

2.1.2.2. Epidemiologi

Epistaksis diperkirakan terjadi pada 60% orang di seluruh dunia selama

masa hidup mereka, dan sekitar 6% dari mereka dengan epistaksis datang ke
16

pelayanan kesehatan. Prevalensi meningkat pada anak-anak kurang dari 10 tahun

dan kemudian naik lagi setelah usia 35 tahun. Umumnya, laki-laki yang sedikit

terkena dibanding wanita sampai usia 50 tahun, tapi setelah 50 tahun tidak ada

perbedaan yang signifikan seperti data yang telah dilaporkan. Epistaksis biasanya

dibagi menjadi epistaksis anterior dan posterior, tergantung pada lokasi asalnya.

Epistaksis anterior timbul dari kerusakan pleksus Kiesselbach pada bagian bawah

dari septum hidung anterior, dikenal sebagai daerah Little area, sedangkan

epistaksis posterior timbul dari kerusakan arteri septum nasal posterior. Epistaksis

anterior lebih sering terjadi dari pada epistaksis posterior, yaitu sekitar 80% kasus

epistaksis. Etiologi epistaksis dapat dibagi menjadi penyebab lokal atau sistemik,

bahkan meskipun telah dibedakan seringkali dibuat istilah "Epistaksis idiopatik"

yang digunakan pada sekitar 80-90% kasus. Etiologi dari epistaksis telah

dilaporkan bervariasi dengan usia dan lokasi anatomi. Epistaksis traumatis lebih

sering terjadi pada orang muda (dibawah usia 35 tahun) dan paling sering

disebabkan oleh trauma digital, cedera wajah, atau benda asing di rongga hidung.

Epistaksis non-traumatik umumnya pada pasien yang lebih tua (di atas usia 50

tahun) dan mungkin karena kegagalan organ, kondisi neoplastik, peradangan, atau

faktor lingkungan (suhu, kelembaban, ketinggian). Epistaksis yang terjadi pada

anak-anak kurang dari 10 tahun biasanya ringan dan berasal dari hidung anterior,

sedangkan epistaksis yang terjadi pada individu lebih tua dari 50 tahun lebih

mungkin untuk menjadi parah dan berasal dari posterior. Epistaksis menimbulkan

risiko yang lebih besar pada orang tua dan mengalami perburukan klinis jika

kehilangan darah yang signifikan.21


17

2.1.2.3. Etiologi

Epistaksis sering kali timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya,

kadang-kadang disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh

kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya

trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing,

tumor, pengaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit

kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir,

kelainan hormonal dan kelinan kongenital.15,16

A. LOKAL

1. Trauma

Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung,

benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebgai

akibat trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan

lalul-lintas. Selain itu juga bisa terjadi akibat adanya benda asing tajam atau

trauma pembedahan misalnya pemasangan pipa nasogastrik dan pipa

nasotrakea. Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang

tajam. Perdarahan dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa

konka yang berhadapan bila konka itu sedang mengalami

pembengkakan.17,18

2. Infeksi lokal

Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rinitis

atau sinusitis. Bisa juga pada infeksi spesifik seperti rinitis jamur,

tuberkulosis, lupus, sifilis, aau lepra.17,18


18

3. Tumor

Epistaksis dapat timbul pada hemagioma dan karsinoma. Yang lebih sering

terjadi pada angiofibroma, dapat menyebabkan epistaksis berat. Contoh

lainnya pada neoplasma. Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma

biasanya sedikit dan intermitten, kadang-kadang ditandai dengan mukus

yang bernoda darah, neoplasma yang dapat menyebabkan epistaksis

masif.17,18

4. Kelainan kongenital

Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah perdarahan

telangiektasis herediter (hereditary hemorrhagic telangiectasis/Osler’s

disease). Penyakit ini merupakan kelainan pembuluh darah dimana terjadi

kerapuhan kapiler sehingga memudahkan terjadinya perdarahan.17,18

5. Pengaruh lingkungan

Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa.

Epistaksis sering terjadi pada udara yang kering dan saat musim dingin yang

disebabkan dehumidifikasi mukosa nasal. Angka kejadian epistaksis

meningkat jika terjadi kegagalan fungsi humidifikasi, atau ketika mukosa

hidung terpapar udara dingin dan kering sebagai faktor musiman. Angka

kejadian meningkat sejalan dengan penurunan suhu dan kelembaban. Pada

negara dengan empat musim, jumlah pasien biasanya meningkat di musim

dingin. Kunjungan meningkat 30% pada hari dimana temperatur dibawah

50C.19,20
19

6. Operasi

Perdarahan post operatif setelah bedah endoskopik skull base juga

memerlukan perhatian khusus, bukan hanya karena potensial untuk paparan

terhadap struktur penting neurovaskuler tetapi juga karena fakta bahwa

packing dapat potensial untuk terjadinya kerusakan neurologis yang tiba-

tiba.21,22

Gambar 2.8. Penyebab lokal epistaksis sekunder. A) Pasien HHT dengan telangiektasis pada
bagian anterior septum sisi kanan dan konka inferior. B) Granuloma piogenik pada internal valve
kanan pada pasien hamil. C) Inverted papilloma sisi kanan.
Sumber : Dafriani P. Buku Ajar dan Fisologi untuk Mahasiswa Kesehatan.Penerbit dan
Percetakan CV Berakah Prima. Jakarata. Jilid. 2019.

B. SISTEMIK

1. Kelainan darah

- Trombositopenia adalah keadaan dimana jumlah trombosit kurang dari

150.000/μl. Trombositopenia akan memperpanjang waktu koagulasi dan

memperbesar resiko terjadinya perdarahan dalam pembuluh darah yang

lebih kecil di seluruh tubuh.12


20

- Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi herediter yang diturunkan

secara Xlinked resesif, yang mana gangguan terjadi pada jalur intrinsik

mekanisme herediter, yaitu adanya defisiensi atau defek dari faktor

pembekuan VIII (hemofilia A) atau IX (hemofilia B). Darah pada

penderita hemofilia tidak dapat membeku secara normal, hal ini dapat

menyebabkan terjadinya epistaksis.12,13

- Leukemia adalah jenis penyakit kanker yang menyerang sel-sel darah

putih yang diproduksi oleh sumsum tulang. Sumsum tulang dalam tubuh

manusia memproduksi 3 tipe sel darah diantaranya lekosit, eritrosit dan

trombosit. Pada leukemia terjadi peningkatan pembentukan sel leukosit

sehingga menyebabkan penekanan pembentukan sel-sel darah lain di

sumsum tulang termasuk trombosit, sehingga terjadi trombositopenia

yang menyebabkan perdarahan mudah terjadi.12,13

- Epistaksis juga dapat terjadi dipengaruhi oleh Obat-obatan yaitu, obat

yang menyebabkan trombositopeni antara lain kemoterapi, quinidne,

golongan sulfa, H2 blockers, obat-obat diabetes oral, heparin, dan

alkohol.12

- Obat yang mempengaruhi koagulasi darah antara lain, warfarin, heparin.

Ada pun obat-obatan hebral yang mempengaruhi terjadinya epistaksis

yaitu, dong quai, danshen, feverfew, bawang jahe, gingko, ginseng.12

2. Penyakit kardiovaskular

- Hipertensi adalah peningkatan tekanan sistolik lebih dari 140 mmHg dan

tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg. Perdarahan yang terjadi akibat


21

kerapuhan pembuluh darah dan kontraksi pembuluh darah terus menerus

sehingga pembuluh darah yang rapuh mudah pecah.12,13

- Arteriosklerosis adalah terjadinya kekakuan pembuluh darah. Jika terjadi

keadaan tekanan darah meningkat, pembuluh darah yang tidak elastis

akan mengalami ruptur.12,13

3. Infeksi akut

Epistaksis dapat terjadi pada infeksi-infeksi akut seperti demam berdarah,

infeksi virus dengue akan mengakibatkan reaksi kompleks antigen-antibodi

yang akan mengaktivasi sistem komplemen dan juga menyebabkan agregasi

trombosit serta mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel

pembuluh darah. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan

pada demam berdarah. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari

perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit

mengakibatkan pengeluaran adenosine di phospat (ADP), sehingga

trombosit melekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit

dihancurkan oleh Reticulo Endothelial system (RES) sehingga terjadi

trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran

platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif

(koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan

fibrinogen degredation product (FDP) sehingga terjadi penurunan faktor

pembekuan.12

4. Gangguan hormonal
22

Epistaksis juga dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena

pengaruh perubahan hormonal.12

2.1.2.4. Patofisiologi

Epistaksis dapat dibagi menjadi dua menurut asal pendarahannya,

epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Hidung kaya akan sumber

vaskularisasi, yaitu Arteri Karotis Interna dan Arteri Karotis Eksterna. Sistem

arteri karotis eksterna memperdarahi hidung via arteri fasialis dan arteri maksila

interna. Arteri labial superior adalah salah satu cabang terminal dari arteri fasial.

Arteri tersebut memperdarahi dasar kavum nasi anterior dan septum anterior via

cabang septal. Arteri maksila interna masuk kedalam fossa pterigomaksila dan

bercabang menjadi a. alveola superior, arteri palatina descendens, arteri

infraorbita, arteri sfenopalatina, arteri Kanalis pterigoideus.12,13

Arteri karotis interna memberikan pendarahan ke hidung via arteri

oftalmika. Arteri ini memasuki daerah mata via fisura orbita superior dan terbagi

menjadi dua cabang yaitu arteri etmoid posterior yang keluar dari mata menuju

foramen etmoid posterior dan arteri etmoid anterior yang lebih besar

meninggalkan mata menuju foramen etmoid anterior. Keduanya terbagi menjadi

cabang septal dan cabang lateral untuk memperdarahi septum nasi dan dinding

nasi lateral.12,13

Hampir lebih dari 90% kasus terjadi pada daerah anterior dari Pleksus

Kiesselbach. Pleksus Kiesselbach adalah daerah anastomosis dari pembuluh darah

yang terletak pada daerah septum anterior bagian kartilagenus. Mendapatkan


23

pendarahan dari arteri karotis interna dan arteri karotis eksterna. Pleksus

Woodruff, merupakan pleksus pembuluh darah besar yang terletak pada bagian

posterior dari meatus inferior. Epistaksis posterior terjadi pada daerah belakang

kavum nasi, biasanya lebih profus. Perdarahan posterior memiliki kemungkinan

komplikasi jalan napas yang lebih tinggi, aspirasi darah, dan lebih sulit

ditangani.12

Gambar 2.9. Pembuluh darah dari septum dan lateral hidung23


Sumber : Bleier, BS. Epistaxis in Bailey Head and Neck Surgery-OtolaryngologyGifth
Edition. 2014

Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah

dan lanjut, terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media

menjadi jaringan kolagen. Perubhan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial

sampai perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut

memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika

media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada orang

yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis

memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah

ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma.22


24

Sumber perdarahan dapat dilihat dari asal perdarahan, epistaksis dibagi

menjadi epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Untuk penatalaksanaannya.

Penting utntuk dicari sumber perdarahannya walaupun kadang sulit.12

a. Epistaksis Anterior

Kebanyakan berasal dari pleksus kisselbach di setum bagian anterior atau

dari arteri etmoidalis anterior. Perdarahan pada septum anterior biasanya

ringan karena keadaan mukosa yang hieremis atau kebiasaan mengorek

hidung dan kebanyakan terjadi pada anak, seringkali berulang dan dapat

berhenti sendiri.12

b. Epistaksis Posterior

Dapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina.

Peradarahan biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri. Sering

ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arterosklerosis atau pasien

dengan penyakit kardiovaskuler karena pecahnya arteri sfenopalating.12

2.1.2.5. Diagnosis

A. Anamesis

Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian

depan dan belakang hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung

tempat awal terjadinya perdarahan atau pada bagian hidung yang

terbanyak mengeluarkan darah. Kebanyakan kasus epistaksis timbul

sekunder trauma yang disebabkan oleh mengorek hidung menahun


25

atau mengorek krusta yang telah terbentuk akibat pengeringan mukosa

hidung berlebihan. Penting mendapatkan riwayat trauma terperinci.

Riwayat pengobatan atau penyalahgunaan alkohol terperinci harus

dicari. Banyak pasien minum aspirin secara teratur untuk banyak

alasan. Aspirin merupakan penghambat fungsi trombosit dan dapat

menyebabkan pemanjangan atau perdarahan. Penting mengenal bahwa

efek ini berlangsung beberapa waktu dan bahwa aspirin ditemukan

sebagai komponen dalam sangat banyak produk. Alkohol merupakan

senyawa lain yang banyak digunakan, yang mengubah fungsi

pembekuan secara bermakna.3,12

B. Pemeriksaan Fisik

Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala,

spekulum hidung dan alat penghisap (bila ada) dan pinset bayonet,

kapas, kain kasa. Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus

ditempatkan dalam posisi dan ketinggian yang memudahkan

pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau

mengeksplorasi sisi dalam hidung.3,6,12

Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap

dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun

darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan semua lapangan

dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor

penyebab perdarahan. Setelah hidung dibersihkan, dimasukkan kapas

yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2%


26

atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke

dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat

vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti.

Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan

dilakukan evaluasi.3,6,12

Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah

dari hidung yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang

berbeda dengan pasien dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas

utamanya adalah menghentikan perdarahan.

Pemeriksaan yang diperlukan berupa :

1. Rinoskopi Anterior

Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke

posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding

lateral hidung dan konkha inferior harus diperiksa dengan cermat.


3,6

2. Rinoskopi Posterior

Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada

pasien dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk

menyingkirkan neoplasma. 3,6

3. Pengukuran Tekanan Darah

Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis

hipertensi, karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang

hebat dan sering berulang. 3,6


27

C. Pemeriksaan Penunjang

1. Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI

Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali

neoplasma atau infeksi. Endoskopi hidung untuk melihat atau

menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya.3

2. Endoskopi

Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan

penyakit lainya.3

Gambar 2.10. Gambaran endoskopi pada epistaksis posterior

Sumber : Endang, M.,Retno,W. (2008).Epistaksis. Seopardi E A, IskandarNH. Buku Ajar

Ilmu KesehatanTHT-KL,Edisi ke-6. Jakarata: Baai Penerbit FK UI: hal 155-9.

3. Skrining terhadap koagulopati

Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu

tromboplastin parsial, jumlah platelet dan waktu perdarahan.3


28

2.1.2.6. Penatalaksanaan

Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah perbaiki keadaan umum, cari

sumber perdarahan, hentikan pendarahannya, kemudian pemeriksa mencari faktor

penyebab untuk mencegah berulangnya perdarahan.6,12

Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan umumnya, nadi,

pernapasan serta tekanan darahnya.bila ada kelainan, atasi terlebih dahulu

misalnya memasang infus. Jalan napas dapat tersumbat oleh darah atau bekuan

darah, perlu untuk di bersihkan atau diisap.6,12

Untuk dapat menghentikan pendarahan perlu dicari sumbernya, setidaknya

dilihat apakah adanya perdarahan dari anterior atau posterior. Alat-alat yang

diperlukan untuk pemeriksaan ialah lampu kepala, spekulum hidung dan alat

pengisap. Anamesis yang lengkap sangat membantu dalam menentukan sebab

perdarahan.6,12

Pasien epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah mengalir

keluar dari hidung sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaannya melemah

sebaiknya setengah duduk atau berbaring dengan kepala yanga ditinggikan. Harus

perhatikan jangan sampai darah mengalirke saluran napas bawah.6,12

Pasien anak dipangku, badan dan tangan dipeluk, kepala dipegangi agar tegak dan

tidak bergerak-bergerak.6,12

Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari darah dan

bekuan darah dengan bantuan alat penghisap. Kemudian pasang tampon


29

sementara yaitu kapas yang telah dibasahi dengan adernalin1/5000-1/10.000 dan

pantocain atau lidoain 2% dimasukan kedalam rongga hidung untuk

menghentikan perdarahan mengurangi rasa nyeri pada saat dilakukan tindakan

selanjutnya. Tampon itu dibiarkan selama 10-15 menit. Setelah terjadi

vasokontriksi biasanya dapat dilihat apakah perdarahannya berasal dari bagian

anterior atau posterior.6,12

Cara-cara menghentikan perdarahan berdasarkan penyebab dari epistaksis :

a) Perdarahan Anterior

Perdarahan anterior sering kali berasal dari pleksus kisselbach di

septumbagian depan. Apabila tidak berhenti dengan sendirinya,

perdarahan anterior, trauma pada anak, dapat dicoba dihentikan dengan

menekan hidung dari luar selama 10-15 menit, seringkali berhasil.6,12

Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik

dengan larutan Nitras Argenti (AgNO3)25-30%. Sesudahnya area tersebut

diberi krim antibiotik.6,12

Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsusng, maka

perlu dilakukan pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau

kasa yang diberikan pelumas vaselin atau salep antibiotik . pemakaian

pelumas ini agar tampon dengan mudah dimasukkan dan tidak

menimbulkan perdarahan baru saat dimasukan atau dicabut. Tampon

dimasukan dengan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan teratur dan harus

dapat menekan asal perdarahan. Tampon dipertahankan selama 2x24 jam,


30

harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung.selama 2 hari ini

dilakukan pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor penyebab

epistaksis. Bila perdarahan masih belum berhenti, dipasang tampon

baru.6,12

b) Perdarahan Posterior

Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya

perdarahan hebat dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan

rinoskopi anterior.6,12

Untuk menaggulagi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon

posterior, yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini dibuat dari kasa

padat dibentukkubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini

terikat 3 utas benang, 2 buah disatu sisi dan sebuah disisi berlawanan.6,12

Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi,

digunakan bantuan kateter karet yang dimasukkan dari lubang hidung

sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar dari mulut. Pada ujung

kateter ini diikatkan 2 benang tampon Bellocq tadi, kemudian kateter

kateter ditarik kembali malalui hidung sampai benang keluar dan dapat

ditarik. Tampon perlu di dorong dengan bantuan jari telunjuk untuk dapat

melewati palatum mole masuk ke nasofaring. Bila masih adaperdarahan,

maka dapat ditambah tampon anterior kedalam kavum nasi. Kedua

benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa

didepan nares anterior, supaya tampon yang terletak dinasofaring tetap


31

ditempatnya. Benang lainnya yang keluar dari mulut diikatkan secra

longgar pada pipi pasien. Gunanya ialah untuk menarik tampon keluar

melalui mulut setelah 2-3 hari. Hati-hati mencabut tampon karena dapat

menyebabkan laserasi mukosa.6,12

Bila perdarahannya berat dari kedua sisi, misalnya pada kasus

angiofibroma, digunakan bantuan dua kateter masing-masing melalui

kavum nasi kanan dan kiri, dan tampon posterior terpasang ditengah-

tengah nasofaring.6,12

Sebagai pengganti tampon Bellocq, dapat digunakan kateter folley

dengan balon. Akhir-akhir ini juga banyak tersedia tampon buatan pabrik

dengan balon yang khusus untuk hidung atau tampon dari bahan gel

hemostatik. Dengan demikian meningkatnya pemakaian endoskop, akhir-

akhir ini juga dikembangkan teknik kauterisasi atau ligasi arteri

sfenopalatina dengan panduan endoskopi.6,12


32

Gambar 2.11. Cara memangku anak untuk pemeriksaan

Sumber : Wilkindon M. Judith dan Nancy R. Ahern. 2012. Diagnosis Keperawatan.


Edisi ke-9. Jakarta: EGC

Gambar 2.12. Kaustik pleksus kisselbach


Sumber : Netter FH. Atlas Of Human Antony. Ed 6. Philadelphia: Elsevier; 2014
33

Gambar 2.13. Cara pemasangan tampon anterior10


Sumber : Netter FH. Atlas Of Human Antony. Ed 6. Philadelphia: Elsevier; 2014

Gambar 2.14. Cara pemasangan tampon posterior10


Sumber : Netter FH. Atlas Of Human Antony. Ed 6. Philadelphia: Elsevier; 2014

2.1.2.7. Komplikasi dan Pencegahan

Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau

sebagai akibat dari usaha penanggulangan epistaksis.6,12

Akibat perdarahan yang hebat dapat menyebabkan syok, anemia dan gagal

ginjal. Turunya tekanan darah secara mendadak juga dapat menimbukan

hipotensi, hipoksis, iskemia serebri, insufisiensi koroner sampai infrak miokard


34

sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian infus harus

dilakukan secepatnya.6,12

Akibat pembuluh darah yang hebat dapat terjadi aspirasi darah kedalam

saluran napas bahwa, juga dapat menyebabkan syok, anemia dan gagal

ginjal.turunya tekanan darah secara mendadak dapat menimbulkan hipotensi,

hipoksisa, iskemia serebri,insufiensi koroner sampai infrak miokard sehingga

dapat menyebabkan kematin. Dalam hal ini pemberian infus atau tranfusi darah

harus dilakukan secepatnya. Akibatnya pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi

infeksi, sehingga perlu diberikan antibiotik.6,12

Pemasangan tampon dapat menyebabkan rino-sinusitis, otitis media,

septikemia atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan

antibiotik pada setiap pemasangan tampon, setelah 2-3 hari tampon harus

dicabut.bila pendarahan masih berlanjut dipasang tampon baru.6,12

Selain itu dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah

melalui tuba estachius, dan airmata berdarah (bloody tears),akibat mengalirnya

darah secara retrograd melalui duktus nasolakremalis.6,12

Pemasangan tampon posterior (tampon Belloq) dapat menyebabkan laserasi

palatum mole atau sudut bibir, jika benang yang keluar dari mulut terlalu ketat

diletakan pada pipi. Kateter balon atau tampon balon tidak boleh dipompa terlalu

keras karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung.6,12


35

2.2. Kerangka Teori

ETIOLOGI DIAGNOSIS

Anamesis
Penyebab dari epistaksisi Pemeriksaan fisik
bisa terjdi karena Pemeriksaan penunjang
kelainan lokal dan EPISTAKSIS
kelainan sistemik
TATALAKSANA

KLASIFIKASI ANTERIOR POSTERIOR


- Menekan hidung - Pemasangan
dari luar selama tampon
10-15 menit posterior
- Pemasangan (TamponBell
tampon 2-4 ocq) dengan
buah diameter 3
EPISTAKSIS EPISTAKSIS - Pelumas atau cm
ANTERIOR POSTERIOR salep antibiotik
(LOKAL) (SISTEMIK)
- Taruma
- Kelainan - Kelainan darah
anatomi - Penyakit
- Tumor kardiovaskuler
- Benda asing - Infeksi akut
- Kelainan - Gangguan
kongenital hormonal
- Pengaruh
lingkungan
- oprasi
36
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kategorik dengan

desain penelitian cross scetional yang bertujuan untuk mengetahui prevalensi

epistaksis di RSUD Dr. M. Haulussy Ambon tahun 2019.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Pengumpulan data dilakukan di poli klinik THT, ruang rawat inap THT,

dan UGD RSUD Dr. M. Haulussy Ambon, dijadwalkan pada bulan Februari

2020 sampai dengan selesai.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi target pada penelitian ini adalah pasien epistaksis yang pernah

rawat jalan dan rawat inap di poli THT, UGD, dan ruang rawat inap THT RSUD

Dr. M. Haulussy Ambon. Populasi terjangkau adalah populasi yang dapat dibatasi

oleh ruang dan waktu penelitian dan memungkinkan semua objek dapat dijangkau

untuk diteliti. Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah pasien yang datang

ke RSUD Dr. M. Haulussy Ambon, tahun 2019.

37
38

3.3.2 Sampel Penelitian

Sampel penelitian diambil dengan menggunakan cara total sampling yakni

semua populasi penelitian dijadikan sebagai sampel penelitian.

Sampel penelitian ini adalah data pasien rekam medik yang melakukan

pemeriksaan rawat jalan dan rawat inap di RSUD Dr. M. Haulussy Ambon tahun

2019.

3.4. Cara Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik total

sampling pada pasien UGD, ruang rawat inap THT, dan poliklinik THT di RSUD

Dr. M. Haulussy Ambon tahun 2019. Cara pengambilan sampel yaitu dengan

melihat keseluruhan data rekam medis yang ada di bagian poli THT, ruang rawat

inap THT, dan UGD, yang memenuhi kriteria dari epistaksis, dimasukan dalam

penelitian.

3.5 Kriteria penelitian

3.5.1 Kriteria Inklusi

1. Pasien jenis kelamin laki-laki dan perempuan usia >2 tahun yang

mengalami epistaksis yang berobat pada RSUD Dr. M. Haulussy Ambon,

Tahun 2019.

2. Pasien dengan fator penyebab mengalami epistaksis yang datang berobat

pada RSUD Dr. M. Haulussy Ambon, Tahun 2019.


39

3. Pasien dengan jenis pekerjaan yang mengalami epistaksis berobat di

RSUD Dr. M. Haulussy Ambon, Tahun 2019.

4. Pasien dengan tingkat pendidikan yang mengalami epistaksis berobat di

RSUD Dr. M. Haulussy Ambon, Tahun 2019.

5. Pasien dengan jenis tempat tinggal yang mengalami epistaksis berobat di

RSUD Dr. M. Haulussy Ambon, Tahun 2019

3.5.2 Kriteria Eksklusi

Pasien epistaksis yang data rekam mediknya tidak lengkap untuk variabel

yang di teliti (jenis kelamin, diagnosis, dan etiologi).

3.6 Variabel Penelitian

Prevalensi epistaksis di RSUD Dr. M. Haulussy Ambon, Tahun 2019.

3.7 Kerangka Konsep

Epistaksis

Usia
Tempat Tinggal
Jenis Kelamin

Pendidikan
Faktor penyebab Pekerjaan

Gambar 3.1. Bagan kerangka konsep


40

3.8 Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No Variabel Defenisi Alat ukur Kategorik Skala


1 Epistaksis Epistaksis adalah Rekam 1. Epistaksis Nominal
pendarahan pada medik anterior
hidung 2. Epistaksis
posterior
2 Usia Lama hidup dari lahir Rekam 1. 2-10 Tahun Ordinal
sampai waktu medik 2. 11-19 Tahun
pengambilan data 3. 20-60 Tahun
(tahun). 4. >60 Tahun
3 Jenis kelamin Identifikasi subyek Rekam 1. Laki-laki Nominal
berdasarkan organ medik 2. Perempuan
reproduksi saat
pengambilan data
dilakukan

4 Etiologi Study yang Rekam 1. Lokal Nominal


mempelajari tentang medik 2. Sistemik
sebab dan asal mula
dari suatu penyakit
atau gangguan
kesehatan
5 Tempat Tempat orang diam Rekam 1. Perkotaan Nominal
tinggal atau tinggal medik 2. Pedesaan

3.9 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa rekam medik yaitu

data sekunder dan lembar data entry.


41

3.10 Manajemen Data Penelitian

3.10.1 Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini

adalah teknik pengumpulan data sekunder. Pada teknik ini, peneliti akan

mendapatkan data yang diperoleh dari rekam medik pasien.

3.10.2 Pengolahan data

Pengolahan data dilakukan melalui tahapan berikut ini :

a. Editing

Melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan dan penyesuaian data yang

diperoleh dengan kebutuhan penelitian.

b. Coding

Pada tahap ini dilakukan proses klasifikasi pada variabel jenis kelamin dan

diagnosis penelitian yang diperoleh dari sumber data yang telah diperiksa

kelengkapannya.

c. Entry

Pada tahap ini data yang sebelumnya telah diberi kode dimasukan ke dalam

computer dengan menggunakan Microsoft Office Excel.

d. Cleaning

Pada tahap ini dilakukan proses pengecekan kembali setiap data yang telah

dimasukan dan jika terdapat kesalahan dalam memasukan data yaitu dengan

melihat distribusi frekuensi dari variabel-variabel yang diteliti.


42

3.10.3 Analisis data

Setelah proses pengumpulan dan pengolahan data dilakukan, setiap data

akan dianalisis secara univariat yang bertujuan untuk menganalisis setiap variabel

dari hasil penelitian. Analisis univariat menggunakan Microsoft Office Excel dan

Software Statistic Packages For Social Sciences (SPSS) untuk menjelaskan

karakteristik tingkat prevalensi epistaksis pada pasien yang melakukan

pemeriksaan pada rawat jalan dan eawat inap. Data tersebut selanjutnya akan

dideskripsikan menggunakan distribusi frekuensi dengan ukuran persentase atau

proporsi

3.11 Prosedur dan Alur Penelitian

Permohonan izin penelitian ke Fakultas Kedokteran Universitas Pattimura dan


Direktur RSUD dr. M.Haulussy Ambon

Identifikasi sampel yang masuk ke dalam penelitian

Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi

Penelitian

Pengumpulan Data

Pengolahan dan Analisa Data

Penyajian Data
43

3.12 Etika penelitian

1. Permohonan izin dan perizinan etik

Perizinan etik akan diperoleh dari komisi etik penelitian kedokteran dan

kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Pattimura Ambon.

2. Kerahasiaan Nama (Anonymoity)

Dalam menjaga kerahasiaan pada penelitian ini. peneliti tidak akan

mencantumkan nama pada lembar pengumpulan data, dan hanya memberikan

kode pada masing-masing lembar tersebut.

3. Kerahasiaan (Confidentiality)

Kerahasiaan informasi pada penelitian ini dijamin oleh peneliti. Hanya

kelompok data tertentu saja yang akan disajikan atau dilaporkan sebagai hasil

riset sesuai dengan tujuan penelitian.


44

3.13 Jadwal Penelitian


Tabel 3.2 Jadwal Penelitian

Tahap Penelitian Bulan

11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Penyusunan
Proposal

Pembimbingan
Proposal

Seminar Proposal

Perbaikan
Proposal

Pengumpulan
data
Analisis data

Ujian skripsi
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi Umum Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Umum Daerah DR. M. Haulussy Ambon adalah rumah sakit

kelas B yang menjadi rumah sakit rujukan di provinsi Maluku. Rumah sakit ini

dibangun pada tahun 1947 ini mempunyai visi yaitu menjadi rumah sakit pilihan

yang berkualitas dalam pelayanan, pendidikan dan juga penelitian di provinsi

Maluku.

Fasilitas pelayanan kesehatan di RSUD DR. M. Haulussy Ambon adalah

sebagai berikut : Instalasi Gawat Darurat, Instalasi Rawat Jalan dengan 13

ruangan klinik, Instalasi Rawat Inap dengan 11 bangsal pelayanan kelas III, kelas

II, dan kelas I. Terdapat 2 ruangan pelayanan pavilun dan cendrawasih, Instalasi

Bedah Sentral, Unit Perawatan Intensif yang terdiri atas Intensive Care Unit

(ICU) dan Intensive Coronary Care Unit (ICCU), Instalasi Farmasi, Instalasi

Radiologi, Instalasi Laboratorium, Instalasi Rehabilitasi Medik. Selain itu, juga

terdapat pelayanan unggulan rumah sakit yaitu CT-Scan dan Mamografi yang

terdapat pada Instalasi Radiologi, laparaskopi pada Instansi Bedah Sentral, Unit

Endoskopi, Unit Hemodialisis, dan Kemoterapi pada Ruangan Bedah Wanita.

Selain itu, terdapat fasilitas pelayanan pendukung lain yang telah tersedia yaitu

Ruangan Flu Burung, Pelayanan Tuberculosis (TBC) dengan metode Directly

Observed Treatment Shortcourse (DOTS), Pelayanan Volumtary Counselling and

45
46

Testing (VCT) untuk Penderita HIV-AIDS, Cold storage pada instalasi

Pemeliharaan Jenazah dan juga terdapat Pelayanan Ambulans 24 jam.

Ruang Rawat Inap Telinga Hidung Tenggorokan, dan Poliklinik Telinga

Hidung Tenggorokan RSUD DR. M. Haulussy Ambon merupakan ruangan yang

digunakan dengan pasien kelainan telinga hidung tenggorokan, kepala dan leher.

Penelitian ini merupakan penelitian yang memiliki desain deskriptif

dengan menggunakan data sekunder berupa rekam medik. Proses pengumpulan

data dilakukan di RSUD Dr.M. Haulussy Ambon, tepatnya pada ruangan

poliklinik THT, ruang rawat inap THT, dan UGD. Penelitian diawali dengan

penelusuran data register pasien di ruang poli THT dan UGD, selanjutnya

pengecekan pada buku register ruang rawat inap THT dan penelusuran status

subjek pada instalasi Rekam Medik.

4.2. Deskripsi Umum Sampel Penelitian

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pasien epistaksis

yang pernah dirawat di ruang poliklinik THT, ruang rawat inap THT, dan UGD

RSUD DR. M. Haulussy Ambon selama periode tahun 2019 yang diambil dengan

teknik total sampling. Berdasarkan hasil penelusuran data register di ruang

poliklinik THT, ruang rawat inap THT dan UGD dengan jumlah pasien kunjungan

didapati sebanyak 564 orang. Kemudian dilakukan penelusuran data riwayat

pasien epistaksis pada Instalasi Rekam Medik RSUD DR. M. Haulussy Ambon,

hanya terdapat 41 sampel, akan tetapi dari 41 sampel didapati beberapa sampel
47

yang datanya tidak sesuai. Sehingga dilakukan penelusuran hanya terdapat 30

sampel yang sesuai dengan kriteria inklusi.

4.3. Hasil Penelitian

Hasil yang didapatkan dari penelitian yang dilakukan dengan

menggunakan data rekam medik pasien sebanyak 30 sampel adalah sebagai

berikut:

4.3.1. Prevalensi Epistaksis

Berdasarkan prevalensi epistaksis di RSUD DR. M. Haulussy dapat dilihat

sebagai berikut:

Tabel 4.1: Prevalensi epistaksis

Klasifikasi Epistaksis Frekuensi Persentase (%)


Epistaksis Anterior 8 26,7
Epistaksis Posterior 12 40
Epistaksis Lainnya 10 33,3
Total 30 100

Berdasarkan Tabel 4.1 diketahui bahwa dari 30 sampel pasien yang pernah

rawat jalan di poliklinik THT, UGD dan ruangan rawat inap di RSUD DR. M.

Haulussy Ambon, dengan presentasi klasifikasi epistaksis paling tinggi adalah

epistaksis posterior sebanyak 12 sampel (40%), epistaksis lainnya sebanyak 10

sampel (33,3%) yang dimaksudkan dalam kategori epistaksis lainnya yaitu sampel

yang tidak ada keterangan epistaksis berdasarkan lokasinya, dan epistaksis

anterior sebanyak 8 sampel (26,7%).


48

4.3.2. Prevalensi epistaksis berdasarkan jenis kelamin.

Prevaensi epistaksis berdasarkan Jenis Kelamin dapat dilihat sebgai

berikut :

Tabel 4.2 : Prevalensi epistaksis berdasarkan jenis kelamin

Epitaksis
Epitaksis Epitaksis Epitaksis Total
Anterior Posterior Lainnya
n (%) n (%) n (%) n (%)
Jenis Laki-laki 5 (16,7%) 4 (13,3%) 5 (16,7%) 14 (46,7%)
Kelamin Perempuan 3 (10,0%) 8 (26,7%) 5 (16,7%) 16 (53,3%)

Berdasarkan Tabel 4.2 diketahui bahwa dari 30 sampel, pasien epistaksis

terbanyak pada perempuan dengan 16 sampel (53,3%) dan laki-laki sebanyak 14

sampel (46,7%).

4.3.3. Prevalensi epistaksis berdasarkan usia

Prevalensi epistaksis berdasarkan Usia dapat dilihat sebgai berikut :

Tabel 4.3 : Prevalensi epistaksis berdasarkan usia

Epitaksis
Epitaksis Epitaksis Epitaksis Total
Anterior Posterior Lainnya
n (%) n (%) n (%) n (%)
20- 10 Tahun 4 (13,3%) 0 (0,0%) 5 (16,7%) 9 (30,0%)
11-19 Tahun 1 (3,3%) 2 (6,7%) 0 (0,0%) 3 (10,0%)
Usia 20-60 Tahun 3 (10,0%) 7 (23,3%) 3 (10,0%) 13 (43,3%)
> 60 Tahun 0 (0,0%) 3 (10,0%) 2 (6,7%) 5 (16,7%)

Berdasarkan tabel 4.3 diketahui bahwa dari 30 sampel, pasien epistaksis

terbanyak pada usia 20-60 tahun dengan 13 sampel (43,3%), pada usia 2-10 tahun

9 sampel (30%), >60 tahun 5 sampel (16,7%), dan 11-19 tahun 3 sampel (10%).
49

4.3.4. Prevalensi epistaksis berdasarkan etiologi

Prevalensi epistaksis berdasarkan etiologi dapat dilihat sebgai berikut :

Tabel 4.4 : Prevalensi epistaksis berdasarkan etiologi

Etiologi Frekuensi Persentase (%)


Lokal 10 33,3
Sistemik 20 66,7
Total 30 100

Berdasarkan Tabel 4.4 diketahui bahwa dari 30 sampel, pasien epistaksis

dengan faktor penyebab yang terbanyak yaitu sistemik dengan 20 sampel (66,7%),

dan lokal 10 sampel (33,3%).

4.3.7. Prevalensi epistaksis berdasarkan tempat tinggal

Prealensi epistaksis berdasarkan tempat tinggal dapat dilihat sebagai

berikut :

Tabel 4.5 : Prevalensi epistaksis berdasarkan tempat tinggal

Tempat Tinggal Frekuensi Persentase (%)


Perkotaan 25 83,3
Perdesaan 5 16,7
Total 30 100

Berdasarkan Tabel 4.5 didapati bahwa dari 30 sampel, pasien epistaksis

yang paling banyak dari perkotaan 25 sampel (83,3%), dan perdesaan sebanyak 5

sampel (16,7%).
50

4.4. Pembahasan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di bagian poliklinik THT, ruang

rawat inap THT, UGD dan bagian rekam medik priode tahun 2019 di RSUD DR.

M. Haulussy Ambon didapatkan jumlah pasien epistaksis yang pernah dirawat

jalan dan rawat inap sebanyak 30 sampel yang memenuhi kriteria inklusi serta

ditambahkan satu diagnosis kategori epistaksis lainnya yaitu tidak disebutkan

sumber epistaksis anterior atau kemungkinan keduanya.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan sejak tanggal 29 Juni 2020 -

04 Juli 2020 serta berdasarkan hasil pengelolahan data diarahkan sesuai tujuan

penelitian ini yaitu untuk mengetahui prevalensi epistaksis di RSUD DR. M.

Haulussy Ambon.

4.4.1. Prevalensi epistaksis berdasarkan jenis kelamin

Sesuai dengan hasil pada tabel 4.2 mengenai pasien epistaksis berdasarkan

jenis kelamin yang paling banyak terjadi pada perempuan. Hal ini sesuai dengan

penelitian Meilissa Dugan Kim et al tentang Epistaxix of Pregnancy and

Association menegaskan bahwa epistaksis lebih mungkin terjadi pada perempuan

tetapi secara signifikan pada perempuan hamil. Hal ini terkait dengan mukosa

hidung yang diinduksi estrogen dan perubahan vaskular. Penjelasan lain yang

mungkin dari hasil penelitian ini adalah bahwa epistaksis merupakan hasil dari

kelainan pada integritas atau struktur pembuluh darah.33


51

Epistaksis sistemik dengan kelainan gangguan hormonal banyak terjadi

pada wanita hamil, dikarenakan terjadi peningkatan estrogen dan progestron yang

tinggi di pembuluh darah yang menuju ke semua membran mukosa di tubuh

termasuk di hidung yang menyebabkan mukosa bengkak dan rapuh dan akhirnya

terjadinya epistaksis.29

4.4.2. Prevalensi epistaksis berdasarkan usia

Tabel 4.3 dengan pasien epistaksis terbanyak pada usia 20-60 tahun. Usia

adalah salah satu sifat karateristik tentang seseorang, usia dalam studi

epidemiologi merupakan variabel yang cukup penting karena banyak penyakit

yang ditemukan disebebkan oleh usia. Penelitian sebelumnya oleh Merry P

Limen, Ora P, Ronny T, Kandou Manado tahun 2012. Pada pasien epistaksis

dengan jumlah penderita kelompok usia yang paling banyak presentasinya yaitu

kelompok usia 20-65 tahun dengan jumlah 381 penderita. Hal ini dikarenakan

pada penderita epistaksis kelompok usia <20 tahun, terjadi secara spontan dan

dapat berhenti sendiri sehingga pasien dengan kelompok usia tersebut jarang

dibawa ke rumah sakit, sedangkan pada pasien dengan kelompok usia dewasa tua

umumnya lebih berat dan jarang berhenti sendiri sehingga penderita akan mencari

bantuan medis.26

Epistaksis dapat terjadi di semua kelompok umur, tapi paling dominan

berpengaruh pada orang tua (50-80 tahun) dan anak-anak (2-10 tahun). 30 Hal ini

sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Nash & Simon tahun 2018 di

Kanada bahwa distribusi umur penderita epistaksis biasanya terjadi pada usia <20
52

tahun dan >40 tahun.31 Epistaksis posterior sendiri sering terjadi pada orang tua

dengan riwayat penyakit hipertensi atau arteriosklerosis. Usia pada penderita

hipertensi dengan epistaksis antara 37 - 55 tahun. Usia merupakan faktor risiko

dimana pada orang yang lebih tua, lokasi perdarahan lebih sering ditemukan

berasal dari bagian posterior hidung. Penyebab biasanya bukan karena trauma

tetapi lebih mungkin ruptur spontan pembuluh darah yang sklerotik. Pemeriksaan

arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan lanjut, terlihat

perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan

kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan

yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan

gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga

mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama.30

Beberapa penelitian lainnya memaparkan pada orang dewasa 50%

epitaksis disebabkan oleh trauma dan hipertensi. Angka kejadian epistaksis juga

lebih sering ditemukan pada anak dengan migrain dibandingkan tanpa keluhan

migrain. Anak dengan migrain mempunyai kemungkinan terjadinya epistasis 4

kali lebih sering dibandingkan tanpa keluhan migrain. Selain karena faktor

pembuluh darah, terdapat faktor yang juga berperan dalam hal terjadinya

epistaksis yaitu letak pembuluh darah di mukosa sangat superfisial dan tidak

terlindung. Pada kebanyakan kasus, kerusakan mukosa dan dinding pembuluh

darah sering terjadi akibat trauma ringan pada waktu bersin. Kejadian epistaksis

pasca trauma pada masa anak berhubungan secara bermakna dengan deformitas

septim nasal dan hal ini menyebabkan berulangnya epistaksis.32


53

4.4.3. Prevalensi epistaksis berdasarkan etiologi

Tabel 4.4 mengenai pasian epistaksis terbanyak dengan kelainan sistemik.

Penelitian sebelumya yang di lakukan oleh Merry P Limen, et al, RSUP Prof. Dr.

Kandou Manado tahun 2012. Pada penelitian ini distribusi berdasarkan penyebab

epistaksis yang terbanyak adalah penyebab sistemik. Epistaksis dengan kelainan

sistemik ini sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, dan kelainan

perdarahan, perdarahan biasanya lebih hebat dan jarang berhenti sendiri.

Kemudian disusul dengan penyebab lokal yang terdiri dari beberapa yaitu trauma

seperti mengeluarkan sekret dengan kuat, bersin, trauma seperti terpukul, jatuh

dan sebagainya.26

Epistaksis umumnya timbul secara spontan tanpa dapat diketahui

penyebabnya, kadang-kadang disebabkan karena trauma. Epistaksis anterior dapat

disebabkan oleh kelainan lokal misalnya trauma, kelaianan anatomi, kelainan

pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, pengaruh udara lingkungan. 5,15

Pendarahan pada lokasi epistaksis anterior berasal dari pleksus Kiesselbach (little

area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum bagian anterior

tepat di ujung postero-superior vestibulum.9 Perdarahan juga dapat berasal dari

bagian depan konkha inferior. Mukosa pada daerah ini sangat rapuh dan melekat

erat pada tulang rawan dibawahnya. Daerah ini terbuka terhadap efek pengeringan

udara insirasi dan trauma, akibatnya ulkus ruptur atau kondisi patologik lainya

dan selanjutnya akan menimbulkan perdarahan.5,9,15 Sedangkan untuk epistaksis

posterior dengan kelainan sistemik banyak pasien epistaksis yang datang dengan

penyakit kardiovaskuler, infeksi sistemik, kelainan hormonal dan kelainan


54

kongenital.15,17 Epistaksis posterior berasal dari dinding lateral dan berasal dari

arteri sefenopalatina dan arteri etmoid posterior.9 Perdarahan biasanya hebat dan

jarang berhenti dengan sendirinya dan sering di temukan pada pasien hipertensi,

arterosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler lainnya.15

4.4.4. Prevalensi epistaksis berdasarkan tempat tinggal

Pada tabel 4.7 ini dengan sampel yang didapatkan pasien epistaksis

banyak bertempat tinggal di perkotaan dari pada pedesaan. Hal ini dipegaruhi oleh

kegagalan fungsi humidifikasi atau dehumidifikasi mukosa nasal, dimana

kelembapan udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa. Faktor yang

mempengaruhi dehumidifikasi di perkotaan yaitu terkait pengaruh lingkungan

seperti polusi udara atau paparan zat-zat kimia yang bersifat korosif, yang dapat

menyebabkan kekeringan mukosa sehingga pembuluh darah gampang pecah.3,29

4.5. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini telah diupayahkan dan dilaksanakan sesuai prosedur ilmiah

akan tetapi masih memiliki keterbatasan yaitu :

1. Banyaknya pasien melakukan kunjungan rawat jalan dan rawat inap pada

ruangan poliklinik THT, dan ruang rawat inap THT, dan UGD. Akan tetapi

tak banyak pasien yang terdiagnosis epistaksis tidak berdasarkan lokasi

perdarahan. Sehingga dengan begitu banyak pasien yang melakukan

kunjungan hanya terdapat 30 sampel yang sesuai dengan kriteria inklusi.


55

2. Dalam penelusuran data rekam medik didapati dua variabel yang tidak

mendukung kriteri inkusi dan didapati data rekammedik yang tidak lengkap

sehingga meminimalkan sampel yang didapat.

3. Pada saat melakukan penelusuran data rekam medik didapati data yang tidak

lengkap sehingga peneliti tidak dapat beberapa kriteria yang sesuai dengan

penelitian ini.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah dari hasil prevalensi

epistaksis yang melakukan rawat jalan dan rawat inap di RSUD DR. M. Haulussy

Ambon periode tahun 2019 adalah sebagai berikut:

1. Prevalensi epistaksis dengan pasien epistaksis posterior sebanyak 40%.

2. Prevlaensi epistaksis berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar pada

perempuan 53,3%.

3. Prevalensi epistaksis berdasarkan usia, yang didapati dalam retan usia 20-60

tahun dalam katergori dewasa tua sebanyak 43,3%.

4. Prevalensi epistaksis berdasarkan faktor penyebab terbanyak dengan kelainan

sistemik sebanyak 66,7%.

5. Prevalensi epistaksis berdasarkan tempat tinggal dengan presentase terbanyak

83,3% bertempat tinggal di daerah perkotaan.

63
64

5.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas maka beberapa saran yang dapat diberikan

adalah sebagai berikut:

1. Bagi pemerintah khususnya Dinas Kesehatan Provinsi Maluku dapat

memberi edukasi terkait epistaksis, faktor resiko, cara pencegahan dan

penanganan yang tepat kepada masyarakat.

2. Buat instansi terkait dalam hal ini RSUD Dr. M. Haulussy Ambon agar

dapat mengedukasi pasien epistaksis berulang agar menghindari dari

faktor-faktor pencetus epistaksis dan kerjasama atau konsultasi dengan

bagian lain sesuai dengan faktor penyebabnya. Dan bagi instansi terkait

dapat melakukan penulisan data rekam medik dengan lengkap dan jelas

agar banyak informasi untuk peneliti-peneliti selanjutnya.

3. Untuk peneliti selanjutnya dapat mengembangkan penelitian ini dengan

jumlah sampel yang lebih besar dan juga pada rumah sakit atau instansi

lainnya.

Anda mungkin juga menyukai