Anda di halaman 1dari 12

TATALAKSANA DAN DIAGNOSIS ANEMIA PADA

PENYAKIT GINJAL KRONIK

ANATOMI GINJAL

Ginjal

Nefron

1
FISIOLOGI

Organ yang paling paling penting untuk menjamin komposisi yang tepat dari darah
dan cairan ekstraseluler adalah ginjal. Kedua ginjal dengan jumlah glomerulus dan tubuli 2,4
x 106 mempunyai cadangan fungsi yang cukup besar. Jika oleh karena suatu sebab salah satu
ginjal diangkat oleh ahli bedah,ginjal lainnya akan mengambil alih tugas dari ginjal yang
diangkat, sehingga ia akan bekerja untuk memenuhi fungsi kedua ginjal. Fungsi ginjal yang
tinggal akan segera membaik sehingga seolah-olah penderita masih tetap mempunyai 2 buah
ginjal. Ahli patologi menyatakan bahwa berat ginjal yang tinggal akan bertambah yang pada
keadaan normal 150gr menjadi paling sedikit 200-250gr dalam waktu beberapa bulan. Proses
otomatis ini disebut hipertropi kompensasi.1

Ginjal, organ yang, bersama dengan masukan hormonal dan saraf yang mengatur
fungsinya, terutama berperan dalam mempertahankan stabilitas volume dan komposisi
elektrolit CES.

Setiap ginjal terdiri dari sekitar satu juta satuan fungsional berukuran mikroskopik
yang dikenal sebagai nefron, yang di satukan satu sama lain oleh jaringan ikat. Susunan
nefron di dalam ginjal membentuk dua daerah khusus-daerah sebelah luar yang tampak
granuler,korteks ginjal, dan daerah bagian dalam yang berupa segitiga-segitiga bergaris-
garis, piramida ginjal, yang secara kolektif disebut sebagai medula ginjal.

Setiap nefron terdiri dari komponen vaskular dan komponen tubulus, yang keduanya
secara structural dan fungsional berkaitan erat. Bagian dominan pada komponen vaskular
adalah glomerulus, suatu berkas (tuft) kapiler berbentuk bola tempat filtrasi sebagian air dan
zar terlarut dari darah yang melewatinya. Cairan yang sudah terfiltrasi ini, yang komposisinya
nyaris identik dengan plasma, kemudian mengalir ke komponen tubulus nefron, tempat cairan
tersebut di modifikasi oleh berbagai sistem transportasi yang mengubahnya menjadi urin.

Berikut ini adalah fungsi spesifik yang dilakukan oleh ginjal, yang sebagian besar ditujukan untuk
mempertahankan kestabilan lingkungan cairan internal :

1. Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh.

2. Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion CES

3. Memelihara volume plasma yang sesuai

4. Membantu memelihara keseimbangan asam basa tubuh

5. Memelihara osmolaritas (konsentrasi zat terlarut)

6. Mengekskresikan (eliminasi) produk-produk sisa (buangan) dari metabolism tubuh

7. Mengekskresikan banyak senyawa asing

8. Mensekresikan eritropoetin, suatu hormone yang dapat merangsang pembentukan sel


darah merah

2
9. Mensekresikan rennin, suatu hormone enzimatik yang memicu reaksi berantai yang
penting dalam proses konservasi garam oleh ginjal

10. Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya.2

PENYAKIT GINJAL KRONIK 3

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang
beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya
berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang
ditandai dengan penurunan fungi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan
terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialysis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah
suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi
ginjal pada penyakit ginjal kronik.

Table 1. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik


1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan
structural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus
(LFG), dengan manifestasi:
- Kelainan patologis
- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin,
atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging test)
2. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3bulan,
dengan atau tanpa kerusakan ginjal
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau lebih
dari 60 ml/menit/1,73m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.

KLASIFIKASI 3

Klasifikasi ginjal kronik didasarkan atas dua hal,yaitu, atas dasar derajat (stage)
penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi.

Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan
mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut :

LFG (ml/mnt/1,73m2) = (140 – umur) X berat badan *)

72 X kreatinin plasma (mg/dl)

*) pada wanita dikalikan 0,85

Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit

Derajat Penjelasan LFG (ml/mnt/1,73m2)


3
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau ↑ ≥90

2 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ ringan 60-89

3 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ sedang 30-59

4 Kerusakan ginjal dengan LFG ↓ berat 15-29

5 Gagal Ginjal <15

Klasifikasi Penyakit Gagal Ginjal Kronik Atas Dasar Diagnosis Etiologi

Penyakit Tipe Mayor ( contoh )

Penyakit ginjal Diabetes tipe 1 dan 2


diabetes

Penyakit ginjal non Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi sistemik,obat,


diabetik neoplasia)

Penyakit vaskular (penyakit pembuluh darah besar, hipertensi,


mikroangiopati)

Penyakit tubulointerstisial (pielonefritis kronik,batu,obstruksi,


keracunan obat)

Penyakit kistik (ginjal polikistik)

Penyakit pada Rejeksi kronik


transplantasi
Keracunan obat (siklosporin/takrolimus)

Penyakit recurrent (glomerular)

Transplant glomerulopathy

EPIDEMIOLOGI

Diperkirakan paling sedikit 6% dari populasi dewasa U.S. mempunyai kerusakan


ginjal kronis dengan LFG >60 (stage 1 dan 2), dan diambang resiko penurunan progresif
4
yang lebih jauh pada LFG. Tambahan mendekati 4,5% dari populasi U.S. ada di stage 3 dan
4. Diabetes dan hipertensi adalah etiologi dasar dari CRD dan ESRD.4

PATOFISIOLOGI

Sejumlah penyakit ginjal akhirnya dapat menyebabkan kerusakan jaringan ginjal. Jika
jaringan ginjal yang tersisa tidak dapat memenuhi fungsinya, akan muncul gambaran
kegagalan ginjal.

Penurunan ekskresi ginjal terutama sangat bermakna. Penurunan GFR secara


berbanding terbalik meningkatkan kadar kreatinin di plasma. Konsentrasi plasma terhadap
zat yang direabsorbsi juga meningkat, tetapi tidak terlalu tinggi karena reabsorpsi di tubulus
ginjal juga terganggu pada gagal ginjal. Pada gagal ginjal, reabsorpsi Na+ dan air dihambat
oleh berbagai faktor, seperti hormone natriuretik, PTH, dan vanadat. Penurunan reabsorpsi
Na+ di tubulus proksimal juga secara langsung atau tidak langsung menurunkan reabsorpsi zat
lainnya, seperti fosfat, asam urat, HCO3- , Ca 2+, urea, glukosa, dan asam amino. Reabsorpsi
fosfat juga dihambat oleh PTH.

Penurunan reabsorpsi NaCl di bagian asendens ansa Henle mengganggu mekanisme


pemekatan urin. Suplai volume dan NaCl yang besar dari nefron bagian proksimal
meningkatkan reabsorpsi Na+ dibagian distal serta membantu sekresi K+ dan H+ di nefron
distal dan duktus koligentes. Akibatnya, konsentrasi elektrolit di plasma dapat tetap normal,
meskipun GFR sangat menurun (insufisiensi ginjal terkompensasi). Gangguan baru terjadi
jika penurunan GFR lebih rendah daripada seperempat nilai normal. Namun, kompensasi ini
terjadi dengan mengorbankan rentang pengaturan, yang artinya ginjal yang rusak tidak
mampu meningkatkan ekskresi air, Na+, K+, H+, fosfat, dll.(missal, jika asupannya meningkat)
secara adekuat.

Diduga bahwa gangguan pada ekskresi air dan elektrolit,berperan paling tidak
sebagian, terhadap munculnya sebagian besar gejala gagal ginjal kronis. Volume yang
berlebihan dan perubahan konsentrasi elektrolit menimbulkan edema, hipertensi,
osteomalasia, asidosis, pruritus, dan arthritis, baik secara langsung maupun melalui
pengaktifan hormone. Hal diatas juga bisa menimbulkan gangguan pada sel eksitatorik
(polineuropati, kehilangan kesadaran, koma, kejang, edema serebri), fungsi pencernaan
(mual, tukak lambung, diare), dan sel darah (hemolisis, gangguan fungsi leukosit, gangguan
pembekuan darah).

Pada konsentrasi yang tinggi, asam urat dapat mengendap, terutama disendi, sehingga
menyebabkan gout. Namun konsentrasi asam urat yang sangat tinggi jarang terjadi pada pada
gagal ginjal. Peranan berkurangnya pembuangan zat, yang disebut toksin uremia (misal,
aseton, 2,3-butileneglikol, asam guanidinosuksinat, metilguanidin, indol, fenol, amin
aromatik dan alifatik, dll) dan molekul berukuran sedang (lipid atau peptide dengan berat
molekul antara 300 – 2000 Da), dalam menimbulkan gejala gagal ginjal masih menjadi
perdebatan. Konsentrasi urea yang tinggi dapat membuat protein menjadi tidak stabil
5
sehingga terjadi penyusutan sel. Tetapi pengaruh ini sebagian dapat diatasi melalui
pengambilan sejumlah osmolit penstabil (terutama betain, gliserofosforikolin) oleh sel.

Gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan anemia, sementara


penurunan pembentukan kalsitriol menimbulkan gangguan metabolisme mineral.
Pembentukan rennin dan prostaglandin di ginjal dapat meningkat atau menurun (kematian sel
penghasil rennin dan prostaglandin), bergantung pada penyebab dan lamanya penyakitnya.
Pembentukan rennin yang meningkat, mendorong terjadinya hipertensi, sangat sering
ditemukan pada gagal ginjal, sedangkan penurunan pembentukannya menghambat terjadinya
hipertensi. Prostaglandin sebaliknya sebaliknya menyebabkan vasodilatasi dan penurunan
tekanan darah. Hilangnya inaktivasi hormone di ginjal dapat memperlambat siklus
pengaturan hormonal. Namun, peranan hal ini terhadap timbulnya gejala pada gagal ginjal
masih belum jelas.

Penurunan penggunaan asam lemak oleh ginjal berperan dalam hiperlipidemia, sedangkan
penurunan glukoneogenesis mendorong terjadinya hipoglikemia.5

Dan sekarang akan dibahas tentang salah satu akibat dari penyakit ginjal kronik yaitu anemia.

ANEMIA

Darah orang normal mengandung 13-16 gr hemoglobin (Hb)/ 100 cc (13-16 gr%).
Semua Hb ini terdapat di dalam eritrosit. Jika konsentrasi Hb turun dibawah nilai normal,
akan timbul anemia. Namun harus disadari bahwa batas terendah dari nilai normal tergantung
pada umur dan jenis kelamin.

Umur Laki-laki Perempuan

12 - 18 thn 13 – 16 gr% 12 – 16 gr%

18 - 48 thn 13,5 – 17,5 gr% 12 – 16 gr%

Eritrosit dibentuk di dalam sumsum tulang dari ruas tulang belakang (vertebrae),
trokanter femur dan pada tulang-tulang gepeng. Sel-sel eritrosit ini mengalami pematangan di
dalam sumsum tulang. Pada mulanya eritrosit mempunyai inti yang disebut normoblas.

Hemoglobin dibentuk di dalam protoplasma normoblas ini. Kemudian inti sel akan
menghilang dan sesudahnya akan ditransportasikan ke peredaran darah. Di dalam darah
eritrosit akan hidup kira-kira 120 hari, kemudian akan dirusak di limpa dimana zat besi dari
hemoglobin dikembalikan ke peredaran darah, sedangkan gugus hem akan dipecah menjadi
pigmen empedu. Pigmen empedu kemudian diekskresi ke dalam empedu dan dibuang melalui
feses, yang memberikan warna coklat pada feses.

Sebagian dari pigmen empedu dirubah menjadi sterkobilin oleh bakteri usus, yang
diserap kembali dan diekskresi dalam bentuk urobilin dalam urin. Selama 2 hari pertama
6
dalam aliran darah, eritrosit masih mengandung benang-benang yang halus dari RNA(untuk
membentuk hemoglobin). Benang-benang ini hanya dapat dilihat dengan pewarnaan khusus
pada sel yang hidup yaitu pewarnaan brilliant cresyk blue. Sel eritrosit yang muda ini disebut
retikulosit dan dapat dihitung dengan mudah. Pada orang normal jumlahnya 16‰ dari
eritrosit.1

Erythropoietin adalah hormon peptida yang terlibat dalam kontrol produksi


erythrocyte oleh sumsum tulang. Sumber utama dari erythropoietin adalah ginjal, walaupun
disekresikan juga dalam jumlah sedikit oleh hati. Sel ginjal yang mensekresi adalah
sekumpulan cell di interstitium. Stimulus dari pengsekresian erythropoietin adalah
berkurangnya tekanan parsial oksigen pada ginjal, seperti pada anemia, hipoksia arterial, dan
tidak adekuatnya aliran darah ginjal. Erythropoietin menstimulasi sumsum tulang untuk
meningkatkan produksi erythrocytes. Penyakit ginjal bisa menyebabkan penurunan sekresi
erythropoietin, dan memicu penurunan aktivitas sumsum tulang adalah faktor penyebab
penting dari anemia pada penyakit ginjal kronik.6

Salah satu dari tanda yang paling sering dikaitkan dengan anemia adalah pucat.
Keadaan ini umumnya diakibatkan dari berkurangnya volume darah, berkurangnya
hemoglobin, dan vasokonstriksi untuk memaksimalkan pengiriman O2 ke organ-organ vital.
Warna kulit bukan merupakan indeks yang dapat dipercaya untuk pucat karena dipengaruhi
pigmentasi kulit, suhu, dan kedalaman serta distribusi bantalan kapiler. Bantalan kuku,
telapak tangan, dan membrane mukosa mulut serta konjungtiva merupakan indicator yang
lebih baik untuk menilai pucat. Jika lipatan tangan tidak lagi berwarna merah muda,
hemoglobin biasanya kurang dari 8 gr.

DEFINISI

Anemia adalah berkurangnya hingga dibawah nilai normal jumlah SDM, kuantitas
hemoglobin, dan volume packed red blood cells (hematokrit) per 100 ml darah. Dengan
demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik
yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik, dan
konfirmasi laboratorium.

Karena semua sistem organ dapat terkena, maka pada anemia dapat menimbulkan
manifestasi klinis yang luas, bergantung pada (1) kecepatan timbulnya anemia, (2) usia
individu, (3) mekanisme kompensasi, (4) tingkat aktivitasnya, (5) keadaan penyakit yang
mendasarinya, dan (6) beratnya anemia.7

KLASIFIKASI 7

Anemia dapat diklasifikasikan menurut (1) faktor-faktor morfologik SDM dan indeks-
indeksnya atau (2) etiologi.

7
Pada klasifikasi morfologik anemia, mikro- atau makro- menunjukkan ukuran SDM
dan kromik untuk menunjukkan warnanya. Sudah dikenal tiga kategori besar. Pertama,
anemia normositik normokrom, SDM memiliki ukuran dan bentuk normal serta mengandung
jumlah hemoglobin normal (mean corpuscular volume [MCV] dan mean corpuscular
hemoglobin concentration [MCHC] normal atau normal rendah). Penyebab-penyebab anemia
jenis ini adalah kehilangan darah akut, hemolisis, penyakit kronis yang meliputi infeksi,
gangguan endokrin, gangguan ginjal, kegagalan sumsum tulang, dan penyakit-penyakit
infiltrative metastatic pada sumsum tulang.

Kategori utama yang kedua adalah anemia makrositik normokromik, yang memiliki
SDM lebih besar dari normal tetapi normokromik karena konsentrasi hemoglobin normal
(MCV meningkat, MCHC normal). Keadaan ini disebabkan oleh terganggunya atau
terhentinya sintesis asam deoksiribonukleat (DNA) seperti yang ditemukan pada defisiensi
B12 atau asam folat atau keduanya. Anemia normokromik dapat juga terjadi pada kemoterapi
kanker karena agen-agen mengganggu sintesis DNA.

Kategori ketiga adalah anemia mikrositik hipokromik. Mikrositik berarti sel kecil, dan
hipokromik berarti pewarnaan yang berkurang. Karena warna berasal dari hemoglobin, sel-
sel ini mengandung hemoglobin, dalam jumlah yang kurang dari normal (penurunan MCV
dan penurunan MCHC). Keadaan ini umumnya mencerminkan insufisiensi sintesis heme atau
kekurangan zat besi, seperti pada anemia defisiensi besi, keadaan sideroblastik, dan
kehilangan darah kronis, atau gangguan sintesi globin, seperti pada thalasemia. Thalasemia
menyangkut ketidaksesuaian jumlah rantai alfa dan beta yang disintesis, dengan demikian
tidak dapat terbentuk molekul hemoglobin tetramer normal.

Anemia dapat juga diklasifikasikan menurut etiologi. Penyebab utama yang


dipikirkan adalah (1) peningkatan hilangnya SDM dan (2) penurunan atau kelainan
pembentukan sel.

Meningkatnya kehilangan SDM dapat disebabkan oleh perdarahan atau oleh


penghancuran sel. Perdarahan dapat diakibatkan dari trauma atau ulkus atau akibat
perdarahan kronis karena polip di kolon, keganasan, hemoroid atau menstruasi.
Penghancuran SDM didalam sirkulasi dikenal sebagai hemolisis, terjadi jika gangguan pada
SDM itu sendiri memperpendek siklus hidupnya (kelainan instrinsik) atau perubahan
lingkungan yang menyebabkan penghancuran SDM (kelainan ekstrinsik). Keadaan-keadaan
yang SDM-nya itu sendiri mengalami kelainan adalah :

1. Hemoglobinopati atau hemoglobin abnormal yang diwariskan, seperti, penyakit sel sabit

2. Gangguan sintesis globin, seperti thalasemia

3. Kelainan membrane SDM, seperti sferositosis herediter dan eliptositosis

4. Defisiensi enzim, seperti defisiensi glukosa 6-fosfat dehidrogenase (G6PD) dan defisiensi
piruvat kinase
8
Klasifikasi etiologic utama yang kedua adalah berkurangnya atau terganggunya
produksi SDM (diseritropoiesis). Setiap keadaan yang memengaruhi funsi sumsum tulang
termasuk di dalam kategori ini. Termasuk di dalam kelompok ini adalah (1) keganasan
jaringan padat metastatic, leukemia, limfoma dan myeloma multiple; pajanan terhadap obat-
obat dan zat kima toksik; serta iradiasi dapat mengurangi produksi efektif SDM; dan (2)
penyakit-penyakit kronis yang mengenai ginjal dan hati, serta infeksi dan defisiensi
endokrin. Kekurangan vitamin-vitamin penting, seperti B12, asam folat, vitamin C, dan zat
besi dapat mengakibatkan pembentukan SDM tidak efektif, menimbulkan anemia. Untuk
menentukan jenis anemia, baik pertimbangan morfologik dan etiologic harus digabungkan.

PATOFISIOLOGI ANEMIA PADA PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK

Anemia pada penderita gagal ginjal berat disebabkan oleh 2 mekanisme :

a. Darah mengalami pengenceran oleh cairan yang berlebihan sehingga konsentrasi


hemoglobin turun.

b. Untuk produksi eritrosit di dalam sumsum tulang, diperlukan bahan yang khusus, yaitu
suatu protein yang disebut eritropoetin. Oleh karena eritropoetin hanya dibuat oleh ginjal,
maka pada gagal ginjal kronik produksi eritropoetin juga sangat kurang (pada keadaan ini
berat jaringan ginjal yang biasanya 300gr, dapat berkurang menjadi hanya 30gr). Karena
itu tidak ada gunanya memberikan zat besi (Fe) atau preparat-preparat vitamin pada
penderita anemia yang disebabkan uremia. Jika terjadi anemia yang berat, maka jantung
harus memompa darah lebih banyak untuk mencukupi jumlah kebutuhan oksigen pada
jaringan. Ini merupakan beban tambahan terhadap jantung.1

Anemia terjadi pada 80-90 % pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit ginjal
kronik terutama disebabkan oleh defisiensi ertiropoietin. Hal-hal lain yang ikut berperan
dalam terjadinya anemia adalah, defisiensi besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran
cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi
asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun
kronik.3

DIAGNOSIS ANEMIA

Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin ≤10 gr% atau hematokrit ≤30%,
meliputi evaluasi terhadap status besi ( kadar besi serum / Serum Iron, kapasitas ikat besi
total / Total Iron Binding Capacity, feritin serum), mencari sumber perdarahan, morfologi
eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya.3

Sebuah anemia, normositik normokromik disebabkan PGK diamati mulai pada tahap 3
PGK dan hampir universal pada tahap 4. Jika tidak diobati, anemia dari PGK berkaitan
9
dengan sejumlah kelainan fisiologis, termasuk penurunan pengiriman dan pemanfaatan
oksigen jaringan, meningkatkan output jantung, pembesaran jantung, hipertrofi ventrikel,
angina, gagal jantung kongestif, penurunan kognisi dan ketajaman mental, perubahan siklus
haid, dan gangguan pertahanan host terhadap infeksi. Selain itu, anemia mungkin memainkan
peran dalam keterbelakangan pertumbuhan anak-anak dengan PGK. 4

TATALAKSANA ANEMIA PADA PENYAKIT GINJAL KRONIK

Anemia dari PGK ini disebabkan beberapa faktor, termasuk kehilangan darah kronis,
hemolisis, penekanan sumsum oleh tertahannya faktor-faktor uremic dan berkurangnya
produksi EPO ginjal. Ketersediaan rekombinan EPO manusia, epoetin alfa, telah membuat
salah satu kemungkinan kemajuan yang sangat besar dalam perawatan pasien ginjal sejak
diperkenalkannya dialisis dan transplantasi. Baru-baru ini, sebuah protein novel eritropoiesis-
stimulating telah diperkenalkan untuk pengobatan anemia pada pasien PGK. Protein ini,
darbopoetin alfa, adalah analog hyperglycosylated rekombinan EPO manusia yang memiliki
aktivitas biologis yang lebih besar dan perpanjangan waktu paruh. Dengan demikian, interval
dosis dapat diperpanjang dan masih efektif memperbaiki anemia ginjal pada pasien
predialysis dan dialisis. Pedoman penggunaan epoetin dan alfa darbopoetin untuk manajemen
anemia pada PGK disediakan di tabel.

Status zat besi pasien dengan PGK harus dinilai, dan kadar zat besi harus memadai
sebelum pengobatan dengan EPO dimulai. Tablet zat besi biasanya penting untuk
memastikan respon yang memadai untuk EPO pada pasien dengan PGK, karena kebutuhan
besi oleh sumsum erythroid sering melebihi jumlah besi yang segera tersedia untuk
eritropoiesis (diukur dengan kejenuhan persen transferrin) serta kadar besi (yang diukur
dengan feritin serum). Dalam kebanyakan kasus, besi intravena diperlukan untuk mencapai
dan / atau mempertahankan zat besi yang memadai. Namun, terapi besi yang berlebihan
mungkin terkait dengan sejumlah komplikasi, termasuk hemosiderosis, aterosklerosis
dipercepat, peningkatan kerentanan terhadap infeksi, dan mungkin suatu kecenderungan
meningkatnya kemunculan keganasan. Selain besi, pasokan yang cukup dari substrat utama
lainnya dan kofaktor untuk produksi eritrosit harus terjamin, terutama vitamin B12 dan folat.
Anemia resisten terhadap dosis EPO yang direkomendasikan pada awal ketersediaan
memadai faktor besi dan vitamin sering menunjukkan dialisis tidak memadai;
hiperparatiroidisme yang tidak terkendali; toksisitas aluminium; kehilangan darah kronis atau
hemolisis; hemoglobinopati terkait, malnutrisi, infeksi kronis, multiple myeloma, atau
keganasan lain. Transfusi darah dapat berkontribusi untuk penekanan eritropoiesis di PGK,
karena mereka meningkatkan risiko hepatitis, hemosiderosis, dan sensitisasi transplantasi,
mereka harus dihindari kecuali anemia gagal untuk merespon erythropoietin dan pasien
bergejala.4

Pedoman Manajemen Untuk Memperbaiki Anemia Pada Penyakit Ginjal Kronik

10
Eritropoietin

Dosis permulaan : 50–150 units/kg/minggu IV atau SC (1, 2, atau 3 kali/minggu)

Target Hb : 11-12 gr%

Tingkat koreksi optimal : Peningkatan Hb 1-2 gr% periode selama 4 minggu

Darbopoietin alfa

Dosis permulaan : 0.45 mcg/kg diberikan IV tunggal atau injeksi SC 1X/minggu

0.75 mcg/kg diberikan IV tunggal atau injeksi SC 1X/2 minggu

Target Hb : ≤12 gr%

Tingkat koreksi optimal : Peningkatan Hb 1-2 gr% periode selama 4 minggu

Zat Besi

1. Monitor kadar zat besi dari saturasi transferin (TSat) dan serum ferritin

2. Jika pasien kekurangan zat besi (TSat <20% ; serum feritin <100 mcg/L), beri zat besi 50 – 100
mg IV 2X/minggu selama 5 minggu, jika indeks zat besi masih rendah, ulangi

3. Jika indeks zat besi normal,Hb masih tidak mencukupi, berikan zat besi seperti yang di uraikan
diatas, monitor Hb, TSat, dan ferritin

4. Tahan terapi zat besi saat TSat >50% dan/atau ferritin >800mcg/L

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Dr. Sibuea, W. Herdin. Dr. Panggabean, Marulam M.. Dr. Gultom S.P.. Ilmu Penyakit
Dalam. FK-UKI dengan Rumah Sakit DGI Tjikini : Jakarta : 2005, hal 123-132 ,hal
66-67
2. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia : dari Sel ke Sistem . Jakarta : EGC, 2001 hal
462-502
3. Suwitra, Ketut. Ilmu Penyakit Dalam jilid 1. Jakarta: FK-UI,2006, hal 570-573
4. Skorecki, Karl, Green J., Brenner B.M.. Harrison’s : Principles of Internal Medicine :
USA : Mc Graw-Hill,2005 page 1653-1663
5. Silbernagl, Stefan et Lang, Florian. Teks&Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta :
EGC, 2007 hal 110
6. Eaton, Douglas C. et Pooler, John P..Vander’s : Renal Physiology. USA : Mc Graw-
Hill, 2009 page 1 – 23
7. Price, Sylvia A. et Wilson Lorraine M..Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta : EGC, 2006 page 256 - 258

12

Anda mungkin juga menyukai