Anda di halaman 1dari 16

Budaya Konsumen

Tugas - Sport in Consumer Culture


“Olahraga, Gaya Hidup, dan Sosial Media”

Oleh :

Ririe Rachmania

071115030

Departemen Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Airlangga Surabaya

2014
Maraknya gaya hidup sehat saat ini juga banyak dipengaruhi oleh kehadiran sosial media.
Beberapa jenis olahraga pun menjadi tren di masyarakat melalui penyebaran media sosial seperti
Instagram. Diantaranya olahraga seperti muang thay, pilates, yoga, senam zumba yang terkenal
di kalangan selebriti. Beberapa selebriti kemudian menunjukkan kegiatan berolahraganya di
dalam akun media sosialnya seperti penyanyi Andien Aisyah, Anjasmara, dan masih banyak lagi
yang melakukan kegiatan olahraga tersebut. Tak lama, jenis olahraga tersebut menjadi salah satu
tren di masyarakat dan banyak diikuti oleh kelas menengah di Indonesia. Tulisan ini akan
mengkaji beberapa olahraga yang menjadi trend (yoga pilates dan muay thay) gaya hidup kelas
menengah dan peran media sosial dalam menciptakan trend gaya hidup tersebut dalam beberapa
trend di Indonesia.

Olahraga dan Gaya Hidup Sehat

Pada masyarakat modern saat ini, pola hidup sehat saat ini menjadi salah satu bagian dari
gaya hidup salah satunya melalui kegiatan berolahraga. Olahraga merupakan kepunyaan semua
lapisan masyarakat. Masyarakat dari kalangan atas, menengah, dan bawah sangat memerlukan
dan membutuhkan olahraga. Namun secara perkembangannya, olahraga yang dekat dengan gaya
hidup sehat menunjukkan sebagai salah satu cara artikulasi identitas diri. Olahraga kemudian
berkembang menjadi gaya hidup dan beberapa jenis olahraga kemudian menjadi trend an hanya
dilakukan oleh kelas tertentu saja.

Olahraga menjadi salah satu cara bagi industri kapitalis untuk melanggengkan aktivitas
konsumsi di masyarakat. Olahraga telah mengalamai re-orientasi makna dari makna awalnya
yang dimana kegiatan olahraga telah menjadi salah satu kegiatan rekreasi yang dilakukan pada
waktu luang/ leisure time. Perkembangan makna olahraga ini juga dibarengi dengan adanya
perbedaan wilayah, umur, kelas sosial, dan gender. Salah satu contohnya, badminton di
Indonesia sangat digemari, namun di Amerika badminton bukan olahraga yang terkenal.
Olahraga sendiri tidak lagi hanya terbatas pada permainan saja, namun juga mencakup hal
lainnya. Pelis (2010) mengatakan bahwa olahraga pada dasarnya berbasid pada tiga aktivitas.
“Sport has a special position in human life. Each society brings its own meaning of all activities
to this word. The main and most general dimensions of sport are physical training, games,
contests.”

Thompson (1990) dalam Horne (2006) bahwa olahraga merupakan bentuk budaya yang
kian menjadi subjek atau sasaran ‘mediazation’ atau ‘mediatitazion’dimana ia telah menjadi
bagian dari media culture. Melalui media, olahraga kemudian menjadi sebuah komoditas yang
dipromosikan. Layaknya yang Holt dan Mason (2000) ungkapkan, dalam perspektif budaya
konsumen, olahraga telah menjadi sebuah industri dan barang-barang yang berhubungan dengan
olahraga secara luas telah dipakai sebagai atribut fashion.Sebagai sebuah indusutri, olahraga
kemudian dipromosikan layaknya komoditas lainnya, sebagai sebuah produk yang konsisten dan
berkualitas (Holt dan Mason 2000). Sehingga di Indonesia terlihat bahwa olahraga kemudian
menjadi aktivitas simbolik yang tidak hanya eksis menjadi sebuah kegiatan yang fisik namun
juga kegiatan dengan berbagai simbol.

Olahraga sendiri juga menjadi salah satu faktor dalam perubahan sosial di masyarakat.
Olahraga kemudian berkembang menjadi sebuah gaya hidup yang mana gaya hidup adalah
istilah menyeluruh yang meliputi cita rasa seseorang di dalam fashion, mobil, hiburan, dan
rekreasi, bacaan, dan hal-hal yang lain. Dan olahraga saat ini merupakan aktivitas di waktu luang
untuk mencapai sebuah gaya hidup yang sehat. David Chaney (1996 hal.42) dalam bukunya
‘Lifestyles’ melihat bahwa gaya hidup digunakan sebagai pola-pola tindakan dan sebagai suatu
tipe pengelompokan sosial yang berbeda, yang tertanam dalam tatanan sosial modernitas.
Seseorang menggunakan gaya hidup dalam kehidupan sehari-hari untuk mengenali dan
menjelaskan adanya kompleks identitas dan afiliasi yang lebih luas. Dengan demikian, gaya
hidup biasanya diasumsikan bedasarkan organisasi sosial konsumsi. Konsumsi disini melihat
pola-pola waktu luang masyarakat (the social patterns of leisure) yang dicirikan oleh Chaney
sebagai ekspektasi baru untuk pengenalian dan penggunaan waktu dengan cara-cara yang
bermakna secara pribadi.

Salah satu contoh yang paling mudah adalah gaya hidup menghabiskan waktu luang di
hari Minggu bagi masyarakat perkotaan adalah berolahraga di Car Free Day. Car Free Day
merupakan salah satu trend yang terbentuk di masyarakat perkotaan yang mengubah tatanan
sosial di masyarakat. Car Free Day kemudian membentuk sebuah ruang publik baru yang tidak
hanya berkenaan dengan olahraga namun juga dilekatkan dengan gaya hidup dan juga aktivitas
konsumsi di dalamnya. Car Free Day menjadi salah satu cara individu untuk mengartikulasi
identitasnya melalui gaya hidup sehat dan berolahraga di acara tersebut. Masyarakat di Indonesia
merupakan mayoritas hasil dari urbanisasi yang tidak terkontrol sebagai dampak dari godaan
industrialisasi dan komersialisasi di perkotaan. Wujud komersialisasi dapat dilihat dari bentuk-
bentuk berbeda. Kita menyaksikan dominasi ekonomi yang ada dimasyarakat urban. Salah
satunya dalam hal olahraga yang berusaha dikomodifikasi agar bisa menjadi konsumsi bagi
masyarakat perkotaan. Pada akhirnya, olahraga tidak lagi hanya eksis menjadi sebuah kegiatan
untuk fisik atau menonton pertandingan saja, namun menjadi bagian dari gaya hidup untuk
peneguhan identitas diri bahkan juga kelas sosial. Car Free Day disini digunakan sebagai salah
satu cara untuk peneguhan kelas sosial sebagai bagian dari kaum kelas menengah perkotaan.

Car Free Day sebagai Gaya Hidup Masyarakat Perkotaan

Car Free Day merupakan sebagian dari contoh tren gaya hidup sehat yang sedang marak
di perkotaan. Beberapa jenis olahraga yang bahkan sebelumnya tidak dikenal masyarakat
menjadi marak seperti olahraga muay thai dan yoga yang akna banyak dibahas dalam paper ini.
Olahraga Muay Thai ini merupakan salah satu jenis olahraga tinju di Thailand yang kemudian
marak dan menjadi tren di masyarakat. Tinju sendiri merupakan olahraga yang jarang dilakukan
oleh masyarakat, hanya dilakukan oleh orang-orang professional. Namun saat ini, dengan jenis
tinju dari Thailand ini kemudian menjadi tren di masyarakat.

Muay thai merupakan olahraga bela diri tradisional yang berasal dari Thailand. Olahraga
itu melibatkan teknik yang mengombinasikan enam titik tubuh manusia: tangan, siku, pinggul,
pinggang, kaki dan lutut (Rahardjo, 2013). Seperti halnya jenis olahraga bela diri lain, muay thai
mengandalkan gerakan-gerakan fisik menyerang, bertahan, serta kekuatan dan kecepatan.
Namun jangan salah, lho. Dengan melakukan gerakan-gerakan muay thai secara rutin, ternyata
ada dampak positif yang bisa dirasakan. Misal, penurunan berat badan karena olahraga ini
banyak membakar kalori, menjaga stamina tubuh selalu fit, melepaskan stres dari rutinitas
harian, hingga meningkatkan rasa percaya diri.

Di Indonesia, muay thai secara cepat menjadi tren. Bukan saja diminati oleh kalangan
atlet profesional, namun juga masyarakat awam. Muay thai bahkan sudah menjadi hobi dan gaya
hidup yang dijalani kaum urban karena menjadi alternatif olahraga. Tak heran jika saat ini
bermunculan studio-studio muay thai di kota-kota besar di Indonesia. Hal ini menunjukkan
adanya komodifikasi olahraga sebagai gaya hidup di masyarakat perkotaan dalam kegiatan
konsumsi. Selain membahas mengenai tren olahraga tinju muay thai, juga dibahas tren olahraga
yoga yang juga marak di masyarakat perkotaan dengan berbagai jenisnya.

Acroyoga ini merupakan salah satu jenis olahraga yoga dari India. Acroyoga sendiri
berasal dari kata acrobatic dan yoga, dimana beberapa gerakan yoga terlihat seperti acrobat
contohnya seperti terbang dan jungkir balik. Terdapat tiga unsur dalam olahraga acroyoga, yaitu
akrobatik, yoga, dan terapi dimana tiga unsur tersebut dapat dijadikan sebagai terapi kesehatan
tubuh. Selain itu kesehatan tubuh, acroyoga bisa juga digunakan untuk menegakkan tulang
belakang. Perkembangan acroyoga di Indonesia sangat pesat. Tak jarang yang melakukan yoga
adalah artis-artis yang kemudian membuat kegiatan ini menjadi salah satu gaya hidup dalam
pengartikulasian identitas. dalam konteks gaya hidup, aktivitas waktu luang menjadi signifikan
untuk menggambarkan gaya hidup yang dimiliki seseorang.

Hal itu disebabkan dari pilihan individu dalam aktivitas mengisi waktu luang yang
ditentukannya sendiri dan mencerminkan minat dan seberapa pentingnya makna aktivitas
tersebut bagi dirinya. Objek konsumsi menjadi pada waktu luang menjadi signifikan dalam
menggambarkan gaya hidup. Bourdieu (2006) menjelaskan bahwa struktur konsumsi terbagi
menjadi tiga berdasarkan objeknya, yaitu: konsumsi makanan, konsumsi kultural, serta konsumsi
penampilan. Dalam hal ini, olahraga termasuk bentuk konsumsi kultural dan juga penampilan.

Aktivitas Olahraga sebagai Distinction

Aktivitas olahraga ini yang kemudian menjadi bagian dari gaya hidup merupakan salah
satu cara individu untuk mengartikulasikan identitasnya. Olahraga-olahraga yang saat ini
menjadi tren, seperti muay thai dan acroyoga merupakan salah satu cara individu untuk
meneguhkan kelas dan status sosialnya. Olahraga-olahraga ini sangat menciri khaskan sebagai
olahraga masyarakat perkotaan yang memiliki akses terhadap sarana dan prasarana terhadap tren
tersebut. Jenis olahraga tersebut menjadi salah satu pilihan aktivitas untuk mengisi waktu
luangnya/ leisure time. Aktivitas olahraga tidak hanya terbatas pada aktivitas fisik saja.

Aktivitas Acroyoga yang dilakukan Andien dan Luna Maya

Terdapat adanya pembedaan selera jenis olahraga pada masyarakat perkotaan terutama
kelas menengah ke atas. Aktivitas olahraga menjadi salah satu cara menghabiskan waktu luang
dan memiliki pembedaan selera jenis olahraga oleh kelas sosial tertentu. Dalam melakukan
olahraga, terdapat beberapa jenis olahraga yang membutuhkan biaya mahal dan memiliki nilai
‘prestise’ di dalamnya. Sehingga, hal ini menjadikan pemilihan jenis olahraga bergantung pada
selera kelas sosial dan status sosial di masyarakat. Aktivitas olahraga kemudian menjadi salah
satu cara bagi kelas menengah ke atas untuk menjadi distinction/ pembeda bagi dirinya dengan
kelas sosial lainnya. Seperti olahraga acroyoga yang marak dilakukan artis-artis di Indonesia
untuk semakin meneguhkan identitas dan kelas sosialnya.

“Distinction” merujuk pada usaha kelompok individu dalam ruang sosial masing-masing
untuk mengembangkan kekhasan budaya yang menandai mereka keluar dari satu sama lain.
Namun, perbedaan ini dapat menjadi fokus perjuangan simbolik (perjuangan untuk pembedaan)
di mana anggota suatu kelompok berusaha untuk membangun keunggulan dari pembedaan itu
sendiri. Perjuangan simbolis ini pada dasarnya adalah aspek perjuangan kelas. Kontrol atas
pengetahuan yang dihargai, sanksi dan dihargai dalam sistem pendidikan merupakan salah satu
aspek ini. Bourdieu (1987) melemparkan jaringnya lebih luas untuk menangkap pengertian yang
lebih umum bentuk dominan penghakiman rasa. Bisa budaya populer seperti musik dianggap
sebagai salah satu aspek perbedaan, merek budaya, di mana konsumen berada dalam oposisi
yang konstan dengan industri budaya, karena mereka memanfaatkan teknologi untuk
mengkonsumsi atau menghasilkan budaya yang mereka sukai. Apa yang dipakai bukan hanya
masalah selera, sadar atau tidak ditentukan dan diorganisir sesuai dengan lingkungan dan posisi
dalam masyarakat. Tidak hanya sekedar masalah pendapatan, pilihan jenis olahraga, musik,
kursus bahasa atau les tambahan dan sebagainya, selera mengungkapkan sistem representasi
yang khas pada kelompok sosial tertentu, posisi mereka dalam masyarakat dan keinginan untuk
menempatkan diri dalam tangga kekuasaan

Contoh dari konsep distinction ini sangat beragam dari beragai arena yang ada,baik arena
politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Misalnya dalam konteks gaya hidup (life style)
pembedaan ini bisa dilihat dengan adanya si kaya dan si miskin. Si kaya memiliki gaya hidup
mewah, seperti memakai pakaian bermerek impor, memakai mobil, berdandan modis, makan di
restaurant mahal. Berbeda dengan gaya hidup si miskin yang sederhana, dengan pakaian, rumah,
dan gaya segala hal yang serba terbatas. Pembedaan ini adalah upaya dari salah satu kelompok
untuk mendominasi kelompok lain dengan menunjukan strata sosialnya, dan berdampak pada
kesenjangan sosial dalam masyarakat. Dan ini yang terlihat pada aktivitas olahraga yang sedang
tren di kalangan menengah ke atas. Bahwa saat ini, aktivitas olahraga seperti acroyoga dan muay
thai merupakan suatu pembeda/ distinction bagi masyarakat dengan kelas menengah ke atas.

Pemilihan jenis olahraga merupakan salah satu cara untuk menunjukkan selera atau cita
rasa kelas menengah ke atas. Kedua jenis olahraga ini bukanlah jenis olahraga yang lazim dan
sering dilakukan oleh masyarakat di segala kalangan, namun terkenal dilakukan di luar negeri.
Rasa ‘internasional’ ini membawa sebuah selera bagi kelas menengah agar terlihat elitis dan
prestise dengan memilih jenis olahraga yang tidak banyak diketahui banyak orang. Bourdieu
menyebut kelas dengan selera ‘tinggi’ ini sebagai selera yang legitim (legitimate taste), sebagai
selera aristocrat (Pramudya, 2012). Sementara yang berselera ‘rendah’ ini disebutnya sebagai
selera jelata (popular taste). Digambarkan oleh Bourdieu, selera legitim atau aristokrat ini adalah
selera yang biasanya dikembangkan melalui mata ajaran tentang seni di sekolah-sekolah atau
lembaga pendidikan.

Dengan kata lain, kelompok ini memang secara formal – melalui pendidikan – sudah
disosialisasikan mengenai konsep apa dan bagaimana itu seni. Bisa dikatakan, selera legitim ini
merupakan selera yang telah dihabitualisasikan, yakni melalui konsep-konsep formal filosofis
bahkan ilmiah. Yang dimaksudkan dengan konsep-konsep formal estetika, adalah konsep-konsep
tentang seni, keindahan dari ragam pemikir atau filsuf estetika, misalnya. Adanya nilai-nilai
estetika dalam sebuah aktivitas olahraga menjadi salah satu faktor untuk pilihan selera bagi kelas
menengah ke atas ini. Pemilihan jenis olahraga acroyoga dan muay thai ini juga didasari oleh
pemilihan estetis bahwa olahraga ini merupakan jenis olahraga yang menarik, unik, dan berasal
dari luar negeri. Dalam pemilihan jenis olahraga tersebut terdapat usaha untuk peneguhan kelas
bagi kelas sosial menengah ke atas. Sehingga kegiatan tersebut menjadi salah satu yang menjadi
tren di kalangan kelas menengah ke atas.

Adapun selera jelata ini biasanya berkembang ‘secara alamiah’ karena persentuhannya
dengan kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, selera ini merupakan kontinuitas antara seni dan
kehidupan. Oleh sebab itu, pembacaan dan pemahaman berdasarkan selera orang kebanyakan ini
selalu dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari mereka. Jadi keindahan suatu seni, tidak
dipandang sebagai yang menyublim pada seni itu sendiri — sebagaimana yang dimaksudkan
Kant – melainkan sejauh ia terhubung dengan kehidupan yang dialami. Kata Bourdieu, selera
jelata senantiasa lebih mengutamakan fungsi daripada perspektif atau bentuk (form). Dalam hal
ini, selera jenis olahraga seperti jalan sehat, lari, badminton, sepakbola bukanlah selera dari kelas
menengah ke atas, namun menjadi jenis olahraga yang diminati oleh kelas masyarakat menengah
ke bawah.

Selera atau cita rasa disini dilihat sebagai konsekuensi dari prinsip-prinsip yang
diturunkan (generatif) yang mendefinisikan bagi para aktor mengenai semesta-semesta yang
bermakna. Sehingga menurut Bourdieu (1984) gaya hidup dengan demikian merupakan produk
sistematis dari habitus, yang diterima dalam relasi timbal-balik mereka melakui skema-skema
habitus, menjadi sistem tamda yang secara sosial dikualifikasikan sebagai terhormat, vulgar, dan
sebagainya (dikutip dari Chaney, 1996). Selera mengenai keindahan dari sebuah seni merupakan
selera tinggi yang hanya dimiliki oleh kelas sosial menengah atas dimana, mereka memiliki
selera estetis dalam konsumsi. Sedangkan kelas sosial menengah bawah tidak memiliki
pengetahuan mengenai hal tersebut dan hanya mempertimbangkan secara fungsional dalam
kegiatan konsumsi.

Dalam kegiatan olahrga sebagai pengisi waktu luang memang tidak dapat dipisahkan
dengan kelas sosial dan status sosial. Menurut White and Wilson (dalam Mehus, 2005) bahwa
penonton olahraga sendiri memiliki hubungan dengan status sosial dan status ekonomi.

ACanadian study by White and Wilson (1999) investigated the relationship between
socioeconomic status and sport spectatorship, finding that income and education are positive
predictors of male and female direct consumption. Income was a stronger predictor than
education. Still, education as a positive and independent predictor of attendance at sport events,
suggests that cultural factors influence sport spectatorship.

Dalam hal itu ia menjelaskan bahwa penonton olahraga dalam aktivitas konsumsinya
memiliki hubungan dengan status sosial dan status ekonomi. Dengan biaya yang mahal dari
muay thai seperti studio muay thai dan biaya alat-alat dan juga pelatih membuat olahraga ini
semakin dinikmati oleh masyarakat kelas atas karena digunakan untuk mengartikulasikan
identitasnya dan kelas sosialnya. Menurut Featherstone (2001 hal. 207) hal ini termasuk
kecenderungan budaya konsumen dimana terdapat usaha untuk melakukan diferensiasi, untuk
mendorong permainan perbedaan (distinction), dan hal tersebut harus diperkuat dengan
pengakuan dan disahkan secara sosial. Harga merupakan salah satu cara untuk meneguhkan
perbedaan kelas.

Maraknya olahraga acroyoga di kalangan selebritis menunjukkan adanya pembedaan


selera oleh kelas tersebut sesuai dengan habitus yang dimilikinya. Menurut Bourdieu, selera
dibentuk nyaris di luar kontrol individu, bergerak di bawah level kesadaran dan bahasa melalui
relasi antara habitus, kapital, dan field. Habitus adalah seperangkat persepsi, pikiran dan tindakan
yang diperoleh melalui a way of being, a habitual state, yang ia sebut “disposition”. Disposisi
menjadi semacam kecenderungan, tendensi, seseorang. Habitus terutama dibentuk melalui proses
pendidikan dan pengasuhan. Ia juga dipengaruhi asal usul keluarga dan kelas sosial. Habitus, di
satu sisi, urai Bourdieu, merupakan struktur pembentuk tindakan, yang menentukan pilihan
selera. Di sisi lain, habitus juga merupakan struktur yang dibentuk oleh pilihan selera seseorang.
Dengan kata lain, perbedaan habitus membedakan selera dan sekaligus menguatkan selera.

Selain habitus, selera juga dipengaruhi jumlah dan komposisi kapital. Kapital, berbeda
dengan Karl Marx, bagi Bourdieu tidak hanya merujuk semata pada kapital ekonomi (modal atau
uang). Bagi Bourdieu, kapital bisa berupa kapital budaya (pendidikan, kecerdasan, cara
berbicara, gaya berpakaian, penampilan fisik), kapital sosial (jaringan, teman, kolega, klub) dan
kapital simbolik (lukisan, gelar, titel, medali, penghargaan). Selera, ujar Bourdieu, dipengaruhi
oleh seberapa besar kapital ekonomi, budaya, sosial dan simbolik yang dimiliki seseorang, dan
bagaimana komposisi keempat kapital tersebut. Seseorang yang hanya memiliki sedikit kapital
ekonomi, kapital budaya, kapital sosial dan kapital simbolik (kelas pekerja), misalnya, memiliki
selera yang berbeda dengan seseorang yang memiliki lebih banyak kapital dengan komposisi
yang lengkap (kelas pemilik modal). Para artis disini memiliki berbagai kapital yaitu kapital
ekonomi dengan uang yang banyak, kapital budaya yaitu pengetahuannya akan berbagai jenis
olahraga dan gaya hidupnya, kapital sosial yaitu kolega dan jaringan teman sesama artis yang
juga melakukan hal serupa, dan juga kapital simbolik yaitu titelnya sebagai artis. Sehingga selera
dalam memilih jenis olahraga menjadi salah satu pembeda dengan memilih olahraga acroyoga
dengan segala atributnya.
Selera juga dipengaruhi oleh field atau arena sosial. Arena sosial adalah latar atau setting
dimana posisi sosial seseorang berada. Arena sosial tercipta melalui proses interaksi antara
habitus dan kapital yang dimiliki individu. Mengikuti Max Weber, Bourdieu menolak pandangan
Marxisme tradisional yang melihat masyarakat secara dikotomis hirarkis, berdasarkan status
kelas (berbasis ekonomi kepemilikan): kelas borjuis versus proletar. Bourdieu lebih memilih
memakai istilah class fraction, untuk menjelaskan bagaimana kelas-kelas di dalam masyarakat,
bahkan dalam satu kelas sosial yang sama, saling bermanuver dalam arena sosial untuk saling
menguasai. Arena sosial yang berbeda menciptakan pilihan selera yang berbeda pula.

Penyanyi Andien memposting kegiatan muay thai-nya

Mengikuti Bourdieu, berlawanan dengan pandangan kebanyakan orang, selera bukanlah


sesuatu yang dipilih secara “bebas.” Ia bukan sesuatu yang personal, individual, privat,
subyektif. Selera terhadap segala yang berbau Korea, selera terhadap film India, selera terhadap
makanan organik, selera terhadap film indie, selera terhadap sepakbola, golf atau memancing,
dan selera terhadap apapun, simpul Bourdieu, selalu merupakan produk interaksi antara habitus,
kapital dan arena sosial tertentu. Sama halnya terhadap pembentukan selera para selebriti
terhadap olahraga muay thai dan acroyoga.

Media Sosial sebagai Peneguhan Identitas

Salah satu hal yang sangat lekat dengan kehidupan postmodern adalah kemajuan
teknologi komunikasi yang sangat lah cepat. Kehadiran sosial media disini menjadi salah satu
cara bagi individu untuk semakin meneguhkan identitasnya sebagai bagian dari kelas sosial
tertentu atau bagian dari status sosial tertentu. Salah satunya juga yang dilakukan oleh public
figure dalam akun media sosial instagramnya.

Artis-artis yang memposting fotonya sedang berolahraga acroyoga dan muay thai

Instagram meruapakan salah satu akun media sosial yang digunakan oleh masyarakat
untuk meneguhkan identitasnya. Kehadiran instagram disini untuk membagi foto mengenai
kehidupan sehar-hari dengan followers/ pengikutnya. Berbagai kegiatan bisa ditampilkan di
dalam akun sosial media tersebut. Salah satu bentuk partisipasi dan interaksi berupa likes dan
komentar. Dan instagram ini kemudian digunakan banyak artis untuk berbagi langsung mengenai
kegiatan mereka sehari-hari melalui foto-foto yang ditampilkan. Yoga dan pilates menjadi
pilihan para selebrita Tanah Air untuk menjaga kebugaran tubuh. Yang lebih spesifik, di antara
kedua jenis olahraga ini dan tengah menjadi tren di beberapa kalangan, adalah acroyoga.
Acroyoga menjadi olahraga yang tengah digemari selebriti, terutama oleh mereka yang sudah
sering latihan yoga. Jenis olahraga satu ini memberikan tantangan tersendiri. Pasalnya, saat
melakukannya, harus berakrobat, seperti 'melayang' dan jungkir balik. Figur publik
melakukannya, sebut saja Annisa Pohan, Titi DJ, Luna Maya, Olla Ramlan, dan Sophia Latjuba.
Kelima artis tersebut rajin mengunggah foto mereka saat melakoni acroyoga. Olla Ramlan,
misalnya, berpose bersama instrukturnya dengan gerakan flying backbend acroyoga dan
diabadikan di akun Instagra, @ollaramlanaufar dengan fotografer Diera Bachir.

Luna Maya juga turut mengabadikannya di akun Instagram, @lunamaya, saat tengah
melakukan pose yoga dengan kaki di atas. Ia pun memilih Pilates Movement at Elite Club
Rasuna Epicentrum sebagai lokasi berpose. Titi DJ termasuk artis yang baru-baru saja giat
melakoni acroyoga. Titi DJ sering meng-upload foto-foto dirinya bersama dua anak kembarnya
tengah acroyoga di rumahnya. Ia pun memilih Fajar Putra sebagai instrukturnya. Acroyoga disini
menjadi identik dengan olahraga mahal karena yang menggandrunginya kebanyakan selebriti
Tanah Air. Namun, sebagian orang tak memikirkan harga mahal demi kesehatan tubuhnya.
Acroyoga merupakan salah satu dasar dari yoga. Selain melatih kelenturan, acroyoga juga
melatih pernapasan. Olahraga ini menjadi salah satu gaya hidup yang tidak terpisahkan dari
masyarakat perkotaan di Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Bukan tanpa alasan, selain
baik untuk kesehatan, acroyoga juga melatih pikiran menjadi tenang. Kisaran harga untuk latihan
acroyoga pun bervariatif, mulai Rp350-Rp700 ribu per sesi (Sundayani, 2014). Sehingga dengan
harga yang mahal, kegiatan ini hanya menjadi miliki dari kalangan kelas menengah ke atas.

Postingan saat melakukan olahraga acroyoga dan muay thai ini merupakan salah satu cara
individu untuk meneguhkan status sosial dan kelas sosialnya melalui representasi diri. Pada
dasarnya, setiap orang memiliki langkah-langkah khusus dalam mempresentasikan dirinya
kepada orang lain. Apalagi, jika kesempatan mempresentasikan diri ini berada pada konteks
media sosial. Sekilas terlihat bahwa kehadiran media sosial seperti Facebook, Twitter, Blog dan
LinkedIn memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi setiap individu (user) untuk berkreasi,
khususnya dalam menampilkan diri masing-masing. Ada berbagai jenis penampilan diri yang
bisa terlihat secara kasat mata yaitu menuliskan kata-kata bijak di status maupun tweets,
menyampaikan kritik, mengkomunikasikan kondisi pribadi saat ini, menyampaikan aktivitas dan
lokasi saat ini, dan berbagai cara lainnya. Selain kata-kata, presentasi diri juga dikombinasi
dengan video, gambar dan foto seperti foto-foto di berbagai lokasi, foto bersama figur publik:
seperti pejabat negara, pakar atau ahli, aktor/artis, dll, foto hasil karya sendiri. Berbagai jenis
ekspresi yang dilakukan oleh pengguna (user) media sosial akan mengerucut pada jenis-jenis
strategi presentasi diri.

Dalam karya The Presentation o f Self in Everyday Life, Erving Goffman (1959)
menyatakan bahwa individu, disebut aktor, mempresentasikan dirinya secara verbal maupun
non-verbal kepada orang lain yang berinteaksi dengannya. Presentasi diri atau sering juga
disebut manajemen impresi (impression management) merupakan sebuah tindakan menampilkan
diri yang dilakukan oleh setiap individu untuk mencapai sebuah citra diri yang diharapkan.
Presentasi diri yang dilakukan ini bisa dilakukan oleh individu atau bisa juga dilakukan oleh
kelompok individu/tim/organisasi (Boyer, dkk, 2006:4). Melalui sosial media instagram, para
selebriti ingin merepresentasikan dirinya sebagai public figure yang kemudian menjadi panutan
dengan gaya hidup sehat dan berolahraga.

Instagram sendiri kemudian eksis menjadi salah satu ruang publik (public sphere) untuk
mengkomunikasikan selera, kelas sosial, dan status sosial yang dimiliki. Kegiatan berolahraga
menjadi salah satu aktivitas konsumsi yang kemudian digunakan oleh individu dalam
meneguhkan identitasnya dan kelas sosialnya. Maraknya para selebriti mengupload foto-foto saat
berolahraga terutama jenis olahraga yang sedang tren ini seperti acroyoga dan muay thai
merupakan salah satu cara individu untuk meneguhkan kelas sosialnya. Para artis tersebut
berasal dari kelas menengah ke atas, sehingga instagram menjadi ruang sosial di dalam dunia
maya untuk semakin meneguhkan identitas tersebut melalui aktivitas olahraga. Dikarenakan
aktrivitas olahraga yang mereka pilih bukanlah jenis olahraga yang dilakukan berbagai lapisan
masyarakat, namun hanya pada kalangan tertentu saja.
Para artis juga terlihat berbondong-bondong mengupload foto saat melakukan acroyoga
dan muay thai untuk menunjukkan bahwa setiap individu dari mereka merupakan bagian dari
kelompok dan kelas sosial tertentu. Dengan mengupload jenis olahraga yang saat ini menjadi
tren, akan memperlihatkan bahwa artis-artis tersebut sedang mengikuti sebuah tren. Dalam hal
ini taste atau selera dalam berolahraga menjadi kunci distinction bagi individu seperti yang
dikatakan oleh Bourdieu. Asumsi dasar pemikiran distinction yang digagas oleh Bourdieu bahwa
dalam kehidupan sehari-hari manusia memandang pentingnya social distinction berdasarkan
kelas-kelas sosial. Perbedaan-perbedaan tersebut dimanifestasikan melalui kepemilikan atau cara
pandang tertentu mengenai suatu hal. Pilihan-pilihan estetic seseorang kemudian membentuk
“Class Fraction” (kelompok-kelompok sosial berdasarkan kelas) yang dimana secara aktif
membedakan satu kelas sosial dengan kelas sosial lainnya. Sehingga, penggunaan sosial media
instagram disini menjadi sebuah cara bagi individu untuk semakin meneguhkan identitas dan
merepresentasikan diri melalui simbol-simbol yang melekat pada aktivitas berolahraga.
Daftar Pustaka
Bourdieu, Pierre 1996, Distinction: a Social Critique of The Judgement of Taste, Harvard
University Press, Cambridge.

Chaney, David 1996, Lifestyles: Sebuah Pengantar Komprehensif, Jalasutra, Jogjakarta.

Featherstone, Mike 2001, Posmodernisme dan Budaya Konsumen (Terjemahan), Pustaka Pelajar,

Yogyakarta.

Goffman, Erving 1959, The Presentation of Self in Everyday Life, Garden City, N.Y.:
Doubleday.

Mehus, Ingar 2005, “Distinction through Sport Consumption: Spectators of Soccer, Basketball,
Skii Jumping”, International Review for the Sociology of Sport 2005; 40; 321, sage publication.

Pelis, Michal 2010, Modern Society, Sport, and Lifestyle, diakses pada 8 Desember 2014 dari
http://web.ff.cuni.cz/~pelis/SpoModSoc.pdf

Rahardjo, Wiko 2013, Tren Muay Thai, diakses pada 8 Desember 2014 dari
http://www.readersdigest.co.id/sehat/olah.tubuh/tren.muay.thai/005/003/152

Sundayani, 2014, Ingin Ikut Acroyoga, Siapkan Dana Rp350 Ribu per Sesi, diakses pada 8
Desember 2014 dari http://lifestyle.okezone.com/read/2014/08/26/195/1030145/ingin-ikut-
acroyoga-siapkan-dana-rp350-ribu-per-sesi

Anda mungkin juga menyukai