Anda di halaman 1dari 3

1

MALAM NISHFU SYA’BAN

ِ ِ ِ ِ ِ َ ‫عن عاِئ َشةَ قَالَت َف َق ْدت رس‬


‫يف‬ َ ‫ت فَِإذَا ُه َو بِالْبَقي ِع َف َق َال « َأ ُكْنت خَتَاف‬
َ ‫ني َأ ْن حَي‬ ُ ‫ لَْيلَةً فَ َخَر ْج‬-‫صلى اهلل عليه وسلم‬- ‫ول اللَّه‬ َُُ ْ َ َْ
Page | 1 ِ ‫ِّص‬
‫ف‬ َ ‫ض نِ َساِئ‬
ْ ‫ َف َق َال « ِإ َّن اللَّهَ َع َّز َو َج َّل َيْن ِز ُل لَْيلَ ةَ الن‬.‫ك‬ َ ‫ت َب ْع‬ َ ‫َّك َأَتْي‬
َ ‫ت َأن‬ ِ َ ‫ ُقْلت يا رس‬.» ‫ك ورسولُه‬
ُ ‫ول اللَّه ِإىِّن ظََنْن‬ َُ َ ُ
ِ
ُ ُ َ َ ‫اللَّهُ َعلَْي‬
‫(اخرجه اص حاب الس نن ابو داود والرتم ذي‬.» ‫ب‬ ٍ ‫الس م ِاء ال ُّد ْنيَا َفَي ْغفِر َأل ْكَث ر ِم ْن َع َد ِد َش ْع ِر َغنَ ِم َكْل‬ ‫ِإ‬ ِ
َ ُ َ َّ ‫م ْن َش ْعبَا َن ىَل‬
.)‫والنسائي وابن ماجة‬

Artinya: Aisyah berkata: “Suatu malam aku kehilangan Rasulullah SAW. Aku pun keluar rumah
ternyata beliau adsa di kuburan Baqi’. Beliau bersabda: “Adakah engkau khawatir Allah dan Rasul-
Nya akan mengecewakan kamu” ?. Maka aku jawab: “Aku kira engkau pergi ke rumah isterimu
yang lain”. Makia Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia pada
malam Nisfu Sya’ban lalu mencurahkan ampunan kepada manusia sebanyak hitungan bulu-bulu
kambing” (HR Ashhabus Sunan yaitu Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasa’i dan Ibnu Majah).

Hadits seperti ini dengan redaksi panjang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya dengan
tanpa menyebutkan malam Nisfu Sya’ban. Namun tambahan informasi dalam Ashhabus Sunan ini
melengkapi infor asi yang disampaikan Muslim sehingga dapat diketahui bahwa peristiwa itu terjadi
pada malam Nisfu Sya’ban.

Hadis ini memberikan beberapa pengertian, antara lain:

Pertama, bahwa berziarah kubur itu disyari’atkan. Dalam riwayat lain bahkan disebutkan bahwa
Rasulullah SAW senantiasa melakukan hal tersebut manakala mendapat jatah menginap di rumah
Aisyah. Muslim meriwayatkan:

‫ص لى اهلل عليه‬- ‫ول اللَّ ِه‬ ِ ‫ ُكلَّما َك ا َن لَيلَُتها ِمن رس‬- -‫ص لى اهلل عليه وس لم‬- ‫ول اللَّ ِه‬
َُْ َ ْ َ ُ ‫ت َك ا َن َر ُس‬ ‫ِئ‬
ْ َ‫َع ْن َعا َش ةَ َأن ََّها قَ ال‬
‫وع ُدو َن َغ ًدا ُمَؤ َّجلُو َن َوِإنَّا‬ ِِ ٍ ُ ‫آخ ِر اللَّْي ِل ِإىَل الْبَ ِقي ِع َفَي ُق‬
ِ ‫ خَي ْرج ِمن‬- -‫وسلم‬
َ ُ‫ني َوَأتَا ُك ْم َما ت‬
َ ‫السالَ ُم َعلَْي ُك ْم َد َار َق ْوم ُم ْؤ من‬
َّ « ‫ول‬ ْ ُُ
ِ ِ ِ ِ
)‫(رواه مسلم‬.» ‫َأله ِل بَقي ِع الْغَْرقَد‬ ْ ‫ِإ ْن َشاءَ اللَّهُ بِ ُك ْم الَح ُقو َن اللَّ ُه َّم ا ْغف ْر‬

Artinya: Rasulullah SAW itu setiap kali giliran menginap di rumah Aisyah senantiasa keluar ke Baqi
di tengah malam lalu membaca do’a “Assalamu Alaikum Dara Qaumin Mu’minin...” (Salam
sejahtera untukmu wahai kaum mukminin penduduk negeri ini, kelak kalian akan mendapatkan
apa yang telah dijanjikan dan sungguh kami insya Allah akan menyusul kalian. Ya Allah,
curahkanlah ampunanmu kepada penduduk Baqi’ Al Gharqad”. (HR Muslim).

Kedua, disyari’atkannya berdo’a di kuburan.hal ini merupakan dalil yang menyanggah sekelompok
orang yang mengharamkan berdo’a di kuburan. Dalam Hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah
SAW senantiasa menyruh para sahabatnya memanjatkan do’a di kuburan untuk jenazah yang
baru saja dikuburkan.sekiranya membaca do’a di kuburan itu haram, niscaya Rasulullah SAW
akan melarangnya. Sepengetahuan kami tidak ada satu pun dalil yang melarang berdo’a di
kuburan.
2

Ketiga, disyari’atkannya mengangkat tangan dalam berdo’a. Ini mutlak baik ketika duduk maupun
ketika berdiri. Banyak Hadis yang menyebutkan Rasulullah SAW mengangkat tangan sambil
berdiri. Tentang masalah ini telah kami bahas pada Qum edisi sebelumnya.

Keempat, bila pada malam Nisfu Sya’ban itu Rasulullah SAW mendapat perintah khusus untuk
Page | 2 datang ke Baqi’, itu artinya malam tersebut beliau menemui “Arwah” para sahabatnya yang telah
berpulang ke Rahmatullah. Dari sinilah kaum Muslimin Indonesia menamakan bulan Sya’ban
dengan bulan “Arwah” yang kemudian dipermudah menjadi “Ruwah”. Telah menjadi kebiasaan
para Wali dan Ulama menyebutkan satu aktifitas di satu bulan menjadi nama bulan tersebut.
Seperti bulan Muharram yang diganti dengan nama bulan “Suro”, merujuk kepada tanggal sepuluh
(Asyura) bulan tersebut di mana disunnahkan puasa Sunnat. Bulan Ramadhan diganti dengan
nama “Bulan Puasa” merujuk kepada kewajiban ibadah yang harus dilakukan pada bulan tersebut.
Dan oleh karena pada Nisfu Sya’ban itu Rasulullah SAWmelakukan “Temu Arwah”, maka kaum
Muslimin Indonesia biasa mengadakan apa yang mereka sebut dengan “Nyadran” atau “Nadran”
dengan bersama-sama berziarah ke kuburan para leluhur dan karib kerabat serta mendo’akan
mereka agar mendapatkan kebahagiaan di alam kuburnya. Ada pula yang menisbatkan kata
“Ruwah” kepada hari pembersihan Ruh orang yang hidup karena pada Nisfu Sya’ban itu dilakukan
penggantian buku catatan amal manusia. Kedua bentuk pertimbangan tersebut menunjukkan
betapa bijaksananya para Ulama Indonesia terdahulu. Pertanyaannya sekarang; Apakah malam
Nisfu Sya’ban itu memiliki keistimewaan?.

Para Ulama Wahhabi umumnya menganggap bahwa malam Nisfu Sya’ban tidak memiliki
keistimewaan sama sekali, sehingga mereka melarang kaum Muslimin menghidupkannya dengan
beribadah. Tetapi belakangan, salah seorang pakar Hadis dari madzhab tersebut, Syekh
Muhammad Nashiruddin Al Albani secara tegas menyatakan bahwa malam nisfu Sya’ban adalah
Shahih tidak dapat diragukan lagi. Berikut pernyataan Albani Rahimahullah:

‫ف ِم ْن َش ْعبَا َن َفَي ْغ ِف ُر لِعِبَ ِاد ِه ِإالَّ لِ ُم ْش ِر ٍك‬


ِ ‫ِّص‬ ِِ ِ ِ
ْ ‫ يَطَّل ُع اللَّهُ َعَّز َو َج َّل ِإىَل َخ ْلقه لَْيلَةَ الن‬: ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم قَ َال‬
ِ َ ‫َأن رس‬
َ ‫ول اهلل‬ ُ َ َّ
ِ ‫اَو م َش‬
‫اح ٍن‬ ُ ْ

Artinya: Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah menghampiri makhluk-Nya


pada malam Nisfu Sya’ban lalu mencurahkan ampunan-Nya kepada hamba-hamba-Nya
kecuali orang Musyrik dan orang yang terus menerus melakukan dosa”

Syekh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam kitabnya “Silsilah Al Adadits Ash


Shahihah pada pembahasan Hadis nomor 1444 menyatakan bahwa Hadis ini ”Shahih”.
Setelah melakukan pembahasan panjang lebar, Albani akhirnya menutup
pembahasannya dengan menulis:

‫و مجلة الق ول أن احلديث مبجم وع ه ذه الط رق ص حيح بال ريب و الص حة تثبت بأقل منهاع ددا ما دامت س املة من‬
‫ فما نقله الشيخ القامسي رمحه اهلل تعاىل يف " إصالح املساجد " ( ص‬، ‫الضعف الشديد كما هو الشأن يف هذا احلديث‬
‫ فليس مما ينبغي االعتماد‬، ‫ ) عن أهل التعديل و التجريح أنه ليس يف فضل ليلة النصف من شعبان حديث صحيح‬107
‫ و لئن ك ان أحد منهم أطلق مثل ه ذا الق ول فإمنا أويت من قبل التس رع و ع دم وسع اجلهد لتتبع الط رق على ه ذا‬، ‫عليه‬
. ‫ و اهلل تعاىل هو املوفق‬. ‫النحو الذي بني يديك‬
3

Artinya: Kesimpulannya Hadis (tentang Nisfu Sya’ban) ini dengan menelusuri semua
jalur-jalurnya adalah Hadis Shahih tidak dapat diragukan lagi. Kesahahihan sebuah Hdsi
dapat ditetapkan dengan jumlah yang lebih sedikit dari ini selama selamat dari
kelemahan yang parah – sebagaimana Hadis ini. Oleh karena itu apa yang diinukil oleh
Syekh Al Qasimi Rahimahullah Ta’ala dalam kitabnya “Ishlahul Masajid” dari para Ahli
Page | 3 Jarh Wat Ta’dil yang mengatakan bahwa tidak ada satu pun Hadis Shahih berkaitan
dengan keutamaan malam Nisfu Sya’ban adalah pendapat yang tidak dapat dijadikan
pegangan. Pendapat seperti itu muncul dari orang yang tergesa-gesa dan tidak mau
mengerahkan kemampuan untuk menelusuri jalur-jalur Hadis seperti yang kita lakukan
ini. Allahlah Dzat yang memberikan taufiq”.

Adapun amaliah yang biasa dilakukan kaum Muslimin dilaporkan Al Hafizh As Sayyid
Murtadha Az Zabidi Rahimahullah:

“Para Ulama Khalaf telah mewarisi dari Ulama Salaf tentang menghidupkan malam Nisfu
Sya’ban ini dengan mengerjakan Shalat6 raka’at selepas Shalat Magrib bersalam pada
setiap dua raka’at, pada setiap raka’at membaca surat Al fatihahdan surat Al Ikhlas
sebanyak 6 kali. Setelah selesai kemudian membaca Surat Yasin satu kali dan
memanjatkan do’a yang dikenal dengan Do’a Nisfu Sya’ban lalu berdo’a memohon umur
yang barakah. Setelah shalat dajn Yasin kedua memohon agar diberikan rizki yang
barakah. Dan pada setelah Shalat dan yasin ketiga memohon agar diberi Husnul
Khatimah” (Ittihaf As Sadat Al Muttaqin Syarah Ihya Ulumiddin Juz 3 halaman 708).

Selanjutnya Az Zabidi Rahimahullah menjelaskan bahwa para Ulama berbeda pendapat


tentang menghidupkan malam Nisfu Sya’ban secara berjama’ah. Di antara mereka yang
memandang Sunnah adalah Ulama dari kalangan tokoh Tabi’in (salaf) di antaranya
Khalid bin Ma’dan dan Utsman bin Amir yang kemudian disepakati oleh Imam Ishaq bin
Rahawaih. Sedangkan yang memandang Makruh di antaranya Al Imam Al Auza’i.

Dalam hal ini hak orang awwam adalah mengikuti salah satu pendapat Ulama. Adapun
mentarjih adalah hak Ulama. rang awwam haram hukumnya mentarjih. Tetaplah
bersaudara dalam perbedaan. Bila anda suka, kerjakan dengan ikhlas. Bila anda tidak
suka, tinggalkan dengan lapang dada. Wallahu A’lam

H. Syarif rahmat RA

Anda mungkin juga menyukai