Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Myelofibrosis merupakan salah satu penyakit kelainan darah yang sangat jarang ditemui
(2 : 1.000.000) dan 80% penderitanya adalah orang-orang yang sudah berusia di atas 60 tahun.
Dengan presentasi yang lebih kecil, penyakit ini dapat pula menimpa semua kalangan umur.
Myelofibrosis ditandai dengan adanya pengerasan sumsum tulang belakang karena sel-sel stem
yang ada di dalam sumsum tulang secara abnormal tumbuh dan berproliferasi menjadi sel-sel
fibrous yang kemudian membentuk jaringan ikat. Hal ini menyebabkan sel-sel stem yang normal
semakin lama semakin berkurang dan mengakibatkan terganggunya proses pembentukkan sel-sel
darah.1
Walaupun perjalanan penyakit ini cukup lambat dan tidak se-progressive penyakit
kanker, Myelofibrosis sering digolongkan sebagai pre-kanker, tepatnya pre-leukemia, karena
penderita Myelofibrosis memiliki resiko yang cukup tinggi untuk terkena Acute Myeloid
Leukemia (AML) dan sekitar 20% dari penderita Myelofibrosis biasanya mengalami AML ini di
tahap akhir penyakitnya.2
Penyakit ini termasuk jarang didapatkan dalam praktek sehari-hari, pertama kali
dilaporkan oleh Heuck G, pada tahun 1879, dengan nama lebih dari 30 macam, termasuk:
Mielofibrosis primer, osteomielofibrosis, metaplasia mieloid agnogenik, mielofibrosis idiopatik
dan lebih sering disebut sebagai Mielofibrosis dengan Metaplasia Mieloid (MMM).
Sampai saat ini, penyebab Myelofibrosis tidak pernah diketahui, oleh karenanya penyakit
ini dinamai sebagai Chronic Idiopathic Myelofibrosis (Idiopathic = tidak diketahui
penyebabnya). Tidak seperti penyakit lain, penyakit ini sering terdiagnosa secara tidak sengaja
melalui cek darah rutin ataupun keluhan-keluhan lain yang tidak ada hubungannya dengan
Myelofibrosis. Oleh karena itu biasanya Myelofibrosis terdiagnosa setelah penyakit ini berjalan
selama cukup lama (>6 bulan). Hal ini disebabkan karena gejala-gejala awal dari penyakit ini
sering tidak diperhatikan.2, 3

1
TUJUAN

Untuk mengetahui lebih dalam mengenai penyakit “Mielofibrosis” yang meliputi:

1. Mengetahui definisi, etiologi dan epidemiologi dan patofisiologi mielofibrosis.

2. Mengetahui gejala klinis dan tanda pada penyakit mielofibrosis.

3. Mengetahui penetapan metode diagnosis dan pemeriksaan penunjang pada penyakit

mielofibrosis.

4. Mengetahui metode penatalaksanaan pada mielofibrosis.

2
BAB II

PEMBAHASAN

I. DEFINISI

Mielofibrosis merupakan suatu kelainan yang dihubungkan dengan adanya timbunan


substansi kolagen berlebihan dalam sum-sum tulang. Kelainan ini secara definitif merupakan
kelainan sel stem hematopoiesis klonal, dihubungkan dengan chronic myeloproliferative
disorders (CMPD), dimana adanya hematopoiesis ekstramedular merupakan gambaran
menyolok.4

II. ETIOLOGI

Penyebab mielofibrosis belum diketahui dengan jelas. Tidak diketemukan adanya faktor
pencetus. Secara epidemiologi ada beberapa substansi yang diperkirakan sebagai penyebab,
misalnya toluen, benzen, radiasi ionisasi. Insidensi tertinggi mielofibrosis pada pasien akibat
pemberian material kontras radiografi dengan bahan dasar torium, yaitu Torotras. Korban akibat
bom atom Hiroshima juga mempunyai risiko 18 kali lebih besar daripada populasi lainnya
dengan gejala pertama muncul 6 tahun setelah paparan.4

Adanya mutagen diperkirakan sebagai faktor pencetus yang menghasilkan hemopatia


klonal pada mielofibrosis. Abnormalitas sitogenetik ternyata tidak konsisten seperti halnya
perubahan gen bcr/abl pada CML, yang dihadirkan sebagai kandidat gen penting pada
patogenesisnya. Perubahan tingkat molekular terjadinya mielofibrosis masih belum jelas, sampai
sekarang masih dalam penelitian.4

Kelainan kromosom seperti 9p, 20q-, 13q-, trisomi 8 atau 9, atau trisomi parsial 1q
dapat ditemukan pada pasien mielofibrosis, tetapi tidak terdapat abnormalitas sitogenetik yang
spesifik terhadap penyakit ini. Perkembangan mielofibrosis mungkin berhubungan dengan
abnormalitas gen p53 atau gen ras. 5,6 Pada sekitar 50% pasien mielofibrosis memperlihatkan

3
mutasi pada Janus Kinase (JAK2 V617F). Selain itu dari 5% pasien mielofibrosis, ada beberapa
mutasi yang ditemukan pada thrombopoietin gen reseptor MPL W515K/L.7

III. EPIDEMIOLOGI

Myelofibrosis merupakan salah satu penyakit kelainan darah yang sangat jarang ditemui
(2 : 1.000.000) dan 80% penderitanya adalah orang-orang yang sudah berusia di atas 60 tahun.
Dengan presentasi yang lebih kecil, penyakit ini dapat pula menimpa semua kalangan umur.2,4,8,9
Mielofibrosis menyerang golongan umur menengah dan orang tua, jarang mengenai usia muda.
Mielofibrosis pada anak-anak lebih sering terjadi pada usia 3 tahun. Sebanyak 20 % pasien yang
menderita mielofibrosis berada pada rentang umur yang lebih muda dari 56 tahun. 9
Faktor etiologi yang berkaitan dengan penyakit ini adalah paparan radiasi dan faktor
familial.. Tefferi (2003) menemukan insidens mielofibrosis di Amerika Utara 0,3-1,5 kasus per
100.000 populasi.5,6 Dibandingkan dengan ras lainnya, mielofibrosis lebih sering dialami oleh
orang yang memiliki kulit putih. Selain itu, pada orang dewasa mielofibrosis cenderung lebih
sering dialami oleh laki-laki. Sedangkan pada anak-anak, perempuan memiliki kecenderungan 2
kali lebih besar dari laki-laki.9

IV. PATOFISIOLOGI
Mielofibrosis merupakan reaksi sekunder terhadap hemopatia klonal: Dimana sel
fibroblas mensekresi kolagen yang akan diakumulasi. Mereka distimulasi oleh sitokin yang
dibebaskan dari megakariosit neoplastik dan dari sel klonal hemopoietik lainnya. Kolagen
ditimbun dalam ruang ekstraselular dan elemen vaskular dalam sumsum tulang. Empat dari 5
tipe kolagen terdapat disini. Kolagen tipe 1 dan 3 merupakan komponen fibrosis utama pada
mielofibrosis. Timbunan kolagen meningkat setara dengan lamanya penyakit. Pada
mielofibrosis, vaskularisasi meningkat. Luasnya neovaskularisasi ini berhubungan dengan
luasnya penyakit dan mungkin hal ini penting terhadap timbulnya fibrosis. Transforming Growth
Factor (TGF)-β merupakan mediator utama terhadap akumulasi kolagen pada mielofibrosis.
Sitokin ini disintesa oleh megakariosit dan sel endotel seperti halnya pada sistem monosit-
makrofag. TGF-β merupakan stimulus yang poten terhadap angiogenesis.1, 2,4,8

4
Peningkatan vaskularisasi ini akibat adanya neoangiogenesis karena rangsangan faktor
angiogenetik yang dipicu adanya sel ganas. Faktor angiogenetik tersebut adalah basic Fibroblast
Growth Factor (bFGF) dan Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), yang akan memicu sel
endotel untuk migrasi, proliferasi, dan membentuk jaringan pembuluh darah pada tempat
tersebut. Distribusi hematopoiesis ekstramedular pada mielofibrosis melibatkan liver dan limpa.
Ruangan ekstramedular ditumbuhi pindahan sel hematopoiesis.4, 5,6
Kenaikan kadar TGF- β dapat dideteksi dengan naiknya sirkulasi platelet dan
megakariosit. Beberapa Growth Factor lain diperkirakan juga merangsang fibroblast pada
mielofibrosis, antara lain: Platelet derived growth factor yang terdapat pada megakariosit
penderita mielofibrosis, epidermal growth factor, endothelial cell growth factor, interleukin-1,
basic fibroblast growth factor.4

GAMBAR 1. Proses terjadinya fibrosis sum-sum tulang.

5
Pada tikus percobaan, yang diberi TPO konsentrasi tinggi, akan terjadi sindrom yang
menyerupai mielofibrosis. Tikus yang diinjeksi secara cepat dengan polietilen-glikol-conjugated
TPO untuk mempercepat hiperplasia megakariosit. Walaupun begitu, peranan TPO pada
mielofibrosis masih belum jelas, walaupun kadar TPO pada mielofibrosis meningkat tetapi tidak
berkolerasi terhadap masa megakariosit.4

GAMBAR 2. Patofisiologi mielofibrosis.

V. GEJALA KLINIS DAN TANDA

Pada 25% kasus mielofibrosis berpenampilan asimtomatis dalam waktu lama


meskipun tanpa terapi, sehingga diagnosis disugesti dengan adanya pemeriksaan darah yang
abnormal atau secara insidensil terdapat splenomegali.4,8 Gejala klinis pada umumnya: kelelahan
otot dan penurunan berat badan (7-39%), sindrom hipermetabolik (demam, keringat malam
terdapat 5-20% pasien), perdarahan dan memar, kadang terdapat masa dalam perut, gout dan
kolik renal terdapat 4-6%, diare dengan sebab tak jelas dan nyeri substernal kadang ditemukan.

6
Anemia juga dapat terjadi oleh karena eritropoiesis yang tidak efektif. Dimana hal ini dapat
menyebabkan keluhan lemas, sesak, mudah lelah, dan palpitasi pada pasien.

Splenomegali yang cukup besar merupakan penemuan fisik yang utama. Splenomegali
dapat menimbulkan keluhan rasa tidak nyaman pada perut bagian kiri atas pasien, serta rasa
cepat kenyang ketika pasien makan. Selain itu, hepatomegali juga ditemukan pada separuh
pasien, 2-6% pasien terdapat hipertensi portal, mungkin diikuti komplikasi asites, varises
esofagus, pendarahan GI, dan ensefalopati hepatik. Juga ditemukan petekie, ekhimosis, dan
limfadenopati.

Beberapa pasien memperlihatkan adanya dermatosis neutrofilik dan mengalami


hematopoiesis ekstramedular dermal, osteosklerosis yang sebagian diikuti periostetis dengan
nyeri tulang dan ketulian. Bila permukaan serosa terlibat dalam hematopoiesis mungkin akan
terdapat efusi pleura dan perikard atau asites. Kadang diikuti komplikasi neurologis berupa
tekanan intrakranial meninggi, delirium, koma, pendarahan subdural, kerusakan motorik,
sensorik, dan paralisis.4, 8

7
GAMBAR 3. Gambaran klinis pasien dengan mielofibrosis.

VI. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Darah
Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan sel eritrosit bentuk tear drop yang dihubungkan
adanya eritrosit berinti dalam sirkulasi, leukosit neutrofil imatur, dan platelet besar abnormal.
Retikulosit meningkat, eritrosit polikromasi, fragmentasi, dan sel target juga sering ditemukan.
Abnormalitas morfologi ini diakibatkan adanya perubahan hematopoiesis, bebasnya sel lebih
awal dari sumsum tulang, dan hematopoiesis ekstramedular. Bagaimana perubahan ini terjadi
masih belum jelas.5, 8

8
Anemia dengan Hb kurang dari 10 gr/dL ditemukan pada 60% kasus, yang dapat terjadi
akibat hemodilusi karena volume plasma yang meningkat, gangguan produksi sumsum tulang
dan hemolisis.4

GAMBAR 4. Sediaan darah perifer dari pasien dengan mielofibrosis. Gambar ini menunjukkan
adanya gambaran sel darah merah yang berbentuk teardrop dan leukoeritroblastik, yaitu adanya
sel darah merah berinti dan sel myeloid yang imatur.

Morfologi anemia pada mielofibrosis tidak khas, pada umumnya adalah normositik
normokromik. Dapat menjadi makrositik bila defisiensi asam folat dan mikrositik hipokromik
bila defisiensi Fe atau perdarahan gastrointestinal. Jumlah leukosit meningkat 50 % kasus, diikuti
eosinophilia dan basofilia, sedangkan jumlah limfosit normal. Tapi pada umumnya lebih sering
ditemukan adanya leukopenia.
Beberapa mieloblas dalam sirkulasi perifer dan neutrofil yang hipersegmen dapat
ditemukan. Pada awal penyakit mielofibrosis dapat ditemukan trombosit yang meningkat.
Namun seiring bertambahnya progresifitas penyakit, dapat terjadi trombositopenia.

9
Dalam sirkulasi dapat ditemukan megakariosit yang utuh, ataupun yang mengalami
fragmentasi. Namun fungsi platelet sering tidak normal. Koagulasi intravaskular diseminata atau
Disseminated Intravascular Coagulation (KID/DIC) subklinik dapat ditemui pada 15% pasien.
Kadar asam urat dan enzim laktat dehydrogenase hampir selalu meningkat, menggambarkan
adanya massa yang berlebihan dari sel hematopoietik atau adanya hematopoiesis yang tidak
efektif.4

Sumsum Tulang
Aspirasi pada sumsum tulang mungkin tidak berhasil (drytap) dan memerlukan biopsi
sumsum tulang untuk menegakkan diagnosis mielofibrosis. Biasanya biopsi dilakukan di daerah
krista iliaka posterior dengan jarum khusus. Biopsi sebaiknya tidak dilakukan di daerah sternum,
selain karena sulitnya pengambilan spesimen, sternal aspirasi biasanya sering tidak berhasil (dry
tap).4,9
Dari pemeriksaan biopsi, akan didapatkan sum-sum tulang yang hiperseluler dengan
peningkatan megakariosit. Gambaran fibrosis harus terjadi pada semua kasus mielofibrosis. Pada
stadium awal, fibrosis minimal dan hiperplasia sumsum tulang mungkin lebih jelas. Apabila
terjadi fibrosis yang massif, selularitas sumsum tulang akan menurun, tetapi hyperplasia
megakariosit tetap ada. Sinusoid sumsum tulang akan meluas, dan akan terjadi hematopoiesis
intravascular.

10
GAMBAR 5. Biopsi sumsum tulang dari pasien dengan mielofibrosis;
Tampak gambaran fibrosis yang masif

GAMBAR 6. Reticulin stain dari specimen biopsi sumsum tulang,


menampilkan peningkatan kolagen.

11
Data morfologi dan klinis digabungkan untuk mendiagnosis banding mielofibrosis dari
penyakit CMPD lainnya. Ketiga elemen ini harus ada untuk mendiagnosis mielofibrosis: fibrosis
sumsum tulang, kelainan morfologi hiperplasia sumsum tulang, dan hematopoiesis
ekstramedular. Suatu konsensus telah dibuat oleh Italian Society of Hematology:4

*Catatan: Ketiga kriteria mayor ditambah dua kriteria minor manapun atau dua kriteria mayor pertama
ditambah empat kriteria minor manapun harus didapatkan untuk mendiagnosis mielofibrosis.

VII. PENATALAKSANAAN

Mielofibrosis mungkin dapat disembuhkan dengan hematopoietic stem cells


transplantation (HSCT), tetapi HSCT biasanya berhasil untuk pasien muda. Tidak ada bentuk
terapi lain untuk memperpanjang survival atau mencegah progresi mielofibrosis.10
Terapi suportif diarahkan langsung terhadap komplikasi yang terjadi. Beberapa pasien
asimptomatis dan memerlukan observasi. Allopurinol diberikan untuk mempertahankan urat
darah tetap normal, untuk menghambat nefropatia urat, renal kalkuli, dan gout. Transfusi
diperlukan untuk mempertahankan hitung darah. Suplemen asam folat diperlukan karena
seringnya kejadian hemolisis.10, 11

Allogeneic Hematopoietic Stem Cell


Penelitian mengenai stem sel akhir-akhir ini mengalami banyak kemajuan sehingga dapat
memberikan harapan bagi berjuta-juta pasien dengan berbagai penyakit dari seluruh dunia,

12
termasuk mereka yang memiliki penyakit hematologi. HSC (Human Stem Cell) merupakan sel
yang mempunyai potensi besar. Stem sel dapat berubah menjadi berbagai macam bentuk sel serta
dapat meregenerasi sel yang rusak oleh karena suatu penyakit ataupun karena suatu injury. Ada 2
cara distribusi pada HSCT, pertama stem sel dapat langsung diimplementasikan pada organ atau
jaringan. Kedua, stem sel dapat diinjeksi melalui pembuluh darah, dimana ketika diinjeksikan
stem sel tersebut secara otomatis akan langsung menuju sumsum tulang.7
Hampir semua pasien CMPD mungkin dapat disembuhkan dengan HSCT. Terbatasnya
pendekatan ini karena faktor umur dan kondisi pasien, dengan menggunakan donor yang cocok
dan serasi dan morbiditas serta mortalitas yang dihubungkan dengan prosedur. Adanya fibrosis
sum-sum tulang dan splenomegali bukanlah hambatan untuk HSCT.4
HSCT sepertinya merupakan satu-satunya terapi kuratif yang cukup potensial pada
mielofibrosis. Pasien dengan usia <50 tahun, yang disertai dengan anemia, didapatkan adanya
abnormalitas sitogenetik serta ditemukannya sel blast (>1%) dalam darah sebaiknya perlu
dipertimbangkan untuk dilakukan HSCT. 12,13

GAMBAR 7. Pengobatan dengan menggunakan Stem cell.

13
Terapi androgen dan kortikosteroid
Hormon androgen dapat diberikan pada anemia akibat mielofibrosis. Dengan respon rate
29-57 %. Perbaikan spontan mungkin dapat terjadi pada mielofibrosis, sehingga respon terhadap
terapi perlu dianalisa secara cermat. Sebelum terapi dengan androgen, pria perlu diskrining
kelenjar prostat baik secara fisik maupun dengan antigen spesifik untuk prostat, pada perempuan
perlu diperhatikan adanya efek virilisasi.
Beberapa skedul dosis telah memberikan hasil cukup baik, diantaranya androgen sintetik
oral: fluoksimesteron, dengan dosis: 2-3 kali 10 mg sehari. Bila tidak ada perbaikan setelah 3-6
bulan terapi, androgen harus dihentikan. Beberapa pasien yang tidak berespon terhadap
androgen, kemungkinan memberikan respon terhadap preparat lain, karena daya hidup eritrosit
memendek pada mielofibrosis, kemungkinan kortikosteroid adrenal memperbaiki daya hidup
eritrosit dan memperbaiki anemianya.
Prednison oral, dengan dosis 1 mg/kgbb sehari, memberikan respon pada 25-50 % pasien.
Dosis dimulai dengan prednisone 30 mg/hari, dengan kombinasi fluoksimesteron 10 mg dua kali
sehari. Bila terdapat respons setelah satu bulan terapi, dosis prednisone diturunkan secara
tapering off, sedangkan fluoksimesteron dilanjutkan.4

Kemoterapi
Kemoterapi jarang memberikan remisi hematologis, dan tidak memberikan perubahan
secara umum pada mielofibrosis, tetapi mungkin sangat memberikan perbaikan pada gejala.
Kemoterapi dapat mengurangi splenomegali dan hepatomegali serta memperbaiki penurunan
berat badan, demam dan keringat malam sampai 70 % pasien, serta mengurangi leukositosis,
trombositosis dan anemia.
Kemoterapi yang pernah digunakan: busulfan, melfalan, 6-tioguanin dan hidroksiurea.
Pada mielofibrosis pemberian kemoterapi harus lebih hati-hati karena cenderung terjadi toksik
sum-sum tulang. Misalnya pemberian busulfan 2-4 mg/hari sudah merupakan dosis maksimum
yang dapat diberikan. Pasien harus dimonitor secara frekuen dan kontinyu, terutama bila timbul
sitopenia.4

14
Iradiasi
Pasien dengan hipersplenisme mungkin dapat memberikan respon dengan iradiasi
splenik, terutama bila ada kontraindikasi untuk splenektomi. Hampir semua pasien mengalami
perbaikan keluhan nyeri dan ≥ 50 % terjadi pengurangan ukuran lien. Iradiasi splenik akan
memberikan perbaikan sitopenia, diberikan dengan fraksi kecil dengan pemantauan ketat. Dosis
fraksi 15-100 cGy, 2-3 kali per minggu. Hasil sementara baru dapat dilihat setelah beberapa
bulan terakhir. 4

Splenektomi
Splenektomi dapat dipikirkan terhadap pasien yang refrakter terhadap terapi, adanya
hipertensi portal, atau gejala akibat hipersplenisme. Splenektomi pada mielofibrosis harus hati-
hati, karena organomegali yang besar sehingga mungkin terjadi adhesi. Selain itu, splenektomi
juga sulit dilakukan karena tingginya resiko perdarahan yang sulit diperbaiki preoperatif, hal ini
diesbabkan oleh karena adanya DIC ringan pada mielofibrosis, yang ditandai dengan kenaikan
D-dimer. Splenektomi juga kadang menimbulkan krisis aplastik, karena lien menjadi tempat
hematopoiesis ekstramedular pada fibrosis tulang berat.4

JAK inhibitor
Janus Kinase (JAKs) merupakan sitoplasmik kinase yang mempunyai peran penting dalam
hematopoiesis normal. Ruxolitinib (Jakafi), yang merupakan JAK1/JAK2 inhibitor, merupakan
agen kemoterapi yang sudah disetujui oleh US Food and Drug Administration (FDA) untuk
pengobatan mielofibrosis. Adanya mutasi pada JAK2 ditemukan hampir pada 50% pasien yang
menderita mielofibrosis, yang dimana hal tersebut berkontribusi pada patofisiologi penyakit
mielofibrosis.7
JAK2 berhubungan dengan thrombopoetin dan eritropoietin sinyal reseptor, dimana JAK2
yang terfosforilasi akan mengaktifkan proses transkripsi oleh STATs yang akan menyebabkan
proliferasi, differensiasi, serta survival pada sel. Aktifnya JAK2 secara terus menerus
menyebabkan terjadinya overproduksi yang abnormal dari megakariosit.7,14

15
Dimana megakariosit ini akan menstimulasi pembentukan kolagen yang akhirnya
menyebabkan pembentukan jaringan ikat pada mielofibrosis. Karena proses ini, sumsum tulang
tidak dapat memproduksi sel darah dalam jumlah normal. Sehingga, inhibisi pada target ini
mungkin saja merupakan suatu terapi yang potensial.
Pada percobaan double-blind placebo-controlled oleh Verstovsek, pada pasien
mielofibrosis diberikan 2 kali sehari oral ruxolitinib (n=155) dan placebo (n=154). Tujuan
penelitian ini adalah untuk mencapai pengurangan setidaknya 35% pada minggu ke 24 setelah
percobaan yang dilihat melalui MRI. Dimana hal ini tercapai pada 41,9 % pasien yang diberikan
ruxolitinib dibandingkan dengan grup plasebo yang dimana pengurangan ukuran lien hanya
terjadi pada 0,7 % pasien.15

GAMBAR 8. Mutasi JAK pada mielofibrosis.

16
GAMBAR 9. Cara kerja JAK inhibitor.

Pengobatan lainnya
Interferon dipertimbangkan karena dapat menekan aktivitas TGF-β. Interferon α mungkin
bermanfaat menghilangkan nyeri tulang dan trombositopenia, tetapi efektivitas ini menurun
dengan adanya flulike symptoms berat dan memberatnya anemia. Anagrelid dapat menurunkan
trombosit tetapi tidak memperbaiki kelainan klinis lainnya. Beberapa pasien dapat diberikan
eritropoietin, dan bahkan lebih baik jika dikombinasikan dengan interferon.
Pasien dengan mielofibrosis berat dapat diberikan preparat antiangiogenik yaitu Talidomid.
Dimana pada 20 % kasus terjadi perbaikan dengan menurunnya simptom konstitusional, ukuran
lien dan perbaikan hitung darah. Beberapa peneliti memberikan kombinasi Talidomid 50 mg/hari
dengan prednisone 0,5 mg/kg/hari, dimana 95 % pasien memberikan respon dalam 3 bulan
pengobatan.4

17
VIII. KOMPLIKASI
Mielofibrosis dapat menyebabkan beberapa komplikasi:
A. Anemia : Dapat disebabkan oleh karena tidak efektifnya eritropoiesis, defisiensi besi oleh
karena perdarahan gastrointestinal, defisiensi asam folat oleh karena peningkatan kebutuhan
hematopoiesis.
B. Perdarahan: Disebabkan oleh karena trombositopeni dan gangguan fungsi platelet.
C. Infeksi : Disebabkan oleh karena leukopenia.
D. Hiperurisemia : Oleh karena terjadi peningkatan cell turnover pada pasien mielofibrosis.
Jika tidak diterapi dapat menyebabkan gout atau batu ginjal.
E. Komplikasi karena splenomegali :
Pembesaran lien dapaat menyebabkan infark splenik, malnutrisi oleh karena pasien mudah
merasa kenyang saat makan, ekspansi plasma volume, hipertensi portal, rasa tidak nyaman
yang berlebih oleh karena pembesaran lien.
F. Portal hipertensi : Hepatomegali biasanya berhubungan dengan splenomegali. Gangguan
pada fungsi hepar biasanya merupakan suatu akibat dari adanya hematopoiesis
ekstramedular, dimana dapat menyebabkan terjadinya fibrosis hepar dan portal hipertensi.

IX. PROGNOSIS
Pasien mielofibrosis rata-rata dapat bertahan hidup 3-7 tahun dan kurang dari 20% dapat
hidup lebih dari 10 tahun. Reilly, Snowden, dan Spearing et al (1997) mengelompokkan pasien
mielofibrosis dengan kemungkinan hidup terpendek 16 bulan dan terpanjang 180 bulan. Dengan
berjalannya waktu, beberapa masalah dapat timbul seperti penurunan berat badan, edema
ekstremitas bawah, dan infeksi terutama pneumonia. Hampir semua pasien terjadi splenomegali
yang semakin memberat sehingga timbul rasa sakit dan nyeri tulang.1,16

18
Penderita Myelifibrosis harus selalu berada di dalam pengawasan dokter spesialis darah.
Penderita Myelofibrosis biasanya sangat sulit untuk dapat kembali normal. Beberapa literatur
menyebutkan bahwa kesempatan hidup penderita Myelofibrosis rata-rata adalah 3-10 tahun
setelah didiagnosa. Sedangkan pada penderita yang tidak menunjukkan gejala klinis, kesempatan
bertahan hidup dapat mencapai 15 tahun tanpa terapi apapun. Umumnya kegagalan hidup
disebabkan karena pendarahan pada organ-organ dalam tubuh. Kematian pasien mielofibrosis
bervariasi, antara lain karena infeksi, pendarahan, gagal jantung, cerebrovascular accidents,
gagal ginjal, gagal hati, dan trombosis.1, 2

19
BAB III
KESIMPULAN

Myelofibrosis merupakan salah satu penyakit Myeloproliferatif. Mielofibrosis merupakan


suatu kelainan yang dihubungkan dengan adanya timbunan substansi kolagen berlebihan dalam
sumsum tulang. Kelainan ini secara definitif merupakan kelainan sel stem hematopoiesis klonal,
dihubungkan dengan CMPD, dimana adanya hematopoiesis ekstramedular merupakan gambaran
menyolok.
Sampai saat ini, penyebab Myelofibrosis belum diketahui secara jelas, oleh karenanya
penyakit ini dinamai sebagai Chronic Idiopathic Myelofibrosis. Terdapat 3 kriteria yang dapat
memisahkan mielofibrosis dari diagnosis banding lainnya.
Kriteria tersebut yaitu fibrosis sumsum tulang, kelainan morfologi hiperplasia sumsum
tulang, dan hematopoiesis ekstramedular. Ketiga elemen tersebut harus terdapat untuk diagnosis
Myelofibrosis. Penatalaksanaan penderita terdiri dari terapi medis, transplantasi sumsum tulang,
splenektomi dan terapi radiasi.

20
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Casciato DA. Myeloproliferative disorder. In: Casciato DA, editor. Manual of clinical
oncology. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2004.p.496-513.
2. Vardiman JW. The World Health Organization (WHO) classification of the myeloid
neoplasms. Blood 2002;100:2292-302.
3. Means RT. Polycythemia vera. Wintrobes clinical hematology. 11th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2004.p.2258-72.
4. Maryono S. Mielofibrosis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S,
editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD
FKUI; 2007. p. 699-705.
5. Greer JP et al. Acute Myeloid Leukemia in Adults. In Wintrobes Clinical Hematology.
11th ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkin, 2096-142.
6. DiBella, N.J., Silverstein, M.N. & Hoagland, H.C. Effect of splenectomy on teardrop shaped
erythrocytes in agnogenic myeloid metaplasia. Arch Intern Med. 1997; 137:380-1.
7. Wardhana, Datau E.A, Rotty L.W.A, Haroen H. Allogenic hematopoietic stem cell as
curative treatment in myelofibrosis. Indones J Intern Med 2011; 43:252-57.
8. Spivak JL. Polycythemia Vera and Other Myeloproliferative Diseases. In: Fauci AS,
Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, editors. Harrison’s Principles
of Internal Medicine volume I. 17th edition. New York: McGraw-Hill Companies, Inc;
2008. p. 674-5.
9. Lal A, Emmanuel BC. Primary myelofibrosis. [Updated on Maret 28 2014, Available at:
http://www.emedicine.medscape.com, Accessed August 25, 2015]
10. Manoharan, A., Hargrave, M. and Gordan, S. Effect of chemotherapy on tear drop
poikilocytes and other peripheral blood findings on myelofibrosis. Pathology. 1998; 20:7-9.
11. Leblond, P.F., Weed, R.I. The peripheral blood in polycythemia vera and myelofibrosis.
Clinical Haematology. 1995; 4:353-71.
12. Kroger N, Mesa RA. Choosing between stem cell therapy and drugs in myelofibrosis.
Leukimia 2008:22:474-86.

21
13. Stewart WA, Pearce R, Kirkland KE, et al; British Society for blood and marrow
transplantation. The role of allogeneic SCT in primary myelofibrosis: a British society for
blood and marrow transplantation study. Bone Marrow Transplant 2010;45:1587-93.
14. Randhawa J, Ostojic A, Vrhovac R, Atallah E, et al. Splenomegaly in myelofibrosis-new
options for therapy and the therapeutic potential of Janus Kinase 2 inhibitors. Journal of
hematology and oncology 2012 5:2-7.
15. Verstovsek S, Mesa RA, Gotlib J, et al. A double-blind placebo-controlled trial of
ruxolitinib for myelofibrosis. N Engl J Med 2012;366:799-807.
16. Cervantes F, Dupriez B, Pereira A, et al. New prognostic scoring system for primary
myelofibrosis based on a study of the International Working Group for Myelofibrosis
Research and Treatment. Blood. 2009;113:2895-2901.

22

Anda mungkin juga menyukai