Anda di halaman 1dari 24

TUGAS

KIMIA FISIK LANJUT

Materi:

1. VISIKOSITAS
2. DIFFUSI (HUKUM FICK)

OLEH :
MUH. EDIHAR
G2L1 15 011

PROGRAM STUDI PASCASARJANA KIMIA


UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat ALLAH

SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulisan

makalah yang berjudul “Vsikositas dan Hukum Fickl” dapat terselesaikan.

Melalui kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Zakir,

M.Si. selaku Dosen Pengajar Mata Kuliah Kimia Fisika Lanjut yang telah

meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam mengajarkan penulis selama

mengikuti perkuliahan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini masih

banyak terdapat kekurangan, olehnya itu kritik dan saran yang konstruktif dari

semua pihak sangat penulis butuhkan untuk penyempurnaan makalah ini.

Kendari, Januari 2016

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ii

Daftar isi iii

Tinjauan Pustaka 1

A. Visikositas 1

B. Visikositas Fluida: Aliran Laminar 1

C. Visikositas Gas 5

D. Visikositas Cairan 6

E. Menentukan Visikositas 7

1. Metode Oswald 7

2. Metode Bola Jatuh 8

F. Hukum Fick 10

1. The Einstein Relation 13

2. The Nerst-Eninstein Equatio 15

3. The Stokes-Einstein Equation 15

Daftar Pustaka

Contoh Soal

iii
TINJAUAN PUSTAKA

A. Visikositas

Viskositas merupakan ukuran kekentalan fluida yang menyatakan besar

kecilnya gesekan di dalam fluida. Makin besar viskositas suatu fluida, maka

makin sulit suatu fluida mengalir dan makin sulit suatu benda bergerak di dalam

fluida tersebut. Di dalam zat cair, viskositas dihasilkan oleh gaya kohesi antara

molekul zat cair. Sedangkan dalam gas, viskositas timbul sebagai akibat

tumbukan antara molekul gas. Viskositas zat cair dapat ditentukan secara

kuantitatif dengan besaran yang disebut koefisien viskositas. Satuan SI untuk

koefisien viskositas adalah Ns/m2 atau pascal sekon (Pa s). Ketika Anda berbicara

viskositas Anda berbicara tentang fluida sejati. Fluida ideal tidak mempunyai

koefisien viskositas. Apabila suatu benda bergerak dengan kelajuan v dalam suatu

fluida kental yang koefisien viskositasnya, maka benda tersebut akan mengalami

gaya gesekan fluida , dengan k adalah konstanta yang bergantung pada bentuk

geometris benda. Berdasarkan perhitungan laboratorium (Suharyanto, 2012)

B. Visikositas Fluida: Aliran Laminar

Kosnsep dari visikositas pertama kali ditemukan dalam sebuah masalah

aliran cairan atau fluida, Sebagai sebuah ukuran dari resistensi gesekan cairan.

Resistensi gesekan gerakan fluida dapat dilihat pada gambar 1.

Bila dalam cairan, padatan atau gas terdapat perbedaan laju, itu berarti bahwa

salah satu bagian dari senyawa mempunyai laju yang relatif terhadap yang lain.

1
Bentuk sederhana dari perbedaan laju adalah aliran laminar (aliran berlapis-lapis).

Ini hanya terjadi bila perbedaan laju tegak lurus terhadap arah aliran. Untuk aliran

laminar, transport viskos diumpamakan sebagai gerakan bidang dalam senyawa

yang relatif satu sama lain. Misalkan dua bidang A dan B, dengan jarak dr, arah

aliran v, dimana fluida mengalir melalui sebuah permukaan stasioner plane.

Lapisan yang dilalui oleh fluida akan meningkatkan tingginya visikositas.

Gambar 1. Visikositas Fluida

Besarnya gesekan atau resistensi relatifivitas gerakan dari batasan lapisan

adalah sebanding dengan S, area dari interface diantara lapisan adalah dv/dr yang

menandakan gardien lapisan yang mengikuti hokum newton aliran visikositas

sebagai berikut:

𝑑𝑣
f = S 𝑑𝑟 (1)

Constanta  disebut sebagai koefisien visikositas dengan  adalah ml-1t-1.

S merupakan poise yaitu g/cm.s.

2
Hal yang kusus dari aliran laminar adalah aliran cairan atau gas yang

mealui sebuah tabung silindris atau pipa. Ketika cairan atau gas mengalir melalui

sebuah pipa dengan aliran laminar, kita mengasumsikan bahwa molekul di

dinding tabung tak bergerak, tetapi setiap lapisan molekul.

Berikutnya bergerak dengan kecepatan yang lebih tinggi sampai

didapatkan kecepatan maksimum di pusat pipa. Situasi ini disebut “aliran

Poisseuille”, setelah fisikawan Perancis Poisseuille mendapat-kan. Dimana r

adalah jarak dari titik pusat sebuah tabung dengan jejari R, P adalah perbedaan

tekanan dan l adalah panjang tabung, maka:

𝑑𝑣
𝑓𝑟 = − 𝑑𝑟 2𝑟𝜋𝐿 (2)

Untuk aliran steady/dasar, kekuatan harus sama dengan kekutan driving

fluida dalam silider yang melalui tabung. Karena tekanan adalah kekuatan area

per unit, kekuatan driving adalah:

𝑓𝑟 = 𝜋𝑟 2 (𝑃1 − 𝑃2 ) (3)

Dimana P1 adalah kekuatan tekanan P2 adalah Back tekakan. Jika

persamaan dua sama dengan persamaan tiga maka,

𝑓𝑟1 = 𝑓𝑟2

𝑑𝑣
− 2𝑟𝜋𝐿 = 𝜋𝑟 2 (𝑃1 − 𝑃2 )
𝑑𝑟

𝑟
𝑑𝑣 = − (𝑃 − 𝑃2 )𝑑𝑟
2𝐿 1

3
1
∫ 𝑑𝑣 = − (𝑃 − 𝑃2 ) ∫ 𝑟 𝑑𝑟
2𝐿 1

1 𝑟2
𝑣= − (𝑃1 − 𝑃2 )
2𝐿 2

(𝑃1 −𝑃2 )
𝑣 = − 𝑟 2 + 𝐶𝑜𝑛𝑠𝑡 (4)
4𝐿

Menurut hipotesis, v = 0 ketika r = ry maka:

(𝑃1 −𝑃2 )
𝑣 = − 4𝐿
𝑟𝑦 2 − 𝑟 2 (5)

Total volume yang dari fluida yang melewati tabung per detik adalah

dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

𝑑𝑉 = ∫ 𝑢. 2𝜋𝑟𝑦 . 𝑑𝑟𝑦 . 𝑑𝑡

𝑑𝑉 (𝑃1 − 𝑃2 ) 0 2
=𝜋 ∫ ( 𝑟𝑦 − 𝑟 2 ).2𝑟 . 𝑑𝑟
𝑑𝑡 4𝐿 𝑟

(𝑃1 − 𝑃2 ) 1 4
=𝜋 ( 𝑟𝑦 − 𝑟 2 . 𝑟𝑦2 ).2𝑟 . 𝑑𝑟
4𝐿 2

𝑑𝑉 (𝑃1 −𝑃2 )
𝑅= = 𝜋𝑟 4 (6)
𝑑𝑟 8𝐿

(Moore, 2011)

4
C. Visikositas Gas

Viskositas gas tergantung pada transfer momentum antara molekul-

molekul di dalam bidang A dan B, dari kasus kita pada aliran laminer. Transfer

momentum ini akan tergantung pada garis edar bebas bagian tengah, λ (ekivalen

dengan jarak antar bagian A dan B) dan jumlah tumbukan. Tanpa pembuktian

lebih lanjut, kita memberikan hasil :

1
(m k T ) 2
gas = (7)
 2 2
3

Dimana m adalah massa molekul, k tetapan Boltzman dan  adalah

diameter tumbukan.

Pertanyaan yang muncul pada viskositas gas ini adalah mengapa tekanan

gas tidak digunakan dalam penghitungan . Pada persamaan 7 di atas jelas bahwa

 tidak tergantung dengan tekanan gas. Alasannya adalah pada saat tekanan

bertambah, maka jumlah tumbukan bertambah, tetapi pada saat yang sama jalan

bebas rata-rata dan transfer momentum per tumbukan berkurang. Hasil

keseluruhan yang teruji secara eksperimen diperoleh bahwa   f(p). Pada

persamaan 3 menunjukkan bahwa viskositas gas bertambah dengan bertambahnya

temperatur. Hal ini berlawanan dengan sifat cairan, viskositas cairan berkurang

dengan bertambahnya temperatur.

5
D. Visikositas Cairan

Umumnya, viskositas dari suatu larutan lebih tinggi dari pada viskositas

pelarut murni. Ini dapat dimengert jika kita mengingat bahwa molekul-molekul

larutan yang lebih besar mengisi sedikit volume dalam volume cairan (V = V

terlarut/V total).

Einstein mendapatkan:

larutan = pelarut (1 + 2,5 V)

sebab V sebanding dengan konsentrasi, viskositas bertambah

 laru tan   pelarut


 2,5  V dan kuantitas ini adalah sebanding dengan konsentrasi
 pelarut

larutan

Istilah-istilah berikut ini adalah istilah yang umum digunakan

Viskositas larutan = η

Viskositas pelarut = ηo

Viskositas relatif = η/ηo

Viskositas spesifik = η/ηo – 1 = (η – ηo)/ηo = ηsp

Menurut persamaan Einstein (η – ηo/ηo = 2,5 V)

Viskositas reduksi = ηsp/C

6
 sp
Viskositas instrik = lim = []
c0 C

Penggunaan ηsp/C dan [η] akan dilihat pada bagian akhir bab ini (Anonim, 2011)

E. Menentukan Visikositas

Banyak metode yang digunakan untuk mengukur viskositas gas dan cairan, karena

perbedaan-perbedaan metode dan instrumen yang digunakan tergantung pada

sample yang di ukur.

1. Metode Ostwald

Metode ini ditentukan berdasrkan Hukum Poiseulle menggunakan alat

Viskometer Ostwald. Penetapannya dilakukan dengan jalan mengukur wktu

yang diperlukan untuk mengalirnya cairan dalam pipa kapiler dari a ke b.

Sejumlah cairan yang akan diukur viskositasnya dimasukkan ke dalam

viscometer. Cairan kemudian diisap dengan pompa sampai diatas batas a.

Cairan dibiarkan mengalir ke bawah dan waktu yang diperluka dari a ke b

dicatat menggunakan stopwatch. Viskositas dihitung menggunakan persamaan

Poiselle.

𝜋𝑃𝑟 4 𝑡
η= (8)
8𝑉𝑙

t adalah waktu yang diperlukan cairan bervolume V yang mengalir

melalui pipa kapiler dengan panjang l dan jari-jari r . Tekanan P merupakan

perbedaan tekanan aliran kedua ujung pipa viscometer. Untuk dua cairan

yang berbeda dengan pengukuran alat yang sama diperoleh hubungan:

7
η1 𝜋𝑃1 𝑟 4 𝑡1 8𝑉𝑙 𝑃 𝑡
= x 𝜋𝑃 4
= 𝑃1 𝑡1 (9)
η2 8𝑉𝑙 2 𝑟 𝑡2 2 2

karena tekanan berbanding lurus dengan kerapatan cairan (d), maka

berlaku:

η1 𝑑1 𝑡1
= (10)
η2 𝑑2 𝑡2

Gambar 2. Viskosimeter Ostwald,

2. Metode Bola Jatuh

Penentuan ini berdasarkan hokum Stokes. Bola dengan rapatan d dan

jari-jari r dijatuhkan ke dalam tabung berisi cairan yang akan ditentukan

viskositasnya. Waktu yang diperlukan bola untuk jatuh melalui cairan dengan

tinggi tertentu kemudian dicatat dengan stopwatch. Gaya berat yang

menyebabkan bola turun ke bawah sebesar:

8
4
𝐹𝑤 = 𝜋𝑟 3 (𝑑𝑏 − 𝑑𝑐 )g (11)
3

Dimana db dan dc masing-masing kerapatan bola dan cairan sedang g

adalah percepatan gravitasi.

Selain itu bekerja gaya gesek yang arahnya ke atas sebesar:

𝐹g = 6𝜋𝑟𝑣 (12)

Pada keadaan setimbang, Fw = Fg sehingga

2𝑟 2 g (𝑑𝑏 − 𝑑𝑐 )
 = 9𝑣
(13)

Gambar 3. Visikometer Bola Jatuh

Apabila digunakan metode perbandingan dua cairan berlaku:

η1 (𝑑 − 𝑑𝑐1 )𝑡1
= 1 (14)
η2 (𝑑2 − 𝑑𝑐2 )𝑡2`

9
F. DIFFUSI (HUKUM FICK)

Dalam Bagian dapat melihat bahwa hukum pertama Fick dari difusi

(bahwa fluks partikel sebanding dengan gradien konsentrasi) dapat disimpulkan

dari model kinetik gas. Sekarang kita akan menunjukkan bahwa hal itu dapat

disimpulkan secara lebih umum dan berlaku untuk difusi spesies di fase kental

juga.

Fluks partikel adalah gerak dalam menanggapi sebuah termodinamika

kekuatan yang timbul dari gradien konsentrasi. Partikel-partikel mencapai drift

stabil kecepatan, s, ketika kekuatan termodinamika,: f, cocok dengan hambatan

kental. melayang ini kecepatan sebanding dengan kekuatan termodinamika, dan

kita menulis s ∞: f. Namun, partikel fluks J, sebanding dengan kecepatan dan

kekuatan termodinamika sebanding dengan gradien konsentrasi, dc/dx. Rantai

proportionalities (J ∞ s,\s ∞: f, dan f dc/dx) menyatakan bahwa J = dc / dx, yang

merupakan isi hukum Fick.

Jika sebuah zat mengalir (as in diffusion), maka aliran diffusi molekul

adalah meter per detik. A Nilai positif jika J menandakan sebuah flux menuju z

dan A bernilai negative jika J menandakan flux menuju negative z. Karena zat

mengalir kebawah menuju konsentrasi rendah, dari konsentrasi tinggi ke

konsentrasi rendah sperti gambar 4. Maka

𝑑𝑐
𝐽 (𝑧𝑎𝑡) = −𝐷 (15)
𝑑𝑧

10
Hukum pertama Fick dimanan J adalah jumlah zat (mol) per luas

permukaan yang yang dilalui zat untuk setiap detiknya (J = mol/m2s).

Gambar 4. Aliran Zat Hukum Fick

Telah diamati dalam hokum Fick bahwa diffuse flux sebanding dengan

konsentrasi gradient.

Gambar 5. Aliran flux konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah

Dimana :

Z=Z0 jumlah dari zat yang masuk per detik adalah 𝐴𝐽 (𝑧0 )

A adalah luas dari slab atau papan

11
Pada Z = Z0 + ∆Z, jumlah yang meninggalkan slab adalah 𝐴 (𝑍𝑜 + ∆Z)

Efek dari difusi adalah untuk pengurangan konsentrasi gradient.

Jumlah flux yang masuk dan yang meninggalkan slab adalah tidak sama.

Sejumlah flux (mol) perdetik yang tetap berada dalam slab , maka

𝑑𝑛
= 𝐴𝐽 (𝑍0 ) − 𝐴𝐽 (𝑍0 + ∆𝑍)
𝑑𝑡

= 𝐴 [𝐽(𝑍0 ) − 𝐽(𝑍0 + ∆𝑍) ] (16)

n adalah jumlah mol. Konsentrasi jumlah mol dibagi dengan volume. Volume dari

slab adalah A ∆𝑍 `dan konsentrasi dalam salab diberikan dengan

𝑛
𝑐= (17)
𝐴∆𝑍

Oleh karena itu

𝑑𝑛
𝑑𝑐 𝐴 [𝐽(𝑍0 ) − 𝐽(𝑍0 + ∆𝑍) ]
= 𝑑𝑡 = (18)
𝑑𝑡 𝐴∆𝑍 𝐴∆𝑍

Jika 𝐴∆𝑍 → 0, kemudian [J(z0) - J(z0+ _z)]→ dJ dan _z→ dz

Oleh karena itu

𝑑𝑐 𝑑𝐽
=
𝑑𝑡 𝑑𝑍

𝑑𝑐
𝐽 = −𝐷
𝑑𝑧

𝑑𝑐 𝑑 𝑑𝑐
= −𝐷 ( )
𝑑𝑧 𝑑𝑍 𝑑𝑍

𝑑𝑐 𝑑2 𝑐
= −𝐷 2 (19)
𝑑𝑧 𝑑𝑍

12
Dalam hukum Fick ketika sebuah lapisan tipis dari sebuah diffusant berada

bagian ditengah dari sebuah cell silender yang panjang dengan waktu pada jarak

Z dari pusat maka :

η𝑜 𝑍2
𝐶 (𝑍, 𝑡) = 𝑒 − (4𝐷𝑡) (20)
√2𝜋𝐷𝑡

η𝑜 adalah jumlah dari subtansi yang mengidikasikan present per unit melalui

section area, mol/m2.

(Chao, 2010)

1. Hubungan Einstein

Mengubah Avogadro dalam jumlah (jumlah mol), maka hukum Fick

menjadi

𝑑𝑐
𝐽 = −𝐷 (21)
𝑑𝑥

Dimana, D adalah koefisien difusi dan dc/dx adalah konsentrasi (M). Fluks

yang berhubungan dengan kecepatan oleh

J = sc (16)

13
Demikian, semua partikel dalam jarak s∆t

𝑑𝑐
𝑠𝑐 = −𝐷 (17)
𝑑𝑥

Jika sekarang kita nyatakan bahwa dr/dx maka

𝐷 𝑑𝑐 𝐷𝑓
𝑠= − = (18)
𝑐 𝑑𝑥 𝑅𝑇

Oleh karena itu, kekuatan efektif dan koefisien difusi D bias dihitung

denagn kecepatan partikel (dan sebaliknya). Ada satu kasus di mana kita sudah

tahu kecepatan hanyut dan kekuatan akting yang efektif pada partikel: ion dalam

larutan memiliki kecepatan s = u'E ketika mengalami kekuatan ez'E dari medan

listrik kekuatan 'E (sehingga: f = NAez'E = zF'E). Oleh karena itu, mengganti nilai-

nilai yang dikenal dan memberikan

𝑧𝐹𝐸𝐷
𝑢𝐸 = (19)
𝑅𝑇

Dan

𝑧𝐹𝐷
𝑢= (20)
𝑅𝑇

Persamaan ini menata kembali ke hasilnya sangat penting dikenal sebagai

hubungan Einstein antara koefisien difusi dan mobilitas ion:

𝑢𝑅𝑇
𝐷= (21)
𝑧𝐹

14
Pada memasukkan nilai khas u = 5 x 10-8 m2S-1 V-1, ditemukan D = 1 x 10-9 m2S-1

di 25°C sebagai nilai khas koefisien difusi ion dalam air.

2. Persamaan Nernst-Einstein

Einstein menyatakan hubungan antara konduktivitas molar elektrolit dan

koefisien difusi ion.

𝑧 2 𝐷𝐹2
λ = 𝑧𝑢𝐹 = (22)
𝑅𝑇

Untuk setiap jenis ion. Kemudian, dari Ʌ0m = v+ λ+ + V-A-, konduktivitas

molar membatasi adalah

𝐹2
Ʌ𝑚 = (𝑣+ 𝑧 2 + 𝐷+ + 𝑣− 𝑧 2 − 𝐷− ) (23)
𝑅𝑇

yang merupakan persamaan Nernst-Einstein. Salah satu aplikasi dari persamaan

ini adalah ke penentuan koefisien difusi ion dari pengukuran konduktivitas lain

adalah untuk prediksi konduktivitas menggunakan model difusi ion.

3. Persamaan Stokes-Einstein

Berhubungan mobilitas ion dengan gaya gesek koefisien difusi. Kita dapat

menggabungkan dua ekspresi ke dalam persamaan Stokes-Einstein:

𝑘𝑇
𝐷= (24)
𝑓

15
Jika gaya gesekan dijelaskan oleh hukum Stoke, maka kita juga

mendapatkan relasi antara koefisien difusi dan viskositas medium:

𝑘𝑇
𝐷= (25)
6ήπa

(Atknis, 2006).

16
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2006, Kimia Fisika 2.

Atkins, P., dan Paula, J. de., 2006, Physical Chemistry Eighth Edition, Oxford
University Press, Great Britain.

Chao Y., 2010, Elements of Chemical Physics, Molecular Motion.

Moore W.J., 2011, Physical Chemistry, Tight Binging Book. Universitas Library
OU_166588.

Suharyanto, 2012, Kimia Fisik, Nasional Surakarta.

17
Contoh Soal

1. Hitung kecepatan maksimum pada pusat (r=0) dari sebuah tabung dengan

diameter 1 cm, panjang 10 m, dengan air yang sedang mengalir melalui sebu-ah

perbedaan tekanan ∆p = 1 atm.

Jawab:

∆p = 1 atm = 101.325 Pa ; R = 0,005 m ; r = 0 ;  = 9 x 10−4 𝑃𝑎. 𝑠

101.325
v (r=0) = 4 𝑥 9.10−4 𝑥 10 𝑥 (0,005)2

= 70,4 ms-1

2. Bagaimana menghitung volume alir-an, Jv (m33s–1) air yang melalui tabung di

bawah kondisi ini.

Jawab:

Anggap sebuah cincin terpusat, ketebalan dr, pada jarak r dari pusat tabung (lihat

gambar di atas). Area dari cincin ini adalah 2rdr , dan volume yang mengalir

dalam 1 detik melalui permukaan ini adalah 2rdr x v(r ). Untuk mendapatkan

volume total, kita mengintegrasikan dari r = 0 ke r =R (dinding tabung).

p  p R 2 2
Jv(r )   oR 2 r dr (R 2  r 2 )   o (R  r ) dr
4  2

=
 p
2
 
R 2  oR r dr   oR r 3 dr 
 p  2 1 2 1 4 
2 
R . R  R 
2 4 

 p R 4
=
8

3. Dalam sebuah percobaan tabung vertikal memiliki panjang 20 cm yang

menghubungkan dua tabung. Laju aliran cairan melalui tabung adalah 20 cm3s-1.

18
Jika tabung memiliki diameter 0,5 cm hitunglah viskositas cairan. Asumsi bahwa

perbedaan tekanan antara bagian atas dan bawah dari tabung adalah 19 pascal.

Jawab:

(𝑃1 − 𝑃2 )
𝑅 = 𝜋𝑟 4
8𝐿

P2 – P1 = 19 Pa , d = 0,5 cm = 0,5 x 10-2m

L = 20 cm , R = 20 cm3s-1 = 20 x 10-6m3s-1

Subtitusi

19 𝑃𝑎 𝑥 3,142 𝑥 (0,5 𝑥 10−2 𝑚)4


 = 8 𝑥 20.10−6 𝑚3 𝑆 −1 𝑥 0,2 𝑚

 = 1,166 x 10-3 Pas.s

4. Untuk gas N2 diameter,  = 0,43 nm2. Hitung viskositas gas N2 pada suhu 300K.

Jawab:

m = (28 x 10–3)/6,02 x 1023 kg

 = 0,43 nm2 = 0,43 x 10–18 m2 = 4,3 x 10–19 m2.

k = 8,314/6,02 x 1023 JK–1 dan T = 300K

maka diperoleh:

 = 5,8 x 10–6 Pa.s

5. Viskositas larutan gula diukur dengan viskometri kapiler. Untuk pelarut, air, waktu

alir adalah 75s, η(H2O) = 0,890mPa.s, ρ(H2O) = 0,997g/ml, larutan gula 1 %

t1=99,5s; 1=1,002 g/ml, larutan gula 5 % t2=187,5s; 2=1,017 g/ml, Hitung η dari

kedua larutan gula tersebut. Hitung juga ηsp dan ηsp/C masing-masing.

Jawab:

19
Gula 1 %  t1/t0 = 10/01

1 = 99,5(1,002)/75(0,997) = 1,19 mPa.s

Gula 5 %  t2/t0 = 20/02

2 = 2,27 mPa.s

ηsp(1%)  (1/0) – 1 = (1,19/0,89)  1 = 0,34

ηsp/C (1%) = 0,33 d(L/g)

ηsp(5%)  (2/0) – 1 = 1,55

ηsp/C (5%) = 0,31 d(L/g)

6. Sebuah larutan berwarna ditempatkan dalam lapisan tipis di tengah sel silinder

yang panjang. Jika difusi dibiarkan terus selama 1 jam dua puluh menit, hitunglah

konsentrasi larutan warna dalam mol dm-3 pada jarak 1 cm dari posisi asli dari

lapisan tipis dengan asumsi bahwa difusi koefisien pewarna adalah 0.79x 10-9 m2

s-1 dan konsentrasi awal zat warna per satuan luas adalah 10 mol m-2.

Jawab:

η𝑜 𝑍2
𝐶 (𝑍, 𝑡) = 𝑒 4𝐷𝑡)
−(
√2𝜋𝐷𝑡

Z = 1 x 10-2 m, t = 4800 s

Sehingga

10 1.10−4
−( )
𝐶 (𝑍, 𝑡) = 𝑒 4𝑥 0,79.10−9 𝑥 4800
√2 𝑥 3,142 𝑥 0,79 𝑥 10−9 𝑥 4800

= 2,807 mol/m3

= 2,807 x 10-3 mol/dm3

= 0,002807 mol/dm3

20
7. Perkirakan diameter dan volume suatu protein dengan koefisien difusi D = 3,5 

1011 m2/s dalam air pada 25C ( = 8,9  104 Pa.s).

Jawab:

Dari persamaan 15 di atas:

1,38 x 1023 x 298


r= kT
6D

6 x 3,14 x 8,9.10 4 x 3,5 .1011

= 7,0 x 10–9m = 7 nm

Volume protein, V = 4/3 r3 = 1,4 x 10–24 m3 atau 1400 nm3.

Jika diasumsikan massa jenis polimer contoh adalah 2g/mL

21

Anda mungkin juga menyukai