Ruqyah adalah terapi atau pengobatan yang sudah ada di masa jahiliyah. Dan ketika
Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam diutus menjadi Rasulullah, maka ditetapkanlah
Ruqyah yang dibolehkan dalam Islam. Allah menurunkan surat al-Falaq dan An-Naas salah
satu fungsinya sebagai pencegahan dan terapi bagi orang beriman yang terkena sihir.
Diriwayatkan oleh ‘Aisyah bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa
membaca kedua surat tersebut dan meniupkannya pada kedua telapak tangannya,
mengusapkan pada kepala dan wajah dan anggota badannya. Dari Abu Said bahwa
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dahulu senantiasa berlindung dari pengaruh mata jin
dan manusia, ketika turun dua surat tersebut, Beliau mengganti dengan keduanya dan
meninggalkan yang lainnya” (HR At-Tirmidzi).
Berkata Ibnu Hajar al-Atsqalani dalam Fathul Bari (10/70),” Pengobatan cara nabi tidak
diragukan kemampuan menyembuhkannya karena datang dari wahyu”. Berkata Ibnul
Qoyyim dalam kitab as-Shahihul Burhan, “Al-Qur’an adalah tempat kesembuhan yang
sempurna dari semua penyakit hati dan semua penyakit dunia dan akhirat. Jika Allah tidak
menyembuhkan anda dengan al-Qur’an, maka Allah tidak akan menyembuhkan anda dengan
yang lainnya”. Sedangkan yang terkait langsung dengan landasan ruqyah disebutkan dalam
beberapa hadits, di antaranya:
س ِلي ٌم )لذيغ( َوإِ َّن نَفَ َرنَا َغيْبٌ فَ َه ْل َ ي ِِّ سيِِّدَ ْال َح
َ ت إِ َّن ْ َاريَةٌ فَقَال
ِ ت َج ْ ِير لَنَا فَنَزَ ْلنَا فَ َجا َء ٍ ي قَا َل ُكنَّا فِي َمس ِِّ س ِعي ٍد ْال ُخد ِْر
َ َع ْن أَبِي
ُسقَانَا لَ َبنًا فَلَ َّما َر َج َع قُ ْلنَا لَهُ أَ ُك ْنتَ تُحْ ِسن ْ
َ ام َم َع َها َر ُج ٌل َما ُكنَّا نَأبُنُهُ ِب ُر ْق َي ٍة فَ َرقَاهُ فَ َب َرأ َ فَأ َ َم َر لَهُ ِبث َ ََلثِينَ شَاة ً َو ٍ ِم ْن ُك ْم َرا
َ َق فَق
َ َّ َ َّ َ َ ْ َّ ً ُ ُ ْ ُ ْ ُ
ِ ُر ْقيَةً أ َ ْو ك ْنتَ ت َْرقِي قَا َل ََل َما َرقَيْتُ إَِل بِأ ِ ِّم ال ِكت َا
َّ ُ
سل َم فَل َّما َّ صلى
َ َللاُ َعل ْي ِه َو َ ي َّ ِي أ ْو نَ ْسأ َل النَّب َ ِب قلنَا ََل تحْ ِدثوا َش ْيئا َحتى نَأت
س ْه ٍم رواه البخاري َ سلَّ َم فَقَا َل َو َما َكانَ يُد ِْري ِه أَنَّ َها ُر ْقيَةٌ ا ْق ِس ُموا َواض ِْربُوا ِلي ِب َ َللاُ َعلَ ْي ِه َو َّ صلَّى َ ي ِِّ قَ ِد ْمنَا ْال َمدِينَةَ ذَك َْرنَاهُ ِللنَّ ِب
)ومسلم
Dari Abu Said al-Khudri ra berkata, “ Ketika kami sedang dalam suatu perjalanan, kami
singgah di suatu tempat. Datanglah seorang wanita dan berkata, “ Sesunggunhya pemimpin
kami terkena sengatan, sedangkan sebagian kami tengah pergi. Apakah ada diantara kalian
yang biasa meruqyah?” Maka bangunlah seoarng dari kami yang tidak diragukan
kemampaunnya tentang ruqyah. Dia meruqyah dan sembuh. Kemudian dia diberi 30 ekor
kambing dan kami mengambil susunya. Ketika peruqyah itu kembali, kami bertanya,
”Apakah Anda bisa? Apakah Anda meruqyah?“ Ia berkata, ”Tidak, saya tidak meruqyah
kecuali dengan Al-Fatihah.” Kami berkata,“Jangan bicarakan apapun kecuali setelah kita
mendatangi atau bertanya pada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika sampai di
Madinah, kami ceritakan pada nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam Dan beliau berkata, “
Tidakkah ada yang memberitahunya bahwa itu adalah ruqyah? Bagilah (kambing itu) dan
beri saya satu bagian.” (HR Bukhari dan Muslim)
Dari Auf bin Malik al-Asyja’i berkata, ”Dahulu kami meruqyah di masa jahiliyah, dan kami
bertanya, “ Wahai Rasulullah bagaimana pendapatmu?” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, ”Perlihatkan padaku ruqyah kalian. Tidak apa-apa dengan ruqyah jika tidak
mengandung kemusyrikan .” (HR Muslim)
Hukum Ruqyah
Para ulama berpendapat pada dasarnya ruqyah secara umum dilarang, kecuali ruqyah syariah.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
َ ََم ْن ت َ َعلَّق
ش ْيئًا ُو ِك َل ِإلَ ْي ِه
Dari Imran berkata, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,” Akan masuk surga
dari umatku 70 ribu dengan tanpa hisab”. Sahabat bertanya, “Siapa mereka wahai
Rasulullah ?” Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,” Mereka adalah orang yang
tidak berobat dengan kay (besi), tidak minta diruqyah dan mereka bertawakkal pada Allah”.
(HR Bukhari dan Muslim).
Para ulama banyak membicarakan hadits ini, diantaranya yang terkait dengan ruqyah. Ulama
sepakat bahwa ruqyah secara umum dilarang, kecuali tidak ada unsur kemusyrikan. Dan
mereka juga sepakat membolehkan ruqyah syar’iyah, yaitu membacakan al-Qur’an dan
doa’do’a ma’tsurat lainnya untuk penjagaan dan menyembuhkan penyakit. Disebutkan dalam
kitab Tuhfatul Ahwadzi syarh kitab Sunan at-Tirmidzi, kesimpulan hukum ruqyah adalah
bahwa jika ruqyah dengan tidak menggunakan Asma Allah, sifat-sifat-Nya, firman-Nya
dalam kitab-kitab suci, atau tidak menggunakan bahasa Arab dan menyakini bahwa itu
bermanfaat, maka hal itu bagian dari bersandar pada ruqyah. Oleh karenannya dilarang.
Dalam konteks inilah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dalam haditsnya:
Adapun selain itu, seperti berlindung dengan Al-Qur’an, Asma Allah Ta’ala dan ruqyah yang
telah diriwayatkan (dalam hadits), maka itu tidak dilarang. Dan dalam konteks ini Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang yang meruqyah dengan Al-Qur’an dan
mengambil upah :
من أخذ برقية باطل فقد أخذتُ برقية حق
”Orang mengambil ruqyah dengan batil, sedang saya mengambil ruqyah dengan benar. ”
(HR At-Tirmidzi)
Praktek Ruqyah
Secara umum ruqyah terbagi menjadi dua, ruqyah sesuai dengan nilai-nilai Syariah dan
ruqyah yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Syariah. Adapaun ruqyah sesuai Syari’ah harus
sesuai dengan dhawabit syari’ah, yaitu:
1. Bacaan ruqyah berupa ayat-ayat al-Qur'an dan do’a atau wirid dari Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam
2. Do'a yang dibacakan jelas dan diketahui maknanya.
3. Berkeyakinan bahwa ruqyah tidak berpengaruh dengan sendirinya, tetapi dengan
takdir Allah SWT.
4. Tidak isti'anah (minta tolong) kepada jin (atau yang lainnya selain Allah).
5. Tidak menggunakan benda-benda yang menimbulkan syubhat dan syirik.
6. Cara pengobatan harus sesuai dengan nilai-nilai Syari'ah, khususnya dalam
penanganan pasien lawan jenis.
7. Orang yang melakukan terapi harus memiliki kebersihan aqidah, akhlak yang terpuji
dan istiqomah dalam ibadah.
8. Tidak minta diruqyah kecuali terpaksa. Sehingga ruqyah yang tidak sesuai dengan
dhawabit atau kriteria di atas dapat dikatakan sebagai ruqyah yang tidak sesuai
dengan Syari’ah.
Di bawah ini beberapa contoh ruqyah dan pengobatan yang tidak sesuai Syariah:
Ruqyah Dzatiyah
Beberapa hadits di bawah adalah anjuran Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada
orang beriman untuk melakukan ruqyah dzatiyah
""من قرأ آية الكرسي في دبر الصَلة المكتوبة كان في ذمة للا إلى الصَلة األخرى
“Siapa yang membaca ayat Al-Kursi setelah shalat wajib, maka ia dalam perlindungan Allah
sampai shalat berikutnya” (HR At-Tabrani).
Dari Abdullah bin Khubaib dari bapaknya berkata, ”Kami keluar di suatu malam,
kondisinya hujan dan sangat gelap, kami mencari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
untuk mengimami kami, kemudian kami mendapatkannya.” Rasul shalallahu ‘alaihi wa
sallam berkata,” Katakanlah”. “ Saya tidak berkata sedikitpun”. Kemudian beliau berkata,
“Katakanlah.” “Sayapun tidak berkata sepatahpun.” “Katakanlah, ”Saya berkata, ”Apa
yang harus saya katakan?“ Rasul bersabda, ”Katakanlah, qulhuwallahu ahad dan al-
mu’awidzatain ketika pagi dan sore tiga kali, niscaya cukup bagimu dari setiap gangguan.”
(HR Abu Dawud, At-tirmidzi dan an-Nasa’i)
“Siapa yang membaca dua ayat dari akhir surat Al-Baqarah setiap malam, maka cukuplah
baginya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
“Siapa yang turun di suatu tempat, kemudian berkata, ‘A’udzu bikalimaatillahit taammaati
min syarri maa khalaq’, niscaya tidak ada yang mengganggunya sampai ia pergi dari tempat
itu.” (HR Muslim) Oleh karena itu orang beriman harus senantiasa melakukan ruqyah
dzatiyah dalam kesehariannya. Hal-hal yang harus dilakukan dengan ruqyah dzatiyah adalah:
1. Memperbanyak dzikir dan do’a yang ma’tsur dari Nabi SAW, khususnya setiap pagi,
sore dan setelah selesai shalat wajib.
2. Membaca Al-Qur’an rutin setiap hari
3. Meningkatkan ibadah dan pendekatan diri kepada Allah.
4. Menjauhi tempat-tempat maksiat
5. Mengikuti majelis ta’lim dan duduk bersama orang-orang shalih.
Para ulama sepakat membolehkan mengambil upah dari mengobati dengan cara ruqyah
syar’iyah. Bahkan dalam hadits terkenal tentang para sahabat yang meruqyah kepala suku
yang terkena bisa ular, Abu Sa’id Al-Khudri berkata, “ Saya tidak bersedia meruqyah sampai
kalian memberiku upah”. Sehingga dalam kitab Shahih Al-Bukhari, salah satunya
memasukkan hadits ini dalam bab al-ijarah. Dalam ujung hadits Abu Said Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Bagilah (upah itu), dan beri aku satu bagian.”(Bukhari dan Muslim) Sedangkan upaya
menjadikan pengobatan ruqyah sebagai usaha rutin dan tafarrugh, maka hukumnya sama
dengan mengambil upah dari pengobatan yang lainnya. Hal ini karena pengobatan ruqyah
membutuhkan waktu yang cukup dan dilakukan secara profesional. Begitu juga para
peruqyah dituntut senantiasa meningkatkan ilmu dan keikhlasan/ketaqwaan.
Syekh Abdullah bin Baaz dalam kumpulan ceramah yang berjudul liqo-al ahibbah
memfatwakan boleh tafarrugh (bekerja full time) dalam pengobatan ruqyah, beliau beralasan
karena terkait dengan maslahat syar’iyat. Demikian juga fatwa syekh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin dalam Liqo-ul qurra membolehkan tafarrugh dalam pengobatan ruqyah.
Namun demikian karena pengobatan ruqyah adalah bagian dari fardhu kifayah dan kebutuhan
ummat, maka sebaiknya jangan dijadikan sarana komersial atau bisnis murni, demikian
halnya dengan pengurusan jenazah, khutbah, imam shalat, adzan dan iqomah, mengajarkan
Al-Qur’an, bimbingan haji dll.