TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Asma
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel
dan elemennya (Bateman et al., 2016). Asma didefinisikan sebagai penyakit
inflamasi kronik saluran napas yang memiliki karakteristik peningkatan responsivitas
dari saluran trakeobronkial terhadap berbagai macam stimulus (Fauci et al., 2008).
Asma adalah penyakit paru dengan karakteristik (Sudoyo et al., 2009) :
1. Obstruksi saluran napas yang reversibel (tetapi tidak lengkap pada beberapa
pasien) baik secara spontan maupun dengan pengobatan
2. Inflamasi saluran napas
3. Peningkatan respon saluran napas terhadap berbagai rangsangan (hipereaktivitas)
Faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit asma dapat dibagi menjadi faktor
pembentuk dan faktor pencetus atau keduanya. Faktor yang membentuk penyakit
asma biasanya merupakan faktor pejamu, dan yang memicu biasanya faktor
lingkungan (Mangunnegoro et al., 2004; Bateman et al., 2016). Bagaimanapun,
mekanisme yang mempengaruhi terbentuk dan timbulnya penyakit asma sangat
kompleks dan interaktif (Bateman et al., 2016). Faktor pejamu disini termasuk
predisposisi genetik yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma yaitu genetik
asma (atopi), hipereaktivitas bronkus, jenis kelamin dan ras (Mangunnegoro et al.,
2004) serta obesitas (Bateman et al., 2016). Atopi merupakan faktor risiko utama
untuk penyakit asma. Atopi sangat erat kaitannya secara genetik untuk menentukan
produksi antibodi imunoglobulin (Ig) E spesifik, yang mana banyak pasien asma
menunjukan riwayat keluarga dengan penyakit alergi (Fauci et al., 2008). Faktor
lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan predisposisi asma untuk
5
6
Kelainan proses inflamasi pada jalan napas terjadi pada pasien dengan asma, yang
melibatkan beberapa sel dan mediator inflamasi dan menghasilkan perubahan
karakteristik patofisiologi (Bateman et al., 2016). Inflamasi saluran napas pada asma
diketahui berhubungan dengan peningkatan responsivitas (hipereaktivitas) jalan napas
(Fauci et al., 2008). Terjadinya inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas diketahui
ada dua jalur yaitu jalur imunologi yang terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf
autonom. Pada jalur IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC
(Antigen Presenting Cells = sel penyaji antigen), untuk selanjutnya hasil olahan
alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th (T helper/penolong) (Sudoyo et al.,
2009). Sel Th inilah yang akan memberikan instruksi untuk membentuk IgE, serta
sel-sel radang lain, seperti mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil,
trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan mediator-mediator inflamasi. Mediator-
mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrien (LT), platelet
activating factor (PAF), bradikinin, tromboksin (TX) dan lain-lain akan
mempengaruhi organ sasaran sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas
dinding vaskuler, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, sekresi mukus dan
fibrosis subepitel, sehingga menimbulkan reaktivitas saluran napas (Sudoyo et al.,
2009; Surjanto dan Purnomo, 2007).
Salah satu konsekuensi inflamasi adalah kerusakan epitel. Pada asma kerusakan
bervariasi dari yang ringan sampai berat. Perubahan struktur ini akan meningkatkan
penetrasi alergen, mediator inflamasi serta mengakibatkan iritasi ujung-ujung saraf
otonom sehingga lebih mudah terangsang. Kerusakan sel-sel epitel bronkus akan
mengakibatkan bronkokonstriksi lebih mudah terjadi (Sudoyo et al., 2009).
7
Pembatasan jalan napas merupakan keadaan akhir menuju timbulnya gejala dan
perubahan fisiologis pada asma. Hiperesponsivitas jalan napas ditandai dengan fungsi
yang abnormal yang menghasilkan penyempitan dari jalan napas, sebagai respon dari
stimulus yang seharusnya tidak mengganggu pada orang normal. Mekanisme yang
terjadi adalah sebagai berikut : (Bateman et al., 2016)
1. Kontraksi otot polos bronkus
Dapat dihasilkan dari peningkatan volume dan atau kontraksi sel-sel otot polos
jalan napas.
2. Kemunculan kontraksi jalan napas
Terjadi karena adanya perubahan pada dinding jalan napas akibat proses inflamasi
(penebalan dinding jalan napas yang menghasilkan penyempitan jalan napas dan
hilangnya kontraksi maksimum jalan napas).
3. Penebalan dinding jalan napas
Terjadi karena adanya edema dan perubahan struktural yang menambah berat
penyempitan jalan napas yang juga disebabkan oleh kontraksi otot polos (Bateman et
al., 2016).
4. Mekanisme Neurologis
Saraf sensorik mungkin tersensitisasi karena inflamasi yang menyebabkan
bronkokonstriksi berlebihan akibat respon terhadap stimulus sensorik (Bateman et al.,
2016). Selain itu pada pasien asma terdapat peningkatan respon saraf parasimpatis
(Fauci et al., 2008).
8
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot polos
bronkus, sumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus (Sudoyo et al.,
2009; Bateman et al.,2016). Obstruksi bertambah berat selama ekspirasi karena
secara fisiologis saluran napas menyempit pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan
udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya
terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional, dan pasien akan
bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (Sudoyo et al.,
2009).
Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara objektif
dengan VEP1 atau APE, sedangkan penurunan KVP menggambarkan derajat
hiperinflasi paru. Penyempitan saluran napas dapat terjadi pada saluran napas yang
besar, sedang, maupun kecil. Gejala mengi menandakan ada penyempitan di saluran
9
napas besar, sedangkan pada saluran napas yang kecil gejala batuk dan sesak lebih
dominan dibanding mengi (Sudoyo et al., 2009).
F. Airway Remodeling
Asma adalah penyakit inflamasi kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran
udara yang reversibel serta hiperesponsivitas saluran napas. Inflamasi yang persisten
pada jaringan saluran napas bisa menyebabkan perubahan struktural yang dikenal
sebagai airway remodeling dan konsekuensinya adalah obstruksi saluran napas
menjadi tidak sepenuhnya reversibel serta terjadi penurunan faal paru dari waktu ke
waktu. Terjadinya obstruksi saluran napas yang menetap bisa jadi merupakan
manifestasi lanjut dan ireversibel dari airway remodeling (Widodo & Djajalaksana,
2012).
Remodeling adalah perubahan ukuran, massa, atau jumlah komponen struktural
jaringan yang terjadi dalam pertumbuhan atau sebagai respons terhadap jejas dan/atau
inflamasi. Perubahan tersebut bisa baik, seperti yang terjadi dalam masa pertumbuhan
paru normal atau sebagai respons terhadap jejas akut, dan bisa juga tidak baik, bila
menjadi kronik dan menyebabkan perubahan fungsi atau struktur jaringan yang
abnormal (Larsson, 2010). Airway remodeling adalah suatu istilah kolektif yang bisa
didefinisikan sebagai perubahan menetap dari struktur saluran napas normal yang
mencakup perubahan dalam komposisi, organisasi, dan fungsi dari sel-sel struktural
(Al-Muhsen et al., 2011; Widodo & Djajalaksana, 2012) Perubahan struktural
tersebut meliputi fibrosis subepitelial, peningkatan massa otot polos, hiperplasia
kelenjar mukosa, serta peningkatan vaskularisasi bronkial. Dengan demikian maka
airway remodeling menimbulkan penebalan dinding saluran napas pada penderita
asma (Widodo & Djajalaksana, 2012).
10
Diagnosis klinis dari asma biasanya dinilai dari gejala klinis seperti sesak napas
yang terjadi secara episodik, bunyi mengi, batuk, dan rasa berat atau terikat di dada,
tidak jarang pula keluhan hanya berupa batuk-pilek yang berulang (Bateman et al.,
2016).
Gejala yang timbul dapat memburuk saat malam hari dan pasien biasanya
terbangun pagi dini hari. Pasien biasanya mengeluhkan kesulitan bernapas. Terdapat
peningkatan produksi mukus pada sebagian pasien dengan tipikal mukus baik yang
mukoid, putih kadang-kadang purulen yang sulit untuk dikeluarkan (Fauci et al.,
2008; Sudoyo et al., 2009). Biasanya terjadi peningkatan ventilasi dan penggunaan
otot-otot bantu pernapasan dalam melakukan ventilasi (Fauci et al., 2008).
H. Diagnosis Asma
H.1. Anamnesis
Penemuan tanda pada pemeriksaan fisik pasien asma tergantung dari derajat
obstruksi saluran napas (Sudoyo et al., 2009). Gejala asma bervariasi sepanjang hari
sehingga pemeriksaan jasmani dapat normal (Mangunnegoro et al., 2004; Bateman et
al., 2016). Kelainan pemeriksaan fisik yang paling sering ditemukan adalah mengi
pada auskultasi. Pada sebagian penderita auskultasi dapat terdengar normal walaupun
pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Pada
keadaan eksaserbasi, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi
bronkus dapat menyumbat saluran napas maka sebagai kompensasi penderita
bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran
napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa
sesak napas, mengi dan hiperinflasi dada (Mangunnegoro et al., 2004; Sudoyo et al.,
2009; Bateman et al., 2016).
Pada eksaserbasi ringan, mengi hanya terdengar waktu ekspirasi paksa. Walaupun
demikian mengi tidak dapat terdengar (silent chest) pada eksaserbasi yang sangat
berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara,
takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas (Mangunnegoro et al., 2004;
Sudoyo et al., 2009; Bateman et al., 2016).
12
Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai : (1) Obstruksi jalan napas; (2)
Reversibilitas kelainan faal paru; (3) Variabilitas faal paru, sebagai penilaian tidak
langsung hiperesponsif jalan napas (Dewan Asma Indonesia, 2011).
G.3.a Spirometri
pada penentuan kapasitas vital. VEP1 juga berguna untuk menilai seberapa cepat
pengosongan paru. Secara normal, seseorang yang sehat seharusnya dapat
menghembuskan 70-80% dari nilai KVP pada satu detik pertama. KVP adalah total
volume yang dapat diekspirasikan sesorang secara paksa setelah inspirasi maksimum.
Kapasitas vital mencerminkan perubahan volume maksimum yang dapat terjadi di
dalam paru (NHANES, 2008). Nilai KVP merupakan parameter faal paru untuk
mengetahui kelainan restriksi atau pengembangan paru. Nilai ini juga digunakan
sebagai pembanding dari nilai volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP ) untuk 1
menentukan obstruksi saluran napas (Dermawan et al, 2013).
Rasio tetap VEP /KVP telah diketahui sebagai kriteria obstruksi saluran napas
yang telah dipakai secara luas dan praktis. Rasio ini menurun secara progresif sesuai
usia dan dipengaruhi oleh menurunnya kemampuan melakukan manuver KVP pada
orang tua (Dermawan et al, 2013).
G.3.b. Arus Puncak Ekspirasi (APE)
Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan yang
lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter). Nilai APE
tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal paru lain, disamping itu
APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat berat obstruksi (Mangunnegoro et
al., 2004).
G.3.c. Uji provokasi bronkus
I. Klasifikasi Asma
J. Pengobatan Asma
Pengontrol yaitu obat-obat yang dipakai setiap hari, dengan tujuan agar gejala
asma persisten tetap terkendali. Termasuk golongan ini yaitu obat-obat anti inflamasi
dan bronkodilator kerja panjang (long acting). Obat-obat anti inflamasi khususnya
kortikosteroid hirup adalah obat yang paling efektif sebagai pencegah. Obat anti
inflamasi dapat mencegah terjadinya inflamasi serta mempunyai daya profilaksis dan
supresi. Pemberian obat-obatan anti inflamasi jangka panjang ternyata perbaikan
gejala asma, perbaikan fungsi paru serta penurunan reaktivitas bronkus lebih baik bila
dibandingkan bronkodilator (Sudoyo et al., 2009).
Termasuk golongan obat pengontrol adalah kortikosteroid hirup, kortikosteroid
sistemik, natrium kromolin, natrium nedokromil, teofilin lepas lambat, agonis beta 2
kerja panjang hirup (salmaterol dan formoterol) dan oral, dan obat-obat anti alergi
(Mangunnegoro et al., 2004; Sudoyo et al., 2009).
J.b. Pelega
kortikosteroid sistemik, antikolinergik hirup, teofilin kerja pendek, agonis beta 2 oral
kerja pendek. (Sudoyo et al., 2009)
Agonis beta 2 hirup (fenoterol, salbutamol, terbutalin, prokaterol) merupakan obat
terpilih untuk gejala asma akut serta diberikan sebelum kegiatan jasmani, dapat
mencegah serangan asma karena kegiatan jasmani, juga dipakai sebagai penghilang
gejala pada asma episodik (Sudoyo et al., 2009).
Instrumen ACT merupakan salah satu instrumen yang valid dan dapat dipercaya
(reliable) direkomendasikan secara internasional, dapat dilakukan oleh pasien sendiri,
sudah tersedia dalam berbagai bahasa dan terdistribusi dalam internet dan dalam
bentuk formulir penilaian yang dapat dilengkapi sebelum atau selama konsultasi
dengan dokter. Sehingga dapat digunakan di lapangan oleh para praktisi kesehatan
(Nathan et al., 2004; Abisheganaden, 2009; Sutoyo, 2011).
Pada ACT terdapat 5 pertanyaan yang harus dijawab pasien dan berdasarkan
jawaban tersebut diberikan skor untuk menilai kondisi asma. Pertanyaan dalam ACT
sesungguhnya merupakan 5 dari 22 pertanyaan yang awalnya dipertanyakan kepada
pasien asma dalam suatu penelitian untuk menilai pertanyaan mana yang dapat
menggambarkan kondisi kontrol asma dengan memperbandingkan pada penilaian
klinis oleh dokter pakar asma dan penilaian fungsi paru dengan spirometri. Lima
pertanyaan dalam ACT merupakan pertanyaan yang mempunyai validitas tertinggi
untuk dapat membedakan derajat kontrol asma (Sutoyo, 2011).
17
Tabel 2.2 Derajat Kontrol Asma berdasarkan GINA 2011 (Bateman et al., 2016)
Kriteria Penilaian Terkontrol Terkontrol Tidak terkontrol
(semua sebagian (minimal
penilaian) salah satu)
Gejala harian/siang Kurang dari 2 kali Lebih dari 2 kali per Didapatkan tiga
per minggu minggu atau lebih kriteria
terkontrol
Gangguan aktivitas Tidak ada Kadang sebagian dalam
seminggu
Gejala Tidak ada Kadang
malam/terbangun
L. Kerangka Teori
Faktor risiko asma
Mediator-mediator inflamasi
Histamin, prostaglandin, leukotrien, bradikinin, tromboksin
Kuesioner ACT
M. Kerangka Konsep
Terkontrol
Tingkat Kontrol Asma
Sebagian
Tidak Terkontrol