MAULINDA PERMATASARI
1210015026
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2016
i
DAFTAR ISI
GAMBAR DAFTAR
LAMPIRAN BAB 1
PENDAHULUAN
2.1. Lansia
2.1.1. Definisi
2.1.2. Demografi
2.1.3. Gambaran Kesehatan
2.2. Tidur
2.2.1. Fisiologi
2.2.2. Kebutuhan Tidur
2.2.3. Pengaturan Tidur
2.3. Insomnia
2.3.1. Definisi
2.3.2. Epidemiologi
2.3.3. Klasifikasi dan Penyebab
2.3.4. Patofisiologi
2.3.5. Faktor Risiko
2.3.6. Manifestasi Klinis
2.3.7. Diagnosis
2.3.8. Diagnosis Banding
ii
2.3.9. Penatalaksanaan
2.3.10. Prognosis
DAFTAR PUSTAKA
in
DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.4. Prevalensi insomnia pada studi populasi lansia di India Utara
5
DAFTAR LAMPIRAN
3 Kuesioner
6
BAB 1
PENDAHULUAN
Indonesia termasuk lima besar negara dengan jumlah penduduk lansia terbanyak
di dunia (KEMENKES RI, 2015). Pada tahun 2014 jumlah lansia di Indonesia
mencapai 20,24 juta jiwa atau sekitar 8,03% dari seluruh penduduk Indonesia (Badan
Pusat Statistik, 2015). Hasil Sensus Penduduk di Indonesia menunjukkan bahwa
terjadi peningkatan angka usia harapan hidup yaitu tiga dekade sebelumnya dari 60
tahun menjadi 70,07 tahun pada tahun 2013. Untuk Kaltim sendiri angka usia harapan
hidup pada tahun 2013 berada di peringkat ke 5 nasional dan berada di atas rata-rata
angka usia harapan hidup Indonesia yaitu 71,78 tahun (KEMENKES RI, 2015).
Salah satu komitmen nasional yang disepakati oleh negara-negara Asia Tenggara
adalah menjadikan kesehatan lansia menjadi prioritas nasional (KEMENKES RI,
2015). Salah satu gangguan tidur terbanyak yang dikeluhkan oleh lansia yaitu
insomnia (Chiu & Tsoh, 2011). Berdasarkan penelitian National Institute on Aging di
Amerika Serikat menemukan 42% dari 9000 lansia yang berusia 65 tahun dilaporkan
mengalami kesulitan untuk memulai tidur dan mempertahankan tidur (Foley D. , et al.,
1995).
1
Penelitian di Thailand melaporkan bahwa 50% kasus insomnia terjadi pada usia
diatas 60 tahun (Sukying, Bhokakul, & Udomsubpayakul, 2003). Penelitian pada
lansia yang dilakukan di lima kota di Provinsi Shandong, China, melaporkan bahwa
pada tahun 1997, sekitar 32,9% dari 1.679 lansia mengeluhkan gejala insomnia
sedikitnya 3 kali per minggu dalam satu bulan terakhir, 22,3% diantaranya mengalami
kesulitan memulai tidur, 23,1% mengalami kesulitan mempertahankan tidur, dan 5,2
% mengeluhkan terbangun dini hari (Liu & Liu, 2005) .
Di Indonesia, data kasus insomnia belum terdata secara baik sehingga tidak ada
data pasti jumlah penderita insomnia. Namun diperkirakan, pada tahun 1997 terdapat
sekitar 21% lansia Indonesia mengalami masalah gangguan tidur (Wahyuni, Tjekyan,
& Darmayanti, 2009). Penelitian yang dilakukan di Panti Werda Dharma Bakti KM.7
Palembang pada tahun 2007 diperoleh bahwa 55% dari 40 responden lansia
mengalami kualitas tidur yang buruk. Hal ini juga serupa dengan penelitian pada
lansia yang berada di Balai Rehabilitasi Sosial “MANDIRI’ Semarang yaitu sebanyak
49 responden dari 75 responden yang berusia 60-74 tahun memiliki kualitas tidur yang
buruk (Khasanah & Hidayati, 2012). Penelitian lain yang di lakukan pada lansia di
Panti Sosial Tresna Werda Wana Seraya Denpasar, Bali tahun 2014 melaporkan
bahwa 6 dari 15 responden mengalami insomnia (Dewi & Ardani, 2014).
Beberapa studi penelitian pada populasi umum melaporkan beberapa faktor risiko
insomnia pada lansia, misalnya terdapat hubungan antara tidur siang dan kesulitan
tidur pada malam hari, dimana durasi tidur siang tampaknya menjadi faktor kunci
(Ancoli-Israel & Martin, 2006). Kafein yang dikonsumsi sebelum tidur atau
2
sepanjang hari juga dapat memperpanjang latensi onset tidur, mengurangi waktu tidur
total, mengubah tahapan tidur normal, dan menurunkan kualitas tidur (Torres, 2009).
Oleh karena itu, mengingat bahwa jumlah lansia semakin meningkat dan salah
satu prioritas nasional adalah kesehatan lansia, serta dampak negatif yang ditimbulkan
oleh insomnia, maka peneliti tertarik untuk meneliti kejadian insomnia dan faktor
risiko insomnia pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda
Periode Maret-April 2016.
1.3.1 Umum
1. Mengetahui angka kejadian insomnia di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana
Puri Samarinda.
2. Mengetahui gambaran faktor risiko terjadinya insomnia di Panti Sosial Tresna
Werdha Nirwana Puri Samarinda.
1.3.2 Khusus
1. Mengetahui gambaran usia pada lansia yang mengalami insomnia di Panti
3
Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda.
2. Mengetahui gambaran jenis kelamin pada lansia yang mengalami insomnia di
Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda.
3. Mengetahui gambaran kondisi medis umum pada lansia yang mengalami
insomnia di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda.
4. Mengetahui gambaran dukungan sosial pada lansia yang mengalami insomnia di
Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda.
5. Mengetahui gambaran kebiasaan tidur siang pada lansia yang mengalami
insomnia di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda.
6. Mengetahui gambaran konsumsi kafein pada lansia yang mengalami insomnia
di Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda.
4
1.4.3 Manfaat bagi Tempat Penelitian
1. Sebagai sumber informasi mengenai gambaran insomnia pada lansia yang
tinggal di tempat penelitian agar pihak tempat penelitian dapat menentukan
langkah selanjutnya untuk menangani kejadian tersebut.
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lansia
2.1.1. Definisi
Lanjut usia atau yang sering dikenal dengan sebutan lansia adalah masa transisi
kehidupan terakhir pada manusia. Menurut UU No.4 Tahun 1965, lansia adalah
individu yang mencapai usia 55 tahun (Sutarti, 2014). Sedangkan menurut UU No.13
Tahun 1998 menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60
tahum ke atas (KEMENKES RI, 2014).
WHO (1999) menggolongkan orang tua berdasarkan usia kronologis yaitu
middle age (45-59 tahun), elderly (60-74 tahun), lanjut usia tua (75-90 tahun), dan very
old (diatas 90 tahun) (Sutarti, 2014). Sedangkan, KEMENKES RI (2014) membagi
lansia menjadi pra lansia (45-59 tahun), lansia (60-69 tahun), dan lansia risti (>70
tahun). Sedangkan Badan Pusat Statistik (2014) membagi lansia menjadi lansia muda
(60-69 tahun), lansia madya (70-79 tahun), dan lansia tua (80 tahun ke atas).
2.1.2. Demografi
Peningkatan jumlah penduduk lansia yang berusia 60 tahun atau lebih
merupakan fenomena global. Dari Tabel 2.1. diketahui bahwa hampir setiap wilayah di
dunia mengalami peningkatan jumlah lansia dari tahun 2013 hingga tahun 2015.
Peningkatan ini akan terus meningkat seiring dengan target SDGs pada tahun 2030
untuk mencapai 1,4 milyar jiwa penduduk lansia berusia 60 tahun atau lebih di dunia
(United Nations, 2015).
6
Tabel 2.1.Jumlah Penduduk Lansia (United Nations, 2013, 2015; Badan Pusat
Statistik, 2014,
2015)
Tahun
Wilayah
2013 2015
Dunia 840.628.000 jiwa 900.906.000 jiwa
Asia 468.549.000 jiwa 507.954.000 jiwa
ASEAN 54.625.000 jiwa 59.008.000 jiwa
Indonesia 20.040.000 jiwa 21.194.000 jiwa
Laki-laki Perempuan
Laki-laki ■ Perempuan
Gambar 2.1. Piramida Penduduk Indonesia Tahun 1994 dan 2014 (Badan Pusat
Statistik,
2015)
Pada Gambar 2.1. dapat terlihat bahwa pada tahun 2014 , ujung piramida
penduduk Indonesia yaitu kelompok usia 60 tahun ke atas semakin melebar yag berarti
terjadi peningkatan penduduk lansia. Proporsi lansia di Indonesia mencapai 8,03% dari
keseluruhan penduduk. Bertambahnya jumlah penduduk lansia, peningkatan angka usia
harapan hidup dari tahun ke tahun, dan proporsi lansia diatas 7% menunjukkan bahwa
Indonesia merupakan salah satu negara dengan struktur penduduk menuju tua (ageing
population).
7
dibawah 7%. Tabel 2.2. memperlihatkan bahwa persentase penduduk lansia di
Kalimantan Timur mengalami peningkatan dari 4,03% pada tahun 2011 menjadi 4,66%
pada tahun 2013. Persentase ini masih menetap pada tahun 2014. Masing- masing
persentase kategori usia lansia mengalami naik turun setiap tahunnya. Diperkirakan
persentase ini akan terus bertambah ditahun-tahun berikutnya (Badan Pusat Statistik,
2012, 2013, 2014, 2015).
Tabel 2.2. Persentase Penduduk Lansia di Kalimantan Timur (Badan Pusat Statistik,
2012,
2013, 2014, 2015)
Tahun
Usia
2011 2012 2013 2014
60-69 tahun 2,84 % 2,80 % 3,24 % 3,20 %
70-79 tahun 0,85 % 1,00 % 1,06 % 1,11 %
80+ tahun 0,34 % 0,26 % 0,36 % 0,34 %
Total 4,03 % 4,06 % 4,66 % 4,66 %
Gambar 2.2. Piramida Penduduk Samarinda Tahun 2014 (Badan Pusat Statistik Kota
Samarinda, 2015)
8
lansia masih cukup rendah di Samarinda, tetapi seperti yang terlihat pada Tabel 2.3.
bahwa terjadi peningkatan persentase penduduk lansia dari tahun 2012 hingga tahun
2014 (Badan Pusat Statistik Kota Samarinda, 2015).
Tabel 2.3. Persentase Penduduk Samarinda Berdasarkan Kelompok
Usia (Badan Pusat
Statistik Kota Samarinda, 2015)
Tahun
Usia
2012 2013 2014
0-14 tahun 28,4 % 27,29 % 27,30 %
14- 64 tahun 69,4 % 70,28% 70,26 %
65+ tahun 2,20 % 2,43 % 2,44 %
55
50,22
54 | .*3,74
53 52 51 50 49 48 47 46 45
■ Lnki-lnk i ■ Perenipunn Laic i-lalc i+Perempiian
Gambar 2.3. Persentase Penduduk Lansia Indonesia yang Mengalami Keluhan
Kesehatan
selama Sebulan Terakhir Tahun 2012 (KEMENKES RI, 2013)
9
Gambar 2.3. memperlihatkan separuh lebih (52,12%) lansia mengalami keluhan
kesehatan selama satu bulan terakhir pada tahun 2012. Persentase lansia perempuan
yang mengalami keluhan kesehatan lebih tinggi yaitu 53,74% dibandingkan lansia laki-
laki sekitar 50,22% (KEMENKES RI, 2013).
2.2 Tidur
2.2.1 Fisiologi
Tidur adalah keadaan organisme yang teratur, berulang dan bersifat reversibel
yang ditandai oleh peningkatan ambang respons terhadap stimuli eksternal dan
organisme tersebut relatif tidak bergerak (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010). Tidur
merupakan keadaan bawah sadar seseorang tetapi masih dapat dibangunkan dengan
pemberian rangsangan dari luar, dan memiliki pengalaman kesadaran dunia internal
misalnya mimpi (Guyton & Hall, 2012; Sherwood, 2012).
Seseorang yang tidur akan mengalami dua jenis tidur yaitu tidur dengan gerakan
mata tidak cepat atau tidur gelombang lambat (Non Rapid Eye Movement; NREM) yang
terdiri dari 4 stadium, dan tidur dengan gerakan mata cepat atau tidur paradoksikal
(Rapid Eye Movement; REM) (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015; Sherwood, 2012). Kedua
jenis tidur ini akan secara siklik bergantian satu sama lain (Guyton & Hall, 2012).
Sebagian besar fungsi fisiologis menurun pada keadaan tidur NREM, seperti
denyut jantung, respirasi, dan tekanan darah cenderung rendah dibanding saat terjaga
bahkan aliran darah ke berbagai jaringan menurun (National Sleep Foundation, 2006).
Pada tahap ini tidur relatif tenang, namun gerakan tubuh yang episodik dan involunter
juga dapat ditemukan (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010). Tidur NREM sering disebut
tidur tanpa mimpi (Guyton & Hall, 2012). Tidur NREM lebih mudah dibangunkan
dibandingkan tidur REM (Sherwood, 2012).
Tidur REM ditandai oleh peningkatan aktivitas otak dan fungsi fisiologi tubuh
seperti peningkatan denyut jantung dan pernapasan yang ireguler, serta tekanan darah
yang berfluktuatif dibandingkan saat tidur NREM (National Sleep Foundation, 2006).
Guyton & Hall (2012) menyebutkan bahwa tidur REM terjadi peningkatan metabolisme
10
otak sekitar 20% , tonus otot tubuh sangat menurun, dan terjadi hambatan yang kuat
pada otot-otot perifer namun masih terdapat gerakan otot yang tak teratur terutama
pergerakan mata yang cepat. Tidur REM sulit dibangunkan tetapi cenderung bangun
sendiri (Sherwood, 2012).
Hingga kini fungsi tidur masih belum jelas, namun sebagian besar peneliti
menyimpulkan bahwa tidur berfungsi restoratif, fungsi homeostatik, termoregulasi dan
cadangan energi (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015). Guyton & Hall (2012) menyebutkan
bahwa memulihkan keseimbangan antara pusat-pusat neuron merupakan nilai utama
dari tidur.
11
REM-on (sublaterodorsal region dan precoeruleus area) dan REM- off (ventrolateral
periaqueductal grey matter dan daerah lateral tegmentum pontin) yang bekerja saling
menghambat seperti saklar listrik (Riemann, et al., 2015).
Pada penelitian hewan coba, substansi transmiter lain yang mungkin berkaitan
dengan tidur yaitu muramilpeptida merupakan suatu substansi dengan berat molekul
rendah yang menumpuk di cairan serebropinal dan urin pada hewan yang terjaga selama
beberapa hari. Bila substansi ini disuntikkan ke ventrikel ketiga otak hewan lain dapat
menyebabkan hewan tersebut tertidur dalam beberapa jam (Guyton & Hall, 2012). Dua
senyawa lain yang berperan dalam siklus tidur-bangun yaitu melatonin dan adenosin
(Riemann, et al., 2015). Siklus gelap terang memengaruhi sekresi melantonin yaitu pada
12
saat cahaya masuk ke retina, maka neuron fotoreseptor nukleus suprakiasmatik akan
teraktivasi. Nukleus suprakiasmatik di hipotalamus akan merangsang kelenjar pineal
untuk mensekresikan melatonin yang menimbulkan rasa lelah (Galimi, 2010).
Neuropeptida lain yaitu adenosin telah teridentifikasi sebagai promotor tidur dan
memengaruhi jumlah waktu terjaga seseorang (Riemann, et al., 2015).
2.3 Insomnia
2.3.1 Definisi
Insomnia adalah keadaan sulit untuk jatuh tertidur, sulit mempertahankan tidur,
dan bangun tidur yang terlalu dini (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015). Menurut National
Sleep Foundation (2006), insomnia merupakan suatu gangguan tidur yang ditandai oleh
kesulitan untuk tidur atau tetap tidur dalam waktu yang wajar, maupun keadaan bangun
tidur yang tidak segar atau kualitas tidur yang buruk.
Menurut The International Classification of Sleep Disorders-3 (ICSD-3),
insomnia adalah kesulitan berulang dalam inisiasi tidur, durasi tidur, konsolidasi, atau
kualitas tidur yang sebenarnya memiliki kesempatan adekuat untuk tidur, dan
menimbulkan beberapa gejala di siang hari (Spriggs, 2014).
Pendapat lain menyatakan bahwa insomnia setidaknya terdiri dari satu gejala
tidur dan satu gejala bangun. Gejala tidur meliputi sulit memulai tidur, sulit
mempertahankan tidur, bangun terlalu dini, dan bangun tidur yang tidak segar.
Sedangkan gejala bangun meliputi rasa kantuk, lelah, gangguan kognitif, gangguan
mood, gangguan pekerjaan atau gangguan sosial (Lichstein, Taylor, McCrae, & Ruiter,
2011).
2.3.2 Epidemiologi
Menurut American Academy of Sleep Medicine (2008), sekitar 30% orang
dewasa memiliki gejala insomnia, 10% orang dewasa mengalami insomnia yang cukup
parah hingga mempengaruhi rutinitas harian, dan 10% orang dewasa mengalami
insomnia kronik. Sekitar 15%-25% dari kasus insomnia kronik merupakan insomnia
primer (American Psychiatric Association, 2000).
Pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-V (DSM-V)
13
tertulis bahwa prevalensi insomnia pada populasi dunia menunjukkan bahwa sekitar
sepertiga dari orang dewasa melaporkan gejala insomnia, 10%-15% insomnia berkaitan
dengan gangguan jam harian, dan 6%-10% memiliki gejala yang memenuhi kriteria
insomnia (American Psychiatric Association, 2013).
Peningkatan prevalensi insomnia berhubungan dengan bertambahnya usia, yaitu
hampir 50% pada individu yang berusia 65 tahun atau lebih tua (Ohayon, 2002).
Berdasarkan penelitian National Institute on Aging di Amerika Serikat menemukan
42% dari 9000 lansia yang berusia 65 tahun dilaporkan mengalami kesulitan untuk
memulai tidur dan mempertahankan tidur (Foley D. , et al., 1995).
Penelitian pada lansia yang dilakukan di lima kota di Provinsi Shandong, China,
melaporkan bahwa pada tahun 1997, sekitar 32,9 % dari 1.679 lansia mengeluhkan
gejala insomnia sedikitnya 3 kali per minggu dalam satu bulan terakhir,
22,3 % diantaranya mengalami kesulitan memulai tidur, 23,1% mengalami kesulitan
mempertahankan tidur, dan 5,2 % mengeluhkan terbangun dini hari (Liu & Liu, 2005).
Salah satu penelitian di Malaysia pada 2075 responden dewasa di pelayanan kesehatan
primer, didapatkan 60% responden memiliki setidaknya satu gejala insomnia, dengan
38,9% kasus merupakan insomnia derajat 1, 30,7% kasus insomnia derajat 2, dan 28,6%
kasus insomnia derajat 3. Di antara semua responden hanya 6,3% dan di antara mereka
dengan insomnia hanya 14,2% yang mendiskusikan gangguan tidur tersebut kepada
dokter (Zailinawati, Mazza, & Teng, 2012).
Penelitian di Thailand melaporkan bahwa 50% kasus insomnia terjadi pada usia
diatas 60 tahun (Sukying, Bhokakul, & Udomsubpayakul, 2003). Insomnia dapat terjadi
pada lansia yang sebelumnya tidak pernah mengalami insomnia dengan angka kejadian
sekitar 5 % (Foley, et al., 1999).
Di Indonesia, data kasus insomnia belum terdata secara baik sehingga tidak ada
data pasti jumlah penderita insomnia. Pada tahun 1997, sekitar 21% lansia Indonesia
mengalami masalah gangguan tidur (Wahyuni, Tjekyan, & Darmayanti, 2009).
Penelitian yang dilakukan di Panti Werda Dharma Bakti KM.7 Palembang pada tahun
2007 diperoleh bahwa 55% dari 40 responden lansia mengalami kualitas tidur yang
buruk. Hal ini juga serupa dengan penelitian pada lansia yang berada di Balai
14
Rehabilitasi Sosial “MANDIRI’ Semarang yaitu sebanyak 49 responden dari 75
responden yang berusia 60-74 tahun memiliki kualitas tidur yang buruk (Khasanah &
Hidayati, 2012). Penelitian lain yang di lakukan pada lansia di Panti Sosial Tresna
Werda Wana Seraya Denpasar, Bali tahun 2014 melaporkan bahwa 6 dari 15 responden
mengalami insomnia (Dewi & Ardani, 2014).
Insomnia lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki dengan
perbandingan 1,4:1 (American Psychiatric Association, 2013). Perbedaan ini akan
semakin terlihat jelas setelah usia 45 tahun yaitu rasio perempuan dibanding laki-laki
sekitar 1,7:1 (Riemann, et al., 2015). Meskipun prevalensi insomnia lebih tinggi pada
perempuan, studi polisomnografik menduga bahwa kontinuitas tidur dan tidur
gelombang lambat pada perempuan dewasa lebih baik daripada laki-laki dewasa
(American Psychiatric Association, 2013).
Survei menunjukkan sekitar 3 % dari populasi memiliki gejala insomnia yang
disebabkan oleh kondisi medis atau kejiwaan (American Academy of Sleep Medicine,
2008). Hal ini juga dinyatakan dalam DSM-V bahwa sekitar 40%-50% dari kasus
insomnia merupakan komorbid dengan gangguan mental lainnya (American Psychiatric
Association, 2013).
Gambar 2.4. Prevalensi insomnia pada studi populasi lansia di India Utara
(Gambhir, Chakrabarti, Sharma, & Saran, 2014)
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Gambhir, Chakrabarti, Sharma, & Saran
(2014) melaporkan bahwa 32% dari 504 lansia yang diteliti mengalami gangguan tidur.
15
Gambar 2.4. menjelaskan hasil penelitian tersebut bahwa persentase terbanyak adalah
early insomnia, diikuti oleh late insomnia, middle insomnia, dan hipersomnolen.
2.3.3 Klasifikasi dan Penyebab
Insomnia terbagi menjadi dua jenis, yaitu insomnia primer dan insomnia
sekunder. Insomnia primer adalah insomnia yang terjadi tidak berkaitan dengan adanya
gangguan medik atau gangguan mental lainnya (American Academy of Sleep Medicine,
2008). Sedangkan, insomnia sekunder terjadi karena adanya gangguan medik atau
gangguan mental lainnya maupun lingkungan (American Academy of Sleep Medicine,
2008). Insomnia primer maupun sekunder terdiri dari beberapa jenis insomnia seperti
yang terlihat pada Tabel 2.5.
Tabel 2.5. Jenis-Jenis Insomnia (Compton, 2014)
Primary or
Type Alternate name Secondary Description
Adjustment Secondary
insomnia
Acute insomnia characterized by a change from the patient's normal sleep
pattern caused by a stressor in the person’s life. This condition can lead to
psychophysiologic insomnia.
Psychophysiologic Learned insomnia, Secondary Chronic condition characterized by the patient ruminating about not
insomnia conditioned insomnia, sleeping.
chronic insomnia
Paradoxical Sleep state misperception, Secondary
insomnia subjective insomnia,
pseudoinsomnia
Chronic insomnia in which the patient complains that he or she is sleeping
very little or not at all; however, despite this perception of sleeplessness, a
PSG often demonstrates normal sleeping patterns and an actigraphy study
may indicate sleep during the time the person states he or she was awake.
Idiopathic Childhood-onset Primary
insomnia insomnia
A rare, chronic, lifelong insomnia. Onset occurs during infancy or
childhood with no identifiable cause; patient is unable to initiate or maintain
adequate sleep in his or her entire lifetime.
Fatal familial insomnia Primary Extremely rare, neurologic disorder with onset in adulthood that ends in
death on average 18 months after onset. It is characterized by progressively
severe insomnia with sleep deprivation symptoms of panic attacks, phobias,
paranoia, hallucination, and dementia.
Inadequate sleep hygiene Secondary Caused by a person voluntarily avoiding sleep and is the most common
insomnia in the general population.
16
jadwal seharusnya untuk bangun disertai ketidakmampuan untuk tidur kembali
setelahnya. Kesulitan mempertahankan tidur merupakan gejala tunggal paling sering
dari insomnia, diikuti dengan kesulitan untuk memulai tidur, sedangkan kombinasi
gejala tersebut tersebut merupakan presentasi yang paling umum secara keseluruhan
(American Psychiatric Association, 2013).
2.3.4 Patofisiologi
Secara khusus, pasien insomnia mengalami penghambatan saat peralihan dari
keadaan terjaga ke keadaan tidur pada beberapa daerah otak yaitu ascending reticular
activating system, hypothalamus, thalamus, amygdala, hippocampus, insula, dan
anterior cingulate dan pre frontal cortices. Penemuan ini menunjukkan bahwa aktivitas
yang berlebihan dari arousal, regulasi emosi, dan sistem kognitif terlibat dalam
patofisiologi insomnia (Riemann, et al., 2015)
Penelitian lain dengan pendekatan cross-sectional case-control telah melakukan
penyelidikan terhadap hypothalamic-pituitary-adrenal axis (dengan kortisol sebagai
stress response hormone yang utama) dan aktivitas saraf otonom sebagai pemicu
terjadinya peningkatan arousal. Sebagian besar hasil penelitian menunjukkan aktivitas
yang berlebihan pada sistem ini terjadi pada kasus insomnia (Riemann, et al., 2015).
Hyperarousal pada insomnia menyebabkan berbagai manifestasi yaitu
meningkatnya metabolisme tubuh selama tidur NREM tahap 2, peningkatan kortisol,
peningkatan konsumsi glukosa otak selama tidur-bangun, dan peningkatan tekanan
darah dan frekuensi tinggi EEG selama tidur (Bonnet & Arand, 2012). Salah satu
penelitian metaanalisis menunjukkan bahwa sebagian besar pasien insomnia tidur 25
menit lebih sedikit daripada individu petidur baik (Riemann, et al., 2015).
Beberapa penelitian cross-sectional menggunakan MRI menunjukkan terjadinya
pengurangan grey matter pada lobus frontalis dan pengurangan integritas white matter
tracts di kapsula interna anterior pada pasien insomnia. Studi lainnya menunjukkan
bahwa volume hipokampus berkurang pada pasien insomnia . Beberapa penelitian
selanjutnya juga melaporkan bahwa pada pasien insomnia mengalami peningkatan
volume anterior cingulate gyrus dan penurunan volume kelenjar pineal. Secara
17
keseluruhan dari penelitian-penelitian tersebut masih belum direplikasikan pada
penelitian lainnya, sehingga menghasilkan temuan yang tidak konsisten (Riemann, et
al., 2015).
Usia merupakan salah satu faktor paling berperan dalam timbulnya insomnia
(Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010). Pola tidur-bangun berubah pada tiap
tahap kehidupan manusia (Amir, 2007). Hampir semua studi epidemiologi melaporkan
terjadinya peningkatan prevalensi insomnia seiring bertambahnya usia. Kejadian
insomnia tinggi pada usia dewasa pertengahan dan lansia (American Academy of
Insomnia Medicine, 2008). Peningkatan kejadian insomnia pada lansia berhubungan
dengan perubahan sistem regulasi dan fisiologis tubuh yang berperan dalam arsitektur
tidur dan irama sirkadian (Chiu & Tsoh, 2011)
18
bahwa penuaan berhubungan dengan penurunan risiko insomnia pada lansia di Taiwan
Utara. Tsou berpendapat bahwa penelitiannya sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Foley (1999) yang meneliti 6800 lansia menyatakan bahwa penuaan tidak
bertanggung jawab atas insiden insomnia. Berdasarkan survei National Sleep
Foundation tahun 2003 bahwa penuaan tidak berhubungan dengan kesulitan tidur
(Foley, Ancoli-Israel, Britz, & Walsh, 2004). Penelitian lain juga menyatakan bahwa
usia tidak berkontribusi dalam terjadinya insomnia pada lansia yang sehat (Ohayon,
Zulley, Guilleminault, Smime, & Priest, 2001).
2.3.5.2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin juga memiliki efek yang kuat terhadap prevalensi insomnia
(Riemann, et al., 2015). Insomnia lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan
laki-laki dengan perbandingan 1,4:1 (American Psychiatric Association, 2013).
Perbedaan ini akan semakin terlihat jelas setelah usia 45 tahun yaitu rasio perempuan
dibanding laki-laki sekitar 1,7:1 (Riemann, et al., 2015). Meskipun prevalensi insomnia
lebih tinggi pada perempuan, studi polisomnografik menduga bahwa kontinuitas tidur
dan tidur gelombang lambat pada perempuan dewasa lebih baik daripada laki-laki
dewasa (American Psychiatric Association, 2013).
Onset pertama insomnia pada perempuan sering dikaitkan dengan kelahiran
anak baru ataupun dengan menopause (American Psychiatric Association, 2013). Pada
fase premenopause terjadi peningkatan keterjagaan, terutama pada saat kedua hormon
reproduksi yaitu estrogen dan progesteron mengalami penurunan. Estrogen berperan
dalam metabolisme norepinefrin, serotonin (5 HT), dan asetilkolin yang masing-masing
substansi tersebut berperan dalam siklus tidur-bangun. Estrogen terbukti menurunkan
latensi tidur, mengurangi jumlah terbangun setelah onset tidur, dan meningkatkan waktu
tidur total. Estrogen juga berperan dalam pengaturan suhu di dalam tubuh. Efek yang
ditimbulkan saat kadar estrogen rendah adalah hot flashes yang berkaitan dengan
peningkatan keterjagaan pada saat menopause. Estrogen mungkin memiliki dampak
secara langsung pada mood melalui reseptor sistem saraf pusat sebagai antidepresan
(Eichling & Sahni, 2005).
Pemberian progesteron secara intravena memberikan efek sedatif,
19
merangsang reseptor benzodiazepin yang pada gilirannya merangsang tidur NREM.
Penurunan progesteron saat menopause menyebabkan kesulitan tidur dan meningkatkan
keterjagaan (Eichling & Sahni, 2005).
2.3.5.3. Kondisi Medis Umum
Insomnia juga bisa disebabkan oleh penyakit fisik yang disebut sebagai
insomnia sekunder yang telah dijelaskan pada bagian klasifikasi sebelumnya. Taylor, et
al. (2007) melaporkan bahwa individu dengan masalah kesehatan kronik meningkatkan
risiko terjadinya insomnia. Ohayon (2002) menyatakan bahwa banyak penderita
insomnia melaporkan menderita penyakit fisik yaitu artritis, penyakit jantung, stroke,
gangguan pernapasan, dan nyeri tulang belakang serta penyakit kronik lainnya.
20
terjadi pada kondisi dimana lansia harus tinggal di panti sosial oleh sebab keluarga tak
mampu mengurus, maupun masalah ekonomi. Mishra (2004) melaporkan bahwa lansia
yang tinggal di suatu institusi merasa tidak puas, dan kesepian karena terpisah dari
keluarga dan komunitas luas. Rasa kesepian ini juga berkaitan dengan kurangnya
dukungan sosial yang mereka terima. Rasa kesepian memiliki hubungan dengan kualitas
tidur yang buruk. Sering berhubungan dengan keluarga atau kerabat dapat mengurangi
rasa kesepian, sehingga mengurangi kemungkinan gangguan tidur (Ailshire & Burgard,
2012).
21
tempat yang diisi, tiap tempat yang diisi mendapat skor 1, sedangkan tidak terisi
mendapat skor 0. Seluruh jawaban SSQN dijumlahkan lalu dibagi 27. Sedangkan,
komponen SSQS responden diminta untuk menggambarkan kepuasan yang diterimanya
pada komponen SSQN. Pilihan jawaban berupa skala likert yaitu sangat puas, cukup
puas, agak puas, agak tidak puas, cukup tidak puas, dan sangat tidak puas. Seluruh
jawaban SSQS dijumlahkan lalu dibagi 27. Nilai akhir didapatkan dari hasil
penjumlahan skor akhir SSQN dan SSQS, dengan nilai tertinggi 15. Semakin tinggi
nilai akhir maka semakin baik dukungan sosial yang didapatkan seseorang (Sarason,
Levine, Basham, & et al., 1983).
Pengaruh tidur siang terhadap tidur malam hari masih kontroversial. Beberapa studi
penelitian pada populasi umum melaporkan adanya hubungan antara tidur siang dan
kesulitan tidur pada malam hari, dimana durasi tidur siang tampaknya menjadi faktor
kunci. Durasi tidur yang lama di duga menyebabkan seseorang sering terbangun malam
hari. Tidur siang yang terlalu sore diduga akan memengaruhi pola tidur malam dan
membuat sulit tertidur (Ancoli-Israel & Martin, 2006).
Tidur siang menjelang sore dalam waktu satu jam memiliki dampak negatif pada
tidur malam hari yaitu terjadi penurunan waktu tidur total, efisiensi tidur, dan terbangun
malam hari. Lansia yang tidur pada sore hari atau menjelang malam akan mengalami
terbangun malam hari (Ancoli-Israel & Martin, 2006). Tidur siang lebih dari 20 menit
dapat menimbulkan sleep inertia yaitu perasaan pening dan disorientasi yang
berlangsung beberapa menit hingga setengah jam (National Sleep Foundation,
Napping).
Namun, beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa tidur siang tidak selalu
berdampak negatif pada arsitektur tidur di malam hari (Ancoli-Israel & Martin, 2006).
Tidur singkat kurang dari 20 menit dilaporkan memiliki efek positif pada kewaspadaan,
memperbaiki mood, meningkatkan kinerja, dan mengurangi kecelakaan (National Sleep
22
Foundation, 2006). Brooks & Lack (2006) melaporkan bahwa tidur siang selama 10
menit paling efektif untuk mendapatkan manfaat seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya.
2. Konsumsi Kafein
Pada manusia, kafein merupakan stimulan pada sistem saraf pusat yang memiliki
efek sementara untuk menangkal rasa kantuk dan memulihkan kewaspadaan. Kafein
merupakan zat psikoaktif yang paling banyak dikonsumsi dunia diperkirakan sekitar
120.000 ton/ tahun (Torres, 2009). Kopi dan teh merupakan jenis minuman berkafein
yang paling sering dikonsumsi (Youngberg, Karpov, Begley, Pollock, & Buysee, 2011).
Kafein bekerja dengan cara berikatan sementara pada reseptor adenosin mencegah
ikatan adenosin (zat sedatif alami yang membuat rasa kantuk) dengan reseptornya di
otak (Schardt, 2012). Selain itu, kafein juga meningkatkan produksi adrenalin (Belenky,
2001).
Pada umumnya orang\ tidak menyadari seberapa banyak kafein dapat memengaruhi
tidur mereka (Schardt, 2012). Efek kafein terhadap tidur ditentukan oleh berbagai faktor
yaitu dosis, waktu konsumsi kafein, dan perbedaan individu dalam sensitivitas maupun
toleransi terhadap kafein. Kafein yang dikonsumsi dalam dosis lebih besar lebih mudah
menimbulkan gangguan tidur. Kafein yang dikonsumsi sebelum tidur atau sepanjang
hari dapat memperpanjang latensi onset tidur, mengurangi waktu tidur total, mengubah
tahapan tidur normal, dan menurunkan kualitas tidur (Torres, 2009). Rutin
mengonsumsi kafein akan membuat seseorang toleransi sehingga diperlukan kafein
yang lebih banyak untuk menghasilkan efek yang diingankan. Hal ini menjadi lingkaran
setan bagi orang tersebut, karena efek kafein terhadap tidur juga akan semakin
meningkat sehingga gangguan tidur lebih mudah muncul (Schardt, 2012).
23
dianggap asupan kafein berlebihan. Efek kafein dapat dirasakan setelah 15 menit
dikonsumsi. Di dalam tubuh, kafein dapat bertahan beberapa jam dan dibutuhkan waktu
sekitar 6 jam untuk mengeliminasi kafein dari tubuh (Belenky, 2001). Penelitian
terdahulu oleh Landolt, Werth, Borbely, & Dijk (1995) melaporkan bahwa konsumsi
kafein sebanyak 200 mg pada pagi hari atau sekitar 16 jam sebelum tidur memberikan
efek minimal pada parameter tidur.
24
bila hasil anamnesis telah memenuhi kriteria tertentu, seperti yang termuat pada Tabel
2.6.
Tabel 2.6. Kriteria Diagnostik Insomnia (American Psychiatric Association, 2013)
Diagnostic Criteria 780.52 (G47.00)
A. A predominant complaint of dissatisfaction with sleep quantity or quality, associated with one (or
more) of the following symptoms;
1 Difficulty initiating sleep (In chrfdren, this may manifest as difficulty initiating sleep without
caregiver intervention.)
2 Difficulty maintaining sleep, characterized by frequent awakenings or problems returning to
sleep after awakenings. (In children, this may manifest as drflicufty returning to sieep
without caregiver intervention.)
3 Earty-moming awakening with inability to return to sleep.
B. The sleep disturbance causes clinicaiy significant distress or impairment m social, occupational,
educational, academic, behavioral, or other important areas of functioning,
C. The sleep ctfficulty occurs at least 3 nights per week.
D. The sleep ctfficulty is present for at least 3 months
E. The sleep ctfficulty occurs despite adequate opportunity for sleep.
F. The insomnia Is not better explained by and does not occur exclusively during the course of
another sleep-wake disorder (e g . narcolepsy, a breaming-related sleep disorder, a circadian
rhythm sleep-wake disorder, a parasomnia).
G The insomnia is not attributable to the physiological effects of a substance (e g., a drug of abuse, a
medication).
H. Coexisting mental disorders and mectcal conditions do not adequately explain the predominant
complaint of insomnia.
Specif/ if;
With non-sleep disorder mental comorbidity, including substance use disorders With other medical
comorbidity With other sleep disorder
Specify if;
Episodic: Symptoms last at least 1 month but less than 3 months.
Persistent: Symptoms last 3 months or longer.
Recurrent: Two (or more) episodes within the space of 1 year Note: Acute and short-term insomnia
(i.e , symptoms lasting less than 3 months but otherwise meeting all criteria with regard to frequency,
intensity, distress, anchor impairment) should be coded as an other specified insomnia disorder.
25
Kuesioner ini pertama kali disusun oleh Morin pada tahun 1993 dengan nama Sleep
Impaiment Index. Namun, berkembangnya waktu banyak penelitian yang menguji
validitas dan reliabilitas kuesioner ini untuk mendiagnosis insomnia. Aspek tidur yang
dinilai adalah tingkat keparahan masalah susah tertidur, tetap tidur, dan bangun dini
hari, ketidakpuasan dengan pola tidur, mengganggu aktivitas harian, seberapa terlihat
masalah tidur yang dirasakan, dan distres yang muncul akibat gangguan tidur. Setiap
pertanyaan memiliki jawaban skala likert yaitu, skor 0 : tidak ada masalah, skor 1 :
ringan, skor 2 : sedang, skor 3 : parah, skor 4 dan: sangat parah. Total skor ISI dapat di
interpretasikan menjadi empat pilihan yaitu tidak mengalami insomnia (0-7), insomnia
ringan (15-21), insomnia parah (22-28) (Morin, LeBlanc, Daley, Gregoire, & &
Merette, 2006).
26
adalah adanya gerakan kaki dan adanya rasa kesemutan pada kaki saat tidur.
27
Gangguan tidur narkolepsi juga bisa menyebabkan kesulitan tidur namun gejala siang
hari berupa ngantuk berlebihan hingga tiba-tiba bisa tertidur, katapleksi, sleep paralysis,
dan halusinasi. Sedangkan pada parasomnia ditandai dengan keluhan perilaku atau
kejadian yang tidak biasa saat tidur yang dapat menyebabkan seseorang sering
terbangun dan sulit untuk tidur kembali(American Psychiatric Association, 2013).
2.3.9 Penatalaksanaan
2.3.9.I. Non Farmakologi
Penatalaksanaan insomnia secara non farmakologi yaitu dengan
menggunakan terapi kognitif perilaku (Cognitive-behavioral therapy/CBT). CBT
merupakan kombinasi teknik perilaku dan kognitif untuk mengatasi disfungsi perilaku
tidur, mispersepsi, distorsi, dan pikiran mengganggu tentang tidur (Sadock, Sadock, &
Ruiz, 2015). Seperti yang terlihat pada Tabel 2.7. CBT terdiri dari sleep restriction,
stimulus control, cognitive therapy, relaxation therapy, dan sleep hygiene (Winkelman,
2015). CBT dianggap sebagai lini pertama untuk pasien insomnia, maupun kasus
komorbid insomnia dengan diagnosis lain (Schutte-Rodin, et al, 2008; Edinger, et al,
2009). Biasanya terapi ini disampaikan selama enam sampai delapan kali pertemuan
(Winkelman, 2015).
28
Medication Dose in Adults Half-Life Most Common Side Effects
2.3.9.2. Farmakologi
Selama bertahun-tahun, benzodiazepin merupakan obat yang paling sering
digunakan untuk mengobati insomnia (Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015). Tabel 2.8.
memperlihatkan beberapa jenis obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi
insomnia. Penggunaan obat-obatan ini biasanya jangka pendek untuk golongan
hipnotik, dan untuk terapi jangka panjang untuk golongan melatonin agonis, golongan
benzodiazepine-receptor agonist modulator non benzodiapine (misalnya eszopiclone)
(Sadock, Sadock, & Ruiz, 2015).
Tabel 2.8. Obat-obatan yang digunakan pada insomnia (Winkelman, 2015)
29
Angka morbiditas dan mortalitas pada penderita penyakit jantung dan kanker
lebih tinggi pada individu yang lebih dari 9 jam atau kurang dari 6 jam per hari
dibandingkan dengan seseorang yang lama tidurnya antara 7-8 jam per hari (Amir,
2007). Di Amerika Serikat, insomnia mengakibatkan sekitar 80 juta lansia mengalami
kecelakaan dengan biaya pengobatan dan perawatan sekitar 100 juta dolar per tahun
(Galimi, 2010).
2.3.11 Prognosis
Pada dasarnya prognosis insomnia baik bila penanganannya tepat
(KEMENKES RI, 2013)
BAB 3
KERANGKA KONSEP
Faktor Risiko
BAB 4
METODE PENELITIAN
31
N x Za2 x P x Q n _ (N - 1) x d2 +
Za2 x P x Q
N = jumlah populasi di PSTW Nirwana Puri Samarinda = 117 orang Za = nilai distribusi normal
baku a = 0,05 yaitu 1,96 P = prevalensi kasus dari pustaka (%), 50% = 0,5 (Ohayon, 2002)
d = kesalahan absolut yang dapat ditolerir oleh peneliti, yaitu 10% = 0,1
Dari perhitungan diatas maka didapatkan besar sampel minimal dibulatkan menjadi 53
subjek penelitian.
32
4.4.2 Data Sekunder
Data sekunder pada penelitian ini berupa profil lansia dan rekam medik yang berada di
Panti Sosial Tresna Werdha Nirwana Puri Samarinda yang didapatkan dari instansi yang terkait.
Kuesioner MMSE digunakan untuk menyingkirkan kriteria eksklusi yang terdiri atas 11
pertanyaan dengan skor yang telah ditetapkan untuk setiap pertanyaan. Hasil kuesioner tersebut
dapat di interpretasikan menjadi tiga pilihan yaitu, normal (skor 27-30), curiga demensia (skor 22-
26), dan definitif demensia (skor <21) (Kaplan, Sadock, & Grebb, 2010). Kuesioner ISI
merupakan kuesioner yang digunakan untuk pengukuran tingkat insomnia seseorang. Kuesioner
ini terdiri atas 7 pertanyaan yang bersifat negatif tentang tidur seseorang dengan kriteria sebagai
berikut, skor 0 : tidak ada masalah, skor 1 : ringan, skor 2 : sedang, skor 3 : parah, skor 4 dan:
sangat parah . Total skor insomnia dapat di interpretasikan menjadi empat pilihan yaitu tidak
mengalami insomnia (0-7), insomnia ringan (15-21), insomnia parah (22-28) ) (Morin, LeBlanc,
Daley, Gregoire, & & Merette, 2006). Kuesioner SSQ digunakan untuk menilai dukungan sosial.
Kuesioner ini terdiri dari 27 pertanyaan dalam 2 bentuk pertanyaan yakni social questionnaires
number (SSQN) dan social questionnaire satisfaction (SSQS). Nilai akhir didapatkan dari hasil
penjumlahan skor akhir SSQN dan SSQS, dengan nilai tertinggi 15. Semakin tinggi nilai akhir
maka semakin baik dukungan sosial yang didapatkan seseorang (Sarason, Levine, Basham, & et
al., 1983). Kuesioner adaptasi dari penelitian Hermana (2009) dan Suhartini (2014) yang
sebelumnya telah dimodifikasi terlebih dahulu oleh peneliti terdiri atas 11 pertanyaan. Setiap
33
pertanyaan kuesioner akan dibimbing dan diarahkan oleh peneliti untuk memperoleh informasi
yang berkaitan dengan faktor risiko insomnia.
4.6.1 Insomnia
Insomnia adalah ketidakpuasan terhadap kuantitas dan kualitas tidur yang ditandai dengan
salah satu atau lebih dari tiga gejala dasar yaitu kesulitan untuk memulai tidur, kesulitan
mempertahankan tidur sehingga sering terbangun ataupun sulit untuk tidur kembali, dan bangun
tidur yang terlalu dini disertai dengan kesulitan untuk tidur kembali berdasarkan hasil kuesioner
Insomnia Severity Index.
Kriteria Objektif:
Lanjut Usia adalah individu yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun keatas
(Republik Indonesia, 1998).
4.6.3 Usia
Usia adalah lama hidup pasien berdasarkan keterangan saat wawancara dan data profil dari
instansi terkait.
Kriteria Objektif:
34
Skala ukur yang digunakan adalah rasio.
Kriteria Objektif:
1. Laki-laki
2. Perempuan
Kriteria Objektif:
1. Ada
2. Tidak Ada
Skala ukur yang digunakan adalah nominal.
Dukungan sosial adalah rasa nyaman, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diberikan
orang lain kepada lansia berdasarkan hasil kuesioner Social Support Questionnaire.
Kriteria Objektif:
35
4.6.7 Tidur Siang
Tidur siang adalah kebiasaan tidur sejenak pada siang hari dalam satu hari. Kriteria
36
4.9 Jadwal Kegiatan
37
4.10 Alur Penelitian
38
39
DAFTAR PUSTAKA
Amir, N. (2007). Gangguan Tidur pada Lanjut Usia Diagnosis dan Penatalaksanaan. Cermin Dunia Kedokteran(157), 196-206.
Ancoli-Israel, S., & Ayalon, L. (2006). Diagnosis and treatment of sleep disorders in older adults. Am J Geriatr Psychiatry, XIV, 95-
103.
Association, A. P. (2000). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (4 ed.). Washington DC.
Association, A. P. (2000). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (text revision). Washington DC:
Author.
Association, A. P. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (5th ed.). Washington DC: American
Psychiatric Publishing.
Belenky, G. (2001). Caffeine and Sleep. Dipetik January 20, 2016, dari National Sleep Foundation: https://sleepfoundation.org/sleep-
topics/caffeine-and-sleep
Bonnet, M., & Arand, D. (2012). Hyperarousal and insomnia a puzzle and a resolution. Psychol Bull, CXXXVIII(138), 77-101.
Brooks, A., & Lack, L. (2006). A Brief Afternoon Nap Following Nocturnal Sleep Restriction:
Which Nap Duration is Most Recuperative? Sleep, XXIX(6), 831-840. Diambil kembali dari
http://journalsleep.org/Articles/290616.pdf
Budijanto, D. (2015). Populasi, Sampling, dan Besar Sampel. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Dipetik February 10, 2016,
dari http://www.risbinkes.litbang.depkes.go.id/2015/wp- content/uploads/2013/02/SAMPLING-DAN-BESAR-SAMPEL.pdf
Bumb, J., Schilling, C., Enning, F., & al, e. (2014). Pineal gland volume in primary insomnia and healthy controls: a magnetic resonance imaging
Cacioppo, J. T., Hawkley, L. C., Berntson, G. G., Ernst, J. M., Gibbs, A. C., Stickgold, R., &
Hobson, J. A. (2002). Do Lonely Days Invade the Nights? Potential Social Modulation of Sleep Efficiency. Psychological
Science, XIII, 384-387.
Cacioppo, J. T., Hawkley, L. C., Crawford, L. E., Ernst, J. M., Burleson, M. H., Kowalewsk, R. B., . . . Berntson, G. G. (2002). Loneliness and
Chiu, H., & Tsoh, J. (2011). Sleep and Ageing: Disorders and Management. Dalam M. T.
Abou-Saleh, C. Katona, & A. Kumar (Penyunt.), Principles and Practice of Geriatric Psychiatry (3rd ed., hal. 700-
704). UK: John Wiley & Sons.
Compton, J. (2014). Classification of Sleep Disorders. Dalam B. Robertson, B. M. Marshall, & M.-A. Car, Polysomnography for the
40
Sleep Technologist (hal. 20-27). St. Louis: Elsevier Health Sciences. Dipetik January 7, 2016, dari
http://www.elsevieradvantage.com/samplechapters/9780323100199/Marshall%20
ch02-019-030-9780323100199.pdf
Dewi, P. A., & Ardani, I. G. (2014). Angka Kejadian serta Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Gangguan Tidur (Insomnia) Pada Lansia di Panti
Sosial Tresna Werda Wana Seraya Denpasar Bali Tahun 2013. e-Journal Universitas Udayana, III(8). Dipetik October
10, 2015
Edinger, J., Fins, A., Glenn, D., Sullivan, R., Bastian, L., Marsh, G., & al, e. (2000). Insomnia and the eye of the beholder: Are there clinical
markers of objective sleep disturbances among adults with and without insomnia complaints? Journal of Consulting and
Clinical Psychology, LXVIII, 586-593.
Edinger, J., Olsen, M., Stechuchak, K., & al, e. (2009). Cognitive behavioral therapy for
patients with primary insomnia or insomnia associated predominantly with mixed psychiatric disorders: a randomized clinical trial.
Eichling, P. S., & Sahni, J. (2005). Menopause Related Sleep Disorders. Journal of Clinical Sleep Medicine, I(3), 291-300.
Endeshaw, Y., & Bliwise, D. (2006). Sleep Disorder in the Elderly. Dalam M. Agronin, & M. G.J., Principle and Practice of Geriatric
Psychiatry (1st ed., hal. 505-522). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Espiritu, J. (2008). Aging-related sleep changes. Clin Geriatr Med, XXIV, 1-14.
Foley, D., Ancoli-Israel, S., Britz, P., & Walsh, J. (2004). Sleep disturbances and chronic disease in older adults: results of the 2003 National
Foley, D., Monjan, A., Brown, S., Simonsick, E., Wallace, R., & Blazer, D. (1995). Sleep
complaints among elderly persons: an epidemiologic study of three communities. Sleep, XVIII, 425-432.
Foley, D., Monjan, A., Simonsick, E., Wallace, R., & Blazer, D. (1999). Incidence and remission of insomnia among elderly adults: an
epidemiologic study of 6.800 persons over three years. Sleep, XXII, 366-372.
Foundation, N. S. (2005, March 29). Summary of Findings. Dipetik January 20, 2016, dari National Sleep Foundation:
https://sleepfoundation.org/sites/default/files/2005_summary_of_findings.pdf
Foundation, N. S. (2006). Sleep-Wake Cycle: Its Physiology and Impact on Health. Dipetik November 21, 2015, dari
National Sleep Foundation: https://sleepfoundation.org/sites/default/files/SleepWakeCycle.pdf
Foundation, N. S. (t.thn.). Napping. National Sleep Foundation. Dipetik January 20, 2016, dari https://sleepfoundation.org/sleep-
topics/napping
Friedman, E. M., Love, G. D., Rosenkranz, M. A., Urry, H. L., Davidson, R. J., Singer, B. H., &
Ryff, C. D. (2007). Socioeconomic. Psychosomatic Medicine Status Predicts Objective and Subjective
Sleep Quality in Aging Women, LXIX, 682-691.
Galimi, R. (2010). Insomnia in The Elderly: An Update and Future Challenges. Gerontologia e Geriatria, LVIII, 231-247.
41
Gambhir, I. S., Chakrabarti, S. S., Sharma, A. R., & Saran, D. P. (2014). Insomnia in the
elderlydA hospital-based study from North India. Journal of Clinical Gerontology & Geriatrics, V, 117-121.
Gunarsa, S. (2004). Dari Anak Sampai Usia Lanjut: Bunga Rampai Psikologi Anak. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Dipetik
January 20, 2016, dari
https://books.google.co.id/books?id=GUAGhG74nH4C&printsec=frontcover&hl=id#
v=onepage&q&f=false
Guyton, A. C., & Hall, J. E. (2012). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (11st ed.). (Irawati, D.
Hermana, M. (2009). Pengaruh Durasi Tidur Terhadap Risiko Obesitas Pada Pria Dewasa. Bandung: Universitas
Indonesia, R. (1998). Undang-Undang Republik Indonesia No.13 Tahun 1998 Tentang Kesejahteraan Lanjut
Usia. Jakarta: Sekretariat Negara.
pada Lanjut Usia di Depok untuk mengatasi insomnia. Depok: Universitas Indonesia.
Dipetik January 28, 2016, dari
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=9&cad=rja&
uact=8&ved=0ahUKEwjricKxwufKAhVQv44KHZ8gDJkQFgheMAg&url=http%3A%2F%
2Flib.ui.ac.id%2Ffile%3Ffile%3Ddigital%2F20304187-T30713%2520-
%2520Intervensi%2520kelompok.pdf&usg=AFQjCNEgGTGqI0jUB
Kaplan, H. I., Sadock, B. J., & Grebb, J. A. (2010). Tidur Normal dan Gangguan Tidur (Vol. II).
(I. M. Wiguna, Penyunt., & W. Kusuma, Penerj.) Tangerang: BINARUPA AKSARA Publisher.
Kementrian Kesehatan RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan RI.
Khasanah, K., & Hidayati, W. (2012). Kualitas Tidur Lansia Balai Rehabilitasi Sosial "MANDIRI" Semarang. Nursing Studies, I(1), 189-
196. Dipetik January 7, 2016, dari http://download.portalgaruda.org/article.php?article=74186&val=4707
Landolt, H., Werth, E., Borbely, A., & Dijk, D. (1995, March 27). Caffeine intake (200 mg) in the morning affects human sleep and EEG power
spectra at night. Neuropsychopharmacology, 675(1-2), 67-74. Dipetik January 22, 2016, dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7796154
Lichstein, K., Taylor, D., McCrae, C., & Ruiter, M. (2011). Insomnia: Epidemiology and risk factors. Dalam K. M.H., R. T., & D. W.C. (Penyunt.),
Principles and practice of sleep medicine (hal. 827-837). St. Loius: Elsevier Saunders.
Liu, X., & Liu, L. (2005). Sleep Habits and Insomnia in a Sample of Elderly Persons in China. Sleep, XXVIII(12), 1579-1586.
Mai, E., & Buysee, D. J. (2008). Insomnia: Prevalence, Impact, Pathogenesis, Differential Diagnosis, and Evaluation. Sleep Med Clin,
III(2), 167-174.
42
Medicine, A. A. (2008). Insomnia. Dipetik December 15, 2015, dari
http://www.aasmnet.org/resources/factsheets/insomnia.pdf
Mishra, A. (2004). A Study of Loneliness in an Old Age Home in India : a case of Kanpur. Indian Journal of Gerontology, XVII(1 &
2).
Monk, T., Buysee, D., Carrier, J., & al, e. (2001). Effects of afternoon "siesta" naps on sleep, alertness, permformance, and cicardian rhythms in
National Heart, L. a. (2012, February 22). How Much Sleep Is Enough? Dipetik December 7, 2015, dari National Heart, Lung, and
Blood Institute: http://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/sdd/howmuch#
Naylor, E., & Zee, P. (2006). Circadian rhythm alterations with aging. Dalam Ancoli-Israel (Penyunt.), Sleep Medicine Clinics (hal. 187-
196). New York: Elsevier.
Nichols, J., Alper, C., & Milkin, T. (2007). Strategies for the management of insomnia an update on pharmacologic therapies. Formulary,
XLII(2), 86-96.
Ohayon, M. (2002). Epidemiology of insomnia: what we know and what we still need to learn. Sleep Med Rev, VI, 97-111.
Ohayon, M., & Paiva, T. (2005). Global sleep dissatisfaction for the assessment of insomnia severity in the general population of Portugal.
Ohayon, M., & Paiva, T. (2005). Global sleep dissatisfaction for the assessment of insomnia severity in the general population of Portugal.
Ohayon, M., Zulley, J., Guilleminault, C., Smime, S., & Priest, R. (2001). How age and daytime activities are related to insomnia in the general
Orford, J. (1992). Community Psychology : Theory & Practice. London: John Wiley and Sons.
Patel, S. R. (2007). Social and Demographic Factors Related to Sleep Duration. Sleep, XXX, 1077-1078.
Prayitno, A. (2002, January-April). Gangguan pola tidur pada kelompok usia lanjut dan penatalaksanaannya. Jurnal Kedokteran
Trisakti, XXI(1), 23-30.
RI, D. K. (2012). Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2012. Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia. Diambil kembali dari
http://www.depkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KES_PROVINSI_2012/
23_Profil_Kes.Prov.KalimantanTimur_2012.pdf
RI, K. K. (2013). Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan, 1-2.
RI, K. K. (2013). Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer (1st ed.). Jakarta:
43
RI, K. K. (2014). Situasi dan Analisis Lanjut Usia. InfoDATIN , Departemen Kesehatan RI.
RI, K. K. (2015). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
RI, S. K. (2015, May 27). Pelayanan dan Peningkatan Kesehatan Usia Lanjut. Dipetik January 20, 2016, dari Kementerian
Kesehatan RI:
http://www.depkes.go.id/article/view/15052700010/pelayanan-dan-peningkatan-
kesehatan-usia-lanjut.html
Riemann, D., Nissen, C., Palagini, L., Otte, A., Perlis, M. L., & Spiegelhalder, K. (2015, May). The neurobiology, investigation, and treatment of
Sadock, B. J., Sadock, V. A., & Ruiz, P. (2015). Synopsis of Psychiatry Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry (11st ed.). Brussels: Walters Kluwer.
Samarinda, B. P. (2015). Statistik Daerah Kota Samarinda 2015. Samarinda: Badan Pusat Statistik Kota Samarinda. Diambil
kembali dari
http://samarindakota.bps.go.id/webbeta/website/pdf_publikasi/Statistik-Daerah-
Kota-Samarinda-2015.pdf
Sarafino, E. (2006). Health Psychology Biopsychosocial Interaction (5th ed.). United States of America: John Wiley and Sons.
Sarason, I., Levine, H., Basham, R., & al, e. (1983). SOCIAL SUPPORT QUESTIONNAIRE.
Sari, N. N. (2011). Pengaruh Dukungan Sosial Terhadap Depresi Pada Lansia. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Dipetik January 28, 2016, dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21410/1/Appendix.pdf
Schardt, D. (2012, December). Caffeine! Nutrition Action Health Letter, XXXIX(10), hal. 7-8.
Schutte-Rodin, S., Broch, L., Buysee, D., Dorsey, C., & Sateia, M. (2008). Clinical Guideline for the Evaluation and Management of Chronic
Sherwood, L. (2012). Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem (6th ed.). (B. U. Pendit, Penyunt., & N. Yesdelita, Penerj.) Jakarta:
EGC.
Shiovitz-Ezra, Sharon, & Leitsch, S. A. (2010). The Role of Social Relationships in Predicting Loneliness: The National Social Life, Health, and
Sivertsen, B., Krokstad, S., Overland, S., & Mykletun, A. (2009). The epidemiology of insomnia: associations with physical and mental health.
Spriggs, W. H. (2014). Sleep Disorders. Dalam Essentials of Polysomnography (2nd ed., hal. 12-34). Carrolton: Jones & Bartlett
Publishers. Dipetik January 7, 2016, dari http://samples.jbpub.com/9781284030273/Chapter2_Secure.pdf
Statistik, B. P. (2012). Statistik Penduduk Lanjut Usia 2011. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Dipetik January 8\, 2016, dari
http://www.bps.go.id/website/pdf_publikasi/watermark%20_Statistik%20Pendudu
44
k%20Lanjut%20Usia%20Indonesia%202011.pdf
Statistik, B. P. (2013). Statistik Penduduk Lanjut Usia 2012. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Dipetik January 8, 2016, dari
http://www.bps.go.id/website/pdf_publikasi/watermark%20_Statistik%20Pendudu
k%20Lanjut%20Usia%202012.pdf
Statistik, B. P. (2014). Statistik Penduduk Lanjut Usia 2013. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Dipetik January 8, 2016, dari
http://www.bps.go.id/website/pdf_publikasi/watermark%20_Statistik%20Pendudu
k%20Lansia%202013.pdf
Statistik, B. P. (2015). Statistik Penduduk Lanjut Usia 2014. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Dipetik January 8, 2016, dari http://www.bps.go.id/website/pdf_publikasi/Statistik- Penduduk-Lanjut-Usia-2014.pdf
Suhartini. (2014). Pengaruh Faktor Gizi, Merokok, Minum Kopi, Minum Teh dan Antenatal Care Terhadap
Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (Bblr) di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Batang Kuis
Kabupaten DeliSerdang Tahun 2013. Medan: Universitas Sumatera Utara. Dipetik January 25, 2016, dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/49361/1/Appendix.pdf
Sukying, C., Bhokakul, V., & Udomsubpayakul, U. (2003). An epidemiological study on insomnia in an elderly Thai population. J Med Assoc
Thai, LXXXVI, 316e24.
Sutarti, E. (2014, December 12). Menuju Lansia Paripurna. Diambil kembali dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana
Nasional: http://www.bkkbn.go.id/ViewArtikel.aspx?ArtikelID=123
Taylor, D. J., Mallory, L., Lichstein, K. L., Durrence, H. H., Riedel, B. W., & Bush, A. J. (2007). Comorbidity of chronic insomnia with medical
Torres, F. M. (2009, April). Caffeine - Induced Psychiatric Disorders. Article 353 1 Clock Hour, hal. 74-78.
Tsou, M.-T. (2013). Prevalence and risk factors for insomnia in community-dwelling elderly in northern Taiwan. Journal of Clinical
Gerontology & Geriatrics, IV, 75-79.
United Nations, D. o. (2013). World Population Ageing 2013. New York: United Nations Publisher. Dipetik January 6, 2016, dari
http://www.un.org/en/development/desa/population/publications/pdf/ageing/Wo
rldPopulationAgeing2013.pdf
United Nations, D. o. (2015). Wold Population Ageing 2015. New York: United Nations Publisher. Dipetik January 8, 2016, dari
http://www.un.org/en/development/desa/population/publications/pdf/ageing/WP
A2015_Highlights.pdf
Vitiello, M. (2006). Sleep in normal aging. Dalam Ancoli-Israel (Penyunt.), Sleep Medicine Clinics (hal. 187-196). New York: Elsevier.
Wahyuni, D., Tjekyan, R. S., & Darmayanti, S. (2009, January). Kualitas Tidur dan Gangguan Tidur Pada Lansia di Panti Werda Bakti Dharma
Winkelman, J. (2015, October 8). Insomnia Disorder. New England Journal of Medicine, 1437-1444. doi:10.1056/NEJMcp1412740
45
Yoon, I., Kripke, D., Youngstedt, S., & Elliott, J. (2003). Actigraphy suggests age-related differences in napping and nocturnal sleep. J Sleep
Res, XII, 87-93.
Youngberg, M. R., Karpov, I. O., Begley, A., Pollock, B. G., & Buysee, D. J. (2011). Clinical and Physiological Correlates of Caffeine and
Caffeine Metabolites in Primary Insomnia. Journal of Clinical Sleep Medicine, VII(2), 196-203.
Zailinawati, A.-H., Mazza, D., & Teng, C. L. (2012). Prevalence of insomnia and its impact on daily function amongst Malaysian primary care
46
Informasi
Lampiran 1Penelitian
UNIVERSITAS MULAWARMAN
INFORMASI PENELITIAN
Pengantar
Dengan hormat,
Samarinda, 2016
Mengetahui,
Peneliti
47
Lampiran 2 Lembar Persetujuan Responden
Nama
Demikian surat persetujuan ini Saya buat, tanpa ada paksaan dari pihak
manapun, untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
2016
Samarinda,
Penelit
i Yang memberi persetujuan,
Maulinda ( )
Permatasari
48
Lampiran 3 Daftar Pertanyaan Wawancara Tanggal
No. Respor
propinsi mana? 1
kota mana? 1
PENCATATAN 1
obyek.
Kemudian minta pasien untuk menyebutkan ketiga
3
obyek tersebut.
Ulangi jawaban pasien sampai dapat menyebutkan
ketiganya.
ATENSI DAN KALKULASI
4. Seri Tujuh. Minta pasien untuk menghitung mundur
dengan selisih 7 dimulai dari angka 100. Berikan nilai
satu untuk tiap jawaban benar.
Hentikan setelah 5 jawaban.
Alternatif lain: eja secara mundur kata “ M E S R A “
5
49
5. Mengingat Kembali.
Minta pasien untuk menyebutkan tiga obyek yang telah dipelajarinya pada pertanyaan 3.
50
Berikan nilai satu untuk tiap jawaban benar. __ 3
BAHASA
6. Tunjuk pada sebuah pensil dan sebuah arloji tangan.
Minta pasien untuk menyebutkan nama benda yang anda tunjuk. __ 2
7. Minta pasien mengulangi: “Tanpa, bila, dan, atau tetapi” __ 1
8. Minta pasien untuk mengikuti tiga tahap tugas:
“Ambil kertas dengan tangan kanan anda.”
“Lipat kertas menjadi dua.”
“Letakkan kertas di atas lantai.” __ 3
9. Minta pasien membaca dan melakukan tugas yang dibacanya:
MOHON PEJAMKAN MATA ANDA __ 1
10. Minta pasien untuk menulis sebuah kalimat pilihannya sendiri pada dua garis.
(Kalimat harus mengandung subyek dan obyek dan
harus mempunyai arti. Abaikan kesalahan eja saat menilai) __ 1
11. Minta pasien untuk menyalin gambar di bawah ini. (Berikan nilai satu
bila semua sisi dan sudut tergambar utuh dan gambar yang saling
memotong merupakan sebuah segi empat) ___ 1
JUMLAH 30
51
ALAT UKUR INSOMNIA SEVERITY INDEX (ISI) (Jaya, 2012)
Untuk setiap pertanyaan, mohon beri TANDA CENTANG pada kolom yang sesuai
dengan kondisi Bapak/Ibu.
Mohon nilai tingkat SEBERAPA PARAH masalah tidur yang sedang Bapak/Ibu alami
SAAT INI (seperti: 1MINGGU TERAKHIR).
No. Masalah Tidur Tidak Sedikit Sedang Parah (3) Sangat
Ada (0) (1) (2) Parah (4)
1. Kesulitan untuk tidur
2. Sulit untuk mempertahankan
tidur
3. Terbangun lebih cepat dari
biasanya
4. Seberapa PUAS/TIDAK PUASkah Bapak/Ibu dengan kebiasaan tidur SAAT INI?
Sangat Puas (0) Puas (1) Cukup Puas (2) Tidak Puas (3) Sangat Tidak
Puas
(4)
5. Menurut pengamatan orang lain, seberapa terlihatkah pengaruh masalah tidur pada kualitas
hidup Bapak/Ibu?
Sama sekali tidak Sedikit (1) Cukup (2) Sangat (3) Luar biasa terlihat
terlihat (0) (4)
7. Menurut Bapak/Ibu, seberapa BERPENGARUHKAH masalah tidur Bapak/Ibu SAAT INI pada
kegiatan hidup sehari-hari (seperti: mengantuk di siang hari, perasaan, kemampuan untuk
mengerjakan pekerjaan atau pekerjaan rumah harian, konsentrasi, ingatan, dan lainnya)?
52
Sama sekali tidak Sedikit (1) Cukup (2) Sangat (3) Luar biasa
berpengaruh (0) berpengaruh (4)
Pertanyaan:
1. Siapakah yang benar-benar Anda percaya saat Anda membutuhkan bantuan?
Tak ada ........
1 .......... ( ....................... ) 5 ..............( ...................... )
2 .......... ( ....................... ) 6 ..............( ...................... )
3 .......... ( ....................... ) 7 ..............( ...................... )
4 .......... ( ....................... ) 8 ..............( ...................... )
Seberapa puaskah Anda?
6: sangat puas 5:puas 4: agak puas 3: agak tidak puas 2: tidak puas 1: sangat tidak puas
2. Siapa yang benar-benar membantu Anda menenangkan pikiran ketika mengalami
tekanan/ketegangan?
Tak ada ........
1 .......... ( ....................... ) 5 ..............( ...................... )
2 .......... ( ....................... ) 6 ..............( ...................... )
3 .......... ( ....................... ) 7 ..............( ...................... )
4 .......... ( ....................... ) 8 ..............( ...................... )
Seberapa puaskah Anda?
6: sangat puas 5:puas 4: agak puas 3: agak tidak puas 2: tidak puas 1: sangat tidak puas
3. Siapa yang dapat menerima Anda sepenuhnya dengan segala kelebihan dan
kekurangan? Tak ada
1 .......... ( ....................... ) 5 ..............( ...................... )
2 .......... ( ....................... ) 6 ..............( ...................... )
3 .......... ( ....................... ) 7 ..............( ...................... )
4 .......... ( ...................... ) 8 ..............( ...................... )
Seberapa puaskah Anda?
53
6: sangat puas 5:puas 4: agak puas 3: agak tidak puas 2: tidak puas 1: sangat tidak puas
4. Siapa yang benar-benar peduli pada Anda tanpa memandang keadaan?
Tak ada ........
1 ...........( ........................ ) 5............. ( ...................... )
2 .......... ( ......................... ) 6 ............ ( ...................... )
3 .......... ( ........................) 7 ............. ( ....................... )
4 .......... ( .......................) 8 ............. ( ....................... )
Seberapa puaskah Anda?
6: sangat puas 5:puas 4: agak puas 3: agak tidak puas 2: tidak puas 1: sangat
tidak puas
5. Siapa yang benar-benar menghibur Anda ketika bersedih?
Tak ada ........
1 ...........( ........................ ) 5............. ( ...................... )
2 .......... ( ......................... ) 6 ............ ( ...................... )
3 .......... ( ........................) 7 ............. ( ....................... )
4 .......... ( .......................) 8 ............. ( ....................... )
Seberapa puaskah Anda?
6: sangat puas 5:puas 4: agak puas 3: agak tidak puas 2: tidak puas 1: sangat
tidak puas
6. Siapa yang menenangkan Anda ketika sedang bingung?
Tak ada ........
1 .......... ( ........................) 5 ............. ( ....................... )
2 .......... ( ........................) 6 ............. ( ....................... )
3 .......... ( ........................) 7 ............. ( ....................... )
4 .......... ( .......................) 8 ............. ( ....................... )
Seberapa puaskah Anda?
6: sangat puas 5:puas 4: agak puas 3: agak tidak puas 2: tidak puas 1: sangat
tidak puas
54
2. Jika Ya, seberapa sering Anda mengonsumsi kopi dalam
seminggu? kali/minggu
3. Berapa cangkir Anda mengonsumsi kopi dalam sehari?
.......... cangkir/hari
4. Kapan biasanya Anda meminum kopi?
Pagi / Siang / Malam
5. Apakah Anda suka minum teh?
a. Ya
b. Tidak
6. Jika Ya, seberapa sering Anda mengonsumsi teh dalam
seminggu? kali/minggu
7. Berapa cangkir Anda mengonsumsi teh dalam sehari?
.......... cangkir/hari
8. Kapan biasanya Anda meminum teh?
Pagi / Siang / Malam
9. Apakah Anda tidur siang secara rutin?
a. Ya
b. Tidak
10. Jika Ya, seberapa sering Anda tidur siang dalam seminggu?
.......... kali/minggu
11. Berapa lama Anda menghabiskan waktu untuk tidur siang dalam
sehari? menit/hari
55