Anda di halaman 1dari 33

Cara Menghitung dan Menjurnal PPN dan

PPh 22 Impor

7 13
9 3797

Dahulu hanya perusahaan berstatus importir besar saja yang dibikin sibuk oleh urusan
administrasi impor, termasuk menjurnal PPN dan PPh Impor (pasal 22) tentunya.

Seiring perkembangan ekonomi dan terjangan arus ‘perdangan-global’ yang kian


deras—terutama sekali perdagangan elektronik (komputer dan gadget), saat ini
bahkan counter HP yang badan usahanya masih peroranganpun sudah biasa
mengimpor barang, meskipun mungkin kebanyakan via Singapore.

Patut diapresiasi tinggi, teman-teman yang yang bergerak di ruang terbatas (usaha kecil dan
modal kecil) memiliki kesadaran yang begitu tinggi untuk melaksanakan kewajiban pajak
mereka.

Sudah pasti mereka, para importir kecil, bukan hanya terbatas dalam hal skala usaha dan
modal, tetapi juga menyangkut ketersediaan sumberdaya manusia.

Hanya saja, yang saya sayangkan (meskipun masih bisa saya pahami), dalam keterbatasan
SDM, mereka rata-rata cenderung menomor-duakan kebutuhan akan pegawai accounting.

Salah satu kawan semasa sekolah dahulu, yang akhir pekan kemarin sengaja datang ke rumah
untuk tanya-tanya soal pajak dan pembukuan mengatakan,

“Untuk sementara saya belum merasa perlu cari orang accounting, toh anak-anak toko bisa
hitung pakai kalkulator”

(tapi kenyataannya sampai sengaja berkunjung untuk tanya-tanya soal pajak dan accounting,
gumam saya dalam hati).

“Sepertinya lebih baik saya nambah pegawai toko daripada angkat pegawai kantor hanya
untuk urus pembukuan dan pajak. Sedangkan urusan import toh sudah diurus oleh
DHL/Fedex”, dia menambahkan.

Sekalilagi bisa saya pahami. Ini adalah salah satu pengusaha yang salah persepsi tentang
accounting dan pegawai accounting. Mungkin kawan saya ini berpikir kalau orang
accounting sama fungsinya dengan kalkulator. Entahlah. Tapi saya memilih untuk tidak
memabahas hal itu, karena saya pikir dia datang untuk minta bantuan (bukan untuk debat).

Kembali ke masalah utama… langsung ke cara menghitung PPN dan PPh Impor saja (saya
ulang Bea masuknya juga mendapat pemahaman yang utuh).
Cara Menghitung PPN Impor dan PPh Impor (Pasal 22)
Mengenai custom clearance dan segala tetek-bengeknya, betul, jika pengiriman barang-
impornya via kurir, sudah diurus oleh kurir—importir tinggal bayar ke mereka saja, tak perlu
bayar ke Bea Cukai (DJBC) maupun ke kantor pajak.

Tetapi, mereka tidak tahu kalau ada sebagian dari biaya yang dikeluarkan tersebut
sesungguhnya merupakan kredit pajak—mengurangi beban kewajiban pajak lainnya:

 PPN Impor – Mengurangi PPN terhutang (Jika sudah PKP)


 PPh 22 (Impor) – Mengurangi PPh 29 Badan/Perorangan di SPT

Kita langsung ke contoh kasus saja…

Contoh Kasus:

Tanggal 1 November 2011 PT. JAK impor barang elektronik senilai (FOB) $10,000, biaya
kirim $500, asuransi $25. Tarif bea masuknya 15%. Kurs dari Kemenkau pada saat itu adalah
Rp 8000/1 USD.

Atas impor barang tersebut, maka, importir, membayar:

 Bea Masuk = ($10,000 + 500 + 25) x 15% = $1,578.75


 PPN Impor = ($10,000 + 500 + 25 + 1,578.75) x 10% = $1,210.38
 PPh Impor (Pasal 22) = ($10,000 + 500 + 25 + 1,578.75) x 7.5% = $907.78

Jika dirupiahkan, maka semua hasil perhitungan di atas dikalikan rate dari Kemenkeu.
Sehingga menjadi:

 Bea Masuk = $1,578.75 x Rp 8000 = Rp 12,630,000


 PPN Impor = $1,210.38 x Rp 8000 = Rp 9,683,000
 PPh Impor (Pasal 22) = $907.78 x Rp 8000 = Rp 7,262,250

Jika impor-nya via kurir (DHL/Fedex/UPS/EMS), biasanya kurir langsung menyodorkan


tagihan untuk: Biaya Kirim + Bea Masuk + PPN Impor + PPh Impor (Ps 22). Sehingga
importir membayar total $4,196.91 (atau Rp 33,575,250)—tanpa tahu bahwa ada sebagian
dari pengeluaran tersebut sesungguhnya merupakan kredit pajak.

Dalam contoh kasus ini, anggaplah PT. JAK sudah PKP, maka kredit pajaknya adalah:

 PPN Impor = Rp 9,683,000


 PPh Impor (Pasal 22) = Rp 7,262,250

Sangat disayangkan jika uang sebesar itu hilang begitu saja—gara-gara tidak tahu prosedur
dan administrasinya yang benar.

Nah bagaimana mengkreditkan PPN dan PPh Impor? Sebelum ke situ, lebih baik jika saya
bahas cara menjurnalnya terlebih dahulu, nanti sambil jalan saya bahas pengkreditannya.
Cara Menjurnal PPN Impor dan PPh Impor (Pasal 22)
Saya tidak akan membahas tehnis pengisian formulir SPT PPN maupun PPh—saya yakin
anda semua sudah tahu caranya (jika belum, bisa Googling kan?). Saya akan bahas jurnalnya
saja. Tentu dengan logika dibalik jurnalnya. Sehingga setelah membaca ini, bukan saja anda
bisa menjurnal PPN dan PPh Impor tetapi juga memahami logika pengkreditannya, termasuk
cara menjurnal pengkreditannya itu sendiri.

Supaya bisa dijurnal, tentu harus ada akun-nya terlebih dahulu. Jika belum ada, maka buat
akunnya terlebih dahulu. Setelah akun tersedia, maka atas beban Bea Masuk, PPN Impor dan
PPh Impor (Pasal 22) di atas dicatat dengan jurnal (tanggal 1 November 2011), sbb:

[Debit]. Biaya Kirim/Kurir = Rp 4,000,000


[Kredit]. Utang – DHL = Rp 4,000,000

[Debit]. Bea Masuk = Rp 12,630,000


[Kredit]. Utang – DHL (cq. DJBC) = Rp 12,630,000

[Debit]. PPN Impor = Rp 9,683,000


[Kredit]. Utang – DHL (cq. DJP) = 9,683,000

[Debit]. PPh Impor = Rp 7,262,250


[Kredit]. Utang – DHL (cq. DJP) = Rp 7,262,250

Atau dijurnal sekaligus, seperti di bawah ini juga bisa:

[Debit]. Biaya Kirim/Kurir = Rp 4,000,000


[Debit]. Bea Masuk = Rp 12,630,000
[Debit]. PPN Impor = Rp 9,683,000
[Debit]. PPh Impor = Rp 7,262,250
[Kredit]. Utang – DHL = Rp 4,000,000
[Kredit]. Utang – DHL (cq. DJBC) = Rp 12,630,000
[Kredit]. Utang – DHL (cq. DJP) = 9,683,000
[Kredit]. Utang – DHL (cq. DJP) = Rp 7,262,250

Catatan: Jika langsung dibayar tunai, akun “Utang” diganti dengan “Kas”. Seperti terlihat di
atas, untuk sementara semua biaya terkait dengan impor berada di kelompok debit (aktiva).

Selanjutnya tinggal soal mengkreditkan saja. Pindah ke paragraf selanjutnya….

Mengkreditkan PPN dan PPh Impor


Setelah tutup buku bulan November 2011, diketahui PT. JAK ada penjualan lokal sebesar Rp
150,000,000. Disamping itu, ada pembelian bahan baku lokal dengan Faktur Pajak Masukan
sebesar Rp 3,000,000. Berapa PPN Terutang PT. JAK untuk bulan November?

Anggap faktur pajak masukan (FPM) dan faktur pajak keluaran (FPK), semuanya sudah
dijurnal dengan benar. Jika semua FPM dan FPK sudah dijurnal dengan benar, maka saldo
PPN terutang angkanya pasti Rp 12,000,000 ( = Rp 15,000,000 – Rp 3,000,000)
Catatan: Lain kali saya akan bahas khusus jurnal PPN, mulai dari pembelian sampai
penjualan.

Anggap saldo PPN Terutang-nya sudah benar, yaitu Rp 12,000,000. Jika PT. JAK TIDAK
TAHU bahwa PPN impor-nya bisa dikreditkan, maka sudah pasti PT. JAK akan bayar
semuanya, dengan jurnal:

[Debit]. Utang – PPN = Rp 12,000,000


[Kredit]. Kas = Rp 12,000,000

Padahal, jika PT. JAK tahu PPN Impor-nya bisa dikreditkan, sebelum PPN terutang-nya
dibayar seharusnya saldo akun ‘PPN Impor’ tadi dilawankan dengan ‘Utang PPN’ terlebih
dahulu—artinya: PPN Impor yang tadinya ada di sisi debit dipindahkan ke sisi kredit,
lawannya utang PPN di sisi debit:

[Debit]. Utang PPN = Rp 9,683,000


[Kredit]. PPN Impor = Rp 9,683,000

Setelah jurnal pengkreditan PPN impor dimasukan maka otomatis saldo Utang PPN akan
turun menjadi Rp 2,317,000 saja ( = Rp 12,000,000 – Rp 9,683,000). Dengan demikian,
maka jurnal pembayaran PPN-nya menjadi:

[Debit]. Utang PPN = Rp 2,317,000


[Kredit]. Kas = Rp 2,137,000

Bandingkan Kas yang dikeluarkan antara yang sebelum dengan yang setelah PPN
Impor dikreditkan, sangat jauh bukan? Sayang jika tidak dikreditkan. Tentu, bukti
pembayaran PPN Impor harus disertakan dalam laporan PPN bersama-sama dengan faktur
pajak masukan (FPM). Demikian terus setiap bulannya.

Nah itu baru pengkreditan PPN Impor-nya. Bagaimana dengan PPh Impor (Pasal 22)-nya?
Nanti dikreditkan saat akan tutup buku tahun fiskal (31 Desember 2011).

Anggaplah Neraca PT JAK per 31 Desember 2011 menunjukan adanya ‘Utang PPh Pasal’
sebesar Rp 25,000,000 di sisi Passive (Kewajiban). Sementara itu di sisi aktiva ada saldo
‘Uang Muka Pajak (Pasal 25) menunjukan angka Rp 16,000,000 dan jangan lupa ada saldo
PPh Impor juga sebesar Rp 7,262,250.

Sebelum Utang PPh dibayarkan perlu dibuatkan jurnal penyesuaian terlebih dahulu,
untuk melawankan saldo uang muka pajak (PPh Pasal 25) dan mengkreditkan PPh Impor—
sehingga saldo keduanya menjadi nol. Jurnal penyesuaiannya sbb:

[Debit]. Utang PPh = Rp 16,000,000


[Kredit]. Uang Muka PPh (Pasal 25) = Rp 16,000,000

Dengan jurnal ini, maka saldo Uang Muka PPh (Pasal 25) menjadi nol, dan saldo Utang PPh
berkurang sebesar yang sama sehingga tinggal Rp 9,000,000 ( = Rp 25,000,000 – Rp
16,000,000) saja.
Terakhir kreditkan PPh Impor (Pasal 22) dengan cara memindahkannya ke sisi kredit,
dengan jurnal:

[Debit]. Utang PPh = Rp 7,262,250


[Kredit]. PPh Impor (Pasal 22) = Rp 7,262,250

Dengan jurnal terakhir ini, maka saldo PPh Impor di aktiva jadi nol, dan saldo Utang PPh
menurun sebesar yang sama sehingga saldonya tinggal Rp 1,737,750 ( = 9,000,000 –
7,262,250) saja. Nah angka saldo sebesar Rp 1,737,750 inilah yang dibayarkan. Saat
dibayar jurnalnya:

[Debit]. Utang PPh (Pasal 29) = Rp 1,737,750


[Kredit]. Kas = Rp 1,737,750

Setelah pembayaran Utang PPh 29 dan jurnalnya dimasukan maka posisi saldo akan menjadi
sbb:

 PPh Impor (Pasal 22) = 0


 Uang Muka PPh (Pasal 25) = 0
 Utang PPh (Pasal 29) tahun fiskal 2011 = 0

Dengan demikian maka tuntas sudah penjurnalan PPN Impor, PPh Impor dan
pengkreditannya, hingga ke PPN Terutang dan Utang PPh di akhir tahun fiskal.

Selanjutnya, seperti yang sudah saya sampaikan tadi, lain kesempatan saya akan bahas
perlakuan PPN dari pembelian bahan baku sampai ke pembayaran PPN penjualan.
Mungkin PPh juga saya bahas, tetapi secara bertahap pastinya. Selamat beraktivitas,
semoga sukses selalu.
Siklus Pembukuan dan Akuntansi
Selangkah-Demi-Selangkah

5 20
11 4391

Akuntansi sering didefinisikan sebagai seni melakukan pencatatan, pengelompokan, dan


pelaporan transaksi keuangan. Rangkaian—selangkah demi selangkah—proses itulah yang
disebut dengan “Siklus Akuntansi” yang sering diistilahkan dengan “pembukuan
(bookkeeping)”.

Apakah pembukuan sama dengan akuntansi? Jelas berbeda. Pekerjaan pembukuan selesai
sampai pada siklus saja, sementara pekerjaan akuntansi jauh lebih luas dari sekedar siklus
akuntansi (pembukuan), termasuk auditing (pemeriksaan), penyusunan sistem akuntansi,
akuntansi manajemen, hingga perpajakan.

Di tulisan ini saya akan berfokus pada siklus akuntansi (pembukuan) saja. Apa saja langkah-
langkah yang dilalui dalam satu siklus akuntansi.

Ada 9 (sembilan) langkah yang dilalui dalam satu siklus akuntansi, yaitu:

Langkah-1. Mengumpulkan Dan Menganalisa Data Transaksi

Siklus akuntansi dimulai dari proses pengumpulan data transaksi keuangan dalam bentuk
bukti transaksi yang oleh orang awam disebut ‘nota’. Sesungguhnya bukti transaksi
keuangan tidak selalu dalam bentuk nota, bisa jadi dalam bentuk lain—misalnya: akte, surat
perjanjian, kwitansi, surat pengakuan utang-piutang.

Melalui bukti inilah data transaksi keuangan diidentifikasi. Setelah bukti transaksi terkumpul,
selanjutnya dianalisa (bahasa awamnya dinilai)—apakah transaksi itu sah untuk diakui atau
tidak, berapa yang harus diakui.

Misalnya: Per hari ini PT. ABC membeli perlatan kantor, atas pembelian tersebut PT. ABC
memperoleh bukti transaksi berupa nota. Disamping membeli peralatan kantor perusahaan
juga membayar upah buruh, atas pembayaran upah tersebut, buruh PT. ABC menandatangani
kwitansi, dan seterusnya.

Bukti-bukti transaksi tersebut oleh pagawai accounting dikumpulkan, lalu dinilai apakah
bukti transaksi itu sah atau tidak, berapa besarnya nilai transaksi yang harus diakui.
Langkah-2. Mencatat Transaksi (Menjurnal/Posting)

Setelah bukti transaksi terkumpul dan dinilai, langkah selanjutnya adalah memasukan nilai
yang terdapat pada bukti transaksi ke dalam buku catatan transaksi. Proses ini disebut dengan
proses pencatatan—yang oleh orang akuntansi disebut “menjurnal” sering juga disebut
“posting”.

Proses menjurnal bisa jadi dilakukan setiap kali ada transasi secara terus menerus sepanjang
hari atau dimasukan sekaligus di sore hari. Catatan-catatan transaksi di langkah ini dalam
akuntansi disebut dengan “Jurnal Umum (General Journal)”. Buku-buku yang menampung
catatan transaksi ini sering disebut dengan buku jurnal umum (saya akan membahas jenis-
jenis buku catatan ini di postingan lain secara terpisah).

Misalnya: Pukul 9 pagi ada transaksi penjualan, setelah nota dinilai (pada langkah-1)
langsung dijurnal ke dalambuku penjualan. Pukul 10 pagi terjadi transaksi penjualan
berikutnya, nota dinilai, setelah itu dijurnal. Bisa jadi transaksi-transaksi tersebut
dikumpulkan saja dahulu, baru kemudian dijurnal menjelang penutupan jam kerja. Saya
menyarankan agar setiap transaksi langsung dijurnal (jangan dikumpulkan terlebih dahulu).

Di era komputerisasi sekarang ini, proses menjurnal tidak lagi dilakukan dengan mencatat di
buku. Melainkan di,masukan ke dalam sistem (software akuntansi).

Langkah-3. Memindahkan Catatan Transaksi ke Buku Besar

Pada langkah sebelumnya (jurnal umum), catatan transaksi masih dalam kondisi tercampur
(berbagai macam transaksi ditampung dalam satu catatan). Di langkah ketiga ini, catatan
transaksi tersebut dipindahkan ke dalam kelompok-kelompok akun (account)—sesuai dengan
jenis transaksinya.

Misalnya: Jenis transaksi penjualan dipindahkan ke dalam akun penjualan, jenis transaksi
pembelian bahan baku dimasukan ke dalam akun persediaan dan utang, jenis transaski berupa
pembelian aset dimasukan ke dalam akun aktiva tetap, dan seterusnya.

Kelompok-kelompok akun ini disebut “Buku Besar (General Ledger)”. Di dalam akun buku
besar, satu jenis transaksi terkumpul menjadi satu kelompok, misalnya: akun buku besar
penjualan terdiri dari transksi-transaksi penjualan saja, akun kas terdiri dari transaksi-
transaksi yang berupa kas saja, akun aktiva tetap terdiri transaksi-transaksi aktiva tetap saja.

Di akhir proses ini, kumpulan nilai-nilai transaksi akan membentuk nilai akhir yang disebut
dengan “saldo akhir (ending balance)”. Saldo akhir bisa berupa saldo debit atau saldo
kredit, sesuai dengan jenis akunnya:

 Akun-akun kelompok aktiva (kas, piutang, persediaan, aktiva tetap) bersaldo debit.
 Akun-akun kelompok kwajiban (utang) bersaldo kredit
 Akun kelompok ekuitas pemilik (modal, laba ditahan) bersaldo kredit
 Akun pendapatan bersaldo kredit
 Akun biaya bersaldo debit

Catatan:
Di era komputerisasi, kehadiran software akuntansi membuat proses pada langkah ketiga ini
parktis tidak diperlukan lagi. Sotware yang dipakai oleh perusahaan secara otomatis
melakukan proses pemindahan data dari jurnal umum ke buku besar, begitu langkah kedua
(menjurnal umum/posting) dilakukan.

Dalam akuntansi manual proses pemindahan ke buku besar mungkin dilakukan setiap
menjelang penutupan buku, sehingga saldo akhir buku besar juga baru bisa dilihat.
Sedangkan dalam akuntansi terkomputerisasi (menggunakan software akuntansi), proses
pemindahan terjadi setiap kali transaksi dimasukan ke dalam software akuntansi—dan dan
saldo akhir langsung bisa dilihat sesaat setelah posting dilakukan.

Langkah-4. Membuat “Neraca Percobaan (Trial Balance)”

Membuat neraca percobaan biasanya dilakukan setiap menjelang penutupan buku. Apa itu
neraca percobaan? Bagaimana cara membuatnya?

Di masa sekarang ini semua perusahaan sudah menggunakan sistim ‘double entry’ yang
mensyaratkan kondisi yang seimbang (balance). Artinya setiap penambahan pada suatu akun
selalu disertai oleh pengurangan di akun lain—demikian sebaliknya. Sebagai implementasi,
setiap transaksi dicatat ke dalam 2 (atau lebih) jenis akun sekaligus.

Misalnya: PT. ABC membeli perlatan kantor senilai Rp 1 juta. Atas transaksi pembelian ini
dicatat dengan sistim double-entry, sehingga jurnalnya menjadi:

[Debit]. Aktiva – Peralatan Kantor = Rp 1 juta

[Kredit]. Kas = Rp 1 juta

Artinya: atas satu transaksi penjualan tersebut, di satu sisi membuat nilai aktiva peralatan
kantor bertambah sebesar 1 juta, di sisi lainnya akun kas berkurang pada nilai yang sama,
sehingga terjadi kondisi seimbang (balance). Dengan demikian, setelah semua transaksi
terkumpul dan terakumulasi di buku besar, penggunaan sistim double-entry membuat
NILAI—atau rupiah—jenis akun bersaldo debit akan selalu sama dengan jenis akun bersaldo
kredit.

Proses membuat neraca percobaan (trial balance) pada langkah ini dimaksudkan untuk
melakukan percobaan—memastikan bahwa nilai jenis akun bersaldo debit sama dengan jenis
akun bersaldo kredit—balance (seimbang). Atau secara keseluruhan, jumlah nilai transaksi
debit sama dengan transaksi kredit. Konkretnya, saldo-saldo akhir akun bersaldo debit
dijumlahkan, dan saldo-saldo akun bersaldo negatif juga dijumlahkan, lalu dibandingkan.
Jika nilainya sama berarti balance (sudah benar).

Bagaimana jika tidak sama (tidak balance)? Disilidiki—dicari tahu, mengapa tidak sama.
Yang jelas sudah pasti ada ketidaksesuaian pencatat (jurnal).

Langkah-5. Membuat (Jurnal) Penyesuaian

Ada berbagai kemungkinan penyebab terjadinya ketidaksesuaian—sehingga nilai akun


bersaldo debit dengan akun bersaldo kredit menjadi tidak sama (tidak balance):
 Adanya transaksi yang belum dicatat
 Adanya transaksi yang dicatat terlalu besar atau terlalu kecil (kesalahan perhitungan)
 Adanya transaksi yang tidak bisa diakui sekaligus akibat penerapan sistim akrual (misalnya:
Atas pembelian aktiva tetap tidak bisa dibebankan sebagai biaya sekaligus, melainkan
dialokasikan secara bertahap melalui penyusutan. Atas pendapatan diterima dimuka tidak
bisa diakui sekaligus, melainkan di alokasikan secara bertahap. Atas beban bunga, beban
sewa, pendapatan sewa, pendapatan bunga, dll).

Untuk semua penyebab itu, dibuatkan jurnal penyesuaian agar kesimbangan tercapai (saya
akan membahas topik jurnal penyesuaian secara khusus di tulisan lain). Untuk pengalokasian
penyusutan dan transaksi akrual, perlu dibuatkan tabel perhitungan dan jadwal.

Setelah jurnal penyesuaian dimasukan, proses dilanjutkan ke langkah berikutnya.

Langkah-6. Membuat Neraca Percobaan Setelah Penyesuaian (Adjusted Trial Balance)

Langkah keempat diulangi sekalilagi. Bila masih belum balance, maka langkah kelima juga
dulangi. Kedua langkah ini akan terus diulangi hingga kondisi seimbang (balance) tercapai.

Langkah-7. Menyusun Laporan Keuangan (Financial Statements)

Setelah kesimbangan tercapai maka ‘Laporan Keuangan’ bisa disusun. Laporan keuangan
adalah salah satu produk utama proses akuntansi, terdiri dari empat jenis laporan yaitu:

 Laporan Laba Rugi (Income Statement/Profit and Loss Statement)


 Neraca (Balance Sheet)
 Laporan Arus Kas (Cash Flow Statement)
 Laporan Perubahan Ekuitas/Modal (Equity Statement)

(saya akan bahas masing-masing laporan isi secara lebih terperinci melalui tulisan-tulisan lain
di JAK).

Langkah-8. Melakukan Penutupan Buku (Closing The Book)

Pendapatan dan biaya terakumulasi dan dilaporkan untuk periode tertentu (umumnya
bulanan, kuartalan atau tahunan. Institusi keuangan seperti bank mungkin melakukannya
setiap hari). Agar kedua jenis akun ini tidak bercampur dengan periode berikutnya, maka
perlu ditutup—sehingga saldonya menjadi nol—di setiap akhir periode.

Selisih antara pendapatan dengan biaya menghasilkan nilai tertentu. Nilai itulah yang disebut
“Laba (Profit)” atau “Rugi (Loss)”. Laba terjadi bila selisih tersebut bernilai positif
(Pendapatan lebih besar dibandingkan biaya), sedangkan rugi terjadi bila selisih bernilai
negatif (biaya lebih besar dibandingkan pendapatan).

Penutupan dilakukan dengan memasukan jurnal pembalik (reversal journal)—pendapatan


yang biasanya dijurnal di sisi kredit, pada proses ini ditempatkan di sisi debit; dan biaya yang
biasanya ditempatkan di sisi debit, pada proses ini ditempatkan di sisi kredit—sehingga akun-
akun pendapatan dan biaya akan menjadi nol.
Nilai selisih (laba/rugi) dipindahkan ke neraca, yaitu akun “Laba Peride Ini (Current
Earning)” yang akan menambah akun “Laba Ditahan (Retained Earning)”.

Catatan: Khusus jurnal pembalik untuk menutup pendapatan dan biaya juga disebut “jurnal
penutupan (closing jurnal)“.

Setelah langkah ke delapan ini dilakukan, maka akun-akun pendapatan dan biaya akan
bernilai nol. Akun yang masih memiliki nilai saldo hanya akun-akun yang masuk dalam
kelompok neraca saja (kas, piutang, persediaan, aktiva tetap, utang, dan modal atau ekuitas
pemilik). Nilai saldo akun-akun keompok neraca terus diakumulasi dan dilanjutkan di
periode-periode berikutnya.

Langkah-9. Memebuat Penyesuaian Kembali (Pasca Penutupan)

Langkah terakhir ini dilakukan untuk 2 tujuan, yaitu:

 Untuk memastikan bahwa semua kelompok akun pendapatan dan biaya telah ditutup; dan
 Untuk memastikan bahwa semua saldo akun kelompok neraca sudah dalam kondisi
seimbang (balance) dan siap untuk menjadi saldo awal pembukaan buku periode berikutnya.

Itulah langkah-langkah yang dilewati dalam proses akuntansi, yang sering disebut dengan
pembukuan (bookkeeping). Rangkayan langkah-langkah tersebut adalah satu siklus akuntansi
(accounting cycle)—dan akan berulang di periode-peride berikutnya sepanjang perusahaan
masih beroperasi.

Saya berharap, tulisan siklus pembukuan dan akuntansi ini dapat memberi gambaran yang
jelas mengenai proses pembukuan dan akuntansi.

Terlihat tidak terlalu sulit ya? Pada kenyataannya, tidak semudah itu. Menjadi semakin
rumit ketika menangani transaksi untuk jenis bidang usaha yang berbeda (perusahaan jasa,
retail, manufaktur/industri, perbankan, real estate/developer, pertambangan, pertanian dan
holticultura, francais, telekomunikasi, dan lain sebagainya)—masing-masing memiliki
kekhasan dan standar perlakuan akuntansi yang berbeda-beda.

Tetapi jangan khawatir. Di tulisan-tulisan berikutnya, saya akan banyak membahas langkah-
per-langkah ini secara mengkhusus—lebih rinci mendekati proses pekerjaan yang
sesungguhnya. Proses pencatatan, pengelompokan dan pelaporan transaksi keuangan akun-
per-akun—sesuai dengan bidang usahanya, dengan segala permasalahannya. Mau serius
belajar akuntansi? Ikuti terus di JAK.
Cara Mudah Menghitung Harga Pokok
Penjualan Sekaligus Alurnya

61 44
45 21.4K

Bagimana caranya menghitung harga pokok penjualan? Pertanyaan ini sering saya
gunakan untuk test penerimaan calon pegawai di bagian accounting. Melalui tulisan ini
saya ingin share cara mudah menghitung harga pokok penjualan, beserta alurnya,
dengan bagan grafis sederhana (agar mudah diingat). Mungkin tidak applicable untuk
segala kondisi, tetapi (mudah-mudahan) bisa menjadi awal pemahaman yang tentunya masih
perlu dilengkapi dengan panduan-panduan dari buku dan literature.

Siapa Bilang Menghitung Harga Pokok Penjualan Hanya Urusan Cost Accountant?

Kembali ke pertanyaan yang sering saya ajukan dalam test penerimaan staf accounting.
Jawaban mereka, bervariasi. Tentu saja ada yang benar dan ada yang salah. Tak sedikit juga
jawaban yang membuat saya tersenyum kecut—prihatin persisnya.

Bagaimana tidak prihatin, suatu ketika, seorang kandidat yang melamar posisi cost
accountant tidak tahu caranya menghitung harga pokok penjualan—padahal perhitungan
harga pokok penjualan adalah fundamentalnya akuntansi biaya (cost accounting).

Yang lebih memperihatinkan lagi, salah seorang kandidat yang melamar posisi chief
accountant dengan penuh percaya diri bertanya:

“Apakah perusahaan bapak menerapkan sistim persediaan periodik?”

Saya jawab, ‘Tidak. Kami menerapkan sistim perpetual”

“Oh. Kalau begitu tidak perlu menghitung HPP, pak. Kan sudah dijurnal saat terjadi
penjualan,” dia menyampaikan pandangannya.

Betul. Dalam sistim persediaan perpetual, harga pokok penjualan diakui saat barang
laku terjual. Tetapi saya tidak terlalu yakin jika dia benar-benar memahami konsep harga
pokok penjualan dengan baik. Untuk itu saya meminta dia membuat satu contoh.

“Misalnya, Pak. Terjadi penjualan barang persediaan maka dijurnal:

[Debit]. Piutang Dagang


[Kredit]. Penjualan
Dan;

[Debit]. Harga Pokok Penjualan


[Kredit]. Persediaan Barang Jadi”

Jurnalnya sudah benar. Lalu saya minta dia mengisikan angka di masing-masing
jurnalnya. Dan, dia memasukan angka (saya tidak ingat persisnya), tetapi kurang-lebih sbb:

[Debit]. Piutang Dagang = Rp 20


[Kredit]. Penjualan = Rp 20

Dan;

[Debit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 15


[Kredit]. Persediaan Barang Jadi = Rp 15

Saya bertanya lagi, “Mengapa kalau penjualannya Rp 20 trus HPP-nya jadi Rp 15? Apakah
boleh jika angka 15 itu saya ganti dengan angka 5 atau 1,000,000 atau angka apa saja yang
saya suka?”

Melihat dia cuma diam dan nampak bingung, saya ganti pertanyaanya dengan ekspresi yang
lebih tegas, “Saat anda membuat jurnal transkasi penjualan, dari mana anda tahu harga
pokok penjualan sebesar angka yang anda masukan dalam jurnal?”

“Biasanya sudah ada di system, pak,” dia menjawab dengan jujur.

Mendapat jawaban seperti itu, lalu saya mendesak dia dengan pertanyaan, “Dan, anda
PERCAYA dengan angka yang di sistem itu?”

“Kan sudah dihitung oleh cost accountant, pak. Bukan tanggungjawab saya.”

Dari sana saya mengambil kesimpulan bahwa kandidat tidak sungguh-sungguh


memahami teknis perhitungan harga pokok penjualan. Dan dia bukan orang yang tepat
untuk berada dalam team saya. Yang mungkin luput dari pertimbangannya adalah: seorang
cost accountant berada di bawah tanggungjawabnya—sebagai seorang chief accountant.

Lepas dari itu semua, khususnya chief accountant, harus bisa menjamin akurasi setiap
digit angka yang tersaji dalam laporan keuangan—termasuk harga pokok penjualan yang
“muncul di system.” Nah, jika darimana datangnya (teknis perhitungannya) saja tidak tahu,
bagaimana bisa menjamin angka yang dihasilkan sudah akurat atau belum.

Mengenai angka harga pokok penjualan satuan yang suda ada di sistem (software)
akuntansi perusahaan, TIDAK muncul begitu saja, melainkan melalui perhitungan teknis—
entah itu dilakukan secara manual (lalu diinput ke sistem) atau melalui proses otomatisasi
dengan menggunakan variable-variable data yang dimasukan saat proses produksi
berlangsung.

Pada perushaan-perusahaan yang menerapkan “standard costing”, perhitungan harga


pokok penjualan biasanya diotomatisasi dengan menggunakan input data yang dimasukan
pada saat suatu product (barang) dirancang di bagian Research and Development. Unit cost
(harga pokok satuan) suatu produk terdiri dari berbagai element cost (yang sudah
distandarisasi) yang kemudian membentuk apa yang disebut dengan ‘Bill of Materials”
(BOM). Bagimanapun juga, tetap melalui alur pehitungan yang menggunakan konsep dasar
harga pokok penjualan.

Yang ingin saya sampaikan (melalui ilustrasi kasus di atas) adalah:

“Mampu menghitung harga pokok penjualan adalah wajib bagi seorang akuntan—terlepas
apakah dia seorang cost accountant atau bukan.”

Bahkan seorang auditor—yang nota benanya lebih banyak menggeluti akuntansi keuangan
(dibandingkan akuntantansi biaya/akuntansi manajemen)—pun wajib tahu. Tidak menutup
kemungkinan, seorang auditor perlu menguji akurasi angka-angka yang ada di Laporan Laba
Rugi yang pastinya mengandung harga pokok penjualan.

Melalui tulisan ini saya ingin share cara mudah menghitung harga pokok penjualan,
sekaligus alurnya. Jika tertarik, silahkan ikuti sampai selesai.

Perhitungan Harga Pokok Penjualan Sederhana

Perhitungan Harga Pokok Penjualan yang paling sederhana adalah sbb:

Saldo Awal Persediaan + Pembelian (atau penambahan persediaan) – Saldo Akhir Persediaan
= Harga Pokok Penjualan

Perhitungan sederhana itu bisa diterapkan pada jenis perusahaan dagang yang jenis
persediaannya hanya berupa barang jadi—yang dibeli dari pemasok. Misalnya:

Data persediaan UD. JAK (pedagang eceran beras) untuk tahun 2012 adalah sbb:

Saldo awal persediaan = Rp 5,000,000


Pembelian beras dari 1 Januari s/d 31 Desember 2012 = Rp 85,000,000
Saldo Akhir Persediaan per 31 Desember 2012 = Rp 3,000,000

Harga Pokok Penjualan 2012 = 5,000,000 + 85,000,000 – 3,000,000


Harga Pokok Penjualan 2012 = 87,000,000

Itu perhitungan harga pokok penjualan beras pada perusahan dagang beras. Perhitungan
menjadi agak rumit untuk perusahan manufaktur—yang barang persediaannya dibuat sendiri
(baik itu sebagian atau keseluruhan).

Bagaimana menghitung harga pokok penjualan perusahaan manufaktur?

Yuk kita pindah ke paragraph berikutnya…

Alur Perhitungan Harga Pokok Penjualan Perusahaan Manufaktur

Menghitung harga pokok penjualan untuk perusahaan manufaktur menjadi sedikit


lebih rumit, jika dibandingkan dengan perusahaan dagang, karena adanya “persediaan
bahan baku” (raw materials) yang diolah menjadi “persediaan barang dalam proses”
(work in process—biasanya disingkat WIP), lalu barang jadi (finished goods—biasa
disingkat FG).

Proses pengolahan dari bahan baku menjadi barang dalam proses lalu barang jadi
menimbulkan cost-cost lain, diantaranya: “biaya tenaga kerja langsung” (labor cost) dan
“overhead produksi” (production overhead).

Secara garis besar alur proses produksi adalah sbb:

Bahan Baku (raw materials) dikeluarkan dari gudang ==> Bahan baku diolah menjadi
barang dalam proses (work in process) ==> Barang dalam proses diolah lagi menjadi
barang jadi (finished goods).

Nah, perhitungan harga pokok penjualan mengikuti alur produksi di atas. Berikut adalah
bagan alur perhitungan yang saya buat sedemikian rupa sehingga menjadi lebih sederhana
dan mudah dipahami:
Penjelasan:

Dari bagan di atas jelas terlihat bahwa, alur penghitungan “Harga Pokok Penjualan”
perusahaan manufaktur melalui 4 tahapan, mengikuti alur produksi, yang terdiri dari:

 Tahap-1. Perhitungan “Bahan Baku Yang Digunakan”


 Tahap-2. Perhitungan “Total Biaya Produksi”
 Tahap-3. Perhitungan “Harga Pokok Produksi”
 Tahap-4. Pergitungan “Harga Pokok Penjualan”

Berikut adalah penjelasan lebih rincinya:


Tahap-1. Perhitungan BAHAN BAKU YANG DIGUNAKAN:

Saldo Awal Persediaan Bahan Baku – Yang dimaksud dengan “saldo awal persediaan bahan
baku” adalah total nilai persediaan bahan baku di awal periode yang dihitung (awal bulan
untuk bulanan dan awal tahun untuk tahunan). Saldo awal periode yang dihitung sama
dengan saldo akhir periode sebelumnya yang secara global bisa dilihat di Neraca, sedangkan
per jenis bahan baku bisa dilihat di buku persediaan (inventory ledger) dan kartu stock.
Cakupan “bahan baku” dalam hal ini termasuk: bahan penolong/pembantu/apapun namanya.

Pembelian Bahan Baku – Yang dimaksud dengan “pembelian bahan baku” dalam hal ini
adalah total pembelian bahan baku (termasuk bahan penolong) NETO selama periode yang
dihitung. Misalnya: “Perhitungan HPP untuk bulan Juni 2012”, berarti total pembelian bahan
baku dari 1 s/d 30 Juni 2012. Jika “Perhitungan HPP untuk Tahun 2012”, berarti total
pembelian bahan baku dari 1 Januari s/d 31 Desember 2012. Bisa dilihat di buku besar
persediaan. Dan “NETO” dalam hal ini artinya: sudah memperhitungkan pengurangan dan
penambahan akibat adanya discount, rabat, dan retur.

Saldo Akhir Persediaan Bahan Baku – Yang dimaksud dengan “saldo akhir persediaan
bahan baku” adalah total nilai persediaan bahan baku (yang tersisa) pada akhir periode yang
dihitung—setelah dilakukan penghitungan fisik dan penyesuaian-penyesuaian.

Bahan Baku yang Digunakan – Yang dimaksud dengan “bahan baku yang digunakan”
dalam hal ini adalah total bahan baku yang diolah (diproduksi) untuk menghasilkan produk
yang diinginkan. Angka ini (Rp 67,000 dalam contoh) diperoleh dengan menggunakan
formula perhitungan seperti yang terlihat pada bagan: saldo awal persediaan bahan baku +
pembelian bahan baku – saldo akhir persediaan bahan.

Tahap-2. Perhitungan TOTAL BIAYA PRODUKSI

Bahan Baku yang Digunakan – Ini pindahan dari perhitungan tahap-1

Biaya Tenaga Kerja Langsung – Yang dimaksud dengan “biaya tenaga kerja langsung”
adalah total upah karyawan/buruh yang pekerjaannya berimplikasi langsung terhadap volume
output produk yang dihasilkan. Angkanya bisa dilihat dari daftar pembayaran gaji untuk
karyawan yang masuk dalam kelompok “tenaga kerja langsung”. Yang masuk dalam
kelompok tenaga kerja langsung adalah pegawai yang dibayar berdasarkan jumlah jam kerja
(yang ada rate per jamnya) atau berdasarkan volume pekejaan yang diselesaikan (biasa
disebut borongan). Sedangkan pegawai bagian produksi di luar kriteria itu, tidak ikut
dihitung.

Overhead Produksi – Overhead ini sering menjadi sumber kebingungan dan simpang-siur.
Begini saja, yang dimaksud dengan “overhead produksi” adalah segala biaya yang
berhubungan dengan aktivitas produksi SELAIN bahan baku dan biaya tenaga kerja langsung
(lihat bahan penjelasan mengenai bahan baku di tahap-1). Termasuk dalam kelompok ini
adalah biaya yang timbul dari aktivitas packaging, pengiriman barang, biaya pemeliharaan
mesin dan peralatan, biaya pemeliharaan gedung pabrik dan gudang, penyusutan mesin dan
peralatan, penyusutan gedung pabrik dan gudang.

Total Biaya Produksi – Yang dimaksud dengan “total biaya produksi” dalam hal ini adalah
semua biaya yang timbul akibat aktivitas produksi yang berlangsung selama periode yang
dihitung—termasuk bahan baku yang digunakan (itu sebabnya mengapa “biaya bahan baku
yang digunakan” dari perhitungan tahap-1 diikutsertakan) ditambah biaya tenaga kerja
langsung dan overhead produksi.

Note: Sampai pada tahap ini, perhitungan telah mencerminkan segala biaya/cost yang timbul
dari aktivitas produksi selama periode yang dihitung, TETAPI belum mengikutsertakan
penggunaan “persediaan barang dalam proses” yang merupakan SISA (saldo akhir) periode
sebelumnya. Itu sebabnya mengapa hasil perhitungan sampai pada tahap-2 ini disebut “Biaya
produksi” saja—BELUM disebut Harga Pokok Produksi. Lanjut ke tahap-3…

Tahap-3. Perhitungan HARGA POKOK PRODUKSI

Total Biaya Produksi – Ini pindahan dari perhitungan tahap-2 (baca note di tahap-1)

Saldo Awal Persediaan Barang Dalam Proses – Yang dimaksud dengan “saldo awal
persediaan barang dalam proses” adalah total nilai persediaan barang dalam proses di awal
periode yang dihitung. Saldo awal periode yang dihitung sama dengan saldo akhir periode
sebelumnya yang secara global bisa dilihat di Neraca, sedangkan rincian per item/jenis
barang bisa dilihat di buku persediaan (inventory ledger) persediaan barang dalam proses.

Saldo Akhir Persediaan Barang Dalam Proses – Yang dimaksud dengan “saldo akhir
persediaan barang dalam proses” adalah total nilai persediaan barang dalam proses (yang
tersisa) pada akhir periode yang dihitung—setelah dilakukan penghitungan fisik dan
penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan.

Harga Pokok Produksi – Yang dimaksud denga “harga pokok produksi” adalah segala
biaya/cost yang timbul dari aktivitas produksi pada masa yang dihitung (itu sebabnya
mengapa total biaya produksi dari hasil perhitungan tahap-2 diikutsertakan) ditambah dengan
saldo awal persediaan barang dalam proses, lalu dikurangi saldo akhirnya.

Note: Ketiga tahap (dari tahap-1 s/d tahap-3) ini sudah mewakili semua biaya/cost yang
timbul dari aktivitas suatu proses manufaktur (pabrikan). Dengan kata lain, mencerminkan
semua biaya/cost yang timbul akibat proses pengolahan dari bahan baku menjadi barang yang
siap untuk dijual. Kasarannya, angka ini mewakili nilai persediaan barang jadi yang berhasil
dibuat selama periode yang dihitung. TETAPI belum mengikutsertakan penggunaan
persediaan barang jadi SISA dari periode sebelumnya. Itu sebabnya mengapa hasil
perhitungan sampai tahap-3 ini disebut “Harga Pokok Produksi” saja—BELUM disebut
Harga Pokok Penjualan. (Untuk menentukan HARGA POKOK PRODUKSI SATUAN,
perhitungan dibuat ditahap ini dengan cara membagi total nilai harga pokok produksi dengan
jumlah output produk yang dihasilkan selama periode tersebut, dibuat per jenis/item produk.)

Tahap-4. Pergitungan HARGA POKOK PENJUALAN (HPP)

Harga Pokok Produksi – Ini pindahan dari perhitungan tahap-3 (baca note di tahap-3)

Saldo Awal Persediaan Barang Jadi – Yang dimaksud dengan “saldo awal persediaan
barang jadi” adalah total nilai persediaa barang jadi di awal periode yang dihitung. Saldo
awal periode yang dihitung sama dengan saldo akhir periode sebelumnya yang secara global
bisa dilihat di Neraca, sedangkan rincian per jenis/item barang bisa dilihat di buku persediaan
(inventory ledger) barang jadi dan kartu stock.
Barang Tersedia Untuk Dijual – Yang dimaksud dengan “barang tersedia untuk dijual”
adalah total nilai persediaan barang jadi—yaitu: barang jadi yang dihasilkan selama periode
yang dihitung ditambah dengan saldo awal persediaan barang jadi (alias sisa barang jadi dari
periode sebelumnya)—yang tersedia atau siap untuk dijual.

Saldo Akhir Persediaan Barang Jadi – Yang dimaksud dengan “saldo akhir barang jadi”
adalah nilai persediaan barang jadi (yang tersisa) di akhir periode yang dihitung—tentunya
setelah melalui penghitungan fisik dan rekonsiliasi (antara fisik barang dan catatan), serta
adjustments yang diperlukan telah dimasukan.

Harga Pokok Penjualan (HPP) – Inilah hasil (angka) yang diperoleh diujung alur proses—
setelah melalui empat tahap penghitungan—untuk menentukan harga pokok penjualan
perusahaan manufaktur.
Apa itu Fraud, Apa Saja Jenis-Modusnya
(Plus Contoh), Di Bag Mana Terjadi?

35 8
7 3491

Fraud, dalam banyak jenis dan modus, sudah menjadi permasalahan klasik di dalam
aktivitas bisnis, sejak dahulu kala hingga kini. Begitu banyak contoh kasus fraud yang
muncul ke permukaan. Bahkan saya pribadi berani mengatakan: tidak ada perusahaan
yang samasekali bebas dari fraud, termasuk perusahaan yang bergerak di bidang jasa
audit dan anti-fraud sekalipun. Di mana ada uang dan kekayaan (baca: aset), di sana
PASTI ada fraud.

Jikapun ada yang mengatakan, “Oh tidak. Di perusahaan saya tidak ada yang namanya
fraud,” itu karena, either mereka belum tahu cakupan fraud itu sampai dimana, atau karena
intensitas dan derajat fraudnya yang lebih halus.

Misalnya: apakah sengaja datang terlambat 30 menit—setelah istirahat—itu termasuk


fraud? Apakah menggunakan komputer dan koneksi internet kantor untuk ber-sosial-media-
ria itu termasuk fraud?

Kita di Indonesia, sudah sangat familiar dengan istilah “KKN” (korupsi, kolusi dan
nepotisme). Apakah perusahaan di luar sana (yang rule of conduct-nya sudah begitu jelas)
aman dari fraud? Ternyata TIDAK. Sebuah headline di Bloomberg, baru-baru ini,
menyebutkan:

Limabelas persen CFO, dalam skala global, bersedia “mengeluarkan dana” untuk
memenangkan kompetisi bisnis atau melanggengkan hegemoni bisnisnya—sesuai dengan
hasil survey yang diselenggarakan oleh Ernst & Young. (Sumber: Bloomberg).

“Mengeluarkan dana” yang dimaksudkan dalam hal ini adalah “bribe” alias menyuap bin
nyogok. Apakah ini tergolong tindakan fraud?

IYA. Itu fraud yang dilakukan oleh manajemen level atas, eksekutif. Di level bawah,
tindakan suap-menyuap juga banyak terjadi. Misalnya:

 Menyuap buying agent untuk memperoleh order (fraud oleh orang marketing).
 Menerima suap dari vendor denga mempercepat proses pembayaran
 Menyuap oknum pemeriksa pajak supaya proses audit dimudahkan
 Menyuap hanggar bea cukai untuk meloloskan barang impor yang dilarang
 Menyuap orang imgrasi agar pelanggaran ijin kerja orang asinya tidak dipermasalahkan
 Dan bentuk-bentuk penyuapan lainnya
Memberikan traktiran kepada staf accounting, supaya mudah dapat cash bond, pun juga
tergolong fraud. Dan tindakan menyuap, hanya salah satu diantara banyak jenis dan modus
fraud yang lainnya.

Di tulisan ini saya akan share mengenai:

 Apa itu fraud?


 Bagaimana caranya menentukan suatu tindakan tergolong farud atau tidak?
 Apa saja jenis-jenis fraud beserta contohnya
 Di bagian mana saja fraud terjadi?
 Fraud dan Profesi Fraud Examiner Di Masa Depan

Note: Supaya lebih fokus, saya batasi pada tindakan fraud yang dilakukan di dalam
perusahaan/institusi saja. Istilah kerennya “internal fraud”. Kita mulai dengan pertanyaan:
apa itu fraud?

Apa itu Fraud? Mengapa Penting Untuk Diketahui?

Sebagai orang accounting, harus tahu apa itu fraud dan jenis-jenis fraud. Mengapa?

 Supaya Bisa Melakukan Antisipasi Dini/Mencegah Fraud – Dengan mengetahui apa itu
fraud beserta jenis-jenisnya, anda menjadi bisa mengenali dan waspada terhadap tindakan
fraud tertentu, sekaligus bisa memberikan respon yang tepat (misal dengan memberikan
teguran atau melaporkannya kepada pihak manajemen).
 Supaya Tidak Terlibat Tindakan Fraud – Namanya saja accounting, ya harus accountable,
bisa dipertanggungjawabkan. ‘Jualan’ kita di akuntansi adalah kepercayaan. Supaya bisa
dipercaya makan segala tindakan kita harus bisa dipertanggungjawabkan. Akan menjadi
tidak lucu, jika seorang staf accounting tanpa sengaja terlibat tindakan fraud, hanya gara-
gara dia tidak tahu apa itu fraud, meskipun di belahan dunia lain, study menunjukan hal yang
ironis (fraud banyak terjadi di bagian accounting).

So, apa itu fraud?

Untuk “standard hunter”—yang menginginkan segala hal (kata-per-kata) berdasarkan


standar, mohon maaf, tidak ada definisi fraud resmi dan standar. Jika diminta mendefinisikan,
maka saya akan mengatakan:

[quote]Fraud adalah tindakan curang, yang dilakukan sedemikian rupa, sehingga


menguntungkan diri-sendiri/kelompok ATAU merugikan pihak lain (perorangan, perusahaan
atau institusi).[/quote]

CGMA menyebutkan:

[quote]Fraud essentially involves using deception to make a personal gain dishonestly for
oneself and/or create a loss for another.[/quote]

Bagaimana caranya mengidentifikasi; apakah suau tindakan tergolong fraud atau tidak?

Dari definisi di atas, bisa kita lihat fraud mengandung beberapa unsur, yaitu:
 Tindakan yang disengaja
 Kecurangan
 Keuntung pribadi/kelompok atau kerugian di pihak lain

Misal, untuk teman-teman mahasiswa: Apakah menyontek saat UAS tergolong tindakan
fraud?

Untuk menguji, kita lihat apakah unsur-unsur di atas terpenuhi:

 Apakah menyontek adalah tindakan yang disengaja? IYA


 Apakah menyontek tergolong curang? IYA
 Apakah menyontek menguntungkan diri-sendiri/kelompok? IYA

Semua unsur terpenuhi, berarti menyontek saat UAS adalah tindakan fraud. Iya dong, jelas
fraud. Tanpa melihat ukuran dan kerugian yang ditimbulkan, asalkan ketiga unsur itu
terpenuhi, maka suatu tindakan sudah bisa dikategorikan sebagai fraud.

Di dalam perusahaan tindakan fraud bisa macam-macam bentuknya. Berikutnya kita lihat
jenis-jenis fraud…

Jenis-jenis Fraud

Seperti sudah saya sampaikan di awal, tulisan ini berfokus pada tindakan fraud di dalam
perusahaan saja (internal fraud).

Oleh Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), internal fraud (tindakan


penyelwengan di dalam perusahaan ata institusi) dikelompokan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:

1. Fraud Terhadap Aset (Asset Misappropriation) – Singkatnya, penyalahgunaan aset


perusahaan (institusi), entah itu dicuri atau digunakan untuk keperluan pribadi—tanpa ijin
dari perusahaan. Seperti kita ketahui, aset perusahaan bisa berbentuk kas (uang tunai) dan
non-kas. Sehingga, asset misappropriation dikelompokan menjadi 2 macam:

 Cash Misappropriation – Penyelewengan terhadap aset yang berupa kas (Misalnya:


penggelapan kas, nilep cek dari pelanggan, menahan cek pembayaran untuk vendor)
 Non-cash Misappropriation – Penyelewengan terhadap aset yang berupa non-kas (Misalnya:
menggunakan fasilitas perusahaan untuk kepentingan pribadi).

2. Fraud Terhadap Laporan Keuangan (Fraudulent Statements) – ACFE membagi jenis


fraud ini menjadi 2 macam, yaitu: (a) financial; dan (b) non-financial. Saya lebih suka
mengatakan: segala tindakan yang membuat Laporan Keuangan menjadi tidak seperti yang
seharusnya (tidak mewakili kenyataan), tergolong kelompok fraud terhadap laporan
keuangan. Misalnya:

 Memalsukan bukti transaksi


 Mengakui suatu transaksi lebih besar atau lebih kecil dari yang seharusnya,
 Menerapkan metode akuntansi tertentu secara tidak konsisten untuk menaikan atau
menurunkan laba
 Menerapkan metode pangakuan aset sedemikian rupa sehingga aset menjadi nampak lebih
besar dibandingkan yang seharusnya.
 Menerapkan metode pangakuan liabilitas sedemikian rupa sehingga liabiliats menjadi
nampak lebih kecil dibandingkan yang seharusnya.

3. Korupsi (Corruption) – ACFE membagi jenis tindakan korupsi menjadi 2 kelompok,


yaitu:

 Konflik kepentingan (conflict of interest) – Saya mengalami kesulitan mencari kalimat yang
paling tepat untuk mendeskripsikan. Contoh sederhananya begini: Seseorang atau kelompok
orang di dalam perusahaan (biasanya manajemen level) memiliki ‘hubungan istimewa’
dengan pihak luar (entah itu orang atau badan usaha). Dikatakan memiliki ‘hubungan
istimewa’ karena memiliki kepentingan tertentu (misal: punya saham, anggota keluarga,
sahabat dekat, dll). Ketika perusahaan bertransaksi dengan pihak luar ini, apabila seorang
manajer/eksekutif mengambil keputusan tertentu untuk melindungi kepentingannya itu,
sehingga mengakibatkan kerugian bagi perusahaan, maka ini termasuk tindakan fraud. Kita
di Indonesia menyebut ini dengan istilah: kolusi dan nepotisme.
 Menyuap atau Menerima Suap, Imbal-Balik (briberies and excoriation) – Suap, apapun
jenisnya dan kepada siapapun, adalah tindakan fraud. Menyupa dan menerima suap,
merupakan tindakan fraud. Tindakan lain yang masuk dalam kelompok fraud ini adalah:
menerima komisi, membocorkan rahasia perusahaan (baik berupa data atau dokumen)
apapun bentuknya, kolusi dalam tender tertentu.

Dari jenis-jenis korupsi di atas saja sudah jelas terlihat, betapa banyaknya macam fraud itu.
Masing-masing jenis fraud bisa terjadi dalam berbagai variasi modus.

Di akhir tulisan nanti saya akan sajikan contoh variasi modus internal fraud yang
lumrah terjadi di perusahaan-perusahaan. Sebagai penutup, saya akan overview fraud
dan profesi fraud examiner di masa depan.

Sebelum ke contoh variasi modus fraud, ada pertanyaan yang menarik untuk dicermati: siapa,
atau lebih tepatnya di bagian mana (di dalam perusahaan) fraud terjadi?

Di Bagian Mana (Dalam Perusahaan) Fraud Terjadi?

Di awal tulisan saya mengatakan fraud terjadi di hampir seluruh perusahaan (dalam skala
apapun). Jika scope-nya dipersempit menjadi dalam satu perusahaan, di bagian mana fraud
terjadi?

Menurut saya, fraud terjadi di semua bagian, dalam kadar dan frekwensi yang berbeda-beda
tentunya. Sayangnya, saya belum pernah menemukan hasil penelitian ilmiah, untuk wilayah
Indonesia, sehubungan dengan topik ini.

Hasil survey trend oleh bagian Forensic and Valuation Services (FVS) oleh pihak AICPA, di
Amerika Serikat sana, menunjukan data sbb:
Contoh-contoh Modus Internal Fraud

Berikut ini adalah beberapa contoh modus internal fraud yang kerap terjadi di dalam
perusahaan atau instutusi, yang saya ambil dari tulisan “FRAUD RISK MANAGEMENT, A
guide to good practice,” oleh Gillian Lees (CIMA, Head of Corporate Governance).

Contoh Modus Fraud Pada Kas (Penyalahgunaan Aset):

 Mencuri dari kas kecil (petty cash)


 Mengambil uang dari kasir.
 Skimming uang tunai sebelum pendapatan rekaman atau piutang (mengecilkan penjualan
atau piutang).
 Mencuri kas/cek masuk dengan mengalihkannya ke rekening pribadi
 Membuat invoice tagihan palsu dengan tanda tangan palsu, seolah-olah itu tagihan dari
vendor, tentunya dengan slip penerimaan barang palsu juga.
 Membuat email permintaan pembayaran palsu, seolah-olah datangnya dari vendor, yang
disusul dengan pengiriman invoice (hardcopy) palsu, dengan approval palsu juga.
 Memanfaatkan semptinya waktu di saat-saat menjelang tutup buku, karyawan nakal
membuat invoice tagihan palsu, seolah-olah itu invoice susulan (ketinggalan)—untuk
mempermudah proses approval pembayaran.
 Pencurian cek perusahaan.
 Pemalsuan cek perusahaan.
 Mengubah nama dan atau nominal cek pembayaran
 Menyetorkan cek ke rekening pihak ketiga tanpa persetujuan manajemen perusahan
 Cek kiting (skema penipuan menggunakan dua rekening deposito untuk menarik uang secara
ilegal dari bank).
 Menggunakan kartu kredit atau procurement card perusahaan secara tidak sah (bukan
untuk kepentingan perusahaan dan tanpa ijin yang berwenang dalam perusahaan).
 Mengubah angka nominal di invoice tagihan ke pelanggan
 Membuat memo kredit palsu untuk seolah-olah mengembalikan pembayaran ke pelanggan.
 Membayar lebihan kepada vendor untuk diam-diam dikompensasikan di penagihan
berikutnya (dan mengantongi pengembalian berikutnya).
 Membuat vendor fiktif untuk membuat tagihan palsu.
 Mensuplai barang ke dalam persuahaan, lalu diam-diam mengubah catatan tagihan internal
perusahaan.
 Mencuri identitas dan password yang bukan wewenangnya, untuk melakukan transaksi
internet banking.

Contoh Modus Fraud Pada Barang Persediaan dan Aktiva Tetap:

 Mencurian barang persediaan perusahaan


 Membuat memo debit untuk akun persediaan, untuk kemudiaan bisa mengeluarkan barang
persediaan
 Mengeluarkan barang dari gudang dalam jumlah yang lebih besar dari packing list (srat jalan)
 Menggelapkan piranti kerja protable (kamera, scanner, keyboard, maouse, monitor,
komputer, laptop, tablet, handphone, dll).
 Mencuri informasi tentang pelanggan yang dirahasiakan oleh perusahaan untuk dijual ke
perusahaan pesaing atau pihak ketiga lainnya.
 Menjual rancangan/desian/atau informasi sehubungan dengan itu, untuk kemudian dijual
kepada perusahaan pesaing atau pihak ketiga lainnya.
 Menerima barang hadiah/gift/souvenir apapu bentuknya dari pemasok, di luar kebijakan
perusahaan, tanpa seijin pihak yang berwenang dalam perusahaan.
 Mengunakan property perusahaan secara tidak sah, untuk kepentingan bukan perusahaan,
tanpa seijin pihak berwenang dalam perusahaan.
 Inside trading (perusahaan dalam perusahaan), menjalankan bisnis pribadi di dalam
persuahaan—entah itu bertindak selaku vendor, pelanggan, atau broker, tanpa persetujuan
dari pihak yang berwenang di dalam perusahaan.

Contoh Modus Fraud Dalam Proses Pembelian

 Mengubah Purchase Request dan Purchase Order (PO) yang sah, tanpa seijin pihak otoritas.
 Menyalin atau memalsukan tandatangan approval Purchase Request dan Purchase Order.
 Memalsukan kelengkapan dokumen tagihan
 Menyalin atau memalsukan tandatangan otorisasi pembayaran
 Mengajukan faktur pembayaran palsu dari pemasok fiktif.
 Mengubah termin pembayaran/kredit yang sah tanpa persetujuan dari pihak yang
berwenang di dalam perusahaan.
 Mengubah daftar harga barang-barang yang dibeli oleh perusahaan
 Menahan pembayaran ke vendor untuk alasan dan kepentingan pribadi.
 Membocorkan informasi kepada vendor sehubungan dengan tender pembelian yang
diselenggarakan oleh perusahaan.
 Memberikan perioritas pembayaran istimewa kepada vendor tertentu, di luar analisa umur
utang—tanpa seijin pihak yang berwenang di dalam perusahaan.

Contoh Modus Fraud Dalam Proses Penggajian:

 Memasukan nama dan identitas karyawan fiktif yang sesungguhnya tidak ada
 Memalsukan atau mengubah jam/hari kerja pegawai—yang dibayar berdasarkan jam atau
hari.
 Memasukan catatan lembur fiktif
 Memotong pembayaran gaji pegawai, seolah-olah hukuman dari perusahaan, untuk
kemudian selisihnya dikantongi sendiri.
 Berkolusi dengan pegawai lain untuk menaikan nominal komisi penjualan
 Menaikan upah/gaji, mengubah rate lembur tanpa instruksi dari pihak yang berwenang.
 Memanipulasi catatan jumlah cuti yang telah diambil
 Mengajukan klaim pembayaran perawatan kesehatan fiktif
 Memalsukan atau mengubah angka nominal klaim penggantian biaya berobat
 Membuat klaim kompensasi pegawai kontrak/borongan untuk pekerjaan yang
sesungguhnya tidak ada.
 Dengan sengaja menunda penghapusan nama pegawai yang berhenti, untuk kemudian
gajinya tetap dibayarkan untuk dikantongi sendiri (kerap terjadi di perusahaan-perusahaan
besar)
 Membayarkan dana tunjangan (kesehatan, asuransi, pendidikan) untuk pegawai yang sudah
berhenti.

Contoh Modus Fraud Pada Laporan Keuangan:

 Dengan sengaja melakukan pengakuan pendapatan terlalu besar/terlalu kecil


 Dengan sengaja tidak melakukan penutupan buku di akhir periode (untuk melakukan
perubahan-perubahan tanpa perlu adjustment)
 Dengan sengaja menaikan nilai penjualan menjelang penutupan buku, untuk kemudian di
ajust setelah periode berlalu.
 Dengan sengaja memundurkan tanggal kontrak (PO) penjualan
 Mencatat penjualan dan pengiriman barang fiktif
 Memasukan nilai penjualan yang lebih besar dari kenyataannya
 Tidak mencatat dan menghilangkan bukti transaksi penjualan agar laba nampak kecil (untuk
penghindaran pajak)
 Dengan sengaja memasukaan jenis penjualan non-operasional ke kelompok pendapatan
opersional, atau sebaliknya.
 Memanipulasi angka diskon atau rabat
 Membuat estimasi barang kembali, melakukan perubahan harga dan jenis konsesi lainnya
 Dengan sengaja tidak mencatat barang retur
 Mengakui pendapatan atas tagihan yang jelas-jelas ditolak oleh pelanggan
 Recognising income on products shipped for trial or evaluation purposes.
 Mengakui pengiriman barang konsinyasi sebagai penjualan putus
 Dengan sengaja menghilangkan bukti transaksi biaya/pendapatan untuk menghindari
pengakuan biaya/pendapatan.
 Dengan sengaja membuat bukti transaksi biaya/pendapatan untuk menaikan atau
menurunkan pendapatan.
 Dengan sengaja tidak mengakui atau menunda kewajiban kontinjensi
 Dengan sengaja menggunakan estimasi persentase pendapatan lebih besar atau lebih kecil
dari yang seharusnya, dari metode pengakuan pendapatan persentase penyelesaian kontrak
 Dengan sengaja mengakui piutang dari pihak yang memiliki hubungan istimewa
 Membuat surat perjanjian tidak sah untuk dijadikan bukti transaksi
 Mengakui pendapatan atas penyelesaian barang yang sesungguhnya tidak akan pernah
dikirimkan ke pelanggan.
 Mencatat adanya pengiriman barang lebih awal (entah sebagian atau seluruhnya), padahal
sesungguhnya barang belum terkirim.
 Mengakui perolehan aset tetap fiktif.
 Mengakui nilai pembelian aset bersih lebih tinggi dari kesepakatan yang sesungguhnya,
dalam proses merger dan akuisisi.
 Mengubah angka nilai wajar aset atas hasil revaluasi
 Mengakapitalisasikan suatu biaya (kedalam aset) yang seharusnya tidak dikapitalisasi.
 Mengakui sewa pembiayaan sebagai biaya sewa, untuk menghindari pengakuan kewajiban
sewa.
 Mensekemakan metode penyusutan atau amortisasi sedemikian rupa sehingga menjadi
lebih besar atau lebih kecil, untuk maksud menaikan nilai aset atau menaikan pendapatan.
 Mengakui goodwill dan aset tak berwujud lainnya dalam nilai yang lebih besar dari yang
seharusnya.
 Mengakui adanya investasi yang sesungguhnya fiktif
 Memanipulasi nilai wajar investasi dari hasil revaluasi yang sah atau dengan sengaja tidak
melakukan revaluasi saat harga pasar instrument invetasi mengalami penurunan
 Mengakui adanya rekening bank dan rekening koran yang sesungguhnya tidak ada
 Menaikan nilai barang bersediaan dengan memasukan barang persediaan fiktif.
 Menggunakan metode penilain barang persediaan yang tidak sesuai (tidak diijinkan oleh
standar).
 Dengan sengaja menggunakan metode penilaian barang persediaan secara tidak konsisten
 Mengakui nilai tagihan lebih besar dari yang sesungguhnya.
 Dengan sengaja mengakrualkan biaya yang sesungguhnya telah terjadi dan nilai nominalnya
sudah diketahui secara pasti (sudah ada tagihan)
 Mengakui nilai utang yang lebih kecil dari yang seharusnya
 Mensekemakan penentuan provisi, cadangan, termasuk penurunan nilai dan translasi mata
uang asing, sedemikian rupa untuk menaikan nilai aset atau menurunkan nilai liabilitas
 Perlakuan atas transaksi inter-company yang tidak sesuai.
 Perlakuan penukaran atau penarikan aset yang tidak sesuai

Contoh Modus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme:

 Memberi perlakuan istimewa kepada pelanggan dan/atau vendor guna memperoleh suap—
yang biasa disebut dengan “balas jasa” (kickback).
 Berkolusi dengan pihak pelanggan/dan atau vendor.
 Menerima suap dari vendor, setelah memberi perlakuan istimewa (yang menguntungkan
vendor).
 Menerima suap atas pemberian kontrak
 Menyetujui pemberian order kepada supplier guna memperoleh suap
 Membayar atau tidak membayar vendor, yang secara langsung-tidak langsung memberi
keuntungan komersial atau bentuk manfaat kompetitif lainnya bagi pada vendor lain, dan
memperoleh suap darinya.
 Menyuap petugas/pejabat pemerintah guna memperoleh perlakuan istimewa atau
keuntungan tertentu (misal: auditor pajak, bea cukai, imigrasi, dll).
 Menerima suap dari perusahaan terakuisisi, sehubungan dengan akuisi bisnis, setelah
memberikan perlakuan istimewa yang menguntungkan bagi perusahaan terakuisisi.
(biasanya oleh senior management)
 Menjual property perusahaan di bawah harga pasar, guna memperoleh suap dari pembeli.
 Membeli property untuk persusahaan guna memperoleh suap dari penjual atau agennya.
 Menjual konsultasi pribadi dengan pihak ketiga yang bergerak di bidang usaha yang sama
atau sejenis.
 Merekrut staf yang memiliki ‘hubungan istimewa’ dengannya, sementara ada kandidat yang
memiliki kualifikasi yang lebih baik.
 Memberikan advise/alih-pengetahuan/training kepada pihak (perusahaan) pesaing, dalam
rangka akan pindah kerja ke sana.
 Mengikutsertakan diri dalam aktivitas anti-trust (menjelek-jelekan) perusahaan
 Mengikutsertakan diri atau berkontribusi (langsung atau langsung) dalam aktivitas politik
secara ilegal.
 Mengancam keselamatan pihak (perusahaan) lain guna memperoleh imbal-balik.
 Menjanjikan keselamatan dan perlindungan bagi kesalahan yang dilakukan oleh orang (pihak
lain) guna memperoleh imbal-balik.
 Mengancam akan membuka rahasia perusahaan atau pihak lain, guna memperoleh imbal-
balik.

Fraud dan Fraud Examiner Di Masa Yang Akan Datang

Tentu saja, yang di atas hanya sebagian dari contoh modus fraud yang terjadi di dalam
perusahaan. Kian hari, orang yang tidak bertanggungjawab kian kreatif dan cerdik. Ditambah
lagi dengan kehadiran prianti berteknologi tinggi, ke depannya fraud akan semakin marak
terjadi. Dengan semakin meningkatnya jumlah dan frekuensi transaksi berbasis internet,
internal fraud mungkin akan mulai bergeser ke eksternal fraud; pencurian (uang, data,
informasi bernilai tinggi) yang dilakukan oleh pihak luar perusahaan.

Melihat penomena fraud yang tak kunjung menurun, dengan jenis-modus fraud yang semakin
pintar dan canggih, rasanya sudah saatnya bagi perusahaan untuk menerapkan sistim
antisipasi fraud yang semakin dimutakhirkan (bukan sekedar sistim pengendalian intern yang
usang).

Note (untuk adik-adik mahasiswa): Profesi ‘fraud examiner‘ ini memiliki prospek yang
sangat menjanjikan. Untuk sektor pemerintah, tentu sudah ada inspektorat jenederal (depkeu)
dan bawasda (daerah), tetapi untuk sektor swasta sampai saat ini, fraud examiner di Indonesia
masih langka (bahkan mungkin belum ada). Di luar sana, sertifikasi dan profesi fraud
examiner sudah banyak tersedia. Saya belum tahu, apakah di Indonesia sudah ada. Jika sudah
ada, coba pertimbangkan untuk mengambil pendalaman profesi ini (selain auditor laporan
keuangan yang sudah umum). Lebih bagus lagi jika dikombinasikan dengan IT Forensic.

Tak kalah pentingnya, dari apa yang sudah saya lihat, seringkali perusahaan sudah
memiliki sistim pengendalian intern yang efektif untuk mendeteksi fraud,
SAYANGNYA BELUM memiliki ‘fraud respon system’ yang memadai. Akibatnya,
fraud terdeteksi, tertangkap, tetapi tidak tahu harus memberlakukannya seperti apa.
Tentu, fraud besar seperti yang dilakukan oleh Melinda D langsung diserahkan ke
kepolisian untuk diproses ke pengadilan, bagaimana dengan fraud yang skalanya lebih
kecil? Apakah pemecatan sudah/belum cukup? Sejauh ini belum ada standard operating
procedure (SOP) yang pasti. Untuk itu, kehadiran ‘fraud respond system’ kiranya
sudah semakin krusial bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia. Menurut anda?
Bagaimana Caranya Mengecilkan Pajak
Penghasilan Pegawai (PPh 21)

31 21
13 350

Mereka yang sudah cukup lama jadi pegawai akuntansi atau konsultan—entah itu
konsultan pajak atau konsultan keuangan korporat—pasti pernah diminta untuk
mengecilkan Pajak Penghasilan Pegawai (PPh 21). Saya pribadi pernah mengalaminya
beberapa kali—klien bertanya: “Apakah PPh 21 bisa dikecilkan?” atau “Bagaimana
caranya mengecilkan pajak penghasilan pegawai?”

Sebagai orang akuntansi yang menjunjung tinggi akuntanbilitas dan mengerti hukum pajak,
sudah pasti merasa tidak nyaman ketika atasan (atau klien) meminta kita mengecilkan pajak,
apapun jenisnya, termasuk pajak yang oleh orang awam disebut sebagai “pajak gaji pegawai”
ini.

Masalahnya, boss/klien memiliki posisi tawar lebih dibandingkan kita. Kasarannya, tingkat
kebutuhan kita terhadap mereka lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat kebutuhan
mereka terhadap kita. Sehingga, permintaan semacam ini membuat kita berada dalam posisi
serba salah. Dengan kata lain “maju kena, mundur kena”.

Di satu sisi, kita tahu persis itu tidak dibenarkan oleh Undang-Undang Pajak, disisi lainnya
kita tidak ingin mengecewakan boss atau klien. Tentu. Bisa saja kita menolak dengan
mengatakan bahwa itu tidak dibolehkan. Tapi, coba simak respon di bawah ini (saya cuplik
dari percakapan dengan klien beberapa bulan yang lalu).

“Saya tahu itu tidak boleh. Masalahnya saya tidak tega melihat pegawai yang gajinya tidak
seberapa masih harus dipotongi pajak.”

See? Mereka (pengusaha) tahu kalau mengecilkan pajak gaji karyawan itu tindakan ilegal,
tetapi mereka punya alasan yang saya pikir termasuk niat baik (meringankan beban
pegawainya). Meskipun demikian, saya melihat alasan yang dikemukakan belum tepat, itu
sebabnya saya katakan:

“Kalau memang kasihan sama pegawai, mestinya anda bisa naikan gajinya atau tanggung
pajaknya. Bukan dengan mengecilkan pajak gaji”.

Saya sarankan begitu, klien jadi berang. Dia mengatakan:

“Lho, harapan saya bukan cuma naikan gaji pegawai atau nanggung pajak mereka. Kalau
bisa, saya ingin menanggung pajak seluruh rakyat Indonesia. Tapi bisnis kan tidak bisa
begitu. Bisa saja saya naikan gaji mereka, tapi mungkin perusahaan tutup sebulan
setelahnya. Saya rasa itu bukan cara yang baik.”

Apa yang dikatakan oleh klien saya itu, ada benarnya. Pada titik tertentu, perusahaan
memang tidak akan sanggup lagi untuk berbuat lebih—terbentur oleh keterbatasan sumber
daya, terutama finansial. Argumen itu menjadi semakin menguat, ketika klien mengatakan:

“Perusahaan mertua saya sudah jalan berpuluh-puluh tahun. Mereka bisa mengecilkan
pajak pegawai, entah bagaimana cara konsultan pajaknya. Yang jelas tak pernah ada
masalah.”

Saya percaya, apa yang dikatakan oleh klien saya itu memang benar: ADA konsultan pajak
yang dengan mudah menuruti permintaan klien seperti itu. Dalam persaingan jasa konsultasi
pajak yang kian-hari-kian tidak kondusif seperti sekarang, tidak mustahil kalau ada konsultan
pajak yang bahkan tidak sekedar menuruti, TETAPI MENGANJURKAN—sebagai bagian
dari promosi. Saya kenal beberapa dari mereka yang melakukan praktek seperti itu.

Apakah, secara teknis, mengecilkan PPh 21 bisa dilakukan?

Yuk kita pindah ke paragraph selanjutnya.

Bagimana Caranya Mengecilkan Pajak Gaji Karyawan


(PPh 21)
Saya bukan konsultan pajak. Tetapi, saya tahu, jawabannya adalah: IYA, secara teknis bisa
dilakukan.

Bagimana caranya?

Note: Sebelum saya bahas lebih jauh, saya merasa perlu memperingatkan agar anda
membaca tulisan saya ini hingga tuntas, paragraph-demi-paraph. Jangan sepotong-supotong,
supaya memperoleh pemahaman yang utuh.

Kembali ke persoalan utama. Besar-kecilnya pajak, apapun jenisnya, ditentukan oleh 2


variable: (1) Tarif; dan (2) Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Demikian halnya dengan PPh 21.

Tarif pajak sudah pasti tidak bisa diubah-ubah, bisa dibilang ini konstanta. Sehingga yang
bisa diubah hanya dasar pengenaan pajaknya—dalam hal ini adalah pendapatan pegawainya,
entah itu berupa gaji, upah, bonus, insentif, gratifikasi, atau apapun itu yang menjadi
pendapatan bagi pegawai (pegawai perusahaan dalam hal ini).

Usaha mengecilkan PPh 21 bisa dilakukan dengan cara mengecilkan pendapatan pegawai.
Kasarannya, gaji pegawai dibuat ‘seolah-olah’ lebih kecil dari yang sebenarnya.

Tentu saja tidak dilakukan dengan cara main ganti angka begitu saja, melainkan dengan
menjalakan serangkian langkah-langkah tertentu—sebut saja prosedur—yang membuat
tindakan mengecilkan PPh 21 tidak ketahuan oleh pemeriksa pajak (auditor dari Ditjen
Pajak). Setidak-tidaknya, membuat menjadi tidak mudah ketahuan.
Bagimana prosedurnya?

Tindakan mengecilkan Pajak Pendapatan Pegawai (PPh 21), memerlukan beberapa tahapan
pekerjaan yang dirancang sedimikian rupa, sehingga tidak (mudah) ketahuan.

Tahapan Pertama: Pekerjaan Di Daftar Gaji dan Upah Pegawai

Langkah-1. Mengcopy file daftar upah dan gaji pegawai. Yang diotak-atik nantinya
adalah file copy-nya, sedangkan file aslinya disimpan di eksternal hardisk.

Langkah-2. Membuka copy file daftar upah dan gaji pegawai di spreadsheet (Excel
misalnya)

Langkah-3. Memisahkan antara gaji/upah pegawai yang DI ATAS Pendapatan-Kena-


Pajak (PTKP) dengan yang DI BAWAH PTKP. Yang di bawah PTKP singkirkan, yang akan
dikecilkan hanya upah/gaji yang di atas PTKP.

Langkah-4. Menentukan pegawai mana yang akan dikecilkan dan berapa. Di titik ini,
orang yang ingin memperkecil PPh 21, pastinya mempertimbangkan banyak hal, tetapi fokus
utamanya sudah pasti: membuat agar tidak ketahuan. Dua pertimbangan utama di langkah ini,
yaitu:

 Mempertimbangkan antara target penurunan jumlah nominal yang diinginkan dengan


potensi ketahuan. Logika dasarnya: makin agresif, maki tinggi nominal yg berhasil dikecilkan,
TETAPI makin besar juga potensi ketahuannya. Demikian sebaliknya. Misalnya: Jika yang
diperioritaskan adalah gaji pegawai yg tinggi, pasti nominal yg bisa dikecilkan jadi lebih
tinggi, tetapi perubahan mencolok pada gaji-gaji yang tinggi mudah terlihat.
 Mempertimbangkan antara target penurunan jumlah nominal yang diinginkan dengan
banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan untuk menutupi. Logikanya masih sama. Jika
yang diperioritaskan adalah yang gajinya tinggi, maka makin sedikit jumlah pegawai yang
gajinya perlu diturunkan, dan makin sedikit juga pekerjaan yang diperlukan untuk menutupi,
TETAPI kemungkinan ketahuannya makin besar. Sebaliknya, jika yang diperioritaskan adalah
pegawai yang gajinya kecil, maka makin banyak jumlah pegawai yang harus ditangani—
sehingga pekerjaan menutupinya juga makin banyak, TETAPI semakin kecil kemungkinannya
untuk ketahuan.

Langkah-5. Mengurangi nilai gaji/upah/bonus/gratifikasi/dll. Setelah melalui


pertimbangan (di langkah-3) dan keputusan sudah diambil, maka angka-angka
gaji/upah/bonus/gratifikasi/dll mulai diotak-atik (intinya dikurangi), sehingga titik nilai
nominal PPh 21 tercapai.

Langkah-6. Sebagai alternative langkah-5 di atas, bisa dilakukan dengan menghapus


daftar pegawai yang pajaknya mau diturunkan. Ini jalan pintas yang paling cepat dan mudah
dilakukan, tetapi tidak bisa dilakukan dalam jumlah yang banyak, karena akan sangat mudah
terlihat.
Tahap Kedua: Pekerjaan Di Slip Gaji

Jika hanya daftar gaji saja yang berubah, sementara slip gaji tidak berubah, maka saat
diperiksa oleh auditor dari Ditjen Pajak, akan mudah ketahuan. Dalam proses audit, besar
kemungkinan pemeriksa meminta arsip slip gaji/upah pegawai.

Pekerjaan di tahapan ini intinya membuat slip gaji/upah GANDA, khusus untuk pegawai
yang pajak gajinya diturunkan. Slip yang satunya mencantumkan nilai nominal aslinya,
sedangkan slip gaji yang satunya lagi mencantumkan nilai nominal yang sesuai dengan daftar
gaji/upah yang sudah diubah-ubah. Slip yang diarsipkan adalah slip yang kedua. Jika ada
nama pegawai yang dihapus dari daftar gaji, otomatis slipnya juga tidak dibuat.

Sampai di tahap ini, daftar gaji/upah dan slip gaji sudah sesuai (matching). Apakah
pekerjaanya sudah selesai? Belum. Masih ada dua tahapan lagi.

Tahap Ketiga: Pekerjaan Di Proses Pembayaran Gaji

Dalam proses akuntansi dan pajak, aspek yang sangat penting sifatnya adalah “arus kas”. Jika
hanya daftar gaji dan slip saja yang matching, tetapi tidak tercermin di arus kas, maka akan
sangat mudah ketahuan saat diperiksa oleh auditor DJP.

Dalam setiap proses audit, audit apapun itu, pemeriksaan arus kas adalah wajib. Dalam hal
ini, dokumen dibandingkan dengan transaksi yang terlihat di kas.

Bagaimana cara mereka (yang mengecilkan PPh 21) membuat agar daftar gaji, slip gaji
dan arus kas menjadi matching?

Setiap gaji/upah yang nilainya diubah, dibayarkan dalam bentuk tunai (tidak via
transfer atau check). Dengan begitu, maka auditor tidak akan bisa melacaknya di rekening
koran. Inilah yang menyebabkan mengapa pertimbangan jumlah pegawai yang pajaknya
diturunkan menjadi penting (Tahap kedua langkah-4), karena membayar gaji dalam bentuk
tunai dengan jumlah pegawai yang banyak, sangat merepotkan.

Langkah penghilangan jejak yang sangat penting di sini adalah: penarikan tunai
dilakukan secara bertahap jauh-jauh hari sebelum tanggal gajian. Dan jumlah yang ditarik
melebihi jumlah gaji yang akan dibayarkan secara tunai. Dengan begitu, maka auditor tidak
akan bisa menghubungkan jumlah nominal penarikan tunai dengan selisih gaji yang
dibayarkan tunai, termasuk tanggalnya. (Ditahap terakhir nanti, anda akan tahu mengapa ini
mereka lakukan.)

Tahap Keempat: Pengalokasian Selisih Kas

Langkah ini adalah finishing yang sangat penting. Mereka yang coba-coba melakukan
tindakan pengecilan PPh 21 tetapi cerboh—tidak melakukan finishing yang bagus, akan
sangat mudah ketahuan. Tindakan di tahap pertama (mengurangi nominal gaji di daftar gaji)
akan menimbulkan selisih saldo kas, sebesar nominal gaji yang dikurangkan. Mereka yang
cerdik mengalokasikan selisih kas ini dengan cerdik juga. Kemana dialokasikan?
Sudah pasti ke beberapa akun yang ada di Laba-Rugi (makin banyak jumlah akun yang
menerima pengalokasian, makin sulit dilacak oleh auditor, dan sebaliknya). Pertanyaanya:
akun mana?

Jika dialokasikan ke akun-akun kelompok ‘Harga Pokok Penjualan’, dampaknya menjadi


sangat luas. Terlalu rumit dan banyak pekerjaan yang harus dilakukan—karena akun-akun ini
bisa berdampak kemana-mana.

Akun yang biasanya dipilih adalah akun-akun yang ada di kelompok biaya-biaya (di luar
HPP). Mereka yang cerboh biasanya mengambil jalan yang termudah, yaitu dialokasikan ke
“Biaya Lain-Lain” atau “Biaya Perjalanan Dinas”. Jika ini yang dilakukan maka
kemungkinan ketahuannya menjadi sangat besar. Mengapa?

Karena auditor Ditjen Pajak sangat tahu bahawa kedua akun ini adalah akun tempat
penampungan transaksi-transaksi yang tidak jelas maksud dan tujuannya, penampungan
selisih-selisih angka atau transaksi-transkasi yang tidak ada notanya. Oleh sebab itu, akun
“Biaya Lain-Lain” dan “Biaya Perjalanan Dinas” adalah priotitas pemeriksaan. Apalagi jika
nilai nominalnya tinggi, sudah pasti mengundang kecurigaan auditor.

Jika auditor tidak memiliki cukup waktu untuk menelusuri transaksi-per-transaksi, maka
besar kemungkinan akun “Biaya Lain-lain” dan “Biaya Perjalanan Dinas” dijadikan koreksi
fiskal positive 100%. Artinya, seluruh biaya di kedua akun ini tidak diakui sebagai biaya,
sehingga laba menjadi naik, otomatis PPh juga naik.

Mereka yang cerdik, mengalokasikan selisih kas atas pengecilan gaji ke akun-akun di luar
“Biaya Lain-Lain” dan “Biaya Perjalanan Dinas”. Tentu, tidak dialokasikan ke Biaya Listrik
atau Biaya Telepon, karena kedua akun ini memiliki bukti transaksi yang tidak bisa diubah.

Setelah dialokasikan, maka dibuatkan bukti transkasi/nota/invoice (palsu pastinya). Tanggal


pembayaran atas nota-nota tersebut dibuat sehari atau dua hari setelah penarikan kas tunai
untuk gaji yang dibayarkan secara tunai (di tahap ketiga). Sekarang anda sudah tahu mengapa
penarikan tunai untuk pembayaran gaji yang dibayarkan secara tunai dilakukan secara
bertahap, jauh-jauh hari sebelum tanggal gajian.

Apakah Mengecilkan PPh 21 Layak Untuk Dilakukan?


Apakah saya sedang mengajarkan dan menganjurkan anda untuk melakukan tindakan
pengecilan pajak penghasilan pegawai atau pajak gaji (PPh 21)?

Jika anda pikir iya, berarti anda salah. Saya justru ingin menununjukan, bahwa:

 Betapa banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan hanya untuk mengecilkan PPh 21 yang
biasanya tidak terlalu besar.
 Betapa repot dan ribetnya pekerjaan yang harus dilakukan setiap bulan selama bertahun-
tahun, untuk melakukan penghindaran pajak.

Belum lagi jika bicara mengenai tekanan mental (akibat pelanggaran etika, moral dan
religiusitas/dosa) yang harus ditanggung oleh pegawai accounting atau pegawai konsultan
yang dipaksa untuk melakukan itu. Tidak bisa dihitung dalam angka.
Secara keseluruhan potensi risiko dan cost yang timbul akibat tindakan itu sangat tidak
sebanding dengan benefit yang ditimbulkan. Apalagi jika itu dilakukan untuk maksud yang
mulia, yaitu: membantu meringkan beban karyawan (orang kecil). Rasanya sangat tidak
rasional.

Itulah yang saya sampaikan kepada klien yang setengah memaksa supaya saya menyetujui
rencananya untuk mengecilkan pajak penghasilan pegawai (PPh 21). Entah dia mengerti
maksud saya atau tidak, yang jelas akhirnya dia membatalkan rencananya.

Anda mungkin juga menyukai