Anda di halaman 1dari 34

UJIAN KASUS

UTERUS MIOMATOSUS YANG DITATALAKSANA DENGAN


HISTEREKTOMI TOTALIS DAN SALPINGOOOFOREKTOMI
BILATERAL

UJIAN KASUS TAHAP AKHIR


PESERTA PPDS OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

Oleh
Dr. Arry Sandra Utama

Penguji
DR. Dr. H. Ferry Yusrizal, SpOG(K), M.Kes
Dr.H. M.Hatta Ansyori,SpOG(K)
Dr. H. Patiyus Agustiansyah, SpOG(K)
Dr. Peby Maulina Lestari, SpOG(K)
Dr. Hj. Fatimah Usman, SpOG(K)

BAGIAN/DEPARTEMEN OBSTETRIK DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RUMAH SAKIT Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Dipresentasikan hari Kamis, pukul 08.00 WIB
I. PENDAHULUAN
Mioma uteri atau leimioma adalah neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus dan
jaringan ikat. Mioma uteri dapat menempati seluruh ruang endometrium uterus baik
sebagai massa tunggal atau ganda serta dapat tumbuh hingga mencapai ukuran yang
besar. Massa miom ini merupakan jenis tumor uterus yang paling sering ditemukan
pada wanita khususnya usia reproduksi. Prevalensi mioma uteri semakin meningkat
seiring dengan peningkatan usia, dan puncaknya pada usia 40-an.1 Prevalensi kejadian
mioma uteri sekitar 70% - 80% pada wanita usia 50 tahun. Di USA dari 95.061 perawat
usia 25-44 tahun, insidensi sekitar 8,9/1000 pada wanita berkulit putih dan 30,9/1000
pada wanita berkulit hitam.2 Mioma uteri belum pernah dilaporkan terjadi sebelum
pasien mendapatkan haid pertama sedangkan pada wanita usia menopause angka
kejadian mioma uteri dapat mencapai 10%. Di Indonesia angka kejadian mioma uteri
ditemukan 2,39-11,87% dari semua pasien ginekologi yang dirawat. Menurut Wijaya
(2005), di RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado terdapat 106 kasus mioma uteri, dan
terbanyak pada golongan usia 36-45 tahun yaitu sekitar 55 kasus (57,3%).3
Etiologi pasti terjadinya mioma uteri hingga saat ini belum diketahui. Terdapat
hipotesis yang menyatakan bahwa mioma uteri dapat terjadi akibat pertumbuhan sel-sel
otot uterus imatur yakni sel “Cell Nest” dari GCT atau Granulosa cell tumors yang
selanjutnya dirangsang secara terus menerus oleh hormone estrogen. GCT seringkali
menyebabkan perdarahan uterus abdnormal karena selain dapat menyebabkan
terbentuknya suatu lesi leimioma, tetapi juga dapat mendorong terbentuknya suatu kista
jinak, adenomiosis, adenoma ovarium, adenocarcinoma, dan endometrial carcinoma. 4
Penelitian yang dilakukan oleh Ichimura mendapatkan bahwa hormon ovarium
(estrogen dan progesterona) dipercaya dapat menstimulasi pertumbuhan mioma karena
adanya peningkatan insidennya setelah menarke dan pada kehamilan pertumbuhan
tumor ini makin besar namun menurun setelah menopause. Perempuan nullipara

2
mempunyai risiko yang tinggi untuk terjadinya mioma uteri, sedangkan perempuan
multipara mempunyai risiko relatif yang menurun untuk terjadinya mioma uteri. 5
Namun literatur lain juga menyatakan bahwa selain hormon estrogen terdapat
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan mioma yaitu hormon
progesteron, faktor pertumbuhan, dan faktor genetik.6 Hormon estrogen dan progesteron
merupakan promoter terbentuknya hormon pertumbuhan seperti transforming growth
factors, epidermal growth factor, platelet-derived growth factor, Insulin-like growth
factor dan basic fibroblast growth factors. Hormon-hormon pertumbuhan tersebut
mendorong aksi peningkatana vaskularisasi disekitar mioma uteri. Dalam hal faktor
genetik, ditemukan sekitar 40% abnormalitas kariotipik pada wanita yang menjalani
pembedahan leimioma uterine di Amerika Serikat. Hubungan ini terlihat secara
bermakna pada wanita ras Afrika-Amerika yang secara klinis cenderung memiliki
massa mioma uteri dan ukuran uterus yang lebih besar dibandingkan ras lain di
Amerika Serikat dan kelompok wanita dengan ras Afrika-Amerika tersebut terdeteksi
memiliki abnormalitas genetik yaitu delesi kromosom 7q. Pembentukan mioma uteri
akibat pengaruh genetika ini terjadi melalui interupsi selama tahap promosi di fase
tumorgenesis. Meskipun pada akhirnya dampak ini gangguan genetik terebut akan
termanifestasi kembali sebagai peningkatan kadar hormon estrogen atau progesteron.6
Leiomioma uteri ditemukan pada pemeriksaan histologi rutin pada 40% wanita di
New Zealand dengan usia <46 tahun yang menjalani histerektomi, meskipun angka
kejadian sebenarnya jauh lebih tinggi. Pada penelitian spesimen uterus paska
histerektomi ditemukan 77% leiomioma. Pada umumnya leiomioma asimptomatik dan
terdiagnosa insidental pada pemeriksaan klinis atau pencitraan. Leiomioma dapat
menyebabkan berbagai keluhan termasuk gangguan menstruasi, anemia, benjolan atau
massa di rongga pelvis, nyeri atau sumbatan hingga masalah fertilitas. Sebuah
penelitian di Kanada menyatakan leiomioma dapat mengganggu kualitas kehidupan dan

3
produktivitas. Survey terhadap 21.000 wanita, gangguan seksual (43%), performa kerja
(28%), dan gangguan hubungan kekeluargaan (27%).7
Patogenesis dari mioma uteri masih belum diketahui secara pasti, diduga sel uterus
yang belum matang oleh karena paparan estrogen maka dapat menyebabkan perubahan
pada lapisan submucosa yang ditandai dengan hipervaskularisasi di sekitar lapisan
intramural uterus dan terbentuknya kelenjar intramiometrium ektopik yang dapat
menyebabkan hipertrofi dan hiperplasia miometrium (difus atau lokal). Hal ini
mengakibatkan rusaknya batas antara stratum basalis endometrium dengan miometrium
sehingga kelenjar endometrium dapat menembus miometrium. Pada suatu titik,
pembuluh darah berlebih disekitar miometrium tersebut akan pecah, sehingga terjadi
kontraksi otot uterus yang kemudian menimbulkan perdarahan pervaginam dalam
waktu yang lama dan dalam jumlah banyak. Akibat perdarahan pervaginam jangka
panjang dapat meningkatkan resiko terjadinya anemia, gangguan peredarahan darah
karena deplesi volume cairan tubuh dan anemia akibat defisiensi zat besi. Pasien
dengan mioma uteri juga dapat mengeluhkan rasa nyeri akibat nekrosis, perlengketan
tumor ke adneksa parametrium, atau akibat peningkatan tekanan intraabdomen akibat
penekanan massa tumor ke kandung kemih, ureter, atau usus.8
Mioma uterus dapat diklasifikasikan dengan menggunakan sistem tradisional WHO
(intramural, submucosa, dan subserosa berdasarkan lokasinya) atau berdasarkan derajat
klasifikasi FIGO. Penegakkan diagnosis mioma uteri dilakukan dengan pemeriksaan
fisik umum untuk evaluasi kondisi hemodinamik pasien akibat perdarahan uterus
abnormal dilanjutkan dengan pemeriksaan ginekologis untuk mengidentifikasi massa
mioma dan memperkirakan volume uterus dari pemeriksaan bimanual. Pemeriksaan
volum kavitas endometrial juga penting untuk investigasi tatalaksana pasien dengan
mioma uteri. Hasil dari temuan pemeriksaan-pemeriksaan tersebut kemudian akan
dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang. Sebuah studi menyatakan bahwa palpasi
bimanual yang dikonfirmasikan dengan USG hanya dapat dilakukan untuk uterus

4
ukuran kecil atau besar sedangkan untuk massa uterus ukuran volume sedang,
pemeriksaa palpasi bimanual yang dikonfirmasi dengan USG menjadi tidak reliabel. 9
Evaluasi temuan massa myometrial dari pemeriksaan fisik dengan pemeriksaan
penunjang juga penting terutama untuk membedakan leimioma dan adenomioma. MRI
dapat digunakan untuk mengevaluasi miometrium untuk membedakan dua fibroid
tersebut dengan jelas. Sedangkan histeroskopi lebih dimaksudkan untuk mengukur
perluasan meometrial ke leimioma submucosal. Pada akhirnya pemeriksaan
histopatologi dari sampel endometrial adalah gold standard yang diperlukan untuk
ketepatan klasifikasi mioma uteri dan pemilihan terapi. 10
Penatalaksanaan leimioma atau mioma uteri dapat dilakukan dengan
medikamentosa, manajemen ekspektansi, pembedahan konvensional, atau dengan
pendekatan-pendekatan baru yang bersifat lebih kurang invasif. Untuk managemen
ekspektatif dapat diarahkan untuk leimioma dengan fibroid ukuran kecil (<12 minggu),
mendekati masa menopause, dan untuk pasien dengan keinginan untuk hamil dimasa
mendatang. Untuk terapi medikasi, baik hormonal dan nonhormonal, ditujukan secara
signifikan untuk menurunkan ukuran mioma secara temporer dan memperbaiki gejala-
gejala pada sebagian besar kasus. Intervensi ini mempersiapkan pasien untuk proses
pembedahan dan dalam beberapa kasus turut menyebabkan terjadinya proses
pembedahan yang tidak perlu. Untuk tujuan reproduktif, pasien yang menjalani terapi
medikamentosa dapat mengurangi rekurensi mioma pada penghentian terapi
medikamentosa.11
Pada kasus pasien dengan meno-metroragia, perdarahan menstruasi berat diantara
siklus menstruasi, maka tindakan histerektomi abdominal total yaitu histerektomi yang
disertai dengan salpingo-ooforektomi bilateral dapat direkomendasikan. Histerektomi
juga direkomendasikan pada kasus pasien dengan ukuran uterus yang lebih dari usia 12
minggu gestasi sebaliknya histerektomi tidak direkomendasikan sebagai upaya
profilaktik terhadap peningkatan morbiditas terkait dengan pertumbuhan massa uterus

5
di kemudian hari. Namun pada pasien yang tidak lagi mempertimbangkan harapan
untuk memiliki anak dimassa mendatang maka histerektomi total permanen dapat
diindikasikan sebagai solusi leimioma yang menyebabkan perdarahan, anemia, dan
tekanan pelvis. Setiap dokter ahli ginekologi dapat melakukan histerektomi dengan
pendekatan transvaginal, laparoskopi, atau transabdominal. Hal ini tergantung dari
ekspertise dokter bedah, ekspektansi pasien terhadap fungsi reproduksi, tanda, gejala
dan ukuran massa fiboid uterus. Oleh karena itu pemilihan tatalaksana mioma uteri
bersifat individualistik yakni dengan mempertimbangkan karakteristik kondisi dan
keputusan pasien. Pada ujian kasus ini, akan dibahas suatu kasus uterus miomatosus
dengan anemia berat yang direncanakan untuk dilakukan histerektomi
salpingooforektomi bilateral.

II. REKAM MEDIS

6
A. Anamnesis
1. Identifikasi
Nama : Ny. SM / 50 tahun
Rekam medik : 17029295
Agama : Islam
Pendidikan : S2
Pekerjaan : PNS
Alamat : Sukamoro, Talang Kelapa
MRS : 08-10-2017
2. Riwayat Perkawinan
Menikah 1x, lamanya 30 tahun
3. Riwayat Reproduksi
Menarch usia 13 tahun, siklus teratur, 30 hari
HPHT 4/10.17 – 08/10/17, 4x ganti pembalut penuh
15/09/17 – 22/09/17, 4x ganti pembalut
1/9/17 - 4/09/17, 2x ganti pembalut
4. Riwayat Kehamilan/Persalinan
a. 1987/perempuan, 3500 gram, RS AK Ghani, Spontan, Sehat
b. 1989/ laki-laki, 3800 gram, Klinik Dona, Spontan, sehat
c. 1995/ abortus, kuret, RS Tiara Fatrin
d. 2000/ laki-laki, 3800 gram, Klinik Dona, Spontan, sehat
5. Riwayat Penyakit Dahulu
Disangkal
6. Riwayat Gizi/Sosial Ekonomi
Cukup

7. Riwayat Penyakit Keluarga


Disangkal
8. Anamnesis Khusus (09-10-2017, Pukul 09.00 WIB)
Keluhan utama: perdarahan dari kemaluan
Riwayat Perjalanan Penyakit:

7
Sejak 1 bulan yang lalu, os mengeluh perdarahan dari kemaluan, + 4x ganti
pembalut per hari, penuh, gumpalan darah (+), dan kemudian diselingi 4 hari
tanpa perdarahan, tidak ada nyeri perut (+), BAK dan BAB biasa normal.
Riwayat kontrasepsi: KB suntik setiap satu bulanan, selama 2 tahun 2015-2017,
dan terakhir suntik 2/09/2017. KB suntik 3 bulan sejak 15 tahun (2000-2015).

B. Pemeriksaan Fisik
1. Status Present
Keadaan umum : Sedang Berat badan : 66 kg
Kesadaran : Kompos Mentis Tinggi badan: 150 cm
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Pernafasan : 20x/menit Suhu : 36,5 0C
Keadaan khusus
Kepala : Konjungtiva anemis (+/+), sklera tidak ikterik
Leher : Tekanan vena jugularis tidak meningkat (5-2) cmH2O,
Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Toraks : Paru-paru : sonor, vesikuler (+) normal, wheezing(-),
ronkhi (-)
Jantung : HR 82x/menit, regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Abdomen datar, lemas, nyeri tekan (-), fundus uteri teraba 3
jari diatas simfisis.
Ekstremitas : Edema pretibial (-), sianosis (-), refleks fisiologis (+) normal,
refleks patologis (-)

2. Status Ginekologi
a. Periksa luar
Inspeksi : abdomen datar, tidak terlihat pelebaran vena, vulva
tidak ada kelainan
Palpasi : abdomen lemas, teraba fundus uteri 3 jari diatas simfisis pubis
Perkusi : tanda cairan bebas tidak ditemukan

8
Auskultasi : bising usus normal
b. Inspekulo : porsio lunak livide, licin, perdarahan tidak aktif, OUE
tertutup, fluor (-), fluxus (+), darah tidak aktif, E/L/P(-).
c. Colok vagina : portio kenyal, OUE tertutup, adnexa parametrium kanan-kiri
lemas, CUT 14 minggu, cavum douglash tidak menonjol
d. Colok dubur : TSA baik, ampula rekti kosong, mukosa licin, massa
intralumen (-).
Skema leiomioma pada pasien:

C. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Darah (08-10-2017)
Hemoglobin : 4.6 g/dL* (11.7-15.5)
Eritrosit : 2.59 x106/mm3 * (4.2-4.87)
Leukosit : 10.500/mm3 (5000-10.000 mm3)
Hematokrit : 15% * (43-49)
Trombosit : 529.000/mm3 (200.000-500.000/mm3)
RDW-CV : 21.20 (11-15)

9
Hitunh jenis Leukosit
Basofil :0 (0-1%)
Eosinofil :2 (1-6%)
Netrofil segmen : 64 (50-70%)
Limfosit : 26 (25-40%)
Monosit : 8* (2-8%)

2. USG Konfirmasi (dr. Hj. Putri Mirani, SpOG(K)) (09-10-17)


 Uterus AF membesar
 Massa padat, hipoekoik, batas tegas, multiple, dengan feeding artery (+),
minimal 6 buah ukuran diamter 2.04 cm, 1.44 cm, 2.17 cm, 1.2 cm, 1.64 cm,
1.02 cm, kemungkinan suatu mioma uteri intramural.
 Hepar dalam batas normal
 Kedua ginjal dalam batas normal
 Ovarium kanan ukuran 2 x 1.63 cm
 Ovarium kiri ukuran 2.26 x 1.97 cm
Kesan: Uterus miomatosus

10
Gambar 1. USG Ny SM/50th
D. Diagnosis Kerja
PUA ec uterus miomatosus + Anemia berat

E. Diagnosis Banding
PUA ec susp. malignancy
Adenomiosis uteri

F. Prognosis
Ad fungsional : dubia ad bonam
Ad vitam : bonam

G. Follow Up
Tanggal Follow Up Keterangan
8/10/17 S : perdarahan pervaginam USG Konfirmasi (dr. Hj Putri
O: Mirani, SpOG(K)) (09-10-17)
St. Present - Uterus AF, membesar dan
Sens : CM TD: 80 x/m berbenjol, uk 8.62 x 6.32 x
RR: 20 x/m 6.54 cm
TD : 120/80 mmHg T :36.5C - Massa padat, hipoekoik,
A: PUA ec Susp leimioma + batas tegas, multiple, dengan
Anemia berat feeding artery (+), minimal 6
Dx : buah ukuran diamter 2.04
- Observasi tanda vital cm, 1.44 cm, 2.17 cm, 1.2
- USG konfirmasi cm, 1.64 cm, 1.02 cm,
- Tranfusi darah PRC target Hb kemungkinan suatu mioma

11
7.0 g/dL uteri intramural.
- Hepar dalam batas normal
Diagnosis kemudian (09-10-17) - Kedua ginjal dalam batas
Ditegakkan sebagai PUA ec uterus narmal
miomatosus + Anemia berat - Ovarium kanan ukuran 2 x
1.63 cm
- Ovarium kiri ukuran 2.26 x
1.97 cm
Kesan : Uterus miomatosus

II. PERMASALAHAN
1. Bagaimanakah penegakkan diagnosis pada kasus ini?
2. Bagiamanakah tatalaksana pada kasus ini?

III. ANALISIS KASUS


1. Bagaimanakah penegakkan diagnosis kasus ini?
Ny SM, 50 tahun, sejak 1 bulan yang lalu, os mengeluh perdarahan dari kemaluan,
+ 4x ganti pembalut per hari, penuh, gumpalan darah (+), dan kemudian diselingi 4
hari tanpa perdarahan, tidak ada nyeri perut (+), BAK dan BAB biasa normal.
Riwayat kontrasepsi: KB suntik setiap satu bulanan, selama 2 tahun 2015-2017, dan
terakhir suntik 2/09/2017. KB suntik 3 bulan sejak 15 tahun (2000-2015).
Pada pasien ini diketahui keluhan berupa perdarahan disfugsional pervaginam.
Pasien sebelumnya mengalami mesntruasi dua kali dibulan 10 dalam jumlah yang
melebihi dari biasanya. Pasien mengeluh 4x ganti pembalut penuh selama dua bulan
terakhir dimana sebelumnya frekuensi hanya berkisar 2x ganti pembalut diawal
bulan September. Pada tahap ini disimpulkan pasien mengalami kondisi meno-
metroragia dalam 2 bulan terakhir. Pasien tidak menggunakan IUD namun
kontrasepsi suntik sejak 17 tahun yang lalu hal ini menyingkirkan kemungkinan

12
perdarahan uterus abnormal akibat alat kontrasepsi dalam rahim. Gangguan akibat
perdarahan berat dapat terjadi pada pasien dengan penyakit pembekuan perdarahan
(disangkal pasien), kanker uterus (pada pasien ini tidak ditemukan penurunan berat
badan gratis atau massa abdomen), kondisi medis seperti masalah tiroid dan SLE
(disangkal pasien), penggunaan obat – obatan seperti obat anti-koagulan dan anti-
inflamasi (disangkal pasien), infeksi pelvis (suhu tubuh pasien afebris), dan
adenomiosis (ketika kelenjar uterus diintrusi oleh otot uterus dimana gejalanya
serupa dengan fibroid uterus). Nyeri bukanlah tipikal gejala dari mioma uteri. Nyeri
seringkali dialami oleh pasien dengan mioma bertangkai yang terpuntir atau pada
mioma geburt. Pada mioma yang besar dapat menyebabkan terjadinya hidroureter,
hidronefrosis atau edema tungkai.
Berdasarkan gejala klinis maka pasien didiagnosis perdarahan uterus abnormal dan
pasien menjalani pemeriksaan fisik umum dan ginekologis kemudian diketahui jika
konjungtiva palpebra pucat. Pada pemeriksaan inspekulo didapatkan gambaran
porsio lunak livide, licin, perdarahan tidak aktif, OUE tertutup, fluor (-), fluxus (+),
darah tidak aktif, E/L/P(-). Pemeriksaan colok vagina ditemukan porsio kenyal,
OUE tertutup, adnexa parametrium kanan-kiri lemas, korpus uteri sesuai kehamilan
14 minggu, cavum douglash tidak menonjol.
Pada pasien dengan pembesaran uterus, beberapa hal yang harus dicari dalam
pemeriksaan USG adalah: adanya penebalan endometrium kompleks yang
merupakan faktor risiko hiperplasia atipik atau kanker endometrium, polip
endometrium, mioma uteri submukosum, dan adenomiosis.13 Pemeriksaan USG
pada kasus ini bertujuan untuk membedakan penyebab pembesaran uterus apakah
adenomiosis atau mioma uteri. Menurut Bazot, dkk USG transvaginal sensitif,
spesifik, dan akurat dalam mendiagnosis mioma dan adenomiosis yang dapat timbul
bersamaan dengan mioma (adenomioma). Penentuan lokasi serta ukuran mioma
atau adenomiosis penting untuk kepentingan rencana terapi.14

13
Pada pasien ini kemudian menjalani pemeriksaan penunjang darah rutin dan
USG dan dikonfirmasi bahwa pasien menderita anemia berat dan gambaran uterus
miomatosus dengan ukuran uterus tidak lebih dari 10 cm namun disertai beberapa
massa multiple, dengan feeding artery (+), minimal 6 buah ukuran diamter 2.04 cm,
1.44 cm, 2.17 cm, 1.2 cm, 1.64 cm, 1.02 cm. Kriteria diagnostik mioma uteri
pada USG adalah pembesaran uterus, kontur nodul atau distorsi kontur uterus,
berbatas tegas, licin, miometrium tidak homogen, dan massa fokal di dalam
miometrium. Sebagian besar mioma menghasilkan gambaran hipoekoik atau
heterogen dibandingkan dengan miometrium normal. Bila ukurannya kecil,
cenderung hipoekoik (gambaran bakso urat). Kalsifikasi dalam mioma dapat
menyebabkan bayangan posterior (posterior shadowing). Dengan USG Doppler
berwarna, dapat terlihat vaskularisasi mioma sehingga dapat memberikan informasi
yang lebih jelas tentang ukuran, lokasi, dan batasnya dengan miometrium. Dengan
pencitraan Doppler berwarna, mioma biasanya memperlihatkan arus darah yang
tinggi di perifer tetapi rendah di sentral atau avaskular (vaskulariasasi di sekeliling
mioma. Indeks resistensi (RI) adalah 0,48±0,08 sedangkan RI arteri uterina adalah
0,74±0,09. USG transvaginal sangat akurat dalam mendeteksi mioma intramural
dan subserosal dengan sensitivitas 99% dan spesifisitas 91%.15

Gambar 2. Mioma uteri yang memberi gambaran seperti bakso urat (kiri). Vaskularisasi di
sekeliling lesi yang mengkonfirmasi diagnosis mioma uteri (kanan).
Dikutip dari Putra AD 15

14
Diagnosis banding pada kasus ini adalah adenomiosis yang merupakan
penyusupan jaringan stroma dan kelenjar endometrium ektopik pada lapisan
miometrium. USG Doppler dapat membedakan adenomiosis dari mioma karena
mioma mempunyai vaskulatur perifer sedangkan pembuluh berjalan lurus ke area
adenomiosis. Namun, USG kurang bermanfaat untuk melihat mioma submukosa
(sensitivitas 58,3% dan spesifisitas 94,8%). Saline Infusion Sonohysterogrpahy
(SIS) dapat meningkatkan ketepatan diagnostik mioma submukosum karena injeksi
larutan saline menyebabkan uterus menggembung dan menghasilkan medium
kontras negatif bebas eko serta meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas sampai
81,3% dan 98%. Tingkat ketepatan ini sebanding dengan histeroskopi yang
mempunyai sensitivitas 90,9% dan spesifisitas 95,7%. USG juga dapat memberikan
informasi apakah mioma submukosa masuk ke dalam miometrium dan apakah
reseksi histeroskopi dapat dilakukan.15
Tabel 1. Perbedaan gambaran USG mioma uteri dan adenomiosis
Mioma Adenomiosis
Batas massa Tegas Tidak tegas
Letak Fundus Korpus
Bentuk Bulat Lonjong
Pola Bakso urat Lesi kistik kecil
Doppler Ring-of-fire (+) Ring-of-fire (-)
Dikutip dari Putra AD 15

Mioma Uteri
a. Definisi
Mioma uteri merupakan pertumbuhan jinak dari otot-otot polos, tumor jinak
otot rahim, disertai jaringan ikat, neoplasma yang berasal dari otot uterus yang
merupakan jenis tumor uterus yang paling sering, dapat bersifat tunggal, ganda,
dan mencapai ukuran besar, biasanya mioma uteri banyak terdapat pada wanita
usia reproduksi terutama usia 35 tahun.3

b. Gejala Klinis7

15
 Sindroma Perdarahan
Dapat berupa perdarahan menstruasi berat maupun pemanjangan periode
menstruasi > 7 hari. Dihipotesiskan patomekanisme perdarahan berat pada
pasien dengan mioma uteri adalah akibat vena ectasia karena tekanan mioma
sehingga mengubah fungsi, ekspresi, dan penyimpanan hormone pertumbuhan
vasoaktif disekitar pembuluh darah miom.
 Nyeri
Dapat termanifestasi sebagai dampak dari penekanan pelvis atau nyeri, nyeri
punggung dan nyeri paha, dan nyeri akut (jarang). Dihipotesiskan nyeri pada
mioma ditimbulkan akibat miom yang menekan kandung kemih, nyeri pelvis,
dan nyeri akibat siklus menstruasi itu sendiri. Beberapa wanita bahkan
merasakan nyeri hebat ketika bersenggama. Nyeri pelvis biasanya merupakan
pertanda komplikasi dari fibroid yaitu adanya degenerasi atau torsio massa
miom.
 Peningkatan frekuensi urin/kesulitan untuk mengosongkan kandung kemih &
Konstipasi
Dihipotesis kan sebagai gejala lanjutan akibat penekanan ukuran massa miom
yang besar ke traktus urogenitalis. Miom dengan ukuran besar dapat

c. Etiologi
Etiologi pasti terjadinya mioma uteri hingga saat ini belum diketahui. Terdapat
hipotesis yang menyatakan bahwa mioma uteri dapat terjadi akibat pertumbuhan
sel-sel otot uterus imatur yakni sel “Cell Nest” dari GCT atau Granulosa cell
tumors yang selanjutnya dirangsang secara terus menerus oleh hormone estrogen.
GCT seringkali menyebabkan perdarahan uterus abdnormal karena selain dapat
menyebabkan terbentuknya suatu lesi leimioma, tetapi juga dapat mendorong
terbentuknya suatu kista jinak, adenomiosis, adenoma ovarium, adenocarcinoma,
dan endometrial carcinoma.8 Penelitian yang dilakukan oleh Ichimura
mendapatkan bahwa hormon ovarium (estrogen dan progesterona) dipercaya

16
dapat menstimulasi pertumbuhan mioma karena adanya peningkatan insidennya
setelah menarke dan pada kehamilan pertumbuhan tumor ini makin besar namun
menurun setelah menopause. Namun demikan ada beberapa faktor yang
mendukung terjadinya mioma yaitu:6
 Wanita usia 35-45 tahun
Wanita usia reproduktif memiliki hormone pertumbuhan yang tinggi dan
stimulasi berlebih dari hormon estrogen dan progesterone.

 Paritas
Paritas diketahui memberikan hubungan terbalik dengan insidensi mioma uteri.
Hal ini dikatikan dengan nuliparitas dan anovularitas siklus sehingga
mengarahkan ke asumsi paparan estrogen jangka panjang.
 Obesitas
Obesitas juga dapat meningkatkan resiko pertumbuhan miom oleh karena
gangguan hormone reproduksi.
 Genetik
Pembentukan mioma terjadi akibat gangguan pada tahap promosi fase
tumorigenesis. Meskipun dampak ini seringkali muncul karena pengaruh
hormone estrogen atau progesterone namun propulasi dengan genetic tertentu
seperti wanita ras Afrika-Amerika secara klinis lebih sering memiliki fibroid
yang bermakna secara klinis dan hal serupa pada wanita dengan usia
reproduktif. Ditemukan sekitar 40% abnormalitas kariotipik pada wanita yang
menjalani pembedahan leimioma uterine. Abnormalitas yang paling sering
terdeteksi adalah delesi 7q, translokasi antara kromosom 12 dan 14, dan trisomi
kromosom 12. 11
 Hormon (estrogen, progesterone dan hormon pertumbuhan)
Mioma menciptakan kondisi hiperestrogenik untuk mendukung
pertumbuhannya. Sel-sel mioma mengandung densitas reseptor estrogen yang
lebih banyak dibandingkan sel miometrium normal, sehingga pengikatan
estradiol lebih banyak. Sel-sel mioma mengandung enzim 17β-hydroxy

17
dehydrogenase yang rendah, dimana enzim ini berfungsi mengkonversi
estradiol menjadi estrone. Sehingga, pada sel-sel mioma terjadi akumulasi
estradiol berlebih dan menyebabkan hipertropi miometrium. Progesteron
berperan dalam meningkatkan regulasi aktivitas mitosis sel-sel mioma terutama
selama fase sekretorik dan memicu up-regulasi protein Bcl-2 yang merupakan
inhibitor apoptosis sel mioma. Setiap mioma berasal dari miosit progenitor
tunggal. Hormon estrogen dan progesterone sebenarnya adalah promoter
hormone pertumbuhan (transforming growth factors, epidermal growth factor,
platelet-derived growth factor, Insulin-like growth factor & basic fibroblast
growth factors). Hormon pertumbuhan tersebut kelak akan mendorong aksi
pertumbuhan vaskularisasi fibroid.16

d. Klasifikasi
 Tradisional, seperti submucosal; intramural; dan subserosal.
Mioma uterus dapat diklasifikasikan dengan menggunakan sistem tradisional
WHO (intramural, submucosa, dan subserosa berdasarkan lokasinya) atau
berdasarkan derajat klasifikasi FIGO. Mioma Submukosa adalah miom yang
terletak di bawah endometrium, dapat dengan atau tanpa tangkai. Mioma
bertangkai dapat menonjol melalui kanalis servikalis, dan dapat rentan
mengalami distrosi. Mioma intramural adalah miom yang seringkali
asimptomatok dan hanya sebatas sebagai rasa tidak enak did aerah perut bawah.
Kadang kala tumor tumbuh seabgai mioma subserosa dan kadang-kadang sebagai
mioma submucosa. Di dalam otot Rahim dapat besar, padat (jaringan ikat
dominan), lunak (jaringan otot Rahim dominan). Mioma uteri subserosa
merupakan tumor yang terdapat di subeserosa korpus uteri dan berupa tonjolan
saja, dapat pula tampak sebagai sebuah massa yang dihubungkan dengan uterus
melalui sebuah tangkai. Apabila ukuran nya cukup besar maka mioma akan
mengisi rongga peritoneal sebagai suatu massa. Perlengkatan dengan usus,

18
omentum dan mesenterium disekitarnya dapat menyebabkan sistem peredarah
darah yang diambil alih dari tangkai omentum. Akibatnya tangkai makin
mengecil dan terputus sehingga mioma akan terlepas dari uterus sebagai massa
tumor yang bebas dalam rongga peritonemum. Mioma jenis ini dikenal sebagai
jenis parasistik.6

Gambar 3. Klasifikasi mioma uteri


Dikutip dari Cunningham, dkk 17
 Klasifikasi FIGO
Merupakan sistem klasifikasi tertier dari leimioma yang menambahkan
jenis kategori lesi intramural, subserosal, transmural dengan tipe
submucosal. Lesi intrakavitas yang melekat pada endometrium
diklasifikasikan sebagai tip enol sedangkan tipe satu dan dua memerlukan
sebuah porsi lesi intramural- dengan tipe 1 kurang dari 50% dan tipe 2
setidaknya 50%. Tipe 3 permukaan atau serosa. Leimioma subserosal
menunjukkan gambaran leimiomal submucosal dengan tipe 5 yang
setidaknya 50% intramural, dan tipe 6 yang melibatkan sedikir
endometrial dan permukaan serosal. Hubungan endometrial harus dicatat
terlebih dahulu dan dengan hubungan serosal kedua. Kategori tambahan
tipe 8 dimaksudkan untuk leimioma yang tidak berkaitan dengan
myometrium sama sekali dan dapat memasukkan lesi servikal, mereka

19
yang melibatkan ligament bulat atau luas tanpa perlekatan langsung dari
uterus juga disebut sebagai lesi-lesi parasitic. 8

Gambar 4. Sistem Klasifikasi FIGO untuk Mioma Uteri


Dikutip dari Munro MG, Critchley HOD, Broder MS, Fraser IS, 2011. 8
e. Penegakkan diagnosis
 Anamnesis
Mioma simtomatik lebih sering memberikan gejala perdarahan uterus
abnormal, sensasi penekanan pada rongga pelvis, nyeri pelvis akut,
komplikasi pada miksi dan defekasi, serta infertilitas.9
 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan palpasi bimanual sering dilakukan untuk mengestimasi
ukuran uterus dengan memperikarakan ukuran uterus pada wanita hamil
kemudian akan dibandingkan dengan pemeriksaan pencitraan seperti
USG. Namun studi menunjukkan bahwa palpasi bimanual yang

20
dikonfirmasik dnegan USG hanya dapat dilakukan untuk uterus ykura
kecil atau besar sedangkan untuk massa uterus ukuran volume sedang,
pemeriksaa palpasi bimanual yang dikonfirmasi dengan USG menjadi
tidak reliabel. Pemeriksaan inspekulo, colok vagina, dan colok dubur
dapat membantu untuk mengidentifikasi adanya nyeri dan ukuran massa
ginekologis. Beberapa massa ginekologis yang telah bermestastase dapat
menimbulkan nyeri goyang adnexa parametrium dan tanda perdarahan
aktif.18
 Pemeriksaan ultrasonografi (transabdominal/transvaginal)
Digunakan untuk mengestimasikan ukuran dan berat uterus dengan cara
menentukan panjang, lebar, menentukan volume, diameter anteroposterior
uterus, panjang serviks dan diameter anterioposterior servikal.
Pemeriksaan USG transabdominal dan transvaginal juga memberikan
manfaat masing-masing karena perbedaan ketebalan penetrasi probe yang
diberikan memberikan gambaran yang berbeda. Untuk kasus miom uterus
yang besar, akan lebih baik menggunakan pengukuran servik uterus
dengan probe transvaginal sedangkan untuk korpus uterus lebih baik
dilakukan pemeriksaan dengan probe transabdominal. Selain itu,
pemeriksaan USG transvaginal juga dianggap lebih bermakna dalam
menilai dimensi uterus dan serviks karena kontras pada USG abdominal
akan sulit mencapai organ dalam abdomen pada pasien dengan obesitas
sentral. Pemeriksaan USG 3D dapat memberikan gambaran volume yang
akurat dari objek regular dan irregular serta menawarkan keakuratan yang
lebih dibandingkan metode USG 2D. 18
Tabel 2. Performa USG transvaginal sebagai tes diagnostik awal
dibandingkan hasil histopatologi

21
Dikutip dari Hanafi 19

 Histereskopi diagnostik
Diikuti dengan pemeriksaan histopatologi jaringan fibroid adalah gold
standard untuk menentukan jenis massa uterus.
 MRI
MRI bukan pemeriksaan gold standard untuk menentukan volume uterus
meskipun diketahui memberikan gambaran yang lebih superior dalam hal
evaluasi lokasi, volumen fibroid karena kemampuan kontrast MRI yang
lebih baik terhadap resolusi jaringan lunak abdomen. Pemeriksaan
volume uterus fibroid yang didapatkan dari pemeriksaan MRI merujuk
pada “MRI FUV” yang dikalkulasikan dengan formula LxWxAPx0.52
berdasarkan bentuk ellipsoid uterus. Formula ini juga dipakai pada
pemeriksaan dengan USG.20

2. Bagaimanakah tatalaksana pada kasus ini?

Pada pasien ini diketahui bahwa hemoglobin, eritrosit, dan hematokrit dibawah
normal. Pasien didiagnosis dengan anemia berat menurut WHO (Hb 4.6 g/dL;
eritrosit 2.59 x106/mm3; Hematokrit 15%).21
Klasifikasi derajat anemia menurut WHO (2011) adalah:
 Ringan sekali (Hb 10.00 gr/dL - 13.00g/dL)
 Ringan Hb (8.00 gr/dL - 9.90 gr/dL)
 Sedang Hb (6.00 gr/dL - 7.90 gr/dL)
 Berat Hb < 6.00 gr/dL

22
Menurut Asosiasi Dokter Anestesi Amerika, anemia pada kasus pre-operatif
memerlukan tindakan tranfusi darah pada pasien dengan kadar hemoglobin kurang
dari 6.0 g/dL. Hal ini dikarenakan kondisi stress dan trauma selama pembedahan
dapat meningkatkan risiko anemia dan pembentukan anemia sickle cell dimana
pemberian tranfusi darah dapat membantu mengamankan kapasitas sel darah
sebagai pembawa oksigen dan melarutkan sickle sel. Direkomendasikan ambang
batas yang aman kadar hemoglobin untuk proses pembedahan adalah 7gr/dL. Pada
kasus konsentrasi hemoglobin 6-10 g/dL maka tranfusi darah bersifat opsional
bergantung pada indikasi terkait iskemia organ, risiko perdarahan yang sedang
berlangsung, status volume intravaskular, dan kerentanan pasien terhadap
komplikasi oksigenasi yang tidak adekuat. Namun untuk kondisi khusus dimana
pasien menunjukkan tanda dan gejala klinis anemia maka pasien harus mendapat
21
tranfusi darah tanpa mempertimbangkan kadar hemoglobin. Pemberian satu unit
PRC setiap satu atau dua jam dapat meningkatkan kadar hemoglobin 1 gr/dL dan
pemeriksaan hemoglobin berulang harus dievaluasi kembali segera setelah tranfusi
darah. Pada kasus ini pasien tergolong anemia berat dan akan mendapat tranfusi
PRC hingga Hb 7.0 mg/dL baru dilanjutkan dengan tindakan pembdedahan
histerektomi sapingo-ooforektomi bilateral. 21
Mayoritas pasien dengan leimioma uterin adalah asimptomatik dan tidak
memerlukan terapi namun 20%-50% pasien secara klinis menunjukkan tanda dan
gejala perdarahan abnormal, anemia defisiensi besi, efek dari tekanan massa, dan
masalah reproduktif lainnya. Pasien dengan fibroid uterus harus mendapat terapi
medikamentosa, pembedahan atau kombinasi keduanya.22 Penatalaksanaan
leimioma atau uterus miomatus dapat medikamentosa, manajemen ekspektansi, opsi
pembedahan konvensional, dan pendekatan-pendekatan baru dan lebih kurang
invasi. Untuk managemen ekspektatif dapat diarahkan untuk leimioma/uterus
miomatosus dengan fibroid ukuran kecil (<12 minggu), mendekati masa

23
menopause, dan untuk pasien dengan keinginan untuk hamil dimasa mendaatang.
Untuk terapi medikasi, baik hormonal dan nonhormonal, ditujukan secara signifikan
untuk menurunkan ukuran mioma secara temporer dan memperbaiki gejala-gejala
pada sebagian besar kasus. Intervensi ini mempersiapkan pasien untuk proses
pembedahan dan dalam beberapa kasus turut menyebabkan terjadinya proses
pembedahan yang tidak perlu. Untuk tujuang reporduktif, pasien yang menjalani
terapi medikamentosa dapat mengurangi rekurensi mioma pada penghentian terapi
medikamentosa. Terdapat bebeapa faktor lain yang dapat menjadikan pertimbangan
dalam pengambilan keputusan untuk tatalaksana uterus miomatosus seperti usia ,
paritas, harapan untuk memiliki anak, keparahan gejala, ukuran fibroid, lokasi
fibroid, dan jumlah fibroid.22
Tatalaksana leimioma bersifat individual karena akan berbeda dari kasus
perkasus berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas. Namun satu yang perlu
diketahui bahwa semua manajemen konservatif mengizinkan kemungkinan untuk
leimioma yang baru terbentuk dan leimioma ukuran kecil yang sudah ada atau yang
tidak terdeteksi mungkin dapat menghambat pertumbuhan yang signifikan,
keraguan atas terapi lainnya. Risiko rekurensi harus diseimbangkan terhadap
manfaat potensial dari mempertahankan uterus, seperti morbiditas yang lebih rendah
dan retensi fertilitas. Jika dicurigai adanya keganasan, terapi harus dilakukan untuk
pembedahan. Observasi seksama perlu dilakukan untuk semua jenis mioma, karena
sebagian besar mioma tidak memproduksi gejala, dan tersembunyi dalam pelvis
serta jarang berupa keganasan. Pembedahan biasanya dipertimbangkan untuk kasus
perdarahan abnormal uterus yang tidak responsif dengan management konservatif,
tingginya kecurigaan keganassan pelvis, pertumbuhan mioma pasca menopause,
distorsi kavitas endometrial atau obstruksi tuba pada wanita infertil dan mereka
yang mengalami keguguran berkali-kali, nyeri, dan adanya gejala-gejala

24
penekanan yang akhirnya menurunkan kualitas hidup, anemia sekunder hingga
hilangnya darah kronis dari uterus. 23

Gambar 5. Algoritma Management Miom Uteri


Dikutip dari: Vilos GA, Allaire C, Laberge PY, Leylang N, 2015. 24

25
Tabel . Jenis Tatalaksana Perdarahan Disfungsional Uterus
Medikamentosa Non-Medikamentosa
a. Kontrasepsi oral  dapat a. Miomektomi
menurunkan atau  Upaya untuk membuang fibroid
mengeleminasi periode (<6 cm) dan tetap membiarkan
menstruasi. uterus tetap intak.
 Tetapi tidak  Dapat meregulasi perdarahan
menurunkan abnormal uterus.
pertumbuhan fibroid.  Jika fibroid ukurannya besar dan
b.Gonadotropin-releasing jumlahnya multiple maka
hormone agonist (GnRH)  miomektomi dapat meningkatkan
dapat menurunan kadar hilangnya darah.
hormon estrogen dan  Miomektomi dapat dilakukan
progesteron sehingga daapt dnegan laparoskopi, histereskopi,
menurunkan ukuran fibroid. dan laparotomi terbuka.
 GnRH agonist memblok  Miomektomi bukan solusi
pelepasan hormon LH permanen karena angka rekurensi
dan FSH sehingga miom yang tinggi.
ovarium stop berovulasi b. Embolisasi arteri uterina (UAE)
dan memproduksi  Tindakan pencabutan aliran darah
estrogen dan ukuran fibroid via arteri femoral
fibroid dapat mengecul. sehingga menyebabkan fibroid
 GnRH dapat digunakan mengecil.
untuk terapi pre-operaitf  UAE merupakan terapi radiologi
3-4 bulan sebelum invasif yang kurang invasif
pembedahan fibroid dibandingkan histerektomi dan
dilakukan untuk miomektomi, dan melibatkan
mengurangi ukuran waktu pemulihan yang lebih
insisi pada prosedur singkat dibandingkan dengan
pembedahan. prosedur lainnya. Komplikasinya
c. Alat intrauterin (IUD) adalah keram dan nyeri pelvis.
pelepas hormon progestin c. Ablasi endometrial
 yang dapat mengontrol  Penghancuran dinding uterus
perdarahan menstruasi (endometrium) dan biasanya
(menorrhagie). Mirena dapat menghentikan perdarahan
(sebuah alat intrauterin menstruansi berat.
pelepas hormon  Dapat pula digunakan untuk
levonorgestrel) telah diakui mengatasi fibroid kecil dan
oleh FDA sebagai salah satu kurang bermanfaat untuk fibroid
terapi menorrhagia. besar atau fibroid yang tumbuh
 Banyak dokter keluar dari dinding uterus interior.
merekomendasikan  Menggunakan tehnik
LNG-IUS (mirena) radiofrekuensi, pemanasan cairan
sebagai lini utama untuk dan gelombang microwave untuk
mengatasi perdarahan menghancurkan sel-sel uterus.
hebat, khususnya untuk d. Resonansi Magnetik dengan tuntunan
wanita yang akan USG
menghadapi
 Prosedur gelombang ultrasound
histerektomi.
 menghasilkan panas dan
d. Antifibrinolitik
mengablasi fibroid uterus.
 Asam traneksamat dapat e. Histerektomi
memblik sisi ikatan lisin
 Pembedahan terbuka untuk
pada molekul
membuang uterus, yang
plasminogen sehingga
merupakan solusi permanen dan26
menghambat aktivasi
menjadi pilihan jika wanita tidak
plasminogen ke plasmen
ingin hamil lagi.
dan menginduksi
D

Dikutip dari: UMM (Univeristy of Maryland Medical Centre, 2017). 25

Dalam hal uterus mioma pada pasien ini direncanakan akan dilakukan
histerektomi totalis dengan salpingooforektomi bilateral. Kebanyakan ginekolog
merekomendasikan untuk tidak melakukan ooforektomi pada wanita di bawah 40
tahun dan merekomendasikan ooforektomi pada wanita pascamenopause. ACOG
mempertimbangkan beberapa faktor jika akan mempertahankan ovarium, antara lain
usia, risiko karsinoma ovarium genetik, aterosklerosis, predisposisi osteoporosis,
risiko re-operasi setelah ovarium dipertahankan, dan isu terkait dengan kualitas

27
hidup.26 Oleh karena itu, efek bilateral ooforektomi harus diskusikan sebelum
pembedahan, berikut dengan gejala-gejala yang muncul berulang jika ovarium tidak
dibuang. Jika ooforektomi bilateral dilakukan, maka terapi hormonal harus
dilakukan dengan dosis yang adekuat tanpa adanya ketakutan eksaserbasi
penyakit.15 Selain tranfusi darah, pemberian modulator reseptor progesteron selektif
dan agonis GnRH juga perlu dipertimbangkan untuk diberikan selama fase pre-
opeative pada pasien dengan anemia. Anestesi dengan bupivakain dapat membantu
mengurangi perdarahan selama proses operatif.
Pada pasien ini, tatalaksana yang akan dilakukan adalah histerektomi totalis dan
salpingektomi bilateral dengan pertimbangan:
1. Pasien datang dengan keluhan pembesaran uterus, dan anemia berat (mioma
simtomatik).
2. Usia pasien 54 tahun dan tidak menginginkan kehamilan. Angka kemungkinan
hamil pada usia di atas 50 tahun tahun hanya sekitar 0,2%
3. Tindakan salpingoooforektomi bilateral direkomendasikan karena massa mioma
pada pasien ini multiple dan diklasifikasikan sebagai pertumbuhan mioma yang
cepat karena ukuran uterus setara dengan kehamilan 9 minggu dalam waktu
kurang lebih satu bulan kondisi hematologi pada pasien ini terkoreksi.
Pertumbuhan mioma yang cepat didefinisikan oleh Buttram dan Reiter sebagai
adanya pembesaran uterus setara kehamilan 6 minggu dalam waktu kurang dari
1 tahun. Pada wanita pascamenopause, pertumbuhan mioma yang cepat harus
dipikirkan adanya suatu keganasan, baik leiomiosarkoma atau degenerasi
sarkomatous mioma, dan adanya neoplasma ovarium yang mensekresi estrogen
sehingga merangsang pertumbuhan mioma.27,28

Histerektomi Total dengan Salpingoooforektomi Bilateral29

28
Pada kasus pasien dengan meno-metroragia, perdarahan menstruasi berat diantara siklus
menstruasi, maka tindakan histerektomi abdominal total yaitu histerektomi yang disertai
dengan salpingo-ooforektomi bilateral dapat diindikasikan. Menometroragia dapat
disebabkan oleh keganasan urogenital seperti kanker serviks, fibroid uterus,
ketidakseimbangan hormonal atau endometriosis. Jika dibiarkan maka menometroragia
dapat menimbulkan anemia. Indikasi lain yang mungkin dari histerektomi adalah
endometriosis, kista ovarium, penyakit inflamasi pelvis, kanker ovarium, kanker
serviks, dan kanker uterus. Histerektomi dapat direkomendasikan pada kasus pasien
dengan ukuran uterus yang lebih dari usia 12 minggu gestasi sebaliknya histerektomi
tidak direkomendasikan sebagai upaya profilaktif terhadap peningkatan morbiditas
terkait dengan pertumbuhan massa uterus di kemudian hari. Namun pada pasien yang
tidak lagi mempertimbangkan harapan untuk memiliki anak dimassa mendatang maka
histerektomi permanen dapat diindikasikan sebagai solusi leimioma yang menyebabkan
perdarahan, anemia, dan tekanan pelvis. Ketika mempertimbangkan histerektomi untuk
menoragia pada kasus uterus fibroid maka penyebab menoragia lain harus
dieksklusikan. Ooforektomi bilateral tidak rutin dilakukan meskipun setelah lesi dapat
dibuang maka jaringan ovarium dapat kembali normal. Efek bilateral ooforektomi harus
diskusikan sebelum pembedahan, berikut dengan gejala-gejala yang muncul berulang
jika ovarium tidak dibuang. Jika ooforektomi bilateral dilakukan, maka terapi hormonal
harus dilakukan dengan dosis yang adekuat tanpa adanya ketakutan eksaserbasi
penyakit.28
Pendekatan histerektomi bergantung pada keahlian dokter bedah, indikasi
pembedahan, jenis penyakit, karakteristik pasien, dan keputusan pasien. Setiap kasus
harus ditatalaksana secara individualistik. Semua pasien yang memerlukan histerektomi
harus ditawarkan untuk dilakukan dengan pendaketan pervaginam jika
memungkingkan, dan angka morbiditas post-operatif dan komplikasi biasanya lebih
rendah pada pendekatan pervaginam dibandingkan histerektomi terbuka. Apabila

29
histerektomi dilakukan pada kasus jinak , maka pembedahan subtotal dapat diusulkan
pada pasien yang memiliki temuan sitologikal normal dan mereka yang takut jika fungsi
seksual dapat terpengaruhi apabila servik dibuang semua. Namun tidak ada bukti yang
menyatakan bahwa histerektomi subtotal dapat menurunkan prolaps lantai dasar pelvis.
Sama halnya, tidak ada bukti yang menyatakan bahwa histerektomi total dapat
menyebabkan gangguan fungsi subtotal. 29
Komplikasi histerektomi adalah demam dan infeksi sekunder selain risiko
perdarahan dan kerusakan organ sekitar. Wanita yang menjalani histerektomi juga dapat
mengalami depresi karena ketakutan atas dispareunia, gangguan fungsi seksual,
penurunan libido, dan kekeringan vagina. Histerektomi bilateral dengan salpingo
ooforektomi direkomendasikan untuk penyakit jinak, pre-invasif, invasif dan kondisi-
kondisi akut lainnya. Setiap penyakit memiliki kondisi tertentu yang menjadi indikasi
untuk dilakukannya histerektomi salpingo-ooforektomi yaitu:
a. Penyakit jinak, dengan kondisi dan gejala sebagai berikut:30
 Leimioma, untuk fibroid simptomatik, histerektomi dapat menjadi solusi
permanen pada kasus menoragia dan gejala-gejala penekanan terkait uterus.
 Perdarahan uterin abnormal, lesi endometrial harus dieksklusikan dan pilihan
medis harus dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama.
 Endometriosis, jika histeretomi seringkali diindikasikan pada gejala yang berat
dengan kegagalan terapi lain dan ketika fertilitas tidak lagi diharapkan.
 Relaksasi pelvis, sebuah solusi pembedahan biasanya termasuk histerektomi
pervaginam, tetapi termasuk prosedur dukungan servik.
 Nyeri pelvis, sebuah pendekatan multidisipliner dengan sedikit buktu
histerektomi dapat memperbaiki nyeri pelvis. Ketika nyeri yang dimaksud
dismenorrhea atau terkait dengan penyakit pelvis maka histerektomi dapat
memberikan kelegaan.
b. Penyakit invasif

30

Histerektomi untuk terapi prosdeur penyakit dengan karsinoma endomerial. Hal
ini memegang peran penting untuk terapi kanker servikal, ovarium epitelial dan
karsinoma tuba falopi.30
c. Kondisi akut

Histerektomi diindikasikan untuk perdarahan yang tidak sembuh dengan terapi
konservatif.

Abses tuba-ovarium yang ruptur atau tidak berespons dengan antibiotika dapat
diterapi denggan histerektomi dan salpingooforektomi bilateral.

Histerektomi dapat diperlukan untuk kasus menoragia berat dan berulang serta
pasca terapi medis atau pembedahan konservatif.30
d. Indikasi lain

Pada kasus riwayat keluarga dengan kanker maka ooforektomi dapat menjadi
pilihan setelah berdiskusi dengan onkologis dan ahli genetik.30

III. KESIMPULAN
1. Wanita dengan fibroid asimptomatik harus diperiksa seksama untuk mencari bukti
adanya keganasan dan tidak diindikasikan untuk dilakukan histerektomi. Sedangkan
terapi medikamentosa untuk wanita dengan gejala simptomatik adalah pemilihan
modulator reseptor progesterone dan analog GnRH.
2. Rekomendasi terapi untuk wanita dengan leimioma uterus harus dibuat berdasarkan
gejala-gejala per individual, ukura, lokasi fibroid, usia, kebutuhan dan keinginan pasien
untuk mempertahankan fungsi fertilitas atau uterus, ketersediaan terapi, dan pengalaman
atas terapi sebelumnya.
3. Tatalaksana efektif medikamentosa untuk wanita dengan perdarahan uterus abnormal
berkaitan dengan fibroid uterus termasuk sistem levonorgestrel, (I) Gonadotropine-
releasing hormone analogues, (I) Selective progesterone receptor modulators, (I) oral
contraceptives, (II-2) progestines, (II-2) and danazol.

31
4. Pada wanita yang tidak ingin mempertahankan fungsi fertilitas dan uterusnya maka
pilihan histerektomi dengan pendekatan invasive minimal dapat ditawarkan untuk terapi
definitive pada pasien dengan gejala fibroid uterus yang simptomatik. Hal ini berkaitan
dengan peningkatan tingkat kepuasan pasien. Histeroskopi miomektomi harus pertama
kali dipertimbangkan sebagai lini pertama terapi konservatif pembedahan untuk
manajemen fibroid intrakavitas simptomatik. Rencana pembedahan untuk miomektomi
harus berdasarkan pemetaan lokasi, ukuran, dan pembuangan specimen dengan cara
pencitraan yang tepat.
5. Ketika specimen dibuang, pasien harus diinformasikan terkait kemungkinan resiko dan
komplikasi, termasuk fakta bahwa kasus fibroid yang jarang berisi keganasan yang tidak
diperkirakan dan bahwa laparoskopik dapat menyebarkan sel kanker dan berpotensi
memperparah prognosis.
6. Pada kasus ini pasien dengan keluhan perdarahan uterus abnormal dengan komplikasi
anemia berat direkomendasikan untuk ditatalaksana dengan salpingoooforektomi
bilateral (SOB) dengan pertimbangan beberapa manfaat yaitu mencegah kondisi anemia
berulang khususnya pada pasien ini yang menderita anemia berat dan usia lanjut (> 50
tahun). Selain itu untuk menghindari massa berkembang menjadi ganas maka pada
pasien yang tidak lagi mementingkan fungsi fertilitas akan lebih aman dilakukan SOB.
Adapun pasien juga perlu mendapatkan terapi hormonal pasca SOB untuk mengatasi
efek samping berupa deplesi hormone reporoduksi terutama untuk mencegah
osteoporosis akibat defisiensi hormone estrogen.

32
IV. Rujukan
1. Arif, M. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi III. Jakarta: Penerbitan Media Aesculapius FKUI.
2. Breech LL, Rock JA. Leiomyomata uteri and myomectomy. In: Rock JA, Jones HW, eds. Te Linde’s
operating gynecology. 10th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer, 2008:687-726.
3. Pratiwi L, Suparman E, Wagey F. Hubungan usia reproduksi dengan kejadian mioma uteri di RSUP. Prof.
Dr. R.D. Kandou Manado. Jurnal e-Clinic 2015(1):1; 26-30.
4. Kanthan R, Senger JL, Kanthan S. The multifaceted Granulosa Cell Tumours-Myths and Ralities: A review.
International Scholarly Research Notices 2012:1-12.
5. Flake GP, Andersen J, Dixon D. Etiology and pathogenesis of uterine leiomyomas: a review. Environ
Health. 2003;111(8):1037-49.
6. Flake GP, Andersen J, Dixon D. Etiology and Pathogenesis of Uterine Leimyomas: A review.
Environmental Health Perspectives. 2003;111(8): 1037-1050.
7. Laughlin SK, Stewart EA. Uterine leiomyomas: individualizing the approach to a heterogenous condition.
Obstet Gynecol. 2011;117(2):396-403.
8. Munro MG, Critchley HOD, Broder MS, Fraser IS. FIGO classification system (PAML_COEIN) for causes
of abnormal uterine bleeding in nongravid women of reproductive age. International Journal of
Gyneclogy and Obstetrics. 2011;113:3-13.
9. Stoelinga B, Huine J, Heymas MW, Reekers JA, Ankum WM, Hehenkamp WJK. The estimated volume of
the fibroid uterus: A comparison of ultrasound and bimanual examination versus volume at MRI or
hysterectomy. European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology 2015;184:89-96.
10. Mark AS, Hricak H, Heinrichs LW, Hendrickson MR, Winkler ML, Bachica JA, et al. Adenomyosis and
leiomyoma: differential diagnosis with MR imaging. Radiology 1987;163(2):527–9.
11. Zimmermann A, Bermuit D, Gerlinger C, Schaefers M, and Geppert K. Prevalence, symptoms, and
management of uterine fibroids: An international internet-based survey of 21.746 women. Biomedical
Central. 2012;12:1-11.
12. Lefebvre G, Vilos G, Allairi C, et al. The management of uterine leiomyomas. J Obstet Gynecol.
2003;25:395–418.
13. Hestiantoro A, Natadisastra M, Sumapraja K, Wiweko B, Pratama G, Situmorang H, dkk. Best practice on
IMPERIAL. Jakarta, 2014: 135-59.
14. Bazot M, Dara E, Rouger J, Detchev R, Cortez A, Uzans. Limitations of transvaginal sonography for the
diagnosis of adenomyosis with histopathological correlation. Ultrasound Obstet Gynecol. 2002; 20:603-
11.
15. Putra AD. Ultrasonografi ginekologi I. Edisi ke-2. Jakarta: Divisi Onkologi Departemen Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2011:25-34.
16. Ciarmela P, Ciavattini A, Giannubilo SR, Lamanna P, Fiorini R, Tranquilli AL. Management of
leiomyomas in perimenopausal women. Maturitas 2014;78:168-73.
17. Hoffman BL, Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Bradshaw KD, Cunningham FG. Pelvic mass. In:
Hoffman BL, ed. Williams Gynecology. 2nd ed. New York: Mc-Graw Hill, 2012:246-80.
18. Patel A, Malik M, Britten J, Cox J, Catherino WH. Alternative therapies in management of leiomyomas.
Fertil Steril. 2014;102(3):649-55.
19. Hanafi M. Ultrasound diagnosis of adenomyosis, leiomyoma, or combined with histopathological
correlation. J Hum Reprod Sci. 2013;6(3):189-93.
20. Rovio PH, Luukkaala T, Vuento M, Oksa S, Sundrom H, and Heinone PK. Ultrasonographic assessment
of weight of myomatous uterus: A pilot study using a new combined geometric formula. European
Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology 2008:193-197.
21. Patel, M.S. and Carson, J.L. Anemia in the preoperative patient. The Medical Clinics of North America.
2009;93(5):1095-1104.

33
22. Duhan N, Sirohriwal D. Uterine myomas revisited. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol. 2010;152:119–125.

23. Duhan, Nirmala. Current and emerging treatments for uterine myoma-an update. Internasional Journal of
Women’s Health 2011;3:231-241.
24. Vilos GA, Allaire C, Laberge PY, Leylang N. The management of uterine leimyomas. SOGC.
2015;37(2):157-178.
25. University of Maryland Medical Centre. Uterine fibroid and hysterectomy. (2017). Diakses dari
http://www.umm.edu/health/medical/reports/articles/uterine-fibroids-and-hysterectomy 26. 10
27. Parker WH. Uterine myomas: management. Fertil Steril. 2007;88(2):255-71.
28. Valle RF, Ekpo GE. Patophysiology of uterine myomas and its clinical implications. In: Tinelli A, Malvasi
A, eds. Uterine myoma, myomectomy, and minimally invasive treatments. Switzerland: Springer, 2015:1-
11.
29. KjerulffKH, LangenbergPW, Rhodes JC, Harvey LA, Guzinski GM,Stolley PD. Effectiveness of
hysterectomy. Obstet Gynecol 2000;95:319-26.
30. Lafebre G, Allaire C, Jeggey J, Vilos G. Histerectomy. JOGC. 2002;1:1-12.

34

Anda mungkin juga menyukai