Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan Negara yang kaya akan sumberdaya alam seperti bahan
galian, mineral, minyak bumi, gas alam, flora dan fauna baik yang berada di
tanah, air maupun udara yang merupakan salah satu modal dasar dalam
pembangunan nasional. Pembangunan berwawasan lingkungan menjadi suatu
kebutuhan penting bagi setiap bangsa dan negara yang menginginkan kelestarian
sumberdaya alam. Sumberdaya alam perlu dijaga dan dipertahankan untuk
kelangsungan hidup manusia kini, maupun untuk generasi yang akan datang (Arif,
2007).
Tanah merupakan salah satu komponen lahan yang mempunyai peranan
penting terhadap pertumbuhan tanaman dan produksi tanaman, karena tanah
selain berfungsi sebagai tempat/media tumbuh tanaman, menahan dan
menyediakan air bagi tanaman juga berperan dalam menyediakan unsur hara yang
diperlukan tanaman untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Pembentukan tanah
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti, iklim, bahan induk, topografi/relief,
organisme dan waktu.
Perbedaan pengaruh dari berbagai faktor pembentuk tanah tersebut akan
menghasilkan karakteristik tanah baik karakteristik fisik, kimia maupun biologi
yang pada akhirnya berpengaruh terhadap kesuburan tanah bersangkutan. Oleh
karena itu, generalisasi status kesuburan tanah pada suatu lahan dengan
lingkungan fisik yang berbeda sangat tidak relevan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana memahami dan mengkaji sifat kimia pada tanah?
1.3 Tujuan
1. Mahasiswa mampu memahami dan mengkaji sifat kimia pada tanah?

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Derajat Kemasaman Tanah (ph)
Reaksi tanah yang penting adalah masam, netral atau alkalin. Hal tersebut
didasarkan pada jumlah ion H+ dan OH- dalam larutan tanah. Reaksi tanah yang
menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas tanah dinilai berdasarkan
konsentrasi H+ dan dinyatakan dengan nilai pH. Bila dalam tanah ditemukan ion
H+ lebih banyak dari OH-, maka disebut masam (pH <7). Bila ion H+ sama
dengan ion OH- maka disebut netral (pH=7), dan bila ion OH- lebih banyak dari
pada ion H+ maka disebut alkalin atau basa (pH >7) (Hakim dkk, 1986).
Pengukuran pH tanah dapat memberikan keterangan tentang kebutuhan kapur,
respon tanah terhadap pemupukan, proses kimia yang mungkin berlangsung
dalam proses pembentukan tanah, dan lain-lain (Hardjowigeno 2003). Nilai pH
berkisar dari 0-14 dengan pH 7 disebut netral sedangkan pH kurang dari 7 disebut
masam dan pH lebih dari 7 disebut alkalis. Walaupun demikian pH tanah
umumnya berkisar dari 3,0-9,0. Di Indonesia pada umumnya tanah bereaksi
masam dengan pH berkisar antara 4,0 – 5,5 sehingga tanah dengan pH 6,0 – 6,5
sering telah dikatakan cukup netral meskipun sebenarnya masih agak masam. Di
daerah rawa-rawa sering ditemukan tanah-tanah sangat masam dengan pH kurang
dari 3,0 yang disebut tanah sangat masam karena banyak mengandung asam
sulfat. Di daerah yang sangat kering kadang-kadang pH tanah sangat tinggi (pH
lebih dari 9,0) karena banyak mengandung garam Na (Anonim 1991). Menurut
Hakim et al. (1986) faktor yang mempengaruhi pH antara lain : Kejenuhan basa,
sifat misel (koloid), macam kation yang terjerap.
2.2 Kapasitas Tukar Kation (KTK)
Kapasitas Tukar Kation (KTK) suatu tanah dapat didefinisikan sebagai suatu
kemampuan koloid tanah menjerap dan mempertukarkan kation (Hakim et al
1986). Sedangkan menurut Hasibuan (2006), Kapasitas Tukar Kation merupakan
banyaknya kation-kation yang dijerap atau dilepaskan dari permukaan koloid liat
atau humus dalam miliekuivalen per 100 g contoh tanah atau humus. Dalam buku
hasil penelitian (Anonim 1991), disebutkan bahwa satu miliekuivalen atau satu

2
mili setara adalah sama dengan satu milligram hidrogen atau sejumlah ion lain
yang dapat bereaksi atau menggantikan ion hidrogen tesebut pada misel.
Walaupun demikian kadang-kadang USDA bagian Survey Tanah
menggunakan sebagai me/100 g liat. Akan tetapi pada umumnya penentuan KTK
adalah untuk semua kation yang dapat dipertukarkan, sehingga KTK = jumlah
atau total mili ekuivalen kation yang dapat dipertukarkan per 100 gram tanah (Tan
1982). Kapasitas tukar kation (KTK) merupakan sifat kimia yang sangat erat
hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah-tanah dengan kandungan bahan
organik atau kadar liat tinggi mempunyai KTK lebih tinggi daripada tanah-tanah
dengan kandungan bahan organik rendah atau tanah-tanah berpasir
(Hardjowogeno 2007). Nilai KTK tanah sangat beragam dan tergantung pada
sifat dan ciri tanah itu sendiri. Menurut Hakim et al. (1986), besar kecilnya KTK
tanah dipengaruhi oleh :
1. Reaksi tanah atau pH
2. Tekstur atau jumlah liat
3. Jenis mineral liat
4. Bahan organik
5. Pengapuran dan pemupukan.
2.3 Magnesium
Di dalam tanah magnesium berada dalam bentuk anorganik (unsur makro),
namun dalam jumlah yang cukup signifikan juga berasosiasi dengan materi
organik dalam humus (Sutcliffe dan Baker 1975). Pemakaian N, P, dan K (pupuk)
dan varietas unggul, mengakibatkan jumlah Ca dan Mg yang terangkut ke
tanaman juga meningkat. Unsur Ca dan Mg biasa dihubungkan dengan masalah
kemasaman tanah dan pengapuran. Magnesium merupakan unsur yang sangat
banyak terlibat pada kebanyakan reaksi enzimatis. Mg terdapat pada mineral :
amfibol, biotit, dolomit, hornblende, olivin, dan serpentin. Magnesium
merupakan unsur pembentuk klorofil. Seperti halnya dengan beberapa hara
lainnya, kekurangan magnesium mengakibatkan perubahan warna yang khas pada
daun. Kadang-kadang pengguguran daun sebelum waktunya merupakan akibat
dari kekurangan magnesium (Hanafiah 2007). Selain itu, masnesium merupakan

3
pembawa posfat terutama dalam pembentukan biji berkadar minyak tinggi yang
mengandung lesitin (Agustina 2004).

4
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa dimana dalam tanah terdapat sifat kimia yang
sangat penting dalam berbagai unsur hara dalam tanah. Apalagi kandungan
keasaman dalam tanah yang sangat berpengaruh dalam dunia pertanian. Didala
tanah pun mengandung kalium dan kalsium yang sangat berbeda dalam
kandungan untuk dalam tubuh. Tetapi, dalam tanah kandungan semua berasal dari
batuan induk yang terjadi pelapukan baik secara mekanik maupun kimiawi.

5
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1991. Kimia Tanah. Direktorat Jendral Pendidikan. Depertemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.
Hakim N, Yusuf N, Am Lubis, Sutopo GN, M Amin D, Go BH, HH Bailley.
1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Lampung: Universitas Lampung.
Hanafiah K A. 2007. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.
Hardjowigeno, S. 2007. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Pressindo.
Mustofa A. 2007. Perubahan Sifat Fisik, Kimia dan Biologi Tanah Pada Hutan
Alam yang Diubah Menjadi Lahan Pertanian di Kawasan Taman
Nasional Gunung Leuser. [Skripsi]. Bobor: Fakultas Kehutanan. Institut
Pertanian Bogor.
Notohadiprawiro, T. 1999. Tanah dan Lingkungan. Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta
Olsen, S. and F.S. Watanabe. 1957. A method to determine a phosphorus
absorption maximum of soils as measured by the Langmuir Isotherm.
Soil Sci. Soc. Am. Proc. 21: 144−149
Paul, E. A., and F.E. Clark. 1989. Soil microbiology and biochemistry. Acad.
Press, Inc. Boston.

Anda mungkin juga menyukai