Anda di halaman 1dari 24

BAB II

LANDASAN TEORI

1.1 Tinjauan Pustaka

Kayu, besi dan beton bertulang merupakan elemen utama pembentuk suatu
struktur. Beton bertulang merupakan kombinasi dua unsur bahan; tulangan baja dan
beton yang digunkan secara bersama, sehingga desain struktur elemen bertulang
dilakukan berdasarkan prinsip yang berbeda dengan perencanaan desain suatu
bahan. Sistem konstruksi yang di bangun dengan beton bertulang, seperti bangunan
gedung, jembatan, dinding penahan tanah, terowongan, tanki, saluran air dan
lainnya, dirancang dari perinsip dasar desain dan penelitian elemen beton bertulang
yang menerima gaya aksial, momen lentur, gaya geser, momen puntir, atau
kombinasi dari jenis gaya gaya dalam tersebut. Prinsip dasar desain ini berlaku
umum bagi setiap tipe sistem struktur selama diketahui variasi gaya aksial, momen
lentur, gaya geser dan unsur gaya dalam lainnya, disamping konfigurasi bentang
dan dimensi setiap elemen. (Nasution,2009)

Pelat lantai merupakan salah satu komponen struktur konstuksi baik pada
gedung maupun jembatan dan biasanya dibangun dengan konstruksi beton
bertulang. Berdasarkan perilaku pelat lantai dalam menahan beban yang bekerja,
Pelat lantai dibagi menjadi dua yaitu pelat satu arah (oneway slab) dan pelat dua
arah (two-way slab) (Dipohusodo, 1999). sejak digunakan beton bertulang untuk
pelat, hampir semua gedung menggunakan material ini sebagai elemen pelat
(Schodek,1991).

Sistem pelat terdiri dari beberapa macam yaitu sistem flat plate, sistem
waffel slab, sistem flat slab, rib slab dan sistem pelat konvensional. masing-masing
sistem pelat memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. pemilihan berbagai
sistem pelat ini disesuaikan dengan tujuan dari struktur yang diinginkan (Susanti,
2016).
Gambar 2.1 Tipe-tipe Slab
(sumber: Wang dan Salmon,2006)

Menurut Puspantoro (1993), dari bentuk dan sistem balok silang yang
membentuk segmen-segmen wafel, maka pelat dengan sistem wafel mempunyai
kekakuan jauh lebih besar dibandingkan dengan pelat datar biasa. Biasanya
perencannan pelat waffle ini di peruntukan bagi bentang lantai 7.50 – 12.50 m.
1.2 Landasan Teori

1.2.1 Struktur Waffle Slab

1.2.1.1 Pengertian Waffle Slab

Pelat berusuk dua arah (waffle slab) yaitu kumpulan balok T yang
saling menyilang dan menyatu pada bidang horizontal dimana gaya-gaya
dominan yang bekerja adalah tegak lurus terhadap bidang tersebut dan titik
hubung balok T ini bersifat kaku. Pada umumnya pelat berusuk dua arah (waffle
slab) ini menggunakan bahan dari konstruksi beton bertulang dengan ketebalan
pelat yang tipis dan pemakainan besi tulangan yang cukup hemat pada pelatnya
dikarenakan pelat berusuk dua arah (waffle slab) ini memiliki kekakuan yang besar
pada pelat sehingga lendutan pada pelat relatif kecil. Di sisi lain pelat berusuk dua
arah (waffle slab) juga berpengaruh pada tata letak kolom. Semakin kecilnya
lendutan pada balok maka jarak antar kolom pada portal bisa lebih jauh dari struktur
yang biasa dan pada umumnya bisa mencapai bentang 7,5 – 12,5 meter (Nasution,
2009).

1.2.1.2 Tipe Waffle Slab

Sistem struktur pelat Waffle terdiri dari kumpulan balok rusuk dengan solid
heads pada kolom (dibutuhkan untuk kebutuhan geser) atau dengan balok lebar
pada kolom (gambar 2.2 b). Kontruksi pelat waffle lebih dapat mereduksi beban
mati jika dibandingkan dengan kontruksi pelat konvensional serta tebal pelat yang
dapat diperkecil dengan memperkecil jarak antar rusuk (PCA Notes on 318-05).
Gambar 2.2 Tipe Waffle Slab
(Sumber: Alaa C, Galeb dan Zainab, 2011)

Pada penelitian ini tipe waffle slab yang dipilih sebagai desain pelat plantai
yang digunakan adalah tipe B yaitu waffle Slab with solid head. Dengan
pertimbangan untuk bentang yang sama total biaya pengerjaan waflle slab with
band beams pada pekerjaan sepanjang as kolom lebih tinggi 10 % - 112% di
banding denagan total biaya waffle slab with solid head.

1.2.1.3 Kelebihan Waffle Slab

Beberapa kelebihan sistem struktur Waffle Slab antara lain:

a) Tebal pelat waffle slab memiliki tebal pelat lebih tipis 40% dari sistem pelat
konvensional (Susanti,2016).
b) Pengunaan waffle slab dapat menghemat penggunaan kolom sebesar
55,57% dibanding dengan sistem pelat konvensional (Susanti,2016).
c) Perletakan pada sistem waffle slab lebih panjang 66,67% dibanding dengan
sistem pelat konvensional (Susanti,2016).
d) Pengunaan Waffle Slab dapat meminimalisir rata-rata 200% dari nilai
lendutan pelat dengan sistem pelat konvensional (Susanti,2016).
e) Penggunaan waffle slab dapat berdampak terhadap pemakainan besi tulangan
yang cukup hemat pada pelatnya (Nasution,2009).
f) Dengan metode perencanaan langsung didapatkan balok pada waffle slab
menahan 20% dari momen yang dipikul oleh kolom (IArman ,2014)
g) Pengunaan sistem waffle slab dapat mengurangi biaya struktur sampai dengan
20% (Akshay dan Raut,2015).
h) Sangat cocok digunakan untuk struktur banguan dengan bentang 7-16 m,
untuk bentang yang sangat panjang dibutuhkan posttensioning.
i) Penggunaan waffle slab terbilang ekonomis dari segi bahan berupa beton dan
baja jika dibandingkan dengan flat Slab. Menghemat 15% beton dan 10% baja
jika dibandingkan terhadap balok T.
j) Sistem waffle Slab terbilang sistem struktur yang ringan, hal ini disebabkan
karna Waffle Slab dapat mereduksi besarnya rangka.
k) Mempunyai bentuk yang seragam dengan berbagai variasi dan cetakannya
dapat digunakan berulang kali.
l) Dapat mendistribusikan beban dan momen pada kedua arah bentangnya
secara merata.
m) Mempunyai sifat fleksibilitas ruang yang cukup tinggi dan simpel,
sehingga lebih luluasa dalam mengikuti pembagian panel-panel eksterior
maupun partisi interiornya.

1.2.1.4 Prinsip Waffle Slab

Slab untuk bentang kecil 5-7 m beban biasa pada gedung akan menyebabkan
momen yang pada umumnya dapat dipikul oleh pelat tipis (13-26 cm). Semakin
besar bentang maka akan semakin besar momen yang ditimbulkan, yang artinya
semakin tebal pelat tersebut. sebagai akibat pengunaan tebal pelat, berat sendiri
struktur akan sangat bertambah. Karena itu pelat sering dilubangi agar mengurangi
berat sendirinya tanpa mengurangi tinggi structural secara berarti, sistem demikian
yang disebut Waffle Slab. (Schodek,1991)
Gambar 2.3. prinsip waffle slab
(Sumber: Schodek,1991)

Secara bentuk struktur waffle slab merupakan struktur grid, Schodek (1991)
menyatakan bahwa pada grid sederhana berupa sistem satu arah mengalami defleksi
akibat beban yang bekerja pada grid tersebut, balok transversal meneruskan beban
tersebut ke elemen longitudinal lain. Dengan hanya meninjau geometri bentuk
balok terdefleksi, dapat dengan mudah diketahui elemen mana yang memikul
momen yang lebih besar. Pada sistem balok sederhana, hanya balok yang dibebani
langsung saja yang memikul beban dan tidak diteruskan ke balok yang lainnya.
1.2.1.5 Analisis Waffle Slab

Pada pertemuan grid, Schodek (1991) menyatakan kunci dalam menganasisi


struktur grid adalah bahwa hubungan dari sistem balok menyilang, keadaan
kesaerasian harus dapat terjadi. Dengan menganggap balok tersebut dihubungkan
secara kaku, maka berarti kedua-duanya mengalami defleksi yang sama akibat
beban. Dengan menyamakan kedua ekspresi masing-masing balok, misalkan PA
adalah presentase dari beban total PT yang di pikul oleh A dan PB adalah yang
dipikul oleh B, dengan menyamakan kedua ekpresi dari defleksi kedua balok
tersebut agar keserasian belok terpenuhi.

(a) Struktur dasar

(b) Setiap balok memikul bagian


dari beban total. PT= PA + PB

(c) PA dan PB dapat diperoleh


dengan menyamakan ekspresi
defleksi karena ΔA = ΔB

Gambar 2.4 Analisis Sistem Balok Menyilang Sederhana


(Sumber : Schodek,1991)
1.2.1.6 Analisa Struktur Drop Panel / Solid Head

1) Pendimensian drop panel


Pendefinisian dimensi drop panel berdasarkan SNI 03 - 2847 – 2002 pasal
15.3.7.1 sebagai berikut :
a. Lebar drop panel pada setiap arah minimum 1/6 Ln panjang bentang dari
sumbu ke sumbu kolom.
b. Tebal drop panel minimum 1/4 t ( t = tebal pelat lantai).
c. Dalam menghitung tulangan pelat yang diperlukan, tebal drop panel di bawah
pelat tidak boleh diasumsikan lebih besar dari jarak antara tepi penebalan
panel sampai tepi kolom. Persyaratan ketebalan Pelat drop panel ditampilkan
pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5. Persyaratan Ketebalan Pelat (Drop Panel)


(SUMBER: WANG 1992)
2) Analisis dan desain penulangan drop panel
3) Perhitungan tulangan drop panel (Tulangan arah x dan y) Perhitungan
penulangan drop panel sama seperti perhitungan penulangan pelat lantai .
4) Perhitungan kapasitas drop panel (Kapasitas arah x dan arah y)
Mu < ϕ Mn, (2.1)

𝑎
Momen nominal, Mn = As x f y x (d − 2) (2.2)

As x fy
Tinggi blok regangan, a = 0.85 x f′ c x b
(2.3)

5) Perhitungan geser pons drop panel. Berdasarkan SNI 03-2847-2002, pasal


13.12.2

1.3 Pembebanan

1.3.1 Ketentuan Perancanaan Pembebanan

Dalam studi ini untuk perencanaan pembebanan digunakan beberapa acuan standar
sebagai berikut:

a) Beban Minimum Untuk Perancangan Bangunan Gedung dan Struktur lain (SNI-
1727-2013)
b) Tata Cara Perencanaan Ketahanan gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung
dan Non Gedung (SNI- 1726-2012)

1.3.2 Kriteria Pembebanan

Dalam perencanaan suatu struktur gedung harus diperhitungkan beban-beban


yang bekerja diatasnya. Berdasarkan SNI-1727-2013 dan SNI- 1726-2012, struktur
sebuah gedung harus direncanakan kekuatannya terhadap kombinasi dari beban-
beban berikut:
1.3.2.1 Beban mati, dinyatakan dengan lambang (DL);

Beban mati adalah berat dari semua bagian suatu gedung yang bersifat tetap,
serta peralatan-peralatan tetap yang merupakan bagian yang tak terpisahakan dari
gedung itu.
1.3.2.2 Beban Hidup (LL)

Beban hidup adalah semua beban yang terjadi akibat penghunian atau
penggunaan gedung dan di dalamnya termasuk beban-beban pada lantai yang
berasal dari barang-barang yang dapat.
1.3.2.3 Beban gempa, dinyatakan dengan lambang (E)’

Beban gempa adalah semua beban yang bekerja pada suatu struktur akibat
dari pergerakan tanah yang disebabkan karena adanya gempa bumi yang
mempengaruhi struktur tersebut. Adapun beberapa metode analisis pengaruh gaya
gempa yang umumnya digunakan terhadap suatu struktur antara lain metode statik
ekivalen, renponse spectrum, dan time history.

1.3.3 Arah Beban Gempa

1.3.3.1 Arah kriteria pembebanan

Arah penerapan beban gempa yang digunakan dalam desain harus merupakan
arah yang akan menghasilkan pengaruh beban paling kritis. Arah penerapan gaya
gempa diijinkan untuk memenuhi persyaratan ini menggunakan prosedur 2.3.3.2
untuk kategori desain seismik B, 2.3.3.3 untuk kategori desain seismik C, dan
2.3.3.4 untuk kategori desain seismik D, E, dan F.

1.3.3.2 Kategori Seismik B

Gaya gempa desain diijinkan untuk diterapkan secara terpisah dalam masing-
masing arah dari dua arah ortogonal dan pengaruh interaksi ortogonal diijinkan
untuk diabaikan.
1.3.3.3 Kategori Seismik C

Pembebanan yang diterapkan pada struktur bangunan yang dirancang untuk


kategori desain seismik C harus, minimum, sesuai dengan persyaratan dalam
2.3.3.2, untuk kategori desain seismik B dan persyaratan pasal ini. Struktur yang
mempunyai ketidak beraturan struktur horisontal Tipe 5 dalam Tabel 10 (SNI
1726:2012) harus menggunakan salah satu dari prosedur berikut:

a) Prosedur kombinasi ortogonal. Struktur harus dianalisis menggunakan


prosedur analisis gaya lateral ekivalen,prosedur analisis spektrum respons
ragam atau prosedur riwayat respons linier. dengan pembebanan yang
diterapkan secara terpisah dalam semua dua arah ortogonal. Pengaruh beban
paling kritis akibat arah penerapan gaya gempa pada struktur dianggap
terpenuhi jika komponen dan fondasinya didesain untuk memikul kombinasi
beban-beban yang ditetapkan berikut: 100 persen gaya untuk satu arah
ditambah 30 persen gaya untuk arah tegak lurus. Kombinasi yang
mensyaratkan kekuatan komponen maksimum harus digunakan.
b) Penerapan serentak gerak tanah ortogonal. Struktur harus dianalisis
menggunakan prosedur riwayat respons linier atau prosedur riwayat respons
nonlinier. Dengan pasangan ortogonal riwayat percepatan gerak tanah yang
diterapkan secara serentak.

1.3.3.4 Kategori desain seismik D sampai F

Struktur yang dirancang untuk kategori desain seismik D, E, atau F harus,


minimum, sesuai dengan persyaratan 2.3.3.3. Sebagai tambahan, semua kolom atau
dinding yang membentuk bagian dari dua atau lebih sistem penahan gaya gempa
yang berpotongan dan dikenai beban aksial akibat gaya gempa yang bekerja
sepanjang baik sumbu denah utama sama atau melebihi 20 persen kuat desain aksial
kolom atau dinding harus didesain untuk pengaruh beban paling kritis akibat
penerapan gaya gempa dalam semua arah.
1.3.4 Kombinasi beban terfaktor

Dengan mengacu pada kombinasi pembebanan SNI 1727-2013, komponen-


elemen struktur dan elemen-elemen fondasi harus dirancang sedemikian hingga
kuat rencananya sama atau melebihi pengaruh beban-beban terfaktor dengan
kombinasi-kombinasi sebagai berikut
a) 1,4 D
b) 1,2 D + 1,6 L+ 0,5 (Lr atau R)
c) 1,2 D + 1,6 (Lr atau R) + (L atau 0,5W)
d) 1,2 D + 1,0 W+ L +0,5 (Lr atau R)
e) 1,2 D ± 1,0 E + L+ 0,2 S
f) 0.9 D ± 1,0 W
g) 0.9 D ± 1,0 E

Keterangan:
D: Beban mati yang diakibatkan oleh berat konstruksi permanen, termasuk
dinding, lantai, atap, plafon, partisi tetap, tangga, dan peralatan layan tetap.
L: Beban hidup yang ditimbukan oleh penggunaan gedung, termasuk kejut, tetapi
tidak termasuk beban lingkungan seperti angin, hujan, dan lain-lain.
R: Beban hujan
W: beban angin
Lr: Beban hidup atap
1.3.5 Simpangan Antar Lantai Tingkat Ijin

Simpangan antar lantai tingkat desain (∆) tidak boleh melebihi simpangan antar
lantai ijin (∆a) seperti didapatkan dari tabel 2.1 untuk semua tingkat.
Tabel 2.1 Simpangan antar lantai ijin, ∆a
Kategori risiko
Struktur
I atau II III IV
Struktur, selain dari struktur dinding geser batu
bata, 4 tingkat atau kurang dengan dinding
interior, partisi, langit-langit dan sistem dinding 0,025hsxc 0,020hsx 0,015hsx
eksterior yang telah didesain untuk
mengakomodasi simpangan antar lantai tingkat.

Struktur dinding geser kantilever batu bata 0,010hsx 0,010hsx 0,010hsx

Struktur dinding geser batu bata lainnya 0,007hsx 0,007hsx 0,007hsx

Semua struktur lainnya 0,020hsx 0,015hsx 0,010hsx

hsx adalah tingkat dibawah tingkat X.

1.4 Dasar-dasar Perencanaan Struktur Beton Bertulang

1.4.1 Asumsi Perencanaan

Dalam menghitung struktur terhadap beban lentur atau aksial atau


kombinasi dari beban lentur dan aksial, mengacu pada SNI 2847:2013 asumsi yang
diperlukan dalam perencanaan adalah sebagai berikut.
a) Regangan dalam tulangan dan beton harus diasumsikan berbanding
langsung dengan jarak terhadap sumbu netral.
b) Regangan maksimum yang dapat digunakan pada serat beton terluar harus
diasumsikan sama dengan 0,003.
c) Tegangan pada tulangan yang nilainya lebih kecil daripada kekuatan leleh
harus di ambil sebesar Es dikalikan dengan regangan baja. Untuk regangan
yang nilainya lebih besar dari regangan leleh yang berhubungan dengan fy,
tegangan pada tulangan harus diambil sama dengan fy.
d) Dalam perhitungan aksial dan lentur beton bertulang, kekuatan tarik beton
diabaikan dan tidak digunakan dalam hitungan.
e) Hubungan antara distribusi tegangan tekan beton dan regangan beton boleh
di asumsikan berbentuk persegi, trapesium, parabola, atau bentuk lainnya
yang menghasilkan perkiraan kekuatan yang cukup baik bila dibandingkan
dengan hasil pengujian tekan. Ketentuannya dapat dapat oleh suatu
distribusi tegangan beton persegi ekivalen yang didefinisikan sebagai
berikut :
a) Tegangan beton sebesar 0,85f’c diasumsikan terdistribusi secara
merata pada daerah tekan ekuivalen yang dibatasi oleh tepi penampang dan
suatu garis lurus yang sejajar dengan sumbu netral sejarak a = β1 c dari serat
dengan regangan tekan maksimum.
b) Jarak c dari serat dengan regangan maksimum ke sumbu netral harus
diukur dalam arah tegak lurus terhadap sumbu tersebut.
c) Untuk f’c antara 17 dan 28 Mpa, β1harus diambil sebesar 0,85.
Untuk f’c di atas 28 MPa, β1 harus direduksi sebesar 0,05 untuk setiap
kelebihan kekuatan 7 MPa diatas 28 MPa, tetapi β1 tidak boleh diambil
kurang dari 0,65. Ketentuan ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
jika 17 MPa ≤ f’c≤ 28 MPa ; 𝛽1 = 0,85
jika f’c> 28 MPa ; 𝛽1 = 0,85 – 0,05 (f’c– 28) / 7, tidak boleh
kurang dari 0,65.

1.4.2 Faktor Reduksi Kekuatan

Konsep keamanan lapis kedua adalah reduksi kapasitas teoritik komponen


struktur dengan menggunakan faktor reduksi kekuatan dalam menentukan kekuatan
desain.Pemakaian faktor reduksi dimaksudkan untuk memperhitungkan
kemungkinan penyimpangan terhadap kekuatan bahan, pengerjaan, ketidaktepatan
ukuran, pengadukan, dan pengawasan pelaksanaan. SNI-2847-2013 pasal 9.3.2
memberikan faktor reduksi kekuatan untuk berbagai mekanisme, beberapa
diantaranya adalah sebagai berikut :
a) Penampang terkendali tarik ϕ = 0,90
b) Penampang terkendali tekan : bertulang spiral ϕ = 0,75
bertulang lainnya ϕ = 0,65
c) Geser dan torsi ϕ = 0,75
d) Tumpuan pada beton ϕ = 0,65
e) Daerah angkur pasca tarik ϕ = 0,85
Alternatifnya adalah bila Lampiran B (tentang Ketentuan Alternatif untuk
Komponen Struktur Lentur dan tekan Beton Bertulang dan Prategang) digunakan,
untuk komponen struktur dimana fy tidak melampaui 420 MPa, dengan tulangan
simetris, dan dengan (d-d’)/h tidak kurang dari 0,70 , maka nilai ϕ boleh
ditingkatkan secara linier menjadi 0,90 seiring dengan berkurangnya nilai ϕPn dari
0,10f’cAg ke nol. Untuk komponen struktur bertulang lainnya, nilai ϕ boleh
ditingkatkan secara linier menjadi 0,90 seiring dengan berkurangnya nilai ϕPn dani
nilai terkecil antara 0,10f’c Agatau ϕPb ke nol.

1.5 Pelat Lantai

Perhitungan ketebalan pelat lantai untuk mengendalikan lendutan yang


mungkin terjadi mengacu untuk struktur Waffle Slab pada SNI-2847-2013, sesuai
dengan pasal 8.13.6.1 Tebal slab tidak boleh kurang dari seperduabelas jarak
bersih antar rusuk, atau tidak kurang dari 50 mm Balok.
1.5.1 Rasio Tulangan

Rasio tulangan pada perencanaan balok lentur bergantung pada mutu beton
(fc’) dan mutu baja tulangan (fy), dan tidak bergantung pada besar- kecilnya ukuran
penampang struktur. Nilai dari rasio tulangan ini juga berkaitan dengan keruntuhan
yang terjadi pada balok lentur, dimana keruntuhan ini dibagi atas 3 jenis, yaitu
keruntuhan tekan, keruntuhan seimbang, dan keruntuhan tarik.
1.5.2 Penulangan Lentur Balok

Penulangan lentur balok persegi direncanakan hanya dengan menggunakan


tulangan tarik saja (tulangan tunggal), namun pada umumnya hampir semua balok
dipasang dengan tulangan rangkap. Pada perencanaan beton bertulang, regangan
tulangan tarik selalu diperhitungkan sudah leleh. Sedangkan untuk tulangan tekan,
regangan tulangan tekan (εs’) belum tentu leleh (Asroni, 2010).
Gambar 2.6. Distribusi Regangan dan Tegangan pada Balok Penampang
Persegi

Berdasarkan penjabaran gambar distribusi regangan dan tegangan di atas, maka


nilai regangan tulangan tekan dapat dihitung.

a−β1 .ds ′
εs ′ = × 0,003 (2.7)
a

Tegangan tekan baja tulangan fs’ dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan
2.28.

0,85.β1 .fc ′ ds ′
fs ′ = 600 [1 − ] (2.8)
(ρ−ρ′ )fy d

dengan,
εs’ = regangan tekan baja tulangan = fs’ / Es
a = tinggi balok tegangan beton tekan persegi ekuivalen = β1.c
ds’ = jarak antara titik berat tulangan tekan dan tepi serat beton tekan
fs’ = tegangan tekan baja tulangan = εs’. Es
Untuk mengetahui tulangan tekan sudah leleh atau belum, maka dikontrol
dengan Persamaan 2.9.

0,85 .fc ′ b d′ 600


(ρ − ρ′ ) ≥ × × 600−f (2.9)
fy d y

Untuk menghitung tinggi blok tekan beton digunakan Persamaan 2.10.

(As fy −As ′ fs ′)
a= (2.10)
0,85 .fc ′ b
1.5.3 Momen Nominal dan Rencana Balok

Pada penampang balok bertulang rangkap, bagian atas bekerja 2 buah gaya
tekan ke kiri, sedangkan penampang balok bagian bawah bekerja 1 buah gaya tarik
ke kanan. Gaya tekan dan gaya tarik tersebut sama besar dan bekerja berlawanan
arah, sehingga menimbulkan momen yang disebut momen nominal aktual (Mn)
yang kemudian dapat dilihat pada Persamaan 2.11 sampai dengan Persamaan 2.14.
Mn = Mnc + Mns (2.11)
Mnc = Cc . (d − a/2) dengan Cc = 0,85. fc ′ . a. b (2.12)
Mns = Ts . (d − ds ′ ) dengan Ts = As . fs ′ (2.13)
Mr = ϕ . Mn dengan ϕ = 0,9 (2.14)
1.5.4 Kontruksi Balok T

Jika momen yang bekerja pada penampang adalah momen negatif, maka balok
T akan berperilaku seperti balok persegi biasa (bagian yang diarsir pada Gambar
2.10a), dimana bagian beton yang tertekan berbentuk empat persegi dengan lebar
yang tertekan sebesar bw, sehingga analisis dan desainnya sama seperti balok
persegi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.6.

Daerah tekan persegi Daerah tekan persegi


Daerah tekan “T” akibat
akibat momen negatif akibat momen positif
momen positif (balok T)
(seperti balok persegi (seperti balok persegi
selebar bw) selebar bf)
(c)
(a) (b)
Gambar 2.7 Kemungkinan Bagian Tekan pada Balok T
Jika momen yang bekerja pada penampang adalah momen positif, maka ada 2
kemungkinan yang terjadi, yaitu:
a) Balok akan berperilaku sebagai balok persegi jika bagian yang tertekan
hanya pada bagian sayap saja (Gambar 2.6b), dengan lebar bagian tekan bf.
b) Balok akan berperilaku sebagai balok T murni jika bagian yang tertekan
meliputi sayap dan badan balok T.
Berikut adalah ketentuan balok T untuk lebar efektif pelat (bf) berdasarkan SNI-
2847-2013:
Untuk balok interior berbentuk T ketentuannya adalah:
a) bf ≤ ¼ bentang balok, dan
b) Lebar pelat efektif sayap yang menggantung pada masing-masing sisi badan
tidak boleh melebihi:
a) Delapan kali tebal pelat, dan
b) Setengah jarak bersih ke badan di sebelahnya.
Untuk balok eksterior berbentuk L ketentuannya adalah:
a) bf≤ 1/12 bentang balok,
b) Enam kali tebal pelat, dan
c) Setengah jarak bersih ke badan sebelahnya.
Penulangan lentur pada balok T dapat dihitung seperti pada penulangan lentur
pada balok persegi biasa apabila kemampuan menahan momen akibat beton tekan
flens lebih besar daripada momen nominal yang mampu ditahan balok
(MCc ≥ Mn ). Kuat tekan beton sisi tekan setebal flens dihitung dengan Persamaan
2.15.
𝐂𝐜 = 𝟎, 𝟖𝟓 . 𝐟𝐜 ′ . 𝐛 . 𝐚 (2.15)
Maka kemampuan menahan momen akibat beton tekan flens dapat dihitung dari
Persamaan 2.16.
𝐚
𝐌𝐂𝐜 = 𝐂𝐜 . (𝐝 − 𝟐) (2.16)
Jika balok yang digunakan berpenampang bukan persegi seperti yang terlihat pada
Gambar 2.7, maka kuat tekan beton dihitung dengan Persamaan 2.17.
𝐂𝐜 = 𝟎, 𝟖𝟓 . 𝐟𝐜 ′ . (𝐛𝟏 + 𝐚 𝐜𝐨𝐬 𝛂). 𝐚 (2.17)
Gambar 2.8 Balok berpenampang trapesium

1.5.5 Penulangan Geser dan Torsi Balok

Tulangan geser dibutuhkan untuk menahan gaya geser/gaya lintang yang


bekerja pada bagian ujung balok sehingga dapat menimbulkan retak miring pada
balok. Torsi atau momen puntir adalah momen yang bekerja terhadap sumbu
longitudinal balok/elemen struktur yang dapat terjadi karena adanya beban
eksentrik yang bekerja pada balok tersebut. Bedasarkan SNI-2847-2013, pengaruh
torsi atau puntir dapat diabaikan jika momen puntir terfaktor Tu memenuhi syarat
pada Persamaan 2.18.

Tu ≤ ϕ0,083λ√fc ′ (Σx 2 y) dengan ϕ = 0,75 (2.18)


Dengan,
Σx 2 y = x1 2 y1 + 2x2 2 (3x2 ) untuk balok berpenampang persegi.

Gambar 2.9 Tampang Penahan Momen Puntir

Besar momen tahanan balok dengan adanya pelat lantai dengan tampang trapesium
seperti pada Gambar 2.8, dihitung dengan Persamaan 2.19.
Σx 2 y = x1 2 y1 + 2x2 2 (z + 3x2 ) (2.19)
Kuat momen torsi yang diberikan balok beton dapat dihitung dengan Persamaan
2.20.
√ fc ′
Σx2 y
15
Tc = (2.20)
2
√1+[0,4Vu ]
Ct Tu

Kemampuan maksimum menahan geser pada balok beton dihitung dengan


Persamaan 2.21.
√ fc ′
bw .d
6
Vc = (2.21)
2
√1+[2,5.Ct .Tu ]
Vu

Luas tulangan torsi memanjang yang diperlukan dihitung dengan Persamaan 2.22.
2,8.h.S Tu x1 +y1
AL = [ [ V ] − 2At ] (2.22)
fy Tu + u S
3Ct

1.6 Kolom

Karena kolom merupakan komponen tekan, maka keruntuhan pada satu


kolom merupakan lokasi kritis yang dapat menyebabkan collapse (runtuhnya) lantai
yang bersangkutan, dan juga runtuh total seluruh strukturnya. Oleh karena itu,
dalam merencanakan kolom perlu diwaspadai, yaitu dengan memberikan kekuatan
cadangan yang lebih tinggi dari pada yang dilakukan pada balok dan elemen
struktural horisontal lainnya, terlebih lagi karna keruntuhan tekan tidak
memberikan peringatan awal yang cukup jelas (Nawy,1985).

Pada dasarnya konsep perencanaan kolom hampir sama dengan perencanaan


balok, hanya saja ada penambahan beban aksial. Kondisi penampang kolom bila
dibebani tekan dan lentur maka kondisi dari tegangan dan regangan pada kolom
digambarkan oleh diagram tegangan dan regangan dibawah ini:
Gambar 2.10. Diagram tegangan dan regangan kolom.
(Sumber: McCormac, 2001)

Akibat beban aksial dan lentur yang bekerja pada kolom, seperti halnya pada
balok, maka penampang kolom akan mengalami tekan pada satu sisi (atas) dan tarik
pada sisi lainnya (bawah). Dari gambar regangan dan tegangan diatas, maka gaya
yang timbul pada beton adalah sebagai berikut:

Gaya tulangan tekan pada beton adalah

Cs=As.f’c (2.23)

fsc= ɛs.Es (2.24)

Cs adalah gaya tulangan baja tekan fsc adalah tegangan tekan tulangan baja dan
Es adalah modulus elastisitas baja yang nilainya Es=210000MPa. Apabila letak
garis netral lebih tinggi dibanding jarak tulangan tekannya kesisi atas kolom, maka
fsc menjadi:

Cs= (fsc-0.85f’c)As (2.25)

Gaya tekan beton adalah


Cc =0.85f’cab (2.26)

f’c, kuat tekan beton yang diizinkan, a luas ekivalen persegi tegangan beton

Gaya tulangan tarik pada beton adalah

Ts =Asfs (2.27)

fs = ɛsEs (2.28)

As :luas tulangan tarik.

fs : tegangan tarik baja.

ɛs :regangan tarik tulangan baja.

Es :modulus elastisitas baja 200000MPa

1.7 Fondasi

Pondasi tiang digunakan untuk mendukung struktur/bangunan bila lapisan


kuat terletak sangat dalam.Tiang pancang yang biasa digunakan adalah tiang
pancang pracetak yaitu tiang dari beton yang dicetak di suatu tempat dan
kemudian diangkut ke lokasi rencana bangunan.
Daya dukung tiang adalah kemampuan atau kapasitas tiang dalam
mendukung/memikul beban. Dalam beberapa literatur digunakan istilah pile
capacity atau pile carrying capacity.

1.7.1 Daya Dukung Ultimit Cara Statis

Daya dukung ultimit netto tiang (Qu) adalah jumlah dari tahanan ujung bawah
ultimit (Qb) dengan tahanan gesek ultimit (Qs) antara dinding tiang dan tanah
disekitarnya dikurangi dengan berat sendiri tiang (Wp). Bila dinyatakan dalam
persamaan, maka :
Qu = Qb + Qs – Wp (2.29)
Dimana :
Wp = berat sendiri tiang (kN)
Qu = kapasitas dukung ultimit netto (kN)
Qb = tahanan ujung bawah ultimit (kN)
Qs = tahanan gesek ultimit (kN)

1.7.2 Daya Dukung Tiang Pada Tanah Non Kohesif/Granuler


a. Daya Dukung/Tahanan Ujung Batas
Pada tanah granuler tidak mempunyai kohesi (c = 0) dan diameter tiang relative
kecil dibandingkan dengan panjangnya sehingga suku persamaan cb . Nc = 0 dan
0,5 . γd . Nγ dapat diabaikan sehingga :
Qb = Ab . pb . Nq (2.30)
Dimana :
Qb = daya dukung ujung batas.
Ab = luas penampang ujung.
Pb = tekanan overburden.
Nq = faktor daya dukung
b. Daya Dukung/Tahanan Gesek Batas
Daya dukung/tahanan geser satuan qs atau fs terjadi bila tegangan geser
sepanjang tiang – tanah melebihi kuat geser. Hal ini memerlukan perpindahan
(displacement) hanya 5 – 10 mm. Tahanan geser batas antara tiang dengan tanah
non kohesif (pasir) dapat ditulis berdasarkan persamaan umum diatas. Tanah non
kohesif/granular adalah lolos air maka analisis didasarkan tinjauan tegangan
efektif.
Qs = Σ As. Kd. tg δ. Po (2.31)
Dimana :
As = luas selimut tiang
Kd = koefisien tekanan tanah yang bergantung pada kondisi tanah
δ = 2/3 x Ø = sudut gesek antara dinding tiang dan tanah
Po = tekanan vertikal efektif rerata di sepanjang tiang yang besarnya sama
dengan tekanan overburden efektif untuk z ≤ zc dan sama dengan tekanan
vertikal kritis untuk z ≥ zc.
c. Daya Dukung Terhadap Gaya Tarik
Untuk menghitung kapasitas tarik tiang digunakan metode Coyle dan
Castello (1981).
𝑄𝑠
Ta = + (0,9 x Wtiang) (2.32)
5

Dimana :
Qs = daya dukung gesek batas
Wtiang = berat tiang yang tertanam dalam tanah
d. Daya Dukung Terhadap Gaya Lateral
Kapasitas momen tiang didasarkan dari momen pengangkatan tiang.
Sedangkan kapasitas tanah pendukung didasarkan pada rumus berikut ini:
Mmaks = γ’. d . 𝑙 3 . Kp (2.33)
Dimana:
γ' = berat volume tanah (saturated) lapisan tanah asli
d = diameter tiang pancang
l = Panjang tiang di bawah pile cap
Kp = koefisien tekanan tanah pasif
Ø = sudut gesek
𝐻
f = 0,82√𝑑.𝐾𝑝.𝛾 (2.34)

dimana:
2𝑀𝑦
Hu = 2𝑓 (2.35)
𝑒+
3

e. Efisiensi Tiang
Menurut Vesic (1976), pada tiang yang dipancang pada tanah granuler,
kapasitas kelompok tiang lebih besar dari pada jumlah kapasitas masing-masing
tiang di dalam kelompoknya. Keadaan ini menyebabkan efisiensi kelompok
tiang cenderung lebih besar dari 1 (>100%).

Anda mungkin juga menyukai