Anda di halaman 1dari 10

INDRA PENDENGARAN

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI

Oleh: Kelompok 5

Arya Ivan Mahendra


011711133088

Daru Pramita Dewi


011711133089

Raka Ihsanulhaj
011711133091

Ida Fitriawati
011711133097

Alma Dhiani Paramitha


011711133106

Safira Zakira
011711133107
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2018
Bab I
Pendahuluan
1.1 Dasar Teori
Telinga adalah merupakan salah satu indera khusus yang berperan dalam
pendengaran.Telinga secara fungsional terdiri menjadi dua, yaitu Apparatus
Pendengaran dan Apparatus Vestibularis. Cara kerja sistem pendengaran melalui
adanya sumber suara dan menghasilkan gelombang suara yang akan ditangkap oleh
sistem indera pendengaran.Akan tetapi, ada banyak gangguan-gangguan yang dapat
berakibat pada ketidaknyamanan atau hal-hal yang dapat mengganggu aktivitas
sehari-hari kita.
Gangguan-gangguan pendengaran tersebut memiliki tiga bentuk ketulian, yaitu
Tuli Konduksi (Conduction deafness),Tuli Persepsi (Perception deafness),Tuli Sentral
(Central deafness). Pada Tuli Konduksi yang mengalami hambatan konduksi suara
adalah meatus acusticus externus dan telinga tengah. Pada Tuli Persepsi yang
mengalami kerusakan adalah sebagian atau seluruh hair cell reseptor pendengaran
pada organ corti.Pada Tuli Sentral, gangguan yang terjadi terdapat pada lintasan
saraf pendengaran atau pada pusat pendengaran di Otak.
Oleh karena pentingnya indera pendengaran ini, maka sudah seharusnya kita
merawatnya dengan cara memeriksakannya untuk menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan dikemudian hari. Salah satu pemeriksaanya adalah menggunakan Garpu
Tala. Pemeriksaan garpu tala dapat mendeteksi secara kualitatif adanya tuli konduksi
dan tuli persepsi. Teknik pemeriksaan pada garpu tala secara umum dibagi menjadi
tiga, yaitu Cara Rinne, Cara Weber, Cara Schwabach.Cara Rinne digunakan untuk
membandingkan air condition (AC) konduksi melalui udara dengan bone conduction
(BC).Cara Weber digunakan untuk memeriksa pengerasan suara (Lateralisasi) pada
sisi salah satu telinga pasien.Cara Schwabach digunakan untuk membandingkan
bone conduction (BC) antara pemeriksa dan orang coba.
Indera pendengaran merupakan salah satu indera khusus pada tubuh manusia.
Secara anatomi fungsional, indera pendengaran dapat dibagi menjadi tiga, yaitu
telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam.
Pada telinga luar, gelombang diteruskan secara mekanis. Pada telinga tengah
dibatasi oleh membran timpani, terdiri dari tulang-tulang maleus, inkus,stapes.Daerah
ini selain menjalankan fungsi untuk meneruskan gelombang suara menuju ruang
telinga bagian dalam, secara mekanis juga untuk proteksi terhadap suara yang
merusak.Pada telinga dalam, getaran suara masih diteruskan secara mekanis dalam
cairan endolymph.
Pada pemeriksaan pendengaran yang lainnya dapat menggunakan Audiometer.
Audiometri adalah cara pemeriksaan pendengaran dengan audiometer yang memiliki
suatu ossilator elektronik yang dapat memberikan nada-nada dari berbagai frekuensi
dari intensitas suara untuk masing-masing frekuensi, sehingga dapat memeriksa
hearing loss seseorang.

1.2 Tujuan
Mempelajari cara pemeriksaan pendengaran dengan menggunakan garpu tala dan
audiometer.
Bab II
Hasil dan Pembahasan
2.1 HASIL

2.1.1 Cara Rinne

Frekuensi Garpu KANAN (detik) KIRI (detik)


Tala Tidak disumbat Disumbat Kapas Tidak disumbat
D 288 Hz 7.11 7.67
F 341.3 Hz 8.34 8.68
A 426.6 Hz 4.03 3.58
C 512 Hz 7.93 6.27 4.17
Keterangan: Positif (+) bila AC > BC , Negatif (-) bila BC > AC

2.1.2 Cara Weber

Tanpa Penyumbatan Kanan Disumbat


Lateralisasi (-) Lateralisasi ke kanan

2.1.3 Cara Schwabach

Telinga Kanan
Telinga Kanan Telinga Kiri
disumbat
Dari orang coba ke
- - -
pemeriksa
Dari pemeriksa ke
- - -
orang coba
Kesimpulan Equal Equal Equal
Keterangan (+) = masih mendengar, (-) = tidak mendengar lagi

2.1.4 Audiogram
2.2 PEMBAHASAN

2.2.1 Cara Rinne

Cara Rinne dilakukan untuk membandingkan air conduction (AC) dan bone
conduction (BC) telinga. Pada telinga normal, besar AC akan lebih baik dibandingkan
BC (Ganong, 2016). Pada metode ini, mula-mula telinga kanan mahasiswa coba
dirangsang dengan menggetarkan garputala dengan frekuensi 288 Hz, 341.3 Hz, 426.6
Hz, dan 512 Hz. Ujung garputala dicubit agar bergetar, lalu pangkalnya ditempelkan
pada Processus mastoideus mahasiswa coba. Pencatatan waktu dimulai dari saat
pemindahan garputala dari prosessus mastoideus ke sisi frontal lubang telinga sisi
kanan hingga mahasiswa tersebut memberi isyarat sudah tak mendengar suara lagi.

Pada hasil percobaan ini, mahasiswa coba masih dapat mendengar suara getaran
garputala ketika bone conduction (BC) selesai. Saat frekuensi 288 Hz dan 341.3 Hz,
waktu air conduction pada telinga kiri lebih panjang dibandingkan telinga kanan. Hal
ini berbeda dengan frekuensi-frekuensi yang lain. Perbedaan ini tidak dapat
menjelaskan sisi telinga mana yang lebih baik dalam menerima air conduction.
Kemungkinan penyebab perbedaan yang cukup bermakna ini antara lain perbedaan
kuat getaran yang dibuat pada garputala dan ruangan yang tidak ideal dipakai untuk
pemeriksaan ini. Kuat getaran disebabkan pemeriksaan tiap frekuensi dilakukan oleh
orang yang berbeda. Akibatnya, durasi waktu pentransmisian getaran bunyi
antarfrekuensi ataupun antara kedua sisi telinga dapat terjadi.

Berikutnya, telinga kanan disimulasikan berada dalam keadaan patologis dengan


disumbat. Telinga ini dirangsang dengan menggetarkan garpu tala (hanya
menggunakan satu frekuensi, yaitu 512 Hz). Pencatatan waktu dengan cara yang
sama. Jika dibandingkan dengan saat diberi sumbatan, telinga kanan mendengar bunyi
lebih singkat. Perbandingan ini dapat menjelaskan bahwa pada telinga yang disumbat
mengalami hambatan konduksi suara pada meatus acusticus internus dan telinga
tengah atau yang disebut dengan tuli konduksi (conduction deafness).

Meski kurang dapat dikatakan akurat, namun hasil percobaan ini menunjukkan
bahwa AC pada telinga mahasiswa coba lebih baik dibandingkan BC (bone
conduction). Hal ini dibuktikan dengan masih terdengarnya suara getaran garputala,
sekalipun konduksi bunyi melalui tulang (bone conduction) telah selesai. Dengan
demikian, menurut metode ini, telinga mahasiswa coba normal.

2.2.2 Cara Weber

Metode weber dilakukan untuk membandingkan bone conduction (BC) telinga


sisi kanan dan kiri. Pada eksperimen pertama, telinga dirangsang tanpa disumbat.
Pada percobaan ini, garputala digetarkan lalu ditempelkan pada dahi (pada garis
median subjek), dan tidak pada verteks karena rambut mahasiswa coba terlalu tebal.
Hal ini dikhawatirkan akan berpengaruh pada hasil pemeriksaan. Dari hasil yang
diperoleh, mahasiswa mendengar bunyi yang sama keras antara kedua sisi telinga. Hal
ini menunjukkan tidak terjadi lateralisasi.

Eksprerimen selanjutnya dilakukan dengan mengasumsikan telinga dalam


keadaan patologis. Telinga kanan disumbat menggunakan kapas yang telah diberi air.
Lalu, garputala kembali digetarkan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa
mahasiswa mendengar bunyi yang lebih keras pada telinga sisi kanan. Hasil
percobaan ini sesuai dengan prinsip percobaan.

Menurut metode ini, pada telinga mahasiswa tanpa sumbatan tidak terjadi
lateralisasi, yang berarti normal. Namun, eksperimen kedua dapat menjelaskan bahwa
ketika terjadi sumbatan di telinga kanan, maka akan terjadi tuli konduksi kanan
sehingga pengerasan suara (lateralisasi) ke kanan. Lateralisasi pada prinsipnya dapat
terjadi, misalnya sisi telinga kanan mendengar bunyi lebih keras dibandingkan sisi
telinga lain yang berarti tuli konduksi kanan, sisi telinga kiri mendengar bunyi lebih
keras dibandingkan sisi telinga kanan yang berarti tuli persepsi kanan, atau terjadi tuli
konduksi dan atau tuli persepsi pada kedua telinga dengan gradasi yang berbeda

2.2.3 Cara Schwabach

Cara schwabach dilakukan untuk membandingkan bone conduction (BC) antara


pemeriksa dengan mahasiswa coba. Artinya, pemeriksa berperan sebagai standar,
sehingga pendengarannya haruslah normal. Pada pemeriksaan ini, hanya akan
digunakan satu garpu tala saja. Mula-mula pemeriksa menggetarkan garpu tala dan
meletakkannya pada Processus mastoideus orang coba. Setelah bunyi tak lagi
terdengar, mahasiswa coba segera memberi tanda, yaitu dengan mengangkat tangan.
Pemeriksa kemudian segera mengarahkan garputala ke processus mastoideusnya
sendiri untuk memastikan apakah keadaan yang sama dirasakan pemeriksa (bunyi
masih mampu atau tidak didengar oleh pemeriksa). Hasil eksperimen pertama ini
menunjukkan pemeriksa tidak lagi mendengar bunyi

Berikutnya, pemeriksaan dilakukan pada prosessus mastoideus pemeriksa dahulu,


baru ke mahasiswa coba. Hasil percobaan ini juga menunjukkan kesamaan bone
conduction antara keduanya. Kesimpulan datanya adalah equal. Sehingga, menurut
metode ini, telinga mahasiswa coba normal (Schwabach normal).

Normalnya, pemeriksaan dilakukan di ruangan yang ideal, dalam arti kedap


suara. Pada percobaan ini, terjadinya masking tidak dapat dihindari. Artinya, suara-
suara lain turut memengaruhi hasil pemeriksaan, karena mahasiswa coba bisa
mendengar suara lain yang sebenarnya tidak digunakan dalam pemeriksaan. Apabila
terjadi gangguan pendengaran, dapat memungkinkan terjadinya schwabach
memendek yang artinya pemeriksa masih mendengar bunyi setelah mahasiswa coba
tak lagi mendengar.
2.2.4 Audiometri

Audiometri merupakan tes pengukuran fungsi pendengaran secara


kuantitatif dana kualitatif dalam menetukan seberapa besar gangguan pendengarannya
dan lokalisasi gangguan dengar.Pemeriksaan Audiometri dilakukan menggunakan
audiometer dan hasil pemeriksaannya dicatat di dalam audiogram.

Gambar I. Kriteria hearing loss dalam audiogram

Pada Hasil Pemeriksaan Mahasiswa coba ditemukan bahwa telinga


kanan normal dan telinga kiri moderately severe.Pemeriksaan ini didasarkan karena
pada telinga kiri ambang pendengaran terletak pada level moederately severe. Namun,
hal ini bisa disebabkan selain dikarenakan gangguan telinga pada manusia coba,
kemungkinan besar alat audiometer yang digunakan dalam pemeriksaan mengalami
kerusakan pada bagian untuk telinga kiri. Sehingga hasil yang didapatkan tidak
optimal dan cenderung tidak dapat dibuktikan tingkat kebenarannya.

Pertanyaan

1. Berilah interpretasi hasil pemeriksaan pada praktikum ini ?

2. Kemungkinan Kelainan apa saja yang dapat ditemukan bila: a) Rinne: Positif, b)
Weber: tidak ada lateralisasi c) Schwabach: memanjang ?

3. Berapa nilai ambang pendengaran orang normal ?


Jawaban

1. Pada tes rinne dan schwabach dinyatakan mahasiswa coba normal. Pada tes weber
dinyatakan bahwa mahasiswa coba mengalami lateralisasi telinga kanan. Pada Tes
Audiometri, Telinga kanan mahasiswa coba normal dan telinga kiri moderately
severe.

2. a) Pada Rinne positif dapat disimpulkan bahwa air conduction (AC) lebih besar dari
bone conduction (BC) atau dapat disimpulkan kemungkinan besar normal. Mengapa
pada saat pemeriksaan BC, getaran menghilang tetapi ketika didekatkan ke telinga
untuk pemeriksaan AC suara dapat didengarkan kembali? Sebenernya ketika garpu
tala ditempelkan pada processus mastoideus garpu tala masih terdengar.Namun,
dikarenakan intensitasnya terlalu halus maka tidak terdengar pada pemeriksaan
BC.Oleh karena itu, setelahnya garpu didekatkan pada telinga.

b) Pada pemeriksaan weber jika tidak terdapat lateralisasi maka dapat disimpulkan
kemungkinan besar telinga pasien mendengar dengan “nilai” yang sama. Sehingga
dapat dikatakan secara garis besar normal.

c) Pada pemeriksaan Schwabach jika memanjang maka bisa diambil gambaran umum
jika pasien mengalami gangguan pada telinga.Namun, diperlukan pemeriksaan lebih
lanjut akan hal ini.Agar pemeriksaan ini dapat dilakukan optimal diperlukan faktor-
faktor yang harus dipenuhi. Salah satunya adalah orang atau tenaga medis yang
dijadikan pembanding sudah sepatututnya adalah orang yang tidak mengalami
gangguan telinga.Sehingga yang dijadikan pembanding adalah orang yang normal
telinganya.

3. Pada nilai ambang pendengaran menurut ISO 1964 dan ANSI 1969 pada frekuensi
nada murni (Gatot,2011) Jika peningkatan ambang dengar antara 0-25 dB, disebut
normal.
Bab III

Kesimpulan

1. Cara Rinne dilakukan untuk membandingkan air conduction (AC) dan bone
conduction (BC). Pada percobaan ini, didapati bahwa mahasiswa coba memiliki Rinne
positif karena masih mendengar suara setelah dipindahkan ke sisi lubang telinga.
2. Cara Weber dilakukan untuk membandingkan bone conudction (BC) pada telinga sisi
kanan dan sisi kiri. Pada percobaan ini didapati mahasiswa coba normal karena
mahasiswa coba mendengar suara yg lebih keras pada sisi kiri telinga keitika sisi
kanan telinga disumbat dengan kapas (tidak terjadi lateralisasi)
3. Cara Schwabach dilakukan untuk membandingkan bone conduction (BC) antara
pemeriksa dengan mahasiswa coba. Pada percobaan ini didapati bahwa bone
conduction (BC) antara pemeriksa dan mahasiswa coba adalah sama yang
menunjukan bahwa telinga mahasiswa coba normal.
4. Audiometri adalah cara pemeriksaan pendengaran dengan audiometer sehinga dapat
memeriksa hearing loss seseorang
5. Berdasarkan hasil audiogram dari mahasiswa coba, dapat disimpulkan bahwa telinga
kanan normal dan telinga kiri moderately rate.
6. Moderately rate pada telinga kiri kemungkinan dapat disebabkan oleh pembacaan
audiogram yang kurang baik karena saat percobaan beberapa kali ditemukan
keerorran pada alatnya.
DAFTAR PUSTAKA

Ganong, W. (2007). Review of Medical Physiology. 23rd ed. California: Appleton &
Lange A Simon & Schuster Co.

Guyton, A. and Hall, J. (2016). Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology.
13th ed. Philadelphia: Elsevier.

Sherwood, L. (2014). Human Physiology: From Cells to Systems. 8th ed. Boston,
Mass: Cengage Learing.

Anda mungkin juga menyukai