Stopsite Garam Desa Jono
Stopsite Garam Desa Jono
Pada stopsite ke 12 ini merupakan tempat pembuatan garam yang apabila dilihat
secara geologi merupakan suatu kenampakan air cebakan formasi (connate water) yang
dimanfaatkan sebagai tambak garam darat dengan jenis garam berupa bleng atau cetitet.
Lokasi
Hidrologi
Keadaan hidrologi atau kondisi air di daerah tambak garam Jono airnya termasuk air
purba. Dimana terjadi jebakan (connate water), yaitu kubah garam besar yang merupakan
hasil aktivitas laut pada zaman purba.
Faktor penyebab terjadinya connate water:
1. Adanya faktor panas: yang disebabkan adanya kontak dengan magmatisme.
2. Adanya proses yang menyebabkan air naik ke atas karena adanya tekanan yang
memanasi air connate atau air fosil tersebut yang mempunyai kandungan garam
yang tinggi.
3. Suhu yang ada di bawah lebih tinggi dari suhu air maksimal yitu 45 C minimal
18 C.
Tanah
Jenis tanah di kawasan Jono adalah regosol dari bahan induk endapan pasir dari pantai
dan endapan fluvial marin di dataran aluvial pantai. Tekstur tanah pasir hingga lempung
berpasir, struktur berbutir tunggal, konsistensi lepas, drainase sedang hingga buruk,
kandungan garam tinggi, kesuburan dan potensi tanah rendah. Tanah ini hanya cocok untuk
lahan tambak, misal: tambak garam maupun tambak bandeng. Daerah ini mempunyai tingkat
kesuburan tanah yang kurang karena tanahnya yang kembang kerut sulit mendapatkan
permukaan tanah yang panas atau dengan suhu yang tinggi pada saat musim
kemarau,sehingga produktifitas pertaniannya rendah.
Kondisi Sosial Masyarakat
Sebagian besar masyarakat di sini bermata pencaharian sebagai petani garam, tetapi
ini bukan merupakan mata pencaharian mereka yang utama. Menurut mereka bertani garam
hanya merupakan pekerjaan sampingan mereka. Pekerjaan mereka yang utama yaitu sebagai
petani padi. Tetapi sebenarnya bidang ini kurang bisa diandalkan Karena tanah disini kurang
subur karena disebakan oleh kandungan garamnya yang tinggi. Walaupun demikian
sebenarnya bertani garam juga kurang bisa diandalkan karena ketersediaan air asin sebagai
bahan baku utamanya tidak selamanya ada. Air asin ini seiring dengan waktu, lama-kelamaan
pastilah akan habis.
Kolam tersebut di tempatkan pada suatu rumah kecil yang sering disebut dengan
klakah. Klakah-klakah ini merupakan milik perseorangan. Dahulunya di sini ada sekitar 400
klakah, tetapi sekarang sudah berkurang, hal ini disebabkan karena berkurangnya air asin
yang merupakan bahan utama dalam pembuatan garam di daerah Jono ini.
Gambar. Klakah-klakah sebagai tempat penyimpanan dan pembuatan air garam.
Kemudian air yang ada di klakah dipindahkan ke bambu-bambu yang telah dipotong
menjadi dua dan kemudian dijemur.
Gambar. Penjemuran air garam di bambu yang telah dipotong menjadi dua.
Kemudian setelah kering akan berubah menjadi kerak-kerak yang rasanya asin.
Kerak-kerak itulah yang diambil atau sudah menjadi garam. Untuk menjemur garam
digunakan media bambu karena harganya yang relatif murah, efisien dan ringan. Bambu-
bambu tersebut dapat dipakai selama satu tahun. Bambu tersebut dipotong menjadi tiga
bagian yaitu bagian atas, tengah, dan bagian bawah. Dalam pembuatannya juga diurutkan
dari bagian bawah yang paling bawah dan seterusnya.
Bambu yang sudah rusak dan tidak dipakai lagi dapat direndam dan dimanfaatkan
untuk membuat gedok. Garam tersebut dalam proses pembuatannya memakan waktu delapan
sampai sepuluh hari menghasilkn kurang lebih 0,5 kwintal dengan harga jual Rp. 800,00 per
kilo dalam keadaan basah. Distribusi penjualan garam ini di pasar sekitar sampai daerah
Nggondong. Biasanya para petani garam disini menjual garam di suatu tempat penampungan
kemudian didistribusikan sampai daerah Solo, Klaten, dan daerah sekitarnya. Dahulu disini
ada suatu koperasi yang anggotanya para petani garam, tetapi sekarang hilang seiring dengan
menyusutnya air asin.