Anda di halaman 1dari 26

5.

KARAKTERISTIK DAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN


SULFAT MASAM MENDUKUNG PERTANIAN RAMAH LINGKUNGAN

I Wayan Suastika, Wiwik Hartatik, dan I Gusti Made Subiksa


Peneliti Balitbangtan di Balai Penelitian Tanah

Pendahuluan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Indonesia telah terjadi


peningkatan laju konversi lahan pertanian ke nonpertanian. Laju konversi
lahan sawah secara nasional pada periode 1981-1999 sekitar 90 ribu
ha/th, maka hanya dalam kurun waktu singkat, yaitu periode 1999-2002
laju konversi lahan sawah meningkat drastis menjadi 188 ribu ha/th
(Badan Litbang Pertanian 2006). Isa (2006) menambahkan bahwa laju
konversi lahan sawah di Pulau Jawa jauh lebih besar dibandingkan
dengan di luar Jawa. Dengan kontribusi pemenuhan kebutuhan beras
nasional sebagian besar berasal dari Pulau Jawa, maka kondisi ini akan
berdampak buruk terhadap penyediaan pangan penduduk Indonesia yang
laju pertumbuhan penduduknya masih cukup tinggi yaitu sekitar 1,49%
pada periode 2000-2010 jika tidak ditangani secara baik. Selain itu,
kebutuhan lahan yang semakin meningkat, langkanya lahan pertanian
yang subur dan potensial, serta adanya persaingan penggunaan lahan
antara sektor pertanian dan nonpertanian, memerlukan ketersediaan
lahan baru untuk menjaga keamanan pangan nasional (Djaenudin et al.
2003).
Lahan sulfat masam, dengan arealnya yang cukup luas (sekitar 3,5
juta ha, termasuk lahan pasang surut), dapat diandalkan untuk
dikembangkan sebagai areal pertanian yang produktif asal dikelola
dengan baik sesuai dengan karakteristik lahannya (Mulyani dan Agus
2006). Noor (1996) mengemukakan bahwa lahan sulfat masam biasanya
berasosiasi dengan lahan gambut, sehingga luasnya terus mengalami
peningkatan karena terjadinya penipisan lapisan gambut yang berada di
lapisan atas sehingga mendekatkan lapisan pirit ke permukaan.
Pengembangan lahan sulfat masam untuk lahan pertanian
menghadapi banyak kendala, antara lain kemasaman tanah yang tinggi
dan ketersediaan hara P yang rendah karena difiksasi oleh Al dan Fe.
Dent (1986) menambahkan bahwa rendahnya produktivitas lahan sulfat
masam selain disebabkan oleh tingginya kemasaman tanah yang
menyebabkan meningkatnya kelarutan unsur beracun seperti Al, Fe, dan
Mn, juga karena rendahnya kejenuhan basa. Kemasaman tanah yang
tinggi memicu larutnya unsur beracun dan meningkatnya kahat hara
sehingga tanah menjadi tidak produktif.
96 Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan

Untuk dapat dikembangkan sebagai lahan pertanian produktif,


berkelanjutan serta pertanian yang ramah lingkungan, perlu terlebih
dahulu diketahui karakteristik dan kendala-kendala pengembangannya
sehingga penanganannya lebih tepat. Pengelolaan lahan sulfat masam
yang tepat dan memperhatikan kelestarian lingkungan dengan
menerapkan teknologi yang adaptif terhadap perubahan iklim dengan
tingkat emisi gas rumah kaca yang rendah, meminimalkan residu
agrokimia, pengendalian hama penyakit dengan pestisida nabati/hayati
yang ramah lingkungan, meningkatkan keanekaragaman hayati serta
menekan degradasi tanah baik sifat fisik, kimia, dan biologi.
Hasil berbagai penelitian menunjukkan bahwa jika dikelola dengan
baik menggunakan teknologi tepat guna berdasarkan karakteristik
lahannya, maka lahan sulfat masam dapat dikembangkan sebagai lahan
pertanian yang produktif. Penataan lahan dan tata air yang sesuai dengan
karakteristik lahannya, pemilihan komoditas dan varietas yang tepat, serta
penerapan teknologi ameliorasi dan pemupukan yang tepat merupakan
usaha komprehensif yang dapat dilakukan untuk menjamin keberhasilan
pengelolaan lahan sulfat masam menjadi lahan pertanian produktif. Hasil
penelitian menunjukkan jika lahan sulfat masam dikelola secara benar,
hampir seluruh komoditas pangan, hortikultura, dan perkebunan cocok
dikembangkan dan dapat menghasilkan dengan baik.
Potensi, Karakteristik, dan Klasifikasi Lahan Sulfat Masam
Penyebaran dan luasan lahan pasang surut
Tanah mineral yang dijumpai di wilayah pasang surut terbentuk dari
bahan endapan laut (marine) yang proses pengendapannya dipengaruhi
oleh air laut. Pada wilayah agak ke dalam, pengaruh sungai relatif masih
kuat sehingga tanah bagian atas terbentuk dari endapan sungai
sedangkan bagian bawah terdapat lapisan tanah mineral yang
mengandung bahan sulfidik (pirit) yang tinggi. Lahan rawa pasang surut
yang tersebar di tiga pulau besar Indonesia (Sumatera, Kalimantan, dan
Papua) berdasarkan peta sumber daya tanah eksplorasi Indonesia (skala
1:1.000.000) dapat dipilah menjadi lahan rawa yang terbentuk dari tanah
mineral dan tanah gambut (Puslitbangnak 2000). Tabel 1 menunjukkan
bahwa luas total lahan rawa sekitar 34,7 juta ha, sekitar 27,8 juta ha
diantaranya tergolong tanah mineral. Tanah mineral umumnya didominasi
oleh Inceptisols (Endoaquepts, Sulfaquepts) dan Entisols (Hidraquents)
Mulyani et al. (2004). Nugroho et al. (1991) menambahkan bahwa lahan
rawa pasang surut mineral dibedakan menjadi lahan potensial yang
memiliki kedalaman lapisan sulfidik > 50 cm, pH tanah > 5,5 dan relatif
tidak mempunyai masalah hara dengan luas 2,07 juta ha, dan lahan sulfat
masam yaitu lahan dengan lapisan sulfidik < 50 cm atau memiliki horizon
sulfurik dengan luas 6,71 juta ha.

Karakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan 97

Tabel 1. Luas lahan rawa berdasarkan bahan induk, landform, dan


tanahnya

Bahan Sub
Landform Tanah 1 Tanah 2 Total (ha)
induk landform
Aluvium Aluvial Aluvial Endoaquepts Dystrudepts 89.189
Basin (lakustrin)
Endoaquents 82.993
Dataran Endoaquepts Endoaquents 873.681
aluvial
Sulfaquepts Sulfaquents 400.238
Dataran Endoaquepts Endoaquents 409.306
aluvio-
koluvial
Jalur Endoaquepts Dystrudepts 4.608.883
aliran
sungai
Udifluvents 3.884.093
Rawa Endoaquepts Sulfaquents 653.445
belakang
delta atau
dataran
Fluvio- Estuarin Endoaquepts Sulfaquents 2.224.988
marin
Marin Dataran Endoaquepts Endoaquents 1.308.263
pasang
surut
Halaquepts 302.959
Hydraquents Sulfaquents 3.200.213
Pesisir Udipsamments Endoaquents 1.482.386
pantai
Aluvium Aluvial Basin Endoaquepts Haplohemists 835.590
dan aluvial
(lakustrin)
Organik Marin Dataran Endoaquents Haplohemists 2.513.207
pasang
surut
Total 27.845.233
Sumber: Mulyani et al. (2004) dan Nugroho et al. (1991)

Karakteristik dan klasifikasi lahan sulfat masam


Lahan sulfat masam tergolong lahan yang marginal dan fragile (rapuh)
yang dicirikan oleh adanya lapisan tanah yang mengandung pirit 2,0 %
atau lebih pada kedalaman kurang dari 50 cm. Widjaja Adhi et al. (1986)
menambahkan bahwa lahan sulfat masam memiliki horizon sulfidik dan
atau sulfurik pada kedalaman 120 cm dari permukaan tanah mineral.
Pada umumnya lahan sulfat masam terbentuk pada lahan pasang surut

dKarakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
98 Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan

yang memiliki endapan laut (marine). Di lapangan banyak cara dan ciri
dapat digunakan untuk mengindentifikasi adanya lapisan pirit. Adanya
hutan mangrove, konsistensi lumpur/tak matang atau bercak jarosite
berwarna kekuningan jerami pada tanah memastikan adanya lapisan pirit
dalam tanah. Selanjutnya sifat atau ciri lain yang dapat membantu dalam
mengidentifikasi lapisan pirit adalah: a) adanya warna reduksi kelabu atau
kelabu kehijauan, baik dengan maupun tanpa bercak hitam; b) adanya
bahan organik, terutama berupa akar serabut, atau berseling dengan
lapisan mineral berkonsistensi setengah matang; dan c) adanya bau H2S
pada tanah yang terganggu atau diolah.
Pirit (FeS2) pada kondisi anaerob atau tergenang adalah senyawa
yang stabil dan tidak berbahaya, akan tetapi menjadi berbahaya jika
kondisi tanah berubah menjadi aerob. Senyawa pirit dalam kondisi aerob
akan teroksidasi dan menghasilkan senyawa beracun serta meningkatkan
kemasaman tanah, yang berbahaya bagi pertumbuhan tanaman. Ada dua
keadaan yang menyebabkan pirit berada dalam kondisi aerob yaitu
apabila tanah pirit diangkat ke permukaan tanah (misalnya pada waktu
mengolah tanah, membuat saluran, atau membuat surjan) dan jika
permukaan air tanah turun (misalnya pada musim kemarau). Dent (1986)
dan Langenhoff (1986) melaporkan bahwa hasil oksidasi pirit, antara lain
asam sulfat dan hidroksida besi yang menyebabkan reaksi tanah sangat
masam. Senyawa yang terbentuk secara alamiah dapat mengalami reaksi
penetralan dengan terbentuknya senyawa jarosit yang berupa bercak-
bercak karatan berwarna kuning jerami. Lebih jauh Dent (1986)
menambahkan bahwa reaksi oksidasi pirit berlangsung beberapa tahap,
baik berupa reaksi kimia maupun biologi. Pada reaksi tahap awal, oksigen
terlarut secara lambat akan bereaksi dengan pirit menghasilkan 4 molekul
H+ per molekul pirit yang dioksidasi, dengan reaksi sebagai berikut:

FeS2 + 15/4O2 + 7/2H2O  Fe(OH)3 + 2SO42- + 4H+


Apabila pada reaksi tahap awal mengakibatkan pH tanah turun
hingga di bawah 4, maka feri (Fe3+) akan larut dan mengoksidasi pirit
dengan cepat. Reaksi oksidasi pirit oleh Fe3+ secara lengkap akan
menghasilkan 16 molekul H+ digambarkan dengan reaksi sebagai berikut:
FeS2 + 14Fe3+ + 8H2O  15Fe2+ + 2SO42- + 16H+
Pada nilai pH kurang dari 3,5 reaksi oksidasi kimia ini berjalan
sangat lambat dengan waktu paruh 1.000 hari. Kecepatan oksidasi pirit
oleh Fe3+ sangat dipengaruhi oleh pH, karena Fe3+ hanya larut pada nilai
pH di bawah 4 dan Thiobacillus ferrooxidans tidak tumbuh pada pH yang
tinggi. Besi oksida dan pirit di dalam tanah mungkin secara fisik berada
pada tempat yang berdekatan, namun ada tidaknya reaksi di antara
mereka sangat dipengaruhi oleh kelarutan Fe3+.

Karakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan 99

Kecepatan oksidasi pirit cenderung bertambah dengan menurunnya


pH tanah. Pada pH di bawah 4, proses oksidasi terhambat oleh suplai O2.
Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kecepatan penurunan
pH akibat oksidasi pirit yaitu: 1) jumlah pirit; 2) kecepatan oksidasi; 3)
kecepatan perubahan bahan hasil oksidasi; dan 4) kapasitas netralisasi.
Kalsium karbonat dan basa dapat ditukar merupakan bahan penetralisir
kemasaman dimana reaksinya dengan asam sulfat berjalan cepat (Van
Breemen 1993).
Hasibuan (2008) melaporkan bahwa kemasaman yang tinggi akibat
teroksidasinya pirit, akan menghancurkan ikatan alumino-silikat dan
membebaskan ion Al3+ yang kemudian mendesak kation hara seperti K,
Ca, dan Mg dari komplek jerapan. Tingginya tingkat kemasaman tanah
juga mengakibatkan bertambahnya kelarutan ion-ion Fe2+, Al3+,dan Mn2+
di dalam tanah yang dapat bersifat racun bagi tanaman. Kemasaman
tanah (pH) yang rendah juga menyebabkan ketersediaan fosfat menjadi
berkurang karena diikat oleh besi atau aluminium dalam bentuk besi
fosfat atau aluminum fosfat, serta kejenuhan basa menjadi rendah,
sehingga terjadi kekahatan unsur hara di dalam tanah. Selain itu unsur
hara yang terdesak akan hilang melalui pencucian air pengairan baik
vertikal maupun horizontal. Tanah menjadi masam dan miskin hara.
Untuk merehabilitasi lahan seperti itu diperlukan tindakan antara lain
dengan pengelolaan tata air baik mikro maupun makro.
Karena kondisi lingkungannya beragam maka karakteristik lahan
sulfat masam sangat beragam. Klasifikasi lahan sulfat masam juga dikenal
beberapa istilah yang mencerminkan kondisi lingkungan dan tingkat
besarnya kendala yang dihadapi. Di lapangan, lahan ini dapat ditemukan
dalam dua keadaan, yaitu sebagai lahan sulfat masam potensial (SMP)
yang lapisan piritnya berada dalam status reduksi atau proses
pemasaman belum berjalan dan lahan sulfat masam aktual (SMA) yang
lapisan piritnya telah teroksidasi atau proses pemasaman telah
berlangsung. Proses pemasaman terjadi bila aerasi mencapai lapisan pirit,
sehingga pirit mengalami oksidasi melepas asam sulfat. Karakteristik
tanah yang menentukan tipologi lahan sulfat masam adalah kedalaman
lapisan sulfidik dan sulfurik. Menurut Widjaja Adhi (1986) lahan sulfat
masam adalah lahan sulfat masam aktual dan potensial dengan lapisan
sulfidik < 50 cm. Sedangkan lahan potensial adalah lahan sulfat masam
potensial yang memiliki kedalaman lapisan sulfidik > 50 cm. Selanjutnya
Widjaja Adhi (1995) merevisi tipologi lahan menjadi lahan bersulfida
dangkal, lahan bersulfida dangkal bergambut, lahan bersulfat-1, lahan
bersulfat-2, dan lahan bersulfat-3 sebagai pengganti istilah lahan sulfat
masam. Sedangkan untuk lahan potensial diterjemahkan menjadi lahan
bersulfida sangat dalam dan lahan bersulfida dalam (Tabel 2).
Tabel 2. Klasifikasi tipologi lahan sulfat masam

dKarakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
100 Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan

Tipologi lahan Simbol Kriteria


Lahan P Kadar pirit <2% belum mengalami proses oksidasi, terletak
potensial pada kedalaman >50 cm dari permukaan tanah, termasuk
(Sulfat tanah sulfat masam potensial. Kendala produksi dan
masam kemungkinan munculnya kendala tersebut diperkirakan
Potensial) kecil.
Lahan sulfat SMP Lapisan pirit dengan kadar >2% tidak/belum mengalami
masam proses oksidasi, dan terletak lebih dangkal, <50 cm dari
potensial pemukaan tanah.
Memiliki horizon sulfurik, dengan jarosit/brown layer, pH
Sulfat masam SMA (H2O)<3,5
aktual

Sumber: Widjaja Adhi et al. (1986)

Dinamika nomenklatur lahan sulfat masam terus berlanjut dengan


perubahan kecil pada lahan potensial (bahan sulfidik >50 cm), menjadi
lahan potensial-1 (bahan sulfidik >100 cm) dan lahan potensial-2 (bahan
sulfidik 50-100 cm), serta penamaan lahan sulfat masam bergambut
menjadi lahan sulfat masam potensial bergambut, dengan kedalaman
lapisan gambut di permukaan tanah antara 20-40 cm (Tabel 3).

Tabel 3. Klasifikasi lahan sulfat masam daerah pasang surut


Klasifikasi rawa Kode Tipologi lahan Kedalaman
pirit (cm)
Pasang surut air tawar SMP-1 Aluvial bersulfida dangkal <50
SMP-2 Aluvial bersulfida dalam 50 – 100
SMP-3/A Aluvial bersulfida sangat >100
dalam
SMA-1* Aluvial bersulfat 1; pH 3,5 <100
SMA-2* Aluvial bersulfat 2; pH 3,5 <100
SMA-3 Aluvial bersulfat 3; pH 3,5 >100
HSM Aluvial bersulfida <501)
bergambut
Pasang surut air asin/ SMP-1/S Alufial bersulfida dangkal <50
payau SMP-2/S Alufial bersulfida dalam 50-100
SMP- Alufial bersulfida sangat >100
3/A/S dalam
*
SMA-1 = belum memenuhi ciri horizon sulfurik, pH 3,5 dan sering tampak bercak berpirit;
SMA-2 = menunjukkan adanya ciri horizon sulfuric 1) Diukur mulai dari permukaan tanah
mineral
Sumber: Widjaja-Adhi et al. (2004)

Karakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan 101

Sulfat masam potensial


Lahan sulfat masam potensial (SMP) merupakan lahan yang mempunyai
bahan sulfidik (pirit) pada kedalaman >100 cm dari permukaan tanah,
mempunyai pH > 3,5 yang makin tinggi selaras dengan kedalaman tanah.
Bahan sulfidik pada lahan sulfat masam potensial umumnya berada pada
keadaan reduksi dan akan segera teroksidasi jika bahan sulfidik
tersingkap ke permukaan, yang mengakibatkan pH tanah menjadi < 3,5.
Lahan sulfat masam potensial pada data profilnya sering kali
menunjukkan adanya lapisan gambut permukaan yang tipis. Tanah SMP
dari Sumatera tekstur seluruh lapisan tanahnya halus, dengan kandungan
liat antara 40-75% dan debu 25-60%, sedangkan tanah SMP dari
Kalimantan kandungan liatnya bervariasi antara 40-85%, dan debu 20-
50%. Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa tekstur tanah lapisan
atas termasuk liat berdebu, sedangkan lapisan bawahnya liat berdebu
atau liat.
Reaksi tanah di seluruh lapisan bervariasi dari sangat masam
dengan pH 3,5 atau kurang sampai dengan masam pH 4,5-4,8, dan
cenderung semakin masam pada lapisan yang lebih bawah. Tingkat
kemasaman tanah pada lapisan atas rata-rata masam pH 4,0-4,3,
sedangkan lapisan di bawahnya sangat masam dengan pH 3,5-3,8.
Kandungan garam, dengan data terbatas yang hanya berasal dari SMP
Kalimantan, ditunjukkan oleh daya hantar listrik yang bervariasi antara
7.000-21.000 dS/m, dengan rata-rata termasuk sangat tinggi sekali
(7.253-7.320 dS/m), baik di lapisan atas maupun lapisan bawah.
Pada tanah SMP baik yang berasal dari Sumatera maupun
Kalimantan, kandungan bahan organiknya, tidak termasuk lapisan gambut
tipis di permukaan tanah, bervariasi dari sedang sampai dengan sangat
tinggi yaitu 9,16-20,54% di lapisan atas dan 6,31-6,61% di lapisan
bawah. Sedangkan kandungan N tergolong tinggi yaitu 0,59-0,70% di
lapisan atas, dan turun menjadi 0,17-0,28% (rendah sampai sedang).
Rasio C/N di seluruh lapisan tanah bervariasi dari tinggi sampai sangat
tinggi, dan cenderung meningkat di lapisan bawah. Rata-rata C/N
tergolong tinggi (16-24) di lapisan atas, dan sangat tinggi (30-31) di
lapisan bawah.
Kandungan fosfat potensial (P2O5-HCl) pada SMP dari Sumatera
bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi yaitu 58 mg/100 g tanah di
lapisan atas, dan menurun menjadi rendah sampai sedang yaitu 20
mg/100 g tanah di lapisan bawah. Sementara kandungan P2O5 di seluruh
lapisan pada SMP dari Kalimantan, bervariasi dari rendah sampai sangat
tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, rata-rata kandungan
P2O5 potensial di lapisan atas termasuk sangat tinggi yaitu 115 mg/100 g
tanah, dan di lapisan bawah tergolong sedang yaitu 33 mg/100 g tanah.

dKarakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
102 Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan

Kandungan K2O tergolong sedang (32-35 mg/100 tanah) di lapisan atas,


dan sedang sampai tinggi (29-60 mg/100 tanah) di lapisan bawah.
Sedangkan kandungan fosfat tersedia (P2O5 Bray-I) tergolong sedang
sampai tinggi yaitu 17,7-32,3 ppm di lapisan atas, dan sedang yaitu 15,2-
17,0 ppm di lapisan bawah. Jumlah basa, baik di lapisan atas maupun
lapisan bawah, tergolong tinggi yaitu 18,0-28,3 cmol(+)/kg tanah. Basa
dapat tukar yang dominan di seluruh lapisan tanah adalah Mg, yang
tergolong sangat tinggi yaitu 10,89- 14,19 cmol(+)/kg tanah, pada SMP
dari Sumatera, dan termasuk tinggi yaitu 7,05-8,02 cmol(+)/kg tanah
pada SMP dari Kalimantan, serta kandungan Na tergolong sangat tinggi
sampai sangat tinggi sekali, baik di lapisan atas yaitu 2,34-6,01
cmol(+)/kg tanah maupun di lapisan bawah yaitu 4,91-5,61 cmol(+)/kg
tanah. Sebaliknya kandungan Ca-dapat tukar tergolong rendah sampai
sedang, baik di lapisan atas maupun lapisan bawah yaitu masing-masing
5,11-7,84 cmol(+)/kg tanah dan 4,61-7,95 cmol(+)/kg tanah. Sedangkan
kandungan K-dapat tukar, tergolong sedang yaitu 0,43-0,64 cmol(+)/kg
tanah di seluruh lapisan. Kapasitas tukar kation tanah tergolong tinggi
sampai sangat tinggi yaitu 31,5-62,5 cmol(+)/kg tanah di lapisan atas,
dan tinggi yaitu 28,9-32,7 cmol(+)/kg tanah di lapisan bawah, karena
pengaruh kandungan bahan organik yang sangat tinggi.
Basa-basa di semua lapisan sampai kedalaman 180 cm sangat
bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi sekali, dan cenderung turun di
lapisan bawah, dengan rata-rata jumlah basa, baik di lapisan atas
maupun lapisan bawah tergolong tinggi yaitu 21,9-29,1 cmol(+)/kg
tanah. Seperti pada tipe-tipe lahan sebelumnya, basa dapat ditukar yang
dominan di seluruh lapisan adalah Mg dan Na. Mg terdapat dalam jumlah
tinggi sampai sangat tinggi sekali, dan rata-ratanya sangat tinggi (8,30-
9,25 cmol(+)/kg tanah) di semua lapisan. Demikian juga Na terdapat
dalam jumlah tinggi sampai sangat tinggi sekali di seluruh lapisan,
sehingga rata-ratanya termasuk sangat tinggi sekali yaitu 9,70-14,87
cmol(+)/kg tanah. Sebaliknya kandungan Ca-dapat ditukar umumnya
bervariasi dari sangat rendah sampai sedang, dan rata-ratanya tergolong
rendah yaitu 3,49-4,12 cmol(+)/kg tanah di lapisan atas dan lapisan
bawah. Sedangkan K-dapat ditukar tergolong tinggi yaitu 0,89 cmol(+)/kg
tanah di lapisan atas, dan rendah yaitu 0,37 cmol(+)/kg tanah di lapisan
bawah. Kapasitas tukar kation tanah bervariasi dari tinggi sampai sangat
tinggi, dan rata-ratanya tergolong tinggi yaitu 33,5-37,2 cmol(+)/kg tanah
di seluruh lapisan karena kontribusi dari bahan organik.

Sulfat masam aktual


Secara umum tanah sulfat masam aktual (SMA) mempunyai pH tanah
lapang < 3,5, mempunyai horizon sulfurik atau tanda-tanda horizon
sulfurik yang disebabkan oleh teroksidasinya pirit akibat drainase
berlebihan. Tingkat kemasaman (pH) yang rendah dapat mengakibatkan

Karakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan 103

tingginya kelarutan Al3+ yang dapat meracuni pertumbuhan tanaman.


Selain itu tanah SMA umumnya mempunyai lapisan gambut permukaan
yang tipis yaitu sekitar 0-12 cm. Seluruh lapisan tanah memiliki tekstur
halus, dengan kandungan fraksi liat 35-70%, dan debu 25-60%, sehingga
tekstur tanah lapisan atas tergolong liat berdebu, dan di lapisan bawah
liat. Lapisan atas bereaksi sangat masam sekali (pH 3,6), sementara
lapisan bawah antara kedalaman 20-120 cm menunjukkan pH antara 1,8-
3,5 dengan pH rata-rata 2,8 sehingga tergolong bereaksi masam ekstrim.
Kandungan bahan organik di seluruh lapisan bervariasi tinggi
sampai sangat tinggi, sehingga rata-ratanya tergolong sangat tinggi yaitu
7,51-10,93%. Kandungan N rata-rata tergolong sedang yaitu 0,22-0,49%
di seluruh lapisan, dan cenderung menurun di lapisan-lapisan bawah.
Rasio C/N bervariasi dari tinggi sampai sangat tinggi, dan bertambah
besar di lapisan bawah. Karena itu rasio C/N rata-rata tergolong tinggi
(25) di lapisan atas, dan sangat tinggi (39) di lapisan bawah.
Kandungan fosfat potensial (P2O5-HCl 25%) di lapisan atas
bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi, dan rata-ratanya termasuk
tinggi yaitu 45 mg/100 g tanah. Kandungan P2O5 lapisan bawah, sebagian
besar sangat rendah sampai sedang, sehingga rata-ratanya rendah yaitu
17 mg/100 g tanah. Sebaliknya kandungan K2O potensial (HCl 25%),
sebagian besar tinggi sampai sangat tinggi di semua lapisan, sehingga
rata-ratanya tergolong sangat tinggi yaitu 73-81 mg/100 g tanah.
Jumlah basa-basa di semua lapisan sampai sedalam 180 cm sangat
bervariasi dari rendah sampai sangat tinggi sekali, dan cenderung
menurun di lapisan bawah. Karena itu, rata-rata jumlah basa, baik di
lapisan atas maupun lapisan bawah tergolong tinggi yaitu 21,9-29,1
cmol(+)/kg tanah. Seperti pada tipe-tipe lahan sebelumnya, basa dapat
ditukar yang dominan di seluruh lapisan adalah Mg dan Na. Mg terdapat
dalam jumlah tinggi sampai sangat tinggi sekali, dan rata-ratanya sangat
tinggi yaitu 8,30-9,25 cmol(+)/kg tanah di semua lapisan. Demikian juga
Na terdapat dalam jumlah tinggi sampai sangat tinggi sekali di seluruh
lapisan, sehingga rata-ratanya termasuk sangat tinggi sekali yaitu 9,70-
14,87 cmol(+)/kg tanah. Sebaliknya kandungan Ca-dapat ditukar
umumnya bervariasi dari sangat rendah sampai sedang, dan rata-ratanya
tergolong rendah yaitu 3,49-4,12 cmol(+)/kg tanah di lapisan atas dan
lapisan bawah. Sedangkan K-dapat ditukar tergolong tinggi yaitu 0,89
cmol(+)/kg tanah di lapisan atas, dan rendah yaitu 0,37 cmol(+)/kg
tanah di lapisan bawah. Kapasitas tukar kation tanah bervariasi dari tinggi
sampai sangat tinggi, dan rata-ratanya tergolong tinggi yaitu 33,5-37,2
cmol(+)/kg tanah di seluruh lapisan karena kontribusi dari bahan organik.

dKarakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
104 Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan

Kendala Pengembangan Lahan Sulfat Masam

Pengembangan lahan sulfat masam untuk pertanian menghadapi


berbagai kendala karena karakteristik kimianya ekstrim dan ekosistemnya
yang rapuh dengan tingkat keragaman yang tinggi. Kendala tersebut
antara lain:

Keracunan aluminium
Keracunan aluminium berhubungan langsung dengan pH tanah yang
biasanya terjadi pada pH kurang dari 5. Terjadinya keracunan aluminium
tergantung pada berbagai faktor diantaranya konsentrasi Al, pH tanah,
jenis, dan umur tanaman, serta kadar P dalam tanah. Untuk tanaman
padi, Al meracuni tanaman padi di persemaian pada konsentrasi 0,5-2
mg/l dalam kultur air. Pada tanaman padi yang berumur 3 – 4 minggu
setelah tanam, gejala keracunan muncul jika konsentrasi Al mencapai 25
mg/l. Gejala keracunan Al yang umum dijumpai di lapangan antara lain
berupa perakaran padi yang kurang berkembang, terjadi perubahan
warna antara tulang daun, dan menjadi kuning oranye pada ujung dan
tepi daun serta diikuti oleh bercak coklat, terjadinya perubahan warna
daun menjadi oranye terutama pada persemaian.

Keracunan besi
Dalam kondisi pH tanah rendah yang dibarengi dengan rendahnya tingkat
kesuburan tanah, terutama rendahnya kandungan P dan K tanah tersedia,
tanaman padi sudah akan mengalami gejala keracunan jika konsentrasi
besi mencapai 50 mg/l, tetapi pada tanah yang tingkat kesuburannya
baik, tanaman masih toleran terhadap keracunan besi walaupun
konsentrasinya lebih dari 200 mg/l. Gejala yang muncul pada tanaman
padi yang mengalami keracunan besi antara lain adanya bercak kecil
berwarna coklat (bercak karatan) dimulai dari ujung daun, pertumbuhan
daun dan anakan tertekan, dan sistem perakarannya kasar, jarang, dan
berwarna coklat gelap.

Keracunan hidrogensulfida
Keracunan H2S dapat terjadi pada tanah sulfat masam yang banyak
mengandung bahan organik, sebagai hasil dari reduksi sulfat dalam tanah
yang tergenang. Tanaman yang keracunan H2S sangat mudah terkena
infeksi.

Defisiensi fosfat
Tingginya kelarutan Al dan Fe dalam larutan tanah dapat menyebabkan
rendahnya ketersediaan P pada tanah sulfat masam. Hal ini terjadi karena
P membentuk komplek dengan Al atau Fe yang mengendap sehingga
tidak tersedia bagi tanaman. Defisiensi P merupakan hambatan yang

Karakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan 105

paling serius pada tanaman di lahan sulfat masam. Tanaman yang


kekurangan P menunjukkan gejala kerdil, anakan sedikit, daunnya
meruncing, dan berwarna hijau gelap.

Teknologi Pengelolaan dan Pemanfaatan Lahan Sulfat Masam

Pengelolaan lahan dan tata air


Sistem pengelolaan lahan dan tata air merupakan salah satu faktor
penentu keberhasilan pengembangan pertanian di lahan pasang surut.
Pengelolaan lahan dan tata air bertujuan untuk mengatur pemanfaatan
sumber daya alam secara optimal untuk mendapatkan hasil/manfaat
secara maksimal, serta sekaligus mempertahankan kelestarian sumber
daya alam tersebut. Langkah utama dalam kegiatan tersebut ditujukan
pada penguasaan air untuk: 1) memanfaatkan air pasang untuk
pengairan; 2) mencegah akumulasi garam pada daerah perakaran; 3)
mencuci zat-zat beracun bagi tanaman; dan 4) mengatur tinggi genangan
untuk sawah dan permukaan air tanah guna menghindari oksidasi pirit.
Sistem penataan lahan dan air untuk lahan sulfat masam
ditentukan berdasarkan tipologi lahan dan tipe luapan air pasang,
pengelolaan tanaman, kemungkinan dampak buruknya terhadap
lingkungan, serta kebutuhan tanaman terhadap air. Berdasarkan
hidrotofografinya, lahan sulfat masam dibagi menjadi empat katagori
yaitu: 1) lahan bertipe luapan A; 2) lahan bertipe luapan B; 3) lahan
bertipe luapan C; dan 4) lahan bertipe luapan D. Tipe luapan ini sangat
menentukan sistem pengelolaan pada tiap tipologi lahan. Lahan sulfat
masam dengan tipe luapan A adalah lahan yang terluapi oleh air pasang
besar maupun pasang kecil dan dapat ditata sebagai sawah. Lahan ini
mengalami risiko paling kecil terhadap pemasaman karena lapisan pirit
biasanya selalu jenuh air. Lahan tipe luapan B adalah lahan yang hanya
terluapi oleh pasang besar saja, yang biasanya terjadi pada saat bulan
purnama atau bulan mati, masing-masing selama 5 – 7 hari. Dalam 168
bulan diperkirakan pasang besar terjadi sekitar 10 – 14 hari. Lahan
bertipe luapan B karena hanya digenangi air pasang besar umumnya
dikelola menjadi lahan sawah atau sistem surjan. Lahan sulfat masam
dengan tipe luapan C adalah lahan yang tidak terluapi oleh pasang besar
maupun kecil, tetapi kedalaman air tanahnya berkisar 0–50 cm dari
permukaan tanah. Sistem pengelolaan air yang dianjurkan adalah dengan
sistem tabat. Lahan bertipe luapan D dapat ditata sebagai sawah tadah
hujan atau tegalan/perkebunan dengan sistem pengelolaan air dengan
sistem tabat (Gambar 1). Pengelolaan sistem tabat dimaksudkan untuk
membantu mempertahankan permukaan air tanah setinggi mungkin agar
tidak terjadi pemasaman berlanjut. Lahan sulfat masam dengan tipe
luapan C yang air tanahnya dangkal <45 cm untuk lahan potensial, dan

dKarakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
106 Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan

<15 untuk lahan sulfat masam ditata sebagai sawah tadah hujan atau
dibentuk surjan secara bertahap. Sedangkan lahan dengan tipe luapan D
adalah lahan yang tidak terluapi oleh pasang besar maupun kecil dengan
kedalaman muka air tanah > 50 cm (Tabel 4).
Tabel 4. Penataan dan pola pemanfaatan lahan yang dianjurkan pada
setiap tipologi lahan dan tipe luapan air di pasang surut
Tipe luapan air
Kode Tipologi lahan
A B C D
SMP-1 Aluvial bersulfida
Sawah Sawah Sawah -
dangkal
Aluvial bersulfida
SMP-2 Sawah Sawah/surjan Sawah/surjan Sawah/tegalan/kebun
Dalam
SMP-3 Aluvial bersulfida Sawah/tegalan
- Sawah/surjan
sangat dalam /kebun
SMA-1 Aluvial bersulfat 1 - Sawah/surjan Sawah/surjan Sawah/tegalan/kebun
SMA-2 Aluvial bersulfat 2 - Sawah/surjan Sawah/surjan Sawah/tegalan/kebun
SMA-3 Aluvial bersulfat 3 - - Sawah/kebun Tegalan/kebun
Aluvial bersulfida
HSM - Sawah Sawah/tegalan Tegalan/kebun
dangkal bergambut
G-1 Gambut dangkal - Sawah Sawah/tegalan Tegalan/kebun
G-2 Gambut sedang - Kebun/kebun Kehutanan
G-3 Gambut dalam - Kebun/kebun Konservasi
Sumber: Widjaja-Adhi (1995)
Terlepas dari berbagai kendala yang dihadapi, pengelolaan lahan
dengan sistem surjan memegang peranan penting di lahan pasang surut
karena daerah ini didominasi oleh lahan bertipe luapan B dan C. Hal ini
disebabkan oleh sistem surjan mempunyai beberapa keuntungan antara
lain: 1) stabilitas produksi lebih terjamin, terutama untuk tanaman padi
sawah di tabukan; 2) intensitas tanam lebih tinggi; dan 3) diversifikasi
tanaman sekaligus dapat terlaksana. Ukuran surjan di lahan pasang surut
tergantung pada tipologi lahan dan luapan air, kedalaman pirit, dan air
tanah.

Karakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan 107

Saluran primer/jalur A

Stoplog Stoplog

Stoplog Saluran keliling

Saluran tersier pemasukan


Saluran sekunder pengeluaran

Saluran sekunder pengeluaran


Saluran dangkal intensif
Saluran
cacing
Saluran kuarter pengeluaran

Stoplog

Saluran tersier pengeluaran

Gambar 1. Jaringan tata air sistem tabat untuk tipe luapan C dan D

Pengeloaan air
Pengelolaan air pada pengembangan lahan pasang surut perlu dilakukan
sejak penggalian saluran mulai dikerjakan untuk menghindari penurunan
muka air tanah secara drastis karena akan mengakibatkan teroksidasinya
lapisan pirit. Tata air di tingkat usaha tani pada lahan bertipe luapan A
dan B diatur dalam sistem aliran satu arah (one way flow system) agar
pencucian bahan beracun berjalan dengan baik (Gambar 2).
Dalam rancangan infrastruktur hidrologi, pengelolaan air dibedakan
dalam: 1) pengeloalan air makro, yaitu pengelolaan air pada tingkat
kawasan reklamasi; dan 2) pengelolaan air mikro, yaitu pengaturan air di
tingkat lahan petani. Pengelolaan air di tingkat tersier mengkaitkan
pengelolaan air makro dan pengelolaan air mikro.

dKarakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
108 Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan

Saluran primer/jalur A

Flapgate (inlet) Flapgate (outlet)

Saluran sekunder pengeluaran


Flapgate (inlet)
Saluran sekunder pemasukan

Saluran tersier pemasukan

A A
Saluran kuarter
pengeluaran Flapgate (outlet)

Saluran tersier pengeluaran

Gambar 2. Jaringan tata air sistem saluran satu arah

Pengelolaan air makro


Tujuan kegiatan ini adalah mengelola berfungsinya jaringan drainase –
irigasi: navigasi – primer – sekunder – tersier.

Pengelolaan air di tingkat tersier


Saluran tersier berfungsi untuk: 1) memasukkan air irigasi; 2) mengatur
tinggi muka air di saluran; 3) mengatur kualitas air dengan membuang
bahan toksik yang terbentuk di lahan petani dan mencegah air
salin/payau masuk ke lahan petani. Hal ini dilakukan dengan memasang
pintu air atau tabat di dekat muara atau perbatasan lahan usaha dan
pemukiman.
Secara tradisional setiap saluran berfungsi ganda, sebagai saluran
drainase tatkala air surut dan sebagai saluran irigasi tatkala air pasang.
Aliran air di dalam saluran dapat bolak-balik. Hal ini menyebabkan kualitas
air di hulu suatu saluran lebih jelek dari yang di dekat muara saluran
tersebut. Untuk mengatasi masalah ini sistem aliran-satu-arah (one way
flow system) di tingkat tersier dianjurkan.

Sistem aliran satu arah


Pelaksanaan sistem aliran satu arah memerlukan rekayasa sosial.
Diperlukan kesepakatan sekurang-kurangnya diantara petani-petani yang
lahan usahanya termasuk dalam dua saluran tersier bersebelahan. Satu
saluran tersier sebagai saluran pemasukan dengan memasang pintu klep
membuka ke dalam, dan saluran tersier di sebelahnya sebagai saluran
pengeluaran/drainase dengan memasang pintu klep yang membuka
keluar.

Karakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan 109

Pengelolaan air mikro


Sistem pengelolaan air mikro berfungsi untuk: a) mencukupi kebutuhan
evapotranspirasi tanaman dan dengan demikian cukup air untuk
penyerapan hara optimum; b) mencegah pertumbuhan gulma, khususnya
dalam budi daya sawah; c) mencegah keadaan air dan tanah toksik bagi
tanaman melalui penggelontoran dan pencucian; d) mengatur tinggi air di
sawah dan tinggi air di tanah; dan e) menjaga kualitas air di lahan dan
saluran.
Saluran kuarter sebaiknya dibuat pada setiap batas pemilikan untuk
memfasilitasi sistem aliran satu arah. Sistem aliran-satu-arah dapat
diterapkan dengan memanfaatkan satu kuarter sebagai pemasukan dari
saluran tersier irigasi dan kuarter sebelahnya membuang air ke saluran
tersier drainase. Hal ini dapat dilaksanakan dengan menutup atau
memasang stop log pada satu ujung saluran kuarter, bila sistem-satu-
arah dilaksanakan dalam pengelolaan air tersier. Bila pengelolaan air
tersier belum dilaksanakan sistem-satu-arah, maka pintu klep dipasang di
setiap ujung saluran kuarter.

Ameliorasi
Produktivitas tanah sulfat masam biasanya rendah, disebabkan oleh
tingginya kemasaman (pH rendah), kelarutan Fe, Al, dan Mn serta
rendahnya ketersediaan unsur hara terutama P dan K dan kejenuhan
basa yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman (Dent 1986). Oleh
karena itu tanah seperti ini memerlukan bahan pembenah tanah
(amelioran) untuk memperbaiki kesuburan tanahnya sehingga
produktivitas lahannya meningkat. Ameliorasi pada tanah sulfat masam
untuk memperbaiki sifat kimia dan fisik tanah, sebaiknya dilakukan
terlebih dahulu sebelum pemupukan dilaksanakan. Pemupukan tanpa
perbaikan tanah/ameliorasi tidak akan efisien bahkan hara dari pupuk
tidak bisa dimanfaatkan oleh tanaman.
Bahan amelioran yang dapat digunakan adalah kaptan dan rock
phosphate. Kaptan digunakan untuk meningkatkan pH tanah sedangkan
rock phosphate untuk memenuhi kebutuhan hara P-nya. Rock phosphate
sumber P yang baik digunakan pada tanah sulfat masam karena bersifat
slow release sehingga memberikan residu pada tanaman berikutnya dan
mudah larut pada pH masam. Beberapa faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam menetapkan kebutuhan kapur menurut Mc Lean
1982 dalam Al-Jabri 2002 adalah: 1) derajat pelapukan dari tipe bahan
induk; 2) kandungan liat; 3) kandungan bahan organik; 4) bentuk
kemasaman; 5) pH tanah awal; 6) penggunaan metode kebutuhan kapur;
dan 7) waktu.
Penetapan kebutuhan kapur untuk tanah sulfat masam dapat
dilakukan melalui beberapa metode, yaitu: 1) kebutuhan kapur

dKarakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
110 Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan

berdasarkan metode inkubasi; 2) metode titrasi; dan 3) berdasarkan Al-


dd. Penetapan kebutuhan kapur dengan metode inkubasi dilakukan
dengan mencampurkan kapur dan tanah serta air dalam beberapa dosis
kapur selama beberapa waktu tertentu, biasanya dari satu minggu sampai
beberapa minggu. Lalu kebutuhan kapur ditentukan pada nilai pH
tertentu. Menurut (Mc. Lean 1982 dalam Al-Jabri 2002), kelemahan
metode ini adalah terjadinya akumulasi garam (Ca, Mg, dan K)
sehubungan dengan aktivitas mikroba sehingga takaran kapurnya lebih
tinggi.
Penetapan kebutuhan kapur berdasarkan metode titrasi dengan
NaOH 0,05 N untuk mencapai pH tertentu lebih rendah jika dibandingkan
dengan metode inkubasi dan Al-dd KCl 1 N, tetapi cara ini lambat tidak
sesuai untuk analisis rutin (Al-Jabri 2002). Walaupun kebutuhan kapur
dengan metode titrasi lebih rendah, tetapi sebagian besar dari
kemasaman tanah tidak dinetralisir oleh basa. Hal ini disebabkan reaksi
antara kation-kation asam yang dapat dititrasi berlangsung sangat
lambat.
Penetapan kebutuhan kapur berdasarkan Al-dd KCl 1,0 N banyak
dipertanyakan, sebab tingkat keracunan Al bervariasi dengan tanaman
dan tanah. Tingkat keracunan untuk suatu jenis tanaman mempunyai
variasi lebar dalam tanah yang berbeda, maka Al-dd tidak digunakan
sebagai parameter yang menentukan keracunan tetapi persentase
kejenuhannya. Hasil penelitian di rumah kaca dan lapangan, ternyata
pemberian dosis kapur berdasarkan titrasi dan inkubasi dapat
diaplikasikan pada tanah SMP bergambut di Lamunti eks. PLG Kalimantan
Tengah (Suriadikarta dan Sjamsidi 2001).
Pentingnya pemberian amelioran juga ditunjukkan oleh penelitian
yang dilakukan tahun 2009 di lahan sulfat masam potensial Simpang
Jaya, Barito Kuala, Kalimantan Selatan oleh Koesrini et al. (2011).
Pemberian amelioran kapur dapat meningkatkan pH tanah, menurunkan
kejenuhan Al serta meningkatkan hasil tanaman kedelai. Pemberian
dolomit dengan dosis 40% dari kejenuhan Al awal dapat meningkatkan
hasil kedelai 49% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol yaitu dari 1,85
t/ha biji kering menjadi 2,75 t/ha.
Pentingnya pemberian bahan organik, ditunjukkan oleh hasil
penelitian Annisa et al. (2011) yang menyatakan bahwa pemberian bahan
organik jerami dan rumput purun 5 t/ha dapat menurunkan dan
mempertahankan kondisi reduksi tanah, sehingga meningkatkan pH tanah
dan menekan kelarutan Fe2+ tanah. Dengan pemberian bahan organik,
kondisi reduksi tanah nilai potensial redoks dapat dipertahankan dengan
kisaran nilai +200 mV, sehingga oksidasi pirit dapat ditekan.

Karakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan 111

Pengelolaan lahan sulfat masam hendaknya dilakukan secara


komprehensif, dengan menerapkan teknologi tata air yang
dikombinasikan dengan pemberian amelioran serta pemupukan dengan
dosis sesuai dengan status hara dan kebutuhan tanaman. Hasil penelitian
Indrayati et al. (2011) di kebun percobaan Belandean, Kalimantan
Selatan, yang bertipe luapan B, yaitu dengan penerapan tata air mikro
sistem satu arah (pembuatan saluran keliling dan cacing) yang
dikombinasikan dengan pemanfaatan gulma purun tikus (Eleocharis
dulcis) pada saluran pemasukan untuk perbaikan kualitas air), pemberian
amelioran kompos jerami 2,5 t/ha + kaptan 1,0 t/ha, dengan pupuk dasar
urea 100 kg/ha + SP-36 200 kg/ha + KCl 100 kg/ha, jumlah anakan padi
dapat mencapai 22,83 buah dibandingkan dengan teknologi petani yang
hanya mencapai 20,96 buah, serta hasil padi mencapai 5,73 t/ha GKG
dibandingkan dengan teknologi petani yang hanya 4,99 t/ha GKG atau
meningkat 12,9%.
Tanah sulfat masam di Pulau Petak sangat respon terhadap
pemupukan P baik yang berasal dari TSP maupun dari rock phosphate.
Hasil penelitian Manuelpillei et al. (1986) di kebun percobaan Unitatas
BARIF pemberian 135 kg/ha P2O5, 1.000 kg/ha kaptan, 50 kg/ha K2O, dan
120 kg/ha N dapat meningkatkan hasil tanaman padi menjadi 2,45 t/ha
GKG terjadi delapan kali lipat peningkatan bila dibandingkan dengan
kontrol (tanpa P dan Kaptan). Pemberian 90 kg/ha P2O5 dan kaptan 500
kg/ha menghasilkan 2,21 t/ha GKG, hasil ini tidak berbeda nyata dengan
pemberian 135 kg/ha P2O5 dan kaptan 1.000 kg/ha. Pemberian rock
phosphate pada tanah sulfat masam juga menunjukkan tidak ada
perbedaan yang nyata dengan penggunaan TSP, hal ini disebabkan
terjadinya proses penyanggaan rock phosphate dalam media yang sangat
masam, menghasilkan bentuk P yang meta-stabil seperti dicalcium
phosphate yang tersedia untuk tanaman.
Subiksa et al. (1999), menunjukkan pemberian dolomit 2 t/ha dan
SP-36 200-300 kg/ha dapat menghasilkan rata-rata 4,0 t/ha GKG pada
tanah SMP di Telang, Muba, Sumatera Selatan. Dalam penelitian pada
tanah SMP di Tabung Anen, Kalimantan Selatan pemberian pupuk P +
kalium + bahan organik dan kapur masing-masing sebesar 43 kg/ha P, 52
kg/ha K, kapur 1 t/ha, dan pupuk kandang 5 t/ha memberikan hasil 3,24
t/ha GKG. Pemberian kapur didasarkan kepada metode inkubasi untuk
mencapai pH 5 (Hartatik et al. 1999). Sedangkan pemupukan P
berdasarkan kepada kebutuhan P untuk mencapai 0,02 ppm P dalam
larutan tanah.
Di Belawang kebutuhan kapurnya lebih tinggi yaitu sebesar 4 t/ha,
respon pemupukan P dan K tertinggi dicapai pada perlakuan P optimum
(100 kg/ha P), hara K 78 kg/ha, dan 4 t/ha kapur. Hasil itu dapat
dipahami karena tanah SMA di Belawang piritnya telah mengalami

dKarakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
112 Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan

oksidasi sehingga Al-dd tinggi dan P tersedia rendah. Hasil penelitian


pemupukan P dan kapur pada tanah sulfat masam pada beberapa lokasi
penelitian disajikan pada Tabel 5. P-alam yang telah dicoba untuk tanah
sulfat masam dan memberikan hasil yang sama baiknya adalah P-alam
Tunisia, Ciamis, Christmas, dan Aljazair.
Tabel 5. Hasil tanaman padi dengan pemupukan dan pengapuran pada
beberapa tanah sulfat masam di Sumatera dan Kalimantan
Pemupukan Kaptan/dolo Hasil
Lokasi Varietas
P2O5 K2O mit GKG

…….. kg/ha …….. ............. t/ha .............


Tabung Anen, 98,5 62,7 1 kaptan 3,24 IR-64
Kalsel
Belawang, Kalsel 229 104 4 kaptan 3,25 IR-64
Telang Muba, 300 60 2 dolomit 4,0 IR-64
Sumsel
Unitalas, Kalteng 135 50 1 kaptan 2,4 -
Lamunti, Ex PLG 56 60 2 kaptan 2,0 IR-64

Lahan sulfat masam yang ditata dengan model surjan dan


dikombinasikan dengan pemberian amelioran (kapur, dolomit, atau fosfat
alam), pupuk organik dan anorganik, cocok untuk pengembangan
tanaman sayuran. Pemberian amelioran dapat meningkatkan kualitas
lahan dengan peningkatan pH tanah dan kandungan Ca serta penurunan
kandungan Al yang bersifat racun bagi tanaman (Tabel 6).

Tabel 6. Pengaruh pemberian bahan amelioran terhadap perubahan sifat


kimia tanah pada berbagai jenis tanaman sayuran di KP
Belandean-Barito Kuala, Kalsel, 2005 dan 2006
Periode pengamatan
Jenis tanaman Sifat kimia tanah perlakuan
Awal 9 MST
Kubis pH tanah Bo 3,4 4,18
B1 5,07
B2 5,07
Kandungan Ca Bo 0,75 7,23
B1 8,60
B2 10,05
Kandungan Al Bo 4,44 0,48
B1 0,03
B2 0,09

Buncis pH tanah Bo 3,44 4,32


B1 4,93
B2 4,73
Kandungan Ca Bo 0,41 7,22

Karakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan 113

B1 15,19
B2 11,54
Kandungan Al Bo 4,50 0,93
B1 0,44
B2 0,59

Terong pH tanah Bo 4,66 4,28


B1 4,67
B2 4,60
Kandungan Ca Bo 0,40 9,44
B1 13,84
B2 12,50
Kandungan Al Bo 0,00 0,52
B1 0,02
B2 0,22

Kacang pH tanah Bo 4,28 4,07


panjang
B1 4,04
B2 4,12
Kandungan Ca Bo 6,97 5,87
B1 6,14
B2 8,19
Kandungan Al Bo 0,70 1,21
B1 1,18
B2 0,88
Keterangan: Bo (tanpa kapur dan kotoran ayam); B1 (kapur 1 t/ha + kotoran
ayam 2,5 t/ha); B2 (kapur 2 t/ha + kotoran ayam 5 t/ha)
Sumber: (Koesrini et al. 2005 dan 2006)

Hasil penelitian ameliorasi terhadap perubah sifat kimia tanah di


lahan SMP menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pH dan kandungan
Ca serta penurunan kandungan Al tanah pada budi daya sayuran kubis
dan buncis (Koesrini et al. 2005) serta pada budi daya sayuran terong dan
kacang panjang (Koesrini et al. 2006). Hasil dari pengujian ini juga
menunjukkan bahwa takaran optimum pemberian amelioran untuk
tanaman kacang panjang, buncis, kubis, dan terong adalah kapur
sebanyak 1 t/ha dan kotoran ayam sebanyak 2,5 t/ha (Koesrini et al.
2005 dan 2006). Takaran optimum bahan amelioran untuk tanaman
mentimun, tomat, cabai rawit, dan cabai besar adalah kapur sebanyak 2
t/ha dan kotoran ayam sebanyak 5 t/ha (Koesrini et al. 2003).

Pemupukan
Tanah sulfat masam umumnya ketersediaan hara P dan K rendah namun
bila bahan organiknya tinggi maka P dan K biasanya tinggi pula (Tabel 7).

dKarakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
114 Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan

Tabel 7. Sifat-sifat kimia tanah sulfat masam di Indonesia


Sifat tanah
Lokasi
pH C-org P K P HCl Al-dd KB
Tipologi
Bray K2O
USDA Klasifikasi
% ppm mg/100 g % %
K.A I SMA Fluvaquentic 3,4 1,2 2,2 4 1 88,2 7
PI Typic
PS-I Sumsel Sulfaquept
KA I SMA Fluvaquentic 3,9 5,86 31,5 17 23 71,8 41
P II bergambut Sulfaquept
PS-14 SMA 2
Sumsel
Lamunti SMP Histic 4,1 7,53 45,7 12 68 70,0 16
Ex PLG bergambut Sulfaquept
Kalteng SMP-G
P. Petak Sulfat masam Typic 3,5 0,89 2,2 - - 15,42 54,9
Kalteng aktual Sulfaquept 5
Parit Ampera Sulfat masam Typic - 4,99 10,2 80 24 1,35 68
Sungai potensial Sulfaquent
Kakap Kalbar
Telang, Sulfat masam Typic 4,4 4,89 32,2 5 29 4,27 61
Muba Sumsel potensial Sulfaquent
Tabung Anen Sulfat masam Typic 4,9 3,83 19,6 40 22 0,66 >
Kalsel potensial Sulfaquent 100
Belawang Sulfat masam Histic 3,4 22,93 17,2 26 104 16,83 5
Kalsel aktual Sulfaquept

Pada tanah SMA kadar P dan K dalam tanah sangat rendah


sehingga pemupukan P dan K sangat diperlukan. Pemupukan P diberikan
100 kg/ha TSP atau 125 kg/ha SP-36 yang setara dengan 200 kg/ha rock
phosphate (Hartatik 1999 dan Supardi et al. 2000). Rock phosphate yang
baik mutunya untuk tanah ini adalah rock phosphate Maroko Ground
karena mempunyai kandungan Ca yang tinggi yaitu 27,65% dan kadar
P2O5 total 28,8% (Suriadikarta dan Sjamsidi 2001). Hasil penelitian di
lahan rawa menunjukkan pupuk kalium cukup diberikan 100 kg/ha KCl
untuk tanaman padi sawah.
Di Lamunti, ex PLG Kalimantan Tengah P-alam setara dengan 150
kg/ha P2O5 rata-rata dapat memberikan hasil 4,5 t/ha GKG, tetapi kalau
diberikan 75 kg/ha P2O5 hasil yang diperoleh hanya 3,79 t/ha GKG,
sedangkan di Palingkau, Kalimantan Tengah dengan dosis yang sama
dapat memberikan masing-masing 3,7 t/ha dan 3,4 t/ha GKG (Supardi et
al. 2000).
Pemupukan P-alam hingga 60% erapan maksimum P dalam tanah
sulfat masam Sumber Agung dan Sumber Rejo di Pulau Rimau, Sumatera
Selatan dapat meningkatkan kadar P tersedia, namun belum dapat
menurunkan kadar unsur beracun Fe2+, Fe-Al oksida, dan amorf, serta
sulfat dalam tanah. Unsur beracun di atas ditemukan dalam jumlah yang

Karakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan 115

lebih tinggi pada tanah SMP yang baru teroksidasi dibandingkan tanah
SMA (Setyorini 2001). Oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian dalam
mereklamasi atau melakukan pencucian/drainase di tanah SMP, apalagi
jika kandungan liat tinggi.

Lebih lanjut dinyatakan bahwa erapan P maksimum pada tanah


SMA mencapai 2,000 μg/g P sedangkan pada SMP sedikit lebih rendah
yaitu sekitar 1,666 μg/g P. Nilai erapan maksimum yang tinggi pada SMA
dari pada SMP diakibatkan perbedaan kadar dan jenis liat, kadar pirit, pH,
Al, dan Fe, serta bahan organik. Ditinjau dari distribusi bentuk P-
anorganik pada tanah sulfat masam tersebut, terlihat bahwa fraksi Fe-P
dan Al-P mendominasi jumlah P anorganik pada tanah SMP sedangkan
fraksi Al-P dan Ca-P dominan pada SMA. Faktor-faktor yang
mempengaruhi ketersediaan P pada tanah sulfat masam antara lain pH,
Alo, Feo, Ald, Fed, dan pirit. Tingginya kadar Fe dan Al bentuk amorf pada
tanah sulfat masam mempengaruhi distribusi fraksi P-anorganik (Setyorini
2001).
Dari hasil penelitian Konsten dan Sarwani (1990), di Pulau Petak,
Kalimantan Selatan, diperoleh bahwa oksidasi pirit setelah reklamasi
membuat tanah di daerah tersebut sangat masam, dijenuhi oleh Al dan
mempunyai pH antara 3 dan 4. Adanya garam-garam besi bebas dan Al
menyebabkan keracunan tanaman dan defisiensi K dan Ca sangat sering
terjadi. Kemasaman tanah aktual dari tanah sulfat masam di Pulau Petak
diduga dengan titrasi cepat pada pH 5,5, jumlah Al-dd sampai 60 mmol/g.
Kemasaman tanah aktual untuk tanah pH kurang dari 4 adalah 20
mmol/100 g yang setara dengan keperluan kapur 15 t/ha. Potensi
kemasaman sangat tinggi dengan kandungan pirit mencapai 8%.
Selanjutnya Konsten dan Sarwani (1990) mengemukakan bahwa untuk
mengatasi kemasaman aktual yang tinggi dapat dilakukan dengan
drainase dangkal, pencucian intensif tanah lapisan atas, yang
dikombinasikan dengan pemberian kapur dan pupuk kalium.
Peranan pupuk hayati juga menunjukkan peran yang penting dalam
meningkatkan kualitas tanah sulfat masam. Haryono (2013), menyatakan
bahwa Pupuk hayati Biosure (Mukhlis) di tanah sulfat masam Kalimantan
Selatan mampu menigkatkan pH tanah lebih dari 40%, mensubstitusi
kebutuhan kapur di atas 80% , menurunkan kadar sulfat lebih dari 20%,
dan meningkatkan produktivitas tanaman padi. Produksi padi dengan
menggunakan Biosure meningkat 26 – 27 % yaitu dari 3,69 t/ha menjadi
atau 4,65 – 4,70 t/ha dibandingkan tanpa pupuk hayati. Haryono (2013)
juga menambahkan bahwa penggunaan pupuk hayati Biotara yang
mengandung mikroba dekomposer Trichoderma sp., mikroba pelarut P
Bacillus sp., dan bakteri penambat N Azospirillium sp. dapat memperbaiki
sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, dapat mengendalikan penyakit tular

dKarakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
116 Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan

tanah (soil borne disease), menghemat pemakaian pupuk N dan P


sebesar 30%, serta mengurangi pencemaran lingkungan.

Penutup

Lahan sulfat masam sebagai bagian dari ekosistem rawa adalah sumber
daya yang harus dimanfaatkan secara optimal dengan menerapkan
teknologi pengelolaan lahan yang tepat. Cakupan areal yang luas dengan
topografi yang datar, lahan ini sangat potensial dikembangkan lahan
sawah sebagai pengganti lahan sawah produktif yang terus mengalami
konversi. Harus diakui bahwa kendala yang dihadapi dalam
pemanfaatannya untuk pertanian cukup besar. Kemasaman tanah yang
tinggi, defisiensi hara dan unsur beracun adalah tantangan yang harus
dihadapi. Namun dengan penerapan teknologi pengelolaan tanah dan air
yang tepat kendala tersebut bisa ditanggulangi secara gradual.
Sebaliknya, pengelolaan lahan yang salah, menyebabkan lahan
mengalami degradasi yang berimbas pada kerusakan lingkungan insitu
maupun daerah sekitarnya. Oleh karenanya, penerapan teknologi
pengelolaan lahan dan air yang baik dan tepat harus dilakukan dengan
komitmen yang tinggi agar produktivitas lahan tinggi secara berlanjut dan
tidak merusak lingkungan.
Lahan sulfat masam tidak hanya potensial untuk tanaman padi,
tetapi juga sangat potensial untuk tanaman palawija, hortikultura, dan
perkebunan. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman padi bisa
menghasilkan > 5 t/ha GKG. Dengan demikian lahan sulfat masam sangat
layak dijadikan sebagai target ekstensifikasi untuk menggantikan lahan
sawah produktif yang berubah fungsi menjadi lahan non pertanian.
Tanaman palawija seperti jagung dan kedelai juga menghasilkan secara
optimal. Arah penggunaan lahan sulfat masam untuk pangan, hortikultura
maupun perkebunan ditentukan oleh tipologi dan tipe luapan lahan.
Lahan tipe luapan A dan B diarahkan untuk tanaman padi. Sedangkan
lahan dengan tipe luapan C dan D bisa diarahkan untuk tanaman palawija
dan perkebunan. Modifikasi bentuk lahan dengan sistem surjan adalah
salah satu bentuk sistem pengelolaan air agar lahan lebih sesuai untuk
tanaman padi di bagian tabukan dan lebih sesuai untuk tanaman palawija
atau perkebunan di bagian guludan. Segala upaya rekayasa teknologi
pengelolaan lahan ditujukan untuk optimalisasi penggunaan lahan agar
produktif secara berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Karakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan 117

Daftar Pustaka

Al-Jabri, M. 2002. Penentapan Kebutuhan Kapur dan Pupuk Fosfat untuk


Tanaman Padi (Oryza sativa L.) pada Tanah Sulfat Masam Aktual
Belawang, Kalimantan Selatan. Disertasi. Program Pascasarjana.
Universitas Padjadjaran Bandung.
Annisa, W., B.H. Purwanto, dan D. Shiddieq. 2011. Pengaruh pemberian
jerami padi dan purun tikus pada berbagai tingkat dekomposisi
terhadap konsentrasi besi di Tanah Sulfat Masam. Jurnal Tanah dan
Iklim, Edisi Khusus Rawa, Juli 2011: 25-32.
Badan Litbang Pertanian. 2006. Multifungsi dan Revitalisasi Pertanian.
Dent, David. 1986. Acid sulphate soils: a base line for research and
development. ILRI Publication 39. International Institute for Land
Reclamation and Improvement. Wageningen, TheNetherlands.
Djaenudin, D., Marwan H., Subagjo H., dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk
Teknis Evaluasi Lahan Untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian
Tanah. Bogor.
Hartatik, W., I B. Aribawa, dan J.S. Adinigsih. 1999. Pengelolaan hara
terpadu pada lahan sulfat masam. Prosiding Seminar Nasional
Sumber Daya Tanah, Iklim, dan Pupuk. Puslitbangtanak, Indonesia.
6-8 Desember 1995. Bogor.
Haryono. 2013. Lahan Rawa Lumbung Pangan Masa Depan Indonesia.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Hasibuan, B.E. 2008. Pengelolaan Tanah dan Air Lahan Marginal. USU.
Medan.

http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_su
byek=12&notab=2).
Indrayati, L. A. Supriyo, dan S. Umar. 2011. Integrasi teknologi tata air,
amelioran, dan pupuk dalam budi daya padi pada tanah sulfat
masam Kalimantan Selatan. Jurnal Tanah dan Iklim, Edisi Khusus
Rawa, Juli 2011: 47-54.
Isa, Wasa. 2006. Strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian. Hal 1-
16 dalam Ai Dariah et al. (eds.). Prosiding Seminar Multifungsi dan
Revitalisasi Pertanian. Badan Litbang Pertanian, MAFF dan ASEAN
Secretariat, Jakarta.
Khairullah, I., L. Indrawati, A. Hairani, dan A. Susilowati, 2011.
Pengaturan waktu tanam dan tata air untuk mengendalikan
keracunan besi pada tanaman padi di lahan rawa pasang surut

dKarakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
118 Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan

sulfat masam potensial tipe B. Jurnal Tanah dan Iklim, Edisi Khusus
Rawa, Juli 2011: 13-24.
Koesrini, E. William, L. Indrayati, dan E. Berlian. 2005. Stratifikasi Daya
Toleransi Tanaman Hortikultura Menurut Tingkat Cekaman Fisiko-
Kimia Lahan Sulfat Masam Potensial. Laporan Hasil Penelitian.
Balitra-Banjarbaru. 22 hal. (Tidak dipublikasikan)
Koesrini, E. William, M. Saleh, L. Indrayati, dan E. Berlian. 2006.
Stratifikasi Cekaman Lahan Sulfat Masam Potensial untuk Tanaman
Padi dan Berbagai Tanaman Hortikultura. Laporan Hasil Penelitian.
Balitra-Banjarbaru. 22 hal. (Tidak dipublikasikan)
Koesrini, I.Khairullah, S. Sulaeman, S. Subowo, R. Humairie, F. Azzahra,
M. Imberan, E. William, M. saleh, dan D. Hatmoko. 2003. Daya
Toleransi Tanaman di Lahan Sulfat Masam. Laporan Hasil
Penelitian. Balitra-Banjarbaru. 20 hal. (Tidak dipublikasikan)
Koesrini, K. Anwar, dan Nurita. 2011. Perbaikan Kualitas Lahan untuk
Meningkatkan Produktivitas Kedelai di Lahan Rawa Sulfat Masam
Potensial. Jurnal Tanah dan Iklim, Edisi Khusus Rawa, Juli 2011:
55-62.
Konsten, C.J.M. and M. Sarwani. 1990. Actual and potential acidity and
related chemical charactericties of acid sulfate soil in Pulau Petak
Kalimantan. Workshop on acid sulfate soil in the Humid Tropics, 20-
22 November, Bogor Indonesia. AARD and LAWOO, Bogor,
Indonesia.
Langenhoff, R. 1986. Distribution, Mapping, Classification and Use of Acid
Sulphate Soils in the Tropics. A literature Study. STIBOKA Intern.
Comm. No. 74, Wageningen, The Netherlands.
Manuelpillai, R.G., M. Damanik, and R.S. Simatupang. 1986. Site specific
soil characteristies and the amelioration of a Sulfic Tropaquepts
(Acid sulfate) in Central Kalimantan. Symposium Lowland
Development in Indonesia. Jakarta, 24-31 August 1986.
McLean, E. O. 1982. Soil pH and lime requirement. In Page, A. L., R. H.
Miller and D. R. Keeney (Eds.). Methods of Soil Analysis. Part 2 -
Chemical and Microbiological Properties. (2nd Ed.). Agronomy
9:199-223.
McLean, E.O., R.C. Hartwig, D.J. Eckert, and G.B. Triplett. 1983. Basic
cation saturation ratios as a basis for fertilizing and liming
agronomic crops. II. Field Studies. Agron. J. 75:635-639.
Mulyani, A. dan Agus, F. 2006. Potensi lahan mendukung revitalisasi
pertanian. Hal. 279-295 dalam Prosiding Seminar Multifungsi dan

Karakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan 119

Revitalisasi Pertanian. Badan Litbang Pertanian, MAFF dan ASEAN


Secretariat, Jakarta.
Mulyani, A., Hikmatullah, dan H. Subagyo. 2004. Karakteristik dan potensi
tanah masam lahan kering di Indonesia. Hal. 1-32 dalam Prosiding
Simposium Nasional Pendayagunaan Tanah Masam. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Noor, M. 1996. Padi Lahan Marjinal. Penebar Swadaya. Jakarta. 213 hlm.
Nugroho, K., Alkasuma, Paidi, W. Wahdini, Abdulrachman, H.Suhardjo,
dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1991. Laporan Akhir. Penentuan Areal
Potensial Lahan Pasang Surut, Rawa, dan Pantai skala 1:500.000.
Laporan Teknik No. 1/PSRP/1991. Proyek Penelitian Sumber Daya
Lahan, Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. (Tidak
dipublikasikan)
Puslitbangtanak. 2000. Atlas Sumber Daya Tanah Eksplorasi Indonesia.
Skala 1:1.000.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
Agroklimat. Bogor.
Setyorini, Diah. 2001. Perilaku Fosfat pada Tanah Sulfat Masam dalam
Kaitannya dengan Pertumbuhan Tanaman Padi. Disertasi S3.
Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Soepardi, H. G. 2001. Strategi usaha tani agribisnis berbasis sumber daya
lahan. Hal. 35-52 dalam Prosiding Nasional Pengelolaan Sumber
Daya Lahan dan Pupuk. Buku I. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Subiksa, I.G.M., Didi, A. S., dan I.P.G. Widjaja-Adhi. 1999. Pengaruh tata
air dan jarak kemalir terhadap perubahan sifat kimia tanah padi
sawah pasang surut pada tanah Sulfgic Tropaquents. Prosiding
Seminar Penelitian Lahan Pasang Surut dan Rawa. Swamps II.
Palembang.
Suriadikarta, D.A. dan G. Sjamsidi. 2001. Teknologi Peningkatan
Produktivitas Tanah Sulfat Masam. Laporan akhir. Proyek Sumber
Daya Lahan Tanah dan Iklim. (Tidak dipublikasikan)
Supardi, S., D.A. Suriadikarta, dan W. Hartatik. 2000. Prospek P alam
sebagai pengganti SP- 36 di lahan sulfat masam. Hal 433-440
dalam Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan
Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung, 25–29 Juli 2000. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Van Breemen, N. 1993. Genesis and Solution Chemistry of Acid Sulfate
Soils in Thailand. Center of Agricultural Publishing and
Documentation. Wegeningen, 1976. Ph.D. Dessertation.

dKarakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan
120 Pengelolaan Lahan Pada Berbagai Ekosistem Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan

Widjaja Adhi, I.P.G. 1985. Pengapuran tanah masam untuk kedelai. Hal
171-188 dalam S.S. Somaatmadja et al. (eds.). Kedelai.
Puslitbangtan. Bogor.
Wijaya Adhi, I.P.G. 1986. Pengelolaan lahan rawa pasang surut dan lebak.
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian V(1): 1-9.

Widjaja Adhi, I.P.G. 1995. Pengelolaan, Pemanfaatan dan Pengembangan


Rawa untuk Usaha Tani dalam Pembangunan Berkelanjutan dan
Berwawasan Lingkungan. Pusat Penelitian dan Agroklimat. Bogor.
Widjaja Adhi, I.P.G. Suriadikarta, D.A., Sutriadi, M.T., Subiksa, IGM., dan
Suastika, IW. 2004. Pengelolaan, pemanfaatan, dan
pengembangan lahan rawa. Hal. 127-164 dalam Abdurachman
Adimihardja et al. (eds.). Sumber Daya Lahan Indonesia dan
Pengelolaannya. Pusat Penelitian Pengembangan Tanah dan
Agroklimat, Badan Litbang Pertanian.

Karakteristik dan Teknologi Pengelolaan Lahan Sulfat Masam Mendukung Pertanian Ramah Lingkungan

Anda mungkin juga menyukai