Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH SPIRITUAL CARE

DI SUSUN OLEH :

KELOMPOK 1
1. FILZA FADHILA
2. KEZIA FISILIA
3. LUTFIA LATUWAEL
4. MEIDIANA
5. OKTOPIOLANDA
6. RISKIANTY OCTA
7. SAIPUL
8. SUPRIYADI
9. TIARA SONZA
10. VENTY FLORENTINA

DOSEN PENGAJAR : Ns. YULIA DEVI PUTRI, M.Kep

PRODI SARJANA KEPERAWATAN DAN PENDIDIKAN PROFESI NERS


STIKES MITRA BUNDA PERSADA BATAM
TAHUN AJARAN 2017/2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita ucapkan kepada Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan tugas makalah Spiritual Care ini. Kami mengucapkan terima kasih kepada teman-
teman yang membantu dalam menyelesaikan tugas ini.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yaitu Ibu Ns. Yulia
Devi Putri, M.Kep yang telah membantu kami, sehingga kami merasa lebih ringan dan lebih
mudah menulis makalah ini. Atas bimbingan yang telah berikan, kami juga mengucapkan terima
kasih kepada pihak-pihak yang juga membantu kami dalam penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari bahwa teknik penyusunan dan materi yang kami sajikan masih kurang
sempurna. Untuk itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang mendukung dengan tujuan untuk
menyempurnakan makalah ini. Dan kami berharap, semoga makalah ini dapat di manfaatkan
sebaik mungkin, baik itu bagi diri sendiri maupun yang membaca makalah ini.

Batam, 14 Februari 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Spiritualitas merupakan sesuatu yang di percayai oleh seseorang dalam hubungan nya
dengan kekuatan yang lebih tinggi (Tuhan), yang menimbulkan suatu kebutuhan serta
kecintaan terhadap ada nya tuhan, dan pemohon maaf atas segala kesalahan yang pernah
diperbuat (Aziz, 2009). Spiritualitas menjadi satu-satunya dukungan dan sumber kekuatan
individu dalam menghadapi penyakit (Hover, 2002 dalam Young & Koopsen, 2007). David,
Elizabeth, & Martha (2005) menyatakan bahwa spiritualitas mempengaruhi penyembuhan
pada pasien gagal jantung yang dirawat di ruang perawatan intensif. Koenig (2001)
menyatakan bahwa 90% pasien bertumpu pada spiritualitas yang dapat memberikan
kenyamanan dan kekuatan selama menjalani penyakit serius.

1.2 Rumusan Masalah


a. Bagaimana konsep spiritual dalam keperawatan?
b. Apa itu distress spiritual dalam keperawatan?
c. Bagaimana manajemen stress pada lansia?

1.3 Tujuan Makalah


a. Untuk mengetahui bagaimana konsep spiritual dalam keperawatan.
b. Untuk mengetahui apa itu distress spiritual dalam keperawatan.
c. Untuk mengetahui bagaimana manajemen stress pada lansia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Spiritual dalam Keperawatan


2.1.1 Konsep Spiritual
a. Definisi
Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan Yang Maha Kuasa dan
Maha Pencipta, sebagai contoh seseorang yang percaya kepada Allah sebagai
Pencipta atau sebagai Maha Kuasa. Spiritualitas mengandung pengertian hubungan
manusia dengan Tuhannya dengan menggunakan instrumen (medium) sholat, puasa,
zakat, haji, doa dan sebagainya (Hawari, 2002).
b. Aspek spiritualitas
Kebutuhan spiritual adalah harmonisasi dimensi kehidupan. Dimensi ini termasuk
menemukan arti, tujuan, menderita, dan kematian; kebutuhan akan harapan dan
keyakinan hidup, dan kebutuhan akan keyakinan pada diri sendiri, dan Tuhan. Ada 5
dasar kebutuhan spiritual manusia yaitu: arti dan tujuan hidup, perasaan misteri,
pengabdian, rasa percaya dan harapan di waktu kesusahan (Hawari, 2002).
Menurut Burkhardt (dalam Hamid, 2000) spiritualitas meliputi aspek sebagai
berikut:
1) Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam
kehidupan
2) Menemukan arti dan tujuan hidup
3) Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri
sendiri
4) Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan Yang Maha
Tinggi.
c. Dimensi spiritual
Dimensi spiritual berupaya untuk mempertahankan keharmonisan atau
keselarasan dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau mendapatkan kekuatan
ketika sedang menghadapi stress emosional, penyakit fisik, atau kematian. Dimensi
spiritual juga dapat menumbuhkan kekuatan yang timbul diluar kekuatan manusia
(Kozier, 2004).
Spiritualitas sebagai suatu yang multidimensi, yaitu dimensi eksistensial dan
dimensi agama, Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan dan arti kehidupan,
sedangkan dimensi agama lebih berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan
Yang Maha Penguasa. Spirituaiitas sebagai konsep dua dimensi. Dimensi vertikal
adalah hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntun kehidupan
seseorang, sedangkan dimensi horizontal adalah hubungan seseorang dengan diri
sendiri, dengan orang lain dan dengan lingkungan. Terdapat hubungan yang terus
menerus antara dua dimensi tersebut (Hawari, 2002).

2.1.2 Kebutuhan spiritual


Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau
mengembalikan keyakinan dan rnemenuhi kewajiban agama serta kebutuhan untuk
mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai, menjalin hubungan penuh rasa
percaya dengan Tuhan. Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan mencari arti dan tujuan
hidup, kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, serta kebutuhan untuk memberikan
dan mendapatkan maaf (Kozier, 2004).
Menginventarisasi 10 butir kebutuhan dasar spiritual manusia (Clinebell dalam
Hawari, 2002), yaitu :
a. Kebutuhan akan kepercayaan dasar (basic trust)
b. Kebutuhan akan makna dan tujuan hidup
c. Kebutuhan akan komitmen peribadatan dan hubungannya dengan keseharian
d. Kebutuhan akan pengisian keimanan dengan secara teratur mengadakan hubungan
dengan Tuhan
e. Kebutuhan akan bebas dari rasa bersalah dan dosa
f. Kebutuhan akan penerimaan diri dan harga diri
g. Kebutuhan akan rasa aman
h. Kebutuhan akan dicapainya derajat dan martabat yang makin tinggi sebagai
pribadi yang utuh
i. Kebutuhan akan terpeliharanya interaksi dengan alam dan sesama manusia
j. Kebutuhan akan kehidupan bermasyarakat yang penuh dengan nilai-nilai religius

2.1.3 Pola normal spiritual


Pola normal spiritual sangat erat hubungannya dengan kesehatan, Karena dari
pola tersebut dapat menciptakan suatu bentuk perilaku adaptif ataupun maladaptif
berhubungan dengan penerimaan kondisi diri. Dimensi spiritual merupakan dimensi
yang sangat penting diperhatikan oleh perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan kepada semua klien. Carson (2002) menyatakan bahwa keimanan atau
keyakinan religius adalah sangat penting dalam kehidupan personal individu. Lebih
lanjut dikatakannya bahwa keimanan diketahui sebagai suatu faktor yang sangat kuat
(powerful) dalam penyembuhan dan pemulihan fisik, yang tidak dapat diukur.
Mengingat pentingnya peranan spiritual dalam penyembuhan dan pemulihan
kesehatan maka penting bagi perawat untuk meningkatkan pemahaman tentang
konsep spiritual agar dapat memberikan asuhan spiritual dengan baik kepada semua
klien.

2.1.4 Perkembangan Aspek Spiritual


Perawat yang bekerja di garis terdepan harus mampu memenuhi semua
kebutuhan manusia termasuk juga kebutuhan spiritual klien. Berbagai cara dilakukan
perawat untuk memenuhi kebutuhan klien mulai dari pemenuhan makna dan tujuan
spiritual sampai dengan memfasilitasi klien untuk mengekspresikan agama dan
keyakinannya. Pemenuhan aspek spiritual pada klien tidak terlepas dari pandangan
terhadap lima dimensi manusia yang harus dintegrasikan dalam kehidupan. Lima
dimensi tersebut yaitu dimensi fisik, emosional, intelektual, sosial, dan spiritual.
Dimensi-dimensi tersebut berada dalam suatu sistem yang saling berinterksi,
interrelasi, dan interdepensi, sehingga adanya gangguan pada suatu dimensi dapat
mengganggu dimensi lainnya (Carson, 2002).
Perawat harus mengetahui tahap perkembangan spiritual dari manusia,
sehingga perawat dapat memberikan asuhan keperawatan dengan tepat dalam rangka
memenuhi kebutuhan spiritual klien. Tahap perkembangan klien dimulai dari lahir
sampai klien meninggal dunia. Perkembangan spiritual manusia dapat dilihat dari
tahap perkembangan mulai dari bayi, anak-anak, pra sekolah, usia sekolah, remaja,
desawa muda, dewasa pertengahan, dewasa akhir, dan lanjut usia. Secara umum tanpa
memandang aspek tumbuh-kembang manusia proses perkembangan aspek spiritual
dilhat dari kemampuan kognitifnya dimulai dari pengenalan, internalisasi, peniruan,
aplikasi dan dilanjutkan dengan instropeksi. Namun, berikut akan dibahas pula
perkembangan aspek spiritual berdasarkan tumbuh-kembang manusia (Carson, 2002).
Perkembangan spiritual pada anak sangatlah penting untuk diperhatikan.
Manusia sebagai klien dalam keperawatan anak adalah individu yang berusia antara
0-18 bulan, yang sedang dalam proses tumbuh kembang, yang mempunyai kebutuhan
yang spesifik (fisik, psikologis, sosial, dan spiritual) yang berbeda dengan orang
dewasa. Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan
lingkungan, artinya membutuhkan lingkungan yang dapat memfasilitasi dalam
memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk belajar mandiri (Larson, 2009).
Tahap awal perkembangan manusia dimulai dari masa perkembangan bayi.
Hamid (2000) menjelaskan bahwa perkembangan spiritual bayi merupakan dasar
untuk perkembangan spiritual selanjutnya. Bayi memang belum memiliki moral
untuk mengenal arti spiritual. Keluarga yang spiritualnya baik merupakan sumber
dari terbentuknya perkembangan spiritual yang baik pada bayi. Oleh karena itu,
perawat dapat menjalin kerjasama dengan orang tua bayi tersebut untuk membantu
pembentukan nilai-nilai spiritual pada bayi.
Dimensi spiritual mulai menunjukkan perkembangan pada masa kanak-kanak
awal (18 bulan-3 tahun). Anak sudah mengalami peningkatan kemampuan kognitif.
Anak dapat belajar membandingkan hal yang baik dan buruk untuk melanjuti peran
kemandirian yang lebih besar. Tahap perkembangan ini memperlihatkan bahwa anak-
anak mulai berlatih untuk berpendapat dan menghormati acara-acara ritual dimana
mereka merasa tinggal dengan aman. Observasi kehidupan spiritual anak dapat
dimulai dari kebiasaan yang sederhana seperti cara berdoa sebelum tidur dan berdoa
sebelum makan, atau cara anak memberi salam dalam kehidupan sehari-hari. Anak
akan lebih merasa senang jika menerima pengalaman-pengalaman baru, termasuk
pengalaman spiritual (Hamid, 2000).
Perkembangan spiritual pada anak masa pra sekolah (3-6 tahun) berhubungan
erat dengan kondisi psikologis dominannya yaitu super ego. Anak usia pra sekolah
mulai memahami kebutuhan sosial, norma, dan harapan, serta berusaha menyesuaikan
dengan norma keluarga. Anak tidak hanya membandingkan sesuatu benar atau salah,
tetapi membandingkan norma yang dimiliki keluarganya dengan norma keluarga lain.
Kebutuhan anak pada masa pra sekolah adalah mengetahui filosofi yang mendasar
tentang isu-isu spiritual. Kebutuhan spiritual ini harus diperhatikan karena anak sudah
mulai berfikiran konkrit. Mereka kadang sulit menerima penjelasan mengenai Tuhan
yang abstrak, bahkan mereka masih kesulitan membedakan Tuhan dan orang tuanya
(Hamid, 2000).
Usia sekolah merupakan masa yang paling banyak mengalami peningkatan
kualitas kognitif pada anak. Anak usia sekolah (6-12 tahun) berfikir secara konkrit,
tetapi mereka sudah dapat menggunakan konsep abstrak untuk memahami gambaran
dan makna spriritual dan agama mereka. Minat anak sudah mulai ditunjukan dalam
sebuah ide, dan anak dapat diajak berdiskusi dan menjelaskan apakah keyakinan.
Orang tua dapat mengevaluasi pemikiran sang anak terhadap dimensi spiritual mereka
(Hamid, 2000).
Remaja (12-18 tahun). Pada tahap ini individu sudah mengerti akan arti dan
tujuan hidup, Menggunakan pengetahuan misalnya untuk mengambil keputusan saat
ini dan yang akan datang. Kepercayaan berkembang dengan mencoba dalam hidup.
Remaja menguji nilai dan kepercayaan orang tua mereka dan dapat menolak atau
menerimanya. Secara alami, mereka dapat bingung ketika menemukan perilaku dan
role model yang tidak konsisten. Pada tahap ini kepercayaan pada kelompok paling
tinggi perannya daripada keluarga. Tetapi keyakinan yang diambil dari orang lain
biasanya lebih mirip dengan keluarga, walaupun mereka protes dan memberontak
saat remaja. Bagi orang tua ini merupakan tahap paling sulit karena orang tua melepas
otoritasnya dan membimbing anak untuk bertanggung jawab. Seringkali muncul
konflik orang tua dan remaja (Hamid, 2000).
Dewasa muda (18-25 tahun). Pada tahap ini individu menjalani proses
perkembangannya dengan melanjutkan pencarian identitas spiritual, memikirkan
untuk memilih nilai dan kepercayaan mereka yang dipelajari saaat kanak-kanak dan
berusaha melaksanakan sistem kepercayaan mereka sendiri. Spiritual bukan
merupakan perhatian utama pada usia ini, mereka lebih banyak memudahkan hidup
walaupun mereka tidak memungkiri bahwa mereka sudah dewasa (Hamid, 2000).
Dewasa pertengahan (25-38 tahun). Dewasa pertenghan merupakan tahap
perkembangan spiritual yang sudah benar-benar mengetahui konsep yang benar dan
yang salah, mereka menggunakan keyakinan moral, agama dan etik sebagai dasar dari
sistem nilai. Mereka sudah merencanakan kehidupan, mengevaluasi apa yang sudah
dikerjakan terhadap kepercayaan dan nilai spiritual (Hamid, 2000).
Dewasa akhir (38-65 tahun). Periode perkembangan spiritual pada tahap ini
digunakan untuk instropeksi dan mengkaji kembali dimensi spiritual, kemampuan
intraspeksi ini sama baik dengan dimensi yang lain dari diri individu tersebut.
Biasanya kebanyakan pada tahap ini kebutuhan ritual spiritual meningkat (Hamid,
2000).
Lanjut usia (65 tahun sampai kematian). Pada tahap perkembangan ini, pada
masa ini walaupun membayangkan kematian mereka banyak menggeluti spiritual
sebagai isu yang menarik, karena mereka melihat agama sebagai faktor yang
mempengaruhi kebahagian dan rasa berguna bagi orang lain. Riset membuktikan
orang yang agamanya baik, mempunyai kemungkinan melanjutkan kehidupan lebih
baik. Bagi lansia yang agamanya tidak baik menunjukkan tujuan hidup yang kurang,
rasa tidak berharga, tidak dicintai, ketidakbebasan dan rasa takut mati. Sedangkan
pada lansia yang spiritualnya baik ia tidak takut mati dan dapat lebih mampu untuk
menerima kehidupan. Jika merasa cemas terhadap kematian disebabkan cemas pada
proses bukan pada kematian itu sendiri (Hamid, 2000).
Dimensi spiritual menjadi bagian yang komprehensif dalam kehidupan
manusia. Karena setiap individu pasti memiliki aspek spiritual, walaupun dengan
tingkat pengalaman dan pengamalan yang berbeda-beda berdasarkan nilai dan
keyaninan mereka yang mereka percaya. Setiap fase dari tahap perkembangan
individu menunjukkan perbedaan tingkat atau pengalaman spiritual yang berbeda
(Hamid, 2000).
2.2 Distress Spiritual Dalam Keperawatan
2.2.1 Definisi Distress Spiritual
Kata distres dalam Kamus Inggris-Indonesia oleh Echols dan Shadily (1997):
keadaan yang sukar, menyusahkan, menyedihkan, atau menderita.
Distres spiritual adalah kerusakan kemampuan dalam mengalami dan
mengintegrasikan arti dan tujuan hidup seseorang dengan diri, orang lain, seni, musik,
literature, alam dan kekuatan yang lebih besr dari dirinya (Nanda, 2005).
Definisi lain mengatakan bahwa distres spiritual adalah gangguan dalam prinsip
hidup yang meliputi seluruh kehidupan seseorang dan diintegrasikan biologis dan
psikososial (Varcarolis, 2000).
Dengan kata lain kita dapat katakan bahwa distres spiritual adalah kegagalan
individu dalam menemukan arti kehidupannya.
Kozier et al (2004): distres spiritual (spiritual distress) merupakan suatu tantangan
terhadap kesehatan/kesejahteraan spiritual atau terhadap sistem keyakinan yang
memberikan kekuatan, harapan dan makna hidup.

2.2.2 Faktor yang Mempengaruhi Distress Spiritual


Kozier (2004): faktor yang berkontribusi terhadap distress spiritual: masalah-
masalah fisiologis, konsen terkait dengan terapi/pengobatan, atau faktor situasional.
a. Faktor fisiologis meliputi diagnosis penyakit terminal, penyakit yang
menimbulkan kecacatan/kelemahan, nyeri, kehilangan bagian tubuh atau fungsi
tubuh, atau kematian bayi saat lahir.
b. Faktor yang berkaitan dengan terapi/pengobatan meliputi: anjuran transfusi darah,
aborsi, pembedahan, pembatasan diet, amputasi bagian tubuh, atau isolasi.
c. Faktor situasional meliputi kematian atau penyakit pada orang tercinta/terdekat,
ketiakmampuan seseorang dalam mempraktikan ritual spiritual, atau perasaan-
perasaan yang memalukan ketika mempraktikannya.
2.2.3 Karakteristik Distress Spiritual
Karakteristik distres spiritual (North American Nursing Diagnosis Association/
NANDA):
 Mengekspresikan kurang/rendahnya harapan dan tujuan dalam hidup,
pengampunan diri;
 Mengekspresikan dibuang/dijauhi oleh tuhan atau marah pada tuhan;
 Menolak berinteraksi dengan teman, termasuk keluarga;
 Perubahan yang mendadak dalam praktik-paktik spiritual;
 Meminta untuk melihat pemimpin keagamaan;
 Dan tidak minat terhadap alam dan tidak minat membaca literatur spiritual.

2.3 Manajemen Stress pada Lansia


2.3.1 Pengertian Stres
Beberapa ahli memberikan arti stres sebagai respon fisiologik, psikologik, dan
perilaku seorang individu dalam menghadapi penyesuaian terhadap tekanan yang
bersifat internal ataupun eksternal. Stres dapat diartikan sebagai suatu ancaman,
tantangan, kehidupan sehari-hari yang selalu berubah, memerlukan penyesuaian
psikologis, perilaku, dan fisiologis yang konstans (Corwin, 2009). Sedangkan
menurut Hans Selye, seorang fisiologi dan tokoh di bidang stres yang terkemuka dari
Universitas Montreal, merumuskan bahwa stres adalah tanggapan tubuh yang bersifat
non-spesifik terhadap setiap tuntutan terhadapnya. Tubuh akan berusaha
menyelaraskan rangsangan atau manusia akan cukup cepat untuk pulih kembali dari
pengaruh-pengaruh pengalaman stres (Yosep & Sutini, 2009). Stres secara umum
adalah perasaan tertekan, cemas dan tegang. Dalam bahasa sehari-hari stres dikenal
sebagai stimulus atau respon yang menuntut individu untuk melakukan penyesuaian
(Nasution, 2011).
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa stres adalah
perasaan tertekan, cemas dan tegang sebagai tanggapan tubuh yang bersifat non-
spesifik terhadap setiap tuntutan/tekanan baik yang bersifat internal maupun eksternal
dan menghasilkan respon fisiologik, psikologik, serta perilaku individu sebagai
penyesuaian terhadap tekanan tersebut.
2.3.2 Penyebab Stres
Seseorang menjadi stres karena adanya stressor. Stressor adalah suatu peristiwa,
situasi individu, atau objek yang dapat menimbulkan stres dan reaksi terhadap stres
(Cahyono, 2008). Macam-macam stressor menurut Indriana (2010)antara lain:
a) Stressor biologis seperti panas, dingin, nyeri, masuknya organism, trauma fisik,
kesulitan eliminasi, kekurangan makan, dan lain-lain.
b) Stressor psikologis seperti kritik yang tidak dapat dibenarkan, kehilangan,
ketakutan, krisis situasi, dan lain sebagainya.
c) Stressor sosial meliputi isolasi atau diasingkan, status sosial dan ekonomi,
perubahan tempat tinggal atau tempat kerja, bertambahnya anggota keluarga, dan
lain sebagainya.

2.3.3 Tanda dan Gejala Stres


Hardjana (1994, dalam Puspasari, 2009) menyatakan bahwa stres juga
berdampak pada kondisi emosional. Seseorang yang sedang stres akan mudah merasa
gelisah atau cemas, sedih, depresi, menangis, mood atau suasana hati yang sering
berubah-ubah, mudah panas atau cepat marah, rasa harga diri menurun atau merasa
tidak aman, terlalu peka dan mudah tersinggung, gampang menyerah pada orang dan
mempunyai sikap bermusuhan. Wajah seseorang yang mengalami stress nampak
tegang, dahi berkerut, mimik wajah tampak serius, tidak santai, bicara berat, dan
sukar untuk senyum/tertawa.

2.3.4 Faktor yang Mempengaruhi Stres


Stres dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal dan eksternal
(Hardjana, 1994, Suparto, 2000 dalam Puspasari, 2009).
a. Faktor internal
Faktor internal berarti stres yang bersumber dari diri seseorang. Beberapa
faktor tersebut meliputi:
 Penyakit (illness) dan kesehatan
 Pertentangan (konflik)
 Kepribadian
 Falsafah hidup
 Persepsi (penangkapan)
 Posisi sosial
 Pengalaman
 Usia
 Jenis kelamin
b. Faktor eksternal
 Keluarga
 Lingkungan

2.3.5 Stres Yang Terjadi Pada Lanjut Usia


Pada waktu seseorang memasuki masa usia lanjut, terjadi berbagai perubahan
baik yang bersifat fisik, mental, maupun sosial. Jadi, memasuki usia lanjut tidak lain
adalah upaya penyesuaian terhadap perubahan-perubahan tersebut. Sebagai proses
alamiah, perkembangan manusia sejak periode awal hingga masa usia lanjut
merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindari. Perubahan-perubahan menyertai
proses perkembangan termasuk ketika memasuki masa usia lanjut. Ketidaksiapan dan
upaya melawan perubahan-perubahan yang dialami pada masa usia lanjut justru akan
menempatkan individu usia ini pada posisi serba kalah yang akhirnya hanya menjadi
sumber akumulasi stres dan frustasi belaka (Indriana, 2008).
Stres yang dihadapi oleh lansia berasal dari berbagai situasi yang berbeda dari
yang dihadapi oleh orang dewasa. Berbagai situasi yang dapat menyebabkan stres
pada lansia, yaitu lansia harus merawat pasangan yang sakit, kehilangan pasangan,
kematian kerabat dan teman-teman dekat lainnya, penurunan kekuatan fisik dan
kesadaran bahwa lansia sudah tidak sehat dan sekuat sebelumnya, kekhawatiran
mengenai keuangan setelah pensiun, serta kesepian. Stres lebih lanjut ditambah oleh
fakta bahwa kemampuan lansia untuk menghadapi situasi stres melemah dari waktu
ke waktu. Terlepas dari semua masalah yang dihadapi lansia, beberapa sistem tubuh
lansia yang bereaksi dan membantu dalam manajemen stres tidak lagi efisien (Lau,
2004 dalam Devi, 2012).
2.3.6 Penanganan Stres
Strategi menghadapi stres yaitu dengan mempersiapkan diri dalam menghadapi
stressor melalui perbaikan diri secara psikis/mental, fisik dan sosial. Selain itu,
menurut Ray (2004 dalam Perese, 2012) untuk menghadapi stressor diperlukan
strategi koping, yaitu cara yang digunakan orang untuk memodifikasi situasi mereka
dan mengurangi stres dan perasaan tertekan.
Penanganan dan pengelolaan stres merupakan suatu usaha untuk mengurangi atau
meniadakan dampak negatif stressor (Isnaeni, 2010). Mengelola stres dapat dilakukan
melalui beberapa pendekatan yaitu dengan terapi farmakologis, dan nonfarmakologis
seperti relaksasi, pendekatan perilaku dan kognitif (Yulianti, 2004 dalam Isnaeni,
2010).
1) Pendekatan farmakologi yaitu menggunakan obat-obatan anti cemas (axiolytic)
dan anti depresi (anti depressant).
2) Relaksasi yaitu upaya untuk melepas ketegangan yaitu relaksasi otot, relaksasi
kesadaran indera dan relaksasi melalui yoga, serta meditasi.
3) Pendekatan perilaku yaitu mengubah perilaku yang menimbulkan stres,
adaptabilitas terhadap stres, menyeimbangkan antara aktivitas fisik dan nutrisi,
serta manajemen perencanaan, organisasi dan waktu.
4) Pendekatan kognitif; mengubah pola pikir individu, berpikir positif dan sikap
yang positif, membekali diri dengan pengetahuan tentang stres, menyeimbangkan
antara aktivitas otak kiri dan kanan, serta hipnoterapi. Terapi dengan pendekatan
kognitif-perilaku lainnya yaitu terapi reminiscence.

2.3.7 Instrumen Pengukuran Stres


Instrumen untuk mengukur tingkat stres dalam penelitian ini adalah Stress
Assessment Questionnaire (SAQ) yang mengukur empat domain stres utama yaitu
sumber, gejala, penanganan, dan stabilitas, dengan 16 aspek atau elemen yang
mendefinisikan keempat domain tersebut. Instrumen ini dirancang untuk memberikan
bimbingan konseling dan pengembangan diri tentang stres. Instrumen ini berupa
pengkajian yang terdiri dari 16 aspek, yaitu aspek kerja, hubungan, pola asuh,
kejadian, emosional, perilaku, fisik, dukungan, sosial, pengaturan diri sendiri,
pemecahan masalah, selingan, kesehatan, penundaan, perfeksionis, harga diri, depresi,
dan kecemasan. Pengkajian pada instrumen juga terdapat tanda dan gejala yang
biasanya terjadi pada seseorang yang mengalami stres sehingga instrumen ini cukup
lengkap dan mendetail (Smith, 2003 dalam Putri, 2012).

2.3.8 Terapi Reminiscence


a. Pengertian Terapi Reminiscence
Terapi Reminiscence ditemukan oleh Erik Erikson (1963), yang menekankan
pentingnya bagi individu yang sudah memasuki usia tua untuk mencapai rasa
intergritas diri dengan melihat kembali kehidupan mereka dan mengumpulkan
perasaan, tujuan serta makna hidup. Nursing Interventions Classification (NIC)
mendefinisikan terapi Reminiscence sebagai intervensi yang dilakukan dengan
mengingat peristiwa masa lalu, perasaan, dan pikiran untuk memfasilitasi kesenangan,
kualitas hidup, dan beradaptasi dengan kondisi saat ini. Fontaine dan Fletcher (2003,
dalam Banon, 2011) menambahkan terapi ini dapat menjadi intervensi keperawatan
untuk mengatasi masalah psikososial. Terapi Reminiscence diterapkan pada lansia
melalui proses motivasi dan diskusi tentang pengalaman masa lalu yang dialami dan
upaya penyelesaian masalah yang dilakukan pada saat itu (Glod, 1998; Meiner dan
Lueckenotte, 2006 dalam Baon, 2011).
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa terapi
Reminiscence merupakan suatu terapi yang dapat diberikan pada lansia sebagai upaya
untuk mengatasi masalah psikososial dengan cara memotivasi dan memberikan
perhatian terhadap kenangan atau pengalaman masa lalu dan upaya penyelesaian
masalah yang dilakukan pada saat itu serta dapat disharingkan kepada keluarga,
kelompok, ataupun staf keperawatan.

b. Manfaat Terapi Reminiscence


National Guideline Clearinghouse (2008, dalam Stinson, 2009) menyatakan
terapi Reminiscence dapat memfasilitasi penyesuaian lansia terhadap proses penuaan
dengan membantu lansia memikirkan kembali dan memperjelas pengalaman-
pengalaman sebelumnya, dan studi penelitian telah menunjukkan adanya peningkatan
kesejahteraan psikologis setelah mendapat intervensi Reminiscence. Menurut Banon
(2011), melalui proses mengenang, lansia dapat mempromosikan diri, melestarikan
kenangan pribadi maupun kenangan bersama, mengatasi kekurangan materi dan
keterbatasan fisik, mengidentifikasi tema universal tentang kehidupan manusia, dan
memperkuat mekanisme pertahanan diri. Fontaine dan Fletcher (2003, dalam
Syarniah, 2010) menambahkan bahwa terapi Reminiscence bertujuan untuk
meningkatkan harga diri dan membantu individu mencapai kesadaran diri dan
memahami diri, beradaptasi terhadap stres dan melihat bagian dirinya dalam konteks
sejarah dan budaya. Menurut Bohlmeijer (2007 dalam Utami, 2013), terapi
Reminiscence dapat menjadi treatment psikologis yang menarik bagi para lansia
karena membuat mereka mempunyai ikatan masa lalu baik yang bersifat umum
maupun yang khusus. Reminiscence juga dapat berfokus pada mengevaluasi kembali,
memecahkan konflik pada masa lalu, menemukan arti kehidupan dan memperkirakan
koping adaptif yang bisa dilakukan sebelumnya.
Terapi Reminiscence tidak hanya bertujuan untuk memberikan pengalaman
yang menyenangkan untuk meningkatkan kualitas hidup, tetapi juga dapat
meningkatkan sosialisasi dan hubungan dengan orang lain, memberikan
stimulasi.kognitif, meningkatkan komunikasi dan dapat menjadi suatu terapi yang
efektif untuk gejala depresi (Bohlmeijer, 2003; Haight & Burnside, 1993; Ebersole,
2005 dalam Syarniah, 2010).

c. Tipe Terapi Terapi Reminiscence


Menurut Kennard (2006, dalam Syarniah, 2010), terapi Reminiscence dapat
dikategorikan menjadi tiga tipe, yaitu:
1) Simple atau Positive Reminiscence
Tipe ini merefleksikan informasi dari pengalaman dan perasaan yang
menyenangkan di masa lalu. Cara menggali pengalaman tersebut dengan
menggunakan pertanyaan langsung yang tampak seperti interaksi sosial antara
klien dan terapis yang bertujuan untuk meningkatkan adaptasi dan memelihara
harga diri.
2) Evaluative Reminiscence
Tipe ini biasanya digunakan sebagai pendekatan dalam menyelesaikan
masalah, seperti pada terapi life review.
3) Offensive Defensive Reminiscence
Tipe ini dapat menggali informasi yang tidak menyenangkan dan dapat
menyebabkan atau menghasilkan perilaku dan emosi, serta menimbulkan resolusi
terhadap informasi yang penuh konflik dan tidak menyenangkan.

d. Media dalam Terapi Reminiscence


Media yang digunakan dalam terapi Reminiscence yaitu benda-benda yang
berhubungan dengan kenangan/ masa lalu lansia. Menurut Collins (2006), media yang
dapat digunakan yaitu Reminiscence kit yang berisi barang-barang di masa lalu
seperti majalah, peralatan memasak, dan peralatan kebersihan, selain itu dapat juga
menggunakan foto-foto pribadi, alat untuk memutar musik atau video, video dan
kaset, buku, pulpen, stimulus bau seperti kopi, stimulus rasa, dan bahan-bahan lain
untuk menstimulasi sentuhan.

e. Pelaksanaan Terapi Reminiscence


Penelitian yang dilakukan Poorneselvan & Steefel (2014) terkait efek
Individual Reminiscence terhadap harga diri dan depresi pada lansia di India, terapi
Reminiscence dapat dilakukan secara individu yang dibagi menjadi 8 sesi dan
dilaksanakan selama 8 hari meliputi, 1 hari untuk pre-assessment, 6 hari untuk terapi
Reminiscence, dan hari terakhir dilakukan post-assessment. Terapi Reminiscence
dilakukan sekitar 45-90 menit pada setiap sesinya, baik tanpa pedoman maupun yang
sudah terstruktur. Tiap sesi terapeutik dimulai dengan fase pengantar selama 5-10
menit yang meliputi memberikan salam, membiarkan klien memilih tempat yang
nyaman untuk pelaksanaan terapi, menanyakan keadaan umum klien, memberikan
deskripsi singkat terkait sesi sebelumnya, dan memperkenalkan tema baru. Pada fase
kerja setiap sesi, klien akan mengingat dan mengumpulkan kembali memori-memori
yang berhubungan dengan tema setiap sesinya kira-kira selama 10 menit. Selama
mengumpulkan dan sharing memori menggunakan teknik komunikasi terapeutik.
Berbagai stimulus dapat digunakan untuk mengembalikan memori yang sesuai
dengan tema dari tiap sesi. Di akhir fase (kira-kira selama 5 menit) meliputi
menjawab pertanyaan jika klien bertanya, mengemukakan kembali tema utama dan
memori dari sesi tersebut, sharing pengalaman antara klien dan fasilitator, rencana
untuk sesi selanjutnya (Poorneselvan & Steefel, 2014).

f. Hubungan Terapi Reminiscence dengan Stres Pada Lansia


Semua individu menghadapi stres setiap hari, dan sebagian besar menghadapi
stres yang signifikan selama masa hidup mereka (Perese, 2012). Stres yang dihadapi
oleh lansia dapat berasal dari berbagai situasi. Ketidaksiapan dalam beradaptasi
terhadap perubahan-perubahan dalam proses penuaan dapat menjadi sumber
akumulasi dari stres (Indriana, 2008). Stres lebih lanjut ditambah oleh fakta bahwa
kemampuan lansia untuk menghadapi situasi stres melemah dari waktu ke waktu.
Terlepas dari semua masalah yang dihadapi lansia, beberapa sistem tubuh lansia yang
bereaksi dan membantu dalam manajemen stres tidak lagi efisien (Lau, 2004 dalam
Devi, 2012).
Terapi Reminiscence dapat menjadi suatu mekanisme untuk mengatasi
perubahan. Dalam terapi ini individu berbagi kenangan dengan orang lain, dimana hal
ini dapat membantu individu dalam mencapai integritas diri dan harga diri. Melalui
proses ini lansia dapat mempromosikan diri, melestarikan kenangan pribadi maupun
kenangan bersama, mengatasi kekurangan materi dan keterbatasan fisik,
mengidentifikasi tema universal tentang kehidupan manusia, dan memperkuat
mekanisme pertahanan diri. Terapi Reminiscence yang diberikan pada lansia dapat
meningkatkan harga diri dan kepuasan hidup lansia, meningkatkan kemampuan
beradaptasi terhadap stres melalui kemampuan penyelesaian masalah dan
meningkatkan hubungan sosial berdasarkan keunikan dan prestasi yang dimiliki
lansia (Banon, 2011). Selain itu, menurut Muhlbauer, Chrisler, Denmark (2014),
terapi Reminiscence yang terstruktur merupakan intervensi kognitif-perilaku yang
efektif untuk mengurangi depresi pada orang lansia. Depresi sendiri dapat terjadi
salah satunya akibat paparan stres secara jangka panjang (Astri, 2012).
Penelitian eksperimental yang dilakukan Fallot (1980 dalam Banon, 2011)
mengenai terapi Reminiscence sebagai metode terapeutik pada 30 wanita dari
berbagai usia. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan mood yang positif
setelah mendapat terapi Reminiscence. Cappliez, dkk (2007 dalam Banon, 2011)
dalam penelitiannya tentang fungsi reminscence dan regulasi emosi pada lansia
meliputi pemecahan masalah, persiapan kematian, pengalaman kehidupan, kegagalan
masa lalu, kebosanan dan memelihara keakraban. Hasil penelitian menunjukkan
adanya perubahan emosi positif pada lansia yang berpengaruh secara signifikan
terhadap kecemasan, depresi dan kualitas hidup. Penelitian tersebut menunjukan
bahwa melalui terapi Reminiscence, lansia dapat lebih mengekspresikan dirinya
sendiri, lebih banyak berinterkasi dengan orang lain, meningkatkan harga diri, dan
meningkatkan mood positif untuk mengatasi kondisi stres.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan Yang Maha Kuasa dan Maha
Pencipta, sebagai contoh seseorang yang percaya kepada Allah sebagai Pencipta atau sebagai
Maha Kuasa.
Distres spiritual (spiritual distress) merupakan suatu tantangan terhadap kesehatan/
kesejahteraan spiritual atau terhadap sistem keyakinan yang memberikan kekuatan, harapan
dan makna hidup.
Strategi menghadapi stres yaitu dengan mempersiapkan diri dalam menghadapi stressor
melalui perbaikan diri secara psikis/mental, fisik dan sosial. Selain itu, untuk menghadapi
stressor diperlukan strategi koping, yaitu cara yang digunakan orang untuk memodifikasi
situasi mereka dan mengurangi stres dan perasaan tertekan. Penanganan dan pengelolaan
stres merupakan suatu usaha untuk mengurangi atau meniadakan dampak negatif stressor.
Mengelola stres dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan yaitu dengan terapi
farmakologis, dan nonfarmakologis seperti relaksasi, pendekatan perilaku dan kognitif.

3.2 Saran
Spiritualitas care dapat menjadi dorongan yang kuat bagi klien kearah penyembuhan atau
pada perkembangan kebutuhan dan perhatian spiritualitas. Untuk itu seorang perawat tidak
boleh mangesampingkan masalah spiritualitas klien.
DAFTAR PUSTAKA

1. Widyastuti, Palupi. 2003. Nacional Safety Council, Manajemen stress. Jakarta: EGC.
2. Nurarif, A.H. dan Kusuma. H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: MediAction.
3. Jurnal Keperawatan: Penurunan Stres Fisik dan Psikososial melalui Meditasi pada Lansia
dengan Hipertensi Primer, 2011.

Anda mungkin juga menyukai