Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Asma

Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel
dan elemennya (Bateman et al., 2016). Asma didefinisikan sebagai penyakit
inflamasi kronik saluran napas yang memiliki karakteristik peningkatan responsivitas
dari saluran trakeobronkial terhadap berbagai macam stimulus (Fauci et al., 2008).
Asma adalah penyakit paru dengan karakteristik (Sudoyo et al., 2009) :
1. Obstruksi saluran napas yang reversibel (tetapi tidak lengkap pada beberapa
pasien) baik secara spontan maupun dengan pengobatan
2. Inflamasi saluran napas
3. Peningkatan respon saluran napas terhadap berbagai rangsangan (hipereaktivitas)

B. Faktor Risiko Asma

Faktor yang mempengaruhi terjadinya penyakit asma dapat dibagi menjadi faktor
pembentuk dan faktor pencetus atau keduanya. Faktor yang membentuk penyakit
asma biasanya merupakan faktor pejamu, dan yang memicu biasanya faktor
lingkungan (Mangunnegoro et al., 2004; Bateman et al., 2016). Bagaimanapun,
mekanisme yang mempengaruhi terbentuk dan timbulnya penyakit asma sangat
kompleks dan interaktif (Bateman et al., 2016). Faktor pejamu disini termasuk
predisposisi genetik yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma yaitu genetik
asma (atopi), hipereaktivitas bronkus, jenis kelamin dan ras (Mangunnegoro et al.,
2004) serta obesitas (Bateman et al., 2016). Atopi merupakan faktor risiko utama
untuk penyakit asma. Atopi sangat erat kaitannya secara genetik untuk menentukan
produksi antibodi imunoglobulin (Ig) E spesifik, yang mana banyak pasien asma
menunjukan riwayat keluarga dengan penyakit alergi (Fauci et al., 2008). Faktor
lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan predisposisi asma untuk

5
6

berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan/atau


menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk kedalam faktor lingkungan
yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi
pernapasan, dan diet (Mangunnegoro et al., 2004).

C. Inflamasi Saluran Napas pada Asma

Kelainan proses inflamasi pada jalan napas terjadi pada pasien dengan asma, yang
melibatkan beberapa sel dan mediator inflamasi dan menghasilkan perubahan
karakteristik patofisiologi (Bateman et al., 2016). Inflamasi saluran napas pada asma
diketahui berhubungan dengan peningkatan responsivitas (hipereaktivitas) jalan napas
(Fauci et al., 2008). Terjadinya inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas diketahui
ada dua jalur yaitu jalur imunologi yang terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf
autonom. Pada jalur IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC
(Antigen Presenting Cells = sel penyaji antigen), untuk selanjutnya hasil olahan
alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th (T helper/penolong) (Sudoyo et al.,
2009). Sel Th inilah yang akan memberikan instruksi untuk membentuk IgE, serta
sel-sel radang lain, seperti mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil,
trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan mediator-mediator inflamasi. Mediator-
mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrien (LT), platelet
activating factor (PAF), bradikinin, tromboksin (TX) dan lain-lain akan
mempengaruhi organ sasaran sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas
dinding vaskuler, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, sekresi mukus dan
fibrosis subepitel, sehingga menimbulkan reaktivitas saluran napas (Sudoyo et al.,
2009; Surjanto dan Purnomo, 2007).
Salah satu konsekuensi inflamasi adalah kerusakan epitel. Pada asma kerusakan
bervariasi dari yang ringan sampai berat. Perubahan struktur ini akan meningkatkan
penetrasi alergen, mediator inflamasi serta mengakibatkan iritasi ujung-ujung saraf
otonom sehingga lebih mudah terangsang. Kerusakan sel-sel epitel bronkus akan
mengakibatkan bronkokonstriksi lebih mudah terjadi (Sudoyo et al., 2009).
7

D. Hiperesponsivitas Jalan Napas pada Asma

Pembatasan jalan napas merupakan keadaan akhir menuju timbulnya gejala dan
perubahan fisiologis pada asma. Hiperesponsivitas jalan napas ditandai dengan fungsi
yang abnormal yang menghasilkan penyempitan dari jalan napas, sebagai respon dari
stimulus yang seharusnya tidak mengganggu pada orang normal. Mekanisme yang
terjadi adalah sebagai berikut : (Bateman et al., 2016)
1. Kontraksi otot polos bronkus
Dapat dihasilkan dari peningkatan volume dan atau kontraksi sel-sel otot polos
jalan napas.
2. Kemunculan kontraksi jalan napas
Terjadi karena adanya perubahan pada dinding jalan napas akibat proses inflamasi
(penebalan dinding jalan napas yang menghasilkan penyempitan jalan napas dan
hilangnya kontraksi maksimum jalan napas).
3. Penebalan dinding jalan napas
Terjadi karena adanya edema dan perubahan struktural yang menambah berat
penyempitan jalan napas yang juga disebabkan oleh kontraksi otot polos (Bateman et
al., 2016).
4. Mekanisme Neurologis
Saraf sensorik mungkin tersensitisasi karena inflamasi yang menyebabkan
bronkokonstriksi berlebihan akibat respon terhadap stimulus sensorik (Bateman et al.,
2016). Selain itu pada pasien asma terdapat peningkatan respon saraf parasimpatis
(Fauci et al., 2008).
8

Gambar 2.1. Mekanisme Dasar Patogenesis Asma (Fauci et al., 2008)

E. Obstruksi Saluran Napas pada Asma

Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot polos
bronkus, sumbatan mukus, edema dan inflamasi dinding bronkus (Sudoyo et al.,
2009; Bateman et al.,2016). Obstruksi bertambah berat selama ekspirasi karena
secara fisiologis saluran napas menyempit pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan
udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya
terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional, dan pasien akan
bernapas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (Sudoyo et al.,
2009).
Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara objektif
dengan VEP1 atau APE, sedangkan penurunan KVP menggambarkan derajat
hiperinflasi paru. Penyempitan saluran napas dapat terjadi pada saluran napas yang
besar, sedang, maupun kecil. Gejala mengi menandakan ada penyempitan di saluran
9

napas besar, sedangkan pada saluran napas yang kecil gejala batuk dan sesak lebih
dominan dibanding mengi (Sudoyo et al., 2009).

F. Airway Remodeling

Asma adalah penyakit inflamasi kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran
udara yang reversibel serta hiperesponsivitas saluran napas. Inflamasi yang persisten
pada jaringan saluran napas bisa menyebabkan perubahan struktural yang dikenal
sebagai airway remodeling dan konsekuensinya adalah obstruksi saluran napas
menjadi tidak sepenuhnya reversibel serta terjadi penurunan faal paru dari waktu ke
waktu. Terjadinya obstruksi saluran napas yang menetap bisa jadi merupakan
manifestasi lanjut dan ireversibel dari airway remodeling (Widodo & Djajalaksana,
2012).
Remodeling adalah perubahan ukuran, massa, atau jumlah komponen struktural
jaringan yang terjadi dalam pertumbuhan atau sebagai respons terhadap jejas dan/atau
inflamasi. Perubahan tersebut bisa baik, seperti yang terjadi dalam masa pertumbuhan
paru normal atau sebagai respons terhadap jejas akut, dan bisa juga tidak baik, bila
menjadi kronik dan menyebabkan perubahan fungsi atau struktur jaringan yang
abnormal (Larsson, 2010). Airway remodeling adalah suatu istilah kolektif yang bisa
didefinisikan sebagai perubahan menetap dari struktur saluran napas normal yang
mencakup perubahan dalam komposisi, organisasi, dan fungsi dari sel-sel struktural
(Al-Muhsen et al., 2011; Widodo & Djajalaksana, 2012) Perubahan struktural
tersebut meliputi fibrosis subepitelial, peningkatan massa otot polos, hiperplasia
kelenjar mukosa, serta peningkatan vaskularisasi bronkial. Dengan demikian maka
airway remodeling menimbulkan penebalan dinding saluran napas pada penderita
asma (Widodo & Djajalaksana, 2012).
10

Gambar 2.2 Airway Remodeling pada Asma Kronik

G. Gejala Klinis Asma

Diagnosis klinis dari asma biasanya dinilai dari gejala klinis seperti sesak napas
yang terjadi secara episodik, bunyi mengi, batuk, dan rasa berat atau terikat di dada,
tidak jarang pula keluhan hanya berupa batuk-pilek yang berulang (Bateman et al.,
2016).
Gejala yang timbul dapat memburuk saat malam hari dan pasien biasanya
terbangun pagi dini hari. Pasien biasanya mengeluhkan kesulitan bernapas. Terdapat
peningkatan produksi mukus pada sebagian pasien dengan tipikal mukus baik yang
mukoid, putih kadang-kadang purulen yang sulit untuk dikeluarkan (Fauci et al.,
2008; Sudoyo et al., 2009). Biasanya terjadi peningkatan ventilasi dan penggunaan
otot-otot bantu pernapasan dalam melakukan ventilasi (Fauci et al., 2008).
H. Diagnosis Asma

H.1. Anamnesis

Riwayat penyakit/gejala : (Edisworo, 2009)


1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
2. Gejala berupa batuk, sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
11

3. Gejala timbul/ memburuk terutama malam/dini hari


4. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
5. Respon terhadap pemberian bronkodilator
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit : (Edisworo, 2009)
1. Riwayat keluarga (atopi); (rinitis alergi dan dermatitis atopi)
2. Riwayat alergi/atopi
3. Penyakit lain yang memberatkan
4. Perkembangan penyakit dan pengobatan

H.2. Pemeriksaan Fisik

Penemuan tanda pada pemeriksaan fisik pasien asma tergantung dari derajat
obstruksi saluran napas (Sudoyo et al., 2009). Gejala asma bervariasi sepanjang hari
sehingga pemeriksaan jasmani dapat normal (Mangunnegoro et al., 2004; Bateman et
al., 2016). Kelainan pemeriksaan fisik yang paling sering ditemukan adalah mengi
pada auskultasi. Pada sebagian penderita auskultasi dapat terdengar normal walaupun
pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Pada
keadaan eksaserbasi, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi
bronkus dapat menyumbat saluran napas maka sebagai kompensasi penderita
bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran
napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa
sesak napas, mengi dan hiperinflasi dada (Mangunnegoro et al., 2004; Sudoyo et al.,
2009; Bateman et al., 2016).
Pada eksaserbasi ringan, mengi hanya terdengar waktu ekspirasi paksa. Walaupun
demikian mengi tidak dapat terdengar (silent chest) pada eksaserbasi yang sangat
berat, tetapi biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara,
takikardi, hiperinflasi dan penggunaan otot bantu napas (Mangunnegoro et al., 2004;
Sudoyo et al., 2009; Bateman et al., 2016).
12

G.3. Pemeriksaan Faal Paru

Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai : (1) Obstruksi jalan napas; (2)
Reversibilitas kelainan faal paru; (3) Variabilitas faal paru, sebagai penilaian tidak
langsung hiperesponsif jalan napas (Dewan Asma Indonesia, 2011).
G.3.a Spirometri

Spirometri bermanfaat dalam menegakan diagnosis asma yaitu untuk mengetahui


besarnya obstruksi jalan napas dan reversibilitas dari jalan napas (Mangunnegoro et
al., 2004; Guyton dan Hall, 2008). Cara paling cepat dan sederhana untuk menegakan
diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan
spirometri dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator hirup (inhaler
atau nebulizer) golongan adrenergik beta. Peningkatan VEP sebanyak ≥12% atau (≥
200mL) menunjukan diagnosis asma. Tetapi respons yang kurang dari ≥ 12% atau
(≥200mL) tidak berarti bukan asma. Hal-hal tersebut dapat dijumpai pada pasien
yang sudah normal atau mendekati normal. Demikian pula respons terhadap
bronkodilator tidak dijumpai pada obstruksi saluran napas yang berat, oleh karena
obat tunggal bronkodilator tidak cukup kuat memberikan efek yang diharapkan.
Untuk melihat reversibilitas pada hal yang disebutkan diatas mungkin diperlukan
kombinasi obat golongan adrenergik beta, teofilin, dan bahkan kortikosteroid untuk
jangka waktu pengobatan 2-3 minggu. Pemeriksaan spirometri selain penting untuk
menegakan diagnosis, juga penting untuk menilai beratnya obstruksi dan efek
pengobatan (Sudoyo, 2010).
Untuk menginterpretasikan hasil spirometri pada seseorang, bandingkan hasil
tersebut dengan nilai acuan yang diperoleh dari populasi normal berdasarkan usia,
jenis kelamin, tinggi badan, dan ras/etnis. (NHANES, 2008).
Pengukuran volume VEP1 dan KVP dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa
melalui prosedur yang standar. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio
VEP1/KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi (Mangunnegoro et al., 2004).
VEP1 adalah volume udara yang dapat diekspirasikan selama detik pertama ekspirasi
13

pada penentuan kapasitas vital. VEP1 juga berguna untuk menilai seberapa cepat
pengosongan paru. Secara normal, seseorang yang sehat seharusnya dapat
menghembuskan 70-80% dari nilai KVP pada satu detik pertama. KVP adalah total
volume yang dapat diekspirasikan sesorang secara paksa setelah inspirasi maksimum.
Kapasitas vital mencerminkan perubahan volume maksimum yang dapat terjadi di
dalam paru (NHANES, 2008). Nilai KVP merupakan parameter faal paru untuk
mengetahui kelainan restriksi atau pengembangan paru. Nilai ini juga digunakan
sebagai pembanding dari nilai volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP ) untuk 1
menentukan obstruksi saluran napas (Dermawan et al, 2013).
Rasio tetap VEP /KVP telah diketahui sebagai kriteria obstruksi saluran napas
yang telah dipakai secara luas dan praktis. Rasio ini menurun secara progresif sesuai
usia dan dipengaruhi oleh menurunnya kemampuan melakukan manuver KVP pada
orang tua (Dermawan et al, 2013).
G.3.b. Arus Puncak Ekspirasi (APE)
Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan yang
lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter). Nilai APE
tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal paru lain, disamping itu
APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat berat obstruksi (Mangunnegoro et
al., 2004).
G.3.c. Uji provokasi bronkus

Uji provokasi bronkus membantu menegakan diagnosis asma (Mangunnegoro et


al., 2004). Jika pemeriksaan spirometri normal, untuk menunjukan adanya
hipereaktivitas bronkus dilakukan uji provokasi bronkus (Mangunnegoro et al., 2004;
Sudoyo et al., 2009). Ada beberapa cara untuk melakukan uji provokasi bronkus
seperti uji provokasi dengan histamin, metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin,
larutan garam hipertonik, dan bahkan aqua destilata. Penurunan VEP1 sebesar 20%
atau lebih dianggap bermakna (Mangunnegoro et al., 2004).
14

I. Klasifikasi Asma

Berikut ini merupakan klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis :


Tabel 2.1. Klasifikasi Derajat Asma berdasarkan Gambaran Klinis (Mangunnegoro et
al., 2004)
Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru

I. Intermitten Bulanan APE ≥ 80%


a. Gejala a. ≤ 2x sebulan a. VEP1 ≥ 80% nilai
<1x/minggu prediksi
b. Tanpa gejala APE ≥ 80% nilai terbaik
diluar serangan b. Variabilitas APE < 20%
c. Serangan
singkat

II.Persisten Mingguan a. > 2x sebulan APE > 80%


Ringan a. Gejala a. VEP1 ≥ 80% nilai
>1x/minggu, prediksi
tetapi < 1x/hari APE ≥ 80% nilai terbaik
b. Serangan dapat b. Variabilitas APE 20-
mengganggu 30%
aktivitas dan
tidur
III.Persisten Harian APE 60-80%
Sedang a. Gejala setiap a. > 1x/ seminggu a. VEP1 60-80% nilai
hari prediksi
b. Serangan APE 60-80% nilai
mengganggu terbaik
aktivitas dan b. Variability APE > 30%
tidur
c. Membutuhkan
bronkodilator
setiap hari
IV.Persisten Berat Kontinyu APE ≤ 60%
a. Gejala terus a. Sering a. VEP1 ≤ 60% nilai
menerus prediksi
b. Sering kambuh APE ≤60% nilai terbaik
c. Aktivitas fisik b. Variabilitas APE > 30%
terbatas
15

J. Pengobatan Asma

Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit, disebut sebagai asma


terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu 1 bulan
(Mangunnegoro et al., 2004). Medikasi (obat-obatan) asma ditujukan untuk
mengatasi dan mencegah gejala obstruksi saluran napas, terdiri atas pengontrol dan
pelega (Mangunnegoro et al., 2004; Sudoyo et al., 2009).
J.1. Pengontrol

Pengontrol yaitu obat-obat yang dipakai setiap hari, dengan tujuan agar gejala
asma persisten tetap terkendali. Termasuk golongan ini yaitu obat-obat anti inflamasi
dan bronkodilator kerja panjang (long acting). Obat-obat anti inflamasi khususnya
kortikosteroid hirup adalah obat yang paling efektif sebagai pencegah. Obat anti
inflamasi dapat mencegah terjadinya inflamasi serta mempunyai daya profilaksis dan
supresi. Pemberian obat-obatan anti inflamasi jangka panjang ternyata perbaikan
gejala asma, perbaikan fungsi paru serta penurunan reaktivitas bronkus lebih baik bila
dibandingkan bronkodilator (Sudoyo et al., 2009).
Termasuk golongan obat pengontrol adalah kortikosteroid hirup, kortikosteroid
sistemik, natrium kromolin, natrium nedokromil, teofilin lepas lambat, agonis beta 2
kerja panjang hirup (salmaterol dan formoterol) dan oral, dan obat-obat anti alergi
(Mangunnegoro et al., 2004; Sudoyo et al., 2009).
J.b. Pelega

Obat penghilang gejala yaitu obat-obat yang dapat merelaksasi bronkokonstriksi


dan gejala-gejala akut yang menyertainya dengan segera. (Sudoyo et al., 2009)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki
dan/atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti
mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak untuk memperbaiki inflamasi jalan napas
atau menurunkan hiperesponsif jalan napas (Mangunnegoro et al., 2004). Termasuk
ke dalam golongan ini yaitu agonis beta 2 hirup kerja pendek (short acting),
16

kortikosteroid sistemik, antikolinergik hirup, teofilin kerja pendek, agonis beta 2 oral
kerja pendek. (Sudoyo et al., 2009)
Agonis beta 2 hirup (fenoterol, salbutamol, terbutalin, prokaterol) merupakan obat
terpilih untuk gejala asma akut serta diberikan sebelum kegiatan jasmani, dapat
mencegah serangan asma karena kegiatan jasmani, juga dipakai sebagai penghilang
gejala pada asma episodik (Sudoyo et al., 2009).

K. Asthma Control Test (ACT)

Instrumen ACT merupakan salah satu instrumen yang valid dan dapat dipercaya
(reliable) direkomendasikan secara internasional, dapat dilakukan oleh pasien sendiri,
sudah tersedia dalam berbagai bahasa dan terdistribusi dalam internet dan dalam
bentuk formulir penilaian yang dapat dilengkapi sebelum atau selama konsultasi
dengan dokter. Sehingga dapat digunakan di lapangan oleh para praktisi kesehatan
(Nathan et al., 2004; Abisheganaden, 2009; Sutoyo, 2011).
Pada ACT terdapat 5 pertanyaan yang harus dijawab pasien dan berdasarkan
jawaban tersebut diberikan skor untuk menilai kondisi asma. Pertanyaan dalam ACT
sesungguhnya merupakan 5 dari 22 pertanyaan yang awalnya dipertanyakan kepada
pasien asma dalam suatu penelitian untuk menilai pertanyaan mana yang dapat
menggambarkan kondisi kontrol asma dengan memperbandingkan pada penilaian
klinis oleh dokter pakar asma dan penilaian fungsi paru dengan spirometri. Lima
pertanyaan dalam ACT merupakan pertanyaan yang mempunyai validitas tertinggi
untuk dapat membedakan derajat kontrol asma (Sutoyo, 2011).
17

Tabel 2.2 Derajat Kontrol Asma berdasarkan GINA 2011 (Bateman et al., 2016)
Kriteria Penilaian Terkontrol Terkontrol Tidak terkontrol
(semua sebagian (minimal
penilaian) salah satu)
Gejala harian/siang Kurang dari 2 kali Lebih dari 2 kali per Didapatkan tiga
per minggu minggu atau lebih kriteria
terkontrol
Gangguan aktivitas Tidak ada Kadang sebagian dalam
seminggu
Gejala Tidak ada Kadang
malam/terbangun

Penggunaan obat Kurang dari 2 kali Lebih dari 2 kali per


pelega per minggu minggu

Fungsi paru (PFR Normal <80(%) prediksi atau


atau VEP1) nilai terbaik (jika
diketahui)

Berdasarkan konsensus ini, derajat beratnya asma dikelompokan berdasarkan


intensitas kebutuhan akan terapi sehingga asma menjadi terkontrol penuh. Asma
ringan adalah asma yang dapat terkontrol hanya dengan terapi intensitas rendah
misalnya dengan inhalasi kortikosteroid dosis rendah. Asma berat adalah asma yang
membutuhkan terapi intensitas tinggi atau asma yang tidak terkontrol walaupun telah
menggunakan terapi intensitas tinggi. Instrument lain yang lebih sederhana namun
memiliki validitas tidak jauh berbeda adalah kuesioner ACT. Parameter yang dinilai
adalah gangguan aktivitas harian akibat asma, frekuensi gejala asma, gejala malam,
penggunaan obat pelega dan persepsi terhadap kontrol asma. (Zaini, 2011)
Dalam prakteknya dilapangan, ACT banyak digunakan karena mempunyai
berbagai kelebihan yaitu (Sutoyo, 2011):
a. Mudah digunakan baik oleh pasien, petugas kesehatan maupun dokter
b. Mempunyai cut points untuk membedakan kondisi terkontrol (≥ 20) dan tidak
terkontrol (≤ 19)
18

c. Mempunyai target numerik yang memudahkan dokter dalam menjelaskan kepada


pasien
d. Dapat digunakan dalam penilaian sesaat dan penilaian respons pengobatan
(jangka panjang)
Penggunaan ACT (Sutoyo, 2011):
a. Digunakan pada pasien usia ≥ 12 tahun di praktek klinik
b. Penilaian kontrol asma dilakukan rentang waktu setiap 4 minggu
c. Dilakukan sendiri oleh pasien atau oleh petugas kesehatan maupun dokter dengan
kemudian menjelaskan kepada pasien
Pada fasilitas kesehatan yang memiliki spirometri maka penilaian kontrol asma
dilakukan dengan ACT dan pemeriksaan spirometri.
19

L. Kerangka Teori
Faktor risiko asma

Faktor pejamu Faktor lingkungan


Atopi, hipereaktivitas bronkus, jenis Alergen, sensitisasi lingkungan kerja,
kelamin dan ras, serta obesitas asap rokok, polusi udara, infeksi
pernapasan

Airway Remodeling Inflamasi jalan napas

Mediator-mediator inflamasi
Histamin, prostaglandin, leukotrien, bradikinin, tromboksin

Peningkatan permeabilitas dinding vaskuler, edema saluran napas, infiltrasi sel


radang, sekresi mukus dan, fibrosis subepitel

Hipereaktivitas jalan napas Spasme otot polot bronkus


(bronkokonstriksi), sumbatan mukus,
edema dan inflamasi dinding bronkus
Pencetus
Obstruksi jalan napas

Gangguan ventilasi paru Periode eksaserbasi akut

Uji Spirometri Kontrol asma

Kuesioner ACT

Gambar 2.3 Kerangka Teori Penelitian


20

M. Kerangka Konsep

Pasien asma usia > 12 tahun

Asthma control test Terkontrol Total

Terkontrol
Tingkat Kontrol Asma
Sebagian

Tidak Terkontrol

Gambar 2.4 Kerangka Konsep Penelitian

Anda mungkin juga menyukai