PENDAHULUAN
Kematian ibu adalah kematian seorang wanita terjadi saat hamil, bersalin,
atau 42 hari setelah persalinan dengan penyebab yang berhubungan langsung atau
tidak langsung terhadap persalinan. World Health Organization (WHO)
memperkirakan 800 perempuan meninggal setiap harinya akibat komplikasi
kehamilan dan proses kelahiran. Sekitar 99% dari seluruh kematian ibu terjadi di
negara berkembang. Sekitar 80% kematian maternal merupakan akibat
meningkatnya komplikasi selama kehamilan, persalinan dan setelah persalinan
(WHO, 2014).
Jumlah kematian Ibu relatif menurun pada tahun 2014 dan 2015
dibandingkan pada tahun 2013. Saat ini Angka Kematian Ibu (AKI) mencapai 359
per 100.000 kelahiran hidup, sementara Target RPJMN (Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional) pada tahun 2019 angka kematian ibu adalah 306 per
100.000 kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi (AKB) pada tahun 2012
adalah 32 per 1000 kelahiran hidup dan target RPJMN (Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional) yang ingin dicapai pada tahun 2019 nanti adalah 24
kematian setiap 1000 kelahiran hidup (DepKes RI, 2016).
Kepala Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi Dinas Kesehatan Provinsi
Jawa Barat, Indina Istiyantari menyatakan Angka Kematian Ibu dan Bayi di Jawa
Barat pada 2013 hingga 2014 menurun. Angka kematian ibu di Jawa Barat pada
2013 adalah 781 kasus dan pada tahun 2014 turun menjadi 747 kasus. Penurunan
angka kematian ibu dan bayi di Jawa Barat tersebut, menurut dia, tidak terlepas
dari upaya Pemprov Jawa Barat dalam peningkatan kesehatan dan pelayanan
kesehatan untuk masyarakat. "Salah satunya adalah melalui 'Gerakan
Penyelamatan Ibu dan Bayi Baru Lahir' dengan program Emas atau Expanding
Maternal dan Neonatal Survival ini” (DinKes Prov Jabar, 2014).
Sementara menurut laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Ciamis pada
tahun 2014 Angka Kematian Ibu pada kasus persalinan sejumlah 21 orang, angka
ini menurun pada tahun 2015 yaitu 15 orang (Dinkes Kabupaten Ciamis, 2015).
1
Kebijakan Departemen Kesehatan dalam upaya menurunkan AKI pada
dasarnya mengacu kepada intervensi strategis “Empat pilar Safe Motherhood”.
Salah satunya adalah pilar ketiga yaitu persalinan yang bersih dan aman
dikategorikan sebagai pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan sekitar 80%.
Penyebab kematian ibu adalah komplikasi obstetrik, menurut DepKes RI tahun
2013 menjelaskan sekitar 30% kejadian pada ibu yang mengalami Ketuban Pecah
Dini (KPD) di Indonesia adalah akibat infeksi.
Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) kira-kira 90%
kematian ibu yaitu terjadi di saat persalinan. Angka Kejadian Ketuban Pecah Dini
(KPD) cukup tinggi yaitu 30% dari 100 persalinan. Berdasarkan data yang
diperoleh dari Rekam Medik di RSUD Ciamis jumlah persalinan dengan kasus
Ketuban Pecah Dini (KPD) pada tahun 2015 sejumlah 238 persalinan, pada tahun
2016 jumlah kasus KPD bulan Januari sebanyak 29 persalinan, dan bulan Februari
sebanyak 15 persalinan.
Ketuban Pecah Dini (KPD) didefinisikan sebagai pecahnya ketuban
sebelum waktunya melahirkan. Hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun
jauh sebelum waktunya melahirkan. Komplikasi yang timbul akibat Ketuban
Pecah Dini bergantung pada usia kehamilan. Dapat terjadi infeksi maternal
ataupun neonatal, persalinan prematur, hipoksia karena kompresi tali pusat,
deformitas janin, meningkatnya insiden seksio sesarea, atau gagalnya persalinan
normal (Fadlun dkk, 2011).
Ketuban pecah dini ( KPD) preterm dikaitkan dengan 30-40% kelahiran
prematur dan diidentifikasi penyebab utama kelahiran prematur, dan terjadi pada
sekitar 150.000 kehamilan setiap tahun di Amerika Serikat. Ketika KPD preterm
terjadi, risiko yang signifikan terjadi baik untuk janin dan ibu. Kelahiran prematur
merupakan masalah yang cukup besar mengingat akan besarnya angka morbiditas
dan mortalitas perinatal. Delapan puluh lima persen dari morbiditas dan mortalitas
neonatal dikarenakan akibat prematuritas (Goldenberg, 2000).
Ketuban pecah dini preterm adalah pecahnya selaput ketuban secara
spontan sebelum saatnya persalinan dan terjadi saat usia kehamilan sebelum
mencapai 37 minggu. Adapun beberapa faktor risiko terjadinya ketuban pecah
2
spontan pada kehamilan preterm, antara lain: adanya riwayat persalinan preterm,
infeksi, kehamilan kembar dan solusio plasenta (Cunningham, 2005).
Penyebab Ketuban Pecah Dini (KPD) masih belum diketahui dan tidak
dapat ditentukan secara pasti. Beberapa laporan menyebutkan faktorfaktor yang
berhubungan erat dengan KPD, namun faktor-faktor mana yang lebih berperan
sulit diketahui. Kemungkinan yang menjadi faktor predisposisi adalah infeksi.
Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun infeksi pada
cairan ketuban bisa menyebabkan terjadinya Ketuban Pecah Dini (KPD) (Norma
& Dwi, 2013).
Faktor yang disebutkan memiliki kaitan dengan Ketuban Pecah Dini
(KPD) yaitu riwayat kelahiran prematur, merokok, dan perdarahan selama
kehamilan. Beberapa faktor risiko dari Ketuban Pecah Dini (KPD), antara lain
inkompetensi serviks (leher rahim), polihidramnion (cairan ketuban berlebih),
riwayat Ketuban Pecah Dini (KPD) sebelumya, kelainan atau kerusakan 4 selaput
ketuban, kehamilan kembar, trauma dan infeksi pada kehamilan seperti bakterial
vaginosis (Norma & Dwi, 2013).
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis melakukan asuhan
kebidanan komprehensif. Dari hasil survey yang dilakukan di RSUP
Dr.M.DJAMIL Padang pada tanggal 19 Februari 2018, sehingga penulis tertarik
untuk memberikan asuhan yang berjudul “MANAJEMEN ASUHAN
KEBIDANAN PADA IBU HAMIL NY. “M” G1P0A0H0 GRAVID
PRETERM (30-31 MINGGU) DENGAN KPD DAN OLIGOHIDRAMNION
BERAT DI KEBIDANAN RSUP Dr. M. DJAMIL PADANG PADA
TANGGAL 19 FEBRUARI 2018” Penulis temui praktek selama PKK II.
3
Asuhan Kebidanan secara komprehensif dan mendokumentasikannya
dalam bentuk SOAP.
4
Dapat meningkatkan keterampilan dan pengetahuan dalam proses
manajemen asuhan kebidanan pada ibu hamil gravid preterm dengan KPD
dan oligohidramnion berat sesuai standar profesi.
1.3.2 Bagi Institusi Pendidikan
Laporan ini dapat dijadikan bahan masukan dalam peningkatan dan
pengembangan kurikulum pendidikan Prodi DIII Kebidanan STIKes
MERCUBAKTIJAYA, khususnya Kebidanan dan Pendokumentasian
Asuhan Kebidanan.
Adapun ruang lingkup pada studi kasus ini adalah asuhan kebidanan ibu
hamil yang komprehensif pada Ny. “M” gravid preterm dengan KPD dan
oligohidramnion berat di kebidanan RSUP Dr. M. DJAMIL Padang pada tanggal
19 februari 2018.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
10. usia ibu yang lebih tua mungkin menyebabkan ketuban kurang kuat dari
pada usia muda
11. riwayat hubungan seksual baru-baru ini
12. paritas
13. anemia
14. keadaan sosial ekonomi.
7
yang baru pertama kali melahirkan dimana janin mancapai usia kehamilan 28
minggu atau lebih.
Multipara adalah seorang wanita yang telah mengalami kehamilan
dengan usia 9 kehamilan minimal 28 minggu dan telah melahirkanbuah
kehamilanya 2 kali atau lebih. Sedangkan grande multipara adalah seorang
wanita yang telah mengalami hamil dengan usia kehamilan minimal 28
minggu dan telah melahirkan buah kehamilannya lebih dari 5 kali
(Wikjosastro, 2007).
Wanita yang telah melahirkan beberapa kali dan pernah mengalami
KPD pada kehamilan sebelumnya serta jarak kelahiran yang terlampau dekat
diyakini lebih beresiko akan mengalami KPD pada kehamilan berikutnya
(Helen, 2008).
d. Anemia
Anemia pada kehamilan adalah anemia karena kekurangan zat besi.
Jika persediaan zat besi minimal, maka setiap kehamilan akan mengurangi
persediaan zat besi tubuh dan akhirnya menimbulkan anemia. Pada kehamilan
relatif terjadi anemia karena darah ibu hamil mengalami hemodelusi atau
pengenceran dengan peningkatan volume 30% sampai 40% yang puncaknya
pada kehamilan 32 sampai 34 minggu.
Pada ibu hamil yang mengalami anemia biasanya ditemukan ciri-ciri
lemas, pucat, cepat lelah, mata berkunang-kunang. Pemeriksaan darah
dilakukan minimal dua kali selama kehamilan yaitu pada trimester pertama
dan trimester ke tiga. Dampak anemia pada janin antara lain abortus, terjadi
kematian intrauterin, prematuritas, berat badan lahir rendah, cacat bawaan
dan mudah infeksi. Pada ibu, saat kehamilan dapat mengakibatkan abortus,
persalinan prematuritas, ancaman dekompensasikordis dan ketuban pecah
dini.
Pada saat persalinan dapat mengakibatkan gangguan his, retensio
plasenta dan perdarahan post partum karena atonia uteri (Manuaba, 2009).
Menurut Depkes RI (2005), bahwa anemia berdasarkan hasil pemeriksaan
dapat digolongkan menjadi (1) HB > 11 gr %, tidak anemia, (2) 9-10 gr %
anemia sedang, (3) < 8 gr % anemia berat.
8
e. Perilaku Merokok
Kebiasaan merokok atau lingkungan dengan rokok yang intensitas
tinggi dapat berpengaruh pada kondisi ibu hamil. Rokok mengandung lebih
dari 2.500 zat kimia yang teridentifikasi termasuk karbonmonoksida, amonia,
aseton, sianida hidrogen, dan lain-lain. Merokok pada masa kehamilan dapat
menyebabkan gangguangangguan seperti kehamilan ektopik, ketuban pecah
dini, dan resiko lahir mati yang lebih tinggi (Sinclair, 2003).
f. Riwayat KPD
Pengalaman yang pernah dialami oleh ibu bersalin dengan kejadian
KPD dapat berpengaruh besar pada ibu jika menghadapi kondisi kehamilan.
Riwayat KPD sebelumnya beresiko 2-4 kali mengalami ketuban pecah dini
kembali. Patogenesis terjadinya KPD secara singkat ialah akibat penurunan
kandungan kolagen dalam membran sehingga memicu terjadinya ketuban
pecah dini dan ketuban pecah preterm.
Wanita yang pernah mengalami KPD pada kehamilan atau menjelang
persalinan maka pada kehamilan berikutnya akan lebih beresiko dari pada
wanita yang tidak pernah mengalami KPD sebelumnya karena komposisi
membran yang menjadi rapuh dan kandungan kolagen yang semakin
menurun pada kehamilan berikutnya (Helen, 2008).
g. Serviks yang inkompetensik
Inkompetensia serviks adalah istilah untuk menyebut kelainan pada
otot-otot leher atau leher rahim (serviks) yang terlalu lunak dan lemah,
sehingga sedikit membuka ditengah-tengah kehamilan karena tidak mampu
menahan desakan janin yang semakin besar.
Inkompetensia serviks adalah serviks dengan suatu kelainan anatomi
yang nyata, disebabkan laserasi sebelumnya melalui ostium uteri atau
merupakan suatu kelainan kongenital pada serviks yang memungkinkan
terjadinya dilatasi berlebihan tanpa perasaan nyeri dan mules dalam masa
kehamilan trimester kedua atau awal trimester 11 ketiga yang diikuti dengan
penonjolan dan robekan selaput janin serta keluarnya hasil konsepsi
(Manuaba, 2009).
9
h. Tekanan intra uterm yang meninggi atau meningkat secara berlebihan
Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan
dapat menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini, misalnya :
1. Trauma; berupa hubungan seksual, pemeriksaan dalam, amniosintesis
2. Gemelli Kehamilan kembar adalah suatu kehamilan dua janin atau lebih.
Pada kehamilan gemelli terjadi distensi uterus yang berlebihan, sehingga
menimbulkan adanya ketegangan rahim secara berlebihan.
Hal ini terjadi karena jumlahnya berlebih, isi rahim yang lebih besar dan
kantung (selaput ketuban ) relative kecil sedangkan dibagian bawah tidak
ada yang menahan sehingga mengakibatkan selaput ketuban tipis dan
mudah pecah (Saifudin. 2002)
2.1.5 Diagnosis
Penegakkan diagnosis KPD dapat dilakukan dengan berbagai cara yang
meliputi :
a. Menentukan pecahnya selaput ketuban dengan adanya cairan ketuban di
vagina.
b. Memeriksa adanya cairan yang berisi mekonium, vernik kaseosa, rambut
lanugo dan kadang-kadang bau kalau ada infeksi.
c. Dari pemeriksaan inspekulo terlihat keluar cairan ketuban dari cairan
servikalis. d. Test nitrazin/lakmus, kertas lakmus merah berubah menjadi
biru (basa) bila ketuban sudah pecah.
10
d. Pemeriksan penunjang dengan menggunakan USG untuk membantu dalam
menentukan usia kehamilan, letak janin, berat janin, letak plasenta serta
jumlah air ketuban. Pemeriksaan air ketuban dengan tes leukosit esterase,
bila leukosit darah lebih dari 15.000/mm3 , kemungkinan adanya infeksi
(Sarwono, 2010).
Komplikasi ketuban pecah Dini Komplikasi yang biasa terjadi pada KPD
meliputi ;
a. mudah terjadinya infeksi intra uterin,
b. partus prematur,
c. prolaps bagian janin terutama tali pusat (Manuaba, 2009).
Terdapat tiga komplikasi utama yang terjadi pada ketuban pecah dini yaitu
a. peningkatan morbiditas neonatal oleh karena prematuritas,
b. komplikasi selama persalinan dan kelahiran,
c. resiko infeksi baik pada ibu maupun janin, dimana resiko infeksi karena
ketuban yang utuh merupakan barrier atau penghalang terhadap masuknya
penyebab infeksi (Sarwono, 2010).
11
2.1.8 Penatalaksanaan
12
berhasil akhiri persalinan dengan seksio sesaria.
b. bila skor pelvik > 5 induksi persalinan, partus pervaginam.
13
Selaput amnion merupakan jaringan avaskular yang lentur tetapi kuat.
Bagian dalam selaput yang berhubungan dengan cairan merupakan jaringan sel
kuboid yang asalnya dari ektoderm (Gambar 2). Jaringan ini berhubungan dengan
lapisan interstisial yang mengandung kolagen I, III, dan IV. Bagian terluar dari
selaput adalah jaringan mesenkim yang berasal dari mesoderm yang berhubungan
dengan korion leave.
Cairan amnion mempunyai pH 7,2 dan massa jenis 1,0085. Cairan amnion
biasanya mengandung sedikit partikel padat yang berasal dari kulit fetus (rambut
lanugo, sel epitel, sebasea) dan epitel amnion. Warnanya bisa berubah menjadi
hijau atau coklat jika terkena mekonium. Volume cairan amnion pada kehamilan
14
aterm rata-rata sekitar 800 mL, dengan kisaran dari 400-1500 mL pada kasus
normal. Pada usia kehamilan 10 minggu volume rata-rata ialah 30 mL, 20 minggu
sekitar 300 mL, dan pada 30 minggu sekitar 600 mL. Dengan demikian
peningkatannya per minggu yakni sekitar 30 mL, tetapi ini akan menurun ketika
mendekati aterm (Gambar 4).
Adapun kandungan penting yang terdapat pada cairan amnion ketika
mendekati aterm : natrium 130mmol/l, urea 3-4 mmol/l, protein 3g/l, lesitin 30-
100mg/l, alpha-fetoprotein 0,5-5mg/l, dan hormon serta enzim yang bersifat
bakteriostatik.
15
2.2.3 Etiologi
Penyebab pasti terjadinya oligohidramnion masih belum diketahui.
Namun, oligohidramnion bisa terjadi karena peningkatan absorpsi/kehilangan
cairan (seperti pada: ketuban pecah dini) dan penurunan produksi dari cairan
amnion (seperti pada : kelainan ginjal kongenital, ACE inhibitor, obstruksi uretra,
insufisiensi uteroplasenta, infeksi kongenital, NSAIDs).
Beberapa keadaan yang berhubungan dengan oligohidramnion, antaranya:
a. Pada janin : kelainan kromosom, hambatan pertumbuhan,
kematian, kehamilan postterm
b. Pada placenta : solusio plasenta
c. Pada ibu : hipertensi, preeklamsi, diabetes dalam kehamilan
d. Pengaruh obat : NSAIDs, ACE inhibitor
2.2.4 Patofisiologi
Pecahnya membran adalah penyebab paling umum dari oligohidramnion .
Namun, karena cairan ketuban terutama adalah urine janin di paruh kedua
kehamilan , tidak adanya produksi urin janin atau penyumbatan pada saluran
kemih janin dapat juga menyebabkan oligohidramnion. Janin yang menelan cairan
amnion , yang terjadi secara fisiologis , juga mengurangi jumlah cairan.
Masalah pada klinik ialah pecahnya ketuban berkaitan dengan kekuatan
selaput. Pada perokok dan saat terjadi infeksi terjadi perlemahan pada ketahanan
selaput hingga pecah. Pada kehamilan normal hanya ada sedikit makrofag. Pada
saat kelahiran leukosit akan masuk ke dalam cairan amnion sebagai reaksi
terhadap peradangan. Pada kehamilan normal tidak ada IL-1B, tetapi pada
persalinan preterm IL-1B akan ditemukan. Hal ini berkaitan dengan terjadinya
infeksi.
Pada insufisiensi plasenta dapat terjadi hipoksia janin. Hipoksia janin yng
berlangsung kronis akan memicu mekanisme redistribusi darah. Salah satu
dampaknya adalah terjadi penurunan aliran darah ke ginjal, produksi urin
berkurang, dan terjadilah oligohidramnion.
16
2.2.5 Tanda dan Gejala Klinis
Tanda dan gejala klinis oligohidramnion adalah, pada saat inspeksi uterus
terlihat lebih kecil dan tidak sesuai dengan usia kehamilan yang seharusnya. Ibu
yang sebelumnya pernah hamil dan normal, akan mengeluhkan adanya penurunan
gerakan janin. Saat dilakukan palpasi abdomen, uterus akan teraba lebih kecil dari
ukuran normal dan bagian-bagian janin mudah diraba. Presentasi bokong dapat
terjadi. Pemeriksaan auskultasi normal, denyut jantung janin sudah terdengar
lebih dini dan lebih jelas, ibu merasa nyeri di perut pada setiap gerakan anak,
persalinan lebih lama dari biasanya, sewaktu his/mules akan terasa sakit sekali,
bila ketuban pecah, air ketuban akan sedikit sekali bahkan tidak ada yang keluar.
2.6 Diagnosis
Wanita hamil yang dicurigai mengalami oligohidramnion, harus dilakukan
pemeriksaan ultrasonografi untuk memperkirakan jumlah cairan amnion, dan
memastikan diagnosis oligohidramnion. Oligohidramnion dapat dicurigai bila
terdapat kantong amnion yang kurang dari 2x2 cm, atau indeks cairan pada 4
kuadran kurang dari 5 cm. setelah 38 minggu volume akan berkurang, tetapi pada
postterm oligohidramnion merupakan penanda serius apalagi bila bercampur
mekonium.
Amnionic fluid index (AFI) diukur pertama dengan membagi uterus
menjadi empat kuadran dengan menggunakan linea nigra sebagai divisi kanan dan
kiri, umbilikus untuk kuadran atas dan bawah. Diameter maksimum vertikal
kantong amnion di setiap kuadran yang tidak mengandung tali pusat atau
ekstremitas janin diukur dalam sentimeter; jumlah pengukuran ini adalah AFI.
Sebuah AFI normal adalah 5,1-25 cm, dengan oligohidramnion didefinisikan
sebagai kurang dari 5,0 cm dan polihidramnion karena lebih dari 25 cm (Tabel
2.3).
Tabel 2.2 Kategori Diagnostik Amnionic Fluid Index (AFI)
Volume Cairan Amnion Nilai AFI (cm)
Severe Oligohydramnion ≤5
17
Moderate Oligohydramnion 5.1-8.0
Normal 8.1-24.0
Polyhydramnion >24
18
Pemeriksaan laboratorium pada persalinan prematur dapat membantu
untuk menilai maturitas dari paru-paru fetus sehingga bisa mendeteksi
kemungkinan terjadinyarespiratory distress syndrome. Pemeriksaan dilakukan
dengan menilai rasio lecithin-sphingomyelin (L:S) dan
konsentrasi phosphatidylglycerol (PG).
Selain itu, pada oligohidramnion dapat dilakukan tes SLE (yang
menyebabkan infark pada plasenta dan insufisiensi plasenta). Evaluasi untuk
hemolisis, peningkatan enzim hati, dan rendahnya jumlah platelet (HELLP
syndrome); peningkatan tekanan darah tinggi, proteinuria, peningkatan asam urat,
dan peningkatan fungsi hatim dan rendahnya jumlah platelet juga dapat dilakukan.
2.2.7 Terapi
Pertimbangkan untuk hospitalisasi pada kasus yang didiagnosa setelah usia
kehamilan 26-33 minggu. Jika fetus tidak memiliki anomali, persalinan sebaiknya
dilakukan. Ibu disarankan untuk tirah baring dan hidrasi guna meningkatkan
produksi cairan ketuban dengan meningkatkan ruang intravaskular ibu . Studi
menunjukkan bahwa dengan minum 2 liter air , dapat meningkatkan AFI sebesar
30 % . Jika anomali janin tidak dianggap mematikan atau penyebab
oligohidramnion tidak diketahui, amnioinfusion profilaktik dengan normal
salin, ringer laktat, atau glukosa 5% dapat dilakukan untuk mencegah deformitas
kompresi dan penyakit paru hipoplastik, dan juga untuk memperpanjang usia
kehamilan.
Amnioinfusion adalah pemberian infuse normal salin 0,9% ke dalam uterus
selama persalinan untuk menghindari kompresi pada tali pusat atau untuk
melarutkan mekonium yang bercampur dengan cairan amnion. Studi
menunjukkan bahwa normal salin tidak akan mempengaruhi keseimbangan
elektrolit fetus. Pada kehamilan preterm direkomendasikan menggunakan cairan
hangat, sedangkan untuk kehamilan aterm dianjurkan cairan pada suhu ruangan.
Aminoinfusion dilakukan dengan menggunakanintrauterine pressure
catheter (IUPC). Prosedur melakukannya yakni:
1. menghubungkan kantong cairan infuse ke IV tubing
2. Flush tubing, untuk menghindari masuknya udara ke dalam uterus
19
3. Menjelaskan kepada pasien bahwa prosedur infuse tidak akan
menyakitkan. Insersi IUPC mungkin akan tidak nyaman
4. Menyiapkan sarung tangan steril, lubrikan, IUPC, dan kabel
5. atur IUPC pada tekanan nol atmosfer
6. Setelah IUPC dimasukkan, nilai tonus uterus saat pasien istirahat pada sisi
kiri, kanan, dan punggung, lalu rekam.
7. Pasang IV tubing pada AMNIO port di IUPC.
8. Bolus dengan 250-600 ml, 250 ml akan menghasilkan 6cm kantung cairan
amnion
9. Gunakan infuse pump setelah bolus, maintenance cairan 150-180ml per
jam, yang paling sering digunakan adalah 180 ml per jam. Interpretasinya
dikatakan hasilnya positif jika didapati penurunan keparahan deselerasi,
mekonium berkurang viskositasnya dan warnanya lebih cerah.
Sedangkan dikatakan negatif jika terjadi peningkatan tonus uterus saat
istirahat dan tidak ada peningkatan pada pola DJJ. Kontraindikasi
dari amnioinfusion seperti plasenta previa, korioamnionitis, fetal
anomali, malpresentasi janin, impending delivery, kehamilan multipel,
kelainan uterus, serviks yang tidak berdilatasi, perdarahan pada trimester
III yang tidak terdiagnosa. Adapun komplikasi dari tindakan ini yaitu
hidramnion, prolaps tali pusat, tekanan intra uterus yang tinggi, abruptio
plasenta, infeksi uterus, maternal chilling (karena cairan terlalu dingin),
fetal bradikardi (karena cairan terlalu dingin), fetal takikardi (karena
cairan terlalu panas).
20
Gambar 7. Prosedur amnioinfusion
Pada kehamilan post matur, tinjau ulang mengenai hari pertama haid
terakhir. Jika kehamilan memang benar post term, cara persalinan fetus adalah
dengan induksi atau seksio sesarea. Jika mekonium dijumpai selama persalinan,
terapi aminoinfusion untuk mengurangi resiko gawat janin dan apirasi prenatal.
Ketika ibu hamil memiliki kecenderungan yang tinggi menderita penyakit
maternal, persalinan preterm, atau masalah janin yang membutuhkan fasilitas
kesehatan tertier maka segera rujuk ke pusat tertier.
2.2.8 Komplikasi
Oligohidramnion yang terjadi oleh sebab apapun akan berpengaruh buruk
pada janin. Komplikasi yang sering terjadi adalah PJT, hipoplasia paru,
deformitas pada wajah dan skelet, kompresi tali pusat, dan asipirasi mekonium
pada masa intra partum, dan kematian janin. Deformitas yang dapat terjadi pada
janin misalnya pada amniotic band syndrome , yaitu terjadinya adhesi antara
amnion dengan fetus yang menyebabkan deformitas yang serius termasuk
amputasi pada ektremitas bawah atau deformitas muskuloskeletal akibat kompresi
pada uterus (seperti clubfoot). Resiko infeksi pada fetus meningkat seiring dengan
pecahnya ketuban yang lama.
21
2.2.9 Prognosis
Secara umum, oligohidramnion yang berkembang di awal kehamilan
jarang terjadi dan seringkali memiliki prognosis yang buruk. Saat didiagnosis
pada pertengahan kehamilan, kelainan ini sering berkaitan dengan agenesis renal
(tidak adanya ginjal). Pada agenesis ginjal, angka mortalitasnya mencapai 100%.
Pada renal dysplasia atau obstructive uropathy akan berkaitan erat dengan
hipoplasiapulmoner derajat ringan-sedang (sindrom Potter, yaitu bayi yang
menderita hypoplasia pulmoner) dan gagal ginjal jangka panjang. Dalam kasus
hipoplasia paru , efektivitas pengobatan seperti pemberian surfaktan , ventilasi
frekuensi tinggi , dan oksida nitrat belum diketahui efektivitasnya . Prognosis
dalam kasus ini berkaitan dengan volume cairan ketuban dan usia kehamilan saat
terjadinya oligohidramnion.
Jika terdiagnosis sebelum kehamilan 37 minggu, hal ini kemungkinan
berkaitan dengan abnormalitas janin atau ketuban pecah dini yang menyebabkan
cairan amnion gagal berakumulasi kembali.
1) Riwayat kesehatan
2) Pemeriksaan fisik sesuai dengan kebutuhannya.
22
3) Meninjau catatan terbaru atau catatan sebelumnya.
4) Meninjau data laboratorium dan membandingkannya dengan hasil
studi.
Pada langkah ini dikumpulkan semua informasi yang akurat dari semua
sumber yang berkaitan dengan kondisi klien. Bidan mengumpulkan data
dasar awal yang lengkap.
23
antisipasi, pada langkah ini data dasar yang tidak lengkap dapat dilengkapi.
Rencana asuhan yang menyeluruh tidak hanya meliputi apa yang sudah
diidentifikasi dari kondisi klien atau dari setiap masalah yang berkaitan tetapi
juga dari kerangka pedoman antisipasi terhadap wanita tersebut seperti apa
yang diperkirakan akan terjadi berikutnya.
Pada langkah ini dilakukan evaluasi keefektifan dari asuhan yang sudah
diberikan meliputi pemenuhan kebutuhan akan bantuan apakah benar-benar
telah terpenuhi sesuai dengan kebutuhan sebagaimana telah diidentifikasi
didalam masalah dan diagnosis. Rencana tersebut dapat dianggap efektif jika
memang benar efektif dalam pelaksanaannya. Ada kemungkinan bahwa
sebagian rencana tersebut lebih efektif sebagian belum efektif.
24
(Mencatat hasil pemeriksaan)
A : Analisa
(Mencatat diagnosa, masalah kebidanan dan kebutuhan)
P : Penatalaksanaan
(Mencatat seluruh perencanaan dan penatalaksanaan yang sudah
dilakukan seperti tindakan antisipatif, tindakan segera, tindakan
secara komprehensif, penyuluhan, dukungan, kolaborasi, evaluasi
dan rujukan (Kepmenkes, 938, 2007)
25
BAB III
TINJAUAN KASUS
26
PENDOKUMENTASIAN ASUHAN KEBIDANAN IBU BERSALIN PADA
NY. “E” P2A0H2 DENGAN RETENSIOPLASENTA DI RUANG IGD
RSUD Dr. MUHAMMAD ZEIN PAINAN PADA
TANGGAL 03 OKTOBER 2017
S O A P
Tanggal : 03 oktober 2017
Pukul : 08.00 WIB a. pemeriksaan umum Dianogsa : 1. Menginformasikan pada
1. Keadaan umum : Sedang Ibu P2A0H2, partus kala keluarga atas keadaan ibu
Data subjektif: 2. kesadaran (GCS) III dengan retensio sekarang
1. OS mengatakan E : 4 (spontan) plasenta TD : 100/60 mmHG
melahirkan normal M : 6 (ikuti perintah) Dasar : R : 22x/menit
di BPM “M” pada V : 5 (berorientasi baik) TFU 2 jari dibawah N : 72x/menit
tanggal 03 oktober 3. Tanda-tanda vital pusat S : 36,80C
2017 pukul 02.30 Tekanan darah : 100/60 mmHG Placenta tidak lahir > 30 Ibu ada perdarahan dan
WIB dan dijuruk Pernafasan : 22x/menit menit plasenta belum lahir
ke puskesmas air Nadi : 72x/menit Perdarahan pervaginam Evaluasi : Ibu dan keluarga
haji , kemudian di Suhu : 36,80c ada ±450 cc. sudah mengerti dengan
27
rujuk ke RSUD Dr keadaan ibu saat ini.
b. Pemeriksaan khusus
Muhammad Zein Masalah : 2. Menjelaskan pada ibu
1. Rambut : bersih, tidak ada ketombe
painan karena Plasenta belum lahir terhadap tindakan yang
dan tidak mudah rontok
plasenta tidak setelah 30 menit bayi mungkin dilakukan karena
2. Wajah / muka : tidak ada coasma
lahir. lahir di Puskesmas air plasenta belum lahir,
gravidarum, tidak ada oedema.
2. OS mengatakan ini haji dan plasenta tidak Dan minta surat persetujuan
3. Mata : simetris kiri dan kanan,
kelahiran anaknya lahir juga setelah (informed consent) dari
conjungtiva merah muda dan sklera
yang ke 2 perjalanan menuju suami atau keluarga terhadap
tidak ikterik
3. OS mengeluh RSUD M.ZEIN Painan. tindakan yang akan
4. Telinga : simetris kiri dan kanan,
merasa pusing dilakukan.
ada daun telinga dan lubang telinga
dimulai pada saat Kebutuhan : Evaluasi : ibu dapat
5. Mulut : bersih dan gigi tidak ada
perjalanan ke 1. informed choice mengerti dan suami bersedia
caries.
Rumah sakit. 2. informed consent menandatangani surat
6. Leher : tidak ada pembesaran
3. dukungan psikologis persetujuan.
kelenjar tyroid dan kelenjar limfe.
4. kolaborasi untuk tindakan 3. Berikan dukungan psikologis
7. Payudara :
manual plasenta dan kepada ibu agar ibu tidak
Simetris : kiri dan kanan
therapy lainnya. merasacemas terhadap
Areola mamma : hyperpigmentasi
5. Personal hygiene plasenta yang belum lahir
Papilla mammae : menonjol
6. Pemantauan TTV, TFU, Evaluasi :dukungan
28
Kolostrum : ada kontraksi uterus, kandung psikologis sudah diberikan
8. Abdomen: TFU 2 jari bawah pusat, kemih dan perdarahan . dan ibu pun tidak lagi
kontraksi uterus kuat. merasakan cemas.
9. Ekstremitas : Tindakan Segera : 4. Melakukan kolaborasi
a. Atas : pada tangan kiri dan kanan Manual plasenta dengan SpOG untuk tindakan
terpasang infus RL kolf ke 2 (di manual plasenta
IGD) di guyur pukul 08.00 WIB Diagnosa Potensial : Evaluasi : kolaborasi sudah
dan tidak oedema perdarahan post partum, dilakukan jam 08.15 WIB,
b. Bawah: simetris kiri dan kanan, atonia uteri kemudian dilakukan tindakan
fungsi pergerakan baik, tidak ada Dasar : manual plasenta oleh SpOG
oedema, tidak ada varices, tidak Ibu post partum, pukul 08.20 WIB plasenta
ada tanda-tanda tromboflebitis placenta belum lahir, lahir lengkap dengan cara
serta reflek patella positif kiri dan Kontraksi uterus manual dengan selaputdan
kanan. kotiledon lengkap berat
2. Genitalia : pengeluaran pervaginam plasenta 500 gram, insersi
darah encer berwarna merah, sentrali, panjang tali pusat 50
merembes ± 450 cc . terpasang cm.
kateter dengan jumlah urine 200 5. Melanjutakan terapi
cc. selanjutnya
29
infus RL dan oxytosin :
c. Pemeriksaan Penunjang methergin 1:1
a) Hb : 10,6 gr % ceftriaxone 2 x 1 gr
b) Leukosit : 21,800 sel/mm3 dengan cara skin test
c) Trombosit :327.000 sel/mm3 Evaluasi :orderan dokter
d) Hematokrit : 30 % sudah diberikan
e) Pemeriksaan USG : tidak ada 6. bersihkan ibu dan lakukan
vulva hygiene setelah
plasenta dilahirkan
Evaluasi : ibu sudah
dibersihkan dan sudah
dilakukan vulva hygiene.
7. melakukan pemantauan kala
IV satu jam pertama di IGD
Evaluasi : pemantauan kala
IV satu jam pertama sudah
dilakukan hasil pemantauan :
08.35 WIB
TD : 110/70 mmHg
30
N : 86 x/i
P : 20 x/i
S : 36,7 c
TFU : 2 jri dibawah pusat
kontaksi uterus : baik
Kandung kemih : kosong
Perdarahan : ±100 cc
08.50 WIB
TD : 110/70 mmHg
N : 88 x/i
P : 20 x/i
TFU : 2 jri dibawah pusat
kontaksi uterus : baik
Kandung kemih : kosong
Perdarahan : ±100 cc
09.05 WIB
TD : 120/80 mmHg
N : 88 x/i
P : 21 x/i
31
TFU : 2 jri dibawah pusat
kontaksi uterus : baik
Kandung kemih : kosong
Perdarahan : ±100 cc
09.20WIB
TD : 120/80 mmHg
N : 85 x/i
P : 21 x/i
TFU : 2 jri dibawah pusat
kontaksi uterus : baik
Kandung kemih : kosong
Perdarahan : ±100 cc
8. pukul 09.30 WIB pasien
dipindahkan kerawat gabung
di bangsal kebidanan untuk
perawatan dan pemantauan
selanjutnya.
Evaluasi : pasien telah
diantar kerawat gabung
32
bangsal kebidanan..
9. Mendokumentasikan semua
hasil pemeriksaan dan
asuhan yang telah diberikan.
Evaluasi : hasil pemeriksaan
dan asuhan telah
didokumentasikan dengan
metoda SOAP.
33
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
RETENSIO PLASENTA 34
4.2Interpretasi Data
Setelah dilakukan pengumpulan data dasar dari pasien Ny “E” dan telah
dilakukan berbagai pemeriksaan maka di dapatkan :
Diagnosa
Diagnosa pasien adalah Ibu partus kala III dengan retensio plasenta.Ini sesuai
dengan tinjauan teori bahwa diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan hasil
anamnesis (biodata pasien, riwayat obsetrik, gynekologi dan) dan pemeriksaan
fisik (kesadaran, TTV) serta pemeriksaan penunjang.
Masalah
plasenta tidak lahir
Kebutuhan
1. informed choice
2. informed consent
3. dukungan psikologis
4. kolaborasi untuk tindakan manual plasenta dan therapy lainnya.
5. Personal hygiene
6. Pemantauan TTV, TFU, kontraksi uterus, kandung kemih dan perdarahan
Tindakan Segera :
Manual plasenta
-
4.3 Mengidentifikasi Diagnosa / Masalah Potensial
Setelah penulis melakukan pemantauan dan antisipasi maka penulis dapat
menegakkan masalah potensial yang akan terjadi pada ibu ini yaitu : Perdarahan
post partum.
RETENSIO PLASENTA 35
4.4 Mengidentifikasi dan Menetapkan kebutuhan yang memerlukan
Penanganan Segera
Kolaborasi dengan SpoG untuk tindakan manual plasenta dan therapy lainnya.
RETENSIO PLASENTA 36
kiri sambil di geser ke atas (cranial ibu) hinga semua perlekatan plasenta
terlepas dari dinding uterus.
h. Sementarasatu tangan masih di dalam kavum uteri, lakukan eksplorasi untuk
menilai tidak ada sisa plsenta yang tertinggal
i. Pindahkan tangan luar dari fundus ke supra simpisis, kemudian tarik tali
pusatsambil membawa plasenta keluar
j. Lakukan penekanan uterus ke arah dorso cranial setelah plesenta di lahirkan
dan
k. tempatkan plasenta pada wadah yang telah di sediakan, lalu periksa jika ada
robekan pada vagina dan perineum
4.7 Evaluasi :
Adapun evaluasi dimaksudkan untuk memperoleh atau memberi nilai
terhadap intervensi yang dilakukan berdasarkan tujuan dan kriteria yang telah
ditentukan sebelumnya. Tehnik evaluasi yang dilakukan melalui anamnese,
pemeriksaan fisik untuk memperoleh data hasil perkembangan pasien, hasil
evaluasi setelah dilakukan perawatan di Ruang IGD RSUD M. Zein Painan
adalah :
RETENSIO PLASENTA 37
1) informasi sudah diberikan dan keluarga dapat menerima informasi tersebut.
2) Informant consent sudah ditandatangani.
3) dukungan psikologis sudah diberikan dan ibu pun tidak lagi merasakan
cemas.
4) Plasenta lahir lengkap jam 08.20 wib dan ibu senang dengan hal tersebut
5) ibu merasa nyaman setelah dibersihkan
6) pemantauan kala IV telah dilakukan, dan ibu dipindahkan ke rawat gabung
di bangsal kebidanan untuk mendapat perawatan selanjutnya.
Dengan melihat hasil yang diperoleh seperti yang telah diuraikan diatas
dapat disimpulkan bahwa tujuan yang ingin dicapai pada kasus Ny “E” sebagian
besar dapat terevaluasi dengan yang diharapkan.
Dengan demikian pada tinjauan dan studi kasus pada Ny “E” di lahan
praktek secara garis besar nampak adanya persamaan karena masalah dapat
teratasi dengan baik.
4.8 Pendokumentasian
Secara teoritis, dalam pendokumentasian asuhan kebidanan yang telah
diberikan dapat menggunakan dengan pola pikir varney dan cara
pendokumentasiaanya soap.
RETENSIO PLASENTA 38
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Retensio plasenta adalah terlambatnya kelahiran plasenta selama setengah jam
setelah persalinan bayi. Jenis retensio plasenta : plasenta adhesiva, plasenta akreta,
plasenta inkreta, plasenta parkreta, plasenta inkarserata, plasenta battledore, plasenta
membranosa, plasenta sirkumvalata, plasenta suksenturiata, plasenta spuria, plasenta
bipartita. Penyebab retensio plasenta secara fungsional dapat terjadi karena his kurang
kuat (penyebab terpenting), dan plasenta sukar terlepas karena tempatnya (insersi di
sudut tuba), bentuknya (plasenta mambranasea, plasenta anularis), dan ukurannya
(plasenta yang sangat kecil). Tanda dan gejala klinik retensio plasenta : plasenta tidak
lahir setelah 30 menit, perdarahan segera, kontraksi uterus lemah. Pencegahan
retensio plasenta dengan cara pemberian oksitosin segera setelah pelahiran bahu
anterior, mangklaim tali pusat terkendali untuk pelahiran plasenta. Penanganan
retensio plasenta jika plasenta belum dilahirkan setelah 30 menit pemberian oksitosin
dan uterus terasa berkontraksi, lakukan penarikan tali pusat terkendali, jika traksi
pusat terkendali belum berhasil, cobalah untuk melakukan pengeluaran plasenta
secara manual.
Manajemen Asuhan Kebidanan adalah pendekatan yang digunakan oleh bidan
dalam menerapakan metode pemecahan masalah secara sistematis mulai dari
pengkajian, analisis data, diagnosis kebidanan, perencanan, pelaksanaan dan evaluasi.
Tahapan dalam manajemen kebidanan.
1. Langkah I : Pengumpulan Data.
2. Langkah II : Identifikasi diagnosa/masalah aktual.
3. Langkah III : Mengidentifikasi diagnosa atau masalah potensial.
4. Langkah IV : Identifikasi perlunya tindakan segera / kolaborasi.
5. Langkah V : Rencana asuhan kebidanan.
6. Langkah VI : Implementasi asuhan kebidanan.
7. Langkah VII : Evaluasi asuhan kebidanan.
RETENSIO PLASENTA 39
5.2 Saran
Dari studi kasus pada Ny “E” P2A0H2 dengan retensio plasenta, saran yang
dapat penulis berikan adalah :
5.2.1 Bagi institusi pelayanan
Agar dalam penerapan asuhan kebidanan sebaiknya menerapkan teori
yang telah dipelajari dengan menyesuaikan kondisi klien pada saat itu, agar
proses kebidanan berlangsung dengan tepat dan benar, hendaknya pengadaan
sarana penunjang atau alat-alat dapat disediakan sehingga dapat dimanfaatkan
semaksimal dan seefektif mungkin.
5.2.2 Bagi Instansi Pendidikan
Agar memberikan bekal pengetahuan yang optimal kepada mahasiswa
selama mengikuti perkuliahan dan diberikan pengawasan yang cukup saat
menambah pengalaman di rumah sakit serta bimbingan yang adekuat ,sehingga
betul-betul menjadi tenaga kesehatan yang profesional dibidang kebidanan ,
diharapkan kepada pembimbing agar terus meningkatkan intensitas bimbingan
dan komunikasikan serta koordinasi yang lebih baik sehingga mutu praktek
kebidanan dari hari kehari semakin meningkat.
5.2.3 Bagi penulis
Dengan adanya kasus ini diharapkan penulis dapat melakukan
pengkajian secara lebih lengkap agar mampu menegakkan diagnosa dan mampu
membantu dan melakukan tindakan segera serta dapat memberikan asuhan
kebidanan patologis pada ibu bersalin dengan Retensio Plasenta.
RETENSIO PLASENTA 40