Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahan-bahan alam hayati yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, hewan dan


mikroorganisme telah digunakan oleh umat manusia untuk memenuhi berbagai
keperluan hidup, seperti pangan, sandang, papan, energi, wangi-wangian, zat warna,
insektisida, herbisida dan obat-obatan (Achmad, 2000). Umumnya tumbuhan-tumbuhan
digunakan oleh masyarakat sebagai bahan obat-obatan tradisional yang lazim
disebut sebagai jamu-jamuan. Perkembangannya dapat dikatakan sangat lambat apabila
dibandingkan dengan obat modern yang dihasilkan oleh industri farmasi yang
berkembang sangat pesat sejalan dengan kemajuan dibidang kesehatan (Anonim,
1989).
Keanekaragaman hayati (biodiversity) dapat diartikan sebagai keanekaragaman
kimiawi (Chemodiversity) yang merupakan keanekaragaman senyawa-senyawa
metabolit sekunder. Sumber alam hayati ini adalah keunikan, keunggulan dan harta
bangsa Indonesia yang harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan umat
manusia melalui penyediaan bahan-bahan kimia yang khas Indonesia yang berguna
dalam bioindustri, agroindustri dan industri lainnya (Achmad, 2000).
Senyawa metabolit sekunder mempunyai lebih dari satu gugus fungsi sehingga
tumbuhan tersebut menunjukkan banyak kegunaan dan bioaktivitas karena dapat
berinteraksi dengan lebih dari satu molekul target. Senyawa metabolit sekunder yang
terdapat pada makhluk hidup khususnya tumbuhan merupakan ciri adaptasi yang
dibentuk atau dimodifikasi oleh seleksi alam selama evolusi. Menurut analisis
filogenetik dan sistematik yang didasarkan pada karakter makroskopi dan mikroskopi
menyatakan bahwa senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam satu anggota
famili tumbuhan mempunyai struktur senyawa yang hampir sama (Wink, 2003).
Salah satu senyawa metabolit sekunder adalah senyawa alkaloid dengan
berbagai keanekaragaman struktur, penyebarannya dialam serta mempunyai aktivitas
biologisnya yang sangat penting. Alkaloid adalah senyawa siklik yang mengandung

1
atom nitrogen yang penyebarannya terbatas pada orgnisme hidup. Efek fisiologis
yang kuat dan selektifitas senyawa alkaloid menyebabkan senyawa alkaloid tersebut
sangat bermanfaat dalam hal pengobatan (Marek, 2007).
Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya
dibidang kimia dan farmasi, telah mendorong para peneliti untuk menggali potensi
hutan Indonesia, penelitian dan percobaan ilmiah dibidang ini semakin mendapat
perhatian. Disamping itu, penelitian bermanfaat untuk mencari alternatif dalam hal
pengadaan bahan baku obat, validasi tumbuhan obat tradisional dan mencari
senyawa baru yang dapat dimanfaatkan sebagai model.
Tumbuhan sidaguri (Sida rhombifolia L.) termasuk dalam famili malvaceae
yang merupakan perdu tegak bercabang dengan tinggi mencapai 2 m dengan cabang
kecil berambur rapat dan menurut uji fitokimia tumbuhan ini mengandung senyawa
alkaloid. Tumbuhan ini banyak digunakan oleh masyarakat untuk mengatasi
influenza, demam, radang amandel, radang usus, disentri, sakit kuning, malaria, batu
aluran kencing, cacingan, terlambat haid, sariawan, bisul dan digigit serangga. Akar
dan kulit batang sidaguri sangat kuat sehingga dipakai untuk pembuatan tali
(Dalimarta, 2003).

Dalam tulisan ini akan dilaporkan tentang cara isolasi dan identifikasi senyawa
alkaloid dari daun sidaguri (Sida rhombifolia L.) dan diharapkan dapat diketahui
jenis senyawa alkaloid yang terdapat dalam tumbuhan tersebut serta kemungkinan
pemanfaatannya sebagai sumber obat.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu tanaman sidaguri ?
2. Senyawa alkaloid apa yang terdapat dalam tanaman sidaguri?
3. Bagaimana cara isolasi alkaloid daun sidaguri ?
1.3 Tujuan
1. Mahasiswa mengetahui tumbuhan sidaguri
2. Mahasiswa mengetahui senyawa alkaloid apa yang terdapat dalam tanaman
sidaguri
3. Mahasiswa mengetahui cara isolasi alkaloid daun sidaguri

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi Sidaguri

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Bangsa : Malvales

Suku : Malvaceae

Marga : Sida

Jenis : Sida rhombifolia L..

Nama umum : Sidaguri

Nama daerah : Sumatera ( Saliguri (Minangkabau), Sidaguri (Melayu) ), Jawa ( sidagori


(Sunda), Sidaguri (Jawa Tengah), Taghuri (Madura) ), Nusa Tenggara (Kahindu (Sumba)

3
2.2 Morfologi Tumbuhan Sidaguri

Sidaguri tumbuh liar di tepi jalan, halaman berumput, hutan, ladang, dan di
tempat-tempat dengan sinar matahari cerah atau sedikit berlindung. Tumbuhan tersebar
pada daerah tropis diseluruh dunia dari dataran rendah sampai 1.450 m dpl. Perdu tegak
bercabang ini tingginya dapat mencapai 2 m dengan cabang kecil berambut rapat. Daun
tunggal, bergerigi, ujung runcing, pertulangan menyirip, bagian bawah berambut pendek
warnanya abu-abu, panjang 1,5 - 4 cm, lebar 1 - 1,5 cm. Bunga tunggal bewarna kuning
cerah yang keluar dari ketiak daun, mekar sekitar pukul 12 siang dan layu sekitar tiga jam
kemudian (Dalimarta, 2003).

2.3 Kandungan Zat KimiaTumbuhan Sidaguri

Kandungan kimia daun sidaguri sebagai berikut:


 Bagian daun tumbuhan sidaguri terdapat kandungan kimia alkaloid, kalsium

oksalat, tanin, saponin, phenol, asam amino, minyak atsiri.

 Bagianbatang tumbuhan sidaguri terdapat kandungan kimia kalsium oksalat dan

tanin.

 Bagian akar tumbuhan sidaguriterdapat kandungan kimia alkaloid, steroid dan

efedrin (Tersono, 2006).

2.4 Manfaat Tumbuhan Sidaguri

Herba digunakan untuk mengatasi: influenza, demam, radang amandel


(tonsilitis), difteri, TBC kelenjar (scrofuloderma), radang usus (enteritis), disentri, sakit
kuning (jaundice), malaria, batu saluran kencing, sakit lambung, wasir berdarah, muntah
darah, terlambat haid, dan cacingan, sedangkan akar digunakan untuk mengatasi:
influenza, sesak napas (asma bronkhiale), disentri, sakit kuning, rematik gout, sakit gigi,
sariawan, digigit serangga berbisa, susah buang air besar (sembelit), terlambat haid, dan
bisul yang tak kunjung sembuh, dan bunga digunakan untuk obat luar pada gigitan
serangga. Akar dan kulit sidaguri kuat, dipakai untuk pembuatan tali.. Perbanyakan
dengan biji atau setek batang. Kandungan kimia dari tumbuhan sidaguri, daun
mengandung alkaloid, kalsium oksalat, tannin, asam amino, dan minyak atsiri. Batang

4
mengandung kalsium oksalat dan tannin. Akar mengandung alkaloid, dan steroid
(Dalimarta, 2003).

2.5 Senyawa Alkaloida

Alkaloid, sekitar 5500 telah diketahui, merupakan golongan zat tumbuhan


sekunder yang terbesar. Tidak ada satupun istilah ‘alkaloid’ yang memuaskan, tetapi
pada umumnya alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau
lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari system siklik.
Alkalloid sering sekali beracun bagi manusia dan banyak yang mempunyai kegiatan
fisiologi yang menonjol; jadi digunakan secara luas dalam bidang pengobatan. Alkaloid
biasanya tan warna, sering kali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi
hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotina) pada suhu kamar (Harborne, 1987).

Alkaloida sebagai golongan dibedakan dari sebagian besar komponen tumbuhan


lain berdasarkan sifat basanya. Oleh karena itu senyawa ini biasanya terdapat dalam
tumbuhan sebagai garam berbagai asam organik dan sering dilakukan di laboratorium
sebagai garam dengan asam hidroklorida dan asam sulfat. Garam ini dan alkaloida bebas,
berupa senyawa padat berbentuk kristal tanpa warna. Beberapa alkaloida berupa cairan,
dan alkaloida yang berwarnapun langka (Berberina dan Terpentina berwarna kuning).
Alkaloida sering bersifat aktif optik, dan biasanya hanya satu dari isomer optik yang
dijumpai di alam, meskipun dalam beberapa hal dikenal campuran rasemat, dan pada
kasus lain satu tumbuhan mengandung satu isomer sementara tumbuhan lain
mengandung enantiomernya.

Fungsi dari alkaloida belum dapat dipastikan dengan baik untuk beberapa jenis
alkaloida, walaupun telah kita ketahui bahwa turunan - turunan dari pirimidin, purin dan
pterin memainkan peranan yang sangat baik dalam proses kehidupan manusia. Semua
alkaloida dapat dibuat dari poliketida asam sikimat atau bagian dari senyawa asam
mevalonat yang digabung dengan asam amino, yang secara otomatis dapat memberikan
sebuah sistematisasi yang tinggi secara rumus dan struktural yang akan menghasilkan
suatu senyawa. Dengan kata lainnya, komponen asam amino membentuk karakter dari
alkaloida dan klasifikasinya dapat dibuat dengan baik berdasarkan bentuk morfologinya.

5
Alkaloida juga digunakan sebagai penyebab proses solusi dan biogenetik dibandingkan
dengan beberapa jenis asam amino yang merupakan pembentuk alkaloida, seperti glisin
(di dalam pembentuk N-heterosiklik), asam glutamat, ornitin, lisin, fenilalanin, tirosin,
triptofan dan asam antralin. Kebanyakan alkaloida dapat ditemukan di dalam segala jenis
tumbuhan, dari tumbuhan tingkat tinggi sampai ke mikroorganisme. Beberapa alkaloida
dapat ditemukan dalam hewan, dan alkaloida juga dapat ditemukan di dalam biota laut
(Robinson, 1995). Sejak dahulu kala alkaloida telah digunakan dalam berbagai hal.
Kebanyakan alkaloida digunakan sebagai suatu zat beracun yang dapat menyebabkan
kematian seperti strysin. Strysin telah digunakan sebagai suatu zat pembunuh selama
beberapa abad dan juga merupakan suatu zat yang menyebabkan kematian pada beberapa
jenis unggas. Strysin merupakan suatu zat yang dapat merusak sel-sel tubuh yang
lamakelamaan dapat menyebabkan kematian. Koniin didalam Conium maculatum
digunakan oleh orang-orang Yunani untuk hukuman eksekusi, dan Sokrates adalah
pemimpin Yunani yang sering menggunakannya. Beberapa alkaloida dapat menyebabkan
halusinasi seperti grup opium di dalam Papaver somniferum, turunanturunan dari asam
lisergis dalam tumbuhan Claviceps purpurea, sebuah tumbuhan parasit (Torssell, 1983).

2.6 Klasifikasi Alkaloida

Pada bagian yang memaparkan sejarah alkaloida, jelas kiranya bahwa alkaloida
sebagai kelompok senyawa. Banyak usaha untuk mengklasifikasikan alkaloida. Sistem
klasifikasi yang paling banyak diterima, menurut Hegnauer, alkaloida dikelompokkan
sebagai :

(a) Alkaloida Sesungguhnya.

Alkaloida sesungguhnya adalah racun, senyawa tersebut menunjukkan aktivitas fisiologi


yang luas, hampir tanpa terkecuali bersifat basa, lazim mengandung nitrogen dalam
cincin heterosiklis, diturunkan dari asam amino, biasanya terdapat dalam tanaman
sebagai garam organik. Beberapa pengecualian terhadap aturan tersebut adalah kolkhisin
dan asam aristolokhat yang bersifat bukan basa dan tidak memiliki cincin heterosiklis
dan alkaloida kuartener, yang bersifat agak asam.

6
(b) Protoalkaloida

Protoalkaloida merupakan amin yang relatif sederhana dalam mana nitrogen asam amino
tidak terdapat dalam cincin heterosiklis. Protoalkaloida diperoleh berdasarkan biosintesis
dari asam amino yang bersifat basa. Pengertian amin biologis sering digunakan untuk
kelompok ini. Contoh adalah meskalin, efedrin , dan N, Ndimetiltriptamin.

(c) Pseudoalkaloida

Pseudoalkaloida tidak diturunkan dari prekursor asam amino. Senyawa biasanya bersifat
basa. Ada dua seri alkaloida yang penting dalam klas ini, yaitu alkaloida stereoidal (
konessin, purin dan kaffein ) (Sastrohamijojo, 1996).

Ada juga yang mengklasifikasikan alkaloid berdasarkan bentuk inti dari molekulnya
yeng terdapat di alam, terbagi atas beberapa kelompok, yaitu :

1. Kelompok Feniletilamin

2. Kelompok Pirolidin

3. Kelompok piridin

4. Kelompok quinolin

5. Kelompok isoquinolin

6. Kelompok pirrolidin- piridin

7. Kelompok penantren (Finar, 1983)

Berdasarkan biogenetiknya, senyawa – senyawa alkaloida dapat diklasifikasikan


menjadi :

1. Alisiklik alkaloida, terdiri dari :

- Lupinin alkaloida

- Tropane alkaloida

2. Fenilalanin alkaloida, terdiri dari :

- Papaverin

7
- Morfin

- Amarilis alkaloida

3. Indole Alkaloida, terdiri dari :

- Caly canthin

- Quinin

- Vindolin

-Ajmalin dan Mitrphilin

- Reserpin

- Ibogaine

Dari klasifikasi di atas dapat disimpulkan bahwa belum ada keseragaman dalam
pengklasifikasian senyawa alkaloida (Hendrikson,1965).

8
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Metodologi Penelitian

 Alat
Peralatan yang digunakan terdiri atas berbagai peralatan gelas laboratorium,
alat destilasi, bejana maserasi, kolom kromatografi, corong pisah, neraca

analitik, spektroskopi FT-IR, spektroskopi 1H-NMR.


 Bahan
Bahan dasar yang digunakan adalah daun sidaguri (Sida rhombifolia L.).
Bahan kimia yang digunakan adalah metanol, etilasetat, n-heksana, dietil eter,
kloroform, HCl 2 M, NH4OH pekat, reagent Mayer, reagent Wagner, reagent
dragendorf, silika gel Merck GF254 untuk kromatografi lapis tipis, silika gel
60 (70-230 mesh, E.Merck) untuk kromatografi kolom.
3.2 Prosedur Penelitian
A. Uji Skrining Fitokimia
Untuk mengetahui adanya senyawa alkaloid yang terdapat dalam daun
sidaguri (Sida rhombifolia L.), maka dilakukan uji pendahuluan penapisan golongan
kimia ekstrak daun tersebut (Soetarno dan Soediro, 1997; Depkes RI, 2000) yaitu :
Uji Alkaloid
 Dengan plat KLT, dimana pada plat ditotolkan ekstrak, lalu disemprotkan
dengan reagen Dragendrof. Apabila ada noda yang naik dan memberikan
perubahan warna menjadi orange atau merah, diduga positif alkaloid.
 Dengan metoda ”Culvenor Fitzgerald”, daun segar sebanyak 4 gram dirajaat
halus, dibasahi dengan sedikit alkohol, kemudian ditambahkan sedikit pasir lalu
digerus. Ditambahkan 10 ml kloroform amoniak 0,05 N, digerus lagi. Disaring
dengan kapas, lalu diambil dengan pipet dan dimasukkan kedalam tabung reaksi
besar, ditambahkan 5 ml asam sulfat 2 N lalu dikocok. Lapisan asam diambil
dan dimasukkan kedalam tabung reaksi lalu ditambahkan satu tetes reagen
Mayer. Apabila terbentuk endapan putih berarti positif alkaloid.

9
B. Ekstraksi dan Fraksinasi
Ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi dimana serbuk daun sidaguri (Sida
rhombifolia L.) sebanyak 1 kg dimaserasi dengan metanol (3 x 5L) pada temperatur
kamar dan disaring lalu pelarut diuapkan dari ekstrak metanol dengan rotary
evaporator sehingga diperoleh ekstrak pekat metanol. Terhadap ekstrak metanol ini
dilakukan partisi cair-cair dengan n-heksana. Masing-masing ekstrak dipekatkan
kembali dengan rotary evaporator sehingga diperoleh residu kering dan dilanjutkan
dengan uji skrining fitokimia. Ekstrak metanol ditambahkan HCl 2M hingga
mencapai pH 2 dan didiamkan selama 24 jam, kemudian dicuci dengan dietileter.
Selanjutnya ditambahkan NH4OH pekat sampai pH 9-10, diekstraksi dengan dietileter
dan ekstrak dietileter tersebut diuapkan pelarutnya sehingga diperoleh ekstrak pekat
dietileter.
C. Pemisahan dan Pemurnian
Dari hasil skrining fitokimia dengan menggunakan reagent Mayer dan
reagent Dragendorf terhadap ekstrak dietileter daun sidaguri (Sida rhombifolia L.)
menunjukkan bahwa daun tumbuhan tersebut mengandung senyawa alkaloid.
Ekstrak pekat dietileter yang mengandung senyawa alkaloid kemudian
dipisahkan dengan menggunakan kromatografi kolom. Sebelum dilakukan
kromatografi kolom, terlebih dahulu terhadap fraksi dietileter tersebut dilakukan uji
Kromatografi Lapisan Tipis (KLT) analitik untuk menentukan jenis eluen yang
memiliki pola pemisahan paling baik yang akan digunakan pada kromatografi kolom.
Komposisi pelarut ditentukan berdasarkan pendekatan KLT. Isolasi senyawa
alkaloid dari daun sidaguri dilakukan dengan metoda kromatografi kolom
menggunakan silika gel 60 sebagai fasa diam dan kloroform : metanol sebagai fasa
gerak berdasarkan teknik “step gradient polarity” (SGP). Eluen yang digunakan
adalah kloroform : metanol dengan nilai perbandingan sebagai berikut (90:10;
80:20; 70:30;60:40; 40:60). Eluen ditampung dalam botol vial 5 ml dan dianalisis
dengan KLT. Fraksi-fraksi yang memiliki spot dengan nilai Rf yang sama digabung
dan pelarutnya diuapkan, selanjutnya dilakukan pemurnian.

10
D. Karakterisasi Senyawa Hasil Isolasi
Terhadap senyawa hasil isolasi yang telah murni dilakukan analisis dengan

menggunakan spektrofotometer FT-IR dan 1H-NMR.


3.3 Hasil dan Pembahasan
Hasil maserasi 1 kg serbuk daun sidaguri (Sida rhombifolia L.) dengan
pelarut metanol didapatkan ekstrak kasar metanol sebanyak 120 gram, berbentuk
cairan kental. Ekstrak metanol ini dipartisi dengan campuran pelarut n-heksana
dan air dengan perbandingan n-heksana:air (1:1). Hal ini dilakukan untuk
memisahkan senyawa-senyawa polar dan senyawa non polar. Masing-masing ekstrak
dipekatkan dengan rotary evaporator sehingga diperoleh ekstrak pekat metanol
sebanyak 73 gram setelah diekstraksi dengan dietileter maka diperoleh ekstrak
pekat dietileter sebanyak 45 gram.
Berdasarkan uji KLT terhadap ekstrak dietileter maka didapatkan pola
pemisahan yang paling baik adalah kloroform : metanol dengan perbandingan (7:3).
Tujuan dari mendapatkan identitas noda dengan harga Rf pada uji KLT adalah
untuk mencari pelarut yang akan digunakan pada kromatografi kolom (Markham,
1988).
Isolasi senyawa alkaloid dari daun sidaguri dilakukan dengan metoda
kromatografi kolom menggunakan silika gel 60 sebagai fasa diam dan kloroform :
metanol sebagai fasa gerak berdasarkan teknik “step gradient polarity” (SGP)
agar senyawa- senyawa terpisah berdasarkan derajat kepolarannya.
Hasil kromatografi kolom diperoleh sebanyak 117 fraksi, kemudian
dilakukan penggabungan fraksi- fraksi berdasarkan uji KLT dengan melihat nilai
Rf. Fraksi-fraksi yang memiliki spot dengan nilai Rf yang sama digabung sehingga
didapat 5 fraksi dan pelarutnya diuapkan.
Dari kelima fraksi tersebut dilakukan skrining fitokimia dan fraksi 2 dan 4
menunjukkan hasil positif mengandung senyawa alkaloid. Dalam penelitian ini
hanya fraksi 2 yang dilakukan analisis lebih lanjut. Terhadap fraksi 2 tersebut
dilakukan pemurnian dan diperoleh padatan berwarna kecoklatan sebanyak 59 mg.
Berdasarkan hasil uji kelarutan senyawa ini memiliki kelarutan yang besar dalam
kloroform dan dari hasil KLT dengan menggunakan penampak noda reagent

11
dragendorf diperoleh noda tunggal.
Analisis spektrum FT-IR senyawa hasil isolasi (Gambar 1) menunjukkan

adanya vibrasi ulur N-H pada bilangan gelombang 3395,10 cm-1 dengan pita

serapan yang tajam dan vibrasi regang N-H pada 1508,27 cm-1. Hal ini didukung

oleh spektrum 1H- NMR (Gambar 2) yang menunjukkan adanya satu puncak
melebar pada pergeseran kimia δ 6,47-6,50 ppm yang diduga merupakan gugus NH
pada inti piperidin (Sastrohamidjojo, 1994).

Gambar 1. Spektrum FT-IR senyawa hasil isolasi

Pergeseran kimia pada daerah δ 6,80-7,01 ppm, δ 7,40-7,49 ppm menunjukkan


adanya proton dari cincin aromatis yang terikat pada cincin heterosiklik
(Chamberlain, 1974) yang didukung oleh pita serapan spektrum IR pada bilangan

gelombang 1628,21 dan 1491,27 cm-1 yang merupakan vibrasi C=C aromatik dan
pada pergeseran kimia δ 3,88 ppm terdapat puncak singlet yang diduga dari proton
gugus O-CH3 yang posisinya pada senyawa alkaloid hasil isolasi belum dapat
dipastikan (Jacobs, 1974).

12
Gambar 2. Spektrum 1H-NMR senyawa hasil isolasi

Pergeseran kimia pada daerah δ 1,25 ppm terdapat puncak singlet dengan
intensitas yang tinggi dari proton CH3 yang belum dapat dipastikan jumlahnya. Dan
pergeeran kimia pada daerah 1,38-2,35 ppm terdapat puncak multiplet dari proton CH
dan CH2 yang kemungkinan menunjukk adanya proton CH dan CH2 yang membentuk
cincin alifatis dari piperidin. Hal ini didukung oleh pita serapan pada dari spektrum IR

pada bilangan gelombang 2933,19 cm-1 yang menunjukkan adanya vibrasi ulur C-H

dan pada bilangan gelombang 1448,25 dan 1424,24 cm-1 yang menunjukkan adanya
vibrasi regang CH2 dan CH3.

Berdasarkan data-data spektrum FT-IR dan spektrum 1H-NMR khususnya


dengan adanya serapan gugus NH yang merupakan ciri dari senyawa alkaloid maka
diduga bahwa daun sidaguri (Sida rhombifolia L.) mengandung senyawa metabolit
sekunder yaitu senyawa alkaloid.

13
BAB IV

PENUTUP

KESIMPULAN

1. Hasil isolasi yang diperoleh dari 1 kg daun sidaguri (Sida rhombifolia


L.) adalah padatan kecoklatan sebanyak 59 mg.
2. Berdasarkan uji skrining fitokimia dan analisis spektrum FT-IR dan spectrum
1H-NMR maka disimpulkan bahwa senyawa hasil isolasi adalah senyawa

alkaloid.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Achmad, S.A, 2000, Pemberdayaan Sumber Alam Hayati, Workshop


Pengembangan Sumber Daya Alam Manusia Dalam Bidang Kimia Organik
Bahan Alam Hayati, Padang.
2. Anonim, 1989, Direktorat Pengawasan Obat Tradisional, Departemen Kesehatan,
Jakarta.
3. Chamberlain, N.F., 1974, The Practise of NMR Spectroscopy with Spectra-
Atructure Correlation for Hidrogen, Plenum Press, New York.
4. Dalimarta, S., 2003, Atlas Tumbuhan Obat Indonesia, Jilid ke-2, Cetakan ke-1,
swadaya, Jakarta.
5. Handa, S.S., Rakesh, D.D. and Vasisht, K., 2006, Medicinal and Aromatic
Plants, Vol II, United Nations Industrial Development Organization and The
International Centre for science and High technology, Italy, 56-63.
6. Jacobs, T.L., 1974, Laboratory Practice Organic Chemistry, Fifth Edition, MacMillan
Publishing Co.Inc, New York.
7. Marek,R., Grycova,L., Dostal,J., 2007, Quaternary Protoberberine Alkaloids,
Phytochemistry 68, 150-175.
8. Markham, K.R, 1988, Cara Mengidentifikasi Flavonoid, a.b. Padmawinata.K, Institut
Teknologi Bandung, Bandung.
9. Sastrohamidjojo, H., 1994, Spektroskopi Resonansi Magnetik Inti, Liberty,
Yogyakarta.
10. Soetarno, S., dan Soediro, I.S., 1997, Standarisasi Mutu Simplisia da
Ekstrak Bahan Obat Tradisional, Presidium temu Ilmiah Nasional Bidang
Farmasi.
11. Wink, M., 2003, Evolution of Secondary Metabolites from an Ecological and
Molecular Phylogenetic Perspective, Phytochemistry 64, 3-19.

15

Anda mungkin juga menyukai