Bab 2
Bab 2
LANDASAN TEORI
Kayu, besi dan beton bertulang merupakan elemen utama pembentuk suatu
struktur. Beton bertulang merupakan kombinasi dua unsur bahan; tulangan baja dan
beton yang digunkan secara bersama, sehingga desain struktur elemen bertulang
dilakukan berdasarkan prinsip yang berbeda dengan perencanaan desain suatu
bahan. Sistem konstruksi yang di bangun dengan beton bertulang, seperti bangunan
gedung, jembatan, dinding penahan tanah, terowongan, tanki, saluran air dan
lainnya, dirancang dari perinsip dasar desain dan penelitian elemen beton bertulang
yang menerima gaya aksial, momen lentur, gaya geser, momen puntir, atau
kombinasi dari jenis gaya gaya dalam tersebut. Prinsip dasar desain ini berlaku
umum bagi setiap tipe sistem struktur selama diketahui variasi gaya aksial, momen
lentur, gaya geser dan unsur gaya dalam lainnya, disamping konfigurasi bentang
dan dimensi setiap elemen. (Nasution,2009)
Pelat lantai merupakan salah satu komponen struktur konstuksi baik pada
gedung maupun jembatan dan biasanya dibangun dengan konstruksi beton
bertulang. Berdasarkan perilaku pelat lantai dalam menahan beban yang bekerja,
Pelat lantai dibagi menjadi dua yaitu pelat satu arah (oneway slab) dan pelat dua
arah (two-way slab) (Dipohusodo, 1999). sejak digunakan beton bertulang untuk
pelat, hampir semua gedung menggunakan material ini sebagai elemen pelat
(Schodek,1991).
Sistem pelat terdiri dari beberapa macam yaitu sistem flat plate, sistem
waffel slab, sistem flat slab, rib slab dan sistem pelat konvensional. masing-masing
sistem pelat memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. pemilihan berbagai
sistem pelat ini disesuaikan dengan tujuan dari struktur yang diinginkan (Susanti,
2016).
Gambar 2.1 Tipe-tipe Slab
(sumber: Wang dan Salmon,2006)
Menurut Puspantoro (1993), dari bentuk dan sistem balok silang yang
membentuk segmen-segmen wafel, maka pelat dengan sistem wafel mempunyai
kekakuan jauh lebih besar dibandingkan dengan pelat datar biasa. Biasanya
perencannan pelat waffle ini di peruntukan bagi bentang lantai 7.50 – 12.50 m.
1.2 Landasan Teori
Pelat berusuk dua arah (waffle slab) yaitu kumpulan balok T yang
saling menyilang dan menyatu pada bidang horizontal dimana gaya-gaya
dominan yang bekerja adalah tegak lurus terhadap bidang tersebut dan titik
hubung balok T ini bersifat kaku. Pada umumnya pelat berusuk dua arah (waffle
slab) ini menggunakan bahan dari konstruksi beton bertulang dengan ketebalan
pelat yang tipis dan pemakainan besi tulangan yang cukup hemat pada pelatnya
dikarenakan pelat berusuk dua arah (waffle slab) ini memiliki kekakuan yang besar
pada pelat sehingga lendutan pada pelat relatif kecil. Di sisi lain pelat berusuk dua
arah (waffle slab) juga berpengaruh pada tata letak kolom. Semakin kecilnya
lendutan pada balok maka jarak antar kolom pada portal bisa lebih jauh dari struktur
yang biasa dan pada umumnya bisa mencapai bentang 7,5 – 12,5 meter (Nasution,
2009).
Sistem struktur pelat Waffle terdiri dari kumpulan balok rusuk dengan solid
heads pada kolom (dibutuhkan untuk kebutuhan geser) atau dengan balok lebar
pada kolom (gambar 2.2 b). Kontruksi pelat waffle lebih dapat mereduksi beban
mati jika dibandingkan dengan kontruksi pelat konvensional serta tebal pelat yang
dapat diperkecil dengan memperkecil jarak antar rusuk (PCA Notes on 318-05).
Gambar 2.2 Tipe Waffle Slab
(Sumber: Alaa C, Galeb dan Zainab, 2011)
Pada penelitian ini tipe waffle slab yang dipilih sebagai desain pelat plantai
yang digunakan adalah tipe B yaitu waffle Slab with solid head. Dengan
pertimbangan untuk bentang yang sama total biaya pengerjaan waflle slab with
band beams pada pekerjaan sepanjang as kolom lebih tinggi 10 % - 112% di
banding denagan total biaya waffle slab with solid head.
a) Tebal pelat waffle slab memiliki tebal pelat lebih tipis 40% dari sistem pelat
konvensional (Susanti,2016).
b) Pengunaan waffle slab dapat menghemat penggunaan kolom sebesar
55,57% dibanding dengan sistem pelat konvensional (Susanti,2016).
c) Perletakan pada sistem waffle slab lebih panjang 66,67% dibanding dengan
sistem pelat konvensional (Susanti,2016).
d) Pengunaan Waffle Slab dapat meminimalisir rata-rata 200% dari nilai
lendutan pelat dengan sistem pelat konvensional (Susanti,2016).
e) Penggunaan waffle slab dapat berdampak terhadap pemakainan besi tulangan
yang cukup hemat pada pelatnya (Nasution,2009).
f) Dengan metode perencanaan langsung didapatkan balok pada waffle slab
menahan 20% dari momen yang dipikul oleh kolom (IArman ,2014)
g) Pengunaan sistem waffle slab dapat mengurangi biaya struktur sampai dengan
20% (Akshay dan Raut,2015).
h) Sangat cocok digunakan untuk struktur banguan dengan bentang 7-16 m,
untuk bentang yang sangat panjang dibutuhkan posttensioning.
i) Penggunaan waffle slab terbilang ekonomis dari segi bahan berupa beton dan
baja jika dibandingkan dengan flat Slab. Menghemat 15% beton dan 10% baja
jika dibandingkan terhadap balok T.
j) Sistem waffle Slab terbilang sistem struktur yang ringan, hal ini disebabkan
karna Waffle Slab dapat mereduksi besarnya rangka.
k) Mempunyai bentuk yang seragam dengan berbagai variasi dan cetakannya
dapat digunakan berulang kali.
l) Dapat mendistribusikan beban dan momen pada kedua arah bentangnya
secara merata.
m) Mempunyai sifat fleksibilitas ruang yang cukup tinggi dan simpel,
sehingga lebih luluasa dalam mengikuti pembagian panel-panel eksterior
maupun partisi interiornya.
Slab untuk bentang kecil 5-7 m beban biasa pada gedung akan menyebabkan
momen yang pada umumnya dapat dipikul oleh pelat tipis (13-26 cm). Semakin
besar bentang maka akan semakin besar momen yang ditimbulkan, yang artinya
semakin tebal pelat tersebut. sebagai akibat pengunaan tebal pelat, berat sendiri
struktur akan sangat bertambah. Karena itu pelat sering dilubangi agar mengurangi
berat sendirinya tanpa mengurangi tinggi structural secara berarti, sistem demikian
yang disebut Waffle Slab. (Schodek,1991)
Gambar 2.3. prinsip waffle slab
(Sumber: Schodek,1991)
Secara bentuk struktur waffle slab merupakan struktur grid, Schodek (1991)
menyatakan bahwa pada grid sederhana berupa sistem satu arah mengalami defleksi
akibat beban yang bekerja pada grid tersebut, balok transversal meneruskan beban
tersebut ke elemen longitudinal lain. Dengan hanya meninjau geometri bentuk
balok terdefleksi, dapat dengan mudah diketahui elemen mana yang memikul
momen yang lebih besar. Pada sistem balok sederhana, hanya balok yang dibebani
langsung saja yang memikul beban dan tidak diteruskan ke balok yang lainnya.
1.2.1.5 Analisis Waffle Slab
𝑎
Momen nominal, Mn = As x f y x (d − 2) (2.2)
As x fy
Tinggi blok regangan, a = 0.85 x f′ c x b
(2.3)
1.3 Pembebanan
Dalam studi ini untuk perencanaan pembebanan digunakan beberapa acuan standar
sebagai berikut:
a) Beban Minimum Untuk Perancangan Bangunan Gedung dan Struktur lain (SNI-
1727-2013)
b) Tata Cara Perencanaan Ketahanan gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung
dan Non Gedung (SNI- 1726-2012)
Beban mati adalah berat dari semua bagian suatu gedung yang bersifat tetap,
serta peralatan-peralatan tetap yang merupakan bagian yang tak terpisahakan dari
gedung itu.
1.3.2.2 Beban Hidup (LL)
Beban hidup adalah semua beban yang terjadi akibat penghunian atau
penggunaan gedung dan di dalamnya termasuk beban-beban pada lantai yang
berasal dari barang-barang yang dapat.
1.3.2.3 Beban gempa, dinyatakan dengan lambang (E)’
Beban gempa adalah semua beban yang bekerja pada suatu struktur akibat
dari pergerakan tanah yang disebabkan karena adanya gempa bumi yang
mempengaruhi struktur tersebut. Adapun beberapa metode analisis pengaruh gaya
gempa yang umumnya digunakan terhadap suatu struktur antara lain metode statik
ekivalen, renponse spectrum, dan time history.
Arah penerapan beban gempa yang digunakan dalam desain harus merupakan
arah yang akan menghasilkan pengaruh beban paling kritis. Arah penerapan gaya
gempa diijinkan untuk memenuhi persyaratan ini menggunakan prosedur 2.3.3.2
untuk kategori desain seismik B, 2.3.3.3 untuk kategori desain seismik C, dan
2.3.3.4 untuk kategori desain seismik D, E, dan F.
Gaya gempa desain diijinkan untuk diterapkan secara terpisah dalam masing-
masing arah dari dua arah ortogonal dan pengaruh interaksi ortogonal diijinkan
untuk diabaikan.
1.3.3.3 Kategori Seismik C
Keterangan:
D: Beban mati yang diakibatkan oleh berat konstruksi permanen, termasuk
dinding, lantai, atap, plafon, partisi tetap, tangga, dan peralatan layan tetap.
L: Beban hidup yang ditimbukan oleh penggunaan gedung, termasuk kejut, tetapi
tidak termasuk beban lingkungan seperti angin, hujan, dan lain-lain.
R: Beban hujan
W: beban angin
Lr: Beban hidup atap
1.3.5 Simpangan Antar Lantai Tingkat Ijin
Simpangan antar lantai tingkat desain (∆) tidak boleh melebihi simpangan antar
lantai ijin (∆a) seperti didapatkan dari tabel 2.1 untuk semua tingkat.
Tabel 2.1 Simpangan antar lantai ijin, ∆a
Kategori risiko
Struktur
I atau II III IV
Struktur, selain dari struktur dinding geser batu
bata, 4 tingkat atau kurang dengan dinding
interior, partisi, langit-langit dan sistem dinding 0,025hsxc 0,020hsx 0,015hsx
eksterior yang telah didesain untuk
mengakomodasi simpangan antar lantai tingkat.
Rasio tulangan pada perencanaan balok lentur bergantung pada mutu beton
(fc’) dan mutu baja tulangan (fy), dan tidak bergantung pada besar- kecilnya ukuran
penampang struktur. Nilai dari rasio tulangan ini juga berkaitan dengan keruntuhan
yang terjadi pada balok lentur, dimana keruntuhan ini dibagi atas 3 jenis, yaitu
keruntuhan tekan, keruntuhan seimbang, dan keruntuhan tarik.
1.5.2 Penulangan Lentur Balok
a−β1 .ds ′
εs ′ = × 0,003 (2.7)
a
Tegangan tekan baja tulangan fs’ dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan
2.28.
0,85.β1 .fc ′ ds ′
fs ′ = 600 [1 − ] (2.8)
(ρ−ρ′ )fy d
dengan,
εs’ = regangan tekan baja tulangan = fs’ / Es
a = tinggi balok tegangan beton tekan persegi ekuivalen = β1.c
ds’ = jarak antara titik berat tulangan tekan dan tepi serat beton tekan
fs’ = tegangan tekan baja tulangan = εs’. Es
Untuk mengetahui tulangan tekan sudah leleh atau belum, maka dikontrol
dengan Persamaan 2.9.
(As fy −As ′ fs ′)
a= (2.10)
0,85 .fc ′ b
1.5.3 Momen Nominal dan Rencana Balok
Pada penampang balok bertulang rangkap, bagian atas bekerja 2 buah gaya
tekan ke kiri, sedangkan penampang balok bagian bawah bekerja 1 buah gaya tarik
ke kanan. Gaya tekan dan gaya tarik tersebut sama besar dan bekerja berlawanan
arah, sehingga menimbulkan momen yang disebut momen nominal aktual (Mn)
yang kemudian dapat dilihat pada Persamaan 2.11 sampai dengan Persamaan 2.14.
Mn = Mnc + Mns (2.11)
Mnc = Cc . (d − a/2) dengan Cc = 0,85. fc ′ . a. b (2.12)
Mns = Ts . (d − ds ′ ) dengan Ts = As . fs ′ (2.13)
Mr = ϕ . Mn dengan ϕ = 0,9 (2.14)
1.5.4 Kontruksi Balok T
Jika momen yang bekerja pada penampang adalah momen negatif, maka balok
T akan berperilaku seperti balok persegi biasa (bagian yang diarsir pada Gambar
2.10a), dimana bagian beton yang tertekan berbentuk empat persegi dengan lebar
yang tertekan sebesar bw, sehingga analisis dan desainnya sama seperti balok
persegi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.6.
Besar momen tahanan balok dengan adanya pelat lantai dengan tampang trapesium
seperti pada Gambar 2.8, dihitung dengan Persamaan 2.19.
Σx 2 y = x1 2 y1 + 2x2 2 (z + 3x2 ) (2.19)
Kuat momen torsi yang diberikan balok beton dapat dihitung dengan Persamaan
2.20.
√ fc ′
Σx2 y
15
Tc = (2.20)
2
√1+[0,4Vu ]
Ct Tu
Luas tulangan torsi memanjang yang diperlukan dihitung dengan Persamaan 2.22.
2,8.h.S Tu x1 +y1
AL = [ [ V ] − 2At ] (2.22)
fy Tu + u S
3Ct
1.6 Kolom
Akibat beban aksial dan lentur yang bekerja pada kolom, seperti halnya pada
balok, maka penampang kolom akan mengalami tekan pada satu sisi (atas) dan tarik
pada sisi lainnya (bawah). Dari gambar regangan dan tegangan diatas, maka gaya
yang timbul pada beton adalah sebagai berikut:
Cs=As.f’c (2.23)
Cs adalah gaya tulangan baja tekan fsc adalah tegangan tekan tulangan baja dan
Es adalah modulus elastisitas baja yang nilainya Es=210000MPa. Apabila letak
garis netral lebih tinggi dibanding jarak tulangan tekannya kesisi atas kolom, maka
fsc menjadi:
f’c, kuat tekan beton yang diizinkan, a luas ekivalen persegi tegangan beton
Ts =Asfs (2.27)
fs = ɛsEs (2.28)
1.7 Fondasi
Daya dukung ultimit netto tiang (Qu) adalah jumlah dari tahanan ujung bawah
ultimit (Qb) dengan tahanan gesek ultimit (Qs) antara dinding tiang dan tanah
disekitarnya dikurangi dengan berat sendiri tiang (Wp). Bila dinyatakan dalam
persamaan, maka :
Qu = Qb + Qs – Wp (2.29)
Dimana :
Wp = berat sendiri tiang (kN)
Qu = kapasitas dukung ultimit netto (kN)
Qb = tahanan ujung bawah ultimit (kN)
Qs = tahanan gesek ultimit (kN)
Dimana :
Qs = daya dukung gesek batas
Wtiang = berat tiang yang tertanam dalam tanah
d. Daya Dukung Terhadap Gaya Lateral
Kapasitas momen tiang didasarkan dari momen pengangkatan tiang.
Sedangkan kapasitas tanah pendukung didasarkan pada rumus berikut ini:
Mmaks = γ’. d . 𝑙 3 . Kp (2.33)
Dimana:
γ' = berat volume tanah (saturated) lapisan tanah asli
d = diameter tiang pancang
l = Panjang tiang di bawah pile cap
Kp = koefisien tekanan tanah pasif
Ø = sudut gesek
𝐻
f = 0,82√𝑑.𝐾𝑝.𝛾 (2.34)
dimana:
2𝑀𝑦
Hu = 2𝑓 (2.35)
𝑒+
3
e. Efisiensi Tiang
Menurut Vesic (1976), pada tiang yang dipancang pada tanah granuler,
kapasitas kelompok tiang lebih besar dari pada jumlah kapasitas masing-masing
tiang di dalam kelompoknya. Keadaan ini menyebabkan efisiensi kelompok
tiang cenderung lebih besar dari 1 (>100%).