Sambiloto
Sambiloto
PENDAHULUAN
Pada saat ini, pemanfaatan tumbuhan sebagai obat mengalami peningkatan. Oleh
karena itu banyak penelitian yang mengarah pada pemaanfaatan tumbuhan obat tersebut.
Salah satunya adalah penelitian mengenai isolasi senyawa aktif dari tumbuhan obat.
Tumbuhan yang dapat digunakan sebagai obat salah satunya adalah sambiloto
(Andrographis paniculata Ness).
Sambiloto adalah tanaman liar yang diduga berasal dari India. Tanaman yang sangat
pahit ini dipatenkan sebagai obat antiHIV oleh sebuah perusahaan Farmasi Jerman.
Sementara di Indonesia, Dirjen POM, Departemen Kesehatan RI, menetapkan Sambiloto
sebagai salah satu dari sembilan tanaman obat unggulan yang sudah diuji secara klinis.
ambiloto tumbuh liar di tempat terbuka seperti kebun, tepi sungai tanah kosong
yang agak lembap atau dipekarangan. Daun tunggal, bertangkai pendek, letak berhadapan
bersilang, bentuk laset, pangkal runcing, ujung meruncing, tepi rata, permukaan atas hijau
tua, bagian bawah hijau muda, panjang 2-8 cm, lebar 1-3 cm. Bunga berbibir berbentuk
tabung, kecil-kecil, warnanya putih bernoda ungu,. Buah kapsul berbentuk jorong.
Perbanyak dengan biji atau stek batang.
Tanaman sambiloto berkembang baik dengan biji atau stek batang. Tinggi pohon
dewasa bisa mencapai 50-90 cm. Batang dan cabangnya berbentuk segi empat, sedangkan
daunnya berjenis tunggal dengan panjang sekitar 2-8 cm dan lebar 1-3 cm.
Kandungan kimia yang terdapat pada Sambiloto, yaitu:
Sambiloto mengandung senyawa flavonoid yang bersifat mencegah sekaligus
menghancurkan penggumpalan darah.
Sambiloto memiliki kadar kalium yang tinggi dan rendah kandungan natrium. Kalium
diperlukan untuk mengeluarkan air dan natrium dalam tubuh sehingga bisa menurunkan
tekanan darah. Sementara natrium harus di hindari karena bisa meningkatkan tekanan
darah.
1
Salah satu tanaman yang sering digunakan sebagai obat tradisional di Indonesia
adalah sambiloto (Andrographis paniculata Ness) yang mempunyai banyak sekali khasiat,
diantaranya untuk penyakit kurap, sakit perut, demam karena gigitan serangga/ular berbisa,
tifus dan penyakit malaria (Heyne, 1987).Tanaman ini juga mengandung andrografin,
androgafolid (zat pahit) dan panikulin dimana sifat antibiotiknya mampu meningkatkan
fungsi pertahanan tubuh dan membantu menyembuhkan luka akibat kanker.
Orang jawa biasa menyebutnya sebagai “obat segala obat”. Julukan ini diberikan
karena diangap mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Samiloto yang memiliki nama
ilmiah Andrographis paniculata Ness, diketahui dapat mempertahankan kondisi dan imunitas
tubuh, menanggulangi diabetes, menurunkan tekanan darah tinggi, mengobati kanker
prostat, hepatitis, penyakit paru, disentri, tiroid, diare, amandel, influenza, radang ginjal,
usus buntu, malaria dan sebagainya.
1.2 Tujuan
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
HO
O
Me
HO
Me CH 2OH
2.3.1 Makroskopik
Tanamanan sambiloto merupakan terna tumbuhan tegak, tinggi 40 cm
sampai 90 cm, percabangan banyak letak yang berlawanan, cabang berbentuk
segi empat dan tidak berambut. Bentuk daun lanset, ujung daun dan pangkal daun
tajam, tepi daun rata, panjang daun 3 cm samapi 12 cm dan lebar 1 cm sampai 3
cm, panjang tangkai 5 mm sampai 25 mm; daun bagian atas bentuknya seperti
daun pelindung. Perbungaan tegak bercaban-cabang, gagang bunga 3 mm samapi
7 mm., panjang kelopak bunga 3 mm sampai 4 mm. Bunga berbibir tabung,
panjang 6 mm, bibir bunga bagian atas berwarna putih dengan warna kuning
dibagian atasnya, ukuran 7 mm sampai 8 mm, bibir bunga bawah lebar berbentuk
biji, berwarna ungu dan panjang 6 mm. Tangkai sari sempit dan melebar pada
4
bagian pangkal, panjang 6 mm. Bentuk buah jorong dengan ujung yang tajam,
panjang lebih kurang 2 cm, bila tua akan pecah terbagi menjadi 4 keping (Depkes,
1979)
2.3.2 Mikroskopik
Daun : epidermis atas terdiri dari satu lapis sel berbentuk segi empat, kutikula
tipis, pada penampang tangensial tampak berbentuk polygonal, dinding samping
lurus, tidak terdapat stomata.pada lapisan epidermis terdapat banyak sel litosiis
yang berisi sistolit ; sistolit mengandung banyak kalsium karbonat. Selitosis
umumnya lebih besar daripada sel epidermis, bentuk jorong atau bulat telur
memanjang. Sel epidermis bawah lebih kecil dari sel epidermis atas, pada
penampang tangensial tampak dinding samping bergelombang. Stomata sangat
banyak tipe bidiasitik dan diasitik, mumnya dibiasitik.rambut kelenjar dan litosis
lebih banyak terdapat di epidermis bawah daripada epidermis atas jaringan
palisade umumnya terdiri dari satu lapis sel jarang yang dua lapis. Naringan unga
karang terdiri dari beberapa lapis sel bunga karang, tersusun renggang dengan
rongga udara yang besar ; diantara sel bunga karang terdapat juga sel litosis
serupa degan yang terdapat di epidermis (MMI, 1979).
2.5 Metode
2.5.1 Ekstraksi
5
Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya dengan
menggunakan pelarut. Jadi, ekstrak adalah sediaan yang diperoleh dengan cara ekstraksi
tanaman obat dengan ukuran pertikel tertentu dan menggunakan medium pengekstrasi
(menstrum) yang tertentu pula.
Ekstraksi dapat dilakukan menurut berbagai cara. Ekstrak yang diperoleh sesudah
pemisahan cairan dari residu tanaman obat dinamakan “micela”. Micelle ini dapat diubah
menjadi bentuk obat siap pakai, seperti ekstrak cair dan tinktura atau sebagai
produk/bahan antara yang selanjutnya dapat diproses menjadi ekstrak kering.
(Agoes.G,2007).
A. Cara Dingin
1. Maserasi
Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan
pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur
ruangan (kamar). Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang
kontinu (terus menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan
penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan
seterusnya. Hasil ekstraksi disebut maserat, dan digunakan untuk senyawa
kimia termolabil.
2. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai
sempurna yang umum dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri
dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi
sebenarnya (penetasan/penampungan ekstrak), terus-menerus sampai
diperoleh perkolat yang jumlahnya 1-5 kali bahan.
6
B. Cara panas
1. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temparatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan
dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses
pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses
ekstraksi sempurna.
2. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang
umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu
dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.
3. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan adanya pengadukan kontinu
pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu
secara umum dilakukan pada temperatur 40-50◦ C.
4. Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air
(bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-
98◦C) selama waktu tertentu (15-20 menit).
5. Dekok
Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥30◦C) dan temperatur
sampai titik didih air (Depkes RI, 2000).
2.5.2 Fraksinasi
7
Prinsip dari pemisahan adalah adanya perbedaan sifat fisik dan kimia dari
senyawa yaitu kecenderungan dari molekul untuk melarut dalam cairan
(kelarutan), kecenderungan molekul untuk menguap (keatsiriaan) kecenderungan
molekul untuk melekat pada permukaan serbuk labus (adsorpsi, penyerapan).
Salah satu pemisahan adalah kromatografi cair vakum, kromatografi
vakum adalah kromatografi kolom yang dipercepat dan bekerja pada kondisi
vakum. Alat yang digunakan terdiri dari corong G-3, sumbat karet, penghisap yang
dihubungkan dengan pompa vakum serta wadah penampung fraksi.
2.5.3 Isolasi
8
Pemilihan pelarut pengembang dipengaruhi oleh jenis dan polaritas
komponen-komponen kimia dipisahkan.
Walaupun silika gel banyak digunakan, lapisan dapat pula dibuat dari
aluminum oksida, “celite” kalsium hidroksida, damar penukar ion, magnesium
fosfat, poliamida, “ sephadex “, polifinil pirolidon, selulosa, dan campuran dua
bahan diatas atau lebih. Kecepatan KLT yang lebih besar disebabkan oleh sifat
penyerap yang lebih padat bila disaputkan pada pelat dan merupakan keuntungan
bila kita menelaah senyawa labil. Kepekaan KLT sedemikian rupa sehingga bila
diperlukan dapat dipisahkan bahan yang jumlahnya lebih sedikit dari ukuran g.
Dalam Kromatografi Lapis Tipis (KLT), pemisahan yang baik adalah berupa
bercak yang bundar yang merupakan tiap-tiap komponen terpisah dari suatu
senyawa. Pengekoran dapat terjadi disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
Pemisahan yang tidak baik
Terlalu tingginya konsentrasi komponen yang ditutulkan.
Tidak jenuhnya wadah/chamber oleh uap fasa gerak (larutan pengembang)
sehingga fasa gerak yang mengelusi plat KLT segera menguap.
Ketidaktepatan pemilihan fasa gerak terhadap jenis fasa diam (absorben) dan
sampel yang digunakan.
9
BAB III
Bahan penelitian berupa herba sambiloto kering yang diperoleh dari Toko
Babakuya di jalan Oto Iskandardinata dekat Pasar Baru Bandung.
10
turunanya terdestruksi dan menguap sehingga yang tertinggal hanya unsure
mineral dan anorganik dengan tujuan untuk memberikan gambaran kandungan
mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai terbentuknya
ekstrak (DitJen POM, 2000).
Simplisia uji yang ditimbang sebanya 2,5 gr dan digerus halus, dimasukkan
ke dalam cawan krus. Kemudian dipijarkan hingga arangnya habis, didinginkan
dan ditimbang, Jika arang tidak dapat hilang, maka dilakukan penyaringan dengan
kertas saring bebas abu, sisa dan kertas saring dipijarkan pada cawan krus yang
sama. Filtratnya dimasukkan pada cawan krus, diuapkan dan dipijar samapi
bobotnya tetap, kemudian ditimbang. Kadar abu totoal dihitung terhadap simplisia
yan telah dikeringkan diudara (Depkes, 1989).
11
telah ditara. Jika suhu lebur zat lebih rendah dari suhu penetapan, pengeringan
dilakukan pada suhu antara 5o dan 10o dibawah suhu leburnya selama 1 jam
sampai 2 jam, kemudian pada suhu penetapan selama waktuyang ditentukan atau
hingga bobot tetap (Depkes, 1979)
Penentun kadar sari larut air bertujuan untuk mengetahui kadar sari dari
bahan yang terlarut di dalam pelarut air. Serbuk simplisia kering terlebih dahulu
dikeringkan diudara, kemudian 5gr serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam
dengan menggunakan 100mL air kloroform P (1000: 2,5), dalam labu bersumbat
sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudia dibiarkan selama
18 jam. Kemudian disaring dan 20 mL filtrate diuapakan hingga kering dalam
cawan dangkal berdasarkan rata yang telah ditara, kemudian dihiitung terhadap
bobot bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1989).
Penentuan kadar sari larut etanol bertujuan untuk mengetahui kadar sari
dari yang terlarut di dalam pelarut etanol. Serbuk simplisia kering terlebih dahulu
dikeringkan diudara, kemudian 5 gr serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam
dengan menggunakan 100 mL etanol 95% dalam labu bersumbat sambil berkali-
kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam,
kemudian disaring dan 20mL filtrat diuapkan hingga kering dalam cawan dangkal
berdasarkan rata yang telah ditara, kemudian panaskan residu pada suhu 105oC
hingga bobot tetap, kemudian dihitung terhadap bobot bahan yang telah
dikeringkan (Ditjen POM, 2000).
3.3 Skrining
12
a. Alkaloid
Sejumlah sampel dalam mortir, dibasakan dengan amonia sebanyak 1 mL,
kemudian ditambahkan kloroform dan digerus kuat. Cairan kloroform disaring, filtrat
ditempatkan dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan HCl 2 N, campuran
dikocok, lalu dibiarkan hingga terjadi pemisahan. Dalam tabung reaksi terpisah:
Filtrat 1 : Sebanyak 1 tetes larutan pereaksi Dragendorff diteteskan ke dalam filtrat,
adanya alkaloid ditunjukkan dengan terbentuknya endapan atau
kekeruhan berwarna hingga coklat.
Filtrat 2 : Sebanyak 1 tetes larutan pereaksi Mayer diteteskan ke dalam filtrat,
adanya alkaloid ditunjukkan dengan terbentuknya endapan atau
kekeruhan berwarna putih.
Filtrat 3 : Sebagai blangko atau kontrol negatif (MMI V, 1989).
b. Flavonoid
Sejumlah sampel digerus dalam mortir dengan sedikit air, pindahkan dalam
tabung reaksi, tambahkan sedikit logam magnesium dan 5 tetes HCl 2 N, seluruh
campuran dipanaskan selama 5–10 menit. Setelah disaring panas–panas dan filtrat
dibiarkan dingin, kepada filtrat ditambahkan amil alkohol, lalu dikocok kuat–kuat,
reaksi positif dengan terbentuknya warna merah pada lapisan amil alkohol (MMI V,
1989)
13
e. Steroid dan Triterpenoid
Serbuk simplisia digerus dengan eter, kemudian fase eter diuapkan dalam
cawan penguap hingga kering, pada residu ditetesi pereaksi Lieberman-Burchard.
Terbentuknya warna ungu menunjukkan kandungan triterpenoid sedangkan bila
terbentuk warna hijau biru menunjukkan adanya senyawa steroid (Fransworth,
1966).
f. Kuinon
Sampel ditambahkan dengan air, dididihkan selama 5 menit kemudian
disaring dengan kapas. Pada filtrat ditambahkan larutan NaOH 1 N. Terjadinya
warna merah menunjukkan bahwa dalam bahan uji mengandung senyawa golongan
kuinon (Fransworth, 1966).
g. Saponin
Sampel ditambahkan dengan air, dididihkan selama 5 menit kemudian
dikocok. Terbentuknya busa yang konsisten selama 5-10 menit ± 1 cm, berarti
menunjukan bahwa bahan uji mengandung saponin (MMI V, 1989).
Prosedur :
1. Simplisia yang terdiri atas sambiloto disortasi dahulu untuk dipisahkan dari
pengotornya. Kemudian simplisia diserbukkan lalu di timbang 500g simplisia yang
akan diekstraksi. Setelah ditimbang masing-masing simplisia dilakukan dekoktasi
menggunakan pelarut air pada temperatur 90oC selama 30 menit (Rakesh, at al.,
1994).
2. Ekstrak cair yang diperoleh kemudian di kentalkan dengan pemanasan hingga
diperoleh ekstrak kental.
3. Berat ekstrak kental ditetapkan, kemudian dikonversikan terhadap volume ekstrak
total yang diperoleh. Rendemen ekstrak ditetapkan dengan perumusan :
14
4. Dengan menggunakan ekstrak cair dilakukan dinamolisis dengan cara sebagai
berikut :
3.5 Fraksinasi
Prosedur :
15
1. Alat kromatografi cair vakum dirangkaikan.
2. Silika gel dimasukkan pada kolom kaca yang dihisap dengan pompa vakum setinggi
2,5-3 cm, kemudian permukaan fasa diam diratakan.
3. Ekstrak yang akan difraksinasi dikeringkan dengan cara digerus bersama-sama
dengan silika gel (1:1).
4. Ditaburkan diatas permukaan kolom dengan ketebalan setipis mungkin dan ditutup
kertas saring.
5. Elusi dengan menggunakan campuran pelarut non polar : polar dengan berbagai
tingkat perbandingan 10:0, 9:1, 8:2,
7 :3, 6:4, .... 0:10. Masing-masing sebanyak 50 mL.
3.6 Isolasi
Prosedur :
16
beberapa saat hingga larutan pengembang mencapai batas rambat lebih kurang 1
cm dari tepi atas lempeng.
6. Angkat lempeng, keluarkan dari chamber pengembang, dan dibiarkan mengering
diudara terbuka.
Spektrofotometri UV-VIS
Prosedur :
1. Isolate yang sudah kering diamati dibawah sinar UV 254 nm. Tandai bercak yang
teramati. Setelah itu lempeng disemprot dengan penampak bercak asam sulfat pekat
10 % dalam metanol. Diamati warna dan jumlah bercak. Dibandingkan dengan
jumlah bercak yang teramati pada penyinaran dengan UV.
2. Ditetapkan nilai Rf dari bercak yang teramati dengan cara mengukur jarak rambat
bercak dan dibandingkan dengan jarak rambat larutan pengembang.
3. Fraksi yang mempunyai pola kromatogram yang sama digabungkan.
BAB IV
17
4.1 Hasil Determinasi Tanaman
Ekstrak air herba sambiloto dan batang brotowali diperoleh dengan cara dekoktasi karena
efisiensi waktu dan cepat sehingga mempercepat reaksi penarikan senyawa kimia dalam
simplisianya selain itu juga jika dilihat dari literatur senyawa kimia yang terkandung di dalam
herba sambiloto dan batang brotowali merupakan senyawa kimia termostabil. Hasil ekstraksi
herba sambiloto dan batang brotowali dapat dilihat pada Tabel IV.1 dan Tabel IV.2
Karakteritik simplisia yang diukur adalah kadar air, kadar sari larut air, dan kadar sari
larut etanol, kadar abu, kadar abu yang tidak larut asam. Penetapan kadar air bertujuan untuk
memberikan batasan minimal besarnya kandungan air dalam simplisia, sedangkan kadar sari
memberikan gambaran awal jumlah senyawa kandungan, dan kadar abu untuk memberikan
gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal dari proses awal sampai
terbentuknya ekstrak dan hasilnya menunjukkan bahwa simplisia herba sambiloto dan batang
brotowali yang digunakan memenuhi persyaratan Materia Medika Indonesia. Hasil penetapan
karakteristik simplisia dan ekstrak herba sambiloto dan brotowali dapat dilihat pada Tabel IV.3
dan Tabel IV.4.
18
Tabel IV.3 Hasil Penetapan Karakteristik Simplisia Sambiloto
Hasil
Golongan
Simplisia Ekstrak air
Senyawa
19
Alkaloid
- Mayer + +
- Dragendorff + +
Flavonoid + +
Tanin + -
Fenolat + +
Monoterpen
dan + +
Seskuiterpen
Steroid dan - -
Triterpenoid
Kuinon + +
Saponin + +
Keterangan : (+) = terdeteksi ( - ) = tidak terdeteksi
Kromatografi lapis tipis dilakukan terhadap ekstrak air sambiloto dengan pelat silika gel 60
GF254 menggunakan pengembang butanol : asam asetat : air (4:1:5) (lapisan atas)
menunjukkan adanya tiga spot dengan masing-masing Rf 0,5 ; 0,56 ; 0,6, kemudian spot-spot
tersebut dideteksi dengan penampak bercak vanilin- H2SO4. Salah satu spot dengan Rf 0,56
membentuk warna ungu pada sinar UV 254 nm. Menurut literatur warna tersebut kemungkinan
besar merupakan senyawa andrografolida (Ervonita, 1993). Sedangkan ekstrak air brotowali
pada kromatografi lapis tipis menggunakan pengembang butanol : asam asetat : air (4:1:5)
(lapisan atas) menunujukkan adanya satu spot dengan Rf 0,59 menggunakan penampak H2SO4
: air (7:3) yang menghasilkan warna hijau-kuning. Menurut literatur warna tersebut
kemungkinan merupakan senyawa golongan diterpen (Harbone, 1987).
Hasil KLT ekstrak air herba sambiloto dapat dilihat pada Gambar IV.1, Gambar IV.2.
20
Rf = 3,8 cm
6,0 cm
Rf = 3,0 cm
Rf==0,6
3,4cm
6,0 cm
6,0 cm
= 0,5
= 0,56
Rf = 3,3 cm
6,0 cm
= 0,55
21
Gambar IV.2 Kromatogram KLT ekstrak air herba sambiloto
DAFTAR PUSTAKA
22