Anda di halaman 1dari 100

APENDISITIS

(Kode ICD: K 35 – 37)

No. Dokumen No. Revisi Halaman


................... .................. 1/2
Tanggal terbit Ditetapkan Tanggal...............
Direktur,
PANDUAN .....................
PRAKTEK KLINIS
(SMF BEDAH)
dr. AGUNG BASUKI, M.Kes
NIP. 19600504 198902 1 002
Apendisitis adalah radang pada apendiks.
Pengertian
1. Nyeri perut (mula-mula di daerah epigastrum, kemudian menjalar ke titik
Mc Burney).
Anamnesa 2. Muntah.
3. Panas.

1. Status generalis :
 Keadaan pasien tampak kesakitan.
 Demam (≥ 37,7 oC).
 Perbedaan suhu rektal dengan suhu aksiler > ½ oC.
2. Nyeri tekan daerah Mc Burney.
3. Rovsing sign (+) yaitu pada penekanan perut bagian kontra Mc Burney (kiri)
maka akan terasa nyeri di Mc Burney.
4. Psoas sign (+) yaitu dengan melakukan ekstensi pada artikulasio coxae
dextra (pasien posisi supinasi dan kaki sebelah kanan dijatuhkan dari bed)
maka akan terasa nyeri di Mc. Burney.
Pemeriksaan Fisik 5. Obturator sign (+) yaitu fleksi dan endorotasi articulatio costa pada posisi
supine, bila nyeri berarti kontak dengan m. obturator, artinya appendiks di
pelvis.
6. Teraba massa yang nyeri tekan pada perut kanan bawah pada
periapendikular infiltrat.
7. Peritonitis umum (perforasi)
 Nyeri diseluruh abdomen (defans muskuler).
 Pekak hati hilang.
 Bising usus hilang.
8. Colok dubur: nyeri tekan pada jam 9-12.

Kriteria Diagnosis 1. Nyeri perut di titik Mc Burney.


2. Panas badan.
3. Muntah.
4. Rovsing sign (+).
5. Psoas sign (+).
6. Obturator sign (+).
7. Teraba massa yang nyeri tekan pada perut kanan bawah pada
periapendikular infiltrate.
8. Defans muskuler (+) pada peritonitis perforasi.
9. Colok dubur, nyeri pada jam 09.00 – 12.00.

Apendisitis dapat berupa :


1. Apendisitis akut.
2. Periapendikuler infiltrat.
Diagnosis 3. Periapendikuler abses.
4. Apendisitis perforata yang disertai peritonitis lokal atau,
5. Perionitis umum.
HEMATURIA
(Kode ICD: R 31)

No. Dokumen No. Revisi Halaman


................... .................. 1/2
Tanggal terbit Ditetapkan Tanggal...............
Direktur,
PANDUAN .....................
PRAKTEK KLINIS
(SMF BEDAH) dr. AGUNG BASUKI, M.Kes
NIP. 19600504 198902 1 002

Hematuria adalah darah dalam urin, baik makroskopis maupun mikroskopis.


Secara mikroskopis, dikatakan terdapat hematuria bila pada pemeriksaan
sedimen urin dengan menggunakan pembesaran kuat (40x) didapatkan lebih
Pengertian
dari 2 eritrosit per lapangan pandang. Secara makroskopis terlihat/terdapat
warna merah pada saat kencing.

1. Keluhan utama.
2. Sejak kapan mengalami hematuria, terus-menerus atau intermiten, apakah
sekarang urin masih merah.
3. Jenis hematuria : inisial, terminal, atau total.
4. Disertai nyeri atau tidak, sifat nyeri.
5. Apakah disertai benjolan / mrongkol di perutnya. Bila ya, sejak kapan
Anamnesa diketahui, apakah tambah membesar.
6. Apakah pernah keluar batu spontan apda waktu miksi.
7. Apakah menderita batuk kronis.
8. Apakah beberapa hari/minggu sebelumnya menderita pharingitis.
9. Obat apa saja yang diminum.
10. Riwayat trauma.

1. Diperhatikan keadaan pasien dan kesadarannya.


2. Dilakukan pengukuran tanda-tanda vital yang meliputi nadi (frekuensi, kuat
angkat, ritme), frekuensi nafas, tekanan darah dan temperature tubuh.
3. Inspeksi : dilihat tanda-tanda anemis pada konjunctiva. Diperhatikan
adanya tanda-tanda jejas pada abdomen. Diperhatikan kontur abdomen
(distended/tidak). Diperhatikan organ genitalia, pada pria termasuk
skrotum, apakah ada/tidak edem/ hiperemi.
Pemeriksaan Fisik
4. Auskultasi : didengarkan suara paru dan bising usus.
5. Palpasi : diraba adanya massa/benjolan pada abdomen. Diperiksa
ada/tidaknya nyeri tekan abdomen. Dilakukan pemeriksaan nyeri ketok
costovertebral angle (flank test). Skrotum diraba untuk mengetahui
ada/tidak nyeri tekan. Colok dubur untuk mengevalusi bentuk dan ukuran
dari prostat serta evaluasi nyeri saat pemeriksaan.

Kriteria Diagnosis Hematuria secara mikroskopis dan makroskopis.


Diagnosis Hematuria
Diagnosis -
Banding
1. Pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan a. Darah rutin.
Penunjang b. Urinalisis lengkap.
c. Kultur-urin dan test kepekaan antibiotik bila perlu.
d. Sitologi-urin bila perlu.
e. Pemeriksaan faal ginjal, yaitu BUN dan serum kreatinin.
f. Pemeriksaan faal hemostatis, yaitu bleeding time dan clotting
time.
g. Kalau bisa pemeriksaan titer anti streptolisin O, khususnya
pada anak-anak.
Pemeriksaan
2. Pemeriksaan radiologis
Penunjang
a. Foto polos abdomen (BOF).
b. Pielografi intravena.
c. USG abdomen.
d. Pielografi intravena
e. CT Scan abdomen dengan kontras bila perlu.
3. Pemeriksaan endourologi.
Makrohematuria (gross hematuria) :
1. Pasang iv line dengan cairan RL 1000cc/24 jam.
2. Gland penis dapat ditutup kasa bila hematuria masih
berlangsung.
3. Diberikan analgetik bila disertai gejala kolik baik secara
intravena maupun supposituria, misalnya metamizole 1 ampul
tiap 8 jam/bila perlu intravena atau ketoprofen 1-2 supp bila
perlu.
4. Diberikan anti koagulan, misalnya asam traneksamat 1 ampul
tiap 8 jam secara intravena atau 1 tablet tiap 8 jam per oral.
Terapi
5. Konsul dokter spesialis untuk persiappan transfusi (bila Hb < 8
mg%).
6. Antibiotik bila perlu.
7. Pasien di rawat inap.
8. Monitoring tanda-tanda vital.
Mikrohematuria :
1. Bila tanda-tanda vital pasien baik, pasien di rawat jalan.
2. Analgesik per oral bila perlu.
3. Antibiotik per oral bila ada tanda infeksi, misalnya
ciprofloxacin 2 x 500 mg.
Edukasi Untuk pasien yang di rawat jalan, disarankan untuk kontrrol ke poli bedah.

Prognosis Diharapkan baik

1. Persatuan Dokter Spesialis Bedah Umum Indonesia. Pedoman Pelayanan


Medik Edisi Kedua, 2006: 80.
Kepustakaan 2. Rumah sakit Umum Dokter Soetomo Surabaya. Pedoman Diagnosis dan
Terapi Bagian / SMF Ilmu Bedah Urologi Edisi III, 2008: 11-14.
FRAKTUR MANDIBULA
(Kode ICD: S 02.6)

No. Dokumen No. Revisi Halaman


................... .................. 1/3
Ditetapkan Tanggal...............
PANDUAN PRAKTEK Tanggal terbit
KLINIS Direktur,
KELOMPOK SMF .....................
BEDAH (SPESIALIS
BEDAH UMUM)

dr. AGUNG BASUKI, M.Kes


NIP. 19600504 198902 1 002
Hilang atau putusnya kontinuitas tulang mandibula yang disebabkan oleh
Pengertian
trauma.
 Setelah dilakukan primary survey dan kondisi penderita stabil, dapat
dilakukan anamnesa mengenai kronologis kejadian trauma, arah dan
kekuatan dari trauma baik secara autoanamnesis maupun
heteroanamnesis.
 Ditanyakan apakah pasien sukar membuka mulut, apa perubahan
Anamnesa letak gigi, atau perubahan bentuk rahang ketika rahang menutup
(maloklusi).
 Selain itu, ditanyakan ada tidaknya alergi, riwayat medikamentosa,
riwayat pengobatan/penyakit sebelumnya, kapan terakhir kali
pasien makan/minum, dan event/environment sehubungan dengan
trauma.
Pemeriksaan Fisik Primary survey, yang meliputi :
1. Periksa kesadaran pasien dan nilai Glasgow Coma Scale-nya.
2. Periksa airway dan lakukan c spine control.
a. Periksa suara nafas/suara nafas tambahan.
b. Periksa tanda-tanda fracture basis cranii.
c. Curiga ada/tidaknya trauma cervical.
3. Periksa breathing dan ventilation.
a. Periksa frekuensi pernafasan pasien.
b. Inspeksi gerak dada pasien, tanda-tanda jejas, oedem,
deformitas thoraks.
c. Periksa saturasi oksigen pasien.
4. Periksa circulation dan stop bleeding.
a. Periksa akral pasien.
b. Periksa capillary refill time pasien.
c. Periksa nadi pasien, yang meliputi frekuensi nadi, kuat angkat,
dan ritme nadi.
d. Periksa tekanan darah pasien.
e. Periksa tanda-tanda perdarahan luar.
f. Periksa tanda-tanda perdarahan organ-organ dalam.
g. Periksa lingkar abdomen bila perlu.
5. Periksa disability.
a. Periksa adanya fraktur lain yang mungkin menyertai.
b. Periksa tanda-tanda lateralisasi.

Setelah itu pada secondary survey regio mandibula :


 Dari inspeksi dilihat ada tidaknya deformitas, luka terbuka dan
evaluasi susunan / konfigurasi gigi saat menutup dan membuka
mulut, menilai ada/tidaknya maloklusi.
 Pada palpasi dievaluasi daerah temporo mandibular joint (TMJ)
dengan jari pada daerah TMJ dan penderita diminta untuk buka-
tutup mulut, menilai ada tidaknya nyeri, deformitas/dislokasi dan
dilakukan evaluasi false movement dengan bimanual palpasi.
 Nyeri tekan mandibula.
 Deformitas/dislokasi mandibula.
 Maloklusi.
Kriteria Diagnosis
 False movement.
 Edema regio mandibula.
 Luka terbuka regio mandibula.

Diagnosis Fraktur Mandibula

Diagnosis Banding -
1. Rongent foto mandibula AP + Lat + Eisler, atau panoramik.
Pemeriksaan
2. CT scan kepala.
Penunjang

Terapi Primary resucitation dilakukan sampai kondisi pasien stabil, meliputi :


1. Memperbaiki Airway dan c-spine control
 Pastikan jalan nafas bebas, bila perlu lakukan suction.
 Jaga patensi jalan nafas, bila perlu lakukan jaw trust/
pasang pipa orofaringeal/ pipa nasofaringeal/ pipa intubasi
(bila tidak ada kontraindikasi/ atas saran konsulen).
 Pasang collar brace bila ada tanda-tanda cedera cervical.
2. Breathing dan ventilation
 Berikan oksigenasi 100 % dengan masker oksigen dengan
kecepatan 10-12 lpm bila perlu.
 Monitoring saturasi oksigen.
3. Circulation dan bleeding control
 Pasang infus RL 1-2 liter bila ada tanda-tanda syok dan
gangguan perfusi.
 Hentikan perdarahan dengan bebat tekan.
 Pasang foley kateter dan monitoring produksi urine.
 Pasang pipa nasogastrik bila perlu/ tidak ada kontraindikasi.
4. Disability : immobilisasi bila ada curiga fraktur di regio lain.

Setelah kondisi pasien stabil, maka :


1. Analgesik dapat diberikan untuk mengurangi rasa nyeri.
2. H2 reseptor blocker dapat diberikan untuk mencegah stress
ulcer.
3. Bila ada indikasi operasi (deformitas regio mandibula,
maloklusi, false movement, dan/luka terbuka) maka pasien
direncanakan untuk tindakan operatif berupa interosseus
wiring + arch bar dan atau plating (dikerjakan sebelum 14 hari
dari trauma), yang mana selanjutnya arch bar akan dilepas
pada hari ke 30.
4. Konsul dokter spesialis bedah untuk tindakan operatif dan
persiapan pra-bedah.

1. Penanganan fraktur mandibula utamanya adalah untuk mengembalikan


fungsi mengunyah dan bicara.
2. Setelah dilakukan tindakan operatif yang sesuai, dilakukan perawatan
Edukasi
pasca operasi dan rehabilitasi sehingga didapatkan hasil yang
memuaskan.

Prognosis Diharapkan baik


3. Pedoman Pelayanan Medik Dokter Spesialis Bedah umum Indonesia,
Kepustakaan
Edisi Kedua 2006
PERITONITIS UMUM /
PERITONITIS GENERALISATA
(Kode ICD: K 65)
No. Dokumen No. Revisi Halaman
................... .................. 1/2
Tanggal terbit Ditetapkan Tanggal...............
Direktur,
.....................
PANDUAN
PRAKTEK KLINIS
(SMF BEDAH) dr. AGUNG BASUKI, M.Kes
NIP. 19600504 198902 1 002
Peritonitis adalah reaksi inflamasi akut pada peritoneum dan rongga
Pengertian
peritoneum
 Lama sakit diderita oleh pasien.
 Demam/menggigil.
 Nyeri, lokasi nyeri, sifat nyeri serta perubahan lokasi nyeri.
 Anoreksia.
 Muntah.
Anamnesa
 Ileus.
 Riwayat trauma.
 Riwayat infeksi.
 Riwayat obstetric dan ginekologi pada wanita usia subur.

1. Keadaan pasien tampak kesakitan dan menghindari gerakan yang


memicu terjadinya nyeri perut.
2. Kesadaran pasien bervariasi mulai alert sampai mengalami penurunan
kesadaran.
3. Tanda vital pasien ditemukan peningkatan nadi (takikardia), frekuensi
nafas bisa menurun, temperatur tubuh mengalami peningkatan serta
tekanan darah bisa menurun.
4. Pada fase lanjut, pasien bisa tampak lemah dengan nadi kecil dan
cepat, kulit sianosis, lembab dan dingin (fasies Hippocratic) serta
tekanan darah menurun.
Pemeriksaan Fisik
5. Pada inspeksi, diperiksa sklera dan konjunctiva pasien untuk melihat
adanya ikterus/anemis. Pada fase lanjut, abdomen tampak distended.
6. Pada auskultasi abdomen, bising usus menurun/menghilang.
7. Pada palpasi abdomen, didapatkan nyeri tekan seluruh abdomen
(defans muskuler). Pada colok dubur, bisa didapatkan nyeri pada cavum
Douglasi. Pada colok vagina, bisa didapatkan nyeri sebagai
kemungkinan sumber peradangan.
8. Pada perkusi abdomen, pekak hepar menghilang. Selain itu, abdomen
bisa memberikan kesan timpanik yang merupakan pertanda adanya
udara bebas dan/ cairan bebas.
Nyeri tekan perut pada seluruh lapang perut (defans muskulare).
Kriteria Diagnosis

 Peritonitis septik.
Diagnosis  Peritonitis kimiawi.
Diagnosis
-
Banding
Pemeriksaan Laboratorik:
1. Pemeriksaan darah rutin.
2. Pemeriksaan faal pembekuan darah.
3. Pemeriksaan fungsi faal hati.
4. Pemeriksaan fungsi ginjal.
5. Pemeriksaan serum elektrolit.
Pemeriksaan
6. Pemeriksaaan kadar gula darah.
Penunjang

Pemeriksaan Radiologik:
1. Foto polos abdomen 3 posisi.
2. USG abdomen (bila perlu/ atas saran konsulen).
3. CT scan abdomen dengan kontras (bila perlu/ atas saran konsulen).

1. Resusitasi:
a. Pemberian oksigen.
b. Pemasangan double iv line.
c. Pemasangan vena sentral bila perlu.
d. Pemasangan pipa lambung.
e. Pemasangan kateter urin dan monitor urine
f. Pemberian antibiotic spectrum luas seperti golongan
sefalosporin dan metronidazole secara intravena.
g. Dapat diberikan H2 receptor blocker atau proton pump inhibitor
Terapi untuk mencegah stress ulcer.
h. Dapat diberikan dopamine/dobutamin bila terjadi syok.
i. Konsul dokter spesialis untuk persiapan pra-bedah.

2. Laparotomi:
Laparotomi bisa dilakukan secara terbuka maupun laparoskopik
untuk mencari penyebab peritonitis sekaligus melakukan terapi
definitif seperti appendektomi, menjahit perforasi gaster atau
melakukan peritoneal toilet.

Prognosis tergantung kondisi fisologis pasien.


Edukasi

Prognosis Meragukan cenderung jelek

4. Persatuan Dokter Spesialis Bedah Umum Indonesia. Pedoman Pelayanan


Medik Edisi Kedua, 2006: 67.
Kepustakaan 5. RSUD Dokter Soetomo Surabaya. Pedoman Diagnosis dan Terapi Dept/SMF
Ilmu Bedah Edisi IV, 2010: 80-82.
FRAKTUR ZIGOMA
(Kode ICD: S 02.4)

No. Dokumen No. Revisi Halaman


................... .................. 1/3
Ditetapkan Tanggal...............
PANDUAN PRAKTEK Tanggal terbit
KLINIS Direktur,
KELOMPOK SMF .....................
BEDAH (SPESIALIS
BEDAH UMUM)
dr. AGUNG BASUKI, M.Kes
NIP. 19600504 198902 1 002
Hilang atau putusnya kontinuitas tulang zigoma yang disebabkan oleh
Pengertian trauma.

 Setelah dilakukan primary survey dan kondisi penderita stabil, dapat


dilakukan anamnesa mengenai kronologis kejadian trauma, arah dan
kekuatan dari trauma baik secara autoanamnesis maupun
heteroanamnesis.
 Ditanyakan apakah ada pandangan dobel, penglihatan kabur, dan
Anamnesa
rasa kebas di bagian bawah mata.
 Ditanyakan ada tidaknya alergi, riwayat medikamentosa, riwayat
pengobatan/penyakit sebelumnya, kapan terakhir kali pasien
makan/minum, dan event/environment sehubungan dengan
trauma.
Pemeriksaan Fisik Primary survey, yang meliputi :
6. Periksa kesadaran pasien dan nilai Glasgow Coma Scale-nya.
7. Periksa airway dan lakukan c spine control.
d. Periksa suara nafas/suara nafas tambahan.
e. Periksa tanda-tanda fracture basis cranii.
f. Curiga ada/tidaknya trauma cervical.
8. Periksa breathing dan ventilation.
d. Periksa frekuensi pernafasan pasien.
e. Inspeksi gerak dada pasien, tanda-tanda jejas, oedem,
deformitas thoraks.
f. Periksa saturasi oksigen pasien.
9. Periksa circulation dan stop bleeding.
h. Periksa akral pasien.
i. Periksa capillary refill time pasien.
j. Periksa nadi pasien, yang meliputi frekuensi nadi, kuat angkat,
dan ritme nadi.
k. Periksa tekanan darah pasien.
l. Periksa tanda-tanda perdarahan luar.
m. Periksa tanda-tanda perdarahan organ-organ dalam.
n. Periksa lingkar abdomen bila perlu.
10. Periksa disability.
a. Periksa adanya fraktur lain yang mungkin menyertai.
b. Periksa tanda-tanda lateralisasi.

Setelah itu pada secondary survey regio zigoma :


a. Inspeksi dilakukan dari arah frontal, lateral, superior dan inferior.
Diperhatikan ada/tidak deformitas (hilangnya penonjolan
malar), oedema dan luka terbuka. Diperhatikan simetri dan
ketinggian pupil yang merupakan petunjuk adanya pergeseran
pada dasar orbita dan aspek lateral orbita, adanya hematom
periorbita, enoptalmus, maupun eksoptalmus.
b. Palpasi pada daerah malar dan temporal untuk memeriksa
adanya nyeri tekan dan parestesia intraorbital.

 Deformitas dan nyeri tekan zigoma.


 Luka terbuka regio zigoma.
 Hematom periorbital.

Kriteria Diagnosis  Diplopia.


 Parestesi infraorbital.
 Edema periorbital.
 Enoptalmus atau eksoptalmus.

Diagnosis Fraktur Zigoma

Diagnosis Banding -
1. Rongent foto Waters, nampak garis fraktur, biasanya pada 3
Pemeriksaan tempat yaitu margo inferior orbita, silier dan arkus zigomatikum.
Penunjang 2. CT scan kepala.

Terapi Primary resucitation dilakukan sampai kondisi pasien stabil, meliputi :


5. Memperbaiki Airway dan c-spine control
 Pastikan jalan nafas bebas, bila perlu lakukan suction.
 Jaga patensi jalan nafas, bila perlu lakukan jaw trust/
pasang pipa orofaringeal/ pipa nasofaringeal/ pipa intubasi
(bila tidak ada kontraindikasi/ atas saran konsulen).
 Pasang collar brace bila ada tanda-tanda cedera cervical.
6. Breathing dan ventilation
 Berikan oksigenasi 100 % dengan masker oksigen dengan
kecepatan 10-12 lpm bila perlu.
 Monitoring saturasi oksigen.
7. Circulation dan bleeding control
 Pasang infus RL 1-2 liter bila ada tanda-tanda syok dan
gangguan perfusi.
 Hentikan perdarahan dengan bebat tekan.
 Pasang foley kateter dan monitoring produksi urine.
 Pasang pipa nasogastrik bila perlu/ tidak ada kontraindikasi.
8. Disability : immobilisasi bila ada curiga fraktur di regio lain.

Setelah kondisi pasien stabil, maka :


1. Analgesik dapat diberikan untuk mengurangi rasa nyeri.
2. H2 reseptor blocker dapat diberikan untuk mencegah stress
ulcer.
3. Bila tidak ada indikasi operasi (deformitas regio zigoma,
parestesia infra-orbital, diplopia) maka pasien cukup
diobservasi tanda-tanda vitalnya. Bila tanda-tanda vital pasien
baik maka pasien dapat dirawat jalan dan disarankan untuk
kontrol ke poli bedah.
4. Bila ada indikasi operasi (deformitas regio zigoma, parestesia
infra-orbital, diplopia) maka pasien direncanakan untuk
tindakan operatif.
5. Konsul dokter spesialis bedah untuk tindakan operatif dan
persiapan pra-bedah.

3. Fraktur zigoma bukan merupakan keadaan yang mengancam nyawa


sehingga pasien dapat dirawat jalan bila tanda-tanda vital baik.
Edukasi 4. Bila ditemukan indikasi operasi pada pasien, dapat dilakukan tindakan
operasi yang sesuai.

Prognosis Diharapkan baik bila tidak ada penyulit.


6. Pedoman Pelayanan Medik Dokter Spesialis Bedah umum Indonesia,
Kepustakaan Edisi Kedua 2006.
CEDERA OTAK RINGAN

No. Dokumen No. Revisi Halaman


................... .................. 1/3
Ditetapkan
STANDAR Tanggal terbit Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL .....................
(SMF...............)
Dr. AGUNG BASUKI, M.Kes
NIP. 19600504 198902 1 002
1. Prosedur yang mengatur tentang penatalaksanaan cedera otak
ringan.
2. Cedera Otak Ringan adalah Cedera otak yang berdasarkan tingkat
kesadarannya menurut GCS (Glasgow Coma Scale) berkisar antara
14-15.
Pengertian 3. Pasien dalam kondisi sadar, orientasi baik, dan mampu melakukan
perintah sederhana.
4. Cedera otak ringan sering diakibatkan oleh trauma kepala saat
kecelakaan lalu lintas, kekerasan, jatuh ataupun kecelakaan saat
dalam pekerjaan.

 Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.


 Pasien mendapatkan penanganan yang sesuai dengan prosedur

Tujuan yang berlaku di RSUD Bangil.


 Memperlancar proses pelayanan antara Instalasi Gawat Darurat
dengan Unit Rawat Inap RSUD Bangil.

1. Standar Pelayanan Minimal RSUD Bangil.


2. Wewenang untuk melakukan prosedur adalah :
a. Dokter spesialis Bedah Saraf
Kebijakan
b. Dokter IGD
c. Dokter Umum yang bekerja di bagian Bedah Saraf
d. Dokter Internsip

Prosedur 1. Stabilisasi airway, breathing dan sirkulasi (ABC), pastikan ABC baik.
2. Anamnesa dan pemeriksaan fisik umum serta neurologis.
3. Infus NaCl 0,9% 1,5ml/kgbb/jam, periksa lab: DL, SE, GDA, dan lab
lainnya sesuai indikasi.
4. Pemeriksaan radiologis sesuai indikasi.
a. Cervical lateral, bila terdapat salah satu dari:
- Jejas di leher
- Nyeri di leher
- Mekanisme trauma (jatuh dari ketinggian, fleksi-ekstensi, dsb)
- Gejala neurologis (kelainan spinal)
- Pasien tidak sadar
b. Foto polos kepala, bila terdapat salah satu dari:
- Kehilangan kesadaran, amnesia
- Nyeri kepala menetap
- Gejala neurologis fokal
- Jejas pada kulit kepala
- Kecurigaan luka tembus
- Keluar CSF atau darah dari hidung atau telinga
- Deformitas tulang kepala
- Kesulitan penilaian klinis: mabuk, intoksikasi obat, epilepsi,
pasien anak
- Pasien GCS 15 tanpa keluhan dan gejala tetapi memiliki resiko:
benturan langsung atau jatuh pada permukaan keras, pasien usia
>50 th
c. CT scan kepala, bila terdapat salah satu dari:
- GCS ≤ 13 setelah resusitasi
- Nyeri kepala, muntah yang menetap
- Deteorisasi neurologis: penurunan GCS 2 poin atau lebih,
hemiparesis, kejang
- Terdapat tanda fokal neurologis
- Terdapat tanda fraktur, atau kecurigaan fraktur
- Trauma tembus, atau kecurigaan trauma tembus
- Evaluasi pasca operasi
- Pasien multitrauma
- Indikasi sosial
5. Terapi simtomatik dan antibiotik sesuai indikasi.
6. Bila kejang: diazepam 10 mg iv pelan, dosis dapat ditambah s/d
kejang berhenti, awasi depresi nafas. Dilanjutkan phenitoin bolus 10-
20 mg/kgBB diencerkan dengan aqua steril 100 ml NaCl 0,9% iv,
dilanjutkan 5-10 mg/KgBB/hr
7. Lapor dokter jaga bedah saraf.
8. Observasi selama ± 6 jam, bila tidak ada keluhan dan tidak ditemukan
kelainan dari pemeriksaan, dapat dipertimbangkan untuk rawat jalan.

Komplikasi Cedera Otak Sekunder (iskemi otak, edema otak, perdarahan otak)
Unit yang
Bagian llmu Bedah Saraf
menangani
Unit terkait Instalasi Gawat Darurat, Unit Rawat Inap, Komite Medik.
CEDERA OTAK SEDANG

No. Dokumen No. Revisi Halaman


................... .................. 1/3
Ditetapkan
STANDAR Tanggal terbit Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL .....................
(SMF...............) Dr. AGUNG BASUKI, M.Kes
NIP. 19600504 198902 1 002
1. Prosedur yang mengatur tentang penatalaksanaan Cedera Otak
Sedang (COS)
2. Cedera Otak Sedang adalah Cedera otak yang berdasarkan tingkat
kesadarannya menurut GCS (Glasgow Coma Scale) berkisar antara 9-
Pengertian 13
3. Pasien tampak somnolen namun masih mampu mengikuti perintah
sederhana
4. Diagnosa Banding:
a. Cedera Otak Ringan
b. Cedera Otak Berat

1. Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.


2. Pasien mendapatkan penanganan yang sesuai dengan prosedur

Tujuan yang berlaku di RSUD Bangil.


3. Memperlancar proses pelayanan antara Instalasi Gawat Darurat
dengan Unit Rawat Inap RSUD Bangil.

A. Standar Pelayanan Minimal RSUD Bangil.


B. Wewenang untuk melakukan prosedur adalah :
Kebijakan 1. Dokter spesialis Bedah Saraf
2. Dokter IGD
3. Dokter Intenship

Prosedur 9. Stabilisasi airway, breathing dan sirkulasi (ABC), pasang collar brace
10. Pasang pipa lambung, pasang kateter, catat keadaan dan produksi
urine
11. Lihat gerakan nafas, palpasi, perkusi, auskultasi. Cari tanda-tanda
pneumothorak, hematothorak, flail chest atau fraktur costae
12. Atasi hipotensi dengan cairan isotonis, cari penyebabnya
13. Pemeriksaan darah (DL, SE, GDA, RFT, BGA, cross match) lab lain
sesuai indikasi
14. Bila tensi stabil, infus cairan isotonis ( NaCl 0,9%) 1,5 ml/kgBB/jam
15. Anamnesis → mekanisme trauma, waktu trauma, pemakaian obat-
obatan, sedasi, narkotika, intake terakhir, alergi
16. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
17. Obat simptomatik iv ataupun supp + Antibiotik sesuai indikasi
18. Bila kejang: diazepam 10 mg iv pelan, dosis dapat ditambah s/d
kejang berhenti, awasi depresi nafas. Dilanjutkan phenitoin bolus
10-20 mg/kgBB diencerkan dengan aqua steril 100 ml NaCl 0,9% iv
drip dalam 20 menit, dilanjutkan 5-10 mg/KgBB/hr
19. Tanda vital stabil → CT-Scan Kepala, foto cervical AP/Lat, thoraks
foto AP, pemeriksaan radiologis lain atas indikasi
20. Lapor dr. Jaga Bedah Saraf

Komplikasi Cedera Otak Sekunder (iskemi otak, edema otak, perdarahan otak)
Unit yang
Bagian llmu Bedah Saraf
menangani
Unit terkait Instalasi Gawat Darurat, Unit Rawat Inap, Komite Medik
PENANGANAN CEDERA OTAK BERAT di IGD

No. Dokumen No. Revisi Halaman


................... .................. 1/3
Ditetapkan
STANDAR Tanggal terbit Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL .....................
(SMF...............) Dr. AGUNG BASUKI, M.Kes
NIP. 19600504 198902 1 002
 Prosedur yang mengatur tentang penatalaksanaan cedera otak berat.
 Cedera otak berat adalah sebuah kondisi dimana penderita tidak
mampu melakukan perintah sederhana karena kesadarannya menurun

Pengertian (GCS 3-8).


 Cedera otak berat sering diakibatkan oleh trauma kepala saat
kecelakaan lalu lintas, kekerasan, jatuh ataupun kecelakaan saat dalam
pekerjaan.

 Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.


 Pasien mendapatkan penanganan yang sesuai dengan prosedur yang

Tujuan berlaku di RSUD Bangil.


 Memperlancar proses pelayanan antara Instalasi Gawat Darurat
dengan Unit Rawat Inap RSUD Bangil.

 Standar Pelayanan Minimal RSUD Bangil.


 Wewenang untuk melakukan prosedur adalah :
Kebijakan  Dokter spesialis Bedah Saraf.
 Dokter IGD.
 Dokter Umum yang bekerja di bagian Bedah Saraf.

 Resusitasi airway, breathing dan sirkulasi.


 Bersihkan lendir, benda asing, jawthrust bila perlu, kepala tidak boleh
hiperekstensi, hiperflexi atau rotasi, pasang orofaring atau nasofaring

Prosedur tube bila perlu. Bila ada sumbatan jalan nafas akut dilakukan
cricothyroidotomy dan persiapan intubasi atau tracheostomi.
 Intubasi + kontrol ventilasi (PCO2 35-40 mmHg, PaO2 : 80-200 mmHg
atau SpO2 > 97%), pasang pipa lambung (dianjurkan

Prosedur melalui oral), pasang kateter, catat keadaan dan produksi urin.
 Pasang collar brace.
 Lihat gerakan nafas, auskultasi, palpasi, perkusi dada. Cari tanda-tanda
pneumothorak, hematothorak, flail chest atau fraktur costa.
 Bila shock, berikan cairan isotonis (RL, NaCl, atau koloid atau darah).
Cari penyebab, atasi, pertahankan tensi > 90 mmHg.
 Pemeriksaan Lab  DL, SE, GDA, RFT, BGA, cross match, lab lain sesuai
indikasi.
 Anamnesis  mekanisme trauma, waktu trauma, pemakaian obat-
obatan, sedasi, narkotika, intake terakhir, alergi.
 Pemeriksaan fisik umum dan neurologis.
 Lapor dokter jaga bedah saraf.
 Ada tanda-tanda TIK meningkat dan tidak ada hipotensi atau gagal
ginjal dan atau gagal jantung  manitol 20% 200 ml bolus dalam 20
menit atau 5ml/kgBB, dilanjutkan 2 ml/kgBB dalam 20 menit setiap 4-6
jam, jaga osmolalitas darah < 320 mOsm.
 Bila kejang : Diazepam 10mg iv pelan, dosis dapat ditambah hingga
kejang berhenti. Awasi depresi nafas, dilanjutkan phenitoin bolus 10-
20 mg/kgBB encerkan dengan aqua steril 100 ml NaCl 0,9% iv pelan,
dilanjutkan 5-10 mg/kgBB/hr.
 Bila telah stabil infus cairan isotonis (NaCl 0,9%) 1,5 ml/kgBB/jam
pertahankan euvolume, pemasangan CVP atas indikasi.
 Obat simptomatik IV atau supp dan antibiotika sesuai indikasi.
 Tanda vital stabil  CT scan kepala, foto cervical lat, thorak foto AP,
pemeriksaan radiologis lain atas indikasi.
 Pemeriksaan refleks batang otak. Hati-hati pada pemeriksaan reflek
oculocephalik.
 Pasang ICP monitor, pertahankan tekanan <15 mmHg atau <22 cm H2O
pada pasien yang tidak ada indikasi operasi lesi intrakranial. Bila ada
lesi intrakranial indikasi operasi, ICP monitor dipasang bersamaan saat
operasi emergensi.

Komplikasi Apnea, Cardiac Arest


Unit yang
Bagian llmu Bedah Saraf
menangani
Unit terkait Instalasi Gawat Darurat, Unit Rawat Inap, Komite Medik.

Kepustakaan:

Tim Neurotrauma. 2007. Pedoman Tata Laksana Cedera Otak. Surabaya: Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga
KHOLELITHIASIS
(Kode ICD: K 80)

No. Dokumen No. Revisi Halaman


................... .................. ..........
Ditetapkan Tanggal ...............
PANDUAN Tanggal terbit
PRAKTEK KLINIS Direktur,
KELOMPOK SMF .....................
BEDAH (SPESIALIS
BEDAH UMUM)
dr. AGUNG BASUKI, M.Kes
NIP. 19600504 198902 1 002
Batu empedu merupakan gabungan dari beberapa unsur yang membentuk
suatu material mirip batu yang dapat ditemukan dalam kandung empedu
Pengertian
(kolesistolitiasis) atau di dalam saluran empedu (koledokolitiasis) atau pada
kedua-duanya.
Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas
dan dapat menjalar ke regio scapular atas kanan
Anamnesa
( collin’s sign/right scapular tip pain).

1. Pada pemeriksaan fisik nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas


dan dapat menjalar ke regio scapular atas kanan.
2. Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan
gejala (asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat
kolesistitis, nyeri bilier, nyeri abdomen kronik berulang ataupun dispepsia,
Pemeriksaan Fisik mual.
3. Kolesistitis akut merupakan komplikasi penyakit batu empedu yang paling
umum dan sering meyebabkan kedaruratan abdomen, Gambaran tipikal
dari kolesistitis akut adalah nyeri perut kanan atas yang tajam dan konstan,
nyeri atau kolik di epigastrium dan perut kanan atas disertai tanda sepsis,
seperti demam dan menggigil dan ikterus (trias charcot).
1. Kolik perut kanan atas, kadang menjalar ke belakang dapat
disertai radang akut kholesistitis atau penyumbatan – kholesistitis.
2. Pada pemeriksaan, nyeri tekan pada hipokondrium kanan,
Kriteria Diagnosis
terdapat tanda dan nyeri menjalar ke regio scapular atas kanan (
collin’s sign/right scapular tip pain).
3. peritonitis lokal (defans muskuler ( + ), pertanda Murphy’s positif
Kholelithiasis:
Diagnosis Kelainan ini dapat disertai keradangan kronis atau akut (kholesistitis
kronis / kholesistitis akut)
Proses keradangan pada organ – organ di daerah hipokondrium,
Diagnosis Banding
hepatitis, abses hepar, pankreatitis, kholangitis, ulkus peptikum
1. Darah rutin, SGOT, SGPT, BIL direct dan indirect.
Pemeriksaan
2. Foto polos perut
Penunjang
3. USG Abdomen
1. Oksigenasi O2 kanul nasal (2-4L/mnt) face mask (10-12L/mnt),
pasang nasogastric tube bila perlu
2. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit IV FD RL 1500-
2000cc/24 jam
3. Obat obatan antibiotika, analgetika, antipiretika, anti koagulopati.
Terapi 4. Kholelitiasis disertai gejala direncanakan kholesistektomi secara elektif.
5. Kholelitiasis disertai radangan akut, sebelum ada Pelekatan (infiltrat)
dapat segera di bedah.
6. Bila sudah ada massa diberi antibiotika sampai radang akut reda, baru
di lakukan kolesistektomi
7. Catatan : konsul spesialis bedah

5. diet rendah lemah


Edukasi
6. cukup kalori
Prognosis Diharapkan baik
7. Pedoman Pelayanan Medik Dokter Spesialis Bedah umum Indonesia,
Kepustakaan
Edisi Kedua 2006
PENANGANAN LUKA BAKAR DI IGD

No. Dokumen No. Revisi Halaman


................... .................. 23-6
Ditetapkan
STANDAR Tanggal terbit Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL .....................
(SMF...............) Dr. AGUNG BASUKI, M.Kes
NIP. 19600504 198902 1 002
5. Prosedur yang mengatur tentang penatalaksanaan Luka Bakar
6. Luka Bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan
yang disebabkan karena kontak dengan zat panas, arus listrik
maupun bahan kimia. Kerusakan ini dapat mengenai kulit, mukosa
ataupun jaringan yang lebih dalam
7. Gejala klinis meliputi :
a. Nyeri hebat (terutama pada luka bakar derajat I dan IIA)
b. Luka dapat tampak:
- Berwarna kemerahan
- Dasar luka putih atau kehitaman (tergantung grade)
- Melepuh (Bula)
- Terkelupas
- Kulit nekrosis
- Terkadang terlihat jaringan di bawah kulit (otot, tulang, dll)
c. Trauma inhalasi:
- Bulu rambut hidung terbakar
- Terdapat jelaga , dahak mengandung jelaga
Pengertian - Bila berat dapat muncul gangguan pernafasan akibat oedem
mukosa saluran nafas, suara stridor, sesak
d. Kesadaran menurun
8. Pemeriksaan :
a. Respiratory Failure : RR ≤ 5 x/menit atau ≥ 49 x/menit
b. Cardiovascular Failure : TD ≤ 90/60 mmHg, Nadi > 100 x/menit,
MAP ≤ 49 mmHg, Aritmia, Artrial Fibrilasi
c. Renal Failure : Produksi urin ≤ 479 ml/24 jam, BUN ≥ 100 mg/dl,
SK ≥ 3.5 mg/dl
d. Haematologic Failure : Leukosit ≤ 1000/mm 3, Trombosit ≤
20.000 sel/mm3, Hematokrit ≤ 20%
e. Neurologic Failure : GCS < 6 (tanpa sedasi)
9. Diagnosa Banding:
c. Luka bakar karena zat panas
d. Luka bakar karena arus listrik
e. Luka bakar karena bahan kimia
4. Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.
5. Pasien mendapatkan penanganan yang sesuai dengan prosedur

Tujuan yang berlaku di RSUD Bangil.


6. Memperlancar proses pelayanan antara Instalasi Gawat Darurat
dengan Unit Rawat Inap RSUD Bangil.

C. Standar Pelayanan Minimal RSUD Bangil.


D. Wewenang untuk melakukan prosedur adalah :
4. Dokter spesialis Bedah Plastik
Kebijakan 5. Dokter spesialis Bedah Umum
6. Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Bedah Plastik
7. Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Bedah Umum
8. Dokter IGD

Prosedur
PENANGANAN FASE AKUT
 Saat memeriksa penderita, diwajibkan memakai sarung tangan
yang steril dan bebaskan penderita dari baju yang terbakar atau
terkena zat panas lainnya
 Dilakukan pemeriksaan yang teliti dan menyeluruh untuk
memastikan adnya trauma lain yang menyertai
 Nilai KU penderita
Primary Survey (ABC)
AIRWAY
Cek apakah ada obstruksi airway → Bebaskan airway,
perhatikan apakah ada trauma inhalasi (intubasi,
trakeostomi bila ada indikasi)
BREATHING
Bila ada trauma inhalasi:
- Beri oksigen masker 8-10 lpm
- Penghisapan sekret secara berkala
- Humidifikasi dengan nebulizer
- Pemberian bronkodilator (ventolin inhalasi)
- Pantau tanda dan gejala distres nafas
CIRCULATION
- Segera pasang double i.v line
 Shock → segera infus (grojok), tanpa
memperhitungkan luas luka bakar & kebutuhan
cairan (20 cc/kgBB dalam 15-20 menit)
 Tidak shock → segera infus sesuai perhitungan
kebutuhan cairan
- Pasang catheter → pantau produksi urin. Catat produksi
urin per jam. Pada orang dewasa, normalnya produksi urin
60-100 cc/jam. Sedangkan pada anak-anak dan orangtua
25-50 cc/jam
Pada Luka Bakar Listrik:

- Bila didapatkan myoglobinuria, urin output dipertahankan


antara 75-100cc/jam sampai tampak berwarna jernih
- Lakukan cardiac monitoring → Monitoring EKG secara
ketat dan kontinu di ICU/HCU, waspadai terjadinya aritmia
dan artrial fibrilasi

Secondary Survey (DE)


Lakukan pemeriksaan dari kepala sampai kaki

DISABILITY
Lakukan pemeriksaan kesadaran GCS, pupil dan reflex
cahaya
EXPOSURE
- Pakaian dan perhiasan dibuka
- Periksa titik kontak
- Estimasi luas luas luka bakar
- Pemeriksaan trauma lain, patah tulang/dislokasi

 Rawat Luka
- Bula kecil (± 2-3 cm) → biarkan
- Luka dikompres basah dengan cairan infus PZ kemudian tutup
dengan kasa sampai dengan dilakukan tindakan
- Pencucian dan rawat luka dapat dilakukan di ruang operasi
dengan anestesi general
- Pemberian antibiotik profilaksis spektrum luas
 Berikan: 1. Analgetik

2. ATS
Pemberian tetanus toksoid booster bila penderita
tidak mendapatkannya dalam 5 tahun terakhir
3. Antasida
 Pemeriksaan lab: DL, GDA
 Pasang NGT untuk gastric dekompresi ~ ileus paralitik (pada luka
bakar yang luas)

PEDOMAN PEMBERIAN CAIRAN


1. Per oral saja
→ Untuk penderita luka bakar tidak luas (< 15% gr. II)
2. IVFD (infus)
→ Pada luka bakar > 15%

Rumus Pemberian Cairan & Elektrolit (BAXTER/PARKLAN)


 Dewasa

RL: 4cc
1. ½ Jumlah x BB
cairan x % Luas
diberikan Luka
dalam 8 jamBakar
I post trauma
2. ½ Jumlah cairan berikutnya diberikan dalam 16 jam berikutnya
3. Luas luka bakar > 50% diperhitungkan = luas luka bakar 50%
 Anak-anak
RES: = cc
Kebutuhan Faali:
RL: 2cc x BB x % Luas Luka Bakar A
< 1 th : BB x 100cc
1-3 th : BB x 75cc = cc
3-5 th : BB x 50cc B
Kebutuhan Total = ∑ RES + ∑ Keb. Faali = (A + B) cc
Diberikan dalam keadaan tercampur RL:Dextran = 17:3
8 jam I = ½ (A+B) cc
16 jam II = ½ (A+B) cc
INDIKASI MRS:
- Dewasa : Luka Bakar > 15% grade II
Anak : Luka Bakar > 10% grade II
- Luka Bakar grade III > 2%
- Luka Bakar yang mengenai area penting : Wajah dan
leher, genetalia, dan persendian
- Trauma Inhalasi
- Luka Bakar Listrik
Luka Bakar Akibat Ledakan (Blast Injury)

Syok hipovolemik, ileus paralitik (stress ulcer/curling ulcer), anemia,


Komplikasi
kegagalan fungsi ginjal , pneumonia, sepsis
Unit yang
Bagian llmu Bedah Plastik, Bagian llmu Bedah Umum
menangani
Unit terkait Instalasi Gawat Darurat, Unit Rawat Inap, Komite Medik
HEMOTHORAKS
(Kode ICD: S 27.0)

No. Dokumen No. Revisi Halaman


................... .................. 1/2
Tanggal terbit Ditetapkan Tanggal ...............
Direktur,
PANDUAN PRAKTEK .....................
KLINIS
(SMF BEDAH)
dr. AGUNG BASUKI, M.Kes
NIP. 19600504 198902 1 002
Hemothoraks adalah pengumpulan darah dalam ruang potensial antara
Pengertian
pleura viseral dan parietal.
Anamnesa Keluhan utama sesak napas dan nyeri pada dada, sering karena trauma.
1. Pada pemeriksaan fisik didapatkan syok hipovolemik, nyeri dada, sesak
napas, gerakan napas asimetris, pekak pada perkusi, fremitus lebih
keras, suara napas berkurang, tekanan vena sentral tidak meninggi, ada
jejas di dada, anemia.
2. Inspeksi : biasanya tidak tampak kelainan, mungkin gerakan napas
tertinggal atau wajah pucat karena perdarahan atau kesakitan.
Pemeriksaan Fisik
Fremitus sisi yang terkena lebih keras dari sisi yang lain.
3. Perkusi : didapatkan pekak dengan batas seperti garis miring atau
mungkin tidak jelas, tergantung pada jumlah darah yang ada di rongga
thoraks.
4. Auskultasi : bunyi nafas menurun atau menghilang dibandingkan sisi
sehat.
Secara klinis hemotoraks ditandai dengan darah di dalam rongga
pleura. Hal ini dapat disebabkan oleh trauma atau penyakit.
 Tanda dan gejala klinis berupa:
sesak nafas, syok hipovolemik,
 pada inspeksi gerakan hemitoraks yang bersangkutan
tertinggal.
 pada perkusi redup pada sisi yang sakit.
Kriteria Diagnosis
 pada auskultasi suara nafas menurun.
 pada foto polos toraks terdapat bayangan kesuraman
disertai sudut kosta frenikus tumpul, pada punksi keluar
darah.
 Bila terdapat perdarahan massif, pada foto polos toraks
tampak trakhea deviasi dan JVP meningkat ipsilateral,
Anemia.
Diagnosis Hemothoraks
1. Atelektasis
2. Efusi pleura
Diagnosis Banding
3. Massa pada jaringan paru
4. Pneumotoraks Tension
Laboratorium: pemeriksaan DL, saturasi O2
Pemeriksaan
Radiologi: foto polos toraks, CT scan toraks, USG toraks, FAST
Penunjang
ultrasound
a. Non Bedah
1. Oksigenasi O2 kanul nasal (2-4L/mnt) face mask (10-12L/mnt),
pasang orofaringeal tube (mayo) nasogastric tube atau
pernafasan buatan dan tracheostomi
2. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit IV FD RL 1500-
2000cc/24 jam
3. Collarbrast harus dipasang ditakutkan trauma multipel (cedera
leher)
4. Pasang kateter apabila syok.
Terapi
5. Transfusi darah bila perdarahan masif
6. Obat obatan antibiotika, analgetika, antipiretika, anti
koagulopati.
NB: konsul spesialis bedah!
b. Bedah
1. WSD dapat dilakukan di UGD dengan syarat harus tenaga medis
yg terlatih dan berpengalaman.
2. Bila masif di lakukan torakotomi (perdarahan > 800 cc) atau 3 – 5
cc / kgBB / jam
1. Pembedahan resiko tinggi
Edukasi
2. Komplikasi jangka panjang – fibrosis paru

Prognosis Diharapkan baik atau dubious atau jelek

8. Persatuan Dokter Spesialis Bedah Umum Indonesia. Pedoman


Pelayanan Medik Edisi Kedua, 2006: 128-129.
Kepustakaan
9. Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Soetomo Surabaya. Pedoman
Diagnosis dan Terapi Bagian/SMF Ilmu Bedah Edisi IV, 2010: 190-192.
PENANGANAN ILEUS OBSTRUKTIF DI IGD

No. Dokumen No. Revisi Halaman


................... .................. 29-4
Ditetapkan
STANDAR Tanggal terbit Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL .....................
(SMF...............) Dr. AGUNG BASUKI, M.Kes
NIP. 19600504 198902 1 002
Pengertian 1. Prosedur yang mengatur tentang penatalaksanaan Ileus Obstruktif
2. Ileus Obstruktif adalah gangguan propulsi atau pasase normal isi
usus ke arah rektum karena hambatan ekstrinsik atau intrinsik, baik
pada usus kecil maupun pada usus besar.
3. Obstruksi usus diakibatkan kelainan pada intraluminal (batu
empedu, benda asing, tumor); intramural (tumor, striktur akibat
peradangan); ekstrinsik (adesi, hernia, karsinomatosis).
4. Gejala klinis meliputi :
A. Kembung, dan obstipasi akut yang disusul mual muntah.
B. Distensi abdomen dengan mual
C. Riwayat bowel habit changes
5. Pemeriksaan :
a. Inspeksi meliputi pemeriksaan defek hernia, bekas insisi operasi
sebelumnya, dan pemeriksaan rektum
b. Distensi abdominal pada obstruksi ileum distal, mungkin tidak
ada pada obstruksi usus bagian proksimal
c. Darm countour dan Darm steifung
d. Bising usus hiperaktif sampai bunyi metalik
e. Takikardia, hipotensi, dan oliguria merupakan tanda dehidrasi
6. Pemeriksaan Radiologis
1. Foto polos abdomen posisi supine, left lateral decubitus:
gambaran dilatasi usus dengan air fluid level, pelebaran gas usus
halus, kolon dan sigmoid masing-masing lebih dari: 3,59 dan 5 cm.
Ada pneumobilia menunjukkan ada gallstone ileus. Volvulus
sekum dan sigmoid memberikan gambaran yang patognomonis.
Gambaran obstruksi tampak sebagai gambaran Hearing Bone
Appearance, Step Ladder
2. Foto dengan kontras. Enteroclysis dengan water soluble dilakukan
pada pasien tanpa riwayat operasi sebelumnya atau kasus
rekurensi tumor, dan enema barium
7. Pemeriksaan Laboratorik
1. Hemokonsentrasi, lekositosis ringan, dan gangguan
keseimbangan elektrolit
2. Bila terdapat strangulata: lekositosis nyata dan sepsis
8. Diagnosa Banding:
- Ileus Paralitik

7. Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.


8. Pasien mendapatkan penanganan yang sesuai dengan prosedur

Tujuan yang berlaku di RSUD Bangil.


9. Memperlancar proses pelayanan antara Instalasi Gawat Darurat
dengan Unit Rawat Inap RSUD Bangil.

a. Standar Pelayanan Minimal RSUD Bangil.


b. Wewenang untuk melakukan prosedur adalah :
a. Dokter spesialis Bedah Umum.
Kebijakan b. Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Bedah
Umum.
c. Dokter IGD.
d. Dokter Umum yang bekerja di bagian Bedah.

A. Terapi non surgikal :


Terapi non surgikal dilakukan bila penyebab obstruksi tidak jelas atau
proses adesi:
Prosedur
a. Dekompresidengan pipa lambung.
b. Infus cairan untuk koreksi keseimbangan cairan, elektrolit, asam
basa.
c. Antibiotik profilaksis: sefalosporin generasi 2 atau 3 dan
metronidazole.
d. Monitoring ketat keadaan umum pasien dan tanda vital (tensi,
nadim suhu tubuh), keseimbangan cairan dan elektrolit.
e. Bila dalam perawatan selama 3x24 jam obstruksi tidak
menunjukkan kemajuan atau selama perawatan didapatkan
tanda-tanda strangulasi (peningkatan suhu tubuh, takikardia,
nyeri perut terus menerus, gangguan hemodinamik, tanda-
tanda peritonitis), harus dilakukan pembedahan.
2. Terapi surgikal
 Terapi surgikal dilakukan bila penyebab obstruksi bukan merupakan
suatu adesi misal: hernia inkarserata, keganasan kolorektal. Jenis
operasi sesuai dengan penyebab obstruksi

Komplikasi Strangulasi, Sepsis


Unit yang
Bagian llmu Bedah
menangani
Unit terkait Instalasi Gawat Darurat, Unit Rawat Inap, Komite Medik
BENIGNA HIPERTROFI PROSTAT (BPH)
(Kode ICD: N 10)

No. Dokumen No. Revisi Halaman


................... .................. ..........
Tanggal terbit Ditetapkan Tanggal...............
Direktur,
PANDUAN PRAKTEK .....................
KLINIS
(BEDAH UMUM)
dr. AGUNG BASUKI, M.Kes
NIP. 19600504 198902 1 002
Benigna Hipertrofi Prostat / Benigna Prostatik Hyperplasia (BPH) yaitu
pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan karena hiperplasia beberapa
Pengertian atau semua komponen prostat, antara lain jaringan kelenjar dan jaringan
fibro-muskular, yang dapat menyebabkan penyumbatan uretra pars
prostika.
Munculnya gejala obstruktif dan atau gejala iritatif (LUTS):
1. Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars
prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan
otot detrusor untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama
sehingga kontraksi terputus-putus.
Gejalanya ialah :
a. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistancy)
b. Pancaran miksi yang lemah (weak stream)
c. Miksi terputus (Intermittency)
d. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
Anamnesa e. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder
emptying).
2. Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaria yang
tidak sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh hipersensitifitas
otot detrusor karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan
pada vesica, sehingga vesica sering berkontraksi meskipun belum penuh.
Gejalanya ialah :
a. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)
b. Nokturia
c. Miksi sulit ditahan (Urgency)
d. Disuria (Nyeri pada waktu miksi)
Pemeriksaan Fisik 1. Colok dubur didapatkan pembesaran dari prostat
4. Adanya salah satu/beberapa gejala LUTS
Kriteria Diagnosis
5. Colok dubur teraba pembesaran prostat
Diagnosis Hipertrofi Prostat Benign (BPH)
1. Prostatitis
Diagnosis Banding
2. Carsinoma prostat / keganasan prostat
Pemeriksaan 4. Laboratorium : serum kreatinin, BUN, PSA (Prostate Specific
Penunjang Antigen)
5. Radiologi : - USG Urologi  estimasi volume prostat
- TRUS  Trans Rectal Ultra Sonografi
6. Uroflowmetri
1. Pada saat terjadi retensi urine : pasang kateter ( kandung kemih
diistirahatkan) Tiap 500 cc → selang kateter diikat selama 5-15
menit → ikatan dilepaskan → diulangi sampai urine keluar semua
sambil dimonitor kualitas dan kuantitas urine.(Kontrol poli bedah).
2. Tergantung pada berat ringan keluhan penderita
a. Ringan (IPSS 1-7, Max. Flow rate > 15 ml/s)
Terapi
 Watchful Waiting
b. Sedang (IPSS 8 – 18, Max. Flow rate 10 – 15 ml/s)
 Medikamentosa : α-blocker (tamsulosin, doxazosin
atau terazosin) anti androgen (inhibitor 5-a reduktase)
c. Berat (IPSS > 18, Max. Flow rate < 10 ml/s)
 Operatip : pembedahan terbuka, endoskopik (TUR-P)
3. Bila terjadi komplikasi  operatif (konsul spesialis bedah)
Edukasi 1. Dapat menyebabkan penyakit lain seperti hernia dan hemorhoid

Prognosis Diharapkan baik bila jinak

10. Persatuan Dokter Spesialis Bedah Umum Indonesia. Pedoman Pelayanan


Medik Edisi Kedua, 2006: 80.
Kepustakaan
11. Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo Surabaya. Pedoman Diagnosis dan
Terapi Bagian/SMF Ilmu Bedah Urologi Edisi III, 2008: 8-9.
PENANGANAN RETENSI URINE GAGAL PEMASANGAN KATETER DI IGD

No. Dokumen No. Revisi Halaman


................... .................. 33-4
Ditetapkan
STANDAR Tanggal terbit Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL .....................
(SMF...............) Dr. AGUNG BASUKI, M.Kes
NIP. 19600504 198902 1 002
Pengertian 10. Prosedur yang mengatur tentang penatalaksanaan retensi urine
gagal pemasangan kateter.
11. Retensi urine adalah suatu keadaan penumpukan urine di kandung
kemih dan tidak mempunyai kemampuan untuk mengosongkannya
secara sempurna. Retensio urine adalah kesulitan miksi karena
kegagalan urine dari fesika urinaria.
12. Indikasi pemasangan kateter:

Indikasi diagnosis katerisasi:


 Memperoleh contoh urin pada wanita guna pemeriksaan kultur
urin.
 Mengukur residual urin pada pembesaran prostat
 Memasukkan bahan kontras pemeriksaan seperti pada sistogram
 Mengukur tekanan tekanan buli-buli seperti pada sindrom
kompartemen abdomen
 Untuk mengukur produksi urin yang merupakan cerminan keadaan
perfusi ginjal pada penderita shock
 Mengetahui perbaikan atau perburukan pada trauma ginjal dari urin
yang bertambah merah atau jernih yang keluar dari kateter
Indikasi terapi katerisasi:
 Mengeluarkan urin pada retensio urinae
 Membilas / irigasi buli-buli setelah operasi batu buli-buli, tumor buli
atau prostat
 Sebagai splint setelah operasi uretra seperti pada hipospadia
 Untuk memasukkan obat ke buli-buli, misalnya pada carcinoma buli-
buli
13. Kontra indikasi pemasangan kateter:
Trauma uretra. Cedera uretra terjadi pada pasien dengan sedera
multisystem dan fraktur pelvis, termasuk straddle impact. Jika
dicurigai trauma uretra, lakukan pemeriksaan pada genital dan
rektum. Bila didapatkan darah pada meatus uretra, hematoma pada
skrotum, fraktur pelvis, atau prostat yang melayang.
14. Tanda dan gejala retensi urine meliputi :

a. Diawali dengan urine mengalir lambat.


b. Kemudian terjadi poliuria yang makin lama menjadi parah karena
pengosongan kandung kemih tidak efisien.
c. Terjadi distensi abdomen akibat dilatasi kandung kemih.
d. Terasa ada tekanan, kadang terasa nyeri dan merasa ingin BAK.
e. Pada retensi berat bisa mencapai 2000 -3000 cc.
10. Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.
11. Pasien mendapatkan penanganan yang sesuai dengan prosedur

Tujuan yang berlaku di RSUD Bangil.


12. Memperlancar proses pelayanan antara Instalasi Gawat Darurat
dengan Unit Rawat Inap RSUD Bangil.

E. Standar Pelayanan Minimal RSUD Bangil.


F. Wewenang untuk melakukan prosedur adalah :
Kebijakan 9. Dokter spesialis Bedah Umum.
10. Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Bedah Umum.
11. Dokter IGD.

Prosedur Bila terjadi kesulitan pemasangan kateter karena ketegangan spinkter


eksterna katena pasien kesakitan atau ketakutan dapat diatasi dengan
lubrikasi:

1. Menekan tempat tertahan tadi dengan ujung kateter kira-kira


beberapa menit sampai terjadi relaksasi spinkter
2. Pemberian anestesi topical berupa campuran lidokain hidroklorida
2% dengan jelly 20 cc, dimasukkan peruretra sebelum melakukan
kateterisasi.

Bila pemasangan kateter gagal, konsultasi dengan dokter spesialis bedah


untuk sistotomi terbuka (open suprapubic cystotomy). Berikut merupakan
indikasi:

Kateterisasi gagal: striktur uretra, batu uretra


Kontra indikasi kateter: rupture uretra

Bila sistotomi trokar gagal

Bila akan dilakukan tindakan tambahan seperti mengambil batu dalam buli-
buli, evakuasi gumpalan darah, memasang drain di kavum Retzii dsb.

Komplikasi Hidroureter, hidronefrosis, gagal ginjal


Unit yang
Bagian Bedah Umum
menangani
Unit terkait Instalasi Gawat Darurat, Unit Rawat Inap, Komite Medik
PENANGANAN SNAKE BITE PADA ANAK di UGD

No. Dokumen No. Revisi Halaman


................... .................. 1-4
Ditetapkan Tanggal ...............
Tanggal terbit Direktur,

STANDAR .....................
PROSEDUR
OPERASIONAL Dr. AGUNG BASUKI, M.Kes
NIP. 19600504 198902 1 002
(SMF...............)
1. Prosedur yang mengatur tentang penatalaksanaan snake bite
pada anak
2. Gigitan ular pada umumnya menyebabkan nyeri lokal dan tidak
memerlukan perawatan, namun anak-anak mempunyai resiko
tinggi terjadi reaksi berat.
3. Reaksi klinis berat pada anak sering terjadi karena volume tubuh
lebih kecil untuk penyebaran racun.
4. Ular berbisa sebagian besar berasal dari 3 famili yaitu,
Pengertian
hydrophidae (ular laut), elapidae (ular cobra), dan viperadae
(crotalidae). Kasus gigitan ular berbisa 95% disebabkan oleh
gigitan ular dari family crotalidae
5. Pada umumnya gejala yang ditimbulkan oleh bisa ular terjadi
dalam 2-6 jam setelah gigitan. Infark serebri sering terjadi
karena gigitan ular dari familoi crotalidae, terjadi dalam waktu 7
jam sampai 1 minggu setelah gigitan
6. Manifestasi klinis:
Gigitan oleh Crotalidae sering kali menimbulkan gejala:
 pada tempat gigitan berupa nyeri dan bengkak yang
dapat terjadi dalam beberapa menit,
 bisa akan menjalar ke proksimal,
 selanjutnya terjadi edema dan ekimosis.
 Kasus berat dapat timbul bula dan jaringan nekrotik, serta
gejala sistemik berupa mual, muntah, kelemahan otot,
gatal sekitar wajah, dan kejang. Pasien jarang mengalami
syok, edem generalisata atau aritmia jantung tetapi
perdarahan sering terjadi.
7. Pemeriksaan laboratorium:
a. Peningkatan jumlah netrofil
b. PT APTT memanjang
c. Penurunan jumlah fibrinogen
d. Hepatotoksik dan nefrotoksik
e. Pada pemeriksaan urinalisis dapat terjadi proteinuria serta
hematuri mikroskopis dan dapat terjadi leukosituria
f. Pada pemeriksaan EKG umumnya terjadi kelainan berupa
Pengertian
bradikardi dan inverse septal gel T
8. Klasifikasi:
Derajat berat kasus gigitan ular berbisa umumnya dibagi dalam 4
skala,yaitu:
a. Family Crotalidae
 Derajat 1 (minor): terdapat tanda bekas gigitan, tidak ada
edema, tidak nyeri, tidak ada gejala sistemik, tidak ada
koagulopati
 Derajat 2 (moderate): terdapat tanda bekas gigitan,edem
local, tidak ada gejala sistemik, tidak ada koagulopati
 Derajat 3(severa): terdapat tanda bekas gigitan, edem
regional, tidak ada tanda sistemik, terdapat tanda koagulopati
 Derajat 4(major): terdapat tanda bekas gigitan, edem yang
luas, terdapat tanda sistemik (muntah, sakit kepala, nyeri
pada perut dan dada, syok), thrombosis sistemik.

9. Diagnosis
Diagnosis gigitan ular berbisa ditegakkan berdasarkan
identifikasi ular yang menggigit dan adanya manifestasi klinis
ular yang menggigit sebaiknya dibawa dalam keadaan hidup atau
mati.

1. Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.


2. Pasien mendapatkan penanganan yang sesuai dengan prosedur
Tujuan yang berlaku di RSUD Bangil.
3. Memperlancar proses pelayanan antara Instalasi Gawat Darurat
dengan Unit Rawat Inap RSUD Bangil.
A. Standar Pelayanan Minimal RSUD Bangil.
B. Wewenang untuk melakukan prosedur adalah :
Kebijakan 1. Dokter IGD.
2. Dokter spesialis Bedah Umum.
3. Dokter Umum yang bekerja di bagian Bedah
1. Pasang 2 jalur iv untuk cairan dan yang satu untuk keadaan
darurat
2. Pemeriksaan lab: Dl,PT,APTTfibrinogen,elektrolit,urin.
Prosuder
3. Beri suntikanATS dan dipertimbangkan pemberian SABU

4. Fasciotomy bila terjadi edem yang luas dan kompartemen


sindrom
5. Antibiotic spectrum luas
6. Untuk kasus minimal sabu diberikan 1-5vial sedangkan
moderate dan severe lebih dari 15 vial
7. Cross insisi
8. Fiksasi sendi
1. Gigitan ular berbisa berpotensi menyebabkan kematian dan
keadaan yang berat, sehingga perlu pemberian antibisa
Prognosis
2. Ekstremitas atau bagian tubuh yang mengalami nekrosis pada
umumnya akan mengalami perbaikan, fungsi normal.
Unit yang menangani Bagian Bedah Umum
Unit terkait Instalasi Gawat Darurat, Unit Rawat Inap, Komite Medik.

Kepustakaan:

Niasari Nia.2003.Gigitan Ular Berbisa.Sari Periadri, vol 5, No 3.92-98


TETANUS
(Kode ICD: A 34- A 35)

No. Dokumen No. Revisi Halaman


................... .................. ..........
Ditetapkan Tanggal ...............
PANDUAN PRAKTEK Tanggal terbit
KLINIS Direktur,
KELOMPOK SMF .....................
BEDAH (SPESIALIS
BEDAH UMUM)
dr. AGUNG BASUKI, M.Kes
NIP. 19600504 198902 1 002
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya
Pengertian tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin
protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani.
Tanda pertama tetanus yang tersering adalah spasme otot yang akut dan
kaku leher atau trismus (lockjaw). Jika tidak ditangani, dalam
Anamnesa
perkembangannya akan muncul opisthotonus (pelengkungan punggung
oleh karena spasme ekstensor)
Karakteristik dari tetanus yaitu antara lain:
1. Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama, dan menetap selama 5
-7 hari.
2. Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekwensinya
3. Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
4. Biasanya didahului dengan ketegangaan otot terutama pada rahang
dari leher.
5. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus, lockjaw )
karena spasme otot maseter.
Pemeriksaan Fisik 6. Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( opistotonus , nuchal rigidity )
7. Risus sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis
tertarik keatas, sudut mulut tertarik keluar dan ke bawah, bibir
tertekan kuat .
8. Gambaran Umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus,
tungkai dengan
9. Eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, kesadaran baik
10.Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan
sianosis, retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis
(pada anak).
Kriteria Diagnosis Diagnosis didasarkan pada gambaran klinis dan anamnesa adanya
luka. Leukosit mungkin meningkat. Pemeriksaan cairan
serebrospinal menunjukkan hasil yang normal. Elektromiogram
mungkin menunjukkan impuls unit-unit motorik dan pemendekan
atau tidak adanya interval tenang yang secara normal dijumpai
setelah potensial aksi.

Bagan Phillips
Tolok ukur nilai
Masa inkubasi: Kurang 48 jam 5
2 – 5 hari 4
6 – 10 hari 3
11 – 14 hari 2
Lebih 14 hari 1
Lokasi infeksi: Internal/umbilikal 5
Leher, kepala, tubuh 4
Ekstremitas proksimal 3
Ekstremitas distal 2
Tidak diketahui 1
Imunisasi: Tidak ada 10
Mungkin ada/ibu 8
mendapat
Lebih 10 tahun yang 4
lalu
Kurang 10 tahun 2
Proteksi lengkap 0
Faktor yang Penyakit atau trauma 10
memberatkan: yang membahayakan
jiwa
Keadaan yang tidak 8
langsu ng
membahayakan jiwa
Keadaan yang tidak 4
membahayakan jiwa
Trauma atau penyakit 2
ringan
Derajat keparahan penyakit:
- tetanus ringan < 9 (dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan)
- tetanus sedang 9 – 16 (sembuh dengan pengobatan baku)
- tetanus berat > 16 (memerlukan perawatan khusus yang intensif)
ensial aksi.

Diagnosis Tetanus

Abses alveolar, keracunan striknin, reaksi obat distonik, tetanus


hipokalsemik, dan perubahan-perubahan metabolik dan neurologis
Diagnosis Banding
meningitis/ensefalitis, rabies dan proses intraabdominal akut. pada
neonatal
Laboratorium : DL, Cairan serebrospinal
Pemeriksaan
Penunjang EEG
Terapi 1. Non medikamentosa
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani,
menetralisirkan peredaran toksin, mencegah spasme otot dan
memberikan bantuan pemafasan sampai pulih. Dan tujuan
tersebut dapat diperinci sbb :
a) Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:
Membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi
jaringan nekrotik),membuang benda asing dalam luka serta
kompres dengan H202 ,dalam hal ini penata laksanaan,
terhadap luka tersebut dilakukan 1 -2 jam setelah ATS dan
pemberian Antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS.
b) Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung
kemampuan membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus,
makanan dapat diberikan personde atau parenteral.
c) Perawatan dengan stimulasi minimal. Isolasi untuk
menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan
terhadap penderita
d) Oksigenasi O2 kanul nasal (2-4L/mnt) face mask (10-12L/mnt),
pasang orofaringeal tube (mayo) nasogastric tube atau
pernafasan buatan dan tracheostomi bila perlu.
e) Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit IV FD RL 1500-
2000cc/24 jam
f) Hindarkan aspirasi (dengan menghisap lendir perlahan-lahan
dan memindah-mindahkan posisi pasien)
g) Pemantauan/ monitoring kejang dan tanda penyulit

2.Medikamentosa
Profilaksis
a. Debridemen
Tanpa memperhatikan status imunisasi. Eksisi jaringan yang
nekrotik dan benda asing harus dikerjakan untuk semua jenis
luka.
b. Anti kejang
Diazepam 20mg/kg/BB drip dalam D5% (20 TPM) diberikan
setiap 4-6 jam.
c.ATS (Anti Tetanus Serum)
1. Skin test 0,1 ATS dalam 1cc 0,9% NACL, suntikan secara
intrakutan tunggu 15 menit
2. Human Tetanus Immunoglobuline (asal manusia), terkenal
di pasaran dengan nama Tetagam P.
- profilaksi 250 iu IM bersamaan dengan 0,5 ml vaksin
tetanus
- tetanus dewasa 3000-6000 iu diberikan dalam 4 kali
suntikan ditempat yang berbeda IM. Anak 500-3000 iu.
- bila Htig tidak tersedia gunakan ATS dengan dosis 100.000 iu
dgn cara pemberian 40.000 iu dalam 200cc NACL IV dalam
waktu 30 menit kemudian 40.000 dan 20.000 iu selanjutnya
diberikan secara IM
NB: 250 IU Htig (setara dengan 1500 IU ATS)

d. Antibiotika :
Diberikan parenteral Peniciline 1,2 juta IU / 8 jam selama 5
hari, IM. Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan
Peniciline dosis 50.000 IU / KgBB/ hari secara IM diberikan
hingga 3 hari bebas demam. Bila sensitif terhadap peniciline,
obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin
dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2
gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis ). Pada
dewasa diberikan 4 x 500 mg/ hari.

NB: segera konsul ke spesialis bedah umum.


7. Imunisasi aktif dengan toksoid
8. Perawatan yang baik pada luka yang terkontaminasi tanah dsb
Edukasi
9. Pemakaian antitoksin sebagai pencegahannya
10.Pemberian penisillin
Prognosis Dubiot at bonam oleh karena itu pencegahan sangat penting
12.Pedoman Pelayanan Medik Dokter Spesialis Bedah umum Indonesia,
Edisi Kedua 2006
Kepustakaan
13.Burkitt, H. George. Essential Surgery: Problems, Diagnosis, and
Management: 4th Edition. Churchill Livingstone. 2008
PENANGANAN PATAH TULANG TERBUKA DI IGD

No. Dokumen No. Revisi Halaman


................... .................. 43-4
Ditetapkan
STANDAR Tanggal terbit Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL .....................
(SMF...............) Dr. AGUNG BASUKI, M.Kes
NIP. 19600504 198902 1 002
Pengertian e. Prosedur yang mengatur tentang penatalaksanaan Patah Tulang
Terbuka

f. Patah tulang terbuka adalah patah tulang di mana fragmen


tulang yang bersangkutan sedang atau pernah berhubungan
dengan dunia luar. Bila luka terbuka disebut sebagai patah
tulang terbuka, bila luka lecet disebut sebagai terbuka potensial.

g. Secara klinis pembagian derajat patah tulang terbuka dipakai


klasifikasi menurut Gustillo dan Anderson yaitu:

a. Patah tulang derajat I

Garis patah sederhana dengan luka kurang atau sama dengan


1 cm bersih

b. Patah tulang derajat II

Garis patah sederhana dengan luka > 1cm, bersih, tanpa


kerusakan jaringan lunak yang luas atau terjadinya flap atau
avulsi

c. Patah tulang derajat III

Patah tulang yang disertai dengan kerusakan jaringan lunak


luas termasuk kulit, otot, syaraf, pembuluh darah. Patah
tulang ini disebabkan oleh gaya dengan kecepatan tinggi.

Secara sistematis, Gustillo membaginya lagi ke dalam

Derajat IIIA: Bila patah tulang masih dapat ditutup dengan


jaringan lunak

Derajat IIIB: tulang terbuka, tidak dapat ditutup dengan


jaringan lunak termasuk periosteum, terjadi kontaminasi
serius

Derajat IIIC: teradapat kerusakan pembuluh darah arteri

h. Gejala klinis meliputi :


Terdapat tanda-tanda patah tulang dengan luka di daerah patah tulang
Tanda-tanda tidak pasti:
f.Rasa nyeri dan tegang
g. Hilangnya fungsi
h. Deformitas
Tanda tanda pasti
3. Gerakan abnormal
4. Krepitasi
5. Deformitas akibat fraktur: deformitas berupa angulasi rotasi,
dan pemendekan
i. Pemeriksaan dan Diagnosis:
B. Inspeksi (Look): pembengkakan dan deformitas
C. Palpasi (Feel): tegang lokal, krepitasi, nyeri tekan
D. Periksa pulsasi arteri distal dari fraktur
E. Gerakan (move): gerakan abnormal (false movement), functio
laesa
F. Radiologi: 2 arah (anteroposterior, dan lateral), 2 waktu yang
berbeda, 2 sendi (sendi proksimal dan distal dari fraktur harus
terlihat pada film), 2 ekstermitas (sebagai pembanding terutama
pada anak-anak)
j. Diagnosa Banding:
c. Vulnus appertum
d. Vulnus abbrasi

4. Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.


5. Pasien mendapatkan penanganan yang sesuai dengan prosedur

Tujuan yang berlaku di RSUD Bangil.


6. Memperlancar proses pelayanan antara Instalasi Gawat Darurat
dengan Unit Rawat Inap RSUD Bangil.

Kebijakan e. Standar Pelayanan Minimal RSUD Bangil.


f. Wewenang untuk melakukan prosedur adalah :
1. Dokter spesialis Orthopaedi.
2. Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Orthopaedi
dengan bimbingan dokter spesialis Orthopaedi.
3. Dokter IGD dengan bimbingan dokter spesialis Orthopaedi.
4. Dokter Umum yang bekerja di bagian Orthopaedi

1. Life Saving dan Secondary Survey:


3. Untuk life saving, penanganan meliputi perbaikan Airway,
Breathing, Circulation.
4. Pada kasus curiga cedera servikal (multipel trauma, defisit
neurologis, mode of injury yang jelas, trauma supraklavikula)
dilakukan pemasangan collar brace
5. Pada Secondary Survey dilakukan pemeriksaan kesadaran dan
mencari jejas atau cedera di tempat lain yang mungkin terjadi
6. Pemasangan bidai (splint) dilakukan untuk mencegah kerusakan
jaringan lebih lanjut, mengurangi rasa nyeri, menekan
kemungkinan emboli lemak dan syok, memudahkan transportasi
Prosedur dan pengambilan foto.
2. Pemberian Antibiotik
Pemberian antibiotik broad spectrum dapat menggunakan cephalosporin
generasi 1 dan Aminoglikosida. Pada kasus patah tulang terbuka
direkomendasikan pemberian anti tetanus

3. Debridement dan Irigasi


Debridement untuk membuang semua jaringan mati pada daerah patah
tulang terbuka, baik benda asing, maupun jaringan lokal yang mati. Irigasi
degnan mencuci luka dengan larutan fisiologi

4. Stabilisasi
Cara stabilisasi tulang tergantung pada derajat patah tulang terbukanya dan
fasilitas yang ada. Pada derajat 1 dan 2, dapat dipertimbangkan pemasangan
fiksasi dalam secara primer, untuk derakat 3 dianjurkan pemasangan fiksasi
luar

5. Penutupan luka
Penutupan luka primer dapat dipertimbangkan pada patah tulang derajat 1
dan 2, untuk derajat 3 sama sekali tidak dianjurkan pernutupan luka primer,
bila memungkinkan tulang yang tampak ditutup dengan jaringan lunak
(otot) untuk mempertahankan hidupnya

6. Rehabilitasi Dini

Rehabilitasi dini sangat diperlukan untuk mengembalikan fungsi anggota


gerak secara optimal
Nekrosis, trombosis vena, osteomielitis, nekrosis avaskular, emboli
Komplikasi
lemak, emboli paru, tetanus, infeksi, malunion, nonunion
Unit yang
Bagian llmu Bedah Tulang (Orthopaedi)
menangani
Unit terkait Instalasi Gawat Darurat, Unit Rawat Inap, Komite Medik
PENANGANAN FRAKTUR KLAVIKULA DI IGD

No. Dokumen No. Revisi Halaman


................... .................. 1/5
Ditetapkan
STANDAR Tanggal terbit Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL .....................
(SMF ) BEDAH Dr. AGUNG BASUKI, M.Kes
TULANG NIP. 19600504 198902 1 002

10. Prosedur yang mengatur tentang penatalaksanaan fraktur klavikula.


11. Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi,
tulangrawan epifisis, baik yang bersifat total maupun yang parsial.
12. Klavikula adalah tulang pertama yang mengalami proses pengerasan
selama perkembangan embrio minggu ke-5 dan 6.
13. Tulang klavikula, tulang humerus bagian proksimal dan tulang
skapula bersama-sama membentuk bahu. Tulang klavikula juga
membentuk hubungan antara anggota badan atas dan Thorax.
14. Tulang ini membantu mengangkat bahu ke atas, ke luar, dan ke
belakang thorax.
15. Pada bagian proksimal tulang clavikula bergabung dengan sternum
disebut sebagai sambungan sternoclavicular (SC). Pada bagian distal
klavikula bergabung dengan acromion dari skapula membentuk
sambungan acromioclavicular (AC).
Pengertian 16. Jenis fraktur klavikula meliputi
 Kelompok 1: patah tulang pada sepertiga tengah tulang klavikula
(insidensi kejadian 75-80%).
- Pada daerah ini tulang lemah dan tipis.
- Umumnya terjadi pada pasien yang muda.
 Kelompok 2: patah tulang klavikula pada sepertiga distal (15-
25%).
Terbagi menjadi 3 tipe berdasarkan lokasi ligament
coracoclavicular yakni (yakni, conoid dan trapezoid).
- Tipe 1. Patah tulang secara umum pada daerah distal tanpa
adanya perpindahan tulang maupun ganguan ligament
coracoclevicular.
- Tipe 2 A. Fraktur tidak stabil dan terjadi perpindahan tulang,
dan ligament coracoclavicular masih melekat pada.

fragmen
 - Tipe 2 B. Terjadi ganguan ligament. Salah satunya terkoyak
ataupun kedua-duanya.
- Tipe 3. Patah tulang yang pada bagian distal clavikula yang
melibatkan AC joint.
- Tipe 4. Ligament tetap utuk melekat pata perioteum,
sedangkan fragmen proksimal berpindah keatas.
- Tipe 5. Patah tulang kalvikula terpecah menjadi beberapa
fragmen.
 Kelompok 3: patah tulang klavikula pada sepertiga proksimal
(5%)
Pada kejadian ini biasanya berhubungan dengan cidera
neurovaskuler.

7. Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.


8. Pasien mendapatkan penanganan yang sesuai dengan prosedur
Tujuan yang berlaku di RSUD Bangil.
9. Memperlancar proses pelayanan antara Instalasi Gawat Darurat
dengan Unit Rawat Inap RSUD Bangil.

C. Standar Pelayanan Minimal RSUD Bangil.


D. Wewenang untuk melakukan prosedur adalah :
4. Dokter spesialis bedah tulang.
Kebijakan 5. PPDS
6. Dokter IGD.
7. Dokter Umum yang bekerja di bagian bedah tulang.

Diagnosis
1. Pasien datang dengan riwayat trauma
Prosedur 2. Rasa sakit di bahu dan diperparah dengan pergerakan lengan
3. Nyeri tekan di daerah fraktur disertai penonjolan kulit akibat
desakan fragmen fraktur dan pembengkakan local

4. Rontgen klavikula AP untuk menentukan lokasi dan jenis fraktur.


5. MRI (bila perlu) untuk menentukan kerusakan jaringan lunak
Penatalaksanaan
1. Lakukan anamnesis terhadap pasien terutama tentang
bagaimana trauma/cidera yang terjadi.
2. Pemeriksaan fisik dimulai dengan melihat (look) jejas yang ada
di klavikula. Bandingkan bentuk klavikula pasien yang
mengalami trauma dengan klavikula pasien yang normal.
Apabila frakurnya tertutup, lanjutkan dengan meraba
permukaan. Sedangkan apabila frakturnya terbuka, nilai
seberapa parah kerusakan jaringan lunak sekitar. Pemasangan iv
line diperlukan untuk memberikan terapi cairan, antinyeri, dan
antibiotik.
3. Pada fraktur tertutup, raba (feel) permukaan klavikula yang
mengalami trauma dimulai dari daerah yang tidak sakit. Cari di
daerah mana saja yang terdapat nyeri tekan dan penonjolan
fragmen tulang. Sedangkan pada fraktur terbuka, nilai
peredaran darah dan persyarafan di sekitar trauma.
4. Lakukan penilaian terhadap seberapa besar keterbatasan
pergerakan(move) di daerah sekitar trauma. Selain itu nilai juga,
seberapa besar nyeri yang dirasakan pasien dan lokasinya.
5. Lakukan rontgen terhadap daerah trauma, untuk mengetahui
secara pasti fraktur yang terjadi.
6. Apabila pasien mengalami fraktur tertutup dan tanpa adanya
kerusakan ligament, terapi yang diberikan cukup terapi
konservatif dengan pemasangan figure of eight.
7. Sedangkan untuk indikasi relatif dilakukan operasi, antara lain
adalah :
a. Fraktur Spesifik
a. Displacement > 2 cm

b. Shortening > 2 cm
c. Increasing comminution (> 3 fragments)
d. Fraktur segmental
e. Fraktur terbuka
f. Impending fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak
g. Deformitas klinik yang jelas
h. Terdapat malposisi scapula dan winging
b. Associated Injuries
i. Cidera vaskuler yang memerlukan reparasi
j. Defisit neurologis yang progresif
k. Fraktur extremitas atas yang ipsilateral
l. Floating shoulder
m. Fraktur clavicula bilateral
c. Faktor Pasien
n. Politrauma yang memerlukan weight-bearing extremitas
atas
o. Pasien yang membutuhkan kesembuhan fungsi yang cepat
(contohnya atlit terkenal)

Menjelaskan tentang tindakan yang akan dilakukan.


Menjelaskan tentang komplikasi.
p. Akut
1. Cidera pembuluh darah
2. Hematothoraks
Edukasi
3. Pneumothoraks
q. Kronis
1. Mal-union
2. Un-union
3. Infeksi
Instalasi Gawat Darurat,Unit Rawat Inap,Kamar Operasi, SMF Bedah
Unit terkait Tulang.

M. Court-Brown, D. HeckMan, et al. 2015. Rockwood and Green’s


Kepustakaan Fractures in Adult 8th edition. Philadelpia: Wolters Kluwers.
PENANGANAN FRAKTUR PELVIS DI IGD
No. Dokumen No. Revisi Halaman
................... .................. 1/5
Ditetapkan
STANDAR Tanggal terbit Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL .....................
(SMF ) BEDAH Dr. AGUNG BASUKI, M.Kes
TULANG NIP. 19600504 198902 1 002

17. Prosedur yang mengatur tentang penatalaksanaan fraktur pelvis di


IGD.
18. Fraktur pelvis terjadi akibat trauma tumpul dan berhubungan cidera
berkekuatan tinggi..
19. Kira-kira 15–30% pasien dengan cedera pelvis berkekuatan-tinggi
tidak stabil secara hemodinamik,.
20. Perdarahan merupakan penyebab utama kematian pada pasien
dengan fraktur pelvis, dengan keseluruhan angka kematian antara 6-
35% pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi rangkaian besar.
21. Klasifikasi fraktur pelvis terbagi menjadi dua versi, yaitu berdasarkan
Tile Classification dan Young and Burgess Classification.
Pengertian 22. Tile Classification terdiri atas:
a. Tipe A (Pelvic Ring Stable)
A1: fractures not involving the ring (i.e., avulsions, iliac wing,
or crest fractures)
A2: stable minimally displaced fractures of the pelvic ring
b. Tipe B (Pelvic Rotationally Unstable, Vertically Stable)
B1: open book
B2: lateral compression, ipsilateral
B3: lateral compression, contralateral, or bucket handle-
type injury
c. Tipe C (Pelvic Ring Rotationally and Vertically Unstable

C1: unilateral
C2: bilateral
C3: associated with acetabular fracture
23. Young and Burgess Classification terdiri atas:
a. LC: anterior injury =rami fractures
LC I: sacral fracture on side of impact
LC II: crescent fracture on side of impact
LC III: type I or II injury on side of impact with contralateral
open book injury
b. Anterior-Posterior Compression (APC): anterior injury =
symphysis diastasis/rami fractures
APC I: minor opening of symphysis and SI joint anteriorly
APC II: opening of anterior SI, intact posterior SI ligaments
APC III: complete disruption of SI joint
c. Vertical shear (VS) type
Vertical displacement of hemipelvis with symphysis diastasis
or rami fractures anteriorly, iliac wing, sacral facture, or
sacroiliac dislocation posteriorly
d. Combined Mechanism (CM) type
Any combination of above injuries

10. Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.


11. Pasien mendapatkan penanganan yang sesuai dengan prosedur
Tujuan yang berlaku di RSUD Bangil.
12. Memperlancar proses pelayanan antara Instalasi Gawat Darurat
dengan Unit Rawat Inap RSUD Bangil.

Kebijakan E. Standar Pelayanan Minimal RSUD Bangil.

F. Wewenang untuk melakukan prosedur adalah :


8. Dokter spesialis Bedah Tulang.
9. PPDS Bedah Tulang.
10. Dokter IGD.
11. Dokter Umum yang bekerja di bagian Bedah Tulang.

Evaluasi Klinis:
Lakukan primary assessment pada pasien yang meliputi A(airway),
B(breathing), C(circulation), D(disability), dan E(exposure).
1. Identifikasi semua cedera pada extremitas dan pelvis serta lakukan
assessment dengan hati-hati pada distal neurovascular.
2. Ketidakstabilan pada pelvis bias menyebabkan perubahan pada
ukuran panjang kaki yang meliputi shortening pada sis yang cidera
atau bisa juga terdapat internal atau external rotasi pada extremitas
bawah.
3. Lakukan test AP-LC untuk mengetahui kestabilan pelvis (dilakukan
hanya boleh 1 kali)
4. Adanya memar yang masif pada sisi flank atau pantat disertai
Prosedur pembengkakan merupakan indikasi adanya perdarahan yang
signifikan.
5. Pada palpasi pada posterior pelvis dapat mengetahui adanya
hematoma yang besar, defek yang menunjukkan fraktur, atau
dislokasi dari sendi sacroiliaca. Palpasi pada simfisis juga bisa
menunjukan hal yang sama.
6. Perineum harus diinspeksi dengan hati-hati untuk mengetahui
adanya lesi yang menandakan fraktur terbuka.
7. Pemeriksaan digital rectal dan vaginal (pada wanita) wajib dilakukan
pada pasien dengan curiga trauma pada pelvis.
Penanganan Status Hemodinamik
1. Penanganan status hemodinamik pasien fraktur pelvis tergantung
dari jenis status hemodinak dan kestabilan fraktur pelvis.

2. Pada pasien dengan status hemodinamik yang tidak stabil(kondisi


pelvis stabil/tidak stabil), perlu pemasangan iv. line dengan
menggunakan jarum ukuran besar (18-16) dan set transfusi.
3. Tentukan keadaan status hemodinamik pasien dan berikan
penangan sesuai dengan derajat syok hipovolemik.
4. Pada kasus fraktur pelvis, sering terjadi syok hipovolemik grade III
(EBL 1500-2000 ml) dan grade IV (EBL>2000 ml).
5. Untuk terapi cairan, bias diberikan cairan kristaloid dengan rumus
3:1 (3 ml kristaloid untuk setiap 1 ml darah).
6. Cek tekanan darah dan nadi setiap pemberian 1 liter cairan.
7. Pada syok hipovolemik grade III/IV, cairan yang diberikan dapat
sejumlah 1000 ml kristaloid, 1000 ml koloid, dan 2 unit darah. Atau
bisa juga langsung diberikan 3000 ml kristaloid dan 2 unit darah.
8. Pemasangan military antishock trouser (MAST)
9. Wrapping pelvic binder secara melingkar di sekitar pelvic setinggi
trochanter atau pemasangan C-Clamp.
10. Selain itu bisa dipertimbangkan untuk melakukan laparotomi
eksplorasi(tergantung indikasi)
11. Pada pasien yang dengan pelvis yang tidak stabil, rencanakan untuk
pemasangan external fixator.
Neurologic Injury
Cedera plexus lumbosacral dan nerve root bisa terjadi, tetapi
biasanya tidak terlihat pada pasien yang tidak sadar.
Cidera pada UT dan GIT
1. Bladder Injury (terjadi sekitar 20% dari trauma pelvis)
e. Extraperitoneal
Diterapi dengan kateter foley suprapubic atau pemasangan
tube.
f. Intraperitoneal

Memerpelukan operasi
2. Uretheral Injury (terjadi sekitar 10% dari fraktur pelvis)
g. Cek apakah terdapat darah meatus uretra
h. Cek apakah terdapat floating prostate pada saat RT
i. Apabila ada kecurigaan klinis, maka harus dilakukan
retrograde urethrogram.
3. Bowel Injury
j. Perforasi rectum atau anus yang disebabkan osseous
fragment termasuk dalam kategori fraktur terbuka.
k. Entrapment of bowel di lokasi fraktur dengan gejala
obstruksi GIT bisa terjadi sehingga perlu colostomy.
Radiographic Evaluation
Pemeriksaan standar untuk pasien dengan trauma pelvis meliputi Thoraks
AP, lateral cervical spine, dan Pelvis AP. Pemeriksaan FAST, CT-Scan, dan MRI
dapat dilakukan tergantung indikasi.
Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah biasanya yang dilakukan adalah pemeriksaan darah rutin
dan pemeriksaan darah untuk persiapan operasi.

1. Menjelaskan kepada pasien/keluarga pasien tentang kondisi pasien


dan tindakan yang akan dilakukan
Edukasi
2. Menjelaskan komplikasi (infeksi, malunion, nonunion,
tromboemboli, syok) pada pasien/keluarga pasien.

Instalasi Gawat Darurat, SMF Bedah Tulang, Instalasi Kamar Operasi, Unit
Unit terkait Rawat Inap.
PENANGANAN ACUTE CORONARY SYNDROME (ACS) DI IGD

No. Dokumen No. Revisi Halaman


................... .................. 53-3
Ditetapkan
STANDAR Tanggal terbit Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL .....................
(SMF...............) Dr. AGUNG BASUKI, M.Kes
NIP. 19600504 198902 1 002
24. Prosedur yang mengatur tentang penatalaksanaan Infark Miokard
Akut
25. Infark Miokard Akut adalah kematian sel-sel otot miokardium yang
terjadi akibat aliran darah dan oksigen ke otot jantung terganggu
secara berkepanjangan sebagai akibat adanya sumbatan akut arteri
koroner. Sumbatan ini sebagian besar disebabkan oleh ruptur plak
ateroma pada arteri koroner yang kemudian diikuti oleh terjadinya
trombosis, vasokonstriksi, reaksi inflamasi dan mikroembolisasi
distal.
Menurut WHO, kriteria diagnostik untuk IMA adalah jika ada 2 dari
faktor berikut yaitu:
- Nyeri dada iskemik yang spesifik
- Perubahan EKG (Gelombang Q patologis dengan elevasi
segmen ST, Depresi segmen ST ≥0.05 mV, Inversi gelombang
Pengertian
T)
- Peningkatan kadar enzim jantung
26. Gejala klinis meliputi:
e. Sering didahului dengan dada terasa tidak enak (chest
discomfort)
f. Nyeri dada tipikal:
 Nyeri sangat berat
 Nyeri berlangsung >30 menit bahkan sampai berjam-jam
 Kualitas nyeri sering dirasakan seperti menekan
(compressing), diremas (constricting, crushing atau
squeezing), tercekik (chocking), tertimpa benda berat
(heavy pain), teriris (knife like), terbakar (burning)
 Lokasi nyeri retrosternal, sternal, atau di dada kiri menjalar
ke rahang, punggung ataupun lengan kiri
g. Nyeri dada atipikal:
 Rasa lelah yang tidak jelas
 Nafas pendek
 Rasa tidak nyaman di epigastrium atau mual dan muntah
 Berdebar
 Keringat dingin
 Syncope (pingsan)
27. Pemeriksaan Fisik:
Pemeriksaan fisik pada umumnya normal, namun dapat ditemukan
kondisi pasien sbb:
a. Penderita sering tampak ketakutan, gelisah ataupun tegang
b. Penderita sering mengurut-urut dadanya (Levine sign)
28. Elektrokardiografi:
f. STEMI
 ST elevasi yang diikuti terbentuknya gelombang Q patologis.
ST Elevasi pada J point dan harus ditemui minimal pada 2
sandapan yang berdekatan.
Kriteria ST Elevasi:
1. ≥0.1 mV pada semua sandapan kecuali V 2-V3 pada pria
dan wanita
2. Pada sandapan V2-V3 , ≥0.2 mV pada pria
3. Pada sandapan V2-V3, ≥0.15 mV pada wanita

g. NSTEMI
 Depresi segmen ST ≥0.05 mV (Depresi ST horisontal atau
Depresi ST landai ke bawah (down-slope)) minimal pada 2
sandapan yang berdekatan
 Inversi gelombang T, ≥0.1 mV minimal pada 2 sandapan
yang berdekatan
29. Petanda Biokimia Jantung:
Terdapat peningkatan kadar enzim jantung CK-MB dan Troponin (I
atau T) → Ulangi pemeriksaan 6 jam kemudian
30. Diagnosa Banding:
- STEMI
- NSTEMI
- UNSTABLE ANGINA PECTORIS (UAP)

1. Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas


2. Pasien mendapatkan penanganan yang sesuai dengan prosedur
yang berlaku di RSUD Bangil.
Tujuan
3. Memperlancar proses pelayanan antara Instalasi Gawat Darurat
dengan Unit Rawat Inap RSUD Bangil.
A. Standar Pelayanan Minimal RSUD Bangil.
B. Wewenang untuk melakukan prosedur adalah :
1. Dokter spesialis Jantung.
2. Dokter spesialis Penyakit Dalam.
Kebijakan 3. Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Penyakit
Dalam.
4. Dokter IGD.
5. Dokter Umum yang bekerja di bagian Penyakit Dalam.

 Penilaian dan stabilisasi hemodinamik


 Berikan oksigen nasal 2-4 lpm atau masker 8-10 lpm
 Monitoring EKG
 Berikan Nitrat sublingual (ISDN 5mg sublingual dapat diulang sampai
3x dengan interval 5 menit) → Jangan diberikan jika TD sistole ≤ 90
mmHg
Bila pada hasil EKG terdapat infark inferior (infark ventrikel kanan),
jangan berikan ISDN. Cek dahulu EKG lead kanan, bila ternyata
Prosedur
terdapat infark ventrikel kanan, loading dahulu cairan 500-1000cc
dalam 1-2 jam (Cek juga apakah terdapat tanda-tanda decomp. atau
tidak)
 Berikan Aspirin loading 300mg (dikunyah atau dihancurkan sebelum
diberikan, sehingga efek kerjanya lebih cepat)
 Selang 15 menit kemudian berikan Copidogrel loading 300mg
 Pasang akses intravena, sambil mengambil sampel darah untuk
pemberiksaan darah enzim jantung (CKMB, Trop I), darah lengkap,
fungsi ginjal, gula darah acak, dan profil lipid
 Pasang kateter urine
 Berikan Simvastatin 20mg (0-0-1)
 Berikan ACE-inhibitor Captopril 3x6,25mg (berikan segera jika
tekanan darah stabil dan tetep diatas 100 mmHg)
 Beri antikoagulant Aristra (Fondaparinux)
STEMI : Berikan dosis 2,5mg i.v bolus, lanjut 1x2,5mg s.c
NSTEMI: Berikan dosis 2,5mg s.c
UAP : Berikan dosis 2,5mg s.c
 Berikan Laxant (untuk mencegah konstipasi)
 Setelah pasien stabil, lakukan pemeriksaan Ro Thorax. Pemeriksaan
radiologi lain atas indikasi
 Bila hasil pemeriksaan lengkap, Lapor dr. Sp.PD
 Bila < 12 jam → Indikasi Rujuk
> 12 jam → Rawat ICU/HCU

Komplikasi ALO (acute lung odema), Cardiac arrest


Unit yang Bagian Ilmu Penyakit Dalam
menangani
Unit terkait Instalasi Gawat Darurat, Unit Rawat Inap, Komite Medik

Kepustakaan:

A, Sirda. 2009. Pengertian Akut Miokard Infark. Available at:


https://www.academia.edu/8271194/PENGERTIAN_AKUT_MIOKARD_INFARK

Joewono, Boedi S. 2003. Ilmu Penyakit Jantung. Surabaya: Airlangga University Press

Kalim, Harmani et al. 2004. Tatalaksana Sindroma Koroner Akut tanpa ST-ELEVASI. Jakarta:PERKI

Kalim, Harmani et al. 2004. Tatalaksana Sindroma Koroner Akut dengan ST-ELEVASI. Jakarta:PERKI

Steg, Gabriel et al. 2012. Management of Acute Myocardial Infarction in Patients Presenting with ST-
Segment Elevation. Available at: European Society of Cardiology Pocket Guidelines
Thygesen, Kristian et al. 2012. Universal Definition of Myocardial Infarction. Available at:
http://circ.ahajournals.org/content/116/22/2634.full.pdf
PENANGANAN HEART FAILURE DI IGD

No. Dokumen No. Revisi Halaman


................... .................. 57-3
Ditetapkan
STANDAR Tanggal terbit Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL .....................
(SMF...............) Dr. AGUNG BASUKI, M.Kes
NIP. 19600504 198902 1 002
31.Prosedur yang mengatur tentang penatalaksanaan Heart Failure
32.Heart Failure adalah sindrom klinis yang kompleks karena gangguan
struktural maupun fungsional jantung yang mengakibatkan
ketidakmampuan jantung untuk menyalurkan darah (termasuk
oksigen) yang sesuai dengan kebutuhan metabolisme jaringan pada
saat istirahat ataupun kerja ringan.
33.Kelainan dapat merupakan gangguan fungsi sistolik, fungsi diastolik,
kelainan katub, kelainan jantung bawaan, kelainan jantung metabolik,
gangguan irama, atau ketidak harmonisan preload dan afterload.
34.Gejala klinis meliputi :
h. Sesak
i. Kelelahan saat aktivitas maupun istirahat

j. Pembengkakan pada tungkai


k. Dapat disertai batuk
Pengertian
35.Kriteria Diagnosis:
Menurut Farmingham, seseorang mengalami gagal jantung
apabilamemiliki 2 kriteria mayor, atau 1 kriteria mayor dengan 2
kriteria minor, yaitu sbb:
Kriteria mayor:
f. Parosyxmal nocturnal dyspnea atau ortopnea
g. Distensi vena leher
h. Ronchi
i. Radiographic cardiomegaly
j. Edema paru akut
k. S3 gallop
l. Peningkatan JVP

m. Hepatojugular reflux

Kriteria minor:
a. Edema kedua kaki
b. Sesak (dyspnea on effort)
c. Hepatomegali
d. Efusi pleura
e. Takikardi
36.Pemeriksaan Penunjang:
a. Pemeriksaan darah dan pemantauan kimia darah
b. Pemeriksaan EKG
c. Pemeriksaan Foto Thoraks → cardiomegali
37.Diagnosa Banding:
h. Kelainan paru
i. Kelainan ginjal
j. Kelainan hati
k. Anemia

4. Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas


5. Pasien mendapatkan penanganan yang sesuai dengan prosedur

Tujuan yang berlaku di RSUD Bangil.


6. Memperlancar proses pelayanan antara Instalasi Gawat Darurat
dengan Unit Rawat Inap RSUD Bangil.

C. Standar Pelayanan Minimal RSUD Bangil.


D. Wewenang untuk melakukan prosedur adalah :
6. Dokter spesialis Jantung.
7. Dokter spesialis Penyakit Dalam.
Kebijakan 8. Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Penyakit
Dalam.
9. Dokter IGD.
10. Dokter Umum yang bekerja di bagian Penyakit Dalam.

Prosedur 21.Posisikan pasien setengah duduk


22.Meningkatkan oksigenasi
- Berikan oksigen (02nasal flow 2-4 lpm atau 0 2 masker flow 8-10
lpm)
23.Pasang akses intravena, beri cairan kristaloid (RL, D5, Asering atau PZ)
life line.
D5 jangan diberikan pada penderita diabetes meliitus
RL jangan diberikan pada penderita gangguan fungsi hepar
24.Ambil sampel darah darah lengkap, gula darah acak dan fungsi ginjal
(pemeriksaan laboratorium lain sesuai indikasi)
25.Pasang kateter urine
26.Menurunkan beban jantung dan mengurangi retensi cairan:
- Berikan Diuretik Furosemid dosis 40-80mg (dapat dikombinasikan
dengan spironolakton dengan dosis rendah 1 x 25mg) →
perhatikan tekanan darah dan akral, jangan berikan bila tekanan
darah pasien ≤100/60 mmHg
- Berikan ACE-inhibitor (ex. Captopril) yang dimulai dengan
pemberian dosis rendah yaitu 3 x 6,25 mg
Bila kontraindikasi, dapat diganti dengan ARB (angiotensin receptor
bloker – ex. Candesartan) dosis 1 x 4-8 mg
- Berikan Beta bloker (ex. Bisoprolol) yang dimulai dengan
pemberian dosis 1 x 1,25 mg (Jangan diberikan bila px dalam
kondisi ALO/terdapat suara ronchi ataupun wheezing)
- Batasi pemasukan cairan → anjurkan pasien untuk tidak minum
terlau banyak
- Diet rendah garam
27.Memperbaiki kontraktilitas otot jantung:
Berikan Digoxin (bila aritmia → artrial fibrilasi atau kondisi jantung
besar sekali) dengan dosis 0,125mg. Pada pasien usia lanjut dan gagal
ginjal berikan dosis yang lebih rendah
Pemberian digoxin kontraindikasi bila terdapat AV Blok
28.Untuk mencegah tromboemboli
- Berikan Aspilet dosis 1x80 mg
29.Lakukan pemeriksaan EKG
30.Bila pasien stabil, lakukan pemeriksaan Ro Thorax. Pemeriksaan
radiologi lain atas indikasi
31.Bila hasil pemeriksaan lengkap, lapor dr. Sp.PD

Komplikasi ALO (acute lung odema), Cardiac arrest


Unit yang
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
menangani
Unit terkait Instalasi Gawat Darurat, Unit Rawat Inap, Komite Medik
PENANGANAN ACUTE LUNG OEDEM di IGD

No. Dokumen No. Revisi Halaman


................... .................. 1/4
Ditetapkan
STANDAR Tanggal terbit Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL .....................
(SMF...............) Dr. AGUNG BASUKI, M.Kes
NIP. 19600504 198902 1 002
Pengertian 38. Prosedur yang mengatur tentang penatalaksanaan Acute Lung
Oedem
39. Acute Lung Oedem adalah akumulasi cairan di interstisial dan
alveoulus paru yang terjadi secara mendadak.
40. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi
(Acute Lung Oedem Cardiogenik) atau karena peningkatan
permeabilitas membran kapiler (Acute Lung Oedem Non
Cardiogenik) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan
secara cepat sehingga terjadi gangguan pertukaran udara di
alveoli secara progresif dan mengakibatkan hipoksia .
41. Penyebab Acute Lung Oedem:
a. Kardiogenik atau edem paru hidrostatik atau edem
hemodinamik. Kausa: infark miokars, hipertensi, penyakit
jantung katup, eksaserbasi gagal jantung sistolik/ diastolik dan
lainnya.
b. Nonkardiogenik/ edem paru permeabilitas meningkat. Kausa:
ALI dan ARDS
5. Gejala klinis meliputi :
a. Acute Lung Oedem Cardiogenik
i. Adanya riwayat sakit jantung
ii. Adanya riwayat gejala yang sesuai dengan gagal jantung
kronik
iii. Batuk-batuk dan pasien merasa sesak seperti seseorang
yang akan tenggelam
iv. Batuk yang sering menghasilkan riak berbusa dan
berwarna merah muda
b. Acute Lung Oedem Non Cardiogenik
i. Adanya awitan penyakit yang berbeda-beda dengan
penyakit cardiogenik telah tersingkirkan

Pengertian ii. Sesak atau perasaan tertekan atau perasaan nyeri pada
dada
iii. Terdapat takipnue serta denyut nadi yang cepat dan
lemah
iv. Biasanya penderita tampak sangat pucat dan mungkin
sianosis
6. Pemeriksaan :
a. Terdapat takipnea, ortopnea (menifestasi lanjutan)
b. Takikardia, hipotensi atau tekanan darah bisa meningkat
c. Pasien biasanya dalam posisi duduk agar dapat
mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan lebih baik saat
respirasi atau sedikit membungkuk ke depan
d. Terlihat retraksi inspirasi pada sela interkostal dan fossa
supraklavikula yang menunjukan tekanan negatif intrapleural
yang besar dibutuhkan pada saat inpsirasi
e. Batuk dengan sputum yang berwarna kemerahan (pink frothy
sputum) serta JVP meningkat
f. Pada pemeriksaan paru akan terdengar ronki basah setengah
lapangan paru atau lebih dan terdapat wheezing
g. Pemeriksaan jantung dapat ditemukan ditemukan gallop,
bunyi jantung 3 dan 4.
h. Terdapat juga edem perifer, akral dingin dengan sianosis
i. Pada edem paru non kardiogenik didapatkan khas bahwa
Pada pemeriksaan fisik, pada perkusi terdengar keredupan
dan pada pemeriksaan auskultasi di dapat ronki basah dan
bergelembung pada bagian bawah dada
7. Diagnosis Banding
Syok cardiogenik

7. Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.


8. Pasien mendapatkan penanganan yang sesuai dengan prosedur

Tujuan yang berlaku di RSUD Bangil.


9. Memperlancar proses pelayanan antara Instalasi Gawat Darurat
dengan Unit Rawat Inap RSUD Bangil.

E. Standar Pelayanan Minimal RSUD Bangil.


F. Wewenang untuk melakukan prosedur adalah :
11. Dokter spesialis Penyakit Dalam (ALO Cardiogenik).
12. Dokter spesialis Paru (ALO Non Cardiogenik).
Kebijakan 13. Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Penyakit
Dalam.
14. Dokter IGD.
15. Dokter Umum yang bekerja di bagian Penyakit Dalam.

Prosedur
1. Posisi ½ duduk.

2. Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker.

3. Jika memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah,


PaO2 tidak bisa dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi
dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu
mengurangi cairan edema secara adekuat), maka dilakukan intubasi
endotrakeal, suction, dan ventilator.

4. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri


bila ada.

5. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 –


0,6 mg tiap 5 – 10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa
diberikan Nitrogliserin intravena mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB.

6. Jika Nitrogliserin tidak memberi hasil memuaskan maka dapat


diberikan Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak
memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan
perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85 – 90 mmHg
pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau
selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ
vital.

7. Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15


mg (sebaiknya dihindari).

8. Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis


ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip continue

sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam.

9. Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5


ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk
menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon
klinis atau keduanya.

10. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.

11. Ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak


berhasil dengan oksigen (di ICU).
1. Apnea
Komplikasi
2. Cardiac Arrest
Unit yang
menangani Bagian llmu Penyakit Dalam (Interna)
Unit terkait
Instalasi Gawat Darurat, Unit Rawat Inap, Komite Medik.

Kepustakaan:

Harun, Sjaharuddin., dan Sally Aman Nasution. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid II.
Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 1772
PENANGANAN SYOK KARDIOGENIK di UGD

No. Dokumen No. Revisi Halaman


................... .................. ..........
Ditetapkan Tanggal ...............
STANDAR Tanggal terbit Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL .....................
(SMF...............) Dr. AGUNG BASUKI, M.Kes
NIP. 19600504 198902 1 002
42. Prosedur yang mengatur tentang penatalaksanaan Syok Kardiogenik
43. Syok Kardiogenik adalah kumpulan gejala akibat perfusi seluler
tidak mencukupi dan asupan O2 tidak cukup memenuhi kebutuhan
metabolik yang disebabkan oleh penurunan fungsi jantung yang
mendadak dengan atau tanpa didahului kelainan jantung.
44. Kelainan dapat merupakan gangguan fungsi sistolik, fungsi diastolik,
gangguan irama, atau ketidak harmonisan preload dan afterload.
45. Gejala klinis meliputi :
l. Peningkatan tahanan vaskular perifer : kulit pucat dan dingin,
oliguria.
m. Tonus syaraf adrenergic meningkatkan menyebapkan takikardi,
keringat banyak, cemas, mual, muntah atau diare.
Pengertian n. Hipoperfusi organ vital berupa iskemi miokard ditandai nyeri
dada dan atau sesak nafas, insufisiensi serebral ditandai
perubahan status mental.
46. Pemeriksaan :
n. Tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau mean arterial
pressure turun lebih dari 30 mmHg.
o. Produksi urin kurang dari 0,5 mL/kgBB/jam.
p. Nadi lebih dari 60x/menit.
q. Kongesti organ bisa jelas atau tidak jelas.
r. Tampak low output syndrome dan syok.
47. Diagnosa Banding:
l. Syok Hipovolemia
m. Syok “distributive”
n. Obstruksi cairan

10. Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.


11. Pasien mendapatkan penanganan yang sesuai dengan prosedur

Tujuan yang berlaku di RSUD Bangil.


12. Memperlancar proses pelayanan antara Instalasi Gawat Darurat
dengan Unit Rawat Inap RSUD Bangil.
G. Standar Pelayanan Minimal RSUD Bangil.
H. Wewenang untuk melakukan prosedur adalah :
16. Dokter spesialis Penyakit Dalam.
Kebijakan 17. Dokter spesialis Jantung.
18. Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Penyakit Dalam.
19. Dokter UGD.
20. Dokter Umum yang bekerja di bagian Penyakit Dalam.

Prosedur 32. Mengatasi Volume Problem :


a. Berikan cairan infus (fluid chalange). Normal saline 250 cc dapat
diulangi bila ada perbaikan sampai 500 cc.
b. Transfusi darah bila penyebapnya ada perdarahan.
c. Mengatasi penyebab.
d. Gunakan vasopresor. Obat vasoaktif yang harus tersedia :
1) Syok sepsis : dopamine, norephinefrin, fenilefrin,
dobutamin.
2) Syok spinal : dopamine, fenilefrin, dobutamin.
3) Syok anafilaksis : epinefrin, dopamine, norephinefrin,
fenilefrin.
4) Keracunan betablocker : epinefrin, atrophine, glucagons,
dopamine, isoproterenol.
5) Keracunan alfablocker : epinefrin, norephinefrin.
33. Mengatasi Rate Problem:
Tentukan apakah frekuensi cepat atau lambat dengan meraba pulse
dan monitor EKG. Jika cepat (takikardi) lakukan Synchronized
cardioversion didahului dengan sedasi. Jika lambat (bradikardi) :
berikan Atropin IV 0,5 mg bolus ulangi setiap 3 – 5 menit.
Maksimum 3 mg. jika atropine tidak efektif, gunakan pacu jantung
transkutan atau Dopamin IV drip 2 – 10 mcg/kg/menit atau
Epinefrin 2 – 10 mcg/menit.
34. Mengatasi Pump Problem:
a. Tensi sistolik dibawah 70 mmHg disertai gejala dan tanda syok
sangat jelas.
1) Fluid challenge normal saline 250 cc dapat diulangi bila ada
perbaikan sampai 500cc.
2) Norephinephrine 0,5 mcg – 30 mcg/menit IV. Bila ada
perbaikan dan tensi bisa naik antara 70 – 100 mmHg
norephinephrine segera diganti dopamine 2 – 20
mcg/kgBB/menit dengan tetap mempertahankan tensi.
b. Tensi sistolik 70 – 100 mmHg dan gejala dan tanda syok positif.
Fluid challenge diikuti Dopamin 2 – 20 mcg/kgBB/menit
titrasi intravena sampai tanda hipoperfusi berkurang atau
hilang.
c. Tensi sistolik 70 – 100 mmHg dan gejala dan tanda syok negatif.
1) Fluid challenge normal saline 250 cc dapat diulangi bila ada
perbaikan sampai 500cc.
2) Dobutamin 2 – 20 mcg/kgBB/menit IV.

Komplikasi Cardiac arrest


Unit yang
Bagian llmu Penyakit Dalam (Interna)
menangani
Unit terkait Instalasi Gawat Darurat, Unit Rawat Inap, Komite Medik.
PERKI. 2013. Buku Panduan Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut
Kepustakaan ACLS (Advanced Cardiac Life Support) Indonesia. Jakarta. Edisi
2013. hal 77 – 84.

Lampiran :

Rumus menghitung pemberian obat :

Dosis (y) x BB / konsentrasi obat = … ml / menit.

Rumus konsentrasi obat : massa obat (mg) / pengencer (ml) x 1000.

Volume pengencer jika menggunakan syringe pump : 50 ml.

Volume pengencer jika menggunakan piggy bag : 100 ml.

Massa obat dopamine : 200 mg.

Massa obat dobutamin : 250 mg.

Massa obat epinefrin : 1000 mg.

Massa obat nor epinefrin : 4 mg.

Rumus jumlah tetesan per menit :

Mikro drip : 1 ml (cc) = 60 tetes / menit.

Makro drip : 1 ml (cc) = 20 tetes / menit.


PENANGANAN SYOK SEPTIK di IGD

No. Dokumen No. Revisi Halaman


................... .................. 68-4
Ditetapkan
STANDAR Tanggal terbit Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL .....................
Dr. AGUNG BASUKI, M.Kes
(SMF...............)
NIP. 19600504 198902 1 002
Pengertian a. Prosedur yang mengatur tentang penatalaksanaan Syok Septik

b. Sepsis merupakan sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS) yang


disebabkan oleh infeksi. Diagnosis sepsis ditandai dengan adanya
fokus infeksi yang bermakna disertai adanya 2 gejala atau lebih dari
kriteria SIRS : Suhu badan >38 C atau <36 C, frekuensi denyut
jantung >90x/menit, Frekuensi pernafasan >24x/ menit atau PaCO2
<32, Hitung leukosit >12.000/mm 3 atau < 4.000/mm3, atau adanya >
10% sel batang. Syok Septik adalah sepsis dengan hipotensi, ditandai
degan penurunan TDS <90 mmHg atau penurunan >40 mmHg dari
TD awal, tanpa adanya obat-obatan yang menurunkan TD. Sepsis
berat adalah gangguan fungsi organ atau kegagalan fungsi organ
termasuk penurunan kesadaran, gangguan fungsi hati, ginjal, paru-
paru, dan asidosis metabolik

c. Kelainan dapat merupakan gangguan sirkulasi akut yang ditandai


dengan hipotensi arterial persisten meskipun telah dilakukan
resusitasi cairan adekuat atau dengan hipoksia jaringan yang
ditandai dengan konsentrasi laktat > 4mg/dl yang tidak dapat
dijelaskan karena sebab lain.

d. Gejala klinis meliputi :


k. Demam adalah gejala umum, yang dapat tidak ada pada usia
tua, pasien imuno supresan. Gejala demam saja bukan penanda
sensitif untuk sepsis. Hipotermia dikaitkan dengan keparahan
penyakit dan kematian.
l. Menggigil sebagai respon peningkatan suhu tubuh dengan
peningkatan aktivitas motorik yang mengakibatkan panas dan
suhu tubuh.
m. Perubahan status mental meliputi bingung atau disorientasi
ringan. Agitasi, kecemasan, ketakutan dan akhirnya koma
merupakan penanda sepsis berat
n. Hiperventilasi dengan alkalosis respirasi adalah gejala umum
sepsis yang terjadi karena stimulasi pusat pernafasan oleh
mediator radang
o. Gejala lokal yang merujuk pada pada etiologi sepsis pada sistem
organ yang terkait.
e. Pemeriksaan :
D. Hemodinamik distributif pada fase lanjut tekanan darah sistolik
kurang dari 90 mmHg atau mean arterial pressure turun lebih
dari 30 mmHg.
E. Produksi urin kurang dari 0,5 mL/kgBB/jam.
F. Peningkatan suhu tubuh normal atau hipotermia
G. Takikardia.
H. Takipnea
I. Identifikasi sumber infeksi.
J. Tampak vasodilatasi yang pada fase awal akral masih hangat dan
CRT normal (Warm Shock), sepsis berat akral dingin , CRT
meningkat (Cold Shock)
f. Diagnosa Banding:
1. Syok Hipovolemia
2. Syok Kardiogenik

A. Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.


B. Pasien mendapatkan penanganan yang sesuai dengan prosedur

Tujuan yang berlaku di RSUD Bangil.


C. Memperlancar proses pelayanan antara Instalasi Gawat Darurat
dengan Unit Rawat Inap RSUD Bangil.

1. Standar Pelayanan Minimal RSUD Bangil.


2. Wewenang untuk melakukan prosedur adalah :
7. Dokter spesialis Ilmu Penyakit Dalam (Interna).
Kebijakan
8. Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Interna.
9. Dokter IGD.
10. Dokter Umum yang bekerja di bagian Penyakit Dalam.
Prosedur a. Pemeriksaan laboratorium meliputi DL, UL, GDA, BUN/SK,
SGOT/SGPT, SE, EKG, Foto Thorax, bila pasien dengan indikasi
ventilator dilakukan pemeriksaan BGA
b. Pasien dirawat di Ruang HCU atau ICU
c. Eradikasi fokus infeksi
d. Injeksi Antimikroba empirik cephalosporin generasi 2 atau 3.
Injeksi cefotaxim 3x1 g iv, pada gagal ginjal perlu adjust dose,
sedangkan cephalosporin 2x1 g atau 1x2 g iv tidak memerlukan
adjust dose pada pasien dengan gagal ginjal
e. Amankan jalan nafas pada pasien dengan penurunan kesadaran
f. Oksigenasi sesuai kebutuhan. Ventilator diindikasikan pada
hipoksemia yang progresif, hiperkapnea, gangguan neurologis,
atau kegagalan otot pernafasan
g. Pemasangan kateter urine
h. Pemasangan nasogastric tube pada pasien dengan penurunan
kesadaran
i. Mengatasi Hemodinamik
g. Mengatasi Hemodinamik dengan terapi cairan
Hipovolemia pada sepsis segera diatasi dengan pemberian cairan
kristaloid atau koloid. Berikan resusitasi 20 cc/kgBB atau 1-2 L
kristaloid (PZ, RL, Asering) yang dapat diikuti fluid chalange. Fluid
challenge dilakukan saat evaluasi hemodinamik terdapat kemajuan
baik pada perubahan dinamis (perbaikan tekanan nadi, variasi
stroke volume) atau statis (tekanan arterial, frekuensi detak
jantung). Perlu diperhatikan ada tidaknya kelebihan cairan
(peningkatan tekanan vena jugularis, ronki, galop S3, dan penurunan
saturasi oksigen). Sebaiknya dievaluasi dengan CVP 8-12 mmHg
h. Mengatasi Hemodinamik dengan vasopressor
a. Vasopressor digunakan untuk mencapai target MAP 60
mmHg dan urin >30ml/jam
b. NE sebagai pilihan utama agen vasopresor, dosis 0,03-
1,5 μg/kgBB/menit
c. Dopamine sebagai vasopresor alternatif hanya pada
kasus tertentu yaitu pada pasien dengan risiko rendah
takiaritmia dan pada pasien dengan bradikardia absolut
atau relatif dengan dosis >8 μg/kgBB/menit
d. Phenilefrin tidak direkomendasikan untuk terapi syok
sepsis kecuali saat NE dihubungkan dengan aritmia, atau
pada pasien dengan CO meningkat namun tekanan
darah tetap rendah, atau digunakan ketika kombinasi
terapi inotropik/vasopresor dan vasopresor dosis
rendah gagal mencapai target terapi. Dosis Phenilefrin
0,5-8 μg/kgBB/menit
j. Transfusi komponen darah sesuai indikasi
k. Koreksi gangguan metabolik: elektrolit, gula darah, asidosis
metabolik (secara empiris dapat diberikan bila pH< 7,2 atau
bikarbonat seru < 9mEq/l, dengan disertai upaya perbaikan
hemodinamik)
l. Nutrisi yang adekuat
m. Terapi suportif terhadap gangguan fungsi ginjal
n. Injeksi hydrokortison atau steroid dosis rendah pada sepsis berat
o. Bila terdapat KID dan didapatkan bukti tromboemboli, dapat
diberikan heparin dengan dosis 100 IU/kgBB bolus, dilanjutkan
15-25 IU/kgBB/jam dengan infuss kontinu, dosis lanjutan
disesuaikan untuk mencapai target aPTT 1,5-2 kali kontrol atau
antikoagulan lainnya
p. Jika ada tanda-tanda gagal nafas (ALI dan ARDS), pasien dirawat
di ICU, bila pasien tidak ada tanda gagal nafas dirawat di HCU

Komplikasi Gagal nafas, gagal ginjal, gagal hati, KID, renjatan septik ireversibel
Unit yang
Bagian llmu Penyakit Dalam (Interna)
menangani
Unit terkait Instalasi Gawat Darurat, Unit Rawat Inap, Komite Medik
PENANGANAN KETO ASIDOSIS DIABETIK DI IGD

No. Dokumen No. Revisi Halaman


................... .................. 72-9
Ditetapkan
STANDAR Tanggal terbit Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL .....................
(SMF...............)
Dr. AGUNG BASUKI, M.Kes
NIP. 19600504 198902 1 002
48. Prosedur yang mengatur tentang penatalaksanaan Keto Asidosis Diabetik
(KAD).
49. Keto Asidosis Diabetik merupakan komplikasi akut dari Diabetes Mellitus
yang meliputi hiperglikemia, asidosis metabolik, dan peningkatan kadar
keton dalam darah.
50. Komplikasi ini terjadi akibat defisiensi insulin absolut dan peningkatan
hormon counter-regulatory (glukagon, katekolamin, kortisol, growth
hormone).
51. Keto Asidosis Diabetik sering terjadi pada DM tipe 1 dan juga pada DM tipe
2 yang mengalami stres katabolik misalnya akibat trauma, infeksi, atau
pembedahan.
52. Tanda dan gejala klinis meliputi poliuria, polidipsi, berat badan turun, mual,

Pengertian muntah, dehidrasi, lemah, nyeri perut difus, penurunan kesadaran, nafas
cepat dan dalam (Kussmaul respiration).
53. Pemeriksaan :
s. Gula darah sewaktu >250mg/dl
t. pH arteri <7,30
u. Pernafasan Kussmaul
v. Keton darah dan atau keton urin meningkat
w. Bikarbonat serum <18mEq/l
x. Anion gap >10, anion gap = [Na – (Cl + HCO3)]
54. Diagnosa Banding:
o. Lakto asidosis
p. Sindroma hiperglikemik hiperosmolar
q. Keto asidosis alkoholik
r. Starvation ketosis
s. Intoksikasi obat-obatan seperti salisilat, metanol, etilenglikol,
paraldehid

Tujuan 13. Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.


14. Pasien mendapatkan penanganan yang sesuai dengan prosedur yang
berlaku di RSUD Bangil.
15. Memperlancar proses pelayanan antara Instalasi Gawat Darurat dengan
Unit Rawat Inap RSUD Bangil.

I. Standar Pelayanan Minimal RSUD Bangil.


J. Wewenang untuk melakukan prosedur adalah :
21. Dokter spesialis Penyakit Dalam.
Kebijakan 22. Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Penyakit Dalam.
23. Dokter IGD.
24. Dokter Umum yang bekerja di bagian Penyakit Dalam.
25. Dokter Internsip.

Penanganan KAD bisa dilakukan dengan 2 cara, yaitu berdasarkan Formula Klinik
Praktis dari Prof. Askandar Tjokroprawiro,dr., Sp.PD, K-EMD FINASIM atau Guideline
dari American Diabetes Association.
I. Penanganan KAD berdasarkan Formula Klinik Praktis dari Prof. Askandar
Tjokroprawiro,dr., Sp.PD, K-EMD FINASIM adalah sebagai berikut
Prosedur 1. REHIDRASI: NaCl 0,9% atau RL, 2L/ 2 jam pertama, lalu 80
tpm / 4 jam, lalu 30 tpm/ 18 jam (4-6L/24 jam), diteruskan
sampai 24 jam berikutnya 20 tpm
FASE I 2. IDRIV (Actrapid/ Apidra): 4 unit/ jam i.v (Formula Minus
Satu)
3. Infus Kalium/ 24 jam: 25mEq (bila K+ = 3,0-3,5 mEq/L),
50mEq (K+ = 2,5-3,0 mEq/L), 75mEq (K+ = 2,0-2,5 mEq/L),
25mEq/ 100cc/5 jam (K+ < 2,0)
4. INFUS BIKARBONAT: bila pH ≤7,2 atau BIK <12 mEq/L: 50-
100mEq/ 500cc/ 24 jam
5. ANTIBIOTIK: harus rasional dengan dosis adekuat

Glukosa darah ± 250mg/dl atau IDRIV: Insulin Dosis Rendah Intra Vena
reduksi urin ±

1. MAINTENANCE: NaCl 0,9% (Insulin 4-8iu), Maltosa 10%


(Insulin 6-12iu) bergantian 20tpm (Start Slow, Go Slow, Stop
FASE II Slow)
2. KALIUM: p.e (K+ <4mEq/L) atau p.o (air tomat/kaldu)
3. Actrapid/ Apidra: 3x8-12iu s.c
4. MAKANAN LUNAK: karbohidrat kompleks p.o

Protokol terapi KAD terdiri dari 2 fase, fase I (fase gawat) dan fase II (fase
rehabilitasi) dengan batas kadar glukosa antara kedua fase tersebut sekitar
250mg/dl.
Penanganan di IGD adalah fase I yang terdiri dari:
35. Koreksi dehidrasi :
Berikan normal saline 0,9% 2 liter dalam 2 jam pertama, dilanjutkan 80 tpm
dalam 4 jam, lalu 30 tpm dalam 18 jam, diteruskan 20 tpm dalam 24 jam
berikutnya.
36. Koreksi hiperglikemia:
Insulin dosis rendah secara intravena (insulin bisa menggunakan rapid
acting seperti Apidra atau short acting seperti Actrapid dan Humulin-R)
menggunakan rumus N-1, N merupakan angka pertama dari gula darah
sewaktu. Insulin diberikan bolus intravena sebanyak 4 unit/jam sebanyak N-
1 dengan selang waktu 1 jam. Biasanya maksimal dilakukan sebanyak 3 kali
4 unit/jam lalu cek GDA 1 jam kemudian.
37. Koreksi imbalans elektrolit (kalium):
Pertahankan kadar kalium >3,5mEq
d. Bila kalium 3,0 – 3,5mEq → berikan 25mEq (1 flakon) KCl secara infus
intravena dalam 500 cc NaCl 0,9% / 24 jam
e. Bila kalium 2,5 – 3,0mEq → berikan 50mEq (2 flakon) KC l secara infus
intravena dalam 500 cc NaCl 0,9% / 24 jam
f. Bila kalium 2,0 – 2,5mEq → berikan 75mEq (3 flakon) KCl secara infus
intravena dalam 500 cc NaCl 0,9% / 24 jam
g. Bila kalium 3,0 – 3,5mEq → berikan 25mEq (1 flakon) KCl secara infus
intravena dalam 500 cc NaCl 0,9% / 24 jam
h. Bila kalium <2mEq → berikan 25mEq (1 flakon) KCl secara infus
intravena dalam 500 cc NaCl 0,9% / 5 jam

38. Koreksi asidosis metabolik:


Bila pH ≤7,2 atau BIK <12mEq/L, berikan NaBic 50-100 mEq (1-2 flakon)
secara infus intravena dalam 500 cc NaCl 0,9% / 24 jam
39. Pemberian antibiotik:
Antibiotika rasional sesuai indikasi dengan dosis yang adekuat.

II. Penanganan KAD berdasarkan American Diabetes Association adalah


sebagai berikut:
1. Koreksi Dehidrasi

a. Infus NaCl 0,9% 15-20ml/kgBB (rata-rata 1-1,5L) dalam 1 jam pertama


b. Tentukan status hidrasi:
- Syok hipovolemik: infus NaCl 0,9% 1L/jam dan atau koloid
- Syok kardiogenik: monitoring hemodinamik
- Hipotensi ringan: tentukan Na serum, bila tinggi atau normal infus
NaCl 0,45% 4-14ml/kgBB/jam. Bila rendah infus NaCl 0,9% 4-
14ml/kgBB/jam
c. Untuk memudahkan dapat diberikan 1L dalam jam ke-I, 1L dalam jam ke-
II, 500ml-1L dalam jam ke-III, 500ml-1L dalam jam ke-IV, dan 500ml-1L
dalam jam ke V (diberikan 3,5-5L dalam 5 jam pertama)

2. Koreksi Hiperglikemia

a. Injeksi insulin reguler (Actrapid) atau Apidra bolus iv 0,15iu/kgBB


b. Lanjut infus insulin Actrapid atau Apidra drip 0,1iu/kgBB/jam
c. Cek GDA 1 jam kemudian, bila GDA tidak turun 50-70mg/dl dalam 1 jam
pertama, naikkan dosis insulin drip 2x lipat tiap 1 jam sampai GDA turun
50-70mg/dl dalam 1 jam.
Bila kesulitan mengetahui GDA atau berat badan pasien, untuk
pemberian awal dapat diberikan injeksi insulin bolus iv dengan insulin
rapid acting seperti Apidra atau short acting seperti Actrapid dan
Humulin-R sebanyak 10iu, cek GDA 1 jam kemudian, bila GDA tidak turun
memenuhi target, pemberian 10iu insulin ini dapat diberikan sebanyak 2
kali. Lalu lanjutkan dengan drip insulin Actrapid 0,1iu/kgBB/jam atau
5iu/jam dalam 500ml cairan isotonik, drip bisa menggunakan infus mikro
atau syringe pump.

3. Koreksi Ketidakseimbangan Elektrolit


a. Kalium

- Jika kalium awal <3,3mEq: tunda insulin, beri drip kalium 40mEq/jam
sampai dengan kalium ≥3,3
- Jika kalium awal ≥5,0mEq: jangan beri kalium, cek kadar kalium tiap 2
jam
- Jika kalium awal antara 3,3-4,9: beri drip kalium 20-30mEq dalam 1L
cairan infus untuk mempertahankan kadar kalium 4-5mEq

b. Bikarbonat
- Jika pH <6,9: drip NaBic 100mEq dalam 400ml cairan infus dengan
kecepatan 200ml/jam.
- Jika pH 6,9-7,0: drip NaBic 50mEq dalam 200ml cairan infus dengan
kecepatan 200ml/jam.
- Jika pH >7,0: tidak perlu drip NaBic.

4. Bila GDA ≤250mg/dl: infus NaCl 0,45% 150-250ml/jam + drip insulin


Actrapid 0,05-0,1iu/kgBB/jam dan ditambahkan infus D5. Pertahankan
GDA 150-200mg/dl.

5. Cek elektrolit, BUN, kreatinin serum, dan GDA tiap 2-4 jam hingga kondisi
stabil. Pasien dapat diberikan insulin subkutan sesuai regimen insulin
pasien yang biasa digunakan atau jika pasien dengan DM yg baru diketahui,
dapat menggunakan total dosis inisial 0,5-1iu/kg/hari, dosis terbagi dalam
regimen insulin short dan long-acting. Lanjutkan infus drip insulin 1-2 jam
setelah pemberian insulin subkutan untuk memastikan kadar insulin
plasma adekuat.

6. Pasien dirawat di HCU (bila tidak ada tanda-tanda atau resiko gagal nafas)
atau ICU (bila ada tanda-tanda atau resiko gagal nafas).

Hipoglikemia, hipokalemia, edema serebri ( pada anak-anak). Komplikasi yang


Komplikasi
terjadi biasanya diakibatkan terapi yang tidak adekuat.
Unit yang
Bagian llmu Penyakit Dalam (Interna)
menangani
Unit terkait Instalasi Gawat Darurat, Unit Rawat Inap, Komite Medik.

Kepustakaan:

Tjokroprawiro, Askandar. 2012. Formula Klinik Praktis di Bidang Diabetologi-Endokrinologi-


Metabolisme. Surabaya: Pusat Diabetes dan Nutrisi

American Diabetes Association. 2004. Hyperglicemic Crises in Diabetes. Diabetes Care 27: 594-602.
PENANGANAN SINDROMA HIPERGLIKEMIK HIPEROSMOLAR DI IGD

No. Dokumen No. Revisi Halaman


................... .................. 78-9
Ditetapkan
STANDAR Tanggal terbit Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL .....................
(SMF...............)
Dr. AGUNG BASUKI, M.Kes
NIP. 19600504 198902 1 002
Pengertian 55. Prosedur yang mengatur tentang penatalaksanaan Sindroma Hiperglikemik
Hiperosmolar.
56. Sindroma hiperglikemik hiperosmolar merupakan komplikasi akut dari Diabetes
Mellitus (DM) yang meliputi hiperglikemia berat, dehidrasi berat, hiperosmolar,
tanpa ketoasidosis atau asidosis minimal.
57. Komplikasi ini terjadi akibat defisiensi insulin relatif dan peningkatan hormon
counter-regulatory (glukagon, katekolamin, kortisol, growth hormone).
58. Sindroma hiperglikemik hiperosmolar biasanya terjadi pada orang yang tidak
memiliki riwayat DM namun memiliki faktor presipitasi.
59. Faktor presipitasinya antara lain infeksi, pankreatitis, infark miokard, stroke,
minuman yang mengandung kadar gula tinggi dan obat-obatan yang
mempengaruhi metabolisme glukosa seperti kortikosteroid, thiazid, beta bloker,
fenitoin, simetidin, klopromazin.
60. Tanda dan gejala klinis meliputi poliuria, polidipsi, berat badan turun, mual,
muntah, dehidrasi berat, lemah, penurunan kesadaran (sering koma), tanda
neurologis fokal (hemiparese, hemianopia), dan kejang (umum atau fokal).
61. Pemeriksaan :
y. Gula darah sewaktu ≥600mg/dl
z. pH arteri >7,30
aa. Tidak ada pernafasan Kussmaul
bb. Tidak ada ketonuria, terkadang ketonuria ringan
cc. Bikarbonat serum >18mEq/l
dd. Anion gap <12, anion gap = [Na – (Cl + HCO3)]
ee. Osmolalitas serum ≥320 mOsm/kg, osmolalits serum = 2 Na + Glukosa
serum / 18
ff. Pre renal uremia
62. Diagnosa Banding:
t. Lakto asidosis
u. Keto asidosis diabetik
v. Keto asidosis alkoholik
w. Starvation ketosis
x. Intoksikasi obat-obatan seperti salisilat, metanol, etilenglikol, paraldehid

16. Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.


17. Pasien mendapatkan penanganan yang sesuai dengan prosedur yang berlaku

Tujuan di RSUD Bangil.


18. Memperlancar proses pelayanan antara Instalasi Gawat Darurat dengan Unit
Rawat Inap RSUD Bangil.

K. Standar Pelayanan Minimal RSUD Bangil.


L. Wewenang untuk melakukan prosedur adalah :
26. Dokter spesialis Penyakit Dalam.
Kebijakan 27. Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Penyakit Dalam.
28. Dokter IGD.
29. Dokter Umum yang bekerja di bagian Penyakit Dalam.
30. Dokter Internsip.

Prosedur
Penanganan sindroma hiperglikemik hiperosmolar bisa dilakukan dengan 2 cara, yaitu
berdasarkan Formula Klinik Praktis dari Prof. Askandar Tjokroprawiro,dr., Sp.PD, K-EMD
FINASIM atau Guideline dari American Diabetes Association.
I. Penanganan sindroma hiperglikemik hiperosmolar berdasarkan Formula Klinik
Praktis dari Prof. Askandar Tjokroprawiro,dr., Sp.PD, K-EMD FINASIM adalah
sebagai berikut:

6. REHIDRASI: NaCl 0,9% jika Na plasma <150mEq/L atau NaCl


0,45% jika Na plasma >150mEq/L sebanyak 2L/ 2 jam
pertama, lalu 80 tpm / 4 jam, lalu 30 tpm/ 18 jam (4-6L/24
FASE I jam), diteruskan sampai 24 jam berikutnya 20 tpm
7. IDRIV (Apidra/ Actrapid): 4 unit/ jam i.v (Formula Minus Satu)
8. Infus Kalium/ 24 jam: 25mEq (bila K+ = 3,0-3,5 mEq/L), 50mEq
(K+ = 2,5-3,0 mEq/L), 75mEq (K+ = 2,0-2,5 mEq/L), 25mEq/
100cc/5 jam (K+ < 2,0)
9. INFUS BIKARBONAT: bila pH ≤7,2 atau BIK <12 mEq/L: 50-
100mEq/ 500cc/ 24 jam
10. ANTIBIOTIK: harus rasional dengan dosis adekuat

Glukosa darah ± 250mg/dl atau IDRIV: Insulin Dosis Rendah Intra Vena
reduksi urin ±

5. MAINTENANCE: NaCl 0,9% (Insulin 4-8iu), Maltosa 10%


(Insulin 6-12iu) bergantian 20tpm (Start Slow, Go Slow, Stop
FASE II Slow)
6. KALIUM: p.e (K+ <4mEq/L) atau p.o (air tomat/kaldu)
7. Actrapid/Apidra: 3x8-12iu s.c
MAKANAN LUNAK: karbohidrat kompleks p.o

Protokol terapi sindroma hiperglikemik hiperosmolar terdiri dari 2 fase, fase I (fase
gawat) dan fase II (fase rehabilitasi) dengan batas kadar glukosa antara kedua fase

tersebut sekitar 250mg/dl. Penanganan di IGD adalah fase I yang terdiri dari:
40. Koreksi dehidrasi :
Cairan rehidrasi yang digunakan adalah normal saline 0,9% jika Na plasma
<150mEq/L atau normal saline 0,45% jika Na plasma >150mEq/L. Berikan 2 liter
dalam 2 jam pertama, dilanjutkan 80 tpm dalam 4 jam, lalu 30 tpm dalam 18
jam, diteruskan 20 tpm dalam 24 jam berikutnya.
41. Koreksi hiperglikemia:
Insulin dosis rendah secara intravena (insulin bisa menggunakan rapid acting
seperti Apidra atau short acting seperti Actrapid dan Humulin-R) menggunakan
rumus N-1, N merupakan angka pertama dari gula darah sewaktu. Insulin
diberikan bolus intravena sebanyak 4 unit/jam sebanyak N-1 dengan selang
waktu 1 jam. Biasanya maksimal dilakukan sebanyak 3 kali 4 unit/jam lalu cek
GDA 1 jam kemudian.
42. Koreksi imbalans elektrolit (kalium):
Pertahankan kadar kalium >3,5mEq
i. Bila kalium 3,0 – 3,5mEq → berikan 25mEq (1 flakon) KCl secara infus
intravena dalam 500 cc NaCl 0,9% / 24 jam
j. Bila kalium 2,5 – 3,0mEq → berikan 50mEq (2 flakon) KCl secara infus
intravena dalam 500 cc NaCl 0,9% / 24 jam
k. Bila kalium 2,0 – 2,5mEq → berikan 75mEq (3 flakon) KCl secara infus
intravena dalam 500 cc NaCl 0,9% / 24 jam
l. Bila kalium 3,0 – 3,5mEq → berikan 25mEq (1 flakon) KCl secara infus
intravena dalam 500 cc NaCl 0,9% / 24 jam
m. Bila kalium <2mEq → berikan 25mEq (1 flakon) KCl secara infus intravena
dalam 500 cc NaCl 0,9% / 5 jam
43. Koreksi asidosis metabolik:
Bila pH ≤7,2 atau BIK <12mEq/L, berikan NaBic 50-100 mEq (1-2 flakon) secara
infus intravena dalam 500 cc NaCl 0,9% / 24 jam
44. Pemberian antibiotik:
Antibiotika rasional sesuai indikasi dengan dosis yang adekuat.

II. Penanganan sindroma hiperglikemik hiperosmolar berdasarkan American


Diabetes Association adalah sebagai berikut:
7. Koreksi Dehidrasi

d. Infus NaCl 0,9% 15-20ml/kgBB (rata-rata 1-1,5L) dalam 1 jam pertama


e. Tentukan status hidrasi:
- Syok hipovolemik: infus NaCl 0,9% 1L/jam dan atau koloid
- Syok kardiogenik: monitoring hemodinamik
- Hipotensi ringan: tentukan Na serum, bila tinggi atau normal infus NaCl
0,45% 4-14ml/kgBB/jam. Bila rendah infus NaCl 0,9% 4-14ml/kgBB/jam
f. Untuk memudahkan dapat diberikan 1L dalam jam ke-I, 1L dalam jam ke-II,
500ml-1L dalam jam ke-III, 500ml-1L dalam jam ke-IV, dan 500ml-1L dalam
jam ke V (diberikan 3,5-5L dalam 5 jam pertama)
8. Koreksi Hiperglikemia

d. Injeksi insulin reguler (Actrapid) atau Apidra bolus iv 0,15iu/kgBB


e. Lanjut infus insulin Actrapid atau Apidra drip 0,1iu/kgBB/jam
f. Cek GDA 1 jam kemudian, bila GDA tidak turun 50-70mg/dl dalam 1 jam
pertama, naikkan dosis insulin drip 2x lipat tiap 1 jam sampai GDA turun 50-
70mg/dl dalam 1 jam.
g. Bila kesulitan mengetahui GDA atau berat badan pasien, untuk pemberian
awal dapat diberikan injeksi insulin bolus iv dengan insulin rapid acting
seperti Apidra atau short acting seperti Actrapid dan Humulin-R sebanyak
10iu, cek GDA 1 jam kemudian, bila GDA tidak turun memenuhi target,
pemberian 10iu insulin ini dapat diberikan sebanyak 2 kali. Lalu lanjutkan
dengan drip insulin Actrapid 0,1iu/kgBB/jam atau 5iu/jam dalam 500ml cairan
isotonik, drip bisa menggunakan infus mikro atau syringe pump.
9. Koreksi Ketidakseimbangan Elektrolit (Kalium)
c. Jika kalium awal <3,3mEq: tunda insulin, beri drip kalium 40mEq/jam sampai
dengan kalium ≥3,3
d. Jika kalium awal ≥5,0mEq: jangan beri kalium, cek kadar kalium tiap 2 jam
e. Jika kalium awal antara 3,3-4,9: beri drip kalium 20-30mEq dalam 1L cairan
infus untuk mempertahankan kadar kalium 4-5mEq

10. Bila GDA ≤300mg/dl: infus NaCl 0,45% 150-250ml/jam + drip insulin Actrapid
atau Apidra 0,05-0,1iu/kgBB/jam dan ditambahkan infus D5. Pertahankan GDA
250-300mg/dl sampai dengan osmolalitas plasma ≤315mOsm/L dan pasien
sadar penuh.
11. Cek elektrolit, BUN, kreatinin serum, dan GDA tiap 2-4 jam hingga kondisi
stabil. Pasien dapat diberikan insulin subkutan sesuai regimen insulin pasien
yang biasa digunakan atau jika pasien dengan DM yg baru diketahui, dapat
menggunakan total dosis inisial 0,5-1iu/kg/hari, dosis terbagi dalam regimen
insulin short dan long-acting. Lanjutkan infus drip insulin 1-2 jam setelah
pemberian insulin subkutan untuk memastikan kadar insulin plasma adekuat.
12. Pasien dirawat di HCU (bila tidak ada tanda-tanda atau resiko gagal nafas) atau
ICU (bila ada tanda-tanda atau resiko gagal nafas).
Hipoglikemia dan hipokalemia. Komplikasi yang terjadi biasanya diakibatkan terapi
Komplikasi
yang tidak adekuat.
Unit yang
Bagian llmu Penyakit Dalam (Interna)
menangani
Unit terkait Instalasi Gawat Darurat, Unit Rawat Inap, Komite Medik.
PENANGANAN HEMATEMESIS MELENA DI IGD

No. Dokumen No. Revisi Halaman


................... .................. 83-4
Ditetapkan
STANDAR Tanggal terbit Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL .....................
(SMF...............) Dr. AGUNG BASUKI, M.Kes
NIP. 19600504 198902 1 002
Pengertian q. Prosedur yang mengatur tentang penatalaksanaan Hematemesis
melena.

r. Hematemesis melena adalah tanda dan gejala Upper GI Bleeding


yang merupakan kasus emergensi disebabkan karena sumber
perdarahan pada proximal ligamentum treitz. Hematemesis melena
dapat disebabkan oleh hipertensi portal pada kasus sirosis hepatis,
perdarahan karena gaster pada gastritis erosiva, mallory weiss
syndrome, dan kasus-kasus lain dengan sumber perdarahan pada
proximal ligamentum treitz. Perdarahan pada proximal ligamentum
treitz meliputi dari jejunum proksimal, duodenum, gaster dan
esofagus

s. Gejala klinis meliputi :


Pada kasus hematemesis melena, pemeriksaan fisik ditujukan untuk
mencari tanda-tanda syok hipovolemik dan etiologi yang mendasari
Gejala dan tanda syok hipovolemik:
g. Perfusi yang tidak adekuat, akral dingin, basah, bisa pucat.
Dengan Capillary Refill Time > 2 detik
h. Takikardia atau frekuensi nadi >100x/menit
i. Hipotensi atau sistolik < 90 mmhg
j. Riwayat syncope, badan lemas, postural hipotensi
Gejala dari etiologi penyakit yang mendasari
a. Sirosis hepatis ikterus, spider nevi, ginekomastia,ascites,
splenomegali, pelebaran vena kolateral, hepar mengecil
b. Gastritis erosiva dicari riwayat dyspepsia berulang, pemakaian
NSAID atau jamu-jamuan, nyeri tekan ulu hati
c. Mallory weiss syndrome adalah robekan atau laserasi pada
mukosa esofagus yang ditandai dengan gejala muntah yang
hebat. Pasien umumnya merupakan peminum alkohol,
namun pada penelitian terakhir ditemukan juga pada pasien
non alkoholik namun dengan gejala muntah hebat sebelum
perdarahan
d. Gejala klinis lain pada kasus stess ulcer, peptic ulcer, dll.
t. Pemeriksaan dan Diagnosis:
5. Diagnosis dapat dibuat berdasarkan inspeksi muntahan pasien
atau pemasangan selang nasogastric (NGT, nasogastric tube)
dan deteksi darah yang jelas terlihat; cairan bercampur darah,
atau “ampas kopi”’ Namun, aspirat perdarahan telah berhenti,
intermiten, atau tidak dapat dideteksi akibat spasme pilorik.
6. Pada semua pasien dengan perdarahan saluran gastrointestinal
(GIT) perlu dimasukkan pipa nasogastrik dengan melakukan
aspirasi isi lambung. Hal ini terutama penting apabila
perdarahan tidak jelas. Tujuan dari tindakan ini adalah:
Menentukan tempat perdarahan; Memperkirakan jumlah
perdarahan dan apakah perdarahan telah berhenti.
u. Diagnosa Banding:
G. Hemoptoe
H. Hematoskezia

3. Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.


4. Pasien mendapatkan penanganan yang sesuai dengan prosedur

Tujuan yang berlaku di RSUD Bangil.


5. Memperlancar proses pelayanan antara Instalasi Gawat Darurat
dengan Unit Rawat Inap RSUD Bangil.

D. Standar Pelayanan Minimal RSUD Bangil.


E. Wewenang untuk melakukan prosedur adalah :
1. Dokter spesialis Ilmu Penyakit Dalam (Interna).
Kebijakan
2. Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Interna.
3. Dokter IGD.
4. Dokter Umum yang bekerja di bagian Penyakit Dalam.

Prosedur K. Mempertahankan saluran nafas paten dan restorasi volume


intravascular adalah tujuan tata laksana awal. Infus kristaloid
awal, sampai 20 mL/ kgBB, dapat diikuti transfusi darah PRC
sesuai perdarahan yang terjadi dan Hb. Bila perdarahan profus
dan aktif menngunakan transfusi whole blood (WB) Pada kasus
varises transfusi sampai dengan Hb 8 gr%, pada kasus non
varises transfusi sampai lebih dari Hb 10 gr%
L. Pemasangan nasogastric tube dan gastric cooling/8jam. Setelah
3 kali evaluasi produksi NGT negatif, mulai dilakukan diet
parenteral
M. Pemberian Proton pump inhibitor untuk mencegah sress ulcer
N. Antibiotik Profilaksis
O. Untuk penyebab non varises:
3. Injeksi antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa
proton contoh Omeprazole 80 mg iv bolus lanjut 8 mg/jam
4. Sitoprotektor: Sukralfat 3-4x1 gram
P. Untuk penyebab varises:
3. Somatostatin dapat digunakan untuk menurunkan tekanan vena
porta dengan loading dose 250 μg + drip 250 μg/ jam atau
okreotide (sandostatin) 0,1 mg/ 2 jam. Pemberian dilakukan
sampai perdarahan berhenti atau bila mampu sampai 3 hari
setelah skleroterapi atau ligasi varises esofagus
4. Di Ruangan, propanolol dimulai dari dosis 2x10 mg, dosis dapat
ditingkatkan hingga tekanan diastolik turun 20 mmHg atau
denyut nadi turun 20% (setelah keadaan stabil, tidak terjadi
hematemesis melena lagi)
5. Metoklorpamid 3x 10 mg/hari atau injeksi ondansetron 3x4 mg
6. Injeksi Vitamin K
7. Laktulosa 4x1 sendok makan, sampai dengan tinja normal

Syok Hipovolemia, Aspirasi pneumonia, gagal ginjal akut, sindroma


Komplikasi
hepatorenal, koma hepatikum
Unit yang
Bagian llmu Penyakit Dalam (Interna)
menangani
Unit terkait Instalasi Gawat Darurat, Unit Rawat Inap, Komite Medik
PENANGANAN INTOKSIKASI ALKOHOL DI IGD

No. Dokumen No. Revisi Halaman


................... .................. 86-5
Ditetapkan
STANDAR Tanggal terbit Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL .....................
(SMF...............)
Dr. AGUNG BASUKI, M.Kes
NIP. 19600504 198902 1 002
Pengertian 63. Prosedur yang mengatur tentang penatalaksanaan intoksikasi alkohol.
64. Alkohol merupakan zat yang memproduksi efek ganda pada tubuh yaitu
efek depresan yang singkat dan efek agitasi pada sistem saraf pusat yang
berlangsung enam kali lebih lama dari efek depresannya.
65. Istilah umum untuk alkohol adalah etanol, yang terdapat pada minuman
keras, cologne, hairtonic, after-shave, parfum, serta obat kumur.
66. Bahan ini dapat menembus kulit yang normal (intact), juga dapat diserap
lewat paru dan saluran makanan, namun tidak berakumulasi dalam
jaringan tubuh.
67. Faktor-faktor yang mempengaruhi keparahan dari intoksikasi alkohol
antara lain jumlah alkohol yang dikonsumsi, berat badan pasien, toleransi
terhadap alkohol, kadar alkohol yang terkandung dalam bahan yang
dikonsumsi, dan waktu mengonsumsi alkohol.

68. Gejala dan tanda klinis:


 Intoksikasi ringan-sedang: euphoria, ataksia,bicara cadel atau tidak
jelas, emosi labil, napas bau alkohol, mood bervariasi, nistagmus,
gangguan dalam pengambilan keputusan dan gerak refleks,
berperilaku agresif, takikardi, mual, muntah, diare, dan nyeri perut.
 Intoksikasi dalam: penurunan keasadaran sampai koma, depresi
pernafasan, dapat terjadi aspirasi pneumonia, pupil miosis, sering
terjadi penurunan suhu, tekanan darah,dan nadi. Rabdomiolisis dapat
terjadi akibat dari imobilisasi yang lama pada alas yang keras

69. Pemeriksaan :
a. Pengukuran kadar etanol dalam darah. Kadar etanol <300mg/dl pada
pasien yang koma, harus dicari penyebab lainnya. Apabila pemeriksaan
kadar etanol tidak tersedia, dapat diperkirakan dengan menghitung
osmolar gap atau anion gap, pada intoksikasi alkohol osmolar gap dan
anion gap meningkat. Osmolar gap = measured osmolality – calculated
osmolarity. Osmolalitas diketahui dengan osmometer, sedangkan
osmolaritas dapat dihitung dengan rumus (2Na +
+ Glukosa/18 + BUN/2,8 + Ethanol/4,6), abnormal jika osmolar gap
>10mOsm/L. Anion gap meningkat >10, anion gap = [Na – (Cl + HCO3)].
b. Lab: DL, GDA, SE, SGOT/SGPT, BUN/SK, BGA untuk mengetahui apakah
terdapat hipoglikemia, asidosis laktat, hipokalemia, atau hipokalsemia.
70. Diagnosa Banding:
g. Intoksikasi bahan toksik lainnya seperti metanol, kokain, opiat,
barbiturat, benzodiazepin, antidepresan.
h. Gangguan metabolik seperti ensefalopati hepatikum, hipoglikemia,
keto asidosis diabetikum, keto asidosis alkoholik, uremia.
i. Penyakit infeksi seperti sepsis, meningitis, ensefalitis.
j. Perdarahan intrakranial.
k. Gangguan respirasi yang menyebabkan hipoksia dan depresi nafas.
l. Gangguan neurologis seperti epilepsi, stroke.
19. Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.
20. Pasien mendapatkan penanganan yang sesuai dengan prosedur yang

Tujuan berlaku di RSUD Bangil.


21. Memperlancar proses pelayanan antara Instalasi Gawat Darurat dengan
Unit Rawat Inap RSUD Bangil.

M. Standar Pelayanan Minimal RSUD Bangil.


N. Wewenang untuk melakukan prosedur adalah :
31. Dokter spesialis Penyakit Dalam.
Kebijakan 32. Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Penyakit Dalam.
33. Dokter IGD.
34. Dokter Umum yang bekerja di bagian Penyakit Dalam.
35. Dokter Internsip.

Prosedur 3) Pastikan jalan nafas bebas dan observasi fungsi pernafasan, posisikan
miring atau setengah duduk untuk mencegah aspirasi.
4) Infus dengan cairan yang mengandung dekstrosa, magnesium, folat,
tiamin, dan multivitamin, seperti RD5 1,5 ml/kgBB/jam untuk
memperbaiki status hidrasi, elektrolit, dan hipoglikemia.
5) Bila pasien hipoglikemia dapat diberikan injeksi bolus iv D40. Berikan 3
flakon jika GDA <30, 2 flakon jika GDA 30-50, dan 1 flakon bila GDA 50-70.
6) Berikan anti emetik bila pasien mual muntah.
7) Bila pasien gelisah, berikan dosis rendah sedatif seperti Lorazepam 1-2
mg atau Haloperidol 5 mg oral. Berikan secara parenteral bila pasien
gaduh gelisah dan dapat membahayakan sekitarnya.
8) Bila pasien dalam kondisi koma, observasi tanda vital tiap 15 menit dan
berikan injeksi Thiamine 100mg iv untuk profilaksis terjadinya Wernicke
Encephalopathy, lalu injeksi 50ml D40 bolus iv. Injeksi Thiamine dengan
D40 harus berurutan, tidak boleh terbalik, karena injeksi D40 di saat
tubuh mengalami defisiensi thiamine akan memperparah kerusakan
saraf.
9) Karena etanol cepat diabsorbsi, dekontaminasi dengan kumbah lambung
atau emesis dilakukan bila pasien baru mengonsumsi etanol 30-45 menit
sebelumnya dan jumlah yang diminum banyak, atau dicurigai
mengonsumsi obat yang lain secara bersamaan. Karbon aktif dapat
diberikan terutama bila diminum bersamaan dengan toksin yang lain.
10) Akselerasi eliminasi etanol dengan injeksi Metadoxine 300-900 mg iv
dosis tunggal.
11) Bila terdapat gangguan penglihatan, dapat dipertimbangkan untuk konsul
dengan spesialis mata.
12) Bila kegawatdaruratan telah ditangani, pasien dirawat di ruang HCU.

Depresi nafas, asidosis metabolik, gangguan ginjal akut, gamgguan liver,


Komplikasi
gangguan neurologis, aritmia.
Unit yang
Bagian llmu Penyakit Dalam
menangani
Unit terkait Instalasi Gawat Darurat, Unit Rawat Inap, Komite Medik.

PENANGANAN INTOKSIKASI ORGANOFOSFAT di IGD

No. Dokumen No. Revisi Halaman


................... .................. 1/3
Ditetapkan
STANDAR Tanggal terbit Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL .....................
(SMF...............) Dr. AGUNG BASUKI, M.Kes
NIP. 19600504 198902 1 002
Pengertian 71. Prosedur yang mengatur tentang penatalaksanaan intoksikasi
organofosfat.
72. Organofosfat merupakan insektisida poten yang paling banyak
digunakan dalam pertanian dengan toksisitas yang tinggi.
73. Bahan ini dapat menembus kulit yang normal (intact), juga dapat
diserap lewat paru dan saluran makanan, namun tidak berakumulasi
dalam jaringan tubuh.

74. Gejala klinis:


a. Muskarinik, Terutama pada saluran makanan kelenjar ludah
dan keringat, pupil, bronkus dan jantung, dapat disingkat
menjadi DUMBELS (Defecation, Urination, Miosis,
Bradycardia/Bronchospasme, Emesis, Lacrimasi, Salivasi)
b. Nikotinik, Terutama pada otot-otot skelet, bola mata, lidah,
kelopak mata, dan otot pernapasan. Dapat disingkat menjadi
MATCH ( Muscle Weakness, Adrenal Medulla activity,
Tachycardia, cramping, hypertension)
c. SSP, menimbulkan rasa nyeri kepala, perubahan emosi,
kejang-kejang sampai koma

75. Pemeriksaan :
a. Pengukuran kadar KhE dalam sel darah merah dan plasma,
penting untuk memastikan diagnosis keracunan organofosfat.
b. Ringan  40 – 70% N  tampak anoreksia, nyeri kepala, rasa
lemah, rasa takut, tremor lidah, tremor kelopak mata, pupil
miosis
c. Sedang  20 – 40% N  tampak nausea, muntah-muntah,
kejang atau kram perut, hipersalivasi, hiperhidrosis, fasikulasi
otot, brakikardi
d. Berat  < 20% N  tampak diare, pupil “pin-point”,
e. reaksi cahaya negatif, sesak napas, sianosis, edema paru,
inkontinensia urin dan feses, konvulsi, koma, blokade jantung,
akhirnya meninggal
76. Diagnosa Banding:
a. Intoksikasi hidrokarbon

22. Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.


23. Pasien mendapatkan penanganan yang sesuai dengan prosedur

Tujuan yang berlaku di RSUD Bangil.


24. Memperlancar proses pelayanan antara Instalasi Gawat Darurat
dengan Unit Rawat Inap RSUD Bangil.

Kebijakan O. Standar Pelayanan Minimal RSUD Bangil.


P. Wewenang untuk melakukan prosedur adalah :
36. Dokter spesialis Penyakit Dalam.
37. Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Penyakit
Dalam.
38. Dokter IGD.
39. Dokter Umum yang bekerja di bagian Penyakit Dalam.

1. Resusitasi
Infus RL/NS 0,9% kecepatan 15-20 tt/menit, napas buatan + O 2,
hisap lendir saluran napas, hindari obat-obat depresan saluran
napas, kalau perlu digunakan respirator pada kegagalan napas yang
berat.
2. Eliminasi
Prosedur
Emesis, katarsis, KL, keramas rambut, dan mandikan seluruh tubuh
dengan sabun.
3. Terapi Penunjang
Bila penderita kejang: diazepam 10 mg iv atau phenytoin (bolus 18
mg/kgBB, dengan kecepatan <50 mg/menit). Bila timbul aritmia
ventrikuler lidocaine, procanamide atau defibrilator.

4. Antidotum
Atropin sulfat (SA) merupakan antagonis kompetitif dari AKh,
bekerja dengan menghambat efek akumulasi Akh pada tempat-
tempat penumpukannya.
a. Mula-mula diberikan bolus intravena 1-2,5 mg.
b. Dilanjutkan dengan 0,5-1 mg setiap 5-10-15 menit sampai
timbul gejala-gejala atropinisasi (muka merah, mulut kering,
takhikardia, midriasis, febris, psikosis).
c. Kemudian interval diperpanjang setiap 15-30-60 menit,
selanjutnya setiap 2-4-6 dan 12 jam.
d. Pemberian SA dihentikan minimal setelah 2x24 jam.
Penghentian SA yang mendadak dapat menyebabkan rebound
effect berupa edema paru dan kegagalan pernapasan akut,
yang sering fatal.

3. Fibrotik pnemonia
Komplikasi
4. ARDS
Unit yang Bagian llmu Penyakit Dalam
menangani
Unit terkait Instalasi Gawat Darurat, Unit Rawat Inap, Komite Medik.
Kepustakaan:

Kusumobroto, Hernomo, Iswan A. Nusi dan Herry Purbayu. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Surabaya: Airlangga University Press
PENANGANAN INTOKSIKASI NAPZA DI IGD

No. Dokumen No. Revisi Halaman


................... .................. 92-4
Ditetapkan
STANDAR Tanggal terbit Direktur,
PROSEDUR
OPERASIONAL .....................
(SMF...............) Dr. AGUNG BASUKI, M.Kes
NIP. 19600504 198902 1 002
Pengertian 77. Prosedur yang mengatur tentang penatalaksanaan Intoksikasi
NAPZA
78. NAPZA adalah akronim dari Narkotika, Alkohol, Psikotropika, dan Zat
Adiktif lain.
79. Intoksikasi akut adalah suatukondisi yang timbul akibat
menggunakan alcohol atau NAPZA, psikoaktif lain sehingga terjadi
gangguan kesadaran, fungsi kognitif, persepsi, afek/mood, perilaku
atau fungsi dan respon psikologis lainnya.
80. Gejala intoksikasi:
AMFETAMIN
 agitasi  halusinasi
 kehilangan berat badan  kehilangan rasa lelah
 takikardia  tidak dapat tidur
 dehidrasi  kejang
 hipertermi  gigi gemerutuk, rahang atas
 imunitas rendah dan bawah beradu
 paranoia  stroke
 delusi  gangguan kardiovaskular
 kematian

ALKOHOL
 ataksia dan bicara cadel/tak jelas
 emosi labil dan disinhibisi
 napas berbau alkohol
 mood yang bervariasi
CANABIS
 ansietas dan panic
 paranoia
 halusinasi pendengaran dan penglihatan
 gangguan koordinasi
 kehilangan memori jangka pendek
 takikardia dan aritmia supraventrikuler
KOKAIN
Pada dosis rendah :
 anastesi lokal
 dilatasi pupil
 vasokonstriksi
 peningkatan pernapasan
 peningkatan denyut jantung
 peningkatan tekanan darah
 peningkatan suhu tubuh
Pada dosis tinggi (reaksi toksik):
 stereotipik, perilaku repetitif
 ansietas/ agitasi berat/ panik
 agresif
 kedutan otot/tremor/hilang koordinasi
 peningkatan reflex
 gagal napas
 peningkatan tekanan darah yang bermakna
 nyeri dada/angina
 edema paru
 gagal ginjal akut
 konvulsi
 penglihatan kabur
 stroke akut
 kebingungan/delirium
 halusinasi, lebih sering halusinasi dengar
 dizziness
 kekakuan otot
 lemah, nadi cepat
 aritmia jantung
 iskemi miokardial dan infark
 berkeringat/suhu tubuh sangat tinggi (suhu rektal bisa mencapai
41°C)
 sakit kepala
 nyeri perut/mual/muntah
BENZODIAZEPIN
 mengantuk, letargi, kelelahan
 gerakan yang tidak terkoordinasi, penurunan reaksi terhadap waktu
dan ataksia
 penurunan fungsi kognisi dan memori (terutama amnesia
anterograde)
 kebingungan
 kelemahan otot atau hipotoni
 depresi
 nistagmus, vertigo
 disarthria, bicara cadel/tidak jelas
 pandangan kabur, mulut kering
 sakit kepala
 euforia paradoksal, rasa girang, tidak dapat beristirahat, hipomania
dan perilaku
 inhibisi yang ekstrim (terutama pengguna dosis tinggi dapat merasa
tidak dapat dilukai, kebal terhadap serangan atau pukulan dan
merasa dirinya tidak dapat dilihat orang sekitarnya)
 efek potensiasi dengan napza depresah susunan syaraf pusat
lainnya, missal alkohol dan opioid yang dapat meningkatkan risiko
penekanan pernapasan
VOLATILE SUBSTANCE (SENYAWA YANG MUDAH MENGUAP)
 mata merah dan berair
 bersin dan batuk
 nafas berbau napza kimia lem, solven, bekas cat tertinggal pada
baju, jari tangan, hidung, atau mulut
 intoksikasi terlihat jelas/ perilaku menyimpang/ berani mengambil
risiko
 kebingungan
 koordinasi yang lemah
 mengeluarkan keringat yang berlebihan
 ada tanda-tanda tidak biasa/rash,
 iritasi kulit di sekitar mulut dan hidung
 sekresi nasal yang berlebihan, bila secara langsung menghirup
25. Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.
26. Pasien mendapatkan penanganan yang sesuai dengan prosedur

Tujuan yang berlaku di RSUD Bangil.


27. Memperlancar proses pelayanan antara Instalasi Gawat Darurat
dengan Unit Rawat Inap RSUD Bangil.

Q. Standar Pelayanan Minimal RSUD Bangil.


R. Wewenang untuk melakukan prosedur adalah :
Kebijakan 40. Dokter Spesialis Penyakit Dalam
41. Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Penyakit Dalam
42. Dokter IGD

Prosedur
Penatalaksanaan umum kondisi emergensi gangguan penggunaan NAPZA

1. Tindakan terfokus pada masalah penyelamatan hidup (life


threatening) melalui prosedur ABC (Airway, Breathing, Circulation)
dan menjaga tanda-tanda vital

2. Bila memungkinkan hindari pemberian obat-obatan, karena


dikhawatirkan akan terjadi interaksi dengan NAPZA yang digunakan
pasien. Apabila NAPZA yang digunakan pasien sudah diketahui, obat
dapat diberikan dengan dosis yang adekuat

3. Merupakan hal yang selalu penting untuk memperoleh riwayat


penggunaan NAPZA sebelumnya baik melalui auto maupun
alloanamnesa (terutama dengan keluarganya). Bila pasien tidak
sadar perhatikan alat-alat atau barang yang ada pada diri pasien
(seperti adanya jarum suntik, obat-obatan dsb)
4. Sikap dan tata cara petugas membawakan diri merupakan hal yang
penting khususnya bila berhadapan dengan pasien panik,
kebingungan atau psikotik

5. Terakhir, penting untuk menentukan atau meninjau kembali


besarnya atau beratnya masalah penggunaan NAPZA pasien
berdasar kategori dibawah ini:

5.1. Pasien dengan gangguan penggunaan NAPZA dalam jumlah banyak


dan tanda-tanda vital yang membahayakan berkaitan dengan
kondisi intoksikasi. Kemungkinan akan disertai dengan gejala-gejala
halusinasi, waham dan kebingungan akan tetapi kondisi ini akan
kembali normal setelah gejala-gejala intoksikasi mereda

5.2. Tanda-tanda vital pasien pada dasarnya stabil tetapi ada gejala-
gejala putus NAPZA yang diperlihatkan pasien maka bila ada gejala-
gejala kebingungan atau psikotik hal itu merupakan bagian dari
gejala putus NAPZA.

5.3. Pasien dengan tanda-tanda vital yang stabil dan tidak


memperlihatkan gejala putus NAPZA yang jelas tetapi secara klinis
menunjukkan adanya gejala kebingungan seperti pada kohdisi
delirium atau demensia. Dalam perjalanannya mungkin timbul
gejala halusinasi atau waham, tetapi gejala ini akan menghilang
bilamana kondisi klinis delirium atau dementia sudah diterapi
dengan adekuat

5.4. Bilamana tanda-tanda vital pasien stabil dan secara klinis tidak ada
gejala-gejalak ebingungan atau putus NAPZA secara bermakna,
tetapi menunjukkan adanya halusinasi atau waham dan tidak
memiliki insight maka pasien menderita psikosis

5.5. Penatalaksanaan kondisi gawat darurat gangguan penggunaan


NAPZA akan diuraikan sebagai berikut:

a. Intoksikasi Amfetamin atau NAPZA yang menyerupai:


 Simptomatik, tergantung kondisi klinis, untuk penggunaan oral
merangsang muntah dengan activated charcoal atau kuras lambung
adalah penting

 Antipsikotik , Haloperidol 2-5 mg atau Chlorpromazine 1 mg/kg BB


setiap 4-6 jam bila timbul gejala psikotik

 Antihipertensi bila Tekanan Darah diatas 140/100 mHg

 Kontrol temperatur dengan selimut dingin atau antipiretika untuk


mencegah temperatur tubuh meningkat.

 Bila ada gejala ansietas berikan ansiolitik golongan Benzodiazepin ;


Diazepam 3 x 5 mg atau Chlordia-zepoxide 3x25 mg

 Asamkan urin dengan Amonium Chlorida 2,75 mEq/kg atau

 Ascorbic Acid 8 mg/hari sampai pH urin <5 akan mempercepat


ekskresi NAPZA

b. Intoksikasi Alkohol:

Untuk alkohol golongan methanol, perlu dilakukan hemodialisis

Berikut akan dijelaskan mengenai penanganan alkohol golongan


etanol.

 Bila terdapat kondisi Hipoglikemia injeksi 50 ml Dextrose 40%

 Bila keadaan Koma :

 Posisi face down untuk cegah aspirasi

 Observasi ketat tanda vital setiap 15 menit

 Injeksi Tiamine 100 mg i.v untuk profilaksis terjadinya Wernicke

 Problem Perilaku (gaduh/gelisah):


 Petugas keamanan dan perawat siap bila pasien agresif

 Terapis harus toleran dan tidak membuat pasien takut atau merasa
terancam

 Buat suasana tenang dan bila perlu tawarkan makan

 Beri dosis rendah sadatif: Lorazepam 1-2 mg atau Haloperidol 5mg


oral, bila gaduh gelisah berikan sacara parenteral (i.m)

c. Intoksikasi Kanabis:

 Umumnya tidak perlu farmakoterapi, dapat diberikan terapi suportif


dengan talking down

 Bila ada gejala ansietas berat:

 Lorazepam 1-2 mg oral, atau

 Alprazolam 0.5 - 1 mg oral, atau

 Chlordiazepoxide 10-50 mg oral

 Bila terdapat gejala psikotik menonjol dapat diberikan Haloperidol


1-2 mg oral atau i.m ulangi setiap 20-30 menit

d. Intoksikasi Opioid:

 Merupakan kondisi gawat darurat yang memerlukan penanganan


secara cepat

 Atasi vital sign (Tekanan Darah, Pernafasan, Denyut Nadi,


Temperatur)

 Berikan antidotum Naloxon HCL (Narcan, Nokoba) dengan dosis


0,01mg/kg.BB secara iv, im, sc. Dosis bolus 0,4-2 mg, maksimal 10
mg.

 Kemungkinan perlu perawatan ICU, khususnya bila terjadi


penurunan kesadaran

 Observasi selama 24 jam untuk menilai stabilitas tanda-tanda vital


e. Intosikasi Sedatif-Hipnotik (Benzodiazepin)
Diperlukan terapi kombinasi yang bertujuan :
 Mengurangi efek obat dalam tubuh
 Untuk tingkat serum sedatif-hipnotik yang tingginya ekstrim dan
gejala-gejala sangat berat, pikirkan untuk haimoperfusion dengan
Charcoal resin/Norit. Cara ini juga berguna bila ada intoksikasi berat
barbiturat yang lebih short acting.
 Tindakan suportif termasuk:
a) pertahankan jalan nafas, pernafasan buatan bila diperlukan
b) perbaiki gangguan asam basa
 Alkalinisasi urin sampai pH 8 untuk memperbaiki pengeluaran obat
dan untuk diuresis berikan Furosemide 20-40 mg atau Manitol 12,5-
25mg.
 Mengurangi absorbsi obat lebih lanjut

 Rangsang muntah, bila baru terjadi pemakaian. Kalau tidak, pikirkan


Activated Charcoal, Selama perawatan pasien harus diperhatikan
supaya tidak terjadi aspirasi
 Mencegah komplikasi jangka panjang
 Perhatikan tanda-tanda vital dan depresi pernafasan, aspirasi dan
edema paru.
 Bila sudah terjadi aspirasi, berikan antibiotic
 Bila pasien berusaha bunuh diri, maka dia harus ditempatkan di
tempat khusus dengan pengawasan perawat.
f. Intoksikasi Halusinogen
 Intervensi Non Farmakologik : .
 Lingkungan yang tenang, aman dan mendukung
 Reassurance : bahwa obat tersebut menimbulkan gejala-gejala itu;
dan ini akan hilang dengan berjalannya waktu (talking down)
 Intervensi Farmakologik:
 Bila terjadi bad trip (rasa tidak nyaman) atau serangan panik;
berikan anti ansietas : Diazepam 10-30 mg oral
g. Intoksikasi Inhalansia
 Pertahankan agar pernafasan berlangsung dengan baik agar tidak
kekurangan oksigen
 Tidak ada antidotum yang spesifik
 Simptomatik
 Pasien dengan gangguan neurologik yang nyata, misalnya neuropati
atau persistent ataxia, harus dievaluasi sebagaimana mestinya dan
follow up yang ketat.

Komplikasi Gagal napas, cardiac arrest


Unit yang
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
menangani
Instalasi Gawat Darurat, Rawat Inap, High Care Unit, Intensive Care Unit,
Unit terkait
Komite Medik

Kepustakaan:

Direktorat Jendaral Bina Pelayanan Medik Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2010.
Pedoman Layanan Terapi dan Rehabilitasi Komprehensif pada Gangguan Penggunaan NAPZA
Berbasis Rumah Sakit. Jakarta: Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia
NOMOR 420/MENKES/SK/III/2010.

Anda mungkin juga menyukai