Anda di halaman 1dari 16

Termoregulasi

A. Peran Kulit dalam Termoregulasi pada Manusia

Manusia adalah makhluk hidup homeotermis : kita menjaga temperatur dari organ
dalam, atau core, tubuh dalam batasan yang sempit meskipun adanya tekanan dari suhu.
Tekanan suhu bisa meningkat karena adanya perubahan pada temperatur lingkungan atau dari
tubuh manusia itu sendiri, dengan adanya panas yang dihasilkan oleh otot lurik selama latihan
fisik yang dinamis. Ketika tekanan suhu meningkat karena pengaruh lingkungan, perubahan
temperatur kulit terjadi sebelum adanya perubahan di core atau temperatur internal. Ketika
tekanan suhu meningkat karena faktor dari tubuh sendiri, perubahan pada temperatur core
terjadi sebelum adanya perubahan di temperatur kulit. Dengan kata lain, gradien suhu
dibentuk antara kulit dan core dari tubuh. Jika temperatur kulit lebih rendah daripada
temperatur core, panas akan hilang dari tubuh tanpa adanya konstriksi dari pembuluh darah.
Jika temperatur kulit lebih tinggi dari temperatur core, tubuh akan memperoleh panas tanpa
adanya dilatasi pembuluh darah dan kelenjar keringat menghasilkan perspirasi/ keringat.
Dengan demikian kulit merupakan komponen yang sangat penting dalam pengaturan suhu
tubuh manusia.

Pengaturan suhu tubuh manusia dihasilkan melalui perpaduan dari beberapa proses
fisiologis. Proses yang terintegrasi ini mengatur refleks pengaturan suhu yang
mempertahankan temperatur internal tetap stabil pada “set point” 37°C (98,6°F) meskipun
adanya tekanan suhu. Set point tidak tetap dan dapat berfluktuasi sebesar 0,5°C hingga 1,0°C
(0,9°F hingga 1,8°F) sesuai irama sirkadian dan selama siklus menstruasi pada wanita.
Refleks pengaturan suhu tubuh terbentuk demikian rupa untuk mempertahankan temperatur
internal/bagian dalam tubuh pada set point yang dikoordinasi oleh saraf yang sensitif
terhadap suhu di area hipotalamus preoptik anterior dan di saraf tulang belakang/spinal cord
yang respon terhadap perubahan temperatur internal dan/atau temperatur kulit.
Misalnya,ketika dirangsang,saraf yang sensitif terhadap suhu dingin di area hipotalamus
preoptik anterior dan saraf tulang belakang mengintegrasikan input sensorik aferen dan
mengaktivasi mekanisme konservasi panas yang termasuk vasokonstriksi kulit dan produksi
panas metabolik yang meningkat (menggigil). Sebaliknya, rangsangan terhadap saraf yang
sensitif panas di area hipotalamus preoptik anterior dan saraf tulang belakang
mengintegrasikan input sensorik aferen dan mengaktivasi mekanisme penguapan panas yang
termasuk vasodilatasi kulit dan produksi keringat.

1
B. Transfer Panas

Untuk memelihara keseimbangan suhu, panas yang didapat atau yang hilang dari
tubuh harus sama dengan panas yang hilang dari atau yang dihasilkan oleh tubuh. Konsep ini
dapat dihitung secara matematis sebagai berikut :

ΔS = M – E ±R ± C ± K – W

∆S : Perubahan simpanan panas oleh tubuh

M : Produksi panas metabolik dan didefinisikan sebagai laju transformasi energi kimia ke panas dan kerja
mekanis

E : Panas yang hilang karena penguapan dan diartikan sebagai laju hilangnya panas oleh karena
penguapan air dari kulit dan permukaan saluran pernafasan. Nilai E tergantung dari (1) laju sekresi keringat, (2)
tekanan uap air dari lingkungan, dan (3) luas area permukaan yang mengalami penguapan.

R : Perolehan atau hilangnya panas yang dipancarkan dan diartikan sebagai pertukaran panas oleh karena
emisi dan absorpsi radiasi elektromagnetik (infra merah). Komponen ini menerangkan adanya 50-60 %
kehilangan panas pada individu yang dalam kondisi dengan suhu yang nyaman (termonetral) namun dengan
mudah menjadi panas, ketika orang tersebut terpapar cahaya matahari secara langsung.

C : Perolehan atau kehilangan/pelepasan panas secara konvektif dan diartikan sebagai pertukaran panas
oleh karena pergerakan dari suatu zat cair, baik cairan atau gas. Komponen ini bertanggung jawab dalam hal
transfer panas ke kulit melalui aliran darah kulit dan transfer dari kulit ke lingkungan oleh pergerakan udara atau
air. Di dalam tubuh, sistem kardiovaskular merupakan mediator utama dari transfer panas secara konvektif.
Nilai C tergantung dari (1) luas area permukaan tubuh, (2) perbedaan temperatur, dan (3) pergerakan zat cair
(atau udara).

K : Perolehan panas atau hilangnya panas secara konduktif dan diartikan sebagai transfer panas oleh
karena aliran cepat gradien temperatur, seperti antara jaringan dan darah, antara darah dan kulit, dan antara kulit
dan lingkungan. Hal ini biasanya dikombinasikan dengan transfer panas secara konvektif.

W : Kerja mekanis yang bermanfaat.

Penjumlahan dari R, C, dan K ditentukan oleh gradien temperatur antara kulit dan
lingkungan. Jika ∆S bernilai nol, tubuh berada dalam keseimbangan panas. Kondisi
termonetral ini dicirikan dengan aliran darah ke kulit yang rendah sekitar 5 % dari cardiac
output. Keringat tidak dijumpai.

Jika nilai ∆S kurang dari nol, tubuh akan mengalami kehilangan panas, temperatur
core akan turun, dan refleks pengaturan suhu dibangkitkan untuk konservasi panas.

2
Keseimbangan suhu dipertahankan melalui pengurangan aliran darah di kulit, yang dapat
mendekati angka nol selama vasokonstriksi maksimal. Pengurangan aliran darah di kulit
meningkatkan penyekatan suhu antara tubuh dan lingkungan dengan mengurangi kehilangan
panas melalui mekanisme konduktif (K), konvektif (C), dan radiasi (R). Jika hilangnya
panas terus berlangsung meskipun aliran darah di kulit rendah, pembangkitan metabolik dari
panas (M) melalui otot lurik yang menggigil dimulai untuk memulihkan dan
mempertahankan core temperature. Jika, meskipun dengan semua mekanisme ini, ∆S tetap
negatif, core temperature akan turun dan hipotermia yang mengancam kehidupan bisa saja
terjadi.

Jika nilai ∆S lebih besar dari nol, tubuh akan memperoleh panas dan core temperature
akan naik. Dalam kondisi tekanan suhu panas ini, keseimbangan suhu dipertahankan dengan
meningkatnya aliran darah ke kulit untuk memudahkan hilangnya panas secara konduktif (K),
konvektif (C), dan radiasi (R). Jika perolehan panas terus terjadi meskipun adanya
mekanisme ini, keringat akan dikeluarkan untuk meningkatkan hilangnya panas melalui
penguapan (E) keringat. Jika ∆S tetap positif, aliran darah dialihkan dari otot lurik dan
gastrointestinal, yang memberikan peningkatan aliran darah di kulit. Laju keluarnya keringat
juga akan meningkat hingga tingkat maksimal dicapai. Jika,aliran darah di kulit dan
rangsangan pengeluaran keringat telah maksimal, ∆S tetap positif, core temperature akan
naik dan dapat terjadi hipertermia yang mengancam kehidupan (seperti ; heatstroke).

C. Termoregulasi dan Kulit


1. Gambaran anatomi

Peran utama kulit dalam pengaturan suhu tubuh manusia telah dapat dipahami secara
baik. Pengaturan suhu tubuh dicapai melalui perubahan aliran darah dan produksi keringat
untuk mempertahankan keseimbangan suhu tubuh. Tanpa perubahan ini, keseimbangan suhu
tubuh tidak akan bisa dipertahankan, yang dapat mengakibatkan hipotermia atau hipertermia.
Dalam kondisi suhu yang normal, aliran darah di kulit berkisar dari 30-40 ml/menit/100 g
kulit pada saat istirahat. Pembuluh darah kulit sangat compliance (dapat menyesuaikan diri
terhadap tekanan tanpa kerusakan), namun begitu, aliran darah di kulit dapat bervariasi dari
hampir nol selama masa tekanan suhu dingin dengan vasokonstriksi maksimal hingga 8
L/menit di permukaan tubuh selama vasodilatasi maksimal dalam kondisi tekanan suhu
panas.

3
Pembuluh darah di kulit terdiri dari beberapa pleksus di superfisial dan lapisan dalam
yang sejajar dengan permukaan kulit. Banyak pembuluh darah berada di lapisan superfisial
dan terdiri dari arteriola terminal yang sangat resisten, putaran/loop papiler, dan venula post
kapiler. Loop papiler merupakan kapiler yang sebenarnya. Aliran darah yang melalui putaran
ini dikontrol oleh persarafan dari arteriola. Putaran ini terdapat di dekat junction dermis-
epidermis, suatu wilayah yang dicirikan dengan gradien suhu yang maksimal karena
kedekatannya ke permukaan kulit. Karena putaran papiler ini juga memiliki daerah
permukaan yang luas, aliran darah yang melalui pembuluh darah ini merupakan penentu
utama pertukaran panas melalui vasodilatasi selama tekanan suhu panas dan vasokonstriksi
selama tekanan suhu dingin.

Meskipun putaran papiler dijumpai di kulit tidak berambut (telapak tangan,telapak


kaki, dan bibir) dan kulit berambut (kebanyakan dari permukaan tubuh, termasuk tungkai,
kepala, dan badan), anastomosis arteriovenosa (AVAs) ditemukan terutama di kulit yang
tidak berambut. Anatomosis ini menggambarkan hubungan langsung antara arteriola dan
venula yang melewati arteriola yang sangat resisten dan kapiler dari putaran papiler. AVAs
memiliki dinding otot yang tebal dengan inervasi yang kaya noradrenergik dan terletak di
dalam putaran papiler. Karena lokasinya yang lebih dalam di dermis dan daerah permukaan
yang lebih kecil, AVAs kurang efisien dalam transfer panas daripada putaran papiler.
Meskipun AVAs berdilatasi dalam merespon tekanan suhu panas dan berkonstriksi selama
tekanan suhu dingin yang ringan hingga sedang, peran utamanya adalah sebagai perantara
vasodilatasi lokal selama paparan suhu dingin yang lama. Vasodilatasi AVA mengalirkan
darah yang hangat untuk mempertahankan temperatur jaringan dan dengan begitu
kelangsungan hidup dari jaringan melalui vasodilatasi yang disebabkan oleh suhu dingin.

Kelenjar keringat juga memegang peran penting dalam pengaturan suhu tubuh
manusia/termoregulasi. Peran termoregulator yang penting dari kelenjar keringat ekrin yang
ditemukan di hampir semua permukaan tubuh telah diketahui dengan jelas. Fungsi utama dari
kelenjar keringat ekrin adalah untuk meningkatkan pelepasan panas melalui penguapan
keringat. Densitas dari kelenjar ini bervariasi dari 700 kelenjar/cm² di kulit telapak tangan
dan telapak kaki hingga 60 kelenjar/cm² di punggung. Kelenjar ini dapat mengalami
hipertropi dengan paparan panas yang berulang. Setiap kelenjar terdiri dari gulungan
sekretori yang dijumpai di dermis dengan sebuah duktus yang meluas hingga dermis dan
epidermis ke permukaan kulit. Keringat disekresikan sebagai cairan isotonik oleh gulungan
ini. NaCl direabsorbsi di dalam duktus, jadi keringat yang dialirkan ke permukaan kulit

4
adalah hipotonik. Setiap liter keringat yang diuapkan mampu memindahkan 580 kkal dari
tubuh. Meskipun kelenjar keringat apokrin dianggap bukan merupakan kelenjar bau yang
atavistik, hal ini sampai sekarang masih dipertanyakan. Kelenjar apokrin biasanya
berhubungan dengan folikel rambut dan banyak berkembang di scalp/kulit kepala, wajah,
punggung bagian atas, dan dada. Maksudnya keringat dari kelenjar apokrin berlaku sebagai
surfaktan pada temperatur tinggi dan dengan begitu memudahkan penyebaran keringat ekrin
di permukaan kulit. Pada temperatur yang rendah, sebum dapat berfungsi untuk menolak air
dari kulit dan dengan demikian mengurangi pelepasan panas.

2. Mekanisme Termoregulasi Kulit

Sirkulasi kulit merupakan efektor utama dari termoregulasi manusia. Selama tekanan
udara panas, temperatur internal meningkat dan temperatur kulit menimbulkan vasodilatasi
kulit melalui mekanisme neural/saraf dan efek lokal dari temperatur yang lebih tinggi di
pembuluh darah kulit. Selama masa tekanan udara dingin, temperatur yang menurun
memperantarai vasokonstriksi kulit melalui saraf seperti efek pembuluh darah lokal. Dalam
kondisi suhu yang normal, aliran darah kulit rata-rata sekitar 5 % dari cardiac output ; namun
begitu, jumlah absolut darah di kulit bervariasi dari hampir nol selama periode vasokonstriksi
maksimal pada tekanan suhu dingin yang berat hingga sebesar 60 % dari cardiac output pada
tekanan suhu panas yang berat.

3. Keringat

Pelepasan panas melalui sekresi dan evaporasi dari keringat ekrin penting untuk
mempertahankan keseimbangan suhu di lingkungan yang panas atau selama tekanan suhu
panas yang disebabkan oleh latihan fisik dinamis yang berat. Ketika temperatur lingkungan
melebihi temperatur dari darah, evaporasi keringat menjadi mekanisme satu-satunya untuk
pelepasan panas. Sekresi keringat dikontrol oleh saraf kolinergik simpatis yang melepaskan
asetilkolin ke reseptor muskarinik di kelenjar. Perangsangan terhadap kolinergik
mengaktivasi kelenjar untuk menghasilkan cairan isotonik yang menjadi semakin hipotonik
ketika Na⁺ direabsorbsi di duktus kelenjar keringat dengan mengaktivasi transfer ion.

4. Mekanisme kontrol saraf dari pembuluh darah kulit

Pada kulit tidak berambut, arteriola kulit dipersarafi oleh saraf vasokonstriktor
simpatis, yang melepaskan norepinefrin dan ko-transmiter lainnya. Semua perubahan refleks
termoregulator di aliran darah di daerah ini disebabkan oleh perubahan pada aktivitas

5
vasokonstriktor noradrenergik dan efek dari temperatur lokal di pembuluh darah kulit
tersebut.

Pada kulit yang berambut, perubahan di aliran darah kulit diperantarai oleh 2 cabang
sistem saraf simpatis : saraf vasokonstriktor noradrenergik ditemukan di kulit tidak berambut,
dan sebuah sistem vasodilator aktif kolinergik. Kedua mekanisme kontrol saraf simpatis ini
merupakan efektor utama untuk respon termoregulator. Pembuluh darah di kulit berambut
juga merespon terhadap efek perubahan temperatur setempat.

Pada suhu yang normal, arteriola kulit bergantung pada tonus saraf yang kecil. Selama
tekanan udara dingin, penurunan temperatur kulit dan/atau temperatur internal menyebabkan
pengurangan aliran darah kulit yang diperantarai refleks termoregulator untuk menjaga panas
tubuh. Tonus vasokonstriktor noradrenergik yang meningkat mengakibatkan vasokonstriksi
arteriolar dan dengan begitu menurunkan aliran darah di kulit. Sebaliknya, selama tekanan
udara panas, refleks termoregulator yang memudahkan pendinginan tubuh akan ditimbulkan.
Ketika temperatur internal terus meningkat melewati nilai batas ambang sekitar 37°C
(98,6°F), vasodilatasi kulit akan terjadi. Pada nilai ambang ini, tonus vasodilator aktif ke
arteriola kulit akan ditingkatkan. Pada saat istirahat, keringat juga muncul pada nilai ambang
temperatur internal yang sama. Tonus vasodilator meningkat ketika temperatur internal
meningkat. Aktivitas vasodilator yang meningkat akan menurunkan tonus otot polos, yang
menyebabkan vasodilatasi arteriolar dan dengan demikian menyebabkan peningkatan aliran
darah di kulit, khususnya melalui putaran papiler. Aliran darah di kulit yang tinggi
mengalirkan panas ke permukaan tubuh, di mana dia akan dilepaskan ke lingkungan bersama
dengan penguapan keringat. Secara keseluruhan, sistem vasodilator aktif bertanggung jawab
terhadap 80 % hingga 95 % peningkatan aliran darah di kulit yang menyertai tekanan suhu
panas. Bagian yang kecil namun penting artinya terhadap vasodilatasi diperantarai oleh efek
vasodilator secara langsung dari panas setempat/lokal di pembuluh darah kulit.

Kedua saraf vasokonstriktor dan saraf vasodilator di kulit pertama sekali


dikemukakan pada tahun 1931 oleh Lewis dan Pickering dan diperkuat oleh pernyataan Grant
dan Holling. Mereka mengukur temperatur di kulit sebagai indeks aliran darah di lengan
bawah manusia dan menemukan bahwa peningkatan besar dalam respon terhadap tekanan
suhu panas dapat ditiadakan dengan simpatektomi atau blokade saraf. Mereka menuliskan
bahwa meskipun simpatektomi atau blokade saraf menyebabkan vasodilatasi kulit yang
ringan/sedikit saja selama normotermia, tekanan suhu panas mengakibatkan peningkatan

6
lebih besar dalam aliran darah di kulit. Lagipula, blokade saraf selama adanya tekanan suhu
panas meniadakan vasodilatasi kulit. Hal ini menyatakan bahwa pembuluh darah di kulit
yang berambut dipersarafi oleh vasodilator aktif simpatis dan saraf vasokonstriktor simpatis.
Pada tahun 1950-an, temuan mereka dipertegas oleh Edholm, Fox, dan MacPherson dan oleh
Roddie, Shepherd, dan Whelan. Lagipula, hal tersebut ditunjukkan oleh bretilium tosilate
(sebuah agen penghambat saraf noradrenergik di pre-junction) yang meniadakan
vasokonstriksi kulit yang diakibatkan oleh tekanan udara dingin namun tidak mengubah
respon vasodilator yang diakibatkan oleh tekanan udara panas. Hal ini menegaskan bahwa
kedua sistem saraf eferen yang mengontrol arteriola kulit : sistem vasokonstriktor
noradrenergik dan sistem vasodilator aktif yang non-adrenergik.

5. Respon Kulit Terhadap Udara Panas


a. Mekanisme Vasodilator Aktif di Kulit

Meskipun faktanya sistem vasodilator aktif di kulit telah dipelajari selama beberapa
dekade, mekanisme khusus tentang fungsi sistem ini hanya sebagian saja yang dapat
dipahami. Beberapa hipotesis telah diajukan untuk menilai sejauh mana vasodilatasi aktif di
kulit ini bekerja, namun tidak seluruhnya dapat dibuktikan.

b. Aktivitas sudomotor dan vasodilatasi aktif

Pada gambaran awal dari vasodilatasi aktif kulit, telah tertulis bahwa keringat dan
vasodilatasi aktif mulai terjadi di sekitar saat yang sama pada orang yang sedang istirahat
yang mengalami tekanan dari suhu panas. Pengamatan ini mendukung hipotesis bahwa
mekanisme vasodilatasi aktif kulit melibatkan aktivitas saraf sudomotor kolinergik. Bukti
tambahan yang menyokong hubungan mekanisme yang lebih erat antara vasodilatasi aktif
dan keringat berasal dari pengamatan terhadap individu dengan displasia ektodermal
anhidrotik. Orang yang dengan kelainan kongenital ini mengalami kekurangan kelenjar
keringat dan respon vasodilator aktif kulit. terhadap tekanan udara panas, yang membuat
orang tersebut sangat tidak tahan terhadap panas. Meskipun pengamatan dilakukan seperti
ini, hubungan yang tepat antara kelenjar keringat dan vasodilatasi aktif masih saja sulit
didefinisikan. Meskipun sesungguhnya telah jelas bahwa saraf sudomotor kolinergik
mengontrol kelenjar keringat, apakah sudomotor dan saraf vasodilator merupakan satu dan
sama atau sama sekali merupakan saraf kolinergik yang terpisah, hal ini masih belum jelas
diketahui.

7
c. Ko-transmisi dan vasodilatasi aktif kulit

Satu area yang penting saat ini dalam penelitian termoregulator adalah sifat dari ko-
transmiter yang mempengaruhi vasodilatasi aktif. Beberapa penelitian menyokong
keterlibatan dari vasoaktif intestinal peptida (VIP) sebagai ko-transmitor pada vasodilatasi
aktif. Penelitian ini menguji apakah vasodilatasi aktif diperantarai, sebagian, oleh VIP yang
dilepaskan dari saraf kolinergik dengan asetilkolin. Fragmen neuropeptida VIP 10-28
dijalankan oleh mikrodialisis untuk menghalangi efek VIP di reseptor VPAC1 dan VPAC2.
Agen ini dipilih karena tidak hanya memblokir dua reseptor utama untuk VIP, namun juga
memblok efek dari metionin histidin peptida. Kedua neuropeptida ini bersama-sama
membentuk hubungan struktural yang erat, yang terbentuk dari pre-propeptida yang sama,
dan keduanya dilaporkan terdapat di kulit manusia. VIP 10-28 melemahkan (namun tidak
meniadakan) peningkatan aliran darah di kulit selama tekanan suhu panas. Penggabungan
dari VIP 10-28 dengan atropin tidak meningkatkan derajat pelemahan dari yang dicapai
dengan VIP 10-28 sendiri. Temuan ini menunjukkan peran dari VIP dalam vasodilatasi aktif;
lagipula, karena efek penggabungan blokade dari reseptor muskarinik dan reseptor VIP tidak
berbeda dari efek blokade reseptor VIP sendiri, maka dikemukakan teori bahwa ko-transmiter
tambahan bisa saja terlibat dalam proses ini.

d. Nitric Oxide/oksida nitrat dan Vasodilatasi Aktif

Pada tahun 1990-an, serangkaian penelitian dilakukan untuk mengetahui pengaturan


aliran darah di kulit di telinga kelinci percobaan. Kelinci mengatur suhu tubuhnya dengan
mendilatasi dan mengkonstriksi pembuluh darah di telinganya. Dengan begitu, kelinci
menjadi model binatang yang memungkinkan untuk penelitian terhadap kedua kontrol
vasomotor di kulit manusia yang berambut. Penelitian pada kelinci ini menunjukkan peran
dari nitric oxide (NO) dalam vasodilatasi aktif yang diperantarai refleks pengaturan suhu
tubuh. Meskipun kerja awalnya berdasarkan infus intra arteri dari NO synthetase (NOS)
inhibitor NG-monomethyl-L-arginine (L-NMMA) tidak mampu untuk melakukan peran
seperti ini, kerja berikutnya, memakai mikrodialisis intradermal untuk menyuplai NOS
inhibitor NG-nitro-L-arginine-methyl ester (L-NAME) dan L-NMMA ke bagian kecil dari
kulit. Penelitian ini menunjukkan bahwa meningkatnya aliran darah di kulit yang disebabkan
oleh vasodilatasi aktif selama tekanan suhu panas adalah lemah namun tidak dihilangkan oleh
inhibisi dari NOS. Hasil studi ini menunjukkan bahwa vasodilatasi aktif di kulit
membutuhkan fungsional dari NOS untuk mencapai hasil yang baik.

8
Karena fungsi dari NOS diperlukan untuk vasodilatasi aktif, tingkat NO di kulit harus
meningkat selama tekanan suhu panas agar terjadi vasodilatasi aktif di kulit. Bagaimanapun,
berdasarkan studi fungsi dari NO sebagai vasodilator pada telinga kelinci selama tekanan
udara panas, sebuah teori baru telah dikemukakan. Telah dinyatakan bahwa antagonis NOS
meniadakan vasodilatasi aktif yang diakibatkan oleh tekanan dari suhu panas di kulit telinga
kelinci. Pemberian dosis rendah nitropruside yang mengandung NO dapat memulihkan
vasodilatasi kulit telinga selama tekanan udara panas meskipun ada hambatan dari NOS;
namun, dengan dosis yang sama dari nitropruside yang diinfuskan ke sirkulasi telinga pada
kondisi normotermi sama sekali tidak meningkatkan aliran darah di telinga. Maksudnya,
vasodilatasi aktif pada telinga kelinci membutuhkan NO dan aktivasi dari saraf vasodilator,
namun kedua unsur ini tidak diadakan dalam penelitian. Aktivitas saraf vasodilator tidak
meningkatkan produksi NO, namun NO diperlukan untuk membuka jalan bagi
neurotransmiter yang lain dalam mempengaruhi peningkatan aliran darah di kulit telinga.
Tingkat absolut NO tidak meningkat selama tekanan suhu panas.

Sebuah tes awal dilakukan di kulit manusia untuk memeriksa apakah meningkatnya
derajat produk NO yang rusak dapat dijumpai di kulit selama hipertermia, namun tidak
ditemukan adanya peningkatan seperti ini. Pemeriksaan selanjutnya dari perubahan NO pada
tekanan suhu panas yaitu dengan mengukur bioavailabilitas NO dengan alat elektroda
amperometrik yang selektif terhadap NO secara invivo, yang diukur langsung dari jaringan
yang akan diteliti. Berlawanan dengan hasil studi sebelumnya yang berdasarkan pada produk
NO yang rusak, ditemukan bahwa baik aliran darah kulit maupun bioavailabilitas konsentrasi
NO keduanya meningkat selama adanya tekanan udara panas. Hal ini membuktikan bahwa
derajat NO meningkat di kulit selama adanya tekanan suhu panas di tubuh manusia, yang
menyertai vasodilatasi aktif. Hasil ini menyatakan bahwa NO memiliki peran lebih dari
sekadar faktor permisif dalam vasodilatasi aktif kulit. Karena NO meningkat selama tekanan
udara panas, dia dapat menjadi efektor dalam vasodilatasi kulit selama tekanan udara panas
tersebut.

Bukti tambahan lainnya yang menunjukkan NO sebagai efektor aktif dari vasodilatasi
aktif kulit berasal dari studi yang menggunakan tehnik “NO-clamp”. Mikrodialisis
intradermal digunakan untuk mengirimkan gabungan dari inhibitor NOS L-NAME dan
nitoprusside yang mengandung NO ke kulit. Efek dari kombinasi ini adalah untuk mengepit
NO pada level konstan-di mana NO ada namun tidak dapat meningkat karena adanya
hambatan dari NOS. Ketika level NO diklem dan tidak dibiarkan meningkat, vasodilatasi

9
aktif selama tekanan suhu panas dilemahkan. Temuan ini menunjukkan bahwa NO berlaku
sebagai efektor aktif dari vasodilatasi. Produksi NO meningkat selama tekanan suhu panas
dan NO berlaku sebagai efektor sebenarnya dari vasodilatasi kulit yang aktif.

Semua aktivitas dari NO terjadi di kulit yang berambut. Tipe kulit ini memiliki AVA
yang kurang. Namun kulit di telinga kelinci memilki AVA yang banyak. Hal ini
memungkinkan NO memainkan peran permisif dalam dilatasi AVA namun tidak dalam hal
dilatasi dari putaran/loop papiler kulit yang berambut.

Asetilkolin dari saraf kolinergik meningkatkan level NO melalui perangsangan


reseptor muskarinik. Dilakukan pemeriksaan terhadap efek gabungan dari hambatan reseptor
muskarinik oleh atropin dengan hambatan NOS oleh L-NAME terhadap vasodilatasi selama
tekanan suhu panas. Agen ini diberikan setelah aktivasi dari sistem vasodilator aktif dalam
kondisi tekanan suhu panas yang lama, ketika aliran darah kulit meningkat secara signifikan.
Meskipun atropin memilki efek yang sedikit terhadap aliran darah di kulit, L-NAME dapat
mengurangi aliran darah di kulit selama vasodilatasi aktif pada tekanan suhu panas yang
lama. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun produksi NO diperlukan untuk vasodilatasi
aktif, produksi NO yang diperantarai reseptor muskarinik tidak diperlukan untuk
mempertahankan vasodilatasi aktif selama fase akhir dari tekanan suhu panas.

Berdasarkan pada studi sebelumnya yang menyatakan bahwa atropin memperlambat


onset vasodilatasi aktif selama tekanan suhu panas, dikemukakan teori bahwa asetilkolin
berperan pada vasodilatasi aktif melalui produksi NO yang diperantarai reseptor muskarinik
di awal proses. Untuk menguji hipotesis ini, telah dilakukan pemeriksaan terhadap efek
kombinasi dari inhibisi asetilkolinesterase dengan neostigmin (untuk memperkuat efek agonis
dari asetikolin) dan hambatan dari NOS dengan L-NAME (untuk meniadakan efek NO) pada
vasodilatasi aktif. Neostigmin dan L-NAME dialirkan/diberikan sebelum mulainya
pemanasan tubuh, ketika sistem vasodilator aktif tidak bekerja, dan berlangsung sepanjang
periode awal dan akhir dari tekanan suhu panas. Hasil tersebut menunjukkan bahwa mulainya
pemanasan tubuh (ketika temperatur kulit meningkat namun temperatur internal tidak
meningkat), aliran darah kulit meningkat lebih cepat pada tempat yang diberikan neostigmin.
Efek inhibisi dari asetilkolinesterase yang bertambah ditiadakan oleh inhibisi dari NOS.
Tekanan suhu panas yang terjadi kemudian, ketika vasodilatasi aktif mulai terjadi, efek
neostigmin akan hilang, namun aliran darah kulit pada tempat yang diberikan L-NAME akan

10
lemah. Hasil ini menunjukkan bahwa asetilkolin memperantarai peningkatan produksi NO di
awal tekanan suhu panas, namun tidak setelah vasodilatasi kulit terjadi.

Ada bukti bahwa reseptor H1 untuk histamin mungkin mempunyai peran penting
dalam produksi NO selama vasodilatasi aktif kulit pada tekanan suhu panas. Pemberian
antihistamin generasi pertama pyrilamine melemahkan, namun tidak meniadakan,
peningkatan aliran darah kulit selama tekanan suhu panas. Lagipula ditemukan juga bahwa
NO yang dihasilkan selama vasodilatasi aktif diperantarai oleh aktivasi reseptor H1. Dengan
demikian, ada beberapa cara untuk dapat menyebabkan munculnya NO di kulit selama
adanya tekanan suhu panas.

e. Pemanasan Lokal di Kulit dan Vasodilatasi

Pembuluh darah di kulit memberi respon secara langsung terhadap perubahan-


perubahan dari temperatur lokal. Misalnya, memberi respon terhadap peningkatan temperatur
kulit lokal, dengan mendilatasi pembuluh darah di kulit.

Dengan pemanasan lokal di kulit, aliran darah kulit lokal meningkat yang berbanding
langsung dengan temperatur yang dicapai. Jika pemanasan berlangsung pada tingkat
maksimal yang dapat ditoleransi, 42°C hingga 44°C (107,6°F hingga 111,2°F) selama 35 - 55
menit, aliran darah kulit lokal yang maksimal dapat dicapai. Vasodilatasi lokal bersifat
bifasik dengan vasodilatasi awal yang cepat. Dilatasi awal ini cepat mencapai puncak dan
diikuti oleh penurunan ringan dalam alirannya. Dengan aplikasi panas yang terus-menerus,
dilatasi kedua kalinya terjadi yang dapat mencapai level maksimal pada fase plateau yang
lama. Fase plateau/stabil akan menurun setelah sekitar 1 jam meskipun pemanasan terus
berlangsung, dengan alasan yang tidak diketahui.

Mediator vasodilatasi kulit setempat yang bergantung suhu melibatkan kedua


mekanisme refleks akson serabut saraf sensorik lokal dan pembangkitan lokal NO. Kedua
mekanisme ini bersifat independen satu sama lain. Sebelumnya telah dibahas bahwa sistem
vasodilator aktif kulit neural tidak tampak terlibat pada respon setempat ini, karena baik
penghilangan oleh toksin botulinum terhadap vasodilatasi aktif maupun penghambatan
reseptor muskarinik dengan atropin tidak mengubah respon aliran darah kulit terhadap
pemanasan kulit lokal. Begitu juga dengan prostanoid, karena inhibisi dari COX tidak
memiliki efek terhadap vasodilatasi yang ditimbulkan oleh pemanasan kulit lokal.

11
Fase awal dari respon pemanasan lokal menghasilkan nilai puncak yang singkat dan
diperantarai oleh aktivasi lokal dari saraf sensorik kulit aferen. Fase awal dari vasodilatasi ini
dapat dilemahkan dengan aplikasi anestesi topikal secara langsung di tempat yang terkena
panas. Penghambatan saraf di kulit di titik yang jauh dari tempat yang terkena panas yang
mempengaruhi fungsi saraf sensorik pada tempat yang terkena panas, ternyata pada tempat
tersebut tidak berpengaruh. Hal ini menunjukkan bahwa efek awal dari pemanasan kulit lokal
diperantarai oleh mekanisme refleks akson neural. Peningkatan temperatur kulit lokal
merangsang reseptor VR-1 (vanilloid receptor) yang sensitif terhadap panas pada serabut
saraf aferen. Hal ini mengaktivasi refleks akson lokal yang menyebabkan pelepasan
antidromik dari neurotransmiter vasodilator yang memperantarai vasodilatasi lokal.

Fase plateau vasodilatasi yang lama dalam merespon pemanasan kulit setempat
diperantarai oleh munculnya NO. Fase plateau dapat dilemahkan dengan pretreatment daerah
kulit yang terkena panas dengan inhibitor NOS, dengan demikian adanya NO diperlukan
untuk fase ini. Endothelial NOS (eNOS, NOS tipe III) merupakan isoform yang
memperantarai peningkatan produksi NO. Protein heat shock 90 (HSP90) mengikat eNOS,
meningkatkan aktivasi eNOS, dan dengan demikian meningkatkan pembangkitan NO.
Pengobatan kulit dengan inhibitor HSP90 geldanamycin melemahkan fase plateau dari
pemanasan kulit setempat sekitar 20 %.

6. Respon Kulit Terhadap Udara Dingin


a. Mekanisme Vasokonstriktor Aktif Kulit

Terganggunya pengaruh dari serabut saraf simpatis yang telah dilakukan


simpatektomi meningkatkan aliran darah di kulit ketika intervensi dilakukan di lingkungan
yang bersuhu dingin. Pengamatan ini sejalan dengan relaksasi dari pembuluh darah di kulit
dan peningkatan pasif dalam aliran darah setelah terganggunya aktivitas vasokonstriktor.
Sistem vasokonstriktor simpatis di kulit menyebabkan vasokonstriksi melalui perangsangan
reseptor noradrenergik dari reseptor α1- dan α2 -adrenergik.

Saraf simpatik di kulit mengandung beberapa neurotransmiter berbeda yang


disetempatkan dengan norepinefrin, termasuk neuropeptida Y (NPY) dan adenosin trifosfat.
Sistem vasokonstriktor simpatis dapat menjadi sistem ko-transmiter. Pretreatment kulit
dengan antagonis reseptor β propanolol menunjukkan terjadi vasokonstriksi yang lebih hebat
selama adanya tekanan suhu dingin. Hal ini menyatakan bahwa vasodilatasi yang diperantarai

12
reseptor β mengatur proses vasokonstriksi yang diperantarai reseptor α selama proses
pendinginan tubuh yang menyeluruh. Hal yang menarik untuk diamati, bahwa penghambatan
yang terjadi secara komplit dan serentak dari reseptor α1, α2, dan β gagal meniadakan
vasokonstriksi kulit yang diakibatkan oleh tekanan suhu dingin, meskipun hambatan dari
semua neurotransmiter yang dilepaskan dari serabut saraf noradrenergik di kulit dengan
bretilium tosilat telah meniadakan respon ini. Studi ini menegaskan bahwa mekanisme non-
noradrenergik, ko-transmiter memperantarai vasokonstriksi kulit selama tekanan suhu dingin.

NPY merupakan ko-transmiter bersama dengan norepinefrin dalam memperantarai


penurunan aliran darah di kulit selama tekanan suhu dingin. NPY bekerja melalui aktivasi
reseptor NPY Y1 di arteriola kulit. Pemberian antagonis NPY Y1 BIBP-3226 dapat
mengurangi penurunan aliran darah di kulit selama tekanan suhu dingin yang terjadi di
seluruh tubuh. Pemberian kombinasi antagonis reseptor NPY Y1 dengan hambatan komplit
dari reseptor α1, α2, dan β menghilangkan penurunan aliran darah di kulit selama tekanan
udara dingin. Hal ini menunjukkan bahwa sistem vasokonstriktor aktif di kulit merupakan
sistem ko-transmiter yang bekerja melalui pelepasan NPY dan norepinefrin. Neurotransmitter
ini menyebabkan aktivasi post junction dari reseptor NPY Y1, α1, α2, dan mungkin juga β,
yang secara bergiliran menyebabkan vasokonstriksi arteriola kulit, mengurangi aliran darah
di kulit, dan dengan demikian mempertahankan panas tubuh selama tekanan udara dingin.

b. Pendinginan Lokal di Kulit dan Vasokonstriksi

Penurunan temperatur kulit dengan pendinginan yang dilakukan setempat di kulit


menyebabkan vasokonstriksi lokal yang bergantung pada suhu. Meskipun respon vasodilator
terhadap pemanasan setempat di kulit tidak tergantung dari sistem vasodilator aktif di kulit,
vasokonstriksi yang diperantarai oleh pendinginan kulit setempat tergantung dari serabut
saraf vasokonstriktor aktif noradrenergik yang utuh. Bretilium tosilate menghambat
pelepasan neurotransmiter dari ujung saraf noradrenergik pre junction di kulit. Ketika serabut
saraf noradrenergik utuh, pendinginan setempat menyebabkan penurunan yang cepat dan
progresif dari aliran darah di kulit ketika temperatur setempat menurun. Gangguan pada
pelepasan neurotransmiter dengan bretilium mengubah respon pendinginan setempat dari
vasokonstriksi yang terjadi secara cepat ke vasodilatasi yang terjadi secara cepat. Vasodilatasi
yang diakibatkan oleh pendinginan setempat bersifat sementara dan pendinginan kulit
setempat yang terus berlangsung menyebabkan pengurangan secara progresif dari
vasodilatasi dan akhirnya terjadi penggantian oleh vasokonstriksi yang progresif.

13
Penghambatan dari reseptor α di kulit mengubah vasokonstriksi pendinginan setempat
dengan cara yang sama dengan bretilium; penghambatan dari reseptor α dan β membalikkan
fase awal dari vasokonstriksi ke vasodilatasi yang akhirnya disertai dengan vasokonstriksi
dengan pendinginan setempat yang terus berlangsung. Pemberian anestesia topikal dengan
krim EMLA (campuran lidokain dan prilokain) juga membalikkan vasokonstriksi awal ke
vasodilatasi yang disertai lagi dengan konstriksi dengan pendinginan yang berlangsung lama.
Penghambatan reseptor NPY Y1 dengan BIBP-3226 tidak memiliki efek terhadap respon
pendinginan setempat. Berdasarkan kinerja ini, maka pendinginan kulit setempat terjadi
dalam 2 fase : fase cepat awal yang berakhir dalam beberapa menit, dan fase akhir yang
berlangsung lama. Fase awal disebabkan oleh aktivasi saraf aferen yang sensitif terhadap
suhu dingin yang memperantarai pelepasan norepinefrin dari serabut saraf vasokonstriktor
kulit yang simpatis. Norepinefrin yang dilepaskan menciutkan pembuluh darah kulit yang
dingin melalui reseptor α post junction. Reseptor NPY Y1 tidak tampak terlibat pada fase
respon pendinginan setempat. Mekanisme fase vasokonstriktor yang akhir dan yang
berlangsung lama terhadap pendinginan tampaknya tidak bersifat neurogenik, karena tidak
ada manipulasi yang mengubah bagian ini untuk terjadinya respon tersebut.

Peran penting reseptor α2 dalam menyebabkan vasokonstriksi kulit dengan


pendinginan kulit setempat telah dikemukakan. Misalnya, pendinginan kulit setempat
meningkatkan vasokonstriksi yang diperantarai reseptor α2 adrenergik. Sebaliknya,
pendinginan setempat tidak menambah konstriksi yang diperantarai oleh reseptor α1
adrenergik. Pada kulit tikus, pendinginan setempat menyebabkan konstriksi noradrenergik
yang bertambah melalui reseptor α2c adrenergik. Walaupun reseptor ini tidak secara
langsung bersifat termosensitif, dia ditemukan mengalami translokasi dari trans-apparatus
golgi sel-sel otot polos pembuluh darah ke membran plasma melalui aktivasi RhoA dan Rho
kinase yang diakibatkan suhu dingin. Dalam hal ini, banyak reseptor α2c yang tampak di
permukaan otot polos pembuluh darah. Lagipula, aktivasi dari kinase ini meningkatkan
sensitivitas kalsium dari apparatus kontraktil otot polos pembuluh darah. Faktor ini
menjelaskan bagaimana pendinginan setempat menyebabkan respon vasokonstriksi.

Pembangkitan reactive oxygen species (ROS) dari mitokondria di otot polos


pembuluh darah tampaknya memilki peran dalam vasokonstriksi yang diakibatkan oleh
pendinginan setempat. Pendinginan dari arteri kulit ekor tikus menyebabkan timbulnya ROS
yang meningkat di sel-sel otot polos pembuluh darah. Perubahan level ROS dengan aplikasi
radikal bebas meniadakan respon vasokonstriksi ke perangsangan reseptor α2 adrenergik.

14
Manipulasi level ROS ini juga meniadakan aktivasi RhoA di sel-sel otot polos pembuluh
darah manusia yang dikultur. Hasil studi ini menyatakan bahwa vasokonstriksi yang
disebabkan pendinginan setempat adalah karena timbulnya ROS yang meningkat di
mitokondria dari otot polos pembuluh darah. ROS yang meningkat kemudian mengaktivasi
RhoA/Rho kinase, yang menyebabkan gerakan selanjutnya dari reseptor α2 adrenergik ke
membran sel. Dalam mencapai permukaan sel, reseptor α2 adrenergik dapat diaktivasi oleh
norepinefrin yang dilepaskan oleh saraf simpatis dan menyebabkan vasokonstriksi.

7. Faktor-faktor yang Mengubah Respon Terhadap Panas dan Dingin

Respon termoregulator mengalami aklimatisasi fisiologis setelah tekanan suhu yang


berulang setelah periode waktu yang lama (2 minggu). Secara umum, aklimatisasi fisiologis
terhadap lingkungan yang panas lebih efektif daripada adaptasi yang diakibatkan oleh
lingkungan yang dingin dalam menjaga keseimbangan suhu. Kenyataanya, setelah paparan
yang berulang terhadap lingkungan yang panas, kelenjar keringat mengalami hipertrofi untuk
menghasilkan lebih banyak keringat. Vasodilatasi aktif di kulit akan terjadi pada temperatur
internal dan temperatur kulit yang lebih rendah. Kedua adaptasi ini memudahkan terjadinya
keseimbangan suhu yang lama dengan menyokong pelepasan panas yang lebih besar dan
lebih cepat. Manusia juga menyesuaikan diri terhadap lingkungan yang dingin setelah
paparan yang berulang. Adaptasi ini termasuk timbulnya panas metabolik yang meningkat
dan habituasi terhadap suhu dingin, namun hal ini kurang efektif dalam menjaga
keseimbangan suhu daripada adaptasi terhadap panas.

Gangguan dermatologis akut dan kronik dapat mengganggu stabilitas termoregulator.


Misalnya, sunburn menekan produksi keringat, yang mengganggu pendinginan yang bersifat
evaporatif dan mengurangi toleransi terhadap panas. Pada saat yang sama, vasodilatasi dari
peradangan yang menyertai sunburn dapat bersaing dengan refleks vasokonstriksi dari
termoregulator selama paparan suhu dingin. Hal ini akan menekan kemampuan refleks
termoregulator untuk mengurangi aliran darah di kulit dan menjaga panas tubuh, dan dapat
mengurangi toleransi terhadap suhu dingin.

Obat merupakan faktor utama dalam mengubah toleransi terhadap suhu, khususnya
selama paparan panas. Banyak obat yang dipakai dalam pengobatan klinis, baik obat yang
diresepkan maupun obat bebas, memiliki sifat antagonis kolinergik. Karena sistem
vasodilator aktif di kulit dan kelenjar keringat keduanya diatur oleh saraf simpatis kolinergik,

15
hal ini tidak mengherankan bahwa agen antikolinergik memiliki akibat yang mengganggu
termoregulator. Misalnya, obat yang biasa dipakai yang dapat menekan respon dari tekanan
suhu panas termasuk yaitu antihistamin generasi pertama, antagonis reseptor H2,
antidepresan trisiklik, dan agen yang paling banyak dipakai dalam pengobatan penyakit
Alzheimer. Agen sistemik ini dapat mengurangi sekresi dari keringat, mengurangi
vasodilatasi aktif di kulit, dan mengganggu termoregulasi, yang meningkatkan resiko
terjadinya heat stroke.

16

Anda mungkin juga menyukai